Makalah Suku Batak Toba.doc

28
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di Pulau Sumatera yang terletak pada 1° - 4° Lintang Utara dan 98° - 100° Bujur Timur, dengan luas daratan 71.680 km². Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara juga merupakan pusat kantor pemerintahan dan pusat bisnis hingga menjadikan Medan sebagai kota terbesar ke-3 di Indonesia. Pada bagian pesisir timur, wilayah di dalam provinsi yang paling pesat perkembangannya karena persyaratan infrastruktur yang relatif lebih lengkap daripada wilayah lainnya. Wilayah pesisir timur juga merupakan wilayah yang relatif padat konsentrasi penduduknya dibandingkan wilayah lainnya. Pada masa kolonial Hindia-Belanda, wilayah ini termasukresidentie Sumatra's Oostkust bersama provinsi Riau.Di wilayah tengah provinsi berjajar Pegunungan Bukit Barisan. Di pegunungan ini terdapat beberapa wilayah yang menjadi kantong-kantong konsentrasi penduduk. Daerah di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir, merupakan daerah padat penduduk yang menggantungkan hidupnya kepada danau ini. 1

Transcript of Makalah Suku Batak Toba.doc

Page 1: Makalah Suku Batak Toba.doc

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi di Pulau

Sumatera yang terletak pada 1° - 4° Lintang Utara dan 98° - 100° Bujur Timur,

dengan luas daratan 71.680 km². Medan adalah ibu kota provinsi Sumatera

Utara juga merupakan pusat kantor pemerintahan dan pusat bisnis hingga

menjadikan Medan sebagai kota terbesar ke-3 di Indonesia. Pada bagian pesisir

timur, wilayah di dalam provinsi yang paling pesat perkembangannya karena

persyaratan infrastruktur yang relatif lebih lengkap daripada wilayah lainnya.

Wilayah pesisir timur juga merupakan wilayah yang relatif padat konsentrasi

penduduknya dibandingkan wilayah lainnya. Pada masa kolonial Hindia-

Belanda, wilayah ini termasukresidentie Sumatra's Oostkust bersama provinsi

Riau.Di wilayah tengah provinsi berjajar Pegunungan Bukit Barisan. Di

pegunungan ini terdapat beberapa wilayah yang menjadi kantong-kantong

konsentrasi penduduk. Daerah di sekitar Danau Toba dan Pulau Samosir,

merupakan daerah padat penduduk yang menggantungkan hidupnya kepada

danau ini.

Terdapat 419 pulau di propisi Sumatera Utara. Pulau-pulau terluar adalah

pulau Simuk (kepulauan Nias) yang terdiri dari pulau Nias sebagai pulau utama

dan pulau-pulau kecil lain di sekitarnya. Kepulauan Nias terletak di lepas

pantai pesisir barat di Samudera Hindia. Pusat pemerintahan terletak di

Gunung Sitoli, dan pulau Berhala di selat Sumatera (Malaka). Kepulauan Batu

ini terdiri dari 51 pulau dengan 4 pulau besar: Sibuasi, Pini, Tanahbala,

Tanahmasa. Pusat pemerintahan di Pulautelo di pulau Sibuasi. Kepulauan Batu

terletak di tenggara kepulauan Nias.

Provinsi ini dihuni oleh banyak suku bangsa yang tergolong dari Melayu

Tua dan Melayu Muda. Penduduk asli provinsi ini terdiri dari Suku Melayu,

Suku Batak, Suku Nias, dan Suku Aceh. Daerah pesisir Sumatera Utara, yaitu

timur dan barat pada umumnya didiami oleh Suku Melayu dan Suku

1

Page 2: Makalah Suku Batak Toba.doc

Mandailing yang hampir seluruhnya beragama ISLAM. Sementara di daerah

pegunungan banyak terdapat Suku Batak yang sebagian besarnya beragama

KRISTEN. Selain itu juga ada Suku Nias di kepulauan sebelah barat. Kaum

pendatang yang turut menjadi penduduk provinsi ini didominasi oleh Suku

Jawa. Suku lainnya adalah Suku Tionghoa dan beberapa minoritas lain1.

Batak Toba adalah sub atau bagian dari suku bangsa Batak yang

wilayahnya meliputi Balige, Porsea, Parsoburan, Laguboti, Ajibata, Uluan,

Borbor, Lumban Julu, dan sekitarnya. Silindung, Samosir, dan Humbang

bukanlah Toba. Karena 4 (empat) sub atau bagian suku bangsa Batak

(Silindung_Samosir_Humbang_Toba) memiliki wilayah dan contoh marga

yang berbeda. Pada Desember 2008, Keresidenan Tapanuli disatukan dalam

Provinsi Sumatera Utara. Toba saat ini masuk dalam wilayah Kabupaten Toba

Samosir yang beribukota di Balige. Kabupaten Toba Samosir dibentuk

berdasarkan Undang-Undang No 12. Tahun 1998 tentang pembentukan

Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir dan Kabupaten Mandailing Natal,

di Daerah Tingkat I Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Toba Samosir ini

merupakan pemekaran dari Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Utara2.

Lebih lanjut budaya suku Batak Toba berdasarkan rumusan C. Kluckhohn,

yaitu :

1. Bahasa

Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang Batak menggunakan

beberapa logat, ialah:

(1) Logat Karo yang dipakai oleh orang Karo;

(2) Logat Pakpak yang dipakai oleh Pakpak;

(3) Logat Simalungun yang dipakai oleh Simalungun;

(4) Logat Toba yang dipakai oleh orang Toba, Angkola dan Mandailing.

2. Sistem Pengetahuan

1 BPS Sumut, Sumatera Utara, http://www.bps.sumut.go.id.com, acces 25 Desember 2013. 2 Wikipedia, Suku Batak Toba, http://www.wikipedia.com, acces 24 Desember 2013.

2

Page 3: Makalah Suku Batak Toba.doc

Orang Batak juga mengenal sistem gotong-royong kuno dalam hal

bercocok tanam. Dalam bahasa Karo aktivitas itu disebut Raron, sedangkan

dalam bahasa Toba hal itu disebut Marsiurupan. Sekelompok orang

tetangga atau kerabat dekat bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-

masing anggota secara bergiliran. Raron itu merupakan satu pranata yang

keanggotaannya sangat sukarela dan lamanya berdiri tergantung kepada

persetujuan pesertanya3.

3. Teknologi

Masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat sederhana

yang dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya. Seperti

cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol

dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi) atau ani-ani. Masyarakat Batak juga

memiliki senjata tradisional yaitu, piso surit (sejenis belati), piso gajah

dompak (sebilah keris yang panjang), hujur (sejenis tombak), podang

(sejenis pedang panjang). Unsur teknologi lainnya yaitukain ulos yang

merupakan kain tenunan yang mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan

adat Batak.

4. Organisasi Sosial

a. Perkawinan

Pada tradisi suku Batak seseorang hanya bisa menikah dengan orang

Batak yang berbeda klan sehingga jika ada yang menikah dia harus

mencari pasangan hidup dari marga lain selain marganya (eksogami).

Apabila yang menikah adalah seseorang yang bukan dari suku Batak

maka dia harus diadopsi oleh salah satu marga Batak (berbeda klan).

Acara tersebut dilanjutkan dengan prosesi perkawinan yang dilakukan

di gereja karena mayoritas penduduk Batak beragama Kristen. Untuk

mahar perkawinan-saudara mempelai wanita yang sudah menikah.

3 Jona L Toruan, Suku Bangsa Batak dan Konsep Kebudayaan Batak, http://www.habatakon01. blogspot.com, 25 Desember 2013.

3

Page 4: Makalah Suku Batak Toba.doc

b. Kekerabatan

Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang

dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak,

yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan

sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada. Bentuk

kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari

silsilah marga mulai dari si Raja Batak, dimana semua suku bangsa

Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis

terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena

perkawinan.

Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan adat adalah ikatan

sedarah dalam marga. Dimana marga artinya, misalnya Harahap,

kesatuan adatnya adalah marga Harahap dengan marga lainnya.

Berhubung bahwa adat Batak atau tradisi Batak sifatnya dinamis yang

seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap

perbedaan corak tradisi antar daerah4.

5. Mata Pencaharian

Pada umumnya masyarakat Batak bercocok tanam padi di sawah dan

ladang. Lahan didapat dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap

kelurga mandapat tanah tadi tetapi tidak boleh menjualnya. Selain tanah

ulayat adapun tanah yang dimiliki perseorangan.

Perternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak antara lain

perternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan

ikan dilakukan sebagian penduduk disekitar danau Toba. Sektor kerajinan

juga berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, temmbikar,

yang ada kaitanya dengan pariwisata.

4 Wikipedia, Op. Cit.

4

Page 5: Makalah Suku Batak Toba.doc

6. Sistem Religi

Pada abad 19 agama islam masuk daerah penyebaranya meliputi batak

selatan. Agama kristen masuk sekitar tahun 1863 dan penyebaranya

meliputi batak utara. Walaupun d emikian banyak sekali masyarakat batak

didaerah pedesaan yang masih mmpertahankan konsep asli religi pendduk

batak. Orang batak mempunyai konsepsi bahwa alam semesta beserta

isinya diciptakan oleh Debeta Mula Jadi Na Balon dan bertempat tinggal

diatas langit dan mempunyai nama-nama sesuai dengan tugasnya dan

kedudukanya . Debeta Mula Jadi Na Balon : bertempat tinggal dilangit dan

merupakan maha pencipta; Siloan Na Balom: berkedudukan sebagai

penguasa dunia mahluk halus. Dalam hubungannya dengan roh dan jiwa

orang batak mengenal tiga konsep yaitu : Tondi: jiwa atau roh; Sahala :

jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang; Begu : Tondinya orang

yang sudah mati. Orang batak juga percaya akan kekuatan sakti dari jimat

yang disebut Tongkal.

7. Kesenian

Seni Tari yaitu Tari Tor-tor (bersifat magis); Tari serampang dua belas

(bersifat hiburan). Alat Musik tradisional : Gong; Saga-saga. Hasil

kerajinan tenun dari suku batak adalah kain ulos. Kain ini selalu

ditampilkan dalam upacara perkawinan, mendirikan rumah, upacara

kematian, penyerahan harta warisan, menyambut tamu yang dihormati dan

upacara menari Tor-tor. Kain adat sesuai dengan sistem keyakinan yang

diwariskan nenek moyang .

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah sistem ketatanegaraan (kepemimpinan) pada suku Batak

Toba?

2. Bagaimana hukum adat tentang perkawinan pada suku Batak Toba?

3. Bagaimanakah bentuk pembagian harta waris dan sistem kekerabatan suku

Batak Toba?

5

Page 6: Makalah Suku Batak Toba.doc

4. Bagaimana hukum adat terhadap delik adat (penculikan) pada suku Batak

Toba?

C. Tujuan

1. Mengetahui sistem ketatanegraan (kepemimpinan) pada suku Batak Toba;

2. Mengetahui tentang hukum perkawinan pada suku Batak Toba;

3. Mengetahui bentuk pembagian harta waris dan sistem kekerabatan suku

Batak Toba;

4. Mengetahui tentang hukum terhadap delik adat (penculikan) pada suku

batak Toba.

6

Page 7: Makalah Suku Batak Toba.doc

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kepemimpinan

Secara umum orang Batak Toba menyebut dirinya keturunan raja (anak

ni raja). Karena itu mereka semua adalah raja. Namun yang dimaksud adalah

raja dalam arti kehormatan. Memang dikenal juga raja yang dikaitkan dengan

jabatan, walaupun setelah tidak memegang jabatan struktural itu, yang

bersangkutan tetap dipanggil raja namun sudah dalam arti yang umum. Orang

Batak Toba mengenal jenis kepemimpinan sebagai berikut :

1. Raja Huta, yakni pemimpin tertinggi di dalam satu huta atau kampung

pemukiman. Secara tradisi biasanya pendiri kampung dipilih rakyatnya

menjadi raja huta. Kemudian ditentukan siapa yang menjadi raja pandua

atau raja kedua (wakil raja).

2. Raja Horja, yaitu raja yang memimpin beberapa huta (kampung) yang

bergabung menjadi satu horja. Raja dipilih dari para raja huta yang

bergabung dalam federasi Horja. Demikian juga wakilnya. De Boer

menyebutkan bahwa raja horja adalah kesatuan kolektif pemimpin horja

yang bernama raja parjolo, raja partahi dan raja pandapotan.

3. Raja Bius, yaitu raja yang memimpin upacara di dalam satu persekutuan

bius. Raja bius dipilih dari setiap kumpulan horja. Dinamakan juga Raja

Pandapotan dipilih dalam satu rapat warga. Dia berkemampuan memimpin

dan menyelenggarakan upacara keagamaan bersama raja parbaringin. Bila

dia menyelenggarakan pesta bius, maka raja-raja pandapotan yang lain

diundang untuk berpartisipasi.

4. Raja Parbaringin yaitu terdiri dari empat orang yang dipilih anggota

masyarakat dari tiap-tiap bius marga dalam satu rapat khusus. Raja-raja ini

merupakan pemimpin-pemimpin upacara kepercayaan keagamaan.

5. Raja Maropat (Toba), adalah para pemimpin yang secara struktural

dibentuk oleh Raja Sisingamangaraja XII, sebagai orang yang sangat

dipercayainya dalam segala hal. Mereka berfungsi mewakili Raja

7

Page 8: Makalah Suku Batak Toba.doc

Sisingamangaraja dalam pesta bius untuk minta hujan, melawan penyakit

kolera atau cacar, maupun pesta taon atau mamele taon yang

diselenggarakan sekali setahun saat panen perdana.

Upacara-upacara adat selalu dipimpin oleh orang yang dihunjuk

secara demokratis oleh masing-masing pihak (hasuhuton) yang terlibat adat.

Penghunjukan pemimpin upacara adat yang dinamakan juga raja parhata

atau Raja Parsinabul (parsinabung), dengan menanyakan semua keturunan

nenek moyang (marompu-ompu) secara berurutan menurut senioritas dalam

silsilah keturunan. Proses pemilihan pemimpin upacara pada adat kematian,

perkawinan dan yang lain adalah sama. Tampaknya penamaan pemimpin di

kalangan orang Batak Toba cenderung beragam. Hal ini bisa terjadi karena

pemerintahan adat Batak Toba tidak sentralistis, tetapi otonomitis, atau

desentralistis. Masing-masing wilayah punya kebiasaan penamaan

kepemimpinan sendiri, sesuai dengan latar historis mereka masing-masing.

Bahkan tampaknya pada setiap jenis kegiatan ditentukan para pemimpinnya

dengan nama sendiri yang dihubungkan dengan fungsinya. Misalnya ketika

akan membahas pendirian satu perkampungan baru, maka akan hadir dalam

rapat atau tonggo raja (sering juga dinamakan marria raja) yang diadakan

khusus untuk tujuan itu, raja parjolo, raja patahi, raja huta dan raja namora.

Mereka adalah pemimpin-pemimpin yang mendiskusikan pembangunan

perkampungan baru itu secara musyawarah untuk bermufakat. Setiap

hadirin berhak bicara (demokrasi) sesuai dengan jenjangnya. Bila tidak

tercapai permufakatan, maka gagasan mendirikan kampung baru itu harus

ditunda. Atau bila yang berencana kurang merasa puas, mereka akan

mengulangi permohonannya pada kesempatan lain, atau membawanya ke

tingkat horja untuk dipertimbangkan5.

Berdasarkan fakta di atas, maka pada masyarakat adat Batak Toba

dalam hal pemilihan pemimpin mereka sudah mengenal sistem Demokrasi.

Dengan demikian, berdasarkan pendapat Pospisil pendekatan terhadap

5 Bungaran Antonius Simanjuntak, Demokrasi Batak Toba, Kepemimpinan, dan Perilaku Hubungan Sosial, http://www.simanjutak.or.id, accces 24 Desember 2013.

8

Page 9: Makalah Suku Batak Toba.doc

kepemimpinan oleh masyarakat adat Batak Toba ialah pendekatan

Sosiometrik yang dimana pemimpin itu ditentukan dengan teknik pemilihan

anggota dengan perhitungan puluhan. Pendekatan ini mencampuradukan

cara pandang antara gejala kepemimpinan yang sedang berjalan (actual)

dengan pandangan para anggota kelompok terhadap kepemimpinan itu6.

Dengan pendekatan yang bersifat soisometrik tersebut maka

kedudukan yang diperoleh oleh pemimpin dalam adat Batak Toba

merupakan kedudukan yang bersifat achieved status yaitu kedudukan yang

hanya dapat diperoleh dengan usaha7 dan bukan merupakan kedudukan

social yang bersifat ascribed status yaitu kedudukan social yang diperoleh

dengan sendirinya.

B. Perkawinan

Proses perkawinan dalam adat kebudayaan Batak Toba menganut hukum

eksogami (perkawinan di luar kelompok suku tertentu). Ini terlihat dalam

kenyataan bahwa dalam masyarakat Batak Toba: orang tidak mengambil isteri

dari kalangan kelompok marga sendiri (namariboto), perempuan meninggalkan

kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, dan bersifat patrilineal, dengan

tujuan untuk melestarikan galur suami di dalam garis lelaki. Hak tanah, milik,

nama, dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh garis laki-laki.

Ada 2 (dua) ciri utama perkawinan ideal dalam masyarakat Batak-Toba,

yakni :

1. Berdasarkan rongkap ni tondi (jodoh) dari kedua mempelai; dan

2. Mengandaikan kedua mempelai memiliki rongkap ni gabe (kebahagiaan,

kesejahteraan), dan demikian mereka akan dikaruniai banyak anak.

Sementara ketidakrukunan antara suami-isteri terjadi apabila tondi

mereka tidak bisa lagi hidup rukun (so olo marrongkap tondina) dan itu akan

tampak di kemudian hari. Ketidakrukunan ini mungkin akan mengakibatkan

terjadinya perceraian. Sebaliknya, sekali mereka sudah melahirkan anak, ikatan

6 Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 98.7 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 170.

9

Page 10: Makalah Suku Batak Toba.doc

antar-pasangan akan semakin kuat dan ikatan cinta semakin kokoh. Hukum

eksogami, sebagaimana telah disinggung di atas, bahkan sudah melekat dalam

diri setiap orang Batak Toba hingga sekarang. Maka, kiranya tidak

mengherankan, apabila masih ada ketakutan untuk melanggarnya.

Yang termasuk pelanggaran, antara lain na tarboan-boan rohana (yang

dikuasai oleh nafsu-keinginan), yakni orang yang menjalankan sumbang

terhadap iboto (saudara perempuan dari anggota marga sendiri). Selain

larangan marsumbang, hubungan lain yang tidak diperkenenkan adalah

marpadanpadan (kumpul kebo). Marsumbang baru dibolehkan jika

perkawinan yang pernah diadakan di antara kedua kelompok tidak diulangi lagi

selama beberapa generasi. Jika terjadi pelanggaran terhadap larangan itu, maka

pendapat umum dan alat kekuasaan masyarakat akan diminta turun tangan.

Ritusnya adalah sebagai berikut: gondang mangkuling, babiat tumale (gong

bertalu-talu, harimau mengaum), artinya, rakyat akan berkumpul untuk

menangkap dan menghukum si pelaku. Peribahasa yang digunakan untuk

semua tindakan yang melanggar susila adalah: “Manuan bulu di lapang-

lapang ni babi; Mamungka na so uhum, mambahen na so jadi." (menanam

bambu di tempat babi berlalu, tidak taat hukum dan menjalankan yang tabu)8.

Perkawinan yang dilakukan atas pelanggaran dinyatakan batal. Lelaki

yang berbuat demikian, serta pihak parboru diwajibkan melakukan pertobatan

(manopoti/pauli uhum) atau dinyatakan di luar hukum (dipaduru di ruar ni

patik), dikucilkan dari kehidupan sosial sebagaimana yang ditentukan oleh

adat. Ritusnya adalah sebagai berikut : Pihak-pihak yang melanggar harus

mempersembahkan jamuan yang terdiri dari daging dan nasi (manjuhuti

mangindahani). Kerbau atau sapi disembelih demi memperbaiki nama para

kepala dan ketua yang tercemar karena kejadian itu. Makanan yang

dihidangkan sekaligus merupakan pentahiran (panagurasion) terhadap tanah

dan penghuninya9.

8 J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, LkiS Yogyakarta, Yogyakarta, 2004, hlm. 209.9 Wikipedia, Perkawinan Adat Batak Toba, http://wikipedia.com, acces 25 Desember 2013.

10

Page 11: Makalah Suku Batak Toba.doc

Berdasarkan pendapat Posposil yang mengatakan bahwa hukum harus

memenuhi empat syarat, yakni :

a. Attribute of authority. atribut otoritas atau kekuasaan menentukan bahwa

aktifitas kebudayaan yang disebut hukum itu adalah keputusan melalui

suatu mekanisme yang diberi wewenang dan kekuasaan dalam

masyarakat. Keputusan-keuputusan itu memberi pemecahan terhadap

ketagangan social yang disebabkan karena misalnya ada : (i) serangan-

serangan terhadap diri individu; (ii) serangan-serangan terhadap hak

orang lain; (iii) serangan-serangan terhadap pihak yang berkuasa; (iv)

serangan-serangan terhadap keamanan umum.

b. Attribute of intention of universal application. Atribut ini menentukan

bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa itu harus

dimaksudkan sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai jangka

waktu panjang dan harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa-

peristiwa dalam masa yang akan dating.

c. Attribute of obliogation. Atribut ini menentukan bahwa keputusan-

keputusan pemegang kuasa harus mengandung perumusan dari

kewajiban pihak ke satu terhadap pihak kedua, tetapi juga hak dari pihak

kedua harus dipenuhi oleh pihak kesatu. Didalam hal ini pihak kesatu

dan kedua harus terdiri dari individu-individu yang hidup. Kalau

keputusan tidak mengandung perumusan dari kewajiban maupun dari

hak tadi, maka keputusan tak akan ada akibatnya dan karena itu tidak

akan merupakan keputusan hukum; dan kalau pihak itu misalnya nenek

moyang yang sudah meninggal, maka keputusan yang menentukan

kewajiban pihak ke satu ke pihak kedua itu bukanlah hukum, melainkan

suatu keputusan yang merumuskan suatu kewajiban keagamaan.

d. Attribute of sanction menentukan bahwa keputusan-keputasan dari pihak

berkuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya.

Sanksi itu bisa berupa sanksi jasmaniah berupa hukuman tubuh dan

deprivasi dari milik (yang misalnya amat dipentingkan dalam sistem-

sistem hukum bangsa-bangsa Eropa), tetapi juga sanksi rohani seperti

11

Page 12: Makalah Suku Batak Toba.doc

misalnya menimbulkan rasa takut, rasa malu, rasa dibenci dan

sebagainya10 maka ritus-ritus yang di lakukan masyarakat Batak Toba

terhadap pelanggaran na tarboan-boan rohana, marsumbang dan

marpadanpadan merupakan hukum adat karena dalam pelaksanaanya

terdapat keterlibatan pemimpin (authority), berlaku umum (universal),

bersifat obligation yang dimana masyarakat berhak untuk menangkap

dan menuntut pelaku dan perlaku wajib untuk melakukan pertobatan

(manopoti/pauli uhum), serta adanya sanksi berupa manjuhuti

mangindahani.

C. Sistem Kekerabatan dan Pembagian Harta Waris

Masyarakat Batak yang menganut sistim kekeluargaan yang patrilineal

yaitu garis keturunan ditarik dari ayah. Hal ini terlihat dari marga yang dipakai

oleh orang Batak yang turun dari marga ayahnya. Melihat dari hal ini jugalah

secara otomatis bahwa kedudukan kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat

adat dapat dikatakan lebih tinggi dari kaum wanita. Namun bukan berarti

kedudukan wanita lebih rendah.

Dalam pembagian warisan orang tua. Yang mendapatkan warisan adalah

anak laki – laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua

suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan

cara hibah. Pembagian harta warisan untuk anak laki – laki juga tidak

sembarangan, karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak

laki – laki yang paling kecil atau dalam bahasa batak nya disebut Siapudan.

Dan dia mendapatkan warisan yang khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak

Parmalim, pembagian harta warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi

karena berkaitan dengan system kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan

emosional kekeluargaan. Dan bukan berdasarkan perhitungan matematis dan

proporsional, tetapi biasanya dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak –

anak nya dalam pembagian harta warisan.

10 Koentjaraningrat, Op. Cit., hlm. 202.

12

Page 13: Makalah Suku Batak Toba.doc

Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur dengan

budaya dari luar), hal itu juga dimungkinkan terjadi. Meskipun besaran harta

warisan yang diberikan kepada anak perempuan sangat bergantung pada

situasi, daerah, pelaku, doktrin agama dianut dalam keluarga serta kepentingan

keluarga. Apalagi ada sebagian orang yang lebih memilih untuk menggunakan

hukum perdata dalam hal pembagian warisannya.

Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak anak

kandung. Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat, harus melewati

proses adat tertentu. Yang bertujuan bahwa orang tersebut sudah sah secara

adat menjadi marga dari orang yang mengangkatnya. Tetapi memang ada

beberapa jenis harta yang tidak dapat diwariskan kepada anak tiri dan anak

angkat yaitu Pusaka turun – temurun keluarga. Karena yang berhak

memperoleh pusaka turun-temurun keluarga adalah keturunan asli dari orang

yang mewariskan.

Dalam Ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas di sana

diberikan pembagian warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal pembagian

harta warisan bahwa anak perempuan hanya memperoleh: Tanah (Hauma

pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian), warisan dari Kakek (Dondon Tua),

tanah sekadar (Hauma Punsu Tali). Dalam adat Batak yang masih terkesan

Kuno, peraturan adat – istiadatnya lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu

ditunjukkan dalam pewarisan, anak perempuan tidak mendapatkan apapun.

Dan yang paling banyak dalam mendapat warisan adalah anak Bungsu atau

disebut Siapudan. Yaitu berupa Tanak Pusaka, Rumah Induk atau Rumah

peninggalan orang tua dan harta yang lain nya dibagi rata oleh semua anak laki

– laki nya. Anak siapudan juga tidak boleh untuk pergi meninggalkan

kampung halaman nya, karena anak Siapudan tersebut sudah dianggap sebagai

penerus ayahnya.

Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki maka hartanya

jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara anak perempuannya tidak

mendapatkan apapun dari harta orang tuanya. Dalam hukum adatnya mengatur

bahwa saudara ayah yang memperoleh warisan tersebut harus menafkahi

13

Page 14: Makalah Suku Batak Toba.doc

segala kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka

berkeluarga11.

D. Delik Adat (Penculikan)

Mengenai hukum pelanggaran digunkan istilah panguhumon ta angka

parsala, yang berarti hukum dalam hal mereka yang berbuat salah, pengadilan

terhadap mereka serta hukuman yang dijatuhkan. Sala berarti kesalahan,

perbuatan tercela, pelanggaran; parsala (orang yang melakukan suatu

kesalahan, orang yang melakukan pelanggaran). Istilah parsala agak luas

penerapanya daripada pengaloasi (orang yang menyalahi), karena mangaloasi

(menyalahi) yang menyangkut peraturan dan tata tertib yang secara khusus

diumumkan sebagai peraturan yang harus dipatuhi, sedangkan parsala dapat

juga berarti sesuatu yang tidak boleh dilakukan, dalam arti yang lebih umum12.

Ada banyak tindakan yang termasuk sebagai pelanggaran dalam

masyarakat adat Batak Toba, namun akan dibahas tentang tindakan penculikan

bagi masyarakat Batak Toba. Tindakan penculikan bagi masyarakat Batak

Toba tidak hanya merugikan pihak terkait (keluarga korban) juga terhadap

kepala dan ketentraman serta kedamian di dalam masyarakat. Jika terjadi kasus

penculikan, tiba-tiba aka

n terdengar hentak dan tepuk pada lantai batu seperti yang lazim pada

suatu tarian, dan orang pun akan mengalir berduyun-duyun untuk memberi

bantuan kepada yang empunya hajat. “Kendang bertalu-talu, harimau

mengaum” terdengar pada waktu seluruh wilayah dalam keadaan cemas begitu

rupa sehingga semua orang berhimpun untuk memuntahkan perasaan hati. Oleh

karena itu, selain pihak yang tersinggung harus menerima pemuasan, kepala

juga harus ikut serta ketika hukuman harus dijalani dengan cara

menghidangkan nasi dan daging dan ketika denda dan sebagainya harus

dibayar13.

11 Rudian Siaban, Pembagian Warisan Dalam Adat Batak Toba, http://www.rudin76-ban.blogspot.com, acces 25 Desember 2013.12 J.C. Vergouwen, Op. Cit., hlm. 484.13 Ibid.

14

Page 15: Makalah Suku Batak Toba.doc

Berdasarkan fakta di atas bisa diketahui bahwa panguhumon ta angka

parsala merupakan hukum karena telah memenuhi 4 tanda hukum, yakni :

authority, obligation, universal, dan sanction14 dan memiliki budaya hukum

yang bersifat partisipan.

14 Hilman, Op. Cit., hlm. 93.

15

Page 16: Makalah Suku Batak Toba.doc

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kepemimpinan

Berdasarkan pembahasan di atas dapat diketahui bahwa penetapan

pemimpin pada masyarakat Batak Toba didasarkan atas sistem

demokrasi, hal ini terlihat misalnya Raja Horja merupakan raja dari

beberapa kampung (huta) yang dipilih dari para Raja Huta. Dalam

mengambil keputusan bersama, masyarakat Batak Toba selalu

mengedepankan musyawarah-mufakat, misalnya dalam menentukan

pembentukan kampung (huta) baru. Senada dengan pendapat Pospisil

bahwa sistem demokrasi yang dianut oleh masyarakat Batak Toba

menentukan pemimpin adalah pendekatan kepemimpinan yang bersifat

sosiometrik.

2. Perkawinan

Masyarakat Batak Toba merupakan penganut sistem perkawinan

eksogami sehingga endogamy atau dalam bahasa Batak Toba disebut

marsumbang dianggap sebagi pelanggaran terhadap hukum adat dan

akan membuat roh para leluhur marah. Selain marsumbang, na tarboan-

boan rohana, dan marpadanpadan juga merupakan sebuah pelanggaran

terhadap hukum adat dan dipercaya akan membuat roh-roh leluhur

marah. Para pelaku akan mendapat sanksi berupa manjuhuti

mangindahani yakni mempersembahkan jamuan nasi dan daging (babi,

sapi atau kerbau) guna memperbaiki nama kepala atau raja yang tercemar

karena kejadian itu, sekaligus mentahirkan tanah dan penghuninya.

3. Sistem Kekerabatan dan Pembagian Harta Waris

Masyarakat Batak Toba menganut sistem kekerabatan yang bersifat

patrilineal. Dalam hal pembagian harta waris pihak perempuan tidak

16

Page 17: Makalah Suku Batak Toba.doc

mendapat harta warisan apa-apa dari orang tuanya, harta warisan akan

jatuh pada anak laki-laki baik anak kandung maupun anak tiri namun ada

beberapa warisan yang tidak bisa diserahkan kepada anak tiri misalnya

pusaka turun-temurun. Dan anak laki-laki bungsu (siapudan) memiliki

hak-hak khusus dalam pembagian harta waris. Sedangkan pihak

perempuan yang tidak mendapat harta warisan apa-apa dari orang tuanya

akan mendapat harta warisan dari mertuanya atau orang tua suaminya.

Jika tidak terdapat anak laki-laki sebagai pewaris maka harta warisan

akan jatuh di tangan saudara ayahnya. Saudara ayahnya yang menerima

harta warisan tersebut berkewajiban menafkahi anak perempuan pewaris

sampai dia berkeluarga.

4. Delik Adat (Penculikan)

Masyarakat Batak Toba memiliki budaya hukum partisipan yakni

suatu sikap dimana masyarakat ikut menilai setiap peristiwa hukum dan

peradilan, merasa terlibat dalam kehidupan hukum baik yang

menyangkut kepentingan umum maupun kepentingan keluarga dan

dirinya sendiri. Sanksi atau pertobatan (manopoti/pauli uhum) yang

dibebankan kepada penculik adalah berupa manjuhuti mangindahani

yakni mempersembahkan jamuan nasi dan daging (babi, sapi atau

kerbau) guna memperbaiki nama kepala atau raja yang tercemar karena

kejadian itu, sekaligus mentahirkan tanah dan penghuninya.

B. Kritik dan Saran

1. Kepemimpinan

Sistem demokrasi dan sikap musyawarah-mufakat dalam

mengambil keputusan bersama yang telah dikenal oleh masyarakat Batak

Toba hendaknya terus dipertahankan. Mengingat perkembangan zaman

yang semakin kompleks saat ini maka sikap bermusyawarah untuk

mufakat itu sangat sesuai demi menjaga kesatuan dan persatuan di

kalangan masyarakat.

17

Page 18: Makalah Suku Batak Toba.doc

2. Perkawinan

Sistem perkawinan eksogami yang dianut oleh masyarakat Batak

Toba hendaknya dipertahankan karena dengan adanya keharusan untuk

mengawini orang diluar marganya maka hal tersebut terhindar sikap

maupun proses berpikir yang monoton.

3. Sistem Kekerabatan dan Pembagian Harta Waris

Sikap patrilineal perlu ditinjau kembali dengan

mempertimbangkan berbagai aspek terutama aspek keadilan, dan tidak

menutup kemungkinan akan adanya rasa iri dan keinginan untuk

memberontak dari para salah satu pihak yang bersangkutan terutama ahli

waris dari pihak perempuan.

4. Delik Adat (Penculikan)

Sanksi berupa manjuhuti mangindahani sangat efektif sehingga

sangat layak untuk dipertahankan, bila perlu pemerintah harus mencoba

untuk memikirkan sanksi-sanksi pidana selain penjara, kurungan dan

denda sebagaimana yang kita kenal saat ini. Dan merubah bentuk-bantuk

sanksi yang sederhana namun memberi efek jera berat bagi pelaku

sebagaimana sanksi manjuhuti mangindahani di masyarakat Batak Toba.

18