Makalah ttg Konsep Daerah Keistimewaan (DIY)

download Makalah ttg Konsep Daerah Keistimewaan (DIY)

of 22

Transcript of Makalah ttg Konsep Daerah Keistimewaan (DIY)

KONSEP DAERAH KEISTIMEWAAN SEBAGAI DASAR PEMBENTUKAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Metode Penelitian Hukum 2011 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Disusun oleh : Denny Sulistyo E 0009090

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada prinsipnya, bentuk pemerintahan Negara Indonesia adalah republik dimana dalam hal ini mengandung pengertian bahwa sebuah negara di mana tampuk pemerintahan akhirnya bercabang dari rakyat, bukan dari prinsip keturunan. Istilah ini berasal dari bahasa Latin res publica, yang artinya kerajaan dimiliki serta dikawal oleh rakyat. Namun dalam praktik perkembangannya, Monarki kultural di era modern memang tidak bisa terpisahkan begitu saja. Baik di beberapa daerah di Indonesia, di Asia bahkan di Eropa. Namun sebenarnya kultural budaya kerajaan di berbagai daerah dan berbagai negara tersebut hanya sebagai simbolisasi bukan sebagai politik praktis untuk memimpin sebuah negara atau daerah seperti halnya Yogyakarta. Memang bila dilihat dalam alam demokrasi saat ini monarki di tengah demokrasi ini menjadi kontroversi. Bagi orang yang Yogyakarta atau pernah tinggal di yogyakarta yang sudah terikat emosional dengan rajanya secara turun termurun tidak mau begitu saja melepas budaya dan kultural tersebut. Tetapi bagi sistem pemerintahan demokrasi di era modern memang menujukkan kejanggalan. Karena nantinya akan terkait dengan berbagai aturan daerah dan sistem pemerintahan yang ada baik aturan pertanahan, pajak dan berbagai aturan hukum lainnya. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebuah provinsi yang berdasarkan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman. Selain itu ditambahkan pula mantan-mantan wilayah Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunagaran yang sebelumnya merupakan enclave (daerah kantong) di Yogyakarta. Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dirunut asal mulanya dari tahun 1945, bahkan sebelum itu. Beberapa minggu setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, atas desakan rakyat dan setelah melihat kondisi yang ada, Hamengkubuwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan

yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945 . Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Paku Alam VIII pada hari yang sama. Dekrit integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Hindia Belanda setelah kekalahan Jepang. Semenjak saat itu dekrit kerajaan tidak hanya ditandatangani kedua penguasa monarki melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai simbol persetujuan rakyat. Perkembangan monarki persatuan mengalami pasang dan surut. Pada 18 Mei 1946, secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta mulai digunakan dalam urusan pemerintahan menegaskan persatuan dua daerah kerajaan untuk menjadi sebuah daerah istimewa dari Negara Indonesia. Penggunaan nama tersebut ada di dalam Maklumat No 18 tentang Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta (Kasultanan dan Pakualaman). Pemerintahan monarki persatuan tetap berlangsung sampai dikeluarkannya UU No 3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengukuhkan daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman adalah bagian integral Negara Indonesia. Daerah Istimewa Yogyakarta juga menganut prinsip trias politika, yaitu distribusi kekuasaan antara legislatif yang direpresentasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogykarta, eksekutif oleh Sultan, Paku Alam dan para kepala dinas, dan yudikatif oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dengan dasar hukum UUD 1945, UU 3/1950 dan RUU Keistimewaan DIY yang sekarang sedang dibahas oleh DPR RI, menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi istimewa, di mana demokrasi dapat berjalan beriringan dengan kekuatan kultural terutama karena kharisma dwitunggal Sri Sultan - Sri Paduka Paku Alam yang masih sangat tinggi di masyarakat.

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta secara legal formal dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta dan UU Nomor 19 Tahun 1950 tentang Perubahan UU Nomor 3 Tahun 1950 yang diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP Nomor 31 Tahun 1950 (Berita Negara Tahun 1950 Nomor 58). UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai isi yang sangat singkat dengan 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi. UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU Nomor 19 Tahun 1950 sendiri adalah revisi dari UU Nomor 3 Tahun 1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Status Yogyakarta pada saat pembentukan adalah Daerah Istimewa setingkat Provinsi. Baru pada 1965 Yogyakarta dijadikan Provinsi seperti provinsi lain di Indonesia. Namun yang menjadi permasalahan sekarang adalah fenomena keistimewaan jogja ini dianggap inkonstitusional, yang pada akhirnya membawa pemerintah untuk menggodok rancangan undang-undang keistimewaan Yogyakarta dengan tujuan untuk menghilangkan sistem monarki dalam negara Indonesia. Namun tentu saja hal ini tidak mudah karena mendapat tentangan dari rakyat jogja pada umumnya, terkait dengan kultur yang sudah mereka anut sejak dahulu, sebagai contoh jika rancangan undangundang keistimewaan Yogyakarta telah diberlakukan, maka memberi dampak bahwa gubernur dipilih melalui pemilian langsung yang itu berarti bertentangan dengan kebiasaan masyarakat jogja yang selama ini menetapkan gubernur secara turun temurun dari kesultanan Yogyakarta. Masyarakat menginginkan agar corak pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta tetap seperti saat ini, di sisi yang lain pemerintah RI menginginkan agar disamakan dengan provinsi lain, dengan alasan mengefektifkan demokrasi.

B. Rumusan Masalah Maka, atas dasar latar belakang tersebut penulis merumuskan masalah sebagai berikut :1. 2.

Bagaimanakah konsep keistimewaan kota yogyakarta? Apa dasar rencana pemerintah membuat RUU Keistimewaan Yogyakarta? Bagaimanalah reaksi masyarakat terhadap RUU Keistimewaan Yogyakarta? Apa kelebihan dan kekurangan dalam penyusunan RUU

3.

4.

Keistimewaan Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui konsep keistimewaan Yogyakarta b. Untuk mengetahui dasar rencana pemerintah mambuat RUU Keistimewaan Yogyakarta c. Untuk mengetahui reaksi masyarakat terhadap RUU Keistimewaan Yogyakarta d. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan dari penyusunan RUU Keistimewaan Yogyakarta 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memenuhi tugas Metode Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS); dan b. Menambah, memperluas, memperdalam, dan mengembangkan pengetahuan dan pengalaman serta pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktek yang berguna bagi penulis. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. dan dikaji;

Hasil

penulisan

ini

diharapkan

dapat

memberikan sumbangan pemikiran atas permasalahan yang diangkat b. Hasil penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan acuan sebagai bahan referensi di bidang karya ilmiah yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan terutama di bidang hukum; dan c. Penulisan ini juga merupakan latihan dan pembelajaran dalam menerapkan teori yang diperoleh sehingga menambah kemampuan, pengalaman, dan dokumentasi ilmiah. 2. Manfaat Praktis a. Dapat mengetahui konsep keistimewaan Yogyakarta b. Dapat mengetahui dasar rencana pemerintah mambuat RUU Keistimewaan Yogyakarta c. Dapat mengetahui reaksi masyarakat terhadap RUU Keistimewaan Yogyakarta d. Dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan dari penyusunan RUU Keistimewaan Yogyakarta

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Bentuk Pemerintahan Bentuk pemerintahan adalah suatu istilah yang digunakan untuk merujuk pada rangkaian institusi politik yang digunakan untuk mengorganisasikan suatu negara untuk menegakkan kekuasaannya atas suatu komunitas politik. Definisi ini tetap berlaku bahkan untuk pemerintahan yang tidak sah atau tidak berhasil menegakkan kekuasaannya. Tak tergantung dari kualitasnya, pemerintahan yang gagalpun tetap merupakan suatu bentuk pemerintahan. Kerjaan (Monarki) adalah salah satu bentuk pemerintahan suatu negara yang kepala negaranya adalah seorang Raja, Sultan, atau Kaisar dan Ratu. Kepala negara diangkat (dinobatkan) secara turun-temurun dengan memilih putera/puteri tertua (sesuai dengan budaya setempat) dari isteri yang sah (permaisuri). Ada beberapa macam kerjaan (Monarki) :1. Monarki Mutlak, yaitu seluruh kekuasan negara berada di

tangan raja yang mempunyai kekuasaan dan wewenang yang tidak terbatas, yang mutlak. Perintah raja merupakan undangundang yang harus dilaksanakan. Kehendak negara adalah Kehendak Raja (Ietat cest moi).2. Monarki Konstitusional yaitu suatu monarki, dimana

kekuasaan raja itu dibatasi oleh suatu konstitusi (undangundang dasar) raja tidak boleh berbuat sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi dan segala perbuatannya harus berdasarkan dan harus sesuai dengan konstitusi.3. Monarki palementer adalah bentuk pemerintahan dalam

suatu negara yang dikepalai oleh seorang raja dengan

menempatkan parlemen (DPR) sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Jatuh tegaknya pemerintah bergantung pada kepercayaan parlemen kepada para menteri. Dalam monarki parlementer, kekuasaan eksekutif dipegang oleh kabinet (perdana menteri) dan bertanggung jawab kepada parlemen. Fungsi raja hanya sebagai kepala negara (simbol kekuasaan) yang kedudukannya tidak dapat diganggu gugat. Raja tidak memegang pemerintahan secara nyata, tetapi para menteri yang bertanggung jawab atas nama dewan maupun sendirisendiri, sesuai tugas masing-masing. Bentuk monarki parlementer sampai sekarang masih tetap dilaksanakan di Inggris, Belanda, dan Malaysia. Republik, adalah salah satu bentuk pemerintahan dimana negara dikepalai oleh seorang presiden. Republik dapat kita bedakan dalam 2 bentuk yaitu serikat dan kesatuan. Seperti juga dalam negara kerajaan atau monarki, negara rebuplik juga dapat memiliki perdana menteri (PM) yang sudah barang tentu presiden terpilih tidak lebih dari seorang simbol. Kecuali sistem pemerintahannya memberikan posisi dominan kepada presiden yaitu dengan jalan tidak dapat dijatuhkan presiden oleh mosi tidak percaya. Sama halnya monarki, republik itu dapat dibagi menjadi: a. Republik mutlak (absolute) b. Republik konstitusi c. Repulik parlemen Aristoteles , filosofi klasik yunani ternama membagi Negara dalam bentuk pemerintahnya sebagai berikut.a. Monarki :pimpinan (pemerintah) tertinggi negara terletak ditangan

satu orang (mono : satu, archein : pemerintah).b. ologarki : pimpinan (pemerintah) tertinggi negara terletak dalam

tangan beberapa orang, biasanya dari kalangan golongan yang berkuasa.

c. demokrasi : pimpinan (pemerintah) tertinggi negara terletak

ditangan rakyat (demos : rakyat). Indonesia sendiri sesuai dengan pasal 1 undang-undang dasar 1945 dinyatakan sebagai berikut Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.2. Tinjauan Umum tentang Daerah Keistimewaan

Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dalam undang-undang lain. Daerah istimewa adalah daerah yang mendapat perlakuan istimewa berdasar faktor warisan sejarah. Yogyakarta ditetapkan Sukarno sebagai daerah istimewa karena peran Kesultanan yang luar biasa besar dalam mendukung Republik Indonesia. Sedangkan daerah khusus mendapat perlakuan istimewa berdasarkan faktor situasional di daerah tersebut. Aceh, misalnya, menjadi daerah khusus karena faktor agama dengan penerapan hukum syariah Islam. Jakarta ditetapkan sebagai daerah khusus karena faktor kedudukannya sebagai ibu kota negara.3. Tinjauan Umum tentang Pemerintahan Daerah

Indonesia adalah sebuah negara yang wilayahnya terbagi atas daerah-daerah Provinsi. Daerah provinsi itu dibagi lagi atas daerah Kabupaten dan daerah Kota. Setiap daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas

otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. Gubernur,Bupati, dan Walikota masingmasing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Urusan Pemerintahan Pusat Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat meliputi: 1. politik luar negeri; 2. pertahanan; 3. keamanan; 4. yustisi; 5. moneter dan fiskal nasional; dan 6. agama.

4. Tinjauan Umum tentang Pasal 18B UUD RI 1945

Sejak mula dibuatnya konstitusi pertama, UUD 1945, telah mengadopsi model negara kesatuan (eenheidsstaat) yang disusun berdasarkan desentralisasi. UUD 1945 yang disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di kala tanggal 18 Agustus 1945, memuat dalam Pasal 18 UUD 1945 (redaksi lama), di bawah Bab VI, bertajuk Pemerintahan Daerah, bahwasanya Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asalusul dalam daerah-daerah yang sifatnya istimewa. Sejak awal terbentuknya negara Indonesia, pemerintahan Indonesia menghormati dan mengindahkan adanya Zelfbesturende landschappen, akan tetapi itu keadaannya sebagai daerah, bukan negara. Daerah istimewa hanyalah daerah saja, mempunyai sifat istimewa. Jadi daerah-daerah istimewa itu suatu bagian dari Staat Indonesia, tetapi mempunyai sifat istimewa, mempunyai susunan asli. Begitupun adanya Zelfstandige Gemeenschappen seperti desa, di Sumatera negeri (di Minangkabau), marga (di Palembang), yang dalam bahasa Belanda disebut Inheemsche Rechtsgemeenschappen. Susunannya asli itu dihormati. Dalam teritoial Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landschappen dan volksgemeen-schappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Dalam amandemen kedua UUD RI 1945, pasal 18B ayat satu berbunyi, yang Negara mengakui bersifat dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang khusus atau bersifat istimewa

diatur dengan undang-undang. Hingga saat ini, Negara Republik

Indonesia masih menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengatur mengenai daerah-daerah itu.

5. Tinjauan Umum tentang Undang-Undang No 32 Tahun 2004 No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (dan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah) menggantikan Undang-undang yang berkaitan dengan kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah yang dicanangkan pemerintahan baru di era reformasi ini, yaitu UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999 dengan judul yang sama. Sejak disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 18 Oktober 2004, maka Undang-undang ini berlaku efektif. UU yang lazim disebut UU Pemda ini memiliki jumlah pasal yang lebih banyak dari UU sebelumnya, yaitu memuat 240 pasal, lebih banyak dibanding pendahulunya yang hanya 134 pasal. Perbedaan demikian terkait erat dengan konsekuensi pasal 3 UUD 1945 hasil perubahan kedua pada tahun 2000. Yaitu pasal 18, pasal 18A dan pasal 18B yang menggantikan pasal 18. Dalam amendemen UUD 1945, dilakukan perubahan mendasar. Dalam Pasal 18 UUD 1945 ayat (1) disebutkan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerahdaerah Provinsi dan Daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan UU. Dalam kalimat tersebut, terjadi hirarki antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah Provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah diakomodasi dalam bentuk urusan pemerintahan menyangkut pengaturan terhadap regional yang menjadi wilayah tugasnya. Hal ini berbeda dengan apa yang ditangkap dalam UU pemerintahan daerah sebelumnya, dimana dalam UU No.22 tahun 1999 hanya disebutkan bahwa Negara Indonesia terdiri atas daerah provinsi dan daerah kabupaten kota. Ini ditafsirkan tidak adanya hirarki antar pemerintahan sehingga muncul konsep kesejajaran antara provinsi dan kabupaten/kota. Akibatnya, banyak kabupaten/kota yang tidak tunduk kepada gubernur dengan alasan sesuai dengan aturan Undang-undang. Ketidak seimbangan antara eksekutif dan legislatif

(Legislative heavy), yang dikuatirkan banyak kalangan pasca UU No.22 tahun 1999 berlaku mulai hilang. Hal ini dapat dilihat bahwa melalui UU No.32 ini, kewenangan DPRD banyak yang dipangkas, misalnya aturan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, DPRD yang hanya memperoleh laporan keterangan pertanggungjawaban, serta adanya mekanisme evaluasi gubernur terhadap Raperda APBD agar sesuai kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. hal lain yang niscaya merupakan implikasi positif dari UU yang menurut versi pemerintah menyempurnakan ini. Mekanisme pengawasan kepala daerah yang semakin diperketat, misalnya presiden tanpa melalui usulan DPRD dapat memberhentikan sementara terhadap kepala daerah yang didakwa melakukan tindak korupsi, terorisme, dan makar (Pasal 31). Sementara pengawasan terhadap DPRD semakin diperketat dengan adanya Badan Kehormatan yang siap mengamati dan mengevaluasi sepak terjang anggota Dewan. Untuk melengkapinya DPRD wajib pula menyusun kode etik untuk menjaga martabat dan kehormatan dalam menjalankan tugasnya. Anggota DPRD pun bisa diganti sewaktuwaktu apabila melanggar larangan atau kode etik (Pasal 41 s.d Pasal 49). Kemudian terdapat pula pengaturan dalam pembuatan fraksi di DPRD. Setiap anggota DPRD harus berhimpun dalam fraksi, dimana jumlah anggota setiap fraksi sekurang-kurangnya sama dengan jumlah komisi di DPRD. Untuk menjamin keadilan bagi partai politik, jumlah komisi di DPRD pun diatur sesuai dengan jumlah anggota DPRD. Bagi anggota yang berasal dari parpol dan tidak bisa membentuk fraksi harus membentuk fraksi gabungan. Dalam hal usulan pengajuan calon pimpinan, hanya parpol yang bisa membentuk satu fraksi yang berhak mengajukan calonnya sedangkan fraksi gabungan tidak. Menurut Ryaas Rasyid dalam Badjeber (2004), pemerintahan bertujuan keadilan, yang dalam konteks pemerintahan nasional, keadilan itu diukur oleh dari suasana yang terbentuk secara nasional. Keadilan dalam konteks ini dimaksudkan keadilan bagi partai politik. (Pasal 50 s.d

Pasal 51). Masih banyak lagi aturan-aturan yang dimuat dalam pasal demi pasal, namun acapkali aturan main yang dibentuk ini mengalami batu sandungan, terutama pro-kontra pasal-pasal tentang Pemilihan kepala daerah langsung yang dimuat dalam UU No.32 tahun 2004 ini.6. Tinjauan tentang Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang

Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai isi yang sangat singkat dengan 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi. UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan Pemerintah Daerah Istimewa, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU Nomor 19 Tahun 1950 sendiri adalah revisi dari UU Nomor 3 Tahun 1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Status Yogyakarta pada saat pembentukan adalah Daerah Istimewa setingkat Provinsi. Baru pada 1965 Yogyakarta dijadikan Provinsi seperti provinsi lain di Indonesia.7. Tinjauan tentang Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta

Pemerintah dalam RUU tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta tetap mengusulkan suksesi gubernur melalui pemilihan secara demokratis, meskipun usul itu ditolak DPRD setempat dan sejumlah pihak. Dari draft RUU tersebut, terlihat bahwa pemerintah tetap mengajukan kedudukan Sri Sultan dan Paku Alam sebagai gubernur utama dan wakil gubernur utama. Dalam hal kewenangan terkait keistimewaan diatur dalam Pasal 6 ayat (2). Dalam draft tersebut tertulis bahwa kewenangan dalam urusan istimewa sebagaimana dimaksud mencakup penetapan fungsi dan tugas dan wewenang gubernur utama dan wakil gubernur utama, penetapan

kelembagaan pemda provinsi, kebudayaan dan pertanahan dan penataan ruang. Dalam ayat selanjutnya, diatur juga bahwa kewenangan dalam urusan istimewa didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan pada rakyat. Pengaturan lebih lanjut kewenangan dalam urusan-urusan istimewa didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat dan pengaturan lebih lanjut kewenangan dalam urusan istimewa diatur dalam perda. Sementara dalam Pasal 8 yang mengatur mengenai bentuk dan susunan pemerintahan, berisi bahwa Pemda Istimewa Yogyakarta memiliki bentuk dan susunan pemerintahan yang bersifat istimewa. Komposisi kepemimpinan di Pemda DIY terdiri atas gubernur utama dan wakil gubernur utama, pemda provinsi dan DPRD Provinsi DIY. Sri Sultan Hamangkubuwono dan Sri Paku Alam seperti diatur dalam Pasal 9, kedudukannya ditetapkan sebagai gubernur utama dan wakil gubernur utama. Penetapan itu dilakukan berdasarkan keputusan presiden. Ketentuan lebih lanjut mengenai hal itu diatur dalam peraturan pemerintah atas usul Sri Sultan Hamangkubuwo dan Sri Paku Alam. Kewenangan yang dimiliki gubernur utama dan wakil gubernur utama antara lain memberikan arah umum kebijakan dalam penetapan kelembangaan pemda provinsi, kebudayaan, pertahanan, penataan ruang dan penganggaran. Gubernur utama dan wakil gubernur utama juga memberikan persetujuan terhadap rancangan perda yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi DIY dan Gubernur. Gubernur utama dan wakil gubernur utama berhak menyampaikan usul dan/atau pendapat kepada pemerintah dalam rangka penyelenggaraan kewenangan istimewa. Selain itu, mendapatkan informasi mengenai kebijakan dan/atau informasi yang diperlukan untuk perumusan kebijakan menyangkut keistimewaan DIY serta mengusulkan perubahan dan/atau pergantian

perda, memiliki hak protokoler dan kedudukan keuangan yang diatur dengan peraturan pemerintah.

B. Kerangka Berpikir

INDONESIA Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PEMERINTAH PUSAT REPUBLIK DEMOKRASI MONARKI D. I. YOGYAKARTA

Keterangan : Berdasarkan undang-undang dasar 1945 pasal (1) ayat satu, menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik. Dan dalam pasal 18 B ayat (1), menyatakan Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau yang bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Yang menjadi permasalahan sekarang adalah kesultanan Yogyakarta dianggap inkonsistusional karena memunculkan monarki dalam Negara kesatuan.

BAB III METODE PENELITIAN Untuk mendapatkan data dan penelitian yang bulat dan utuh dalam rangka memberikan uraian dan gambaran mengenai Konsep Daerah Keistimewaan Sebagai Dasar Pembentukan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, maka dipergunakan suatu metode penelitian yang sesuai. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: A. Jenis Penelitian Penelitian hukum ini termasuk dalam penelitian normatif atau doctrinal research, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, penelitian doctrinal ini dibedakan ke dalam 3 tipe yang bertolak dari pembedaan konsep hukum, antara lain: 1. Metode kajian hukum dengan hukum yang dikonsepkan sebagai asas keadilan dalam sistem moral mengikuti doktrin aliran hukum alam; 2. Metode kajian hukum dengan hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah perundang-undangan menurut doktrin aliran positivism dalam ilmu hukum; dan3. Metode kajian hukum dengan hukum yang dikonsepkan sebagai keputusan

hakim in concreto menurut doktrin fungsionalisme kaum realis dalam ilmu hukum. (Soetandyo Wignjosoebroto, 2002: hal. 148-157) Dalam penelitian ini yang ingin dikaji adalah Konsep Daerah Keistimewaan Sebagai Dasar Pembentukan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta B. Pendekatan Penelitian Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan perundang-undangan dilakukan

dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang dihadapi. (Peter Mahmud Marzuki, 2006: hal. 93) Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan ini akan membuka kesempatan untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan undang-undang dasar atau antara regulasi dan undang-undang. Hasil dan telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi. Dalam hal ini dikaji semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan RUU Keistimewaan Yogyakarta. Kemudian menurut beliau pula, pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi. (Peter Mahmud Marzuki, 2006: hal. 94) Telaah demikian diperlukan oleh penulis manakala penulis memang ingin mengungkap filosofis dan pola pikir yang melahirkan sesuatu yang sedang dipelajari yang dalam hal ini adalah Konsep Daerah Keistimewaan Sebagai Dasar Pembentuka Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta . Pendekatan historis ini dilakukan untuk mengkaji sejarah terbentuknya keistimewaan Yogyakarta dan dasar pemerintah dalam menetapkan RUU Keistimewaan Yogyakarta Sedangkan pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. (Peter Mahmud Marzuki, 2006: hal. 95) Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum maka akan ditemukan ide-ide yang melahirkan pengertianpengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan Konsep Daerah Keistimewaan Sebagai Dasar Pembentuka Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta . C. Bahan Hukum Dalam penelitian ini yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai

otoritas sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. (Peter Mahmud Marzuki, 2006: hal. 141) Yang menjadi bahan hukum dalam penelitian ini, antara lain: 1. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan resmi, risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim. 2. Bahan hukum sekunder buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnaljurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. D. Analisis Dalam penulisan ini menggunakan tiga pendekatan sehingga ada tiga teknik analisis. Yang pertama dengan pendekatan perundang-undangan maka teknik analisis yang digunakan yaitu dengan mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan undang-undang dasar atau antara regulasi dan undang-undang. Kedua dengan pendekatan historis maka teknik analisis bahan hukum yang digunakan yaitu dengan pelacakan lembaga hukum dari waktu ke waktu sehingga dapat memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi suatu aturan hukum. Dan yang terakhir dengan pendekatan konseptual maka teknik analisis yang digunakan yaitu dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum sehingga penulis akan menemukan ide-ide yang akan melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Dengan kata lain bisa dijelaskan bahwa langkah-langkah penelitian hukum, yaitu: 1. mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan;

2. 3. 4. 5.

pengumpulan bahan-bahan hukum yang sekiranya mempunyai melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah

relevansi dengan isu yang diangkat serta bahan non hukum; bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan; hukum; dan dibangun di dalam kesimpulan.

DAFTAR PUSTAKA A. BUKU1.

Asshiddiqie, Jimly. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Marzuki, Peter Mahmud. 2006. Penelitian Hukum, Cetakan

Jakarta: Konstitusi Press2.

Kedua. Jakarta: Kencana Prenada Media Group 3. Sumiyati, Sri Endang, dkk. 2001. Pelurusan Sejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Yogyakarta : Media Pressindo.B. INTERNET 1. http://www.antaranews.com/berita/1292572611/pas

al-pasal-polemik-dalam-ruu-keistimewaanyogyakarta diakses pada hari senin pukul 19.00 WIB tanggal 30 Mei 2011 di Surakarta2. http://nasional.inilah.com/read/detail/1093692/beso

k-rakyat-diy-beberkan-hasil-survei-tolak-ruuk diakses pada hari senin pukul 19.00 tanggal 30 mei 2011 di Surakarta3. http://www.yiela.com/details/1499161/jk-letak-

keistimewaan-yogya-itu-merakyat-dandemokratisnya diakses spada hari selasa pukul 19.00 tanggal 30 mei 2011 di Surakarta C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta

4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950 tentang

Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta 5. Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta