Makalah Teori Belajar Kognitif Ernst Von Glaserfeld

download Makalah Teori Belajar Kognitif Ernst Von Glaserfeld

of 9

Transcript of Makalah Teori Belajar Kognitif Ernst Von Glaserfeld

Teori Belajar Kognitif Ernst Von Glaserfeld

A. Asal-Usul Kontruktivisme

Menurut Von Glaserfeld, pada awalnya pengertian konstruktif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, bila ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari Italia. Dialah yang mengawali cikal bakal konstruktivisme. Cukup lama gagasan Vico tidak diketahui orang dan seakan dipendam. Piaget menuliskan gagasan konstruktivisme dalam teori tentang perkembangan kognitif dan juga dalam epistemologi genetiknya. Piaget mengungkapkan teori adaptasi kognitifnya, yaitu bahwa pengetahuan kita diperoleh dari adaptasi struktur kognitif terhadap lingkungannya, seperti suatu organisme harus beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat melanjutkan kehidupan. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar, melebihi gagasan Vico.

B. Kontruktivisme Menurut Ernst Von Glaserfeld

Ernst Von Glasersfeld lahir di Munich, tahun 1917. Orang tuanya berasal dari Austria, dan besar di Northern Italy dan Switzerland. Belajar matematika di Zrich dan Vienna, dan selama perang dunia ke dua hidup sebagai petani di Irelandia. Dari tahun 1970, ia mengajar psikologi kognitif di Universitas Georgia, USA, dan mendapat gelar guru besar emeritus tahun 1987. Pada tahun 1970, ia mulai merumuskan epistemologi yang dikenal dengan kontruktivisme radikal, mengacu pada epistemologi konstruktivisme Piaget . Von Glasersfeld (dalam Steffe, 1996: 3) menyatakan: knowledge is not passively received either through the senses or by way of communication; rather, knowledge is actively built up by the cognizing subject, artinya: pengetahuan tidak secara pasif diterima melalui indera atau melalui komunikasi, tetapi pengetahuan secara aktif dibangun oleh kognisi subyek. Konstrukivisme menurut Von Glasersfeld berpendapat bahwa pengetahuan adalah secara aktif diterima orang melalui indera atau melalui komunikasi atau pengalaman. Orang menginterpretasi dan mengkonstruksi realitas berbasis pengalaman dan interaksinya dengan lingkungannya.

Von Glasersfeld (dalam Doolittle dan Camp, 1999: 5) mengemukakan tiga keyakinan (tenet) sebagai epistemologi konstruktivisme yaitu sebagai berikut.

1. Knowledge is not passively accumulated, but rather, is the result of active cognizing by the individual (Pengetahuan tidak dihimpun secara pasif, tetapi dihasilkan melalui kognisi aktif individu). 2. Cognition is an adaptive process that functions to make an individual's behavior more viable given a particular environment (Kognisi merupakan proses adaptif yang berfungsi membuat perilaku individu lebih sesuai pada suatu lingkungan tententu yang diberikan). 3. Cognition organizes and makes sense of one's experience, and is not a process to render an accurate representation of reality (Mengorganisasi kognisi dapat membuat pengertian dari pengalaman seseorang, dan bukan suatu proses untuk menghasilkan representasi akurat dari kenyataan).

Doolittle dan Camp (1999: 5) mengacu pada pendapat Dewey, Garisson, Larochelle, Bednarz dan Garisson, Gergen, dan Maturana dan Varella, menambah sebuah keyakinan (tenet) pada epistemologi konstruktivisme yang dikemukakan oleh Von Glasersfeld yaitu sebagai berikut. 4. Knowing has roots both in biological/neurological construction, and in social, cultural, and language-based interactions (Pengetahuan berakar dalam konstruksi

biologis/neurologis dan dalam interaksi sosial, budaya, dan bahasa).

Konstruktivisme radikal mencakup tiga keyakinan dalam epistemologi konstruktivisme Von Glasersfeld (Doolitte dan Camp, 1999). Penerimaan terhadap ketiga keyakinan ini mengarah pada prinsip-prinsip yang berkaitan dengan sifat-sifat internal dari pengetahuan dan ide bahwa realitas eksternal ada, tetapi tidak diketahui oleh individu karena pengalaman seseorang terhadap bentuk-bentuk realitas eksternal memerlukan perantara indera, sedangkan indera tidak memberikan representasi akurat dari bentuk-bentuk realitas eksternal tersebut. Konstruktivisme radikal tergolong konstruktivisme individu sebagaimana

konstruktivisme Piaget. Konstruktivisme radikal bukan suatu teori pengembangan atau teori pembelajaran, tetapi suatu model pengetahuan yang dapat digunakan oleh para ahli teori pengembangan pembelajaran untuk mengembangkan suatu model pembelajaran (Steffe, 1996). Hal ini berarti konstruktivisme radikal tidak diinterpretasikan sebagai gambaran dari realitas secara mutlak tetapi sebagai model pengetahuan (model of knowing) dan kemungkinan memperoleh pengetahuan dalam kognisi dengan cara mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman sendiri. Konstruktivisme radikal memperhatikan konstruksi struktur mental dan makna secara individu dengan menginterpretasi dan mengkonstruksi pengalaman berinteraksi dengan

lingkungan. Dalam hal ini, konstruksi radikal dipandang memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding konstruktivisme kognitif yang hanya memperhatikan konstruksi struktur mental (Doolittle dan Camp, 1999). Dalam konstruktivisme sosial lebih memperhatikan interaksi sosial daripada konstruksi pengetahuan secara individu, penekanannya pada konstruksi makna dalam suatu kegiatan interaksi sosial. Berdasarkan ungkapan Cobb, Wood, dan Yackel (dalam Steffe, 1996) disimpulkan bahwa konstruktivisme radikal telah dijadikan acuan dalam pembelajaran matematika dengan menekankan pada proses siswa mengkonstruksi realitas matematika (mathematical reality), tetapi kurang memperhatikan aspek sosial. Menurut von Glasersfeld, konstruktivisme radikal tidak membatasi interaksi pada interaksi sosial saja tetapi dapat berupa interaksi dengan material di lingkungan. Konstruktivisme kognitif dan konstruktivisme radikal lebih menekankan pada konstruksi pengetahuan secara individu, interaksi sosial dipandang sebagai pendukung proses konstruksi pengetahuan secara individu berdasarkan pengalaman sendiri sedangkan konstruktivisme sosial lebih menekankan konstruksi pengetahuan melalui proses interaksi sosial. Berkaitan dengan interaksi sosial dalam pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme, terdapat kesesuaian pendapat antara pendapat Von Glasersfeld dan Vygotsky, yaitu dalam pembelajaran dapat memuat kegiatan yang melibatkan siswa aktif belajar mengkonstruksi pengetahuan matematika berdasarkan pengalaman siswa sendiri, belajar dapat dilakukan secara individu, dan dapat melalui interaksi dengan orang lain. Adanya kesesuaian antara pendapat ini, dapat disinyalir dari pendapat Steffe (1996) dan Doolittle dan Camp (1999) yang menyatakan bahwa saat ini terdapat pergerakan dalam konstruktivisme radikal, di samping mencakup tiga epistemologi konstruktivisme yang pertama, juga ada gerakan penerimaan terhadap sebagian epistemologi konstruktivisme yang keempat (Doolittle dan Camp, 1999: 6). Dengan adanya pergerakan ini, dimungkinkan mengembangkan pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang pada prinsipnya mengacu konstruktivisme yang menekankan pada aktivitas siswa mengkonstruksi pengetahuan secara individu berdasarkan pengalaman siswa sendiri tetapi di dalamnya juga memuat kegiatan pembelajaran yang melibatkan interaksi sosial untuk mendukung proses konstruksi pengetahuan matematika yang dilakukan secara individu tersebut. Pendapat Von Glasersfeld berbeda secara radikal dengan konsepsi pemerolehan pengetahuan tradisional, terutama dalam kaitan antara pengetahuan dan realitas. Von Glasersfeld berpendapat bahwa pengetahuan dan realitas tidak memiliki nilai mutlak dan pengetahuan diperoleh secara aktif dan dikonstruksi melalui indera atau melalui komunikasi. Berkaitan dengan pembelajaran, Von Glasersfeld (dalam Yackel, Cobb, Wood, dan Merkel; 2002) menyatakan pandangannya sebagai berikut.

Jika mempercayai bahwa pengetahuan harus dikonstruksi oleh setiap individu yang belajar, maka pembelajaran menjadi sangat berbeda dengan pembelajaran tradisional yang meyakini pengetahuan ada di kepala guru dan guru harus mencari cara untuk mentransfer pengetahuan tersebut kepada siswa. Pembelajaran menurut konstruktivisme radikal memandang bahwa pengetahuan harus dikonstruksi oleh individu. Jadi berdasar informasi yang masuk ke diri siswa, siswa aktif belajar mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman sendiri. Hal ini, pada awal penyerapan pengetahuan, dimungkinkan terjadinya perbedaan konsepsi antar siswa terhadap hasil pengamatan. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran yang konstektual artinya bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak seluas-luasnya. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Von Glaserfeld menegaskan bahwa pengetahuan bukanlah satu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selau merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomen yang sesuai. Dalam konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada orang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orang harus mengkonstruksi pengetahuan sendiri. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu, keaktifan seseorang yang ingin tahu amat berperan dalam perkembangan pengetahuannya. Von Galserfeld (dalam Paul, S., 1996) sebagaimana dikutip oleh Asri Budiningsih (2005:57) mengemukakan bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu: a. Kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman. b. Kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan c. Kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengetahuan yang satu daripada yang lainnya.

Belajar adalah kegiatan aktif siswa untuk membentuk pengetahuan. Belajar lebih dari sekedar mengingat. Bagi siswa, untuk benar-benar mengerti dan dapat menerapkan ilmu pengetahuan, mereka harus bekerja untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu bagi

diri mereka sendiri, dan selalu bergulat dengan ide-ide. Tugas pendidikan tidak hanya menuangkan atau menjejalkan sejumlah informasi ke dalam benak siswa, tetapi mengusahakan bagaimana agar konsep-konsep penting dan sangat berguna tertanam kuat dalam benak siswa. Tugas guru utama bukan mentransfer pengetahuan tetapi memfasilitasi kegiatan pembelajaran sehingga siswa memiliki kesempatan aktif belajar dengan cara mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman siswa sendiri. Dalam kegiatan pembelajaran guru perlu mempertimbang adanya perbedaan tingkat konsepsi siswa terhadap apa yang yang diamati. Dalam memahami suatu konsep sering terjadi konflik kognitif disebabkan oleh adanya problematika perbedaan tingkat konsepsi akibat beragamnya pengalaman siswa. Von Glaserfeld membedakan konstruktivisme menjadi 2 macam, yaitu: 1. Konstruktivisme Radikal Konstruktivisme radikal berpegang bahwa kita hanya dapat mengetahui apa yang dibentuk/ dikonstruksi oleh pikiran kita. Bentukan itu harus jalan dan tidak harus selalu merupakan representasi dunia nyata. Adalah suatu ilusi bila percaya bahwa apa yang kita ketahui itu memberikan gambaran akan dunia nyata (Von Garselfeld, 1989). Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari seseorang yang mengetahui, maka tidak dapat ditransfer kepada penerima yang pasif. Penerima sendiri yang harus mengkonstruksi pengetahuan itu. Semua yang lain, entah objek maupun lingkungan, hanyalah sarana untuk terjadinya konstruksi tersebut. Dalam pandangan konstruktivisme radikal, sebenarnya tidak ada konstruksi sosial, dimana pengetahuan itu dikonstruksikan bersama karena masingmasing orang harus menyimpulkan dan menangkap sendiri makna terakhir. Pandangan orang lain hanyalah bahan untuk dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang sudah dipunyai orang itu sendiri. 2. Konstruktivisme biasaAliran ini tidak mengambil semua konsekuensi konstruktivisme. Menurut aliran ini, pengetahuan kita merupakan gambaran dari realitas itu. Pengetahuan kita dipandang sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek dalam dirinya sendiri. 3. Realisme Hipotesis Menurut realisme hipotesis, pengetahuan (ilmiah) kita dipandang sebagai suatu hipotesis dari suatu struktur kenyataan dan berkembang menuju suatu pengetahuan yang sejati, yang dekat dengan realitas (Manuver, 1981, dalam Suparno, 1997:26). Menurut Manuver (dalam Suparno, 1997:26) pengetahuan kita mempunyai relasi dengan kenyataan tetapi tidak sempurna.

Menurut Glasersfeld (1987) konstruktivisme sebagai "teori pengetahuan dengan akar dalam filosofi, psikologi dan cybernetics". Von Glasersfeld mendefinisikan konstruktivisme radikal selalu membentuk konsepsi pengetahuan. Ernst dalam Constructivism in education (1995) mencatat bahwa terdapat tujuh paradigma konstruktivisme, posisinya adalah semua varian tentang konstruktivisme adalah radikal. Pertimbangan yang penting bagaimanapun berhubungan dengan kebutuhan sebagai Ernst lihat "untuk mengakomodasi komplementaritas antara konstruksi individu dan interaksi sosial" (Ernst, 1995: 483). Sementara perspektif konstrukktivisme sosial dan radikal masing-masing mempunyai penekanan khusus tertentu, Ernest (1995: 485) memperoleh satu bentuk teoretis menyokong yang umum dengan karakteristik konstruktivisme sebagai berikut: 1. Pengetahuan secara keseluruhan adalah diproblematisasikan, tidak hanya pengetahuan subjektif siswa, mencakup pengetahuan secara mathematik dan logika. (Beanarkah sekarang ini sikap menghargai dan toleransi serta simpati terhadap keberagaman budaya Indonesia itu menunjukkan pada titik yang rendah? Ataukah memang sebagai warga global kita tidak diperlukan lagi rasa menghargai, simpati, toleran terhadap keberagaman budaya Indonesia yang kita miliki, dan kita cukup dengan mengembangkan budaya global?, dan sebagainya). 2. Pendekatan secara metodologis diperlukan untuk dapat menjadi lebih berhati-hati dan refleksif sebab tidak ada "cara singkat" untuk mencapai kebenaran atau mendekati kebenaran itu. (Anda bisa menyajikan topik ini dengan berbagai pendekatan seni-budaya, misalnya: Sekarang ini bangsa Indonesia sudah begitu maju dalam seni budaya. Apapun yang bernuansa seni-budaya global, musik rock, pop, blues, clasic, rap, hiburan, mode pakaian, rambut, dan sebagainya berkembang di kalangan kaula muda kita. Benarkah ini semua menggambarkan dinamika majunya bangsa Indonesia dalam blantika musik maupun kebudayaan lainnya? 3. Fokus perhatian bukan hanya kognisi-kognisi siswa, tetapi kognisi-kognisi siswa, kepercayaan, dan konsepsi-konsepsi pengetahuan. (Kebudayaan itu sebagai warisan generasi sebelumnya, kebudayaan itu sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidup; kebudayaan itu berkisar pada seni tradisional, kepercayaan-kepercayaan, keyakinankeyakinan, kebudayaan itu juga sebagai ekpresi dan kontrak sosial, kebudayaan lokal itu sebagai mmanifestasi kepercayaan dan tradisi-tradisi kelokakan, kebudayaan lokal itu berbeda bahkan mungkin bertentangan dengan kebudayaan global, dan sebagainya). 4. Fokus perhatian dengan guru dan dalam pendidikan guru bukan hanya dengan mata pelajaran guru dan ketrampilan diagnostik, tetapi dengan kepercayaan guru, konsepsikonsepsi, dan teori-teori tertentu tentang mata pelajaran, mengajar, dan belajar. (Anda

bisa mengelaborasi dan mengaitkan teori-teori difusi Smith & Perry, akulturasi Ralph Linton, enkulturasi Erik Fromm, asimilasi Yinger, yang berhubungan dengan pengembangan budaya lokal, teori imitasi Gabriel Tarde, maupun teori-teori belajar sosial Bandura, dan sebagainya). 5. Walaupun kita secara tentatif dapat mengenali pengetahuan dari yang lain dengan menginterpretasikan tindakan dan bahasa mereka melalui konsepsi kita sendiri yang dibangun, yang lainnya mempunyai kenyataan yang tidak terikat (independent) pada kita. Tentu saja, hal itu adalah realitas dari yang lain bersamaan dengan kenyataan kita sendiri yang bekerja keras untuk memahaminya, tetapi kita tidak pernah dapat mengambil apapun kenyataan ini ketika ditetapkan. (Dalam hal ini Anda tidak boleh berasumsi bahwa pengetahuan siswa itu identik dengan pengetahuan Anda. Oleh karena itu sesungguhnyalah dalam kajian ini bisa terjadi bahwa sebenarnya diri Anda yang sedang mengkaji Menunjukkan Sikap Toleransi dan Empati Sosial Terhadap Keberagaman Budaya Indonesia" dan Anda hanya sedikit mungkin tidak memperoleh pengetahuan baru tentang kajian tersebut. Namun di sini yang diperlukan atas dedikasi Anda adalah keikhlasan pengorbanan Anda). 6. Suatu kesadaran konstruksi pengetahuan sosial menyarankan suatu penekanan pedagogis atas diskusi, kerja sama (kolaborasi), negosiasi, dan berbagi makna. (Anda bisa membentuk suatu atau berapa kelompok kerja siswa, sebab dengan pembentukan kelompok tidak sekedar meningkatkan social skills siswa, tetapi juga memrlukan suatu konfirmasi konsep, penyempurnaan pandangan dari komunitas yang heterogen).

Ernest (1995: 485) dalam deskripsinya banyak sekolah pemikiran constructivism menyarankan implikasi-imlplikasi constructivism yang berikut berasal dari kedua-duanya perspektif sosial dan radikal: 1. Kepekaan dan penuh perhatian terhadap konstruksi siswa sebelumnya; 2. Coba diagnostik pengajaran untuk memperbaiki kesalahan siswa dan adanya kesalahpahaman; 3. Perhatikan untuk metacognition dan strategi pengaturan diri oleh siswa; 4. Gunakan berbagai representasi konsep-konsep matematis; 5. Kesadaran adalah penting dalam mencapai tujuan siswa; 6. Kesadaran pentingnya konteks sosial, seperti perbedaan antara sanaksaudara atau jalan matematika dan sekolah matematika (dan suatu usaha untuk memanfaatkan yang terdahulu untuk yang belakangan).

Ernst von Glasersfeld dianggap telah melanjutkan asas kerja Piaget dengan signifikan, mengembangkan hasilnya dengan baik dan menghuraikan konstruktivis epistemologi kepada dua prinsip: I. Prinsip A: Prinsip konstruktivisme trivial : pengetahuan bukannya diterima secara pasif tetapi dibina secara aktif oleh pihak yang berlajar II. Prinsip B: Prinsip konstruktivisme radical : fungsi kognisi adalah untuk menyesuai dan memberi khidmat mengorganisasi dunia pengalaman, bukannya penemuan realiti ontologi. Dalam Prinsip A, sebarang pengetahuan baru telah dibina secara aktif dari pre-existing objek mental dalam pikiran pelajar dan ia dibina secara unik dengan gaya tersendiri. Model ini dikatakan telah merangsang perkembangan dalam pengajaran. Prinsip B, dikatakan bahawa semua pengetahuan adalah dibina, dan bahawa tiada sesiapa yang memberi tahu kita sebarang hal mengenai dunia itu. Ini jelas menunjukkan mengapa ia dikatakan radical. Menurut Von Glasersfeld (1983; dalam Hasnul Hadi, 1993), sebarang aktivitas memberi makna atau menafsirkan pengalaman matematika harus melibatkan empat unsur seperti berikut: 1. Pelajar yang aktif (P, pentafsir) 2. Objek matematika (O) yang dialami oleh P 3. Aktivitas khusus (dalam memberi makna atau menafsir) yang dilakukan oleh P. 4. Hasil aktivitas khusus, yang bukan merupakan sebagian dari pengalaman P yang sertamerta tentang O tetapi berkaitan dengan O melalui beberapa saling hubungan yang diketahui oleh P.

Konstruktivisme tentang belajar adalah sebagai berikut. 1. Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan non objektif, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu. 2. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif dan refleksi dan interpretasi. 3. Peserta didik akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pengalamannya dan persepektif yang didalam menginterprestasikannya.

C. Kelebihan dan Kelemahan Teori Kontruktivisme 1. Kelebihan a. Berfikir

Dalam proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan membuat keputusan. b. Paham Oleh karena murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi. c. Ingat Oleh karena murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. d. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kepahaman mereka. Justru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru. e. Kemahiran sosial Kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru. f. Seronok Oleh karena mereka terlibat secara terus, mereka paham, ingat, yakin dan berinteraksi dengan sehat maka mereka akan senang belajar dalam membina pengetahuan baru.

2. Kelemahan a. Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ilmuan sehingga menyebabkan miskonsepsi. b. Konstruktivisme menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda. c. Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa.