Makna Ajaran Yesus tentang Kebahagiaan Studi Hermeneutik ......Makna Ajaran Yesus tentang...
Transcript of Makna Ajaran Yesus tentang Kebahagiaan Studi Hermeneutik ......Makna Ajaran Yesus tentang...
-
Makna Ajaran Yesus tentang Kebahagiaan
Studi Hermeneutik terhadap Matius 5:1-12 dalam Konteks Sosio-Politik
Oleh:
Vina Priselia Inik
712014067
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi,
Disusun sebagai salah satu persyaratan mencapai gelar Sarjana Sains Teologi
(S.Si.-Teol.)
Program Studi Teologi
Fakultas Teologi
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2019
-
ii
-
iii
-
iv
-
v
-
vi
Motto
Jika kita berdoa dan bekerja maka Tuhan tidak akan
diam, Dia akan bekerja sesuai waktuNya, dan waktu
Tuhan pasti yang terbaik
1 Tawarikh 28:9b
Sebab Tuhan menyelidiki segala hati dan mengerti segala
niat dan cita-cita. Jika engkau mencari Dia, maka Ia
berkenan ditemui olehmu, tetapi jika engkau
meninggalkan Dia maka Ia akan membuang engkau
untuk selamanya.
-
vii
UCAPAN TERIMAKASIH
Segala puji syukur kepada Tuhan Yesus yang selalu hadir sebagai Ibu maupun Bapa
yang oleh hikmatNya telah membawa dan menutun penulis dalam proses penulisan tugas
akhir ini sehingga boleh terselesaikan dengan segala baik. Proses penulisan tugas akhir ini
turut menjadi perjalanan iman penulis yang oleh kasihNya telah menghadirkan lingkungan
yang mendukung serta orang-orang terkasih yang turut dalam terselesaikannya tugas akhir
ini, untuk itu penulis berterimakasih kepada:
1. Mama, Papa, opa Moses, kakak Klartje, Sufery, Esty, Onyong, Amelia dan adik
Ambrosius serta ponakan-ponakan tersayang yang selalu menyemangati dan
selalu mendoakan penulis.
2. Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga yang telah menerima dan
mengijinkan penulis untuk dapat berproses dalam kampus hijau ini.
3. Fakultas Teologi mulai dari para pimpinan, dosen, staf, serta petugas kebersihan
yang telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman serta menciptakan
lingkungan yang mendukug bagi penulis selama proses perkuliahan.
4. Pdt. Yusak B. Setyawan, S.Si., MATS., Ph.D., sebagai Pembimbing I, serta
Pdt. Gunawan Y.A Suprabowo, D.Th., sebagai Pembimbing II, yang dengan setia
selalu mengarahkan dan membimbing penulis serta memperlengkapi penulis
dengan berbagai ilmu demi rampungnya tugas akhir ini.
5. Wali studi bersama rekan-rekan anak wali perwalian Pdt. Dr. Jacob Daan Engel.
6. Kak Astrid Lusi dan kak Jilly Pingkan Kaunang yang telah menuntun penulis
untuk masuk dalam dunia Hermeneutik Perjanjian Baru melalui ilmu, semangat
serta buku-buku yang diberikan.
7. Tiga perempuan hebat yang sudah bersama dengan Tuhan Yesus oma Distrina
Hulukiti-Inik, oma Mathilda Soesamnto dan mama Selly yang selalu
menyemangati dan mendoakan penulis selama hidup di dunia.
8. Papa bo’i, mama, dan kak Hendramus Haning yang selalu menyemangati dan
mendoakan penulis.
9. Om Herman Kanalebe dan tante Debby Kimbal sebagai orang tua di Salatiga yang
selalu memberikan semangat dan doa kepada penulis.
10. Untuk keluarga besar yang ada di Weda, Tobelo dan Bali yang selalu mendoakan
dan memberikan semangat.
-
viii
11. GKPB jemaat ‘Mandira Santi Negara, Gereja Kristen Jawa Tengah utara
(GKJTU) jemaat ‘Salatiga, Gereja Kristen Indonesia (GKI) jemaat ‘Soka’
Salatiga, serta Sekolah Dasar (SD) Kristen 4 Eben Haezer Salatiga, yang telah
memberikan kesempatan melayani serta memperlengkapi penulis dengan
pengalaman-pengalaman yang sangat mendukung bagi proses pembelajaran
penulis.
12. Rekan-rekan Teologi angkatan 2014 Bisa, Maju, Berprestasi! beserta pengurus
angkatan periode 2017-selesai, yang telah menjadi saudara seperjuangan dan
sepelayanan.
13. Teman sepermainan dan seperjuangan, Sri Armita Sari, Devi Rosalia, Rahmania
Yahya dan Nayat.
14. Sahabat-sahabat terkasih, Rambu Lika Ndima, Nezia Mavitau, Frenky Kandars,
Ara Tiara, Regina Magiantang, Rebeka Rubu, Hany Hawu, Putri Matalu, Jacobus
Nahumury, Gabriel Angkouw, Risvanli Tongo-tongo, Marlen Bauronga dan kak
Wina yang selalu memberikan semangat dan doa sehingga penulis bisa
menyelesaikan tulisan ini.
15. Rekan-rekan PPL 1-5 yang telah menjadi rekan sepelayanan selama PPL.
16. Evi, Dania dan Josir sebagai teman seperjuangan dalam kelompok bimbingan
yang memberikan semangat dan menemani hingga akhir penulisan Tugas Akhir.
17. Anak-anak kos Kemiri 1 no 10 kak Dhini, kak Zhina, Chelsea Tuhuleruw, Agnes,
dan Citra Nebore.
18. Kak Agnes, kak Kezia, kak Fero, kak Diana, Putri Dakamoly dan teman-teman
Perkantas.
19. Suster Graciela yang sudah membantu penulis dengan semangat, doa dan buku-
buku yang dipinjamkan.
20. Iren, Sindy, Ti’i Amel, To’o, Nuel, Jun, Feliks dan anak Gang Bambu yang sudah
menjadi keluarga dan mberikan semangat selama masa penulisan Tugas Akhir.
21. Kak Selda, kak Mimi dan kak Vian yang sudah menjadi keluarga sejak awal
penulis ke Salatiga sampai saat ini, yang selalu memberikan semangat dan doa.
“God Is Good All The Time, All The Time God Is Good”
-
ix
DAFTAR ISI
Halaman judul i
Lembar Pengesahan ii
Pernyataan Tidak Plagiat iii
Pernyataan Persetujuan Akses iv
Pernyataan Persetujuan Publikasi v
Motto vi
Ucapan Terimakasih vii
Daftar isi ix
Abstrak x
1. Pendahuluan 1 1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 3
1.3. Tujuan Penulisan 3
1.4. Metode Penelitian 3
1.5.Manfaat Penulisan 4
1.6. Sistematika Penulisan 4
2. Konteks Sosio-Politik Injil Matius 5:1-12 4 2.1. Penulis 4
2.2.Waktu dan tempat Penulisan Injil Matius 6
2.3.Alamat dan Tujuan Penulisan Injil Matius 7
2.4. Situasi Pemerintahan Masa Penulisan Matius 5:1-12 8
2.4.1.Kebijakan Sosial-Politik 8
2.4.2.Stratifikasi Sosial Berdasarkan Kebijakan Politik 11
3. Rekonstruksi Makna Kebahagiaan dengan Hermeneutik Sosio-Politik Terhadap Matius 5:1-12 15
3.1. Kebahagiaan Mencakup Relasi Personal dengan yang Transenden 15
3.2. Terhapusnya Perbedaan Kelas Sosial sebagai Elemen Kebahagiaan 18
3.3.Keadilan dan Kebenaran sebagai Sumber Kebahagiaan 19
4. Relevansi Rekonstruksi Sosio-Politik tentang Kebahagiaan Menurut 5:1-12 bagi Indonesia Masa Kini 22
4.1. Kebahagiaan dalam Konteks Indonesia 22
4.2. Sumbangsih Rekonstruksi Kebahagiaan Bagi Masyarajat Indonesia 24
5. Penutup 24 5.1. Kesimpulan 24
5.2. Saran 25
6. Daftar Pustaka 26
-
x
Abstrak
Salah satu hal yang menjadi tujuan manusia adalah mengalami kebahagiaan. Namun
kebahagiaan dalam konteks Indonesia sering dipandang sebagai hal yang menyenangkan
secara lahir batin dan memiliki segala hal yang dibutuhkan. Dalam tulisan ini penulis
mencoba untuk merekontruksi kembali makna kebahagiaan dari Injil Matius 5:1-12 dengan
menggunakan studi hermeneutik dengan pendekatan sosio-politik. Pendekatan sosio-politik
ini dilakukan untuk melihat kembali latar belakang sosio-politik teks Matius 5:1-12. Dari
latar belakang teks sosio-politik ditemukan makna kebahagiaan yang melampaui kesenangan
lahir batin yaitu kebahagiaan dengan menjunjung tinggi hubungan yang baik dengan yang
Transenden, kesetaran dalam masyarakat, keadilan dan kebenaran sebagai sumber
kebahagiaan dalam kehidupan bersosial-politik. Dengan adanya makna kebahagiaan yang
baru ini, gereja mampu berkonstribusi memberikan kebahagiaan kepada jemaat dengan tidak
hanya memperhatikan pertumbuhan iman dalam jemaat melainkan pertumbuhan iman itu
didasari dengan tindakan kesetaraan dalam jemaat dan masyarakat tanpa pandang bulu.
Gereja juga mampu berperan dalam kesejahteraan masyarakat untuk tetap melakukan
keadilan dan kebenaran demi kesejahteraan masyarakat yang menghasilkan kebahagiaan
dalam kehidupan bersosial-politik.
Kata Kunci : Kebahagiaan, Matius 5:1-12, Sosio-Politik
-
1
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Salah satu hal yang menjadi tujuan manusia adalah mengalami kebahagiaan.
Kebahagiaan dalam kamus besar bahasa Indonesia berasal dari kata “bahagia” yang berarti
suatu keadaan atau perasaan senang, tentram, bebas dari segala hal yang menyusahkan.
Sedangkan kebahagiaan merupakan kondisi dimana manusia merasakan kesenangan,
keberuntungan, kemujuran dan ketenteraman hidup yang bersifat lahir batin.1
Dalam
Merriam Webster Dictionary, Happiness (kebahagiaan) berasal dari kata Happy yang berarti
feeling or showing pleasure yang menunjuk pada kesenangan atau perasaan senang.
Sedangkan kata Happiness berarti a state of well-being and contentment yang menunjuk pada
kondisi kesejahteraan, kegembiraan dan kepuasaan diri.2 Dari definisi kamus ini kebahagiaan
mencakup empat elemen utama yakni perasaan senang, perasaan nikmat, perasaan tentram,
dan perasaan kecukupan dari segi material. Pemahaman makna kebahagiaan ini membuat
manusia menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan hidup.3
Dalam Ilmu Psikologi makna kebahagiaan adalah ketenangan batin, dan terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan pokok menurut teori Abraham Maslow, mulai dari kebutuhan
fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk diterima, kebutuhan untuk dihargai,
dan kebutuhan aktualisasi diri.4 Sementara itu, dalam ilmu Filsafat menurut Plato gerak jiwa
untuk meraih kebahagiaan dan keutamaannya harus mengarah kepada sesuatu di luar diri
manusia yang disebut sebagai Tuhan. Gerak jiwa yang mengarah kepada hal-hal yang bersifat
materi atau fisik hanya memasung jiwa dalam kegelisahan dan kehampaan semata. Oleh
karena itu manusia harus menggerakan jiwanya kepada yang bersifat transenden untuk
merasakan kebahagiaan. Jika gerak jiwa manusia hanya mengarah kepada hal-hal yang
bersifat materi maka manusia akan semakin menjauhi sumber kebahagiaan tersebut.5
Pemahaman inilah yang membuat kebahagiaan menjadi elemen yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Kebahagiaan juga sering dikaitkan dengan orang yang mempunyai
kekuatan di hadapan Allah. Kekuatan itu didapatkan lewat hubungan pribadi yang baik
1 Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 87. 2 https://www.merriam-webster.com/dictionary/happiness, diunduh Agustus 8, 2019. 3 Franz Magnis-Suseno, Menjadi Manusia Belajar Dari Aristoteles, (Yogyakarta: Kanisius,2009), 2.
4 Iskandar, “Implementasi Teori Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow Terhadap Peningkatan Kinerja
Pustakawa,” Jurnal Ilmu Perpustakaan, Informasi, dan Kearsipan Khizanah Al- Hikmah 4, no. 1 (Januari-Juni
2016); 27-28, diunduh Agustus 8, 2019, file:///C:/Users/lenovo/Downloads/1067-2049-1-PB.pdf. 5 Rusfian Effendi, Filsafat kebahagiaan (Plato, Aristoteles, AL-Ghazali, AL-Farabi), (Yogyakarta:
Deepublish, 2017), 2-3.
https://www.merriam-webster.com/dictionary/happinessfile:///C:/Users/lenovo/Downloads/1067-2049-1-PB.pdf
-
2
dengan Allah dan mempunyai kedudukan atau berkelebihan dalam hidupnya. Inilah
pemahaman umum tentang makna kebahagiaan. Dalam Kekristenan Yesus juga
menyampaikan ajaran-Nya tentang makna kebahagiaan dalam Injil Matius 5:1-12 tentang
ucapan bahagia yang terkadang berbeda dengan pemahman orang pada umumnya tentang
kebahagiaan.6
Beberapa ahli Perjanjian Baru mengemukakan pendapat mereka tentang ucapan
bahagia dalam Injil Matius 5:1-12. Riyadi mengatakan bahwa bahagia yang dimaksud oleh
Yesus dalam Matius 5:1-12 merupakan ucapan bahagia yang diartikan secara religius.
Seseorang bisa mengalami kebahagiaan apabila ia memiliki hubungan dekat dengan Allah
dan diberkati. Kedekatan dengan Allah terlihat dari tindakan kasih yang diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.7 Selain itu, pemaknaan ucapan bahagia yang disampaikan oleh Yesus
memiliki konteks, tujuan dan makna tertentu.
Leks juga mengemukakan pendapatnya tentang ucapan bahagia dalam Injil Matius
5:1-12. Menurutnya, kebahagiaan yang Yesus maksudkan terkadang menjadi sebuah
masalah, karena pemahaman orang pada umumnya kebahagiaan searti dengan memiliki apa
yang diinginkan. Konsep kebahagiaan ini berbeda dengan yang disampaikan oleh Yesus.
Menurut Yesus orang yang malang pun dapat disebut orang yang berbahagia.8 Pendapat lain
dikemukakan oleh Singgih bahwa kebahagiaan yang dimaksud oleh Yesus adalah
melepaskan banyak hal dalam hidup. Hal ini terjadi karena pada dasarnya kebahagiaan sudah
menjadi bagian dari orang-orang yang menderita dalam dunia.9 Kebahagiaan yang tidak bisa
diukur oleh ukuran manusia. Kebahagiaan yang tidak seperti pemahaman orang pada
umumnya, sehingga Matius 5:1-12 harus dipahami dengan benar, apa yang disampaikan oleh
Yesus tentang ucapan bahagia.
Berangkat dari berbagai pandangan para ahli di atas, penulis tertarik untuk
merekonstruksi kembali tentang makna kebahagiaan dalam Matius 5:1-12 melalui studi
hermeneutik dengan pendekatan sosio-politik. Studi Hermeneutik dengan pendekatan sosio-
politik adalah usaha untuk memahami teks di dalam konteks sosio-politiknya. Pendekatan
sosio-politik ini amat sangat penting karena selalu terdapat hubungan antara aspek individual
6 Andar Ismail, Selamat Berbakti:33 renungan tentang beribadah, (Jakarta: Gunung Mulia,2008), 68-
69. 7 Eko Riyadi, Matius “sungguh, Ia ini adalah Anak Allah!”, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 61. 8 Stefan Leks, Tafsir Injil Matius, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 114. 9 Emanuel Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan Berteologi Dalam Konteks di Awal Milenium
III, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 189-190.
-
3
dengan aspek sosial, hubungan antara masalah-masalah politik dan masyarakat, antara
struktur sosial dan struktur politik, tingkah laku sosial dengan tingkah laku politik dan
kekuasaan pemerintah yang mencakup sistem pemerintahan dalam suatu negara.10
Penulis mengambil langkah yang berbeda dari beberapa penafsir seperti Stefan Leks,
Eko Riyadi, dan Singgih yang telah menulis Matius 5:1-12 dengan menggunakan pendekatan
sosio-historis. Karena itu, dalam tulisan ini penulis menggunakan metode hermeneutik
dengan pendekatan sosio-politik dalam menafsirkan ucapan bahagia sebagai usaha
merekonstruksi makna kebahagiaan yang dimaksud oleh Yesus dalam Matius 5:1-12.
Pendekatan ini dilakukan melalui studi pustaka dengan bantuan buku-buku hermeneutik
sosio-politik dan buku tafsir Injil Matius.
1.2 Rumusan Masalah
Apa makna ajaran Yesus tentang kebahagiaan dalam Injil Matius 5:1-12 ditinjau dari
studi hermeneutik dengan pendekatan sosio-politik?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah merekonstruksi kembali makna kebahagiaan
berdasarkan ajaran Yesus tentang kebahagiaan dalam Matius 5:1-12 melalui studi
hermeneutik dengan pendekatan sosio-politik.
1.4 Metode Penelitian
Penulis menggunakan studi hermeneutik dengan pendekatan sosio-politik. Hal ini
dilakukan untuk mencoba merekonstruksi makna kebahagiaan dalam konteks sosio-politik
penulisan Injil Matius. Konteks sosio-politik menjelaskan tentang kondisi dari sosial-politik
dalam suatu periode sejarah yang di dalamnya teks tersebut ditulis. Teks ini akan
menginformasikan tentang riwayat teks tersebut, bagaimana teks itu muncul, di mana, kapan,
siapa penulisnya dan seterusnya.11
Kemudian penulis mencoba melihat dan memahami teks
tersebut berdasarkan sejarahnya. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan kontribusi bagi
pembaca pada masa kini tentang makna kebahagiaan yang dimaksud oleh Yesus dalam
Matius 5:1-12.
10 Susi Fitria Dewi, Sosiologi Politik, (Yogyakarta: Gre Publishing, 2017), 7. 11 John H. Hayes dan Carl R. Holladay, Pedoman penafsiran Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1996), 52.
-
4
1.5 Manfaat Penulisan
1. Dengan meninjau kembali makna kebahagiaan dari Matius 5:1-12, pembaca masa kini
dapat memperoleh makna yang lebih relevan tentang kebahagiaan.
2. Menjadi sumbangan bagi pembaca yang berminat pada studi hermeneutik Perjanjian
Baru.
1.6 Sistematika Penulisan
Tulisan ini terdiri dari lima bagian. Pertama, pendahuluan. Kedua, memuat informasi
tentang konteks sosio-politik Injil Matius terkait dengan teks Matius 5:1-12. Bagian ketiga
penulis memberikan pemaparan ulang tentang makna kebahagiaan yang dimaksud oleh Yesus
dengan menggunakan studi hermeneutik terhadap teks Matius 5:1-12 menggunakan
pendekatan sosio-politik. Bagian keempat berisi tentang relevansi rekonstruksi sosio-politik
tentang kebahagiaan menurut Matius 5:1-12 bagi Indonesia masa kini. Bagian terakhir,
memuat penutup dan saran daripada tulisan ini.
2. Konteks Sosio-politik Injil Matius 5:1-12
Pada bagian ini penulis akan membahas konteks sosio-politik dari Injil Matius 5:1-12.
Hal ini menjadi penting, karena lewat bagian ini penulis dapat mengetahui latar belakang
pengarang Injil Matius. Untuk itu, pokok-pokok yang akan penulis paparkan meliputi:
Pertama, latar belakang Injil Matius 5:1-12. Kedua waktu dan tempat penulisan teks. Ketiga,
alamat dan tujuan penulisan teks. Keempat, tentang situasi masyarakat penulisan teks yang
berkaitan dengan latar belakang sosio-politik kota Antiokhia.
2.1 Penulis
Injil Matius merupakan salah satu Injil yang banyak diminati oleh para ahli Perjanjian
Baru. Terlihat dari tulisan-tulisan yang ditulis oleh Aurelius Augustinus, De Heer, Groenen,
John Drane dan masih banyak lagi. Para ahli Perjanjian Baru tertarik untuk meneliti dan
mencari tahu tentang Injil Matius. Keingintahuan ini menghasilkan banyak pendapat tentang
penulis dari Injil Matius. Ada tiga argument dasar tentang identitas penulis Injil Matius.
Argumen pertama disampaikan oleh De heer yang berpatokan pada catatan Papias seorang
Bapa gereja abad kedua. Papias mengatakan bahwa Injil Matius ditulis oleh murid Yesus
-
5
yaitu Rasul Matius yang menulis tentang Tuhan Yesus dalam bahasa Ibrani.12
Matius murid
Yesus yang menjadi saksi mata dari peristiwa-peristiwa yang dilukiskannya dalam Injilnya.
Tulisan Papias ini kemudian ditafsirkan dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Yunani.
Berdasarkan catatan dari Papias, Rasul Matius murid Yesus dianggap sebagai penulis Injil
ini. Namun bukti Matius murid Yesus yang menulis Injil ini tidak dapat dipastikan.13
Argumen kedua disampaikan oleh John Drane dan Groenen. Menurut mereka Injil
Matius bukan ditulis oleh Rasul Matius murid Yesus dikarenakan beberapa alasan. Pertama,
tulisan dalam Injil Matius sejak awal ditulis dalam bahasa Yunani yang halus dan baik. Hal
tersebut diperkuat dengan adanya bukti bahwa tulisan ini juga, bukan sebagai terjemahan
melainkan sebuah karangan yang ditulis dalam bahasa Yunani asli.14
Alasan kedua, tidak
mungkin, seorang yang menjadi saksi mata kehidupan Yesus mengandalkan cerita yang
sudah ditulis oleh Injil Markus untuk dasar tulisannya.15
Alasan ketiga, bahasa Yunani yang
digunakan dalam Injil Matius begitu halus dan baik. Sementara pada saat itu, dalam konteks
masyarakat Palestina, seorang pemungut cukai dapat dikategorikan dalam kelas menengah.
Orang kelas menengah pada saat itu, hanya mengetahui bahasa Yunani sehari-hari. Bahasa
Yunani yang digunakan sehari-hari, bukanlah bahasa Yunani yang baik dan halus seperti
yang digunakan dalam Injil Matius. Oleh karena alasan-alasan inilah John Drane dan
Groenen tiba pada satu kesimpulan bahwa mungkin apa yang dimaksud oleh Papias
bukanlah Injil Matius yang dipegang saat ini, melainkan suatu karya atau tulisan lain.16
Namun identitas penulis dari Injil Matius tidak dapat dipastikan.
Argumen ketiga, disampaikan oleh Stefan Leks. Menurutnya, penulis Injil Matius
tidak memiliki identitas dan tidak dapat dipastikan siapa orangnya. Akan tetapi Leks tidak
memberikan alasan atas argumennya. Sampai saat ini penulis Injil Matius masih menjadi
misteri. Walaupun belum ada kepastian tentang identitas dari penulis Injil Matius, namun
dapat diyakini bahwa penulis Injil ini merupakan seseorang yang berlatar belakang Yahudi.
Penulis Injil Matius merupakan pengikut Yesus dan percaya pada Yesus.17
Kepercayaannya
pada Yesus membuatnya menulis Injil Matius.
12 J. J. De Heer, Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 3. 13 Yusak B. Setyawan, Buku Ajar Pengantar Hermeneutik untuk Studi Hermeneutik Perjanjian Baru,
(Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Satya Wacana, 2015), 85. 14 Duyverman, Pembimbing Ke Dalam Perjanjian Baru, (Jakarta; BPK Gunung Mulia, 1988), 46. 15 John, Drane, Memahami Perjanjian Baru; Pengantar Historis-Teologis, judul asli Introducing the
New Testament, terjemahan P.G. Katoppo, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 219. 16 Groenen OFM, Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru, (Yogyakarta; Kanisius ,1984), 87. 17 Stefan, Leks, Tafsir Injil Matius, (Yogyakarta: PT Kanisius, 2003), 18-19.
-
6
Berdasarkan ketiga bentuk argumen para ahli ini, penulis setuju dengan pendapat
Groenen dan Drane bahwa penulis Injil Matius merupakan seseorang yang tidak memiliki
nama (anonim). Alasannya karena seorang yang dikatakan sebagai saksi mata dan penulis
kitabnya tidak mungkin membuat karya dengan mengutip catatan orang lain. Jika memang
penulis Matius merupakan saksi mata dari kehidupan Yesus maka pasti tulisan-tulisannya
dipersingkat sesuai dengan fakta. Namun tulisan dalam Injil Matius terlihat begitu panjang
dan telah dikembangkan. Inilah yang meyakinkan bahwa penulis Matius bukan saksi mata
dari setiap karya yang Yesus lakukan.
Walaupun penulis Injil Matius memang tidak memiliki nama, tetapi penulis Injil
Matius mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, berlatar belakang Yahudi. Hal itu
terlihat dari tulisan-tulisannya yang sangat memahami adat dan kebiasaan Yahudi yaitu
Hukum Taurat bahkan Injilnya ditulis dalam kerangka Yahudi. Kedua, penulis Injil Matius
merupakan seorang Kristen Yahudi Diaspora yang memiliki pendidikan cukup tinggi dan
berkecimpung dalam misi pewartaan Injil kepada bangsa-bangsa dan dunia. Oleh karena itu
ia mampu menulis Injilnya dengan menggunakan bahasa Yunani yang halus dan baik.18
Ketiga, penulis Injil Matius sering mengutip Perjanjian Lama dalam Injilnya. Sebagai contoh,
Matius dalam tulisannya menyamakan Yesus sebagai Musa yang baru. Yesus menyampaikan
ajaranNya di atas bukit (Mat 5:1-12), sama seperti Musa yang menerima lima Kitab Taurat di
atas Bukit. Lima khotbah besar itu, sama dengan lima Kitab Taurat. Selain itu, Injil Matius
juga banyak menekankan tentang penggenapan nubuatan yang dijanjikan dalam Perjanjian
Lama, dan penjelasannya lebih lengkap dari bahan utama yang Matius gunakan yaitu Injil
Markus.19
2.2 Waktu dan Tempat Penulisan Injil Matius
Hampir semua ahli Perjanjian Baru mempunyai pandangan yang sama bahwa Injil
Matius ditulis pada pertengahan tahun 60-100 ZB. Dalam Injil ini Matius menyinggung
tentang kehancuran Yerusalem sehingga para ahli Perjanjian Baru mengambil kesimpulan
bahwa Injil Matius ditulis setelah tahun 70 ZB. Injil ini ditulis setelah peristiwa pembakaran
Bait Allah di Yerusalem sekitar tahun 75-80 ZB pada abad pertama.20
Bukti tahun penulisan
Injil ini didukung dengan tulisan-tulisan yang ada dalam Injil Matius 22:7 yang menyinggung
tentang kehancuran kota (kehancuran Yerusalem). Selain itu juga Injil ini menyinggung
18 Groenen, Pengantar ke dalam, 87. 19 Ensiklopedia Alkitab Masa kini, Jilid II, 38. 20. Setyawan, Buku Ajar, 85.
-
7
tentang penantian Kristus yang kedua kali (Matius 25:1-12) dan menyinggung tentang
tempat-tempat ibadah (4:23, 10:17 dan 13:54). Injil ini banyak menyinggung beberapa hal
yang terjadi pada tahun 70 ZB setelah penghancuran Yerusalem. Dari bukti-bukti ini penulis
setuju dengan pandangan para ahli Perjanjian Baru bahwa Injil Matius ditulis sekitar tahun
75-80 ZB. Waktu penulisan Injil ini, membantu para pembelajar Perjanjian Baru untuk
mengetahui tempat penulisan Injil Matius.
Tempat penulisan Injil Matius berada di Siria khususnya kota Antiokhia. Alasan
Antiokhia sebagai tempat penulisan Injil ini karena dilihat dari ciri-ciri penulis yang banyak
mengetahui tradisi Yahudi, menggunakan bahasa Yunani yang baik dan halus, menyinggung
tentang uang dirham (mata uang siria, mat 24:17), aturan-aturan najis, dan adanya ketegangan
yang terjadi antara jemaat Matius dan pemimpin Yahudi.21
Alasan-alasan ini membuat para
ahli Perjanjian Baru menyimpulkan bahwa tempat penulisan Injil Matius di Antiokhia.
2.3 Alamat dan tujuan Penulisan Injil Matius
Injil Matius adalah sebuah tulisan yang bersifat Yahudi, terlihat dari pembacanya
yang berlatar belakang Yahudi. Para ahli Perjanjian Baru beranggapan bahwa, Injil ini ditulis
bagi jemaat Kristen yang baru mengenal Yesus, dan berlatar belakang Yahudi. Hal itu terlihat
jelas dari tulisan Matius yang banyak membahas tentang berbagai macam narasi kehidupan
Yesus, ajaran-Nya dan tindakan dari Yesus. Semua perilaku Yesus disajikan dalam Injil
Matius. Injil Matius juga merupakan sebuah Injil yang terbuka bagi bangsa-bangsa lain (Mat
28:19-20; 12:21; 13:38; 24:14).22
Adat Yahudi yang sangat “menajiskan” bangsa lain
didobrak Yesus dengan menghadirkan Injil yang diberitakan kepada bangsa lain di luar
Yahudi.
Tujuan penulisan Injil ini adalah memperkenalkan Yesus sebagai Mesias. Ada juga
beberapa tujuan lain yang ingin disampaikan oleh penulis Injil Matius. Pertama, keprihatinan
penulis Injil Matius, dengan pemenuhan Perjanjian Lama (PL) dan posisi Mesianis Yesus.
Matius melihat Yesus sebagai pemenuhan PL dengan penekanan khusus pada kerajaan Allah
dan mendapatkan pengakuan bahwa Yesus adalah Mesias Anak Allah yang hidup. Anak
Allah yang dijanjikan dalam PL yang digenapi dalam Perjanjian Baru sebagai penggenapan
dari harapan umat Allah.23
Alasan kedua, Injil Matius sebagai nasihat bagi jemaat di Siria
21 Groenen, Pengantar ke dalam, 88-89. 22 Leks, Tafsir Injil Matius, 16. 23 Setyawan, Buku Ajar, 85-86.
-
8
untuk tetap hidup damai dan mempertahankan cinta kasih diantara mereka.24
Alasan ketiga,
Matius mengandaikan Yesus sebagai Musa yang baru. Hal itu terlihat jelas dengan adanya
lima ajaran Yesus di atas bukit dengan kelima Kitab Taurat dan penyampaian hukum Allah
yang diberikan kepada Musa di atas Gunung Sinai.25
Bukti dan penyajian bahan-bahan dalam
Injil Matius ini diberikan kepada jemaatnya sebagai pengetahuan dan pengenalan mereka
terhadap Yesus. Selain itu, Matius menulis Injil ini sebagai senjata bagi jemaat dalam
menghadapi serangan orang-orang Yahudi terhadap kepercayaan mereka pada Yesus.
2.4 Situasi Pemerintahan Masa Penulisan Matius 5:1-12
Situasi masyarakat masa penulisan teks ini meliputi dua pokok penting, antara lain:
terkait kebijakan sosial-politik dan stratifikasi sosial berdasarkan kebijakan sosial-politik.
2.4. 1 Kebijakan Sosial-Politik
Para ahli Perjanjian Baru menduga cukup kuat bahwa Injil Matius ditulis di kota
Antiokhia. Antiokhia merupakan sebuah kota terbesar ketiga di Kekaisaran Romawi setelah
Roma dan Alexandria. Antiokhia tak terpisahkan dari Kekaisaran Roma. Pemimpin
Antiokhia adalah seorang gubernur yang diutus dan dipilih oleh Kaisar. Gubernur ini bekerja
untuk Kaisar, tugasnya mengatur pajak, memelihara ketertiban umum di masyarakat,
menegakan hukum dan pengawasan pemerintah daerah.26
Tugas gubernur ini dipertanggung
jawabkan di hadapan Kaisar.
Dalam struktur sosial masyarakat Antiokhia saat itu terbagi dalam dua golongan yaitu
kelompok elit dan non-elit.27
Kelompok elit ini relatif lebih sedikit dari kelompok non-elit,
namun mereka menonjol di kota Antiokhia karena mereka mengendalikan kekayaan dan
24 De Heer, J.J Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22, 7. 25 J.D. Douglas, Ensiklopedia Alkitab Masa kini, Jilid II: M-Z. (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih/OMF, 2005), 40. 26 Warren Carter, Matthew Ancc Empire Initial Explorations, (United State of America: Library of
Congress Cataloging-in-Publication Data, 2001), 38. 27 Ada dua macam kelompok elit yang pertama, para pejabat Negara, pengusaha besar dan pemilik
tanah mereka yang hidup dalam kemewahan. Kelompok kedua, adalah pegawai pemerintah, tukang, pengusaha
kecil dan petani. Kelompok ini merupakan orang-orang merdeka yang mempunyai kewarganegaraan penuh.
Namun kelompok elit kedua ini bisa saja jatuh miskin ketika mendapat tekanan ekonomi, hingga menjadi budak. Sementara itu, kelompok non-elit adalah orang-orang yang tidak mempunyai kekuasaan. Ada dua golongan
kelompok non-elit. Pertama, orang-orang yang pernah menjadi budak, yang kemudian diberi kemerdekaan oleh
majikan. Kelompok non-elit yang kedua yaitu para budak. Budak-budak ini terkadang diperdagangkan oleh
majikannya. Ada berbagai alasan orang menjadi budak, terkadang karena keturunan dan ada juga sebagai tawan
perang. Para budak juga dapat menjual diri mereka sebagai budak untuk dapat membayar hutang. Inilah kelas
sosial yang berada di kota Antiokhia. Lih Samuel Benyamin Hakh, Perjanjian Baru, 23.
-
9
kekuasaan politik kekaisaran.28
Pada struktur ini, dominasi kelompok elit bertumpu pada
kemampuan (ekonomi, politik), kekayaan (terutama dari tanah) dan reputasi di masyarakat.29
Dalam menjalankan tugas memerintah kota Antiokhia, gubernur bekerjasama dengan
kelompok elit dan penguasa. Pembagian tugas hanya dilakukan bersama kelompok elit, hal
ini mengakibatkan hukum bisa diperjual belikan. Tidak hanya itu, sistem sosial, politik,
ekonomi dan budaya juga akhirnya hanya berpusat pada kelompok elit. Orang-orang yang
memiliki kekayaan besar dan mempunyai kedudukan yang baik, mendapat perlakuan yang
baik daripada orang-orang yang dikategorikan berasal dari kelompok non-elit. Kedudukan
dan kekayaan menguntungkan beberapa pihak dan merugikan orang lain.30
Kota Antiokhia diberi penghargaan sebagai pusat kota intelektual karena
menghasilkan banyak orang yang berintelektual. Kota ini menjadi jalur pusat perjalanan
kegiatan berbisnis.31
Antiokhia juga, dijadikan titik pertemuan rute perdagangan penting yang
terletak di tepi sungai Orentes yang berjarak dua puluh dua kilometer dari laut Mediterania.32
Dalam struktur masyarakat Antiokhia gubernur yang menjadi wakil Kaisar menduduki posisi
pertama. Gubernur memerintah Legium (tentara romawi), mengatur pajak dan memelihara
ketertiban umum. Selanjutnya posisi kedua diduduki oleh kelompok elit yang merupakan
sekutu Roma. Kelompok ini berperan dalam bidang politik, militer, adimistrasi dan
perdagangan. Diantara kelompok ini yang paling menonjol adalah pemilik tanah besar yang
kekayaannya berasal dari pengendalian tanah dan bahan baku. Kekuasaan kelompok elit
dilakukan melalui boule (dewan) yang terdiri dari lima ratus anggota dan bertanggung jawab
untuk hal-hal legislatif dan eksekutif dalam berkonsultasi dengan wakil kaisar. Kehidupan
kelompok elit berasal dari pajak bunga atas pinjaman dan sewa tanah. Mereka juga
memperoleh kekayaan dari penghasilan bisnis dan perdagangan.33
Kelompok elit juga dibantu dalam melaksanakan kekuasaan mereka oleh dua
kelompok. Pertama, para pemimpin keagamaan (pendeta atau imam) yang dipilih untuk
bertugas di kuil-kuil kota. Pemilihan para pemimpin agama ini dilakukan sebagai imbalan
atas tindakan keuntungan yang mereka lakukan bagi kota. Kedua, para pelayan yaitu mereka
28 John Stambaugh dan David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1997), 133. 29
Warren Carter, Mateo Y Los Márgenes Una le ctura sociopolítica y religiosa, (New York:
Maryknoll Orbis Books 2007), 51. 30 Carter, Mateo Y Los Márgenes, 50. 31 Stambaugh dan David Balch, Dunia Sosial, 179-182.
32 Carter, Mateo Y Los Márgenes, 50-51. 33 Carter, Mateo Y Los Márgenes, 53.
-
10
yang melakukan perintah dari kelompok elit sebagai petugas pengadilan, pemungut cukai,
birokrat pemerintah atau adimistrator, pegawai, pendidik, hakim dan tentara. Kekuatan para
pelayan ini berasal dari hubungan mereka yang baik dengan kelompok elit sehingga mereka
tunduk pada kepentingan kelompok elit. Posisi yang paling akhir adalah kelompok non-elit
yang terdiri dari pedagang kecil, pengrajin (yang tidak menghasilkan cukup untuk
mengumpulkan kekayaan yang signifikan), buruh, penjual makanan, penyedia transportasi
dan buruh harian yang tidak terampil.34
Selain itu kelompok non-elit juga bekerja menjadi
borongan di dok-dok kapal, proyek bangunan dan di ladang. Untuk dapat bertahan hidup
kelompok non-elit harus bekerja atau memberikan diri sebagai budak di bawah kelompok elit
yang kuat. Cara lain untuk bertahan hidup adalah mencuri atau mengemis. Diantara para
pengemis ini terdapat mereka yang buta, sakit, lumpuh dan penderita kusta.35
Kelompok ini
sering dimarginalkan oleh karena status sosial mereka yang rendah.
Masyarakat Antiokhia memiliki latar belakang yang beragam. Ada orang Romawi,
Yunani, Yahudi dan orang-orang asing yang menempati kota ini. Keberagaman masyarakat
Antiokhia terkadang membawa persoalan etnis dan korban prasangka buruk. Korban
prasangka yang lebih bersifat budaya daripada rasial. Misalnya orang Romawi menganggap
orang Yunani lemah, penuh kepura-puraan dan tidak dapat dipercaya. Orang Timur
sebaliknya menganggap orang-orang Romawi brutal, bodoh, dan sombong. Orang-orang
Yunani maupun Romawi mencurigai kebiasaan-kebiasaan aneh orang Yahudi dan terkadang
kebencian menjadi pecah dalam kekerasan yang sering kali didasarkan pada motif politik.
Namun pada umumnya Antiokhia yang menjadi bagian dari kota Kekaisaran romawi tetap
menerima orang asing dari berbagai ras, budaya dan kelas sosial.36
Antiokhia tidak terlepas dari Kekaisaran Romawi. Sistem penerimaan orang orang-
orang baru di kota ini, membuat tingkat kejahatan semakin tinggi. Alasannya karena
terkadang insiden kecil mengakibatkan kekerasan massa. Pendatang baru yang memiliki
sedikit keterikatan dengan tatanan sosial membuat kejahatan semakin meningkat. Persoalan
etnis budaya dan agama, persaingan, kesalahpahaman, konflik dan kekacauan terjadi di
Antiokhia. Selain itu kedudukan Antiokhia yang menjadi jalur pusat perjalanan kegiatan
berbisnis, mengakibatkan perjumpaan budaya Timur dan Barat yang mengakibatkan konflik
34 Carter, Mateo Y Los Márgenes, 54. 35 David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, 134. 36 David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, 134.
-
11
etnis.37
Kota Antiokhia juga pernah mengalami bencana alam seperti gempa bumi, kebakaran,
banjir dan kerusuhan pada abad pertama.38
Persoalan-persoalan ini memperlihatkan
bagaimana konteks sosio-politik masyarakat Antiokhia yang penuh dengan kesengsaraan,
keputusasaan dan kebencian. Hubungan sosial-politik dalam masyarakat Antiokhia sangat
menekankan status seseorang, martabat seseorang yang bertumpu pada keturunan, kekayaan
dan jabatan politik atau kuasa.39
2.4.2 Stratifikasi Sosial Berdasarkan Kebijakan Politik
Dalam masyarakat Antiokhia, kelompok elit banyak melakukan investasi dan usaha
untuk meningkatkan kekayaan. Kelompok elit menggunakan tenaga dari non-elit, untuk
mendapatkan apa yang mereka inginkan. Kelompok elit menggunakan tenaga dari non-elit
untuk memperkaya diri dan mendukung kehidupan mereka. Kelompok non-elit dijadikan
sebagai pedagang kecil, pengrajin, penjual makanan, penyedia transportasi dan buruh harian.
Persoalan inilah yang mengakibatkan kehidupan non-elit sering ditindas oleh kelompok elit.
Usaha kelompok elit untuk meningkatkan kekayaan mereka ini, sesuai dengan hubungan
sosial-politik pada saat itu.
Kelompok elit memperoleh kekayaan dari pajak dan bunga pinjaman. Mereka
mengambil keuntungan dari pinjaman yang diberikan kepada pemilik tanah kecil. Jika
pinjaman itu tidak dikembalikan, maka lahan yang dimiliki oleh pemilik tanah kecil akan
diambil. Inilah permainan politik dari kelompok pemilik tanah besar, untuk mengambil
keuntungan. Kelompok elit memperoleh kekayaan dari bisnis dan perdagangan.40
Mereka
juga mengendalikan kekayaan serta kekuasaan politik dan ekonomi pemerintah, namun untuk
kepentingan diri sendiri. Kekayaan membuat mereka mendapatkan perlakuan yang lebih
menyenangkan daripada kelompok non-elit.
Pajak dan upeti memperkuat kesenjangan antara kelompok elit dan non-elit. Namun
dalam pengumpulan pajak, kelompok elit melakukan politik pemanfaatan secara sewenang-
wenang terhadap kelompok non-elit untuk kepentingan elit.41
Pekerja buruh, petani dan
budak tenaganya diekspolitasi dengan harga yang murah. Mereka juga dipaksa untuk
37 David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula,, 180-182. 38
Carter, Matthew Ancc Empire, 48-49. 39 Paulina Jasri Dangga, Rekonstruksi Masyarakat Baru Dalam Doa Bapa Kami, Suatu Hermeneutik
Sosio-Politik Terhadap Injil Matius 6:9-13. (Skripsi S.Si. Teol, Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya
Wacana, Salatiga, 2014), 16. 40 Warren, Mateo Y Los Márgenes, 54. 41 Carter, Matthew Ancc Empire, 44.
-
12
melakukan pembayaran upeti, pajak dan sewa tanah. Kelompok elit juga menyadap apa yang
dimiliki oleh kelompok non-elit seperti pembayaran pajak dan sewa yang dibayar dalam
bentuk barang dari petani atau nelayan dengan cara menyerahkan kepada kelompok elit 20-40
persen dari hasil tangkapan, panen atau kawanan mereka. Kalau mereka tidak membayar
pajak, maka mereka dianggap sebagai pemberontak karena menolak pengakuan kedaulatan
Kaisar atas tanah, laut, tenaga kerja, dan produksi.
Sistem pajak pada saat itu menjadi beban bagi masyarakat. Sistem pajaknya rangkap
tiga. Masyarakat tidak hanya membayar pajak keagamaan (persepuluhan dari hasil bumi,
pajak tahunan bagi Bait Allah), tetapi ada juga pajak negara rangkap dua. Ada pajak
pemerintah yang biasanya ditarik melalui raja atau penguasa setempat dan pajak untuk
pemerintah daerah (raja). Ada dua macam pajak, yaitu pajak secara langsung yang ditarik
oleh pegawai negeri yaitu perorangan dan pajak tanah. Pajak tidak langsung seperti bea,
cukai, tol dan sebagainya.42
Pajak itu ditarik oleh pegawai negeri. Setiap tahun pajak ini
dilelangkan atau ditender kepada negara. Orang yang mempunyai modal menawarkan
sejumlah uang kepada negara. Kemudian setelah itu mereka akan mendapatkan hak untuk
menarik pajak pada rakyat. Hasil pajak kemudian diberikan kepada negara. Oleh karena itu
para pegawai yang dipercaya oleh negara menarik pajak pada rakyat dan mengorganisasikan
penarikannya. Pada dasarnya negara telah menentukan tarif pajak yang boleh dipungut akan
tetapi karena tidak ada pengawas dari negara maka para pegawai bertindak semaunya sendiri
guna memperkaya diri dengan memeras rakyatnya.43
Persoalan ini membuat kelompok non-
elit semakin tertindas.
Selain persoalan pajak, masyarakat juga mengalami persoalan budaya pemerintah
kota Antiokhia yang berbentuk Yunani juga bahasa yang digunakan yaitu bahasa Yunani.
Bahasa ini memainkan peran penting pada waktu itu.44
Namun bahasa ini, hanya unggul
dalam kalangan kelompok elit. Daya tarik bahasa Yunani, membuat kelompok elit
terpengaruh untuk berpendidikan Yunani. Bahasa Yunani menjadi prasyarat untuk maju
dalam bidang politik, sosial dan ekonomi.45
Untuk mempertahankan hidup, orang harus
belajar kebudayaan Yunani termasuk bahasa Yunani. Tanpa pendidikan dan bahasa Yunani
penduduk Antiokhia tidak dapat bergerak dengan luas. Hal itu dikarenakan bahasa Yunani
42 Groenen, Pengantar ke dalam, 37. 43 Groenen, Pengantar ke dalam, 37 44 Benyamin Hakh, Perjanjian Baru, Sejarah Pengantar, 18. 45 Groenen, Pengantar ke dalam, 56.
-
13
digunakan oleh para pedagang, militer, para pekerja, sekolah-sekolah dan rakyat biasa.46
Persoalan bahasa membuat kelompok non-elit semakin tertindas karena sulit berkembang
dalam dunia sosio-politik dalam masyarakat, dan hanya kelompok elit yang mampu
memenuhi prasyarat tersebut.
Bahasa Yunani merupakan bahasa Internasional pada saat itu. Ada dua tingkat bahasa
Yunani yang digunakan pada saat itu. Pertama, para ilmuan menggunakan bahasa Yunani
yang halus dan baik. Kedua, rakyat biasa menggunakan bahasa Yunani untuk berkomunikasi
sehari-hari, namun bahasa Yunani yang digunakan adalah bahasa Yunani yang kasar.47
Kebudayaan Yunani ini tidak hanya berkembang melalui bahasa tetapi juga dalam dunia
pendidikan. Orang-orang yang berasal dari kelompok elit biasanya membayar guru untuk
mendapatkan pendidikan di rumah secara pribadi. Sementara itu, kelompok non-elit hanya
menggunakan bahasa Yunani sehari-hari yang kasar. Bahasa Yunani dan kebudayaan Yunani
saat itu tidak dapat dihindarkan dan harus harus diterima.48
Permainan sosio-politik antara pemerintah atau penguasa dan kelompok elit
memperlihatkan bagaimana persaingan untuk bertahan hidup pada saat itu. Hal ini membuat
masyarakat elit saling bersaing untuk mempertahankan kekayaan dan kedudukan. Namun
tidak semua orang mampu mempertahankan status sosial mereka. Aturan pemerintah, pajak
bahkan persoalan sosio-politik saat itu membuat orang kehilangan kedudukan, harta dan
keluarga. Dalam kondisi seperti inilah ajaran Yesus yang revolusioner hadir ditengah
masyarakat untuk menciptakan konsep kebahagiaan yang baru. Konsep kebahagiaan yang
tidak hanya berfokus pada hal material seperti yang terjadi pada saat itu dimana penekaan
tentang pencarian kekayaan dan hidup dengan kebajikan dijunjung tinggi.49
Rodney Stark
mengungkapkan bahwa Antiokhia menggambarkan kota yang penuh dengan kesengsaraan,
bahaya, ketakutan, keputusasaan, dan kebencian. Sebuah kota yang dipenuhi dengan
kebencian dan ketakutan yang berakar pada pertentangan etnis yang intens dan diperburuk
oleh aliran orang asing yang terus-menerus. Sebuah kota yang tidak memiliki jaringan
keterikatan yang stabil sehingga insiden kecil dapat memicu kekerasan massa. Dalam kondisi
inilah, kejahatan di kota makin berkembang.50
46
Benyamin Hakh, Perjanjian Baru, Sejarah Pengantar, 19. 47 Groenen, Pengantar ke dalam, 56-57. 48 Benyamin Hakh, Perjanjian Baru, Sejarah Pengantar, 20. 49 Setyawan, Buku Ajaran, 49-50. 50 Magnus Zetterholm, The Formation Of Christianity In Antioch A social-scientific approach to the
separation between Judaism and Christianity, (USA and Canada: Routledge, 2003), 30.
-
14
Dari gambaran konteks sosio-politik di atas, terlihat bagaimana latar belakang jemaat
Matius yang terbiasa dengan kekayaan dan berasal dari kelompok elit.51
Menurut Watren
Carter banyak para ahli berargumen menunjukkan dimensi-dimensi penting tentang kelas
sosial orang Yahudi di kota Antiokhia. Pertama pendapat dari Kingsbury bahwa bahasa
Yunani yang digunakan penulis Matius mengindikasikan masyarakat yang berasal dari
lingkungan perkotaan dan berbudaya (urban). Kedua, penggunaan kata “kota” dalam Injil
Injil Matius digunakan sebanyak 26 kali sementara kata “desa” sebanyak 4 kali dibanding
dengan Injil Markus. Ketiga, jemaat Matius diasumsikan akrab dengan kekayaan. Hal itu
terlihat dari penggunan kata emas, perak atau tembaga dalam Injil Matius (Mat 10:9)
dibandingkan dengan Injil Markus yang hanya menggunakan kata “koin tembaga” (Mar 6:8).
Selain itu terdapat perbandingan identitas Yusuf orang Arimatea yang dalam Injil Lukas dan
Markus disebut sebagai anggota dewan (Mar 15:43; Luk 23:50-51), sedangkan dalam Injil
Matius disebut sebagai orang kaya (Mat 27:57). Keempat, pembahasan Matius tentang
kekayaan lebih bervariasi dari Markus dan Lukas. Penggunaan sebutan emas, perak dan
talenta sebanyak 28 kali, dibandingkan dengan Injil Markus yang hanya sekali menyebut
perak dan Lukas yang menyebutkan empat kali lebih banyak dari Markus.52
Penyataan ini
memperlihatkan jemaat Matius yang berlatar belakang Yahudi dan sudah terbiasa dengan
kekayaan.
Jemaat Matius juga pernah mengirimkan bantuan makanan kepada pengungsi Kristen
yang kelaparan di Yudea.53
Bantuan ini memperlihatkan bahwa jemaat Matius adalah orang
yang mampu dalam hal material sehingga mereka bisa membantu sesama pengikut Yesus
yang sedang kesusahan. Argumen-argumen ini yang menguatkan dugaan bahwa komunitas
Matius terdiri dari mereka yang hidup kaya. Artinya ada jejak dari mereka yang termasuk
dalam golongan kelompok elit. Meskipun mereka berasal dari kelompok elit, namun identitas
sebagai pengikut Yesus tetap menjadi persoalan bagi mereka. Karena ajaran Yesus terkadang
mengkritik sistem pemerintah yang tidak adil. Salah satu contoh kritikan Yesus tentang pajak
(Matius 22:15-22) yang membuat jemaat Matius sering diasingkan dari kotanya sendiri.
(uraiakan apa isi kritikan Yesus, tidak sekadar mencantumkan ayat)
Dalam konteks inilah Matius menulis Injil ini dan mengirimkannya kepada jemaat
Antiokhia. Matius hadir di tengah-tengah jemaat untuk memberikan konsep kebahagiaan
51 Paulina, Rekonstruksi Masyarakat Baru Dalam Doa Bapa Kami, Suatu Hermeneutik Sosio-Politik
Terhadap Injil Matius 6:9-13, 17. 52 Carter, Mateo Y Los Márgenes, 63. 53 Stambaugh, Dunia Sosial, 180.
-
15
yang baru bagi jemaat. Konsep kebahagiaan yang tidak hanya berpusat pada kekayaan dan
kedudukan. Matius berharap agar jemaatnya tetap mengikuti Yesus dan melakukan ajaran-
Nya, sehingga mereka tidak kehilangan identitas sebagai pengikut Yesus. Matius berharap
dalam konteks sosio-politik yang penuh dengan penderitaan, penindasan, dan putus asa,
jemaat di Antiokhia harus tetap mempunyai pegangan hidup dan mempunyai harapan.
Terutama konsep kebahagiaan yang baru yang tidak berpusat pada kekayaan dan kekuasaan.
3. Rekonstruksi Makna Kebahagiaan dengan Hermeneutik Sosio-Politik Terhadap
Matius 5:1-12
Dalam bagian ini penulis akan melakukan studi hermeneutik terhadap teks Matius
5:1-12. Bagian ini sangat penting bagi penulis untuk mencapai tujuan penulisan yakni
rekonstruksi teks khususnya tentang makna kebahagiaan dari Yesus dalam Matius 5:1-12. Di
sini, penulis memuat beberapa bagian studi hermeneutik sosio-politik sebagai alat
merekontruksi konsep kebahagiaan. Pertama, kebahagiaan mencakup relasi personal dengan
yang transenden. Kedua, terhapusnya perbedaan kelas sosial sebagai elemen kebahagiaan.
Konsep ketiga yaitu keadilan dan kebenaran sebagai sumber kebahagiaan.
3.1 Kebahagiaan Mencakup Relasi Personal dengan yang Transenden
Dalam teks Matius 5:1-12 terdapat 9 kali ucapan “berbahagialah” yang diucapkan
oleh Yesus. Ucapan “bahagia” dalam bahasa Yunani disebut sebagai “ ριοι.”. Kata
“ ριοι” ini ditemukan dalam varian tertua karena itu teks ini dianggap sebagai asli atau
mendekati asli dan penulis pakai sebagai dasar penelitian.54
Dalam Greek New Testament
kata “ ριοι” diartikan sebagai Allah yang maha bahagia, diberkati dan berbahagia.55
Dalam King James Version diterjemahkan sebagai kata “blessed” yang berarti “diberkati”.
“Berkat” sendiri dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti karunia Tuhan dalam kehidupan
manusia yang membawa kebaikan, bahagia dan keselamatan. Berkat bisa didapatkan untuk
54 Pada ayat 4 dan 5 terdapat sebuah persoalan tentang kata berbahagialah yang dibuktikan lewat
kritik apparatus. Ayat 4 yang dipersoalkan adalah ριοι ...... ρ ο ι, sedangkan ayat 5 yang
dipersoalkan adalah ριοι... . Kedua teks ini ditemukan dalam kodeks Bazae (B) yang menandakan
tingkat keraguan tergolong rendah pada abad ke IV yang tersimpan di Citta de Vaticano: Vaticanus. Kata ini
juga digunakan dalam Injil Matius sebanyak tiga belas kali. Dari data ini, penulis berpendapat bahwa persoalan
keraguan kata ριοι dalam ayat 4 dan 5 memiliki kesinambungan dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
Struktur kata yang dipakai mulai ayat 1 sampai 11 sama-sama dibuka dengan kata ριοι (berbahagialah). Pengulangan kata ριοι berkali-kali dari ayat 3 sampai 11 menegaskan pentingnya makna “berbahagialah”
dalam Injil Matius 5. Karena itu kata ριοι tidak bisa diremehkan, sebaliknya menjadi kata kunci yang
penting dalam narasi Injil Matius tentang Kotbah di Bukit. Lih The Greek New Testament, Cet.3 (1988), LAI:
Jakarta. P.22-25. 55 Barclay M. Newman, Kamus Yunani-Indonesia Untuk Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2014), 102.
-
16
kebutuhan jasmani dan rohani, pemaknaanya lebih mendalam karena mencakup bahagia dan
diberkati. Lembaga Alkitab Indonesia menerjemahkan kata “ ριοι” dengan
“berbahagialah”. Kata “berbahagialah” diartikan sesuai dengan konteks pemahaman
kebahagian di Indonesia yang merujuk pada hal-hal yang menentramkan hati secara lahir
batin. Karena itu, kata “berbahagialah” digunakan dalam teks Matius 5:1-12 untuk
memperlihatkan bahwa orang yang mencari Allah akan berbahagia. Namun kata “ ριοι”
dalam bahasa Yunani dan bahasa Inggris diartikan sebagai kata religius yang dipahami
sebagai berkat dari Allah. Itu berarti kata “ ριοι” dapat dialami baik dalam keadaan susah
maupun senang.
Dalam teks Matius 5:3-10 dikatakan “berbahagialah orang”, ucapan bahagia ini
ditujukan kepada orang-orang secara umum yang mengikuti Yesus pada saat itu (5:1). Pada
ayat 11-12 “berbahagialah kamu”, ucapan bahagia ini ditujukan kepada para murid yang setia
mengikuti Yesus dalam menyebarkan Injil. Dalam teks Matius 5:1-12 terdapat sembilan
ucapan bahagia yang diulang oleh Yesus. Pada anak kalimat pertama berbunyi
“berbahagialah” kemudian disertai dengan penjelasan tentang peristiwa yang terjadi
sekarang. Peristiwa yang berbicara tentang hal yang kurang menyukacitakan, akan tetapi
anak kalimat kedua dilanjutkan dengan penjelasan mengenai sebuah situasi penuh sukacita.
Kalimat penyatu dalam dua anak kalimat ini adalah harapan. Kebahagiaan yang dimaksud
dalam teks ini adalah kebahagiaan yang terarah pada masa depan yang terinspirasi dari
peristiwa yang terjadi sekarang, tetapi terantisipasi oleh sebuah harapan tentang peristiwa
yang akan terjadi di masa depan.56
Maksudnya di sini adalah kebahagiaan dengan sebuah
harapan bahwa situasi sekarang yang penuh dengan penderitaan akan berubah menjadi situasi
yang membahagiakan.
Poin pertama tentang makna kebahagiaan dalam teks Matius 5:1-12 menekankan
tentang kebahagiaan yang terjadi karena relasi pribadi dengan yang transenden (Allah). Dari
penjelasan teks (5:3-12) terlihat jelas kriteria orang-orang yang berbahagia. Namun dalam
teks Matius 5:1-12 juga menjelaskan kriteria orang yang berbahagia. Diantara penjelasan
kriteria tersebut hal yang paling utama yang dijelaskan dalam teks ini adalah “berbahagialah
orang yang miskin di hadapan Allah”. Banyak para ahli menduga cukup kuat bahwa kata “οἱ
ωχοὶ ῷ εύ ι” bukan berarti miskin di hadapan Allah melainkan miskin dalam Roh.57
Di sini terlihat bagaimana Matius menekankan sifat rohani dalam hati individu yang merasa
56 Leks, Tafsir Injil Matius, 114-115. 57 Leks, Tafsir Injil Matius,120.
-
17
diri miskin Roh (Allah) dalam hati. Matius menekankan kesadaran diri dalam individu
tentang hubungan pribadi dengan yang transenden. Yang menyadari dalam diri bahwa hanya
yang transenden yang disebut Tuhan yang mampu menolong kehidupan seseorang. Inilah
bagian pertama dari kesadaraan orang yang menerima bagian dari kerajaan Allah.58
Teks Matius 5:1-12 tampaknya merupakan kritikan bagi masyarakat Antiokhia yang
pada saat itu menjunjung tinggi pencarian kekayaan dan hidup dengan kebajikan yang
bertolak belakang dengan Matius 5:3.59
Hal ini membuktikan bahwa kebahagiaan tidak hanya
dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kekayaan dan kedudukan tetapi kebahagiaan ini
dimiliki oleh orang yang dekat dengan yang Transenden (Allah). Teks Matius ini
menunjukkan bahwa orang yang diberkati oleh Allah adalah mereka yang miskin Roh
(Allah). Mereka yang hidup sederhana dan penuh hormat pada yang Transenden,
mengandalkan dan membutuhkanNya. Kata “miskin” ini juga dalam kosakata Yahudi kuno
sering dikaitkan dengan seseorang yang direndahkan, ditindas dan tidak mampu membela
dirinya. Sementara itu, miskin dalam Roh berarti orang yang mau merendahkan dirinya,
secara rohani dan tidak menjadi seorang pemberontak. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa
orang yang miskin secara rohani adalah mereka yang rendah hati, sabar dan lemah lembut.60
Sifat seperti ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki hubungan yang baik dengan
Transenden.
Inilah ciri dari orang yang diberkati dan berbahagia. Jika pada umumnya orang yang
mempunya kekayaan dan kekuasaan yang dapat berbahagia maka Yesus menciptakan makna
kebahagiaan yang baru yang lebih menekankan pada relasi pribadi dengan yang Transenden.
Jika seorang individu memiliki relasi pribadi yang baik dengan yang Transenden maka dalam
situasi senang maupun susah ia akan tetap berbahagia (5:4-6). Pemakaian kata Kerajaan
Allah dalam teks ini, menunjuk kepada orang yang merasa tak berdaya di dunia namun
mengandalkan Roh (Allah), mereka akan mengalami karunia dan berkat yang tidak akan
habis dan terpisahkan dari Kerajaan Allah (kerajaan yang damai tanpa ada kekerasan).
Konsep ini terlihat berbeda dengan Kerajaan dunia yang dilakukan oleh Kaisar dan kelompok
penguasa yang memaksa dan menindas orang lemah. Sementara itu, Kerajaan Allah
menerima mereka yang tertindas dan dipaksa serta ditekan oleh manusia. Dari penjelasan teks
58 Matius menyamakan Yesus sebagai Musa yang baru, yang diutus oleh Allah dalam Perjanjian Lama
untuk menyampaikan sikap hidup dalam memperoleh Kerajaan Allah. Lih De Heer, Injil Matius Pasal 1-22,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 66. 59 Setyawan, Buku Ajaran, 49-50. 60 Stefan Leks, Tafsir Injil Matius, 120.
-
18
ini, terlihat jelas bahwa kebahagiaan tidak terletak pada kekayaan melainkan kebahagiaan
mencakup relasi yang baik dengan yang Transenden. Orang yang dekat dengan yang
Transenden, memiliki relasi yang baik, akan mampu berbahagia dalam segala situasi baik
susah maupun senang.
3.2 Terhapusnya Perbedaan Kelas Sosial sebagai Elemen Kebahagiaan
Relasi yang baik dengan yang Transenden merupakan bagian dari kebahagiaan. Hal
itu tidak hanya dirasakan dalam hati melainkan terlihat dalam tindakan yang dilakukan dalam
kehidupan bersosial dan berpolitik. Dalam konteks masyarakat Antiokhia pada dasarnya
kedudukan dan kekuasaan merupakan sumber kebahagiaan. Orang yang berasal dari
kelompok elit menikmati hidup yang bahagia dibandingkan dengan mereka yang berasal dari
kelompok non-elit. Namun dalam teks Matius 5:1-12 Yesus mendobrak pemahaman ini. Teks
Matius memperlihatkan bahwa terhapusnya perbedaan kelas sosial merupakan elemen dari
kebahagiaan. Kebahagiaan yang terjadi apabila struktur sosial-politik adalah struktur yang
tidak ada kelas sosial.
Orang yang murah hati, yang suci hatinya, dan pembawa damai (7-9) adalah orang-
orang yang tidak mengandalkan kekuatan, kekerasan, pengaruh dan kekuasaan dalam
hubunganya dengan orang lain. Biasanya manusia mengandalkan kekuatan dan
pengetahuannya. Manusia yang ideal adalah manusia yang punya, tahu dan bisa semua. Ini
adalah ciri dari orang yang berbahagia pada umumnya. Namun demikian, apa yang ideal
tersebut dibalik oleh ajaran Yesus. Setiap orang yang mau berbahagia harus melepaskan
banyak hal dari kehidupannya.61
Hal ini memperlihatkan ada sebuah penjelasan untuk
menghapuskan perbedaan kelas dalam masyarakat mengingat konteks sosio-politik saat itu
yang terbagi dalam dua kelas sosial yang terkadang membuat rusuh dalam masyarakat karena
tidak adanya kesetaraan antara sesama manusia. Tampaknya Matius memang mengkritik
hubungan masyarakat pada saat itu yang tidak menjunjung tinggi kesetaraan manusia
melainkan hubungan yang dibangun berdasarkan kelas sosial.
Kehidupan sosial-politik yang berdasarkan kelas sosial ini membuat manusia
kehilangan konsep kebahagiaan yang sebenarnya, dan hanya berpusat pada konsep
kebahagiaan yang terletak pada kekayaan dan kekuasaan. Matius menyadarkan pembaca
untuk melihat pentingnya kemurahan hati, kesucian hati dan pembawa damai dalam suatu
61 Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, 190.
-
19
masyarakat, karena orang-orang yang demikian akan bertindak berdasarkan kesetiaan total
kepada yang Transenden. Pembawa damai adalah mereka yang tidak melibatkan diri dalam
lingkaran kekerasan (5:38-42), mereka yang menolak pedang (26:52-54), dan mereka yang
bisa menerima perintah radikal Yesus untuk mengasihi musuh (5:44-48).62
Ungkapan berbelas kasih, suci hati dan pembawa damai dijelaskan oleh Matius untuk
mempertegas pembaca agar mampu saling mengasihi satu dengan yang lain, melihat yang
Transenden dalam setiap diri manusia dan mempunyai hubungan yang damai serta saling
bersahabat dan mengupayakan persahabatan antar manusia tanpa memandangan kelas
sosial.63
Relasi seperti inlah yang ditegaskan oleh Matius. Kebahagiaan tanpa adanya batas-
batas kelas sosial melainkan memandang setiap manusia sebagai ciptaan Allah dan
menjunjung tinggi hidup dalam kesetaraan tanpa ada perbedaan kelas. Kebahagiaan yang
tidak terbatas pada kedudukan dan kekuasaan melainkan mampu melepaskan kekuasaan dan
kedudukan untuk hidup bersama dalam kesetaraan. Inilah konsep kebahagiaan yang
sebenarnya dilihat dari konteks sosio-politik saat itu. Penghapusan kelas sosial sebagai
sumber kebahagiaan. Dengan demikian maka yang Transenden akan menjaga, melindungi
dan mengasihi orang yang mengupayakan kedamaian sebagai anak-anak Allah. Status ini
diperoleh manusia berdasarkan relasi pribadi dengan yang Transenden semata-mata.64
3.3 Keadilan dan Kebenaran sebagai Sumber Kebahagiaan
Konteks masyarakat tentang kebahagiaan yang hanya berpusat pada kedudukan dan
kekuasaan. Alasan ini yang membuat manusia menggunakan berbagai cara untuk tetap
mempertahankan kedudukannya bahkan dengan cara-cara yang tidak adil dan tidak benar.
Dalam kamus Yunani kata “δι ιο ύ ” berarti keadilan, kebenaran, apa yang dituntut Allah,
kebenaran yang dianugerahkan Allah dan kewajiban agama atau kedermawan.65
Inilah
pengertian dari “dikaiosunei” dalam kamus bahasa Yunani, sedangkan “kebenaran” dalam
bahasa Yunani yaitu “dikaiosune” yang berarti kebenaran, apa yang benar dan jujur.66
Penjelasan kamus memperlihatkan bahwa kata dikaiosune dan kata alítheia saling terhubung.
Inilah penjelasan antara keadilan dan kebenaran sebagai konsep kebahagiaan.
62
Eko Riyadi, Matius Sungguh Ia Ini Adalah Anak Allah, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 63. 63 Leks, Tafsir Injil Matius, 124. 64 Leks, Tafsir Injil Matius, 125. 65 Barclay M. Newman, Kamus Yunani-Indonesia untuk Perjanjian Baru, (Jakrta: BPK Gunung Mulia,
2014), 6 dan 42. 66 Newman, Kamus Yunani-Indonesia), 6.
-
20
Kebahagiaan merupakan tujuan hidup dari manusia.67
Manusia akan berjuang dengan
segala cara untuk memperoleh kebahagiaan. Namun kebanyakan manusia memaknai
kebahagiaan sebagai sesuatu yang bersifat menyenangkan lahir batin. Hal ini membuat
manusia menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan hidup mereka. Seperti yang terjadi
pada masyarakat Antiokhia yang hidupnya berpusat pada kedudukan dan kekuasaan, yang
membuat kelas elit dan para penguasa bekerjasama untuk mencapai tujuan mereka.
Kerjasama yang dilakukan oleh kelompok elit dan non-elit yang berimbas pada kelompok
non-elit.
Kerjasama antara kelompok elit politik yang mengakibatkan hukum bisa diperjual
belikan. Tidak hanya itu, sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya juga akhirnya hanya
berpusat pada kelompok elit. Orang-orang yang memiliki kekayaan besar dan mempunyai
kedudukan yang baik, mendapat perlakuan yang baik daripada orang-orang yang
dikategorikan berasal dari kelompok non-elit. Kedudukan dan kekayaan menguntungkan
beberapa pihak dan merugikan orang lain.68
Dalam konteks ini terlihat jelas bagaimana
sistem pemerintahan dan struktur sosio-politik yang tidak adil dan tidak benar.
Teks Matius 5:10-12 juga berbicara tentang penganiayaan yang dirasakan oleh orang-
orang yang melakukan kebenaran. Kebenaran pada saat itu susah untuk dilakukan mengingat
konteks sosio-politik yang menjunjung tinggi pencarian kekayaan dan hidup dengan
kebajikan.69
Konsep ini membuat manusia saling mempertahankan kedudukan dengan
berbagai cara. Ketidakadilan dan ketidakbenaran ini tidak hanya terlihat dalam hukum yang
tidak adil dan perlakuan yang diskriminasi terhadap kelompok non-elit melainkan dalam
pengumpulan pajak juga terjadi ketidakadilan. Para pegawai pengumpulan pajak yang
bertindak semau mereka dan memperkaya diri sendiri dengan pengumpulan pajak memeras
rakyatnya.70
Tidak hanya berhenti di situ pekerja buruh, petani dan budak tenaganya
diekspolitasi dengan harga yang murah dan dipaksa untuk melakukan pembayaran upeti,
pajak dan sewa tanah. Mereka juga harus menyerahkan kepada kelompok elit 20-40 persen
dari hasil tangkapan, panen atau kawanan mereka. Di sini terlihat jelas perlakuan yang tidak
adil dan tidak benar.
67 Franz Magnis-Suseno, Menjadi Manusia belajar dari Aristoteles, (Yogyakarta: Kanisius,2009), 2. 68 Carter, Mateo Y Los Márgenes, 50. 69 Setyawan, Buku Ajaran, 49-50. 70 Groenen, Pengantar ke dalam, 37
-
21
Latar belakang sosio-politik inilah yang membuat orang yang selalu mencari
kebenaran akan digempur oleh mereka yang merasa telah memiliki kebenaran.71
Namun
Matius memperlihatkan bahwa walaupun seseorang yang dianiaya karena melakukan
kebenaran yaitu kehendak Allah, maka ia akan tetap berbahagia. Kebahagiaan ini bisa
dirasakan karena relasi yang baik dengan yang Transenden yang kemudian terlihat dalam
setiap tindakan yang benar. Kebahagiaan yang dijanjikan tersebut adalah Kerajaan Sorga.
Namun Matius juga memperingatkan pembacaanya untuk tidak takut melakukan keadilan dan
kebenaran walaupun dianiaya karena nabi-nabi sebelumnya juga tetap melakukan apa yang
baik dan benar walaupun mereka di aniaya (5:11-12).
Dua bagian ucapan bahagia terakhir pada Matius 5:11-12 memperlihatkan bagaimana
para murid tetap setia melakukan hal yang baik dan benar walaupun dalam keadaan sulit dan
dianiaya. Teks tersebut juga memperlihatkan bahwa hidup yang baik dan benar tidak
selamanya berjalan dengan mulus melainkan ketika manusia memiliki relasi yang baik
dengan yang Transenden maka sikapnya dalam kehidupan sosial-politik akan tertuju pada hal
yang baik dan benar dalam segala keadaan. Dua ucapan bahagia terakhir dalam Matius 5:11-
12 berbicara mengenai para murid yang tetap setia mengabarkan Injil dan mereka tetap
berbahagia dan diberkati walaupun terdapat penganiayan. Berkat dan kebahagiaan yang
diterima para murid didapatkan karena kesetiaan dan ketaatan kepada yang Transenden.72
Matius juga memperlihatkan kepada pembaca bahwa pada dasarnya kebahagiaan ada dalam
diri setiap orang. Bahkan kebahagiaan juga adalah milik mereka yang dianggap menderita
oleh manusia pada umumnya.
Inilah makna kebahagiaan yang dimaksud oleh Yesus dalam teks Matius 5:1-12.
Kebahagiaan karena relasi yang baik dengan yang Transenden, penghapusan kelas sosial, dan
keadilan serta kebenaran sebagai sumber kebahagiaan. Terkadang orang berpikir bahwa
kebahagiaan hanya sebatas memiliki kekayaan dan kedudukan, merasakan kententraman
secara lahir dan batin karena memiliki segalanya. Akan tetapi dari Matius 5:1-12 terlihat jelas
bahwa kebahagiaan bisa dialami dalam segala keadaan asalkan setiap orang memiliki relasi
yang baik dengan yang transenden, menjunjung tinggi kesetaraan sebagai ciptaan Allah, serta
menerapkan keadilan dan kebenaran dalam kehidupan sosial-politik di masyarakat. Inilah tiga
konsep kebahagiaan dari teks Matius 5:1-12.
71 Singgih, Mengantisipasi Masa Depan, 190. 72 Riyadi, Matius Sungguh Ia Ini, 63.
-
22
4. Relevansi Rekonstruksi Sosio-Politik tentang Kebahagiaan Menurut 5:1-12 bagi
Indonesia Masa Kini
Setelah penulis menemukan makna kebahagiaan dari konteks sosio-politik Injil Matius
5:1-12, maka penulis akan merelevansikannya dalam kehidupan masyarakat Indonesia untuk
merekonstruksi kebahagiaan di Indonesia. Penulis akan mendeskripsikan dan memberikan
penilaian kritis teologis terkait dengan kehidupan masyarakat di Indonesia.
4.1 Kebahagiaan dalam Konteks Indonesia
Indonesia adalah negara hukum yang demokratis. Masyaraknya terdiri dari berbagai
suku, ras dan agama. Indonesia memiliki masyarakat majemuk yang menekankan
keanekaragaman yang terdiri dari suku dan bangsa.73
Keberagaman Indonesia, disatukan oleh
pendiri negara kesatuan Republik Indonesia melalui sebuah gagasan masyarakat yang ideal
yaitu Pancasila. Pancasila merupakan dasar negara Indonesia. Namun dalam konteks
masyarakat Indonesia masih banyak yang belum mengalami keadilan sosial. Hal itu terjadi
karena banyaknya masalah sosial dan politik di Indonesia yang terjadi. Kemajemukan
terkadang menjadi pemecah bagi rakyat Indonesia. Perbedaan kelas sosial juga masih terjadi.
Orang yang mempunyai kedudukan dan kekayaan mampu menikmati kehidupan yang layak
berbeda dengan orang dari kelas menengah kebawah. Persoalan ini membuat masyarakat
Indonesia saling berjuang untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Terkadang politik
uang dan perebutan kekuasaan membuat masyarakat kelas bawah menjadi korban.
Ketika masyarakat menjadi pecah dan saling membenci, mengakibatkan adanya
sebuah perpecahan. Oleh karena itu, pemimpin negara harus berjuang keras bersama
rakyatnya untuk menciptakan masyarakat yang damai, toleran dan saling membantu satu
dengan yang lain. Jika dalam masyarakat masih ada konsep perbedaan kelas sosial maka
penindasan tetap terjadi. Namun jika tidak ada lagi perbedaan kelas sosial maka masyarakat
dapat hidup berdampingan tidak ada lagi perbedaan dalam menikmati fasilitas negara.
Pendidikan, pengobatan dan hidup yang layak bisa dinikmati oleh semua kalangan. Jika
dalam kehidupan masyarakat Indonesia hal ini dilakukan maka setiap hari orang akan
berbahagia. Bukan karena kekayaan dan keudukan melainkan karena kedamaian dan
ketentraman serta kesetaran terjadi dalam Negara. Akan tetapi pada kenyataannya dan
73 Muhammad Umar Syadat Hasibuan, Resolusi Kaum Politik Muda, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia,2018), 104.
-
23
berdasarkan laporan bahwa peringkat kebahagiaan masyarakat Indonesia tidak bisa dikatakan
tinggi, bahkan kecenderungan menurun.
Berdasarkan laporan PBB melalui Sustainable Development Solution Network
(SDSN) dan The World Happiness Report Negara paling bahagia di dunia tahun 2019
terdapat di Finlandia. Walaupun masyarakat Finlandia membayar pajak tinggi tetapi hal itu
dilakukan untuk asuransi, mereka juga percaya pada pemerintah, mereka hidup dalam
kebebasan, saling bermurah hati dan saling peduli. Indonesia masuk pada peringkat ke-92
sebagai negara paling bahagia di dunia.74
Di sini terlihat bagaimana perhatian pemerintah
terhadap kesejahteraan masyarakat dan gaya hidup yang saling menghargai yang
menciptakan kebahagiaan dalam masyarakat.
Seperti yang sudah dijelaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang majemuk.
Kemajemukan masyarakat Indonesia tidak hanya terletak pada keberagaman suku dan
bahasa, namun juga keberagaman agama. Ada enam agama yang diakui oleh pemerintah
Indonesia, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.75
Adanya pengakuan pemerintah tersebut, maka masyarakat Indonesia khususnya yang
beragama Kristen haruslah mempunyai tingkah laku yang baik. Akan tetapi perbedaan
tingkah laku bukan berarti mendiskriminasikan agama lain melainkan harus menunjukkan
sikap hidup yang baik sebagai pengikut Yesus dalam kehidupan sosial-politik. Saling
menghargai dan mengasihi, saling menolong satu dengan yang lain tanpa melihat latar
belakang serta saling peduli dan melakukan hal yang benar dalam kehidupan bermasyarakat.
Menjadikan kasih sebagai patokan hidup bersama inilah identitas orang Kristen yang harus
ditunjukkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Pengikut Yesus mempunyai etika Kristen tersendiri. Etika yang tidak hanya
mengharapkan kehidupan yang dihargai oleh orang lain dan mempunyai kedudukan atau
kekuasaan, melainkan kehidupan yang saling mengasihi. Yesus menginginkan agar
pengikutNya mampu menciptakan sorga di dunia. Melakukan hukum kasih dan etika yang
Yesus ucapkan dalam Injil Matius 5:1-12. Tidak membedakan satu dengan yang lain dan
mampu melakukan hal yang benar dan adil. Ketika pengikut Yesus mampu melakukan ajaran
74
Siti Khotimah, “Terungkap, Ini Negara Paling Bahagia di Dunia Tahun 2019”, Liputan 6, 19 Juni
2019, di akses 11 Agustus 2019, https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-
bahagia-di-dunia-tahun-
2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fgl
obal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019 . 75 A.A Yewangoe, Agama dan Kerukunan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 2.
https://worldhappiness.report/https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fglobal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fglobal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fglobal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fglobal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019
-
24
Yesus, maka masyarakat yang beragama Kristen mampu hidup berdampingan dengan semua
masyarakat yang berbeda latar belakang agama, suku dan bahasa. Tidak hanya itu saja tetapi
masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Kristen juga mampu menciptakan konsep
kebahagiaan yang baru. Konsep kebahagiaan yang tidak hanya terbatas pada kekayaan dan
kekuasaan, melainkan konsep kebahagiaan yang diajarkan oleh Yesus. Kebahagiaan dalam
melakukan perintah Allah, hidup dalam Allah, melakukan hal yang benar dan mengasihi
sesama manusia. Konsep kebahagiaan yang tidak hanya dirasakan oleh diri sendiri melainkan
tercipta lewat perilaku sosial di masyarakat. Hal itu dapat dilakukan dengan menerapkan
cinta kasih, menegakkan keadilan dan kebenaran, memperhatikan orang yang tertindas, saling
menolong, saling menghargai dan tidak melakukan kekerasan untuk kepentingan diri sendiri.
4.2 Sumbangsih Rekonstruksi Kebahagiaan Bagi Masyarakat Indonesia
Model kebahagiaan yang Yesus sampaikan juga tidak hanya berlaku bagi masyarakat
yang beragama Kristen melainkan konsep kebahagiaan ini juga bisa diterapkan oleh agama
lain. Jika semua masyarakat Indonesia mampu melakukan apa yang diajarkan oleh Yesus
yang ditulis oleh Matius, maka masyarakat Indonesia mampu hidup berdampingan. Bukan
hanya sekadar hidup, tetapi dapat menciptakan masyarakat yang saling menghargai, saling
membantu, menghormati dan mengasihi satu dengan yang lain. Sampai pada akhirnya akan
terwujud sebuah masyarakat yang damai dan berbahagia. Kebahagiaan tidak lagi dipahami
sebagai hal yang menyenangkan hati secara lahir batin. Namun kebahagiaan ini dipahami
sebagai sebuah keharusan untuk hidup benar di dunia dengan tetap setia dan taat pada Allah
Tuhan yang disembah dan diyakini. Tidak hanya berhenti di situ melainkan melakukan hal-
hal baik yang diajarkan oleh Tuhan. Inilah konsep kebahagiaan yang ditawarkan oleh Yesus
yang masih berlaku untuk dilakukan oleh masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Konsep
kebahagiaan ini sangat baik untuk dilakukan atau diterapkan oleh masyarakat Indonesia.
5. Penutup
5.1. Kesimpulan
Kebahagiaan tidak selalu tentang sesuatu yang menyenangkan hati secara lahir batin,
bukan juga tentang sesuatu yang kita inginkan yang menyenangkan hati secara lahir batin.
Kebahagiaan adalah ketika manusia mempunyai hubungan yang baik dengan yang transenden
kemudian kedekatan itu diaplikasikan dalam tindakan hidup bermasyarakat dengan
melakukan ajaran yang benar baik dalam bidang sosial maupun politik. Indonesia sebagai
-
25
masyarakat yang majemuk dan taat pada agama lebih bagi Indonesia. Namun ketaatan itu
tidak hanya diperkatakan melainkan harus diterapkan dalam kehidupan bersosial-politik. Jika
semua manusia yang beragama bisa menafsir ajaran agamanya dengan baik dan benar maka
kehidupan akan berjalan dengan baik. Akan tetapi jika hal-hal baik yang ada dalam agama
hanya sebatas perkataan maka kedamaian dan kebahagiaan itu tidak akan terlihat.
Masyarakat Indonesia juga merupakan masyarakat yang mempunyai banyak hukum
yang diatur oleh negara. Hukum ini jika ditafsir dan dilakukan dengan adil dan benar maka
akan terjadi ketidakadilan dan penindasan. Namun dalam kenyataannya terkadang hukum
bisa diperjualbelikan. Kehidupan sosial dan politik masih belum terlalu baik. Kehidupan yang
terjadi pada masyarakat Antiokhia terkadang juga terlihat dalam konteks Indonesia. Oleh
karena itu semua masyarakat Indonesia harus bekerja sama untuk menciptakan Indonesia
yang lebih baik dengan menerapkan keadilan dan kebenaran, serta menjalin kehidupan yang
toleransi dengan orang yang berbeda. Hal ini merupakan sumber kebahagiaan bagi
masyarakat yang ideal.
5.2. Saran
Berdasarkan hasil tafsir dan relevansinya, gereja didorong untuk mengubah
pandangannya tentang kebahagiaan. Gereja tidak boleh hanya mengurus urusan adimistrasi
gereja tetapi juga harus melihat dan menyikapi isu-isu sosial-politik dalam masyarakat.
Gereja harus mampu menegakan keadilan dan kebenaran serta merangkul semua orang,
termasuk orang yang didiskriminasi oleh masyarakat. Gereja perlu memberikan ruang bagi
orang-orang yang berduka untuk menikmati setiap hal yang terjadi. Jemaat perlu diajarkan
untuk mempunyai hati yang tulus serta mampu menegakkan keadilan dan kebenaran. Gereja
harus mampu hidup toleransi dengan sesama masyarakat yang berbeda agama. Gereja harus
menjadi pendamai, sehingga, tugas profetis gereja untuk menghadirkan kerajaan Allah di
tengah dunia dapat terealisasikan. Ajaran Yesus tentang Ucapan Bahagia sangat baik untuk
diterapkan dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat.
-
26
DAFTAR PUSTAKA
Barclay William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Injil Matius Pasal 1-10. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2008.
Bergant, Dianne dan Karris, Robert. Tafsir Alkitab Perjanjian Baru. Terjemahan A.S
Hadiwiyata dan Lembaga Biblika Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Bosch, David J. Transformasi misi Kristen sejarah teologi misi yang mengubah dan berubah.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.
Budiman, William. Finding Sustainable Happines. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2018.
Carter, Warren. Mateo Y Los Márgenes Una Lectura Sociopolítica y Religiosa. New York:
Maryknoll Orbis Books: 2007.
Carter, Warren. Matthew Ancc Empire Initial Explorations. United State of America: Library
of Congress Cataloging-in-Publication Data, 2001.
Coote, Robert & Mary Coote. Kuasa, Politik dan Proses Pembuatan Alkitab. Translated by
Minda Perangin-angin. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Danes Christoper dan Simon. Masalah-Masalah Moral Sosial Aktual Dalam Perspektif Iman
Kristen. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Jakarta:
Balai Pustaka, 2005.
Dewi Fitria Susi, Sosiologi Politik. Yogyakarta: Gre Publishing, 2017.
Drane, Jhone. Memahami Perjanjian Baru;Pengantar Historis-Teologis, judul asli
Introducing the New Testament. Terjemahan P.G. Katoppo. Jakarta: BPK Gunung
Mulia 2016.
Duyverman, Pembimbing Ke Dalam Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung Mulia; 1988.
Guthrie, Donald, dkk. Tafsir Alkitab Masa Kini 3 Matius-Wahyu. Terjemahan Soedarmo dkk.
Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih; 1982.
-
27
Hakh, B. Samuel. Pemberitaan Tentang Yesus Menurut Injil-Injil Sinoptik. Bandung: Jurnal
Info Media; 2007.
Hayes, John H. dan Carl R. Holladay. Pedoman penafsiran Alkitab. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1996.
Heer De J. Tafsiran Alkitab Injil Matius Pasal 1-22. Jakarta: Gunung Mulia, 2000.
Ismail, Andar. Selamat Berbakti:33 renungan tentang beribada. Jakarta: Gunung Mulia,
2008.
Jones, Llyod D. Martyn Studies In The Sermon On The Mount, Volume one. Amerika:
Eerdmnas, 1959.
J.D. Douglas, Ensiklopedia Alkitab Masa kini, Jilid I: A-L. Jakarta: Yayasan Komunikasi
Bina Kasih/OMF, 2003.
J.D. Douglas, Ensiklopedia Alkitab Masa kini, Jilid II: M-Z. Jakarta: Yayasan Komunikasi
Bina Kasih/OMF, 2005.
Kingsbury, Jack Dean. Injil Matius Sebagai Cerita. Jakarta: BPK Gunung Mulia; 2004.
Leks, Stefan. Tafsir Injil Matius. Yogyakarta: PT Kanisius; 2003.
Magnis-Suseno, Franz. Menjadi Manusia belajar dari Aristoteles. Yogyakarta: Kanisius,
2009.
Marxen, Willi. Pengantar Perjanjian Baru Pendekatan Kritis Masalah-Masalahnya. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1996.
Muhammad Hasibuan, Syadat Umar. Resolusi Kaum Politik Muda. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2018.
Newman M Barclay. Kamus Yunani-Indonesia Untuk Perjanjian Baru. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2014.
OFM, C Groenen. Pengantar ke dalam perjanjian baru. Sleman: Kanisius,1984.
Riyadi Eko. Matius “sungguh,Ia ini adalah Anak Allah!”. Yogyakarta: Kanisius, 2011.
-
28
Santoso, Iman David. Theologi Matius Intisari dan Aplikasinya. Malang: Literatur Saat,
2009.
Stambaugh, John dan Balch, David. Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula. Jakarta: BPK
Gunung Mulia; 1997.
Setyawan, Yusak B. Pengantar Hermeneutik Untuk Studi Hermeneutik Perjanjian Baru.
Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Satya Wacana; 2015.
Singgih, Gerrit Emmanuel. Mengantisipasi Masa Depan berteologi dalam konteks di awal
millennium III. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
The Greek New Testament, Cet.3. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1988.
Yewangoe, A.A. Agama dan Kerukunan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.
Zetterholm Magnus. The Formation Of Christianity In Antioch A social-scientific approach
to the separation between Judaism and Christianity. USA and Canada: Routledge,
2003.
Skripsi
Dangga J. Paulina, Rekonstruksi Masyarakat Baru Dalam Doa Bapa Kami, Suatu
Hermeneutik Sosio-Politik Terhadap Injil Matius 6:9-13. Skripsi S.Si. Teol, Fakultas
Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2014.
Berita
Siti Khotimah, “Terungkap, Ini Negara Paling Bahagia di Dunia Tahun 2019”, Liputan 6, 19
Juni 2019, di akses 11 Agustus 2019,
https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-bahagia-
di-dunia-tahun-
2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2F
www.liputan6.com%2Fglobal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-
bahagia-di-dunia-tahun-2019 .
https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fglobal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fglobal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fglobal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fglobal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019https://www.liputan6.com/global/read/3993295/terungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019?utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.0&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fglobal%2Fread%2F3993295%2Fterungkap-ini-negara-paling-bahagia-di-dunia-tahun-2019