MAKALAH TALAK
-
Upload
elsha-famaysella -
Category
Documents
-
view
7 -
download
0
description
Transcript of MAKALAH TALAK
TALAK
1. PENGERTIAN TALAK
Secara bahasa berarti melepas, mengurai, atau meninggalkan
Secara istilah berarti pernyataan atau sikap atau perbuatan untuk melepaskan ikatan
pernikahan.Bisa juga dikatakan sebagai putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri
dalam waktu tertentu atau selamanya.
2. MACAM-MACAM TALAK
Talak di bagi menjadi menjadi 5 macam :
A. TALAK SUNNI
• Talak sunni, yakni perceraian yang dilakukan oleh suami yang mengucapkan cerai talak
kepada isterinya yang masih suci dan belum disetubuhinya (sang istri beradaa dalam
keadaan suci).
B. TALAK BID’I
Talak bid’i, suami mengucapkan talak kepada isterinya ketika sang istri dalam keadaan haid
atau berada dalam kondisi suci tapi sang istri sudah disetubuhi (berhubungan intim).
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya beliau pernah mentalak istrinya
dan istrinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu
‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu menanyakan masalah ini kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda.
“Hendaklah ia meruju' istrinya kembali, lalu menahannya hingga istrinya suci kemudian haidh
hingga ia suci kembali. Bila ia (Ibnu Umar) mau menceraikannya, maka ia boleh mentalaknya
dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah al 'iddah sebagaimanayang telah
diperintahkan Allah 'azza wajalla.”
C. TALAK RAJ’I
Talak raj’i, yakni perceraian ketika suami mengucapkan talak satu atau talak dua kepada
isterinya.Suami boleh rujuk kembali ke isterinya ketika masih dalam iddah.Jika waktu iddah
telah habis, maka suami tidak dibenarkan melakukan rujuk dengan istrinya kecuali dengan
melakukan akad nikah baru.
D. TALAK BAIN
Talak bain, perceraian pada saat suami mengucapkan atau melafazkan talak tiga (atau ketiga)
kepada isterinya. Isterinya tidak boleh diajak rujuk kembali kecuali setelah isterinya menikah
dengan lelaki lain, suami barunya menyetubuhinya, setelah diceraikan suami barunya dan telah
habis iddah dengan suami barunya.
E. TALAK TAKLIK
Talak taklik, yakni suami yang menceraikan isterinya dengan sesuatu sebab atau syarat.Apabila
syarat atau sebab itu dilakukan atau berlaku, maka terjadilah penceraian atau talak.
Dari penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa talak 1 dan talak 2 adalah talak (cerai) yang
memungkinkan si suami untuk kembali rujuk (termasuk mengajak berhubungan intim) dengan
istrinya selama masa iddah.Dari penjelasan di atas, maka talak 1 dan talak 2 masuk dalam
kategori talak raj’i.Sementara jika seorang suami menyatakan talak 3 kepada istrinya, maka dia
tidak boleh rujuk kecuali syarat yang telah disebut di talak bain di atas.
Di sisi lain talak di bagi 2 keadaan:
1.Talak dalam keadaan marah.
Ketika seseorang mengatakannya dengan tegas dan jelas bahwa Anda telah menceraikan isteri
Anda, maka di mata Allah SWT tidak ada lagi tempat untuk mengelak. Bahkan meski
sebenarnya saat mengucapkannya, Anda sama sekali tidak berniat untuk mentalaknya. Atau
hanya sekedar menggeretak atau karena emosi sesaat.
2. Talak dalam keadaan mabuk.
Orang yang mentalak istri dalam keadaan mabuk, para ulama berbeda pendapat, sebagian mereka
mengatakan bahwa talak orang yang sedang mabuk tidak dianggap jatuh sebab dilakukan dalam
keadaan tidak sadar.Dan sebagiannya mengatakan bahwa talaknya dianggap jatuh sebagai sanksi
atas kejahatannya.
KHULU’Khulu’ menurut syara’ adalah lafadz yang menunjukkan perceraian antara suami istri dengan
tebusan yang harus memenuhi persyaratan tertentu.
SYARAT KHULU
Jika persengketaan antara suami isteri kian parah dan tidak mungkin lagi diambil langkah-
langkah kompromistis supaya mereka bersatu kembali atau pihak isteri sudah menggebu-gebu
untuk bercerai dengan suaminya, maka ia boleh menebus dirinya dari kekuasaan suaminya
dengan menyerahkan sejumlah harta kepadanya sebagai ganti dari buruknya keadaan yang
menimpa suaminya karena bercerai dengannya, Allah SWT berfirman, ”Dan tidak halal bagi
kamu mengambil dari sesautu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
(suami isteri) khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa
atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (Al-
Baqarah:229).
LI’AN
PENGERTIAN LI’AN
Kata li’an menurut bahasa berarti alla’nu bainatsnaini fa sha’idan (saling melaknat yang terjadi
di antara dua orang atau lebih). Sedang, menurut istilah syar’i, li’an ialah sumpah dengan redaksi
tertentu yang diucapkan suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang lahir dari
isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa tuduhan
suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong.
Hukum Li’an
Apabila suami isteri melakukan mula’anah atau li’an, maka berlakukan pada keduanya hukum-
hukum berikut ini :
1. Keduanya harus diceraikan, berdasarkan hadist:
Dari Ibnu Umar r.a , ia berkata, “Nabi saw memutuskan hukum di antara seorang suami dan
isteri dari kaum Anshar, dan menceraikan antara keduanya.”
2. Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya.
Dari Sahl bin Sa’d ra, ia berkata, “Telah berlaku sunnah Nabi saw tentang suami isteri yang
saling bermula’anah di mana mereka diceraikan antara keduanya, kemudian mereka tidak (boleh)
ruju’ buat selama-lamanya.”
POLIGAMI MENURUT ISLAMTetapi, poligami diperbolehkan dengan syarat ia dilakukan pada masa-masa terdesak untuk
mengatasi perkara yang tidak dapat diatasi dengan jalan lain. Atau dengan kata lain bahawa
poligami itu diperbolehkan oleh Islam dan tidak dilarang kecuali jikalau dikhawatirkan bahwa
kebaikannya akan dikalahkan oleh keburukannya.
SYARAT POLIGAMI1. Membatasi jumlah isteri yang akan dinikaninya. Dalam Islam 4 orang
2. Diharamkan bagi suami mengumpulkan wanita-wanita yang masih ada tali persaudaraan
menjadi isterinya. Misalnya, nikah dengan kakak dan adik, ibu dan anaknya, anak saudara
dengan emak saudara baik sebelah ayah maupun ibu.
3. Disyaratkan pula berlaku adil,
Dengan tegas diterangkan serta dituntut agar para suami bersikap adil jika akan berpoligami.
Andaikan takut tidak dapat berlaku adil kalau sampai empat orang isteri, cukuplah tiga orang
sahaja.Tetapi kalau itupun masih juga tidak dapat adil, cukuplah dua sahaja.Dan kalau dua itu
pun masih khawatir tidak boleh berlaku adil, maka hendaklah menikah dengan seorang saja.
PANDANGAN ISLAM TENTANG KB (KELUARGA
BERENCANANamun ternyata gerakan pembatasan keturunan ini jika kita perhatikan dari sisi agama, ternyata
program Keluarga Berencana ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
ajaran Islam. Sebab Allah SWT dan Rasulullah SAW telah mensyariatkan kepada umatnya untuk
hukum asal membatasi keturunan adalah haram, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu yang
mengharuskannya untuk tidak melahirkan lagi seperti dalam keadaan darurat.
Yang dimaksud dalam kondisi darurat tersebut,yakni :
-Pertama: Keadaan istri yang sakit, yang tidak memungkinkan untuk hamil atau melahirkan lagi.
Dan jika mengandung atau melahirkan lagi akan membahayakan kesehatan sang istri. Maka
dibolehkan baginya untuk berhenti memiliki keturunan.
-KEDUA: keadaan seseorang (suami-istri) yang sudah memiliki anak banyak, sedangkan istri
keberatan untuk hamil lagi, maka dalam hal ini seorang istri tidak di perkenankan untuk hamil
lagi.
HUKUM ANAK LAHIR DI LUAR NIKAH2. Status Anak di Luar Nikah Menurut Islam
Islam hanya mengakui hubungan darah ( nasab ) seseorang melalui jalinan perkawinan yang sah. Ini
bisa dipahami langsung dari salah satu tujuan pernikahan adalah untuk meneruskan keturunan. Artinya,
ketika sesorang telah melangsungkan akad nikah, kemudian mereka bercampur ( melakukan hubungan
suami isteri) dan memperoleh keturunan, maka anak yang dilahirkan tersebut adalah sah dan
dinasabkan kepada si ayah. Namun sebaliknya, jika keturunan yang diperoleh di luar ikatan perkawinan,
baik dilakukan dengan suka rela (perzinahan) atau paksaan (perkosa), maka dalam hal ini, anak yang
dilahirkan dinasabkan pada si Ibu yang melahirkannya, bukan pada si Ayah. Walaupun secara biologis
diketahui bahwa anak tersebut terlahir dari benih sang ayah.
Kondisi ini juga berlaku pada kasus hamil di luar nikah. Mayoritas ulama sepakat bahwa anak
yang dilahirkan dari hasil hubungan di luar nikah tidak boleh dinasabkan pada ayahnya. Karena
perbuatan tersebut tergolong zinah. Ini berdasarkan pada hadis rasulullah saw : “Status
(kewalian) anak adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan. Dan bagi
pelaku zina (dihukum) batu”.(Muttafaq ‘alaih). Dengan demikian, pernikahan yang didahului
zinah dan dan hamil sebelum dilangsungkan aqad nikah maka anak yang terlahir dinasabkan
pada ibu. Sebagai konsekwensi, si ayah tidak berhak menjadi wali nikah, mewariskan, dan
hukum lainnya yang berkaitan dengan nasab.
Adapun soal apakah si Ibu harus memberitahukan pada si anak siapa ayah sebenarnya, itu tidak
wajib. Jadi tidak berdosa menyembunyikan identitas ayahnya. Karena secara hukum, tidak ada
lagi hak si ayah pada anak yang dihasilkan dari perzinahannya. Hanya saja, untuk
memberitahukan bahwa sang ayah sudah mati, kalau itu tidak benar dan hanya sebagai luapan
kebencian semata maka ini tidak boleh. Sebab termasuk pada perbuatan dusta yang justru akan
menyulut permusuhan lebih dalam. Cukup saja mengatakan kondisi apa adanya jika anak itu
telah dewasa atau telah memungkinkan untuk menerima kenyataan. Karena kita diharuskan
senantiasa berbuat adil kepada siapapun, sampai pada orang yang kita benci sekalipun. Dan,
kejujuran itu merupakan wujud dari adil yang harus kita tampilkan. Allah swt berfirman : “Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil” (QS.Al-maidah :8)
Di sini, juga perlu diingat bahwa tidak ada istilah anak haram. Karena Islam tidak mengakui
adanya dosa warisan. Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah (suci). Kalaupun ia ditakdirkan
lahir dari hasil zina kedua orang tuanya, namun dosa zina bukan pada si anak tapi pada kedua
orang tuanya. Allah swt berfirman : “dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain”. (QS.az-Zumar: 7). Oleh karenanya, orang tua harus bertaubat nasuha. Sebab zina adalah
satu dosa besar yang sangat dimurkai oleh Allah swt.
Akibat Hukum
Jika seorang anak telah dihukumkan sebagai anak yang lahir di luar perkawinan sebagaimana
disebutkan diatas, maka terdapat beberapa akibat hukum menyangkut hak dan kewajiban antara
anak, ibu yang melahirkannya dan ayah/bapak alaminya (genetiknya), yaitu :
Hubungan Nasab
Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam sebagaimana yang telah dikemukakan, dinyatakan bahwa
anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan
keluarga ibunya saja.
Hal demikian secara hukum anak tersebut saama sekali tidak dapat dinisbahkan kepada
ayah/bapak alaminya, meskipun secara nyata ayah/bapak alami (genetik) tersebut merupakan
laki-laki yang menghamili wanita yang melahirkannya itu.
Meskipun secara sekilas terlihat tidak manusiawi dan tidak berimbang antara beban yang
diletakkan di pundak pihak ibu saja, tanpa menghubungkannya dengan laki-laki yang menjadi
ayah genetik anak tersebut, namun ketentuan demikian dinilai menjunjung tinggi keluhuran
lembaga perkawinan, sekaligus menghindari pencenaran terhadap lembaga perkawinan.
Nafkah
Oleh karena status anak tersebut menurut hukum hanya mempunyai hubungan nasab dengan
ibunya dan keluarga ibunya semata, maka yang wajib memberikan nafkah anak tersebut adalah
ibunya dan keluarga ibunya saja.
Sedangkan bagi ayah/bapak alami (genetik), meskipun anak tersebut secara biologis merupakan
anak yang berasal dari spermanya, namun secara yuridis formal sebagaimana maksud Pasal 100
Kompilasi Hukum Islam diatas, tidak mempunyai kewajiban hukum memberikan nafkah kepada
anak tersebut.
Hal tersebut berbeda dengan anak sah. Terhadap anak sah, ayah wajib memberikan nafkah dan
penghidupan yang layak seperti nafkah kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya kepada anak-
anaknya, sesuai dengan penghasilannya, sebagaimana ketentuan Pasal 80 ayat (4) Kompilasi
Hukum Islam, dalam hal ayah dan ibunya masih terikat tali perkawinan.
Apabila ayah dan ibu anak tersebut telah bercerai, maka ayah tetap dibebankan memberi nafkah
kepada anak-anaknya sesuai dengan kemampuannya, sebagaimana maksud Pasal 105 huruf (c)
dan Pasal 156 huruf (d) Kompilasi Hukum Islam.
Meskipun dalam kehidupan masyarakat ada juga ayah alami/genetik yang memberikan nafkah
kepada anak yang demikian,maka hal tersebut pada dasarnya hanyalah bersifat manusiawi,
bukan kewajiban yang dibebankan hukum sebagaimana kewajiban ayah terhadap anak sah. Oleh
karena itu secara hukum anak tersebut tidak berhak menuntut nafkah dari ayah/bapak alami
(genetiknya).
Hak – Hak Waris
Sebagai akibat lanjut dari hubungan nasab seperti yang dikemukakan, maka anak tersebut hanya
mempunyai hubungan waris-mewarisi dengan ibunya dan keluarga ibunya saja, sebagaimana
yang ditegaskan pada Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam : “ anak yang lahir diluar perkawinan
hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarganya dari pihak ibunya”.
Dengan demikian, maka anak tersebut secara hukum tidak mempunyai hubungan hukum saling
mewarisi dengan ayah/bapak alami (genetiknya).
Hak Perwalian
Apabila dalam satu kasus bahwa anak yang lahir akibat darti perbuatan zina (diluar
perkawinan)tersebut ternyata wanita, dan setelah dewasa anak tersebut akan menikah, maka
ayah/bapak alami (genetiknya) tidak berhak atau tidak sah menjadi wali niksahnya, sebagaimana
ketentuan wali nikah dalam Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam :
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum
Islam yakni Muslim, aqil dan baligh.
Ketentuan hukum yang sama sebagaimana ketentuan hukum terhadap anak luar nikah
tersebut, sama halnya dengan status hukum semua anak yang lahir diluar pernikahan
yang sah sebagaimana disebutkan diatas.