Manajemen pre operative anestesi

25
BAB 18 PENILAIAN PRE-OPERATIF, PREMEDIKASI, DAN DOKUMENTASI PERI-OPERATIF Konsep Utama 1. Dasar dari evaluasi pre-operatif yang efektif adalah mengetahui riwayat kesehatan pasien dan pemeriksaan fisik, yang meliputi seluruh pengobatan yang pernah diterima oleh pasien sebelumnya dan alergi kontak, sert respon dan reaksi pasien terhadap anestesi sebelumnya 2. Anestesiologi seharusnya tidak diharapkan untuk memperkirakan risiko dan keuntungan dari prosedur yang diberikan kepada pasien. Hal ini merupakan tanggung jawab dan bidang dari ahli bedah yang bertanggung jawab pada prosedur tersebut 3. Dokter di banyak negara menggunakan klasifikasi American society of Anesthesiologist untuk mengidentifikasi risiko relatif sebelum dilakukan tindakan anestesia 4. Secara umum, indikasi untuk pemeriksaan kardiovaskuler pada pasien yang akan dilakukan tindakan pembedahan sama dengan pasien lainnya 5. Adekuatnya kontrol gula darah dalam jangka lama dapat dinilai secara mudah dan cepat dengan mengukur kadar Hemoglobin A 1c 6. Pasien dengan risiko tinggi mengalami trombosis (contohnya pasien dengan implan katup jantung mekanik atau dengan fibrilasi atrial dan sebelumnya mengalami sroke tromboemboli), warfarin seharusnya diganti dengan

description

textbook reading

Transcript of Manajemen pre operative anestesi

Page 1: Manajemen pre operative anestesi

BAB 18

PENILAIAN PRE-OPERATIF, PREMEDIKASI, DAN DOKUMENTASI

PERI-OPERATIF

Konsep Utama

1. Dasar dari evaluasi pre-operatif yang efektif adalah mengetahui riwayat kesehatan pasien

dan pemeriksaan fisik, yang meliputi seluruh pengobatan yang pernah diterima oleh pasien

sebelumnya dan alergi kontak, sert respon dan reaksi pasien terhadap anestesi sebelumnya

2. Anestesiologi seharusnya tidak diharapkan untuk memperkirakan risiko dan keuntungan

dari prosedur yang diberikan kepada pasien. Hal ini merupakan tanggung jawab dan

bidang dari ahli bedah yang bertanggung jawab pada prosedur tersebut

3. Dokter di banyak negara menggunakan klasifikasi American society of Anesthesiologist

untuk mengidentifikasi risiko relatif sebelum dilakukan tindakan anestesia

4. Secara umum, indikasi untuk pemeriksaan kardiovaskuler pada pasien yang akan

dilakukan tindakan pembedahan sama dengan pasien lainnya

5. Adekuatnya kontrol gula darah dalam jangka lama dapat dinilai secara mudah dan cepat

dengan mengukur kadar Hemoglobin A1c

6. Pasien dengan risiko tinggi mengalami trombosis (contohnya pasien dengan implan katup

jantung mekanik atau dengan fibrilasi atrial dan sebelumnya mengalami sroke

tromboemboli), warfarin seharusnya diganti dengan intravenous heparin atau yang lebih

umum, diganti dengan intramuskular heparin untuk meminimalisir risiko

7. Pandan saat ini menyarankan untuk menunda semua operasi kecuali operasi yang bersifat

emergensi sampai minimal 1 bulan setelah tindakan intervensi koroner apapun dan

menyarankan untuk memilih terapi lain daripada pemasangan stent (yang mengharuskan

perpanjangan terapi dual antiplatelet) pada pasien yang kemungkinan menjalani prosedur

operasi kurang lebih 12 bulan setelah intervensi

8. Tidak ada hasil data yang mendukung pemberian cairan lebih dari 2 jam sebelum induksi

anestesi general pada pasien sehat yang akan menjalani prosedur elektif, namun terdapat

bukti bahwa pasien nondiabetik seharusnya diminta untuk meminum cairan yang berisi

glukosa diatas 2 jam sebelum induksi anestesi

9. Penilaian preoperatif harus mengelompokkan hasilnya, peningkatan risiko perioperatif

terjadi ketika hasil penilaian preoperatif tidak normal (dan tidak diketahui), risiko

Page 2: Manajemen pre operative anestesi

perioperatif menurun ketika hasil penilaian preoperatif tidak ditemukan kelainan atau

terdeteksi (dan dapat dikoreksi)

10. Manfaat tes ini bergantung pada sensitifitas dan spesifitas. Tes sensitiv memiliki nilai

rendah pada hasil yang negatif palsu dan jarang gagal untuk mengidentifikasi kelainan

ketika satu kelainan terlihat, tes spesfik memiliki nilai rendah pada hasil positif palsu dan

jarang mengidentifikasi sebuah kelainan ketika satu kelainan tidak terlihat

11. Premedikasi seharusnya diberikan dengan penuh tujuan, bukan tanpa pertimbangan

apapun

12. Rekam medik pasien tidak lengkap, tidak akurat, atau tidak layak mempersulit pembelaan

dokter jika ditemukan kesalahan dalam suatu prosedur

Evaluasi Pre-operatif

Dasar dari evaluasi pre-operatif yang efektif adalah mengetahui riwayat kesehatan pasien

dan pemeriksaan fisik, yang meliputi seluruh pengobatan yang pernah diterima oleh pasien

sebelumnya, seluruh obat yang terkait dan alergi yang dialami pasien, serta respon dan reaksi

terhadap anestesi sebelumnya. Selain itu, evaluasi pre-operatif juga meliputi uji diagnostik

yang diindikasikan untuk pasien, prosedur pencitraan, dan konsultasi dari dokter lainnya.

Evaluasi pre-operatif menentukan rencana anestetik yang akan diberikan kepada pasien.

Perencanaan pre-operatif yang tidak adekuat dan persiapan pasien yang tidak lengkap

umumnya berhubungan dengan komplikasi anestetik.

Evaluasi pre-operatif memilki beberapa tujuan. Tujuan pertama, mengidentifikasi

beberapa pasien yang kondisinya mungkin akan meningkat jika diberikan terapi yang lebh

spesifik (dalam kondisi ini mungkin mengharuskan penjadwalan ulang rancana operasi).

Sebagai contoh, seorang pasien berusia 60 tahun dijadwalkan untuk operasi elektif total hip

arthroplasty yang juga memiliki angina pektoris unstable pada arteri koroner kiri yang

mungkin akan lebih bertahan hidup jika dilakukan operai bypass arteri koroner sebelum

prosedur elektif yang dijadwalkan. Tujuan lain adalah mengindentifikasi pasien yang

kondisinya sangat jelek yang jika dilakukan operasi hanya akan menyebabkan kematian tanpa

adanya perbaikan kualitas hidup. Sebagai contoh, seorang pasien yang menderita penyakit

paru kronik, gagal ginjal tahap akhir, gagal hati, dan gagal jantung tidak akan mungkin

bertahan untuk memperoleh keuntungan sejak 8 jam, kompleks, perpaduan multilevel spinal

dengan instrumentasi.

Evaluasi pre-operatif dapat mengidentifikasi pasein dengan karakteristik spesifik yang

mungkin akan mempengaruhi rencana anestetik yang akan diberikan (Tabel 18-1). Sebagai

Page 3: Manajemen pre operative anestesi

contoh, rencana anestetik perlu ditetapkan pada seorang pasien yang trakeanya terlihat susah

untuk diintubasi, pasien dengan riwayat keluarga malignant hyperthermia, atau pasien denga

infeksi yang dekat dengan daerah yag diberikan anestesi regional.

Tabel 18-1 Rencana anestesi

Apakah premedikasi hipnotik sedatif berguna?

Apakah jenis anestesi yang aka digunakan ?

- Umum*

Manajemen jalan nafas

Obat-obatan induksi

Obat-obatan maintenance

- Regional

Teknik

Agen

- Sedasi dan perawatan anestesi

Oksigen tambahan

Obat-obat sedatif spesifik

Apakah terdapat permasalahan dalam manajemen intraopeative ?

Monitor nonstandard

Posisi lain tidak terlentang

Kontraindikasi relatif atau absolut terhadap obat-obat anestesi spesifik

Manajemen cairan

Teknik khusus

Memperhatikan lokasi anestesi

Bagaimana pasien akan diurus setelah operasi (post-operatif) ?

Manajemen nyeri akut

Perawatan intensif

- Ventilasi post-operatif

- Pemantauan hemodinamik* meliputi kebutuhan untuk relaksasi otot

Tujuan lain dari evaluasi pre-operatif adalah mengestimasi risiko anestesi terhadap pasien.

Namun, anestesiologi seharusnya tidak diharapkan untuk meperkirakan risiko dan

keuntungan terhadap prosedur yang diberikan. Ini adalah tanggung jawab dan bidang dari

ahli bedah. Sebagai contoh, perbincangan mengenai risiko dan keuntungan dari robotic

Page 4: Manajemen pre operative anestesi

prostatectomy, terapi radiasi, dan pemantauan memerlukan pengetahuan dari literatur

kedokteran dan statistik morbiditas-mortalitas dari ahli bedah yang bersangkutan, dan hal ini

akan menjadi sangat tidak lazim jika seorang anestesiologi memiliki data yag diperlukan

untuk perbincangan ini. Pada akhirnya, evaluasi pre-operatif merupakan kesempatan bagi

anestesiologi untuk membuat rencana anestesi yang akan diberikan kepada pasien. Rencana

ini meliputi selama operasi dan post-operatif, memberikan pasien dukungan psikologi, dan

memberikan informed consent mengenai rencana anestesi terhadap pasien yang akan

dioperasi.

Dokter di banyak negara menggunakan klasifikasi the American Society of

Anesthesiologist (ASA) untuk menentukan risiko relatif sebelum pemberian anestesi (Tabel

18-2). Klasifikasi status fisik menurut ASA memiliki banyak keuntungan dibandingkan

klasifikasi lainnya. Klasifikasi ini lebih sederhana dan memperlihatkan hubungan yang kuat

dengan risiko perioperatif. Tapi, banyak cara penilaian risiko lainnya yang tersedia.

Tabel 18-2 Klasifikasi status fisik ASA pasien

Kelas Definisi

1 Pasien normal sehat

2 Pasien dengan penyakit sistemik ringan (tidak mengalami keterbatasan fungsonal)

3 Paseien dengan penyakit sistemik berat (terdapat beberapa keterbatasan fungsional)

4 Pasien dengan penyait sistemik berat yang setiap saat mengancam jiwa

5 Pasien sekarat yang tidak memiliki harapan hidup tanpa operasi

6 Pasien yang mengalami kematian otak yang organnya akan didonorkan

E Jika prosedur operasi emergensi, Status fisik diikuti oleh “E” (contoh : 2E)

Elemen-elemen preoperatif

Pasien yang melakukan operasi elektif dan anestesi, pada langkah pre-operatif secara

khusus riwayat kesehatan difokuskan pada fungsi jantung dan paru, penyakit ginjal, penyakit-

penyakit endokrin dan matabolik, muskuloskeletal dan persoalan anatomis yang berhubungan

dengan manajemen jalan nafas dan anestesi regional, serta respon dan reaksi terhadap

anestesi sebelumnya. ASA menerbitkan dan secara periodik memperbaharui panduan utama

untuk penilaian pre-operatif

A. Masalah Kardiovaskular

Panduan untuk penilaian jantung preoperatif yang tersedia antara lain dari American

College of Cardiology/American Heart Association serta dari European Society of

Cardiology. Pada penilaian preoperatif, kondisi jantung pasien dipastikan baik sebelum

Page 5: Manajemen pre operative anestesi

dilakukan prosedur pembedahan. Indikasi pemeriksaan jantung pada pasien yang akan

menjalankan prosedur pembedahan sama dengan pasien pada umumnya.

B. Masalah Paru

Komplikasi paru setelah operasi, yang paling banyak tercatat adalah depresi napas post

operasi dan gagal napas, masalah ini sering terjadi pada pasien obesitas dan obstructive

sleep apnea. Panduan dari American College of Physicians menetapkan batasan yang

tegas, pasien yang berusia ≥60 tahun, pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik,

pasien yang mengalami penurunan toleransi saat aktivitas dan ketergantungan

fungsional, dan pasien dengan gagal jantung secara potensial memerlukan intervensi

preoperatif dan post operatif untuk mencegah terjadinya komplikasi. Risiko komplkasi

paru setelah operasi berhubungan dengan faktor-faktor berikut ini, antara lain : Klas

ASA ( Pasien dengan ASA klas 3 dan 4 memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami

komplikasi paru daripada pasien dengan ASA klas 1), perokok, operasi yang lama (> 4

jam), operasi tertentu (operasi abdomen, thoraks, aneurisma aorta, operasi kepala dan

leher, dan operasi emergensi) dan anestesi general.

Tindakan untuk mencegah terjadinya komplikasi paru berfokus pada penghentian

merokok sebelum operasi dan kondisi pengembangan paru (contoh : pemeriksaan

spirometri secara intensif). Pasien dengan asma yang tidak mendapat pengobatan medis

yang optimal, memiliki risiko lebih besar untuk mengalami bronkospasme selama

manipulasi jalan napas. Penggunaan analgetik dan monitoring merupakan strategi utama

untuk mencegah depresi napas setelah operasi pada pasien dengan obstructive sleep

apnea.

C. Gangguan Endokrin dan Metabolik

Target yang tepat untuk mengontrol diabetes mellitus dan gula darah pada pasien yang

kritis telah menjadi subjek perdebatan yang hebat selama satu dekade terakhir. Kontrol

gula darah yang ketat, dengan target dalam batas normal, seperti yang ditunjukan pada

Diabetes Control and Complications Tial untuk menunjukan peningkatan pada pasien

rawat jalan diabetes melitus tipe 1. Hal ini sudah menjadi kebiasaan untuk mendapatkan

nilai dari pemeriksaan gula darah pada pagi hari saat operasi elektif dilakukan.

Sayangnya, banyak pasien diabetes yang akan dilakukan operasi tidak menjaga gula

darah mereka dalam kisaran yang diharapkan. Sedangkan pasien lain yang tidak tahu

bahwa mereka memiliki diabetes tipe 2, menunjukan nilai gula darah diatas rentang

normal. Kontrol gula darah yang adekuat mampu di nilai dengan mudah menggunakan

hemoglobin A1C, Pada pasien dengan peningkatan hemoglobin A1C

diserahkan kepada ahli

Page 6: Manajemen pre operative anestesi

diabetes untuk diberikan edukasi tentang penyakit dan pengaturan makanan serta

pengobatan yang dapat membantu untuk meningkatkan control metabolik. Operasi

elektif harus di tunda pada pasien yang menunjukan adanya hiperglikemia; penundaan ini

berfungsi untuk mengatur ulang jadwal sehingga memberikan waktu bagi insulin untuk

membuat konsentrasi gula darah mendekati rentang normal sebelum operasi dimulai.

D. Gangguan koagulasi

Ada tiga hal penting dalam masalah koagulasi yang harus diperhatikan selama evaluasi

preoperative yaitu (1) bagaimana caranya menangani pasien yang menggunakan warfarin

jangka panjang; (2) bagaimana caranya menangani pasien yang menggunakan

clopidogrel dan agen-agen yang terkait dengannya dan (3) bagaimana cara melakukan

anestesi regional dengan aman pada pasien yang menggunakan baik terapi antikoagulan

maupun yang menerima antikoagulan saat sebelum operasi. Pada keadaan pertama,

kebanyakan pasien yang menjalani tindakan apapun selain bedah minor, perlu dilakukan

penghentian dari penggunaan warfarin selama 5 hari sebelum pembedahan untuk

menghindari kehilangan darah yang terlalu banyak. Pertanyaan kunci yang harus dijawab

adalah apakah pasien membutuhkan terapi penghubung menggunakan agen lain selama

penghentian warfarin. Pada pasien yang dianggap memiliki resiko tinggi untuk

thrombosis (misalnya, mereka yang memiliki implantasi katup jantung mekanik atau

atrial fibrilasi dan sebelumnya mengalami stroke tromboembolik), warfarin harus diganti

dengan heparin intravena atau, yang lebih sering heparinoids intramuscular untuk

meminimalkan resiko. Pada pasien yang menerima terapi penghubung untuk thrombosis

resiko tinggi, resiko kematian dari kehilangan darah secara berlebihan jika diurutkan

masih lebih rendah daripada resiko kematian atau disabilitas akibat stroke jika terapi

penghubung dihilangkan. Pasien yang beresiko rendah untuk thrombosis bisa dilakukan

penghentian warfarin dan kemudian dimulai kembali setelah operasi berhasil. Keputusan

mengenai terapi penghubung biasanya memerlukan konsultasi dengan dokter yang

memberikan terapi warfarin.

Clopidogrel dan agen terkait lebih sering ditambahkan dengan aspirin (biasa disebut

terapi dual antiplatelet) pada pasien dengan penyakit arteri coroner yang menerima

pemasangan stent intrakoroner. Segera setelah pemasangan stent, pasien seperti ini resiko

infark miokard akut meningkat bila clopidogrel (atau sejenisnya) dan aspirin dihentikan

secara tiba-tiba untuk prosedur pembedahan. Oleh karena itu, pedoman saat ini

merekomendasikan menunda semua kecuali operasi darurat yang wajib sampai

setidaknya 1 bulan setelah intervensi koroner dan menyarankan pilihan terapi lain selain

Page 7: Manajemen pre operative anestesi

obat-eluting stent (yang akan membutuhkan terapi antiplatelet ganda jangka panjang)

digunakan pada pasien diperkirakan akan menjalani prosedur pembedahan dalam waktu

12 bulan setelah dilakukan intervensi (misalnya, pada pasien dengan kanker kolon yang

membutuhkan pengobatan untuk penyakit koroner). karena obat yang tersedia, pilihan

terapi, dan pedoman konsensus diperbarui secara relatif sering, kami menyarankan untuk

berkonsultasi dengan ahli jantung tentang pengelolaan yang aman dari pasien yang

menerima obat ini yang membutuhkan prosedur pembedahan. Kondisi ketiga -jika

dianggap aman untuk melakukan anestesi regional (terutama neuraksial) pada pasien

yang sedang atau akan menerima terapi antikoagulasi-juga menjadi bahan perdebatan di

kalangan hematolog dan ahli anestesi regional. The American Society of Regional

Anesthesia menerbitkan pedoman konsensus yang diperbarui secara berkala tentang

topik ini, dan masyarakat terkemuka lainnya (misalnya, European

Society of Anaesthesiologists) juga memberikan panduan tentang topik ini.

E. Masalah Gastrointestinal

Sejak laporan Mendelson than 1946, aspirasi dari isi lambung telah diakui berpotensi

sebagai sebuah komplikasi paru pada anestesi pembedahan. Hal ini juga telah lama

diakui bahwa resiko aspirasi meningkat pada kelompok pasien tertentu; tiga kali pada

wanita hamil pada trimester kedua dan ketiga, pasien yang tidak mengosongkan isi perut

setelah makan terakhir, pasien dengan GERD.

Meskipun ada consensus dimana wanita hamil dan pasien yang mengkonsumsi makanan

berat (dalam waktu 6 jam) harus di terapi seperti pasien dengan perut penuh, hanya

sedikit consensus mengatakan batas waktu yang diperlukan pasien untuk berpuasa

sebelum menjalani operasi elektif. Bukti dari kurangnya consensus ini adalah bahwa

pedoman ASA pada masalah ini mengalami penolakan oleh para delegasi ASA selama

beberapa tahun berturut-turut sebelum dipresentasikan dalam bentuk yang disetujui oleh

suara mayoritas. Pedoman ASA yang disetujui lebih longgar dalam masalah intake cairan

daripada pada yang digunakan para ahli anestesi dan banyak pusat kesehatan lebih ketat

dalam hal ini dibandingkan dengan pedoman ASA. Kenyatannya tidak ada data yang

menunjukan hasil yang baik untuk mendukung dalam pembatasan dari intake cairan

secara ketat (jenis apapun dan sebanyak apapun) lebih dari 2 jam sebelum dilakukan

induksi general anestesi pada pasien sehat yang akan menjalani prosedur elektif; malah

ada bukti bahwa pasien nondiabetik harus disuruh meminum cairan mengandung glukosa

sampai 2 jam sebelum diinduksi anestesi.

Pasien dengan riwayat GERD menunjukan masalah yang merepotkan. Beberapa dari

Page 8: Manajemen pre operative anestesi

pasien ini mengalami peningkatan resiko aspirasi; yang lainnya mungkin mendiagnosis

diri mereka sendiri berdasarkan pada iklan di televisi atau pembicaraan dengan teman

maupun saudara mereka atau mungkin didiagnosa oleh dokter yang tidak mengikuti

kriteria standard diagnosis. Pendekatan kami bertujuan untuk mengobati pasien yang

hanya memiliki gejala yang sesekali seperti pasien lain tanpa GERD, dan untuk

mengobati pasien dengan gejala konsisten (beberapa kali per minggu) dengan obat

obatan (misalnya, antasida nonparticulate seperti natrium sitrat) dan teknik (misalnya,

intubasi trakea daripada laring mask airway) seolah-olah mereka berada pada

peningkatan risiko aspirasi.

Elemen dari Pemeriksaan Fisik Preoperatif

Riwayat preoperatif dan pemeriksaan fisik saling melengkapi satu sama lain. Pemeriksaan

fisik mampu mendeteksi kelainan yang mungkin tidak terlihat pada riwayat, dan riwayat

membantu pemeriksaan fisik untuk lebih fokus. Pemeriksaan pada pasien sehat tanpa gejala

harus melingkupi penilaian dari tanda vital (tekanan darah, nadi, pernapasan, dan suhu) dan

pemeriksaan dari jalan napas, jantung, paru, dan system musculoskeletal menggunakan

tehnik inspeksi, auskultasi, palpasi dan perkusi standard. Sebelum prosedur seperti blok saraf,

anestesi regional, atau monitoring invasif anatomi yang bersangkutan harus diperiksa terlebih

dahulu; bukti dari infeksi di sekitar lokasi atau kelainan anatomi mungkin menjadi

kontraindikasi dari tindakan yang telah direncanakan (lihat bab 5, 45 dan 46). Sebuah

pemeriksaan neurologis singkat sangat penting ketika anestesi regional akan digunakan.

Pemeriksaan neurologis preoperatif berperan sebagai dokumentasi apakah ada defisit

neurologis sebelum dilakukanya blok.

Ahli anestesi harus memeriksa jalan napas pasien sebelum semua prosedur

pembiusan. Gigi pasien harus diperiksa untuk melihat apakah ada gigi yang goyang atau

patah, ditambal atau gigi palsu. Masker anestesi yang kurang cocok harus diperkirakan pada

pasien dengan edentulous dan pasien dengan kelainan wajah. Micrognathia (pendeknya jarak

antara dagu dengan tulang hyoid), gigi seri atas yang menonjol, lidah besar, berbagai gerakan

terbatas dari sendi temporomandibular atau tulang belakang leher, atau leher pendek atau

tebal menunjukkan bahwa mungkin akan ditemui kesulitan dalam laringoskopi langsung

untuk intubasi trakea (lihat Bab 19).

Pemeriksaan Laboratorium Preoperatif

Page 9: Manajemen pre operative anestesi

Pemeriksaan rutin ketika pasien dalam kondisi prima dan tidak ada keluhan tidak dianjurkan.

Pemeriksaan harus dibantu dengan riwayat pasien dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan rutin

mahal dan jarang sekali mengubah manajemen preoperatif, selain itu, nilai abnormal sering

kali diabaikan atau jika diakui dapat mengakibatkan penundaan yang tidak perlu. Meskipun

demikian, meskipun kurangnya bukti dari benefitnya, banyak dokter memesan penilaian dari

hematokrit atau konsentrasi hemoglobin, urinalisis, pengukuran serum elektrolit, studi

koagulasi, elektrokardiogram, dan rontgen dada untuk semua pasien, mungkin dengan

harapan salah mengurangi eksposur mereka terhadap litigasi.

Untuk menjadi bermanfaat, pemeriksaan preoperatif harus diskriminasi: harus ada

peningkatan resiko preoperative ketika ada hasil yang abnormal (dan tidak diketahui ketika

tes tidak dilakukan), dan harus ada pengurangan resiko ketika kelainan tidak muncul (atau

sudah ditanggulangi). Hal ini memerlukan pemeriksaan yang memiliki tingkat false-positif

dan false-negatif yang rendah. Fungsi dari sebuah tes tergantung dari sensitifitas dan

spesifisitas nya. Tes yang sensitive memiliki tingkat false-negatif yang rendah dan jarang

gagal dalam mengenali suatu kelainan ketika kelainan itu muncul, sedangkan tes yang

spesifik memiliki tingkat false-positif yang rendah dan jarang mengenali suatu kelainan jika

kelainan itu tidak ada. Prevalensi hasil dari tes suatu penyakit atau suatu kelainan bervarasi.

Oleh karena itu pengujian paling efektif ketika tes sensitif dan spesifik digunakan pada pasien

yang kelainannya akan terdeteksi cukup sering untuk membenarkan biaya dan

ketidaknyamanan dari prosedur tes. Oleh karena itu, uji laboratorium harus didasarkan pada

ada atau tidak adanya penyakit yang mendasari dan terapi obat seperti yang dideteksi oleh

riwayat dan pemeriksaan fisik. Sifat operasi atau prosedur yang diusulkan juga harus

dipertimbangkan. Dengan demikian, pengukuran dasar hemoglobin atau hematokrit

dibutuhkan pada setiap pasien yang akan menjalani prosedur yang dapat mengakibatkan

kehilangan darah yang banyak dan memerlukan transfusi, terutama bila ada waktu yang

cukup untuk memperbaiki anemia saat preoperative (misalnya, pemberian suplemen zat besi).

Pengujian wanita subur untuk kehamilan yang tidak terdiagnosis dini adalah suatu

kontroversial dan tidak boleh dilakukan tanpa izin dari pasien; tes kehamilan melibatkan

deteksi chorionic gonadotropin dalam urin atau serum. Pengujian rutin untuk antibodi HIV

tidak diindikasikan. Studi koagulasi rutin dan urine tidak efektif pada pasien sehat tanpa

gejala; Namun demikian, sebuah urinalisis pra operasi diperlukan oleh hukum negara dalam

setidaknya satu yurisdiksi AS.

Page 10: Manajemen pre operative anestesi

PREMEDIKASI

Sebuah studi klasik menunjukkan bahwa kunjungan sebelum operasi dari ahli anestesi

menghasilkan suatu pengurangan besar dalam kecemasan pasien dibandingkan obat penenang

preoperative. Namun, ada suatu masa ketika hampir setiap pasien menerima premedikasi

sebelum tiba di daerah pra operasi dalam mengantisipasi operasi. Meskipun terbukti seperti

itu, keyakinan bahwa semua pasien diuntungkan dari sedasi dan antikolinergik, dan

kebanyakan pasien akan mendapat manfaat dari opioid pra operasi. Setelah premedikasi

seperti itu, beberapa pasien tiba dalam keadaan hampir dibius. Dengan berpindahnya pasien

menjadi rawat jalan dalah hari yang sama saat masuk rumah sakit praktek telah bergeser. Saat

ini, pemberian sedative-hipnotik atau opioid hampir tidak pernah diberikan lagi sebelum

pasien tiba di area preoperasi (selain untuk pasien yang harus diintubasi yang sudah disedasi

di ICU). Anak-anak, terutama usia 2-10 tahun yang kemungkinan akan cemas ketika

dipisahkan dari orangtua mereka mendapat keuntungan dari pemberian premedikasi di area

preoperative. Topic ini didiskusikan pada Bab 42. Midazolam, biasanya diberikan melalui

intravena atau oral. Orang dewasa biasa menerima midazolam intravena (2-5 mg) sekali saat

intravena dimasukkan, dan jika prosedur yang menyakitkan(misalnya, regional blok atau

central venous line) akan dilakukan ketika pasien masih sadar, dosis kecil opioid (biasanya

fentanyl) biasa diberikan. Pasien yang akan menjalani operasi jalan napas atau manipulasi

luas jalan napas akan mendapat manfaat dari pemberian obat antikolinergik preoperative

(glycopyrrolate atau atropine) untuk mengurangi sekresi dari saluran napas selama operasi.

Pesan yang penting disini adalah bahwa premedikasi harus diberikan sesuai dengan

tujuannya, bukan diberikan sebagai rutinitas saja.

DOKUMENTASI

Dokter, pertama harus memberikan pelayanan kesehatan dengan kualitas yang tinggi dan

efisien. Kedua, merika harus mendokumentasikan semua perawatan yang telah disediakan.

Dokumentasi yang memadai memberikan panduan kepada mereka yang mungkin akan

menghadapi pasien yang sama di masa depan. Hal ini memungkinkan orang lain untuk

menilai kualitas perawatan yang diberikan dan untuk memberikan penyesuaian risiko antara

dengan yang hasil didapat. Dokumentasi yang memadai diperlukan untuk seorang dokter

untuk mengirimkan tagihan atas pelayanan nya. Akhirnya, dokumentasi yang memadai dan

Page 11: Manajemen pre operative anestesi

terorganisir dengan baik (sebagai lawan dari dokumentasi yang tidak memadai dan ceroboh)

mendukung pembelaan potensial dari klaim atas malpraktik medis yang diajukan.

Laporan penilaian pre operasi

Laporan penilaian pre operasi ini harus dicantumkan pada medical record pasien, dan

harus menjelaskan mengenai temuan-temuan yang berkaitan, antara lain riwayat medis,

riwayat anastesi, pengobatan yang sedang dijalani saat ini (dan apakah pengobatan tersebut

harus minum saat hari operasi), pemeriksaan fisik, status ASA, hasil laboratorium, hasil

radiologi, hasil EKG, dan rekomendasi dari konsultan. Diperlukan adanya alasan yang jelas

bila rekomendasi dari konsultan tersebut tidak dapat di ikuti.

Laporan pre operatif harus menggambarkan dengan jelas mengenai rencana anastesi

yang akan diberikan, termasuk didalamnya inform concent dari pasien maupun keluarganya.

Rencana anastesi harus mengindikasikan apakah anastesi yang digunakan ragional ataupun

umum (atau sedative), dan apakah dibutuhkan monitoring secara infasif, ataupun tindakan-

tindakan lainnya. Kadang kala diskusi mengenai inform consent di dokumentasikan dalam

bentuk narasi, menggambarkan rencana anatesia apa, rencana alternative, kelebihan dan

kekurangannya, termasuk resiko relative yang dimiliki masing-masing pilihan, yang telah

dipahami dan disetujui oleh pasien. Pasien dapat juga diminta menandatangani inform

consent khusus untuk anastesi yang isinya sama dengan di atas. Contoh laporan anastetik pre

operatif dapat di lihat pada Gambar 18-1.

Laporan anastesia intra operatif

Laporan anastesia selama operatif (gambar 18-2) memiliki banyak tujuan, diantaranya

sebagai dokumentasi monitoring selama operasi, sebagai referensi untuk anastesi berikutnya

pada pasien, dan sebagai sumber data untuk menjamin kualitas. Laporan ini harus ringkas,

berkaitan dan akurat. Pasa masa sekarang ini, sering kali pencatatan anastesia dilakukan

secara otomatis dan di catat secara elektronik. Walaupun Anasthesia Information

Management Systems atau sering dikenal sebagai AIMS memiliki banyak kelebihan dalam

bidang teoritis maupun praktik dibandingkan dengan pencatatan secara tradisional pada

kertas, tetapi juga terdapat berbagai kelemahan komputerisasi, termasuk adanya potensi data

artificial yang tidak disadari terekam, adanya kemungkinan bahwa pelaksana akan lebih

tertarik pada komputer sehingga tidak memperhatikan pasien, dan adanya kemungkinan yang

tidak diinginkan, yaitu alat dan system yang digunakan rusak. Terlepas dari jenis pencatatan

Page 12: Manajemen pre operative anestesi

yang digunakan, keseluruhan proses anastesi yang terjadi selama operasi harus tercantum

dalam laporan tersebut dengan diantaranya:

1. Apakah sudah dilakukan pemeriksaan preoperative terhadap mesin yang akan

digunakan dan peralatan lain yang berhubungan.

2. Apakah telah dilakukan pemeriksaan kembali sebelum dilakukannya induksi anastesi,

termasuk memeriksa kembali status pasien untuk melihat hasil pemeriksaan lab

terbaru ataupun hasil konsultasi.

3. Waktu pemberian, dosis dan cara pemberian obat selama operasi.

4. Perkiraan kehilangan darah dan urin output selama operasi.

5. Hasil dari pemeriksaan laboratorium yang diperoleh selama operasi.

6. Pemberian carian IV dan darah

7. Catatan procedural yang berkaitan, misalnya intubasi trakeal, atau penggunaan

monitoring invasif.

8. Penjelasan mengenai tindakan khusus, seperti penggunaan hypotension anesthesia,

one lung ventilation, high frequency jet ventilation, atau cardiopulmonary bypass.

9. Waktu dan cara pelaksanaan dari setiap tindakan selama operasi, seperti induksi,

positioning, insisi operatif, dan ekstubasi.

10. Kejadian yang tidak biasa, atau komplikasi, seperti aritmia.

11. Keadaan pasien pada saat selesai operasi dan dipindahkan ke ruangan RR

Berdasarkan trasisi dan konfensi yang telah disepakati, tekanan darah dan Heart rate

dievaluasi secara grafis dengan interval 5 menit. Data dari monitoring lainnya juga

digambarkan dalam bentuk grafis, hanya teknik maupun komplikasinya di gambarkan dengan

kata-kata. Pada sebagian lokasi, dimana pencatatan tidak dapat menggunakan komputerisasi,

maka hanya digunakan metode tradisional. Sayangnya pada metode pencatatan manual ini

sering kali tidak adekuat untuk mendokumentasikan kejadian kritis, seperti cardiac arrest.

Untuk itu, kadang kala dibutuhkan laporan tambahan yang dicantumkan pada status pasien.

Pemantauan timing setiap kejadian harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari

perbedaan antara berbagai pencatatan secara simultan, seperti laporan anastesi, laporan

keperawatan, laporan RJP, dan laporan lainnya. Adanya perbedaan inilah yang sering

ditargetkan pada malpraktek sebagai bukti tidak kompeten, tidak akurat dan penipuan.

Laporan yang tidak lengkap, tidak akurat dan tidak terbaca dapat mempersulit tenaga

kesehatan pada saat melawan tuduhan malpraktek.

Laporan post operatif

Page 13: Manajemen pre operative anestesi

Tanggung jawab seorang dokter anastesi tidak akan berakhir sampai pasien sembuh

dari efek anastesi. Setelah mengantar pasien ke PACU, dokter anastesi harus menjaga pasien

sampai vital signnya normal dan kondisi pasien stabil. Sebelum pasien keluar dari PACU,

dokter anastesi harus menuliskan keadaan pasien, dimana pasien telah pulih dari anastesi,

apakah terdapat komplikasi yang berkaitan dengan anastesi, kondisi pasien post operatif, dan

kelanjutan perawatan pasien, apakah masuk rawat inap, ICU, atau rawat jalan. Elemen-

elemen yang termasuk dalam laporan post operasi dapat dilihat pada Tabel 18-3. Pemeriksaan

apakah pasien telah pulih dari anastesi harus dilakukan minimal sekali dalam 48 jam setelah

pasien keluar dari PACU. Laporan post operasi harus mendokumentasikan keadaan umum

pasien, ada atau tidaknya komplikasi yang berkaitan dengan anastesia, dan tatalaksana apa

yang dilakukan untuk menangani komplikasi tersebut.

TABLE 18-3 Elemen elemen yang dibutuhkan pada laporan post operasi, berdasarkan

Center for Medicare and Medicaid Services

Fungsi respirasi, termasuk frekuensi nafas, patensi jalan nafas, dan saturasi oksigen.

Fungsi kardiovaskuler, termasuk denyut nadi dan tekanan darah.

Status Mentalis

Temperatur

Ada tidaknya nyeri

Ada tidaknya mual muntah

Postoperative hydration

Data diperoleh dari Centers for Medicare and Medicaid Services (CMS): Revised

Anesthesia Services Interpretive Guidelines , issued December 2009. Available at:

http://www.kdheks.gov/bhfr/download/ Appendix_L.pdf (accessed September 1, 2012).

Page 14: Manajemen pre operative anestesi

Gambar 18-1. Contoh laporan anastesi preoperatif

Page 15: Manajemen pre operative anestesi