Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

39
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perayaan Galungan bagi umat Hindudi Bali sudah sangat memasyarakat dari abad keabad. Tetapi sangat kita sayangkan memasyarakatnya Galungan tersebut sangat tidak seimbang antara Tattwa atau kasuksman Galungan,Susila dengan Upakaranya. Artinya antara Tattwa yang tercamtum dalam teks pustaka Sundaraigama dengan wujud susila dan upakara Galungan dalam kehidupan empirisnya sampai saat ini masih tidak nyambung. Bahkan kadang-kadang bertentangan.antara Tattwa Galungan yang demikian luhur dan idial dinyatkan dalam teks Pustakanya dengan kenyataan perayaan Galungan dalamkehidupan empiris setiap dalam kehidupan empiris setiap perayaan Galungan yang dirayakan setiap enam bulan wuku (210 hari). Ada kalanya disuatu waktu dan tempat perayaan Galungan lebih menonjolkan perayaan Galungan dengan pesta-pesta pora yang bersifat hedonis. Makan masakan khas daerah yang lebih nikmat dari sehari- harinya.Demikian pula Galungan diwujudkan dengan berpakaian serba baru,pergi ketempat-tempat hiburan dan melakukan hal-hal yang lebih menekankan keikmatan indria. 1

Transcript of Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

Page 1: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perayaan Galungan bagi umat Hindudi Bali sudah sangat memasyarakat

dari abad keabad. Tetapi sangat kita sayangkan memasyarakatnya Galungan

tersebut sangat tidak seimbang antara Tattwa atau kasuksman Galungan,Susila

dengan Upakaranya. Artinya antara Tattwa yang tercamtum dalam teks pustaka

Sundaraigama dengan wujud susila dan upakara Galungan dalam kehidupan

empirisnya sampai saat ini masih tidak nyambung. Bahkan kadang-kadang

bertentangan.antara Tattwa Galungan yang demikian luhur dan idial dinyatkan

dalam teks Pustakanya dengan kenyataan perayaan Galungan dalamkehidupan

empiris setiap dalam kehidupan empiris setiap perayaan Galungan yang dirayakan

setiap enam bulan wuku (210 hari).

Ada kalanya disuatu waktu dan tempat perayaan Galungan lebih

menonjolkan perayaan Galungan dengan pesta-pesta pora yang bersifat hedonis.

Makan masakan khas daerah yang lebih nikmat dari sehari-harinya.Demikian pula

Galungan diwujudkan dengan berpakaian serba baru,pergi ketempat-tempat

hiburan dan melakukan hal-hal yang lebih menekankan keikmatan indria.

Pada hal Galungan adalah sebagai suatu peringatan untuk menajamkan

daya spiritual untuk mensinergikan penerapan Jnyana atau ilmu pengetahuan suci

untuk mencerahkan hati nurani umat sehingga dapat membangun kehidupan yang

cerah dan bergaiarah untuk mengamalkan Dharma. Galungan bukan sebagai

media untuk lebih mendinamisir dominasi indria dalam diri. Sesungguhnya untuk

mengimplementasikan Tattwa Galungan banyak hal yang dapat kita perbuat

dengan mengembangkan Tattwa Galungan kedalam berbagai program nyata

sehingga Tattwa Galungan menjadi nyata dalam wujud susila dan upakara nya,

Inilah tujuan utama penulisan tentang Galungan dan Kuningan dalam tulisan

singkat ini.

1

Page 2: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

1.2. Rumusan Masalah

Untuk membatasi pembahasan, penulis hanya membahas beberapa rumusan

masalah yaitu:

1. Bagaimana Pengertian, makna filosofis serta Macam-macam

Galungan?

2. Bagaimana Rangkaian Perayaan hari raya Galungan Tersebut?

3. Bagaimana pelaksanaan Galungan di India?

1.3. Tujuan Penulisan

Ada pun tujuan dari penulisan paper ini yaitu:

1. Memahami Pengertian, makna filosofis serta Macam-macam

Galungan.

2. Memahami Rangkaian Perayaan hari raya Galungan Tersebut.

3. Mengetahui Galungan di India.

4. Memenuhi tugas mata kuliah acara Hindu II.

2

Page 3: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian, makna filosofis serta Macam-macam Galungan.

2.1.1. Pengertian umum

Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang

atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti

menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan,

sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya

berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian

pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya

sama : manis.

Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan

ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama

di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra

(mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama

RI)memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia

sebelum hari raya itu popular dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan

pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi.

Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah

namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.

Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut

lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama

Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi.

Dalam lontar itu disebutkan:

"Punang act Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15,

isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya",

Artinya:

Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari

Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka.

Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

3

Page 4: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara

meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba

entah apa dasar pertimbangannya pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu

dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk

pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan

dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah

datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif

pendek.

Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada

tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat

terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada

lontar Sri Jayakasunu.

Dalamn lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa

heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur

pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan

tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilahDewa Sraya artinya

mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri,

tak jauh dari Pura Besakih.

Karena kesungguhannya melakukan tapa brata. Raja Sri Jayakasunu

mendapatkan pawisik atau“bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa

Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa

leluhurnya selalu berumur pendekkarena tidak lagi merayakan Galungan.

Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali

merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang

pernah berlaku. Disamping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu

memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).

Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah

melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan

kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya.

Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu,

Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali

4

Page 5: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

Sejarah Hari Raya Galungan masih merupakan misteri. Dengan mempelajari

pustaka-pustaka, diantaranya Panji Amalat Rasmi (Jaman Jenggala) pada abad

ke XI di Jawa Timur, Galungan itu sudah dirayakan. Dalam Pararaton jaman

akhir kerajaan Majapahit pada abad ke XVI, perayaan semacam ini juga sudah

diadakan. Menurut arti bahasa, Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa

Sunda terdapat kata Galungan yang berarti berperang.

Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan

mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/

Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang

ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya

ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya.

Pada hari itulah umat angayubagia, bersyukur atas karunia Ida Sanghyang

Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini.

Ngaturang maha suksmaning idép, angayubagia adalah suatu pertanda

jiwa yang sadar akan Kinasihan, tahu akan hutang budi. Yang terpenting,

dalam pelaksanaan upakara pada hari-hari raya itu adalah sikap batin.

Mengenai bebanten tidak kami tuliskan secara lengkap dan terinci. Hanya

ditulis yang pokok-pokok saja menurut apa yang umum dilakukan oleh umat.

Namun sekali lagi, yang terpenting adalah kesungguhan niat dalam batin.

Dalam rangkaian peringatan Galungan, pustaka-pustaka mengajarkan

bahwa sejak Redite Pahing Dungulan kita didatangi oleh Kala-tiganing

Galungan. Sang Kala Tiga ialah Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan

dan Sang Bhuta Amangkurat. Disebutkan dalam pustaka-pustaka itu: mereka

adalah simbul angkara (keletehan). Jadi dalam hal ini umat berperang,

bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi kala keletehan dan adharma.

Berjuang, berperang antara dharma untuk mengalahkan adharma. Memilik

nama-nama itu, dapatlah kiranya diartikan sebagai berikut:

Hari pertama = Sang Bhuta Galungan.

Galungan berarti berperang/ bertempur. Berdasarkan ini, boleh kita artikan

bahwa pada hari Redite Pahing Dungulan kita baru kedatangan bhuta (kala)

yang menyerang (kita baru sekedar diserang).

Hari kedua = Sang Bhuta Dungulan.

5

Page 6: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

Ia mengunjungi kita pada hari Soma Pon Dungulan keesokan harinya. Kata

Dungulan berarti menundukkan/ mengalahkan.

Hari ketiga = Sang Bhuta Amangkurat

Hari Anggara Wage Dungulan kita dijelang oleh Sang Bhuta Amangkurat.

Amangkurat sama dengan menguasai dunia. Dimaksudkan menguasai dunia

besar (Bhuwana Agung), dan dunia kecil ialah badan kita sendiri (Bhuwana

Alit).

Pendeknya, mula-mula kita diserang, kemudian ditundukkan, dan

akhirnya dikuasai. Ini yang akan terjadi, keletehan benar-benar akan menguasai

kita, bila kita pasif saja kepada serangan-serangan itu. Dalam hubungan inilah

Sundari-Gama mengajarkan agar pada hari-hari ini umat den prayitna anjekung

jnana nirmala, lamakane den kasurupan. Hendaklah umat meneguhkan hati

agar jangan sampai terpengaruh oleh bhuta-bhuta (keletehan-keletehan) hati

tersebut. Inilah hakikat Abhya-Kala (mabiakala) dan metetebasan yang

dilakukan pada hari Penampahan itu.

Menurut Pustaka (lontar) Djayakasunu, pada hari Galungan itu Ida

Sanghyang Widhi menurunkan anugrah berupa kekuatan iman, dan kesucian

batin untuk memenangkan dharma melawan adharma. Menghilangkan

keletehan dari hati kita masing-masing. Memperhatikan makna Hari Raya

Galungan itu, maka patutlah pada waktu-waktu itu, umat bergembira dan

bersuka ria. Gembira dengan penuh rasa Parama Suksma, rasa terimakasih, atas

anugrah Hyang Widhi. Gembira atas anugrah tersebut, gembira pula karena

Bhatara-bhatara, jiwa suci leluhur, sejak dari sugi manek turun dan berada di

tengah-tengah pratisentana sampai dengan Kuningan.

Penjor terpancang di muka rumah dengan megah dan indahnya. Ia

adalah lambang pengayat ke Gunung Agung, penghormatan ke hadirat Ida

Sang Hyang Widhi. Janganlah penjor itu dibuat hanya sebagai hiasan semata-

mata. Lebih-lebih pada hari raya Galungan, karena penjor adalah suatu

lambang yang penuh arti. Pada penjor digantungkan hasil-hasil pertanian

seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang

(secarik kain) dan uang. Ini mempunyai arti: Penggugah hati umat, sebagai

momentum untuk membangunkan rasa pada manusia, bahwa segala yang

6

Page 7: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

pokok bagi hidupnya adalah anugrah Hyang Widhi. Semua yang kita

pergunakan adalah karuniaNya, yang dilimpahkannya kepada kita semua

karena cinta kasihNya. Marilah kita bersama hangayu bagia, menghaturkan

rasa Parama suksma.

Kita bergembira dan bersukacita menerima anugrah-anugrah itu, baik

yang berupa material yang diperlukan bagi kehidupan, maupun yang

dilimpahkan berupa kekuatan iman dan kesucian batin. Dalam mewujudkan

kegembiraan itu janganlah dibiasakan cara-cara yang keluar dan menyimpang

dari kegembiraan yang berdasarkan jiwa keagamaan. Mewujudkan

kegembiraan dengan judi, mabuk, atau pengumbaran indria dilarang agama.

Bergembiralah dalam batas-batas kesusilaan (kesusilaan sosial dan kesusilaan

agama) misalnya mengadakan pertunjukkan kesenian, malam sastra,

mapepawosan, olahraga dan lain-lainnya. Hendaklah kita berani merombak

kesalahan-kesalahan/ kekeliruan-kekeliruan drsta lama yang nyata-nyata tidak

sesuai atau bertentangan dengan ajaran susila. Agama disesuaikan dengan desa,

kala dan patra. Selanjutnya oleh umat Hindu di Bali dilakukan

persernbahyangan bersama-sama ke semua tempat persembahyangan,

misalnya: di sanggah/ pemerajan, di pura-pura seperti pura-pura Kahyangan

Tiga dan lain-lainnya. Sedangkan oleh para spiritualis, Hari Raya Galungan ini

dirayakan dengan dharana, dyana dan yoga semadhi.

Persembahan dihaturkan ke hadapan Ida Sanghyang Widhi dan kepada

semua dewa-dewa dan dilakukan di sanggah parhyangan, di atas tempat tidur,

di halaman, di lumbung, di dapur, di tugu (tumbal), di bangunan-bangunan

rumah dan lain-lain. Seterusnya di Kahyangan Tiga, di Pengulun Setra

(Prajapati), kepada Dewi Laut (Samudera) Dewa Hutan (Wana Giri) di

perabot-perabot / alat-alat rumah tangga dan sebagainya.

Widhi-widhananya untuk di Sanggah/ parhyangan ialah: Tumpeng

penyajaan, wewakulan, canang raka, sedah woh, penek ajuman, kernbang

payas serta wangi-wangian dan pesucian. Untuk di persembahyangan (piasan)

dihaturkan tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan serta dengan

pelengkapnya. Lauk pauknya sesate babi dan daging goreng, daging itik atau

ayarn, dibuat rawon dan sebagainya. Sesudah selesai menghaturkan upacara

7

Page 8: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

dan upakara tersebut kemudian kita menghaturkan segehan tandingan

sebagaimana biasanya, untuk pelaba-pelaba kepada Sang Para Bhuta Galungan,

sehingga karena gembiranya mereka lupa dengan kewajiban- kewajibannya

mengganggu dan menggoda ketentraman batin manusia.

Demikianlah hendaknya Hari Raya Galungan berlaku dengan aman dan

diliputi oleh suasana suci hening, mengsyukuri limpahan kemurahan Ida

Sanghyang Widhi untuk keselamatan manusia dan seisi dunia. Pada hari

Saniscara Keliwon Wuku Kuningan (hari raya atau Tumpek Kuningan), Ida

Sanghyang Widhi para Dewa dan Pitara-pitara turun lagi ke dunia untuk

melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan pokok tersebut.

Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan

sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai

manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan

sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada

umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi

nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang

melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua. Demikian secara

singkat keterangan-keterangan dalam merayakan hari Raya Galungan dan

Kuningan dalam pelaksanaan dari segi batin..

2.1.2. Makna Filosofis Galungan dan Kuningan

Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan

spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari

adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma)

dalam diri manusia.

Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan

kecendrungan karaksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa

sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah

hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan

keraksasaan. Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk

mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan

Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma.

8

Page 9: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan

dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama

dijelaskan sebagai berikut:

Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi,

galang apadang maryakena sarwa byapaning idep.

Artinya:

Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya

mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan

pikiran.

Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat

pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang

inilah wujuddharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu

(byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama

inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan

menangnya dharma melawan adharma.

Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang

dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut

Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya

luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari

manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang,

enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa

pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista

batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).

Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan

peralatan upacara di masing-masing tempat suci.

Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan:

Kalinggania amretista raga tawulan (Olehkarenanya menyucikan badan

jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri

sendiri. Kata Bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam

diri. Dan itulah yang disucikan.

9

Page 10: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa

turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan

anyekung Jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha

Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang

pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.

Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari

ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam

lontar disebutkan, “Pangastawaningsang ngamongyoga samadhi.”

Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan

Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha

Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut

pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi

sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini

hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri.

Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya

Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan.

Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat

pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-

tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak

saudara sambil bergembira-ria.

Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari

Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan

meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaituhidup sehat panjang umur.

Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta

gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata,

Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan.

Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan.

Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan

Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran).

10

Page 11: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar

Sunarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya

dilaksanakan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah

hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara

“diceritakan” kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maringSwarga).

Hari Raya Kuningan atau sering disebut Tumpek Kuningan jatuh pada

hari Sabtu, Kliwon, wuku Kuningan. Pada hari ini umat melakukan pemujaan

kepada para Dewa, Pitara untuk memohon keselamatan, kedirgayusan,

perlindungan dan tuntunan lahir-bathin. Pada hari ini diyakini para Dewa,

Bhatara, diiringi oleh para Pitara turun ke bumi hanya sampai tengah hari saja,

sehingga pelaksanaan upacara dan persembahyangan Hari Kuningan hanya

sampai tengah hari saja. Sesajen untuk Hari Kuningan yang dihaturkan di

palinggih utama yaitu tebog, canang meraka, pasucian, canang burat wangi. Di

palinggih yang lebih kecil yaitu nasi selangi, canang meraka, pasucian, dan

canang burat wangi. Di kamar suci (tempat membuat sesajen/paruman)

menghaturkan pengambeyan, dapetan berisi nasi kuning, lauk pauk dan daging

bebek. Di palinggih semua bangunan (pelangkiran) diisi gantung-gantungan,

tamiang, dan kolem. Untuk setiap rumah tangga membuat dapetan, berisi

sesayut prayascita luwih nasi kuning dengan lauk daging bebek (atau ayam).

Tebog berisi nasi kuning, lauk-pauk ikan laut, telur dadar, dan wayang-

wayangan dari bahan pepaya (atau timun). Tebog tersebut memaki dasar

taledan yang berisi ketupat nasi 2 buah, sampiannya disebut kepet-kepetan. Jika

tidak bisa membuat tebog, bisa diganti dengan piring.

Sesayut Prayascita Luwih : dasarnya kulit sesayut, berisi tulung agung

(alasnya berupa tamas) atasnya seperti cili. Bagian tengahnya diisi nasi, lauk-

pauk, di atasnya diisi tumpeng yang ditancapkan bunga teratai putih, kelilingi

dengan nasi kecil-kecil sebanyak 11 buah, tulung kecil 11 buah, peras kecil,

pesucian, panyeneng, ketupat kukur 11 buah, ketupat gelatik, 11 tulung kecil,

kewangen 11 pasucian, panyeneng, buah kelapa gading yang muda (bungkak),

lis bebuu, sampian nagasari, canang burat wangi berisi aneka kue dan buah.

Sesajen ini dapat juga dipakai untuk sesajen Odalan, Dewa Yadnya, Resi

Yadnya dan Manusa Yadnya.

11

Page 12: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

Beberapa perlengkapan Hari Kuningan yang khas yaitu: Endongan

sebagai simbol persembahan kepada Hyang Widhi. Tamyang sebagai simbol

penolak malabahaya. Kolem sebagai simbol tempat peristirahatan hyang

Widhi, para Dewa dan leluhur kita.

Pada hari Rabu, Kliwon, wuku Pahang, disebut dengan hari Pegat

Wakan yang merupakan hari terakhir dari semua rangkaian Hari Raya

Galungan-Kuningan. Sesajen yang dihaturkan pada hari ini yaitu sesayut

Dirgayusa, panyeneng, tatebus kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan

demikian berakhirlah semua rangkaian hari raya Galungan-Kuningan selama

42 hari, terhitung sejak hari Sugimanek Jawa. (Iloveblue)

Jadi inti dari makna hari raya kuningan adalah memohon keselamatan,

kedirgayusan, perlindungan dan tuntunan lahir-bathin kepada para Dewa,

Bhatara, dan para Pitara.

Demikianlah makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut

pelaksanaan upacaranya.

2.1.3. Macam-macam Galungan

Meskipun Galungan itu disebut “Rerahinan Gumi” artinya semua umat

wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan

sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke

abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu:

a. Galungan (tanpa ada embel-embel),

b. Galungan Nadi dan

c. Galungan Nara Mangsa.

Penjelasannya adalah sebagai berikut:

a. Galungan

Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan

kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar

Sundarigama disebutkan “Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan.”

Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan.

12

Page 13: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar

menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau

Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan,

saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.

b. Galungan Nadi

Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan

lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang

jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka

(882 Masehi) atau pada bulan Oktober.

Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan

pertama itu bagaikan Indra Loka. Ini menandakan betapa meriahnya

perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa

adalah dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang

merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa kalau upacara

agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan

melakukan upacara lebih semarak. Misalnya upacara ngotoninatau upacara

hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan purnama

mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah.

Disamping karena ada keyakinan bahwa hari Purnama itu adalah hari yang

diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya

terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap). Karena itu

Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi.

Galungan Nadi ini datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10

tahun sekali.

c. Galungan Nara Mangsa

Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau

sasih Kesanga. Dalam lontar Sundarigama disebutkan sebagai berikut:

"Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga,

rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa ngaran. “

Artinya:

13

Page 14: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungarniya

dan bila bertepatan dengan sasih Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara

Mangsa namanya.

Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang

hampir sama sebagai berikut:

"Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali, poma haywa lali

elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu, anemu wuku Dungulan mwang

tilem ring Galungan ika, tan wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau

ngaranya yon mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan

anemu sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih Kapitu,

sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru wong Baline pabanten

caru ika, nasi cacahan maoran keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring

Dalem yanya manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah".

Artinya:

Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang) kotornya hari (liari buruk)

bagi manusia, semoga tidak lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu

bertepatan dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan itu,

tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya, bi]a demikian tidak

dibenarkan menghaturkan sesajen yang berjsi tumpeng. Dan bila

bertepatan dengan sasih Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan

sasih kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya. Seyogyanya

orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen caru, itu nasi cacahan

dicampur ubi keladi. Bila tidak mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam

(maksudnya bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.

Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna

menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa. Dalam lontar Sundarigama

disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan “Dewa

Mauneb bhuta turun” yang artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir.

Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu adalah Galungan raksasa, pemakan

daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak

14

Page 15: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak

menghaturkan sesajen “tumpeng Galungan”. Pada Galungan Nara Mangsa

justru umat dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan bercampur

keladi.

Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara

Galungan di Bali biasanya diiiustrasikan dengan cerita Mayadanawa yang

diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan

antara aharma melawan adharma.

Dharma dilambangkan sebagai Dewa Indra sedangkan adharma

dilambangkan oleh Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang

tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada keutamaan upacara

agama.

2.2. Rangkaian Perayaan hari raya Galungan dan kuningan

Setiap 210 hari sekali berdasarkan penanggalan Bali-Jawa (Javano-

Balinese Calender) yakni pada hari Budha Kliwon Wuku Dungulan Umat Hindu

di Indonesia merayakan Hari Raya Galungan dan sepuluh hari kemudian akan

disusul dengan perayaan Kuningan. Galungan adalah suatu upacara sakral yang

memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup

yang berasal dari Adharma dan mana dari Budhi Atma yaitu : Suara Kebenaran

(Dharma) dalam diri manusia. Disamping itu juga berarti kemampuan untuk

membedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan

kedewaan (daiwa sampad), karena hidup yang berbahagia atau ananda adalah

hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.

Dalam lontar Sunarigama dijelaskan rincian upacara Hari Raya Galungan

sebagai berikut : "Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya

rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala

kekacauan pikiran" Jadi inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar

mendapatkan pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran

yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran

(byaparaning idep) adalah wujud Adharma.

15

Page 16: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

Hari Raya Galungan dan Kuningan di India dikenal dengan berbagai

nama, di antaranya adalah Śraddha Vijaya Daśami, Durgapuja atau Mahanavami.

Berdasarkan data prasasti yang ditemukan di Bali, yakni Turunan Prasasti yang

berasal dari tahun 813 Saka (891 M) yang menyebutkan haywahaywan di magha

mahanavami (Goris, 1954: 56). Dalam bahasa Bali dewasa ini kata

mahaywahaywa (dari kata mahayu-hayu) berarti merayakan. Haywahaywan di

magha mahanavami berarti perayaan Magha Mahanavami. Di India Mahanavami

identik dengan Dasara yakni hari pemujaan ditujukan kepada para leluhur

(Dubois, 1981:569). Swami Sivananda (1991:8) mengidentikkan Dasara dengan

Durgapuja yang dirayakan dua kali setahun, yakni Ramanavaratri atau

Ramanavami pada bulan Caitra (April-Mei), dan Durganavaratri atau

Durganavami pada bulan Asuji (September-Oktober). Perayaan ini disebut juga

Vijaya Dasami atau Sraddha Vijaya Dasami yang dirayakan selama sepuluh hari,

seperti halnya Hari Raya Galungan dan Kuningan di Indonesia. Hari Raya

Galungan sudah dirayakan terlebih dahulu di tanah Jawa, ini sesuai dengan lontar

berbahasa Jawa Kuno yaitu : Kidung Panji Amalat Rasmi. Di Bali Hari Raya

Galungan untuk pertama kali dilaksanakan pada Hari Purnama Kapat , Budha

Kliwon Dungulan tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi ini sesuai dengan lontar

"Purana Bali Dwipa".

Rangkaian perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan merupakan

rangkaian perayaan yang paling panjang di antara hari-hari raya Agama Hindu, di

antaranya:

1. TUMPEK PENGARAH atau PENGATAG, inilah rangkaian awal dari

perayaan Galungan, jatuh pada hari Sabtu Kliwon Wuku Wariga, tepatnya

25 hari sebelum Hari Raya Galungan dan persembahan ditujukan kepada

Dewa Sangkara (nama lain Dewa Śiva) sebagai penguasa tumbuh-

tumbuhan dengan mempersembahkan sesajen pada pohon-pohon kayu

yang menghasilkan buah, daun, dan bunga yang akan digunakan pada Hari

Raya Galungan.

16

Page 17: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

2. SUGIHAN JAWA atau SUGIHAN JABA yaitu; Sebuah kegiatan rohani

dalam rangka menyucikan bhuana agung (makrocosmos) yang jatuh pada

hari Kamis Wage Sungsang. Kata Sugihan berasal dari urat kata Sugi yang

artinya membersihkan dan Jaba artinya luar, dalam lontar Sundarigama

dijelaskan: bahwa Sugihan Jawa merupakan "Pasucian dewa kalinggania

pamrastista bhatara kabeh" (pesucian dewa, karena itu hari penyucian

semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini dengan membersihkan alam

lingkungan, baik pura, tempat tinggal, dan peralatan upacara di masing-

masing tempat suci. Dan yang terpenting adalah membersihkan badan fisik

dari debu kotoran dunia maya, agar layak dihuni oleh Sang Jiwa Suci

sebagai Brahma Pura.

3. SUGIHAN BALI; Bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang

ada dalam diri. Jadi Sugihan Bali memiliki makna yaitu menyucikan diri

sendiri sesuai dengan lontar sunarigama: "Kalinggania amrestista raga

tawulan" (oleh karenanya menyucikan badan jasmani-rohani masing-

masing /mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan

/penglukatan. Manusia tidak saja terdiri dari badan fisik, tetapi juga badan

rohani (Suksma Sarira; ahamkara, manah, buddhi, chitta dan indriya).

Persiapan secara jasmani dan rohani adalah modal awal yang harus

diperkuat sehingga sistem kekebalan tubuh ini menjadi maksimal untuk

menghadapi musuh yang akan menggoda pertapaan kita.

4. PANYEKEBAN; Jatuh pada hari Minggu Pahing Dungulan. Panyekeban

artinya mengendalikan semua indrya dari pengaruh negatif, karena hari ini

Sang Kala Tiga Wisesa turun ke dunia untuk mengganggu dan menggoda

kekokohan manusia dalam melaksanakan Hari Galungan. Dalam Lontar

Sunarigama disebutkan : "Anyekung Jnana" artinya mendiamkan pikiran

agar tidak dimasuki oleh Bhuta Galungan dan juga disebutkan

"Nirmalakena" (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki

oleh Bhuta Galungan. Melihat pesan Panyekeban ini mewajibkan umat

Hindu untuk mulai melaksanakan Brata atau Upavasa sehingga

17

Page 18: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

pemenuhan akan kebutuhan semua indriya tidak jatuh ke dalam kubangan

dosa; pikiran yang baik dan benar, berbicara kebenaran, berperilaku bijak,

mendengar kebenaran, menikmati makanan yang sattvika, dan yang lain,

agar tetap memiliki kekuatan untuk menghalau godaan Sang Mara. Jadi

tidak hanya “nyekeb” pisang atau tape untuk banten.

5. PENYAJAAN; Penyajaan dalam lontar Sunarigama disebutkan :

"Pangastawaning Sang Ngamong Yoga Samadhi", artinya hari ini umat

mengadakan Tapa Samadhi dengan pemujaan kepada Ista Dewata.

Upacara ini dilaksanakan pada hari Senin Pon Dungulan. Dengan Wiweka

dan Winaya, manusia Hindu diajak untuk dapat memilah kemudian

memilih mana yang benar dan mana yang salah. Bukan semata-mata

membuat “jaja” (kue) untuk upacara.

6. PENAMPAHAN; Anggara Wage Galungan; Penampahan berasal dari kata

“tampa” yang artinya menerima atau menyambut, pada hari ini umat

menancapkan Penjor Galungan sebagai lambang kemakmuran jagat. Atau

ada pula yang memaknainya dari kata “tampah” yang artinya sembelih

artinya ; bahwa pada hari ini manusia melakukan pertempuran melawan

Adharma, atau hari untuk mengalahkan Bhuta Galungan dengan upacara

pokok yakni Mabyakala yaitu memangkas dan mengeliminir sifat-sifat

kebinatangan yang ada pada diri kita, bukan semata-mata membunuh

hewan korban, karena musuh sebenarnya ada di dalam diri, bukan di luar

termasuk sifat hewani tersebut. Ini sesuai dengan lontar Sunarigama yaitu ;

"Pamyakala kala malaradan". Inilah puncak dari Brata umat Hindu,

bertempur melawan semua bentuk Ahamkara - kegelapan yang bercokol di

dalam diri masing-masing. Selama ini justru sebagian besar dari kita malah

berpesta pora makan, lupa terhadap jati diri, menikmati makanan, mabuk.

Sehingga bukan Nyomya Bhuta Kala- Nyupat Angga Sarira, malah kita

akhirnya menjelma jadi Bhuta itu sendiri (maaf, bukan bermaksud kasar).

18

Page 19: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

7. GALUNGAN; Budha Kliwon Galungan; Hari kemenangan dharma

terhadap adharma setelah berhasil mengatasi semua godaan selama

perjalan hidup ini, dan merupakan titik balik agar manusia senantiasa

mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan dharma dalam rangka

meningkatkan kualitas hidup dan dalam usaha mencapai ananda atau

jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk yang

berwiweka.

8. MANIS GALUNGAN; Wrehaspati Umanis Galungan; Setelah merayakan

kemenangan , manusia merasakan nikmatnya (manisnya) kemenangan

dengan mengunjungi sanak saudara dengan penuh keceriaan, berbagi suka

cita, mengabarkan ajaran kebenaran betapa nikmatnya bisa meneguk

kemenangan. Jadi hari ini umat Hindu wajib mewartakan Weda—

menyampaikan pesan dharma kepada semua manusia, inilah misi umat

Hindu: Dharmacara- menyampaikan ajaran kebenaran dengan Satyam

Vada – mengatakan dengan kesungguhan dan kejujuran.

9. PAMARIDAN GURU; Saniscara Pon Dungulan, pada hari ini

dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugerah

berupa kadirghayusan yaitu ; hidup sehat, umur panjang, dan hari ini umat

menikmati waranugraha dari dewata. Demikian makna Hari Raya

Galungan sebagai hari pendakian spiritual dalam mencapai

kemenangan /wijaya dalam hidup ini ditinjau dari sudut pelaksanaan

upacara dan filosofisnya.

10. KUNINGAN; Saniscara Kliwon Kuningan; Sepuluh hari setelah Galungan

disebut Kuningan merupakan tonggak kembalinya para dewata dan roh

suci leluhur menuju kahyangan stana-Nya masing-masing yang diyakini

tempatnya di svargaloka (alam surga). Kuningan merupakan hari kasih

sayang, dan melaksanakan pitrapuja untuk mendoakan dan menghatarkan

para leluhur, semoga beliau senantiasa ada dalam kedamaian di mana pun

tingkatan alam yang dicapainya sekarang.

19

Page 20: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

2.3. Galungan di India

Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarunganantara

adharma melawan dharma dilaksanakan juga oleh umat Hindu di India. Bahkan

kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia mendapat inspirasi

atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat

dari kata “Wijaya” (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata “Galungan”

dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua kata itu artinya “menang”.

Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula “Hari Raya Dasara”. Inti

perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan

Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di

sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam).

Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat

khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih

menekankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma.

Nawa Ratri itu dilakukan dengan mumuja Dewi Durgha selama tiga hari. Tiga

hari berikutnya memuja Dewi Saraswati dan tiga hari terakhir memuja Dewi

Laksmi. Tiga hari memuja Dewi Durgha bertujuan untuk membangun niat baik

dalam hati nurani. Membangun niat baik inilah pekerjaan yang paling sulit. Tiga

hari memuja Dewi Saraswati artinya untuk meningkatkan kemampuan kita

menguasai ilmu pengetahuan. Niat baik saja tidak cukup. Niat baik itu hartus

disertai dengan kemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan untuk menuntun

hidup manusia. Tiga hari terakhir memuja Dewi Laksmi.

Ini artinya puncak dari perjuangan membangun niat baik dan menguasai

ilmu pengetahuan adalah hidup sejahtra lahir batin. Niat baik dan ilmu

pengetahuan itu tidak ada apa-apanya kalau tidak menghasilkan hidup sejahtra

lahir batin. Pemujaan pada dewi Laksmi ini bertujuan agar niat baik dan ilmu

pengetahuan itu benar-benar diarahkan untuk mewujudkan hidup sejahtra Sekala

dan Niskala. Untuk membangun hidup sejahtra itu tidak mudah,karena itu harus

dilakukan upaya spiritual dengan memuja Tuhan sebagai Dewi Laksmi pada tiga

hari terakhir dari Nawa Ratri tersebut.

20

Page 21: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara.

Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan, kemeriahan dan

kesemarakan untuk masyarakat luas. Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali

setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika

(Oktober) dan bulan Waisaka (April).

Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha

Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan

dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati

(Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh

Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang,

maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi

yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih

sayang dan amat sakti.

Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi.

Kasih sayang sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda

dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi

angker, seram, sangat menakutkan.

Parayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih

sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling

tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan

berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang

paling ampuh melawan adharma.

Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut

Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama

sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan

keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan

kemenangan rohani dan menguasai, keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh

atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan hari

kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual

panah sebagai lambang kenenangan.

Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna

atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai.

21

Page 22: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang

terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Hanuman.

Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan

anak panah di atas panggung yang telah dipersiapkan sebelumnya. Panah itu

diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri

Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-

sorai gembira-ria. Orang yang memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita,

Laksmana dan Hanuman mendapat penghormatan luar biasa dari masyarakat

Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan

panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.

Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali

setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika)

adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan.

Kasih sayang itulah suatu “sakti” atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk

mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan

ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa

Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan fllosofi

dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan

Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus

dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah

terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin.

Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu

kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita

wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh

setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan,

umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.

22

Page 23: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

BAB III

PENUTUP

3.1. Simpulan

Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual

agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan

mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.

Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan

sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan

Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa

bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan

Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum

Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa

itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian

Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini adalah

dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing

tempat suci.

Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan.

Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan.

Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan

Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran).

3.2. Saran

Dalam menyambut dan merayakan hari-hari raya itu, bergembiralah atas

anugrah Hyang Widhi dalam batas-batas kesusilaan agama dan keprihatinan

bangsa. Terangkan hati, agar menjadi Çura, Dira dan Deraka (berani, kokoh dan

kuat), dalam menghadapi hidup di dunia. Hemat dan sederhanalah dalam

mempergunakan biaya. Terakhir dan bahkan yang terpenting ialah mohon anugrah

Hyang Widhi dengan ketulusan hati.

23

Page 24: Makna Hari Raya Galungan Dan Kuningan

DAFTAR PUSTAKA

http://sanggrahanusantara.blogspot.com/2009/10/makna-hari-raya-

galungan-dan-kuningan.html

www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel.../2812.htm

www.parisada.org/index.php?option=com

24