Makna Kontemporer Budaya Siri

download Makna Kontemporer Budaya Siri

of 8

description

Nilai kontemporer budaya Siri’ Na Pacce yang masih dihayati dan diamalkan sepenuhnya oleh komunitas pedagang di Mall Mandonga adalah nilai Rapang atau Akkalarapangeng yang mengandung makna sugesti dan motivasi untuk bekerja keras dan merencanakan masa depan

Transcript of Makna Kontemporer Budaya Siri

  • ANALISIS MAKNA KONTEMPORER BUDAYA SIRI NA PACCE

    (Studi Pada Warga Komunitas Migran Bugis Makassar

    di Mall Mandonga Kota Kendari)

    Oleh: Bakri Yusuf dan Peribadi10

    Abstract This research aims at describing the wisdom value and the interpretation of cultural value of Siri Na Pacce in the context of contemporary socio-cultural dynamics; and to know the application form of the internalizing and comprehending for the migrant community of Bugis Makasar that specifically concentrates on the effort of living-hood in Mall Mandonga area of Kendari Town. The data collecting was done with observation technique, in-deep interview, and focus group discussion (FGD) by using qualitative interpretative analysis. The contemporary value of Siri Na Pacce that was still internalized and comprehended fully by the trader community in Mall Mandonga was Rapang value or Akkalarapangeng which contained the suggestive meaning and motivation for working hard and planning the future. Siri Na Pacce in the current context was actualized in the social and economical life as the symbol of social status which managed to be achieved. For the young generation, reflection of Siri Na Pacce was still realized with the existence of an embarrassing sense if not being successful in getting a good achievement and the sense of respecting to one another. Key Words: Contemporary Meaning, Siri Na Pacce, and Migrant of Bugis Makasar.

    Abstrak

    Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai kearifan dan pemaknaan nilai budaya Siri Na Pacce dalam kontek dinamika sosial budaya kontemporer; dan untuk mengetahui bentuk aplikasi penghayatan dan pengamalan bagi komunitas migran Bugis-Makassar yang secara khusus menekuni usaha mata pencaharian di wilayah Mall Mandonga Kota Kendari. Pengumpulan datanya dilakukan dengan teknik observasi, wawancara mendalam, dan Focus Group Discusion (FGD) dengan menggunakan analisis data kualitatif interpretatif. Nilai kontemporer budaya Siri Na Pacce yang masih dihayati dan diamalkan sepenuhnya oleh komunitas pedagang di Mall Mandonga adalah nilai Rapang atau Akkalarapangeng yang mengandung makna sugesti dan motivasi untuk bekerja keras dan merencanakan masa depan. Siri Na Pacce dalam konteks masa kini diaktulaisasi dalam kehidupan sosial ekonomi sebagai simbol status sosial yang berhasil dicapai. Bagi kawula muda, refleksi Siri Na Pacce masih diwujudkan dengan adanya rasa malu jika tidak sukses memperoleh prestasi yang baik dan adanya rasa hormat kepada orang lain. Kata Kunci: Makna Kontemporer, Siri Na Pacce, Migran Bugis Makassar.

    PENDAHULUAN

    Perilaku manusia dalam menyelenggarakan serta melangsungkan kehidupan

    sosial sehari-hari merupakan refleksi dari suatu asas kebudayaan yang telah dihayati

    dan diamalkan secara alamiah sejak awal keberadaannya. Dan setiap suku bangsa

    masing-masing mempunyai etos dan pandangan hidup yang mempengaruhi perilaku

    sosialnya. Asas kebudayaan pada etnis Bugis Makassar, dikenal dengan nilai Siri Na

    10 Bakri Yusuf, S.Sos, M.Si dan Drs. Peribadi, M.Si. adalah dosen Sosiologi FISIP Universitas Halu

    Oleo Kendari

    ISSN: 2355-1445; Hal. 100-107

  • Bakri Yusuf dan Peribadi: Analisis Makna Kontemporer Budaya Siri Na Pacce

    101

    Pacce yang terdiri atas konsep: Sipakatau (saling menghargai); Sipakasiri (saling

    menyayangi); Sipakatuo-Sipatokkong (saling menolong); Sipakainge (saling

    mengingatkan); Resopa Temmanginggi Naletei Pammase (hanya dengan kerja keras

    Tuhan mencurahkan rezekinya); dan Kualleangi Tallanga Natoalia (lebih baik mati dari

    pada hidup menanggung malu).

    Namun secara fenomenal, kini Siri Na Pacce pada orang Bugis Makassar,

    tampak mengalami pergeseran seiring dengan dinamika sosial dan perubahan budaya

    (Tarimana, 1993; Abidin, 1997). Karena itu, orientasi penelitian dkembangkan pada

    upaya mengkaji asas kebudayaan Siri-Napacce dalam visi dan persepsi generasi migran

    Bugis Makassar untuk terus menyelenggerakan kehidupan sosial ekonomi dengan

    ciri khas perilaku ekonomi tertentu yang ditunjukkan sehari-hari di Kota Kendari.

    Dan sejauh mana aktualisasi dari substansi nilai Siri-Napacce tersebut, telah bergeser

    dan berubah dewasa ini? Besar dugaan bahwa hampir semua kandungan asas

    kebudayaan Siri-Napacce telah mengalami perubahan secara fundamental. Namun

    asas kebudayaan dalam konteks etos kerja yang bersimbolkan Resopa Temmanginggi

    Naletei Pammase dan Kualleangi Tallanga Natoalia, masih dipegang teguh dan

    diamalkan secara maksimal oleh migran Bugis Makassar di wilayah perantauan,

    termasuk di Kota Kendari yang kini dibuktikan dengan keberhasilan di berbagai

    bidang usaha mata pencaharian yang ditekuni dan telah berkembang dengan pesat.

    Kesuksesan di bidang sosial ekonomi serta upaya menggapai berbagai prestise

    sosial lain dalam bentuk universalisme simbolistis, selain memang masih sangat

    dipengaruhi oleh nilai etos kerja dengan filosofi Resopa Temmanginggi Naletei Pammase

    dan Kualleangi Tallanga Natoalia, juga kecenderungan perilaku migran Bugis Makassar

    ke arah pencapaian prestise sosial dalam bentuk pengumpulan modal, atau simbol-

    simbol lain misalnya memiliki rumah yang besar, mempunyai tanah yang luas,

    mewariskan sejumlah modal serta berhasil menunaikan ibadah Haji, adalah dianggap

    bahwa dengan cara seperti ini, maka mereka masih merasa mampu atau berhasil

    mempertahankan asas kebudayaannya. Atas dasar inilah, maka penelitian dilakukan

    dalam rangka mengeksplorasi dan mendeskripsikan kembali asas kebudayaan Siri-

    Napacce yang pada masa lalu merupakan value power yang sangat berpengaruh dan

    melambangkan identitas dan jati diri orang Bugis Makassar dalam suatu nilai

    kearifan, keluhuran, ketulusan dan kebijakan hidup dan kehidupan sehari-hari.

    METODE PENELITIAN

    Tipe dan pendekatan dalam rancangan penelitian ini adalah sebuah studi

    komunitas (community study) pada kelompok ekonomi migran Bugis Makassar di Kota

    Kendari dengan menggunakan pendekatan etnografi, karena diharapkan dapat

    mendeskripsikan visi, persepsi, dan perilaku ekonomi migran Bugis Makassar sesuai

    dengan subjektivitas mereka sendiri. Namun untuk memahami dan mendalami

    sejarah kehidupan dan sistem nilai budaya semua kelompok etnik, juga perlu

    dilakukan pengkajian historikal. Demikian pula sebagai upaya perbandingan antar

    berbagai etnis, pendekatan komparatif juga penting digunakan. Karena itu, ketiga

  • SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014

    102

    pendekatan studi komunitas tersebut digunakan secara eklektik, sehingga semua

    fakta dan ganjaran ekstrinsik dan intrinsik dapat diungkap secara lebih transparan

    dan komprehensif.

    Kota Kendari ditetapkan sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa

    Kota Kendari merupakan pusat lalu-lintas perdagangan yang tergolong paling pesat

    di Sulawesi Tenggara, yang pada umumnya migran Bugis Makassar sebagai suku

    bangsa yang serumpun dan sama-sama menjadikan budaya Siri-Napacce sebagai fokus

    kebudayaan, menempati dan menyelenggarakan kehidupan sosial ekonomi di lokasi

    tersebut. Sumber informasi dalam penelitian ini dibagi ke dalam kelompok sumber

    informasi utama dan penunjang. Dalam hal ini elite masyarakat yang terdiri atas

    tokoh adat, tokoh agama, tokoh pendidik, tokoh pemerintahan, elite pemuda, elite

    politik, dan elite ekonomi dari kalangan orang Bugis Makassar yang berdomisili di

    Kota Kendari menjadi sumber informasi utama. Namun dari beberapa individu

    tersebut, maka secara khusus bagi mereka yang bergelar Puanggaderen (pemimpin

    adat) dan Puangmatoa (orang yang dituakan) dalam komunitas Bugis Makassar

    ditentukan sebagai key informan dengan teknik snow balling. Sementara migran Bugis

    Makassar yang kategori pelaku-pelaku ekonomi di tempat-tempat perbelanjaan akan

    menjadi objek pengamatan dan sekaligus menjadi sumber informasi penunjang.

    Namun semua pihak yang dinilai layak memberikan informasi dapat dijadikan

    sumber data.

    Dalam upaya memperoleh jawaban atas permasalahan penelitian ini,

    diperlukan seperangkat data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh

    dengan cara menelaah sumber-sumber tertentu yang terkait dengan judul penelitian.

    Sementara untuk menggali data primer dilakukan dengan pengamatan (observasi

    partisipatif), wawancara mendalam (deep interview) dan Focus Group Discussion (FGD).

    Sedangkan untuk mendalami subyektivitas migran Bugis Makassar, diselenggarakan

    melalui metode biografi atau life history method (Tarwotjo, 1994; Soetrisno, 1995;

    Mikkelsen, 2001). Data yang berhasil dirampungkan dianalisis baik pada saat

    penelitian sedang berlangsung maupun setelah usai penelitian lapangan. Teknik

    analisis data yang bersifat kualitatif interpretatif yang diproses melalui upaya

    penelaan data, reduksi data, kategorisasi data, pemeriksaan keabsahan data dan

    hingga pada penafsiran data (Miles dan Huberman, 1992). Tindakan sosial

    diinterpretasi sesuai dengan subjective meaning dari semua fenomena sosial yang

    berorientasi pada konsep understanding of social action (Guba, 1985; Tarwotjo, 1994;

    Wuisman, 1996).

    PEMBAHASAN

    Keberagaman suku bangsa yang ada di Indonesia membuat suatu dinamika

    tersendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap suku memiliki budaya

    tertentu sebagai investasi moral yang ditanam oleh para leluhur yang kemudian

    menjadi panutan bagi seseorang yang terikat secara transendensial terhadap sukunya

    masing-masing. Di dalam ikatan transendensial ini teraktualisasi akan kemampuan

  • Bakri Yusuf dan Peribadi: Analisis Makna Kontemporer Budaya Siri Na Pacce

    103

    beradaptasi, menjalin harmonisasi, saling melengkapi kekurangan, solidaritas sosial

    serta rasa gotong-royong. Tak terkecuali, dalam kehidupan keseharian masyarakat

    suku Bugis Makassar terdapat filosofi dasar dalam hidup (the way of life) yang disebut

    dengan Siri na pacce. Siri na pacce ini merupakan jargon yang mencerminkan watak

    dan identitas orang Bugis Makassar dimana pun berada. Falsafah kehidupan

    tertanam sebagai ajaran nenek moyang yang secara turun temurun dianggap sebagai

    dasar dari etika moral.

    Dalam upaya menganalisis dan mendeskripsikan pergeseran makna substansial

    dan pengamalan dari Siri-Napacce di kalangan migran Bugis Makassar dewasa ini,

    maka pandangan Mattulada tentang Ade yang disebut Pangadereng dalam bahasa

    Bugis dan Pangadakkang dalam bahasa Makassar terkandung nilai budaya Siri-

    Napacce, dimana salah faktor pemicu yang menyebabkan tingginya semangat dan etos

    kerja adalah karena adanya rasa sangat malu (Masiri Ladde) jika mereka gagal dan

    kemudian mendengar percikan kalimat perumpamaan dari keluarga dan kerabatnya.

    Hal ini hanya merupakan salah satu faktor saja, karena ada beberapa nilai lain yang

    mempengaruhi, yakni niat awal untuk naik ke tanah Suci Makkah ketika memulai

    suatu usaha serta didasari dengan prinsip Resopa Temmanginggi Naletei pammase (kerja

    keras yang tak kenal lelah, maka menjadi jembatan mengalirnya rezeki dan kasih

    sayang Tuhan).

    Wawancara dengan seorang tokoh adat Bugis Makassar yang sudah cukup

    lama bermukim di Kota Kendari mengungkapkan bahwa secara ideal,

    pengejawantahan siri dianggap sebagai pandangan hidup bagi masyarakat Suku

    Bugis Makassar. Pandangan hidup ini mengandung nilai-nilai luhur yang bermakna

    rasa malu, oleh karena itu menjaga siri bagi setiap orang Bugis Makassar seyogyanya

    merupakan suatu kewajiban, apalagi diperantauan. Jika demikian, menjaga eksistensi

    siri bagi orang Bugis Makassar di perantauan merupakan simbol keteguhan hati

    dalam mempertahankan rasa malu (wawancara, 11 Nopember 2012).

    Hal tersebut senada dengan pernyataan Muh. Ramli Sewa, Ketua Arisan Warga

    Makassar yang berada di Kota Kendari dengan nama Parapunganta dia mengatakan

    bahwa rasa malu, dapat berupa malu karena dipermalukan (siri ri pakasiri) yakni

    bilamana terjadi seseorang dihina dan diperlakukan diluar batas kemanusiaan, maka

    ia (atau keluarganya jika ia sendiri tidak mampu) harus menegakkan sirinya untuk

    mengembalikan kehormatan yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak, ia akan

    disebut mate siri (matinya harkat dan martabatnya sebagai manusia). Untuk orang

    Bugis Makassar, tidak ada tujuan atau alasan yang lebih tinggi dari pada menjaga

    sirinya, dan ketika tersinggung atau dipermalukan (nipaka siri) mereka lebih memilih

    mati dari pada hidup tanpa siri. Rasa malu juga dapat dimaknai dari sisi lain yaitu apa

    yang disebut dengan Siri Masiri, artinya pandangan hidup yang bermaksud untuk

    mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan

    dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi siri itu sendiri. Maknanya adalah

    bahwa jenis siri ini menimbulkan tekad yang kuat dan menjadi pemotivasi hebat

    untuk maju (wawancara, 14 Nopember 2012).

  • SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014

    104

    Oleh karena itu, secara fenomenal dapat kita saksikan hampir seantero Kota

    Kendari dan terkhusus di kawasan geliat ekonomi (Mall Mandonga) migran Bugis

    Makassar hampir mendominasi mulai yang pedagang emperan sampai yang

    tergolong besar dengan stand-stand penjualan (outlet) yang permanen, sehingga

    muncullah beberapa nama-nama stand yang menyiratkan asal usul mereka misalnya

    Toko Sinar Ujung, Cahaya Bone, Soppeng Taylor, dan sebagainya. Eksistensi

    komunitas Bugis Makassar khususnya di Mall Mandonga menurut beberapa

    informan bahwa secara emosional, kami memang tidak pernah melupakan makna

    siri sebagai perasaan malu jika kami gagal di perantauan, inilah yang menjadi

    pemicu dan pemotivasi yang paling ampuh bagi kami dalam mengarungi kancah

    dinamika ekonomi khususnya di bidang perdagangan (wawancara, 12 Nopember

    2012).

    Dalam konteks perdagangan, tentunya mengalami pasang surut dalam

    menggelutinya. Orang Bugis Makassar khususnya yang beraktivitas ekonomi di Mall

    Mandonga masih cenderung mengamalkan nilai-nilai siri, na pacce sebagai sebuah

    motivasi hidup yang mengandung filosofi budaya tentang tanggung jawab, sanggup

    memikul rasa pahit, pantang lari atau mengundurkan diri, berani mengambil resiko.

    Dalam kesehariannya, terbuka kepada pelanggang, jujur, ramah, berperilaku baik,

    pantang menyerah, bertanggung jawab atas konsekuensi yang mungkin merugikan

    pembeli. Jadi, filosofi Sirina pacce dapat mengejawantahkan bahwa orang Bugis

    Makassar adalah manusia tangguh, berani mengambil risiko, tetapi tetap dalam

    koridor pacce (bertanggung jawab).

    Secara fenomenal, budaya siri na pacce di kalangan anak keturunan Bugis

    Makassar saat ini tidak terlalu jauh mengalami pergeseran makna dari pandangan

    masa lalu. Karena sesungguhnya esensi dari nilai-nilai luhur yang terkandung dalam

    konsep sirina pacce masih senantiasa menjadi pegangan bagi masyarakat etnik Bugis

    Makassar dalam menyelenggarakan praktik kehidupan sosial, ekonomi maupun

    politiknya. Walaupun tidak lagi seketat dengan yang dipraktikkan di masa lalu. Hal

    ini disebabkan oleh pengaruh kehidupan modernisasi yang merupakan sebuah fakta

    sosial yang senatiasa mengitari masyarakat Indonesia dewasa ini tanpa terkecuali

    masyarakat etnik Bugis Makassar di Kota Kendari.

    Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa esensi dari nilai-

    nilai filosofis yang terkandung dalam konsep siri na pacce yang masih sangat

    diperjuangkan oleh masyarakat Bugis Makassar saat ini diperantauannya di Kota

    Kendari adalah mengenai kewajiban untuk menjaga kehormatan atau harga diri

    dalam segala aspek kehidupan. Menjaga kehormatan atau harga diri merupakan

    tujuan hidup tertinggi bagi orang Bugis Makassar sehingga kehilangan nyawa karena

    mempertahankan harga diri atau sirinya dapat dikatakan mati dengan cara yang

    terhormat. Dengan demikian, berarti Siri Napacce merupakan refleksi dari sebuah

    pemikiran jernih. Bukan sebaliknya, yakni perbuatan yang membabi buta

    sebagaimana dipahami dan dihayati oleh kebanyakan orang Bugis Makassar,

    terutama yang berdomisli di wilayah pedesaan Sulawesi Selatan masa lalu. Hal inilah

  • Bakri Yusuf dan Peribadi: Analisis Makna Kontemporer Budaya Siri Na Pacce

    105

    yang dimaksudkan Mattulada bahwa Siri menjadi sumber panggilan dari Pacce, karena

    Sirilah yang menimbulkan kewajiban masing-masing untuk saling memelihara batas

    yang dapat menimbulkan kesadaran dan pikiran yang rasional. Jika hal ini dipahami

    dengan baik, maka setiap orang merasa sepadan Sirinya dan kepunyaannya juga

    dibatasi oleh kesadaran tentang adanya Pacce yang mendorong untuk saling

    menolong dan saling bantu membantu.

    Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka Maula Nusantara mengatakan

    bahwa falsafah keberanian orang Bugis Makassar bukan seperti ini dadaku, mana

    dadamu tidak sesombong dan searogan itu, falsafah keberanian orang-orang Bugis

    Makassar itu bijak. Watak yang keras tidak harus menjadikan diri kasar dan

    semaunya dalam bertindak. Berani karena berada pada posisi yang benar, dan

    memang harus diperjuangkan. Kehormatan yang terjaga dan bisa kontuinitas bagi

    komunitas Bugis Makassar sudah dapat dipastikan bahwa itu artinya ada roh etika

    budaya yang mengilhaminya, dan itu adalah adanya siri na pacce. Segelintir informan

    yang berhasil diwawancarai mengatakan bahwa setelah sampai di daerah rantau

    (Kota Kendari) kami hampir melepas semua identitas lokal budaya asal (Bugis

    Makassar), kecuali siri na pacce yang kami maknai sebagai simbol menjaga

    kehormatan dalam melakukan segala aktivitas keseharian terutama dalam berusaha

    secara ekonomi.

    Selain dari pada kewajiban untuk menjaga dan mempertahankan kehormatan

    atau harga diri migran Bugis Makassar di Kota Kendari saat ini juga memaknai siri

    dalam bentuk kesuksesan meraih prestasi ekonomi. Kesuksesan dibidang ekonomi

    dianggap sebagai salah satu simbol yang menegaskan bahwa generasi Bugis Makassar

    masih mampu mempertahankan sirinya. Keberhasilan atau kesuksesan orang Bugis

    Makassar sebagai komunitas pendatang dari beberapa daerah di Sulawesi Selatan

    terhadap berbagai bidang usaha mata pencaharian yang ditekuni, tampak tidak hanya

    merangsang dan sekaligus mengundang penduduk setempat untuk ikut serta

    mengikuti jejak langkah mereka dalam hal mengembangkan kehidupan sosial

    ekonomi. Akan tetapi, di balik keberhasilan dan kesuksesan tersebut, juga diduga

    dapat menjadi bom waktu sebagai akibat dari gejala kecemburuan sosial ekonomi.

    Menurut beberapa informan dari kalangan elite-elite Bugis Makassar yang

    berdomosili di Kota Kendari bahwa terjadi jenis persaingan dikalangan pelaku

    ekonomi Bugis Makassar yakni terus berupaya agar dianggap sebagai orang yang

    berhasil misalnya banyak hartanya, memiliki rumah yang besar dan baik, mempunyai

    tanah yang luas, sudah menunaikan ibadah Haji hingga lebih dari sekali dan mampu

    mewariskan sejumlah modal serta mampu menyekolahkan anak-anaknya. Tentu saja

    hal ini baik-baik saja, jika didasari dengan persaingan yang sehat serta dilakukan

    dengan cara yang Islami. Tak pelak lagi, kalau seluruh karya, rasa dan ciptanya

    merupakan instrumen yang dapat dipergunakan untuk beribadah.

    Sebagian juga informan menandaskan bahwa sebagai orang Bugis Makassar

    adalah sangat pantang untuk menyerah dan sangat pantang untuk meminta-minta,

    sehingga diakui bahwa selama dia berusaha, tidak pernah mengemis baik kepada

  • SOCIETAL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014

    106

    orang lain maupun kepada pemerintah. Karena menurut mereka bahwa Naiya

    Tauppunna Siri Denapuji Minreng, Tennapuji to Millau (orang yang mempunyai harga diri

    adalah tidak suka berutang dan tidak suka pula minta-minta). Dapat dikatakan

    bahwa hampir semua bidang usaha informal yang ada dan tampak berhasil di Kota

    Kendari adalah ditekuni dan dikembangkan oleh generasi migran Bugis Makassar.

    Akan tetapi secara khusus dari lokasi utama penelitian, potret anak keturunan Bugis

    Makassar yang banyak yang berhasil meraih prestasi sosial ekonomi di bidang

    perdagangan di pusat perdagangan Mall Mandonga Kendari.

    PENUTUP

    Berdasarkan uraian analisis deskriptif yang dikaji dalam perspektif dan

    pendekatan studi komunitas di atas, disimpulkan makna kontemporer dari nilai

    budaya Siri-Napacce yang tampak masih dihayati dan diamalkan sepenuhnya oleh

    orang Bugis Makassar di Kota Kendari khususnya komunitas pedagang di Mall

    Mandonga hingga saat ini adalah nilai Rapeng atau Akkalarapangeng. Faktor inilah

    yang menjadi kunci sukses dalam menekuni dan mengembangkan berbagai

    kehidupan sosial, terutama di bidang sosial ekonomi. Nilai tersebut merupakan

    kiasan dan perumpamaan yang mengandung makna sugesti dan motivasi untuk

    tampil bekerja keras.

    Dalam konteks masa kini, makna budaya siri na pacce direfleksikan dalam

    aktualisasi yang tampak secara lebih konkrit di dalam kehidupan sosial ekonomi

    sehari-hari bagi migran Bugis Makassar di Kota Kendari, adalah ditunjukkan ke

    dalam bentuk berbagai simbol status sosial yang berhasil dicapai. Refleksi dan

    aktualisasi nilai Siri-Napacce dalam berbagai kehidupan sosial kawula muda Bugis

    Makassar, yakni merasa sangat malu jika tidak sukses memperoleh prestasi yang

    baik. Siri-Napacce dalam pandangan generasi terakhir migran Bugis Makassar di Kota

    Kendari, baik dalam bentuk pemahaman maupun dalam bentuk penghayatan dan

    pengamalan telah mengalami pergeseran. Disarankan agar pemahaman yang masih

    tersisa sebagaimana yang dipahami oleh kawula muda yang merasa malu kalau tidak

    berprestasi, pejabat di berbagai lembaga yang tetap merasa sangat malu jika

    melanggar aturan, para pedagang di pasar yang merasa sangat malu kalau gagal

    berusaha mengembangkan usahanya, dapat dikembangkan dalam ruang lingkup yang

    lebih luas atau ke dalam seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

    bernegara.

    DAFTAR PUSTAKA

    Abidin, Zainal, Andi. 1983. Persepsi Orang Bugis, Makassar Tentang Hukum, Negara dan

    Dunia Luar. Bandung: Alumni.

    Gonggong, Anhar. 1992. Abdul Kahar Muzaqqar, Dari Patriot Hingga Pemeberontak.

    Jakarta: Gramedia.

  • Bakri Yusuf dan Peribadi: Analisis Makna Kontemporer Budaya Siri Na Pacce

    107

    Hamid, Abdullah. 1985. Manusia Bugis Makassar, Suatu Tinjauan Historis Terhadap Pola

    dan Tingkah Laku Dan Pandangan Hidup Bugis Makassar. Jakarta: Inti Idayu

    Press.

    Selomah, Nur, Jabal, H. 2006. Catatan Harian. Tidak Dipublikasi. Kendari.

    Ihromi, T.O. 1999. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor

    Indonesia.

    Koentjaraningrat. 1990. Beberapa Pokok Antropoli Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

    Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya. Yokyakarta:

    LKIS.

    Mahmud, Tang. 1997. Kebudayaan Bugis: Menegakkan Siri, dalam Sistem Budaya

    Indonesia, Disunting oleh M. Junus Melalatoa. Jakarta: Pamator.

    Manners A. Robert dan Kaplan David. 2002. Teori Budaya. Diantar oleh Dr. PM.

    Laksono. Yokyakarta: Pustaka Pelajar.

    Milles, B. Matthew & Huberman, Michael, A. 1990. Analisis Data Kualitatif, Buku

    Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI-Press,

    Purba, Jonny (Peny.). 2002. Pengelolaan Lingkungan Sosial. Jakarta: Yayasan Obor

    Indonesia.

    Sumijati, AS (Ed.). 2001. Manusia dan Dinamika Budaya, dari kekerasan Sampai

    Baratayuda, Yokyakarta: Fakultas Sastra UGM, Kerjasama dengan Bigraf

    Publishing.

    Tarimana, Abdurrauf. 1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka.

    Tarwotjo. 1994. Etnografi, Suatu Tantangan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Balai Pustaka.