Makalah Sle

39
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Lupus dalam bahasa latin berarti “Anjing Hutan”. Istilah ini mulai dikenal sekitar satu abad lalu. Gejala penyakit ini dikenal sebagai Lupus Eritomatosus Sistemik (LES) alias Lupus Eritomatosus, artinya kemerahan. Sedangkan sistemik bermakna menyebar luas ke berbagai organ tubuh. Penyakit ini tidak hanya menyerang kulit, tetapi juga dapat menyerang hampir seluruh organ yang ada di dalam tubuh. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah malar) Systemic Lupus Erytematosus (SLE) atau Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk penyakit collagen-vascular yaitu suatukelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002). Page 1

description

tugas

Transcript of Makalah Sle

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Lupus dalam bahasa latin berarti “Anjing Hutan”. Istilah ini mulai dikenal

sekitar satu abad lalu. Gejala penyakit ini dikenal sebagai Lupus Eritomatosus

Sistemik (LES) alias Lupus Eritomatosus, artinya kemerahan. Sedangkan sistemik

bermakna menyebar luas ke berbagai organ tubuh. Penyakit ini tidak hanya

menyerang kulit, tetapi juga dapat menyerang hampir seluruh organ yang ada di

dalam tubuh. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritema

berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah

malar)

Systemic Lupus Erytematosus (SLE) atau Lupus Eritematosus Sistemik

(LES) adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya

diduga karena adanya perubahan sistem imun (Albar, 2003). SLE termasuk

penyakit collagen-vascular yaitu suatukelompok penyakit yang melibatkan sistem

muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi

klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks. Etiologi dari beberapa

penyakit collagen-vascular sering tidak diketahui tetapi sistem imun terlibat

sebagai mediator terjadinya penyakit tersebut (Delafuente, 2002).

Berbeda dengan HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai

dengan peningkatan sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya

ditujukan untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh

berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah

merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda

antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda,

misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia

berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).Perkembangan

penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut hasil penelitian Lembaga

Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS Hasan Sadikin Bandung

sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic lupus erythematosus). Hal

ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui sehingga

Page 1

berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan,

dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang

timbul adalah belum terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya

tentang informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE.

Manifestasi klinis dari SLE bermacam-macam meliputi sistemik,

muskuloskeletal, kulit, hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran

cerna, mata, trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005).

Penderita dengan SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang

tepat dan benar. Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala

dan induksi  remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada

perkembangan penyakit. Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka

pengobatan didasarkan pada manifestasi yang muncul pada masing-masing

individu. Obat-obat yang umum digunakan pada terapi farmakologis penderita

SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs), obat-obat antimalaria,

kortikosteroid, dan obat-obat antikanker (imunosupresan) selain itu terdapat obat-

obat yang lain seperti terapi hormon, imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi,

monoklonal antibodi, dan transplantasi sumsum tulang yang masih menjadi

penelitian para ilmuwan.

1.2 Rumusan masalah

Apa yang dimaksud dengan Lupus Eritematosus sistemik

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mahasiswa dapat memahami penjabaran tentang penyakit Systemic Lupus

Erythematosus (SLE).

1.3.2 Tujuan Khusus

Page 2

(1).    Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian, penyebab, klasifikasi, tanda

dan gejala, patofisiologi, pathway, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, serta

komplikasi dari penyakit Systemic Lupus Erytematosus (SLE).

(2). Mahasiswa dapat menambah wawasan baru mengenai penyakit

Systemic Lupus Erythematosus (SLE).

1.4 Manfaat Penulisan

- Sebagai bahan masukan kepada masyarakat tentang penyakit Lupus

Eritematosus Sistemik .

- Sebagai bahan informasi tentang penyakit Lupus eritematosus sistemik itu

sendiri kepada pembaca.

BAB II

TINJAUAN TEORI

Page 3

2.1 Pengertian

Lupus adalah penyakit yang terjadi karena kelainan dalam sistem

pertahanan tubuh (sistem imun). Pada penderita SLE organ dan sel mengalami

kerusakan yang disebabkan oleh tissue-binding autoantibody dan kompleks imun,

yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai sistem organ namun

sebabnya belum diketahuisecara pasti, dengan perjalanan penyakit yang mungkin

akut dan fulminanatau kronik, terdapat remisi dan eksaserbasi disertaioleh

terdapatnyaberbagai macam autoantibody dalam tubuh.

Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang

diakibatkan kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada penderita

lupus, sistem imun menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang tubuh sendiri,

oleh karena itu disebut penyakit autoimun. Penyakit ini akan menyebabkan

keradangan di berbagai organ tubuh kita, misalnya: kulit yang akan berwarna

kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal, otak, darah, dan lain-lain.

Oleh karena itu penyakit ini dinamakan SISTEMIK karena mengenai hampir

seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ

lain tidak terkena, maka disebut LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak

terlalu berbahaya dibandingka Lupus yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE).

Gejala-gejala SLE adalah seperti ruam di wajah, kepala dan anggota-

anggota badan, ruam ini tidak menimbulkan sakit atau gatal, bila sembuh akan

meninggalkan parut, ulser di dalam mulut, keguguran rambut, demam

berkepanjangan, dan penderita akan sensitif terhadap pancaran sinar matahari.

2.2 Epidemiologi

SLE lebih banyak terjadi pada wanita dari pada pria dengan perbandingan

10:1. Perbandingan ini menurun menjadi 3:2 pada lupus yang diinduksi oleh obat.

Penyakit SLE juga menyerang penderita usia produktif yaitu 15–64 tahun.

Meskipun begitu, penyakit ini dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan

usia dan jenis kelamin (Delafuente, 2002). Prevalensi SLE berbeda–beda untuk

tiap etnis yaitu etnis Afrika – Amerika mempunyai prevalensi sebesar 1 kasus per

2000 populasi, Cina 1 dalam 1000 populasi, 12 kasus per 100.000 populasi terjadi

Page 4

di Inggris, 39 kasus dalam 100.000 populasi terdapat di Swedia. Di New Zealand,

terjadi perbedaan prevalensi antara etnis Polynesian sebanyak 50 kasus per

100.000 populasi dengan orang kulit putih sebesar 14,6 kasus dalam 100.000

populasi (Bartels, 2006).

2.3 Etiologi

Faktor Resiko terjadinya SLE

1. Faktor Genetik

a) Jenis kelamin, frekuensi pada wanita dewasa 9 kali lebih sering dari pada

pria dewasa

b) Umur, biasanya lebih sering terjadi pada usia 20-40 tahun

c) Etnik, Faktor keturunan, dengan Frekuensi 20 kali lebih sering dalam

keluarga yang terdapat anggota dengan penyakit tersebut

2. Faktor Resiko Hormon

Hormon estrogen menambah resiko SLE, sedangkan androgen mengurangi resiko

ini.

3. Sinar UV

Sinar Ultra violet mengurangi supresi imun sehingga terapimenjadi kurang

efektif, sehingga SLE kambuh atau bertambahberat. Ini disebabkan sel kulit

mengeluarkan sitokin danprostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat

tersebut maupunsecara sistemik melalui peredaran pebuluh darah

4. Imunitas

Pada pasien SLE, terdapat hiperaktivitas sel B atau intoleransi terhadap sel T

5. Obat

Obat tertentu dalam presentase kecil sekali pada pasien tertentudan diminum

dalam jangka waktu tertentu dapat mencetuskanlupus obat (Drug Induced Lupus

Erythematosus atau DILE). Jeni sobat yang dapat menyebabkan Lupus Obat

adalah :

a) Obat yang pasti menyebabkan Lupus obat : Kloropromazin, metildopa,

hidralasin, prokainamid, dan isoniazid

Page 5

b) Obat yang mungkin menyebabkan Lupus obat : dilantin,penisilamin, dan

kuinidin

c) Hubungannya belum jelas : garam emas, beberapa jenisantibiotic dan

griseofurvin

6. Infeksi

Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi dan kadang- kadang penyakit ini

kambuh setelah infeksi

7. Stres

Stres berat dapat mencetuskan SLE pada pasien yang sudah memiliki

kecendrungan akan penyakit ini.

3.4 Klasifikasi

Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid

lupus, Systemic Lupus Erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.

A. Discoid Lupus

Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang

meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit

kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat

menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut

di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).

B. Systemic Lupus Erythematosus

SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang

disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan dikarakterisasi

oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun

dan produksi autoantibodi yang berlebihan (Albar, 2003). Terbentuknya

autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler,

sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003)

melalui mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).

C. Lupus yang diinduksi oleh obat

Page 6

Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada

asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat

menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan

kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai

benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear

(ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).

3.5 Patofisiologi

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan

peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini

ditimbulkan oleh kombinasi antara factor-faktor genetic, hormonal (sebagaimana

terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduksi) dan

lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti

hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat

antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam

penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan

produksi autoantibody diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T supresor yang

abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan.

Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibody

tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.

3.6 Kriteria SLE

Pada tahun 1982, American Rheumatism Association (ARA) menetapkan

kriteria baru untuk klasifikasi SLE yang diperbarui pada tahun 1997. Kriteria SLE

ini mempunyai selektivitas 96%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada suatu

periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yaitu :

1. Artritis, arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri,

bengkak, atau efusi dimana tulang di sekitar persendiantidak mengalami

kerusakan

Page 7

2. Tes ANA diatas titer normal = Jumlah ANA yang abnormalditemukan dengan

immunofluoroscence atau pemeriksaan serupajika diketahui tidak ada pemberian

obat yang dapat memicu ANAsebelumnya

3. Bercak Malar / Malar Rash (Butterfly rash) = Adanya eritemaberbatas tegas,

datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitarhidung (wilayah malar)

4. Fotosensitif bercak reaksi sinar matahari = peka terhadap sinar UV /matahari,

menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknyaruam kulit

5. Bercak diskoid = Ruam pada kulit

6. Salah satu Kelainan darah;

a) anemia hemolitik,

b) Leukosit < 4000/mm³,

c) Limfosit<1500/mm³,

d) Trombosit <100.000/mm³

7. Salah satu Kelainan Ginjal;

a) Proteinuria > 0,5 g / 24 jam,

b) Sedimen seluler = adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal

dari sel darah merah/putih maupun sel tubulus ginjal

8. Salah satu Serositis :

a) Pleuritis,

b) Perikarditis

9. Salah satu kelainan Neurologis;

a) Konvulsi / kejang,

b) Psikosis

10. Ulser Mulut, Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapatditemukan

11. Salah satu Kelainan Imunologi

a) Sel LE+

b) Anti dsDNA diatas titer normal

c) Anti Sm (Smith) diatas titer normal

d) Tes serologi sifilis positif palsu

Page 8

3.7 Manifestasi Klinis

Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan

pada penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak

diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala

dan beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini

bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat.

Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas

gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus

hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ

lainnya.

A. Muskuloskleletal

Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan kebanyakan

menderita artritis. Persendian yang sering terkena adalah persendian padajari

tangan, tangan, pergelangan tangan dan lutut. Kematian jaringan padatulang

panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari nyeri di daerahtersebut.

B. Integumen

Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal

hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar matahari.

Ruam yang lebih tersebar bisa timbul di bagian tubuh lain yang terpapar oleh

sinar matahari.

C. Ginjal

Sebagian besar penderita menunjukkan adanya penimbunan protein di dalam sel-

sel ginjal, tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus (peradangan ginjal

yangmenetap). Pada akhirnya bisa terjadi gagal ginjal sehingga penderita

perlumenjalanidialis a atau pencangkokkan ginjal.

D.Sistem Neuron

Page 9

Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Yang paling

seringditemukan adalah disfungsi mental yang sifatnya ringan, tetapi kelainanbisa

terjadi pada bagian manapun dari otak, korda spinalis maupun sistemsaraf.

Kejang,ps ikos a, sindroma otak organik dan sakit kepala merupakanbeberapa

kelainan sistem saraf yang bisa terjadi.

E.Sistem Hematologi

Kelainan darah bisa ditemukan pada 85% penderita lupus. Bisa terbentuk bekuan

darah di dalam vena maupun arteri, yang bisa

menyebabkanstroke danemboli paru. Jumlah trombosit berkurang dan tubuh

membentuk antibodi yang melawan faktor pembekuan darah, yang bisa

menyebabkan perdarahan yang berarti. Seringkali terjadi anemia akibat penyakit

menahun.

F.Sistem Kardiovaskuler

Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, sepertiper ikar ditis,endokar

ditismaupunmiokarditis. Nyeri dada danaritmia bisa terjadi sebagai akibat

darikeadaan tersebut.

G.Sistem Respirasi

Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi

pleura(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari

keadaantersebut sering timbul nyeri dada dan sesak nafas.

3.8 Pemeriksaan Laboratorium

1. Anti ds-DNA

Batas normal : 70 – 200 IU/mL

Negatif          : < 70 IU/mL

Positif             :  > 200 IU/mL

Page 10

Antibodi ini ditemukan pada 65% – 80% penderita dengan SLE aktif dan

jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumlah yang tinggi merupakan

spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang dapat ditemukan pada

penderita dengan penyakit reumatik yang lain, hepatitis kronik, infeksi

mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi ini dapat turun dengan

pengobatan yang tepat  dan dapat meningkat pada penyebaran penyakit terutama

lupus glomerulonefritis. Jumlahnya mendekati negatif pada penyakit SLE yang

tenang (dorman).Antibodi anti-DNA merupakan subtipe dari Antibodi antinukleus

(ANA). Ada dua tipe dari antibodi anti-DNA yaitu yang menyerang double-

stranded DNA (anti ds-DNA) dan yang menyerangsingle-stranded DNA (anti ss-

DNA).         Anti ss-DNA kurang sensitif dan spesifik untuk SLE tapi positif

untuk penyakit autoimun yang lain. Kompleks antibodi-antigen pada penyakit

autoimun tidak hanya untuk diagnosis saja tetapi merupakan konstributor yang

besar dalam perjalanan penyakit tersebut. Kompleks tersebut akan menginduksi

sistem komplemen yang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi baik lokal

maupun sistemik (Pagana and Pagana, 2002).

2. Antinuclear antibodies   (ANA)

Harga normal : nol

ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimun yang

lain. ANA adalah sekelompok antibodi protein yang bereaksi menyerang inti dari

suatu sel. ANA cukup sensitif untuk mendeteksi adanya SLE,  hasil yang positif

terjadi pada 95% penderita SLE. Tetapi ANA tidak spesifik untuk SLE saja

karena ANA juga berkaitan dengan penyakit reumatik yang lain. Jumlah ANA

yang tinggi berkaitan dengan kemunculan penyakit dan keaktifan penyakit

tersebut.Setelah pemberian terapi maka penyakit tidak lagi aktif sehingga jumlah

ANA diperkirakan menurun. Jika hasil tes negatif maka pasien belum tentu

negatif terhadap SLE karena harus dipertimbangkan juga data klinik dan tes

laboratorium yang lain, tetapi jika hasil  tes  positif  maka  sebaiknya  dilakukan 

tes serologi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut menderita

SLE. ANA dapat meliputi anti-Smith (anti-Sm), anti-RNP (anti-

Page 11

ribonukleoprotein), dan anti-SSA (Ro) atau anti-SSB (La) (Pagana and Pagana,

2002).

3. Tes Laboratorium lain

Tes laboratorium lainnya yang digunakan untuk menunjang diagnosa serta

untuk monitoring terapi pada penyakit SLE antara lain adalah antiribosomal P,

antikardiolipin, lupus antikoagulan,Coombs test, anti-histon, marker reaksi

inflamasi (Erythrocyte Sedimentation Rate/ESR atau C-Reactive Protein/CRP),

kadar komplemen (C3 dan C4), Complete Blood Count (CBC), urinalisis, serum

kreatinin, tes fungsi hepar, kreatinin kinase (Pagana and Pagana, 2002).

2.9 Tinjauan Pengobatan SLE

Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit,

mencegah terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas

hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit,

menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien

tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena

banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang

dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul.

Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi

(Herfindal et al., 2000).

1. Terapi nonfarmakologi

Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga

diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang terlalu

berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena hidrasin dalam

tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat memicu

terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE (Delafuente,

2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE yang mengandung

vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi sitokin

proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar antibodi

anti-DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15) dan

Page 12

menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE  sangat disarankan untuk

mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika akan

beraktivitas di luar rumah (Delafuente, 2002).

2. Terapi farmakologi

Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan

mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat

keparahan dan lamanya  pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada

setiap pasien.

3. NSAID

Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan  termasuk

salisilat dan NSAID yang lain (Delafuente, 2002). NSAID memiliki efek

antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik (Neal, 2002). NSAID dapat dibedakan

menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor. Nonselektif

COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok asam

arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi

termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factorsedangkan  COX-1

merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi

prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari

ginjal. COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet,

dan tubulus collecting renal (Katzung, 2002). Efek samping penggunaan NSAID

adalah perdarahan saluran cerna, ulser,  nefrotoksik,  kulit  kemerahan,  dan 

alergi lainnya. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki

efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan

perdarahan menurun hingga 50% (Neal, 2002).

Terapi pada SLE didasarkan pada kesesuaian obat, toleransi pasien

terhadap efek samping yang timbul, frekuensi pemberian, dan biaya. Pemberian

terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk mengevaluasi

efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan menimbulkan efek

samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2 minggu.

Page 13

Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah

meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan.

Apabila terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti

kortikosteroid atau antimalaria  tergantung dari manifestasi yang muncul

(Herfindal et al., 2000).

4. Antimalaria

Antimalaria efektif digunakan untuk manifestasi ringan atau sedang

(demam, atralgia, lemas atau serositis) yang tidak menyebabkan kerusakan organ-

organ penting. Beberapa mekanisme aksi dari obat antimalaria adalah stabilisasi

membran lisosom sehingga menghambat pelepasan enzim lisosom, mengikat

DNA, mengganggu serangan antibodi DNA, penurunan produksi prostaglandin

dan leukotrien, penurunan aktivitas sel T, serta pelepasan IL-1 dan tumor

necrosing factor α (TNF- α).

Pemberian antimalaria dilakukan pada 1 sampai 2 minggu awal terapi dan

kebanyakan pasien mengalami regresi eritema lesi kulit pada 2 minggu pertama.

Jika pasien memberikan respon yang baik maka dosis diturunkan menjadi 50% 

selama beberapa bulan sampai manifestasi SLE teratasi. Sebelum pengobatan

dihentikan sebaiknya dilakukan tapering dosis dengan memberikan obat malaria

dosis rendah dua atau tiga kali per minggu. Sekitar 90% pasien kambuh setelah 3

tahun penghentian obat (Herfindal et al., 2000).

5. Kortikosteroid

Penderita dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak memberikan

respon terhadap penggunaan obat lain seperti NSAID atau antimalaria diberikan

terapi kortikosteroid. Beberapa pasien yang mengalami  lupus eritematosus pada

kulit baik kronik atau subakut lebih menguntungkan jika diberikan kortikosteroid

topikal atau intralesional. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai

antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid

menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator – mediator inflamasi

seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta

Page 14

menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan

meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi

ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunomodulator dari

kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel

limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga

mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh

mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan

aktivator plasminogen (Katzung, 2002). Tujuan pemberian kortikosteroid pada

SLE adalah untuk antiinflamasi, imunomodulator, menghilangkan gejala,

memperbaiki parameter laboratorium yang abnormal, dan memperbaiki

manifestasi klinik yang timbul. Penderita SLE umumnya menerima kortikosteroid

dosis tinggi selama 3 sampai 6 hari (pulse therapy) untuk mempercepat respon

terhadap terapi dan menurunkan potensi efek samping yang timbul pada

pemakaian jangka panjang. Yang sering digunakan adalah metil prednisolon

dalam bentuk intravena  (10–30 mg/kg BB lebih dari 30 menit). Terapi ini diikuti

dengan pemberian  prednison secara oral selama beberapa minggu.

Penggunaan kortikosteroid secara intravena pada 75% pasien

menunjukkan perbaikan yang berarti dalam beberapa hari meskipun pada awalnya

marker yang menunjukkan penyakit ginjal (serum kreatinin, blood urea nitrogen)

memburuk. Proteinuria membaik pada 4 sampai 10 minggu pemberian

glukokortikoid Kadar  komplemen    dan   antibodi    DNA    dalam    serum   

menurun    dalam 1 sampai 3 minggu. Beberapa manifestasi seperti vaskulitis,

serositis, abnormalitas hematologik, abnormalitas CNS umumnya memberikan

respon dalam  5 sampai  19 hari.Oral prednison lebih sering digunakan daripada

deksametason karena waktu paronya lebih pendek dan lebih mudah apabila akan

diganti ke alternate-day therapy. Jika tujuan terapi sudah tercapai maka untuk

terapi selanjutnya didasarkan pada pengontrolan gejala yang timbul dan

penurunan toksisitas obat. Setelah penyakit terkontrol selama paling sedikit 2

minggu maka dosisnya diubah menjadi satu kali sehari. Jika penyakitnya sudah

asimtomatik pada 2 minggu berikutnya maka dilakukan tapering dosis

menjadi alternate-day dan adanya kemungkinan untuk menghentikan pemakaian.

Page 15

Yang perlu diperhatikan adalah ketika akan melakukan  tapering  dosis 

prednison  20 mg  per hari atau kurang dan penggantian menjadi alternate-

day sebaiknya berhati-hati karena dapat terjadi insufisiensi kelenjar adrenal yang

dapat menyebabkan supresi hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA).Pada penyebaran

penyakit tanpa kerusakan organ-organ besar (contoh demam, atralgia, lemas atau

serositis), tapering dosis dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan

penambahan NSAID atau hidroksiklorokuin. Sedangkan untuk kerusakan organ-

organ besar selama penyebaran (contoh nefritis) tidak selalu dipertimbangkan

untuk melakukan tapering dosis karena penggunaan dosis tinggi lebih efektif

untuk mengontrol gejala (Herfindal et al., 2000).

Penggunaan kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan diabetes

melitus atau hipertensi sehingga diperlukan monitoring terhadap tekanan darah

dan kadar glukosa darah selama penggunaan obat ini. Kortikosteroid dapat

mensupresi sistem imun sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap

infeksi yang merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien SLE.

Osteoporosis juga terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid karena

kortikosteroid dapat menyebabkan penurunan absorpsi kalsium dan peningkatan

ekskresi kalsium dalam urin sehingga kalsium diambil dari tulang dan tulang

kehilangan kalsium, oleh karena itu pada pasien SLE terapi kortikosteroid sering

dikombinasikan dengan suplemen kalsium dan vitamin D (Rahman, 2001).

6. Siklofosfamid

Digunakan untuk pengobatan penyakit yang  berat dan merupakan obat

sitotoksik bahan pengalkilasi. Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi

sel, aktivitas mitotik, diferensiasi dan fungsi sel. Mereka juga menghambat

pembentukan DNA yang menyebabkan kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang

berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit B dan menyebabkan penekanan

secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga mengurangi reaksi

inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan yang

meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu

dilakukan monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet count.

Page 16

Yang perlu diperhatikan adalah dosis optimal, interval pemberian, rute pemberian,

durasi pulse therapy, kecepatan kambuh, dan durasi remisi penyakit.

Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum

kreatinin dan meningkatkan  kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi

lupus nefritis. Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis

tinggi pada penderita lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan

progesivitas end-stage dari penyakit ginjal dan mengurangi dosis steroid.

Efek samping lain pada penggunaan siklofosfamid adalah mual, muntah,

diare, dan alopesia. Pengobatan mual dan muntah dapat dilakukan dengan cara

pemberian obat antiemetik. Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan

kegagalan ovarian pada wanita yang produktif dan penurunan produksi sperma

(Herfindal et al., 2000).

7. Terapi hormon

Dehidroepiandrosteron(DHEA) merupakan hormon pada pria  yang

diproduksi pada saat masih fetus dan berhenti setelah dilahirkan. Hormon ini

kembali aktif diproduksi pada usia 7 tahun, mencapai puncak pada usia 30 tahun,

dan menurun seiring bertambahnya usia. Pasien SLE mempunyai kadar DHEA

yang rendah. Pemberian hormon ini memberikan respon pada penyakit yang

ringan saja dan mempunyai efek samping jerawat dan pertumbuhan rambut

(Isenberg and Horsfall, 1998). Secara in vitro, DHEA mempunyai mekanisme

menekan pelepasan IL-1, IL-6, dan TNF-α serta meningkatkan sekresi IL-2 yang

dapat digunakan untuk mengaktivasi sel T pada murine. Meskipun demikian

mekanisme secara in vivo belum diketahui (FDA Arthritis Advisory Comittee,

2001).

8. Anti infeksi/Antijamur/Antivirus

Pemberian imunosupresan dapat menurunkan sistem imun sehingga dapat

menyebabkan tubuh mudah terserang infeksi. Infeksi yang umum menyerang

adalah virus herpes zoster, Salmonella, danCandida (Isenberg and Horsfall,

1998). Untuk herpes zoster dapat diatasi dengan pemberian antivirus asiklovir

atau vidarabin secara oral 800 mg lima kali sehari selama 5–7

hari. Salmonella dapat diterapi dengan antibiotik golongan  kuinolon, ampisilin,

kotrimoksazol, dan kloramfenikol (Katzung, 2002). Sedangkan golongan penisilin

Page 17

dan sefalosporin tidak digunakan  karena  menyebabkan  rash yang  sensitif 

sehingga dapat memperparahrash SLE (Isenberg and Horsfall, 1998). Adanya

infeksi dariCandida dapat diatasi dengan pemberian amfoterisin B, flukonazol,

dan itrakonazol  (Katzung, 2002).

2.10 Komplikasi SLE

1. Serangan pada Ginjal

1.  Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)

2.  Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)

3. Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin) .

2. Serangan pada Jantung dan Paru

1. Pleuritis

2. Pericarditis

3. Efusi pleura

4. Efusi pericard

5. Radang otot jantung atau Miocarditis

6. Gagal jantung

7. Perdarahan paru (batuk darah) .

3. Serangan Sistem Saraf

a. Sistem saraf pusat

1. Cognitive dysfunction

2. Sakit kepala pada lupus

3. Sindrom anti-phospholipid

4. Sindrom otak

5. Fibromyalgia .

b. Sistem saraf tepi

 Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki

c. Sistem saraf otonom

 Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak,

dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya

permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom (7).

Page 18

4. Serangan pada Kulit

a. Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya

disebut lesi diskoid

b. Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir

70-an :

i. Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat

sensitif terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult

subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka

psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin.

ii. Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat

mencakup area yang luas di bagian tubuh

c. Lesi non spesifik

i. Rambut rontok (alopecia)ii. Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan

kuku dan ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok .

iii.  Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di sertai pusing.

5. Serangan pada Sendi dan Otota. Radang sendi pada lupusb. Radang otot pada lupus

6. Serangan pada Mata7. Serangan pada Darah

a. Anemia

b. Trombositopenia

c. Gangguan pembekuan

d. Limfositopenia

8. Serangan pada Hati

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

Page 19

3.1 Pengkajian

1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada

gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah,

lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap

gaya hidup serta citra diri pasien.

2. Kulit

Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.

3. Kardiovaskuler

Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.

Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan

gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan

ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.

4. Sistem Muskuloskeletal

Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada

pagi hari.

5. Sistem integumen

Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang

pangkal hidung serta pipi.

Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

6. Sistem pernafasan

Pleuritis atau efusi pleura.

7. Sistem vaskuler

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous

dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan

bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.

8. Sistem Renal

Edema dan hematuria.

9. Sistem saraf

Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun

manifestasi SSP lainnya.

Page 20

3.2 Masalah Keperawatan

1. Nyeri

2. Keletihan

3. Gangguan integritas kulit

4. Kerusakan mobilitas fisik

5. Gangguan citra tubuh

3.3 Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul

1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.

2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit,

rasa nyeri, depresi.

3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang

gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya

tahan fisik.

4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan

ketergantungan fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi

barier kulit, penumpukan kompleks imun.

Evaluasi Diagnostic

Diagnosis dibuat berdasarkan pada riwayat komplet dan analisis pemeriksaan

darah ; tidak ada satu pun pemeriksaan laboratorium yang menguatkan SLE .

3.4 Intervensi

1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.

Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan

Intervensi :

a) Melakukan pemantauan TTV

b) Mengkaji skala nyeri pasien

c) Mengkaji Nyeri ( P,Q,R,S,T )

Page 21

d) Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres

panas /dingin; masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal

penyangga, bidai; teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)

e) Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.

f) Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap

penatalaksanaan nyeri.

g) Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta

sifat kronik penyakitnya.

h) Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari

bahwa rasa nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum

terbukti manfaatnya.

i) Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien

untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.

j) Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.

2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa

nyeri, depresi.

Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-

hari yang diperlukan untuk mengubah.

Intervensi :

a. Melakukan pemantauan TTV

b. Beri penjelasan tentang keletihan : hubungan antara aktivitas

penyakit dan keletihan

c. menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara

melaksanakannya

d. mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur

(mandi air hangat dan teknik relaksasi yang memudahkan tidur)

e. menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik,

artikuler dan emosional

f. menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat

tenaga

Page 22

g. kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan

kelelahan.

h. Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.

i. Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.

j. Rujuk dan dorong program kondisioning.

k. Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan

suplemen.

3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak,

kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan

fisik.

Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.

Intervensi :

1. Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.

2. Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :

3. Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit

4. Meningkatkan pemakaian alat bantu

5. Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman.

6. Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.

7. Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.

8. Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan.

9. Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas

10. Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas.

11. Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi

4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan

ketergantungan fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.

Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta

psikologik yang ditimbulkan enyakit.

Intervensi :

a. Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala

penyakit dan penanganannya.

Page 23

b. Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut

c. Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.

d. Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.

e. Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier

kulit, penumpukan kompleks imun.

Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.

Intervensi :

a. Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi

b. Hilangkan kelembaban dari kulit

c. Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan

kompres hangat yang terlalu panas.

d. Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.

e. Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Simpulan

Dari penjelasan dalam makalah tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) merupakan penyakit multifaktorial

Page 24

yang melibatkan interaksi kompleks antar faktor genetik, hormonal dan faktor

lingkungan, yang semuanya dianggap ikut memainkan peran untuk menimbulkan

aktivitasi hebat sel B, sehingga menghasilkan pembuatan berbagai autoantibody

polispesifik.

Selain itu, pada banyak penderita SLE gambaran klinisnya

membingungkan. Tampaknya semacam penyakit dengan demam yang tidak jelas

asalnya, temuan urine yang abnormal atau penyakit sendi yang menyamar sebagai

arthritis rematoid atau demam rheumatic.

4.2 Saran

Sebaiknya apabila ada salah satu anggota keluarga atau saudara kita

terkena penyakit SLE dan sedang menjalani pengobatan, lebih baik jangan

dihentikan. Karena, apabila dihentikan maka penyakit akan muncul kembali dan

kumatlagi. Prognosisnya bertambah baik akhir-akhir ini, kira-kira 70% penderita

akan hidup 10 tahun setelah timbulnya penyakit ini. Apabila didiagnosis lebih

awal dan pengenalan terhadap bentuk penyakit ini ketika masih ringan.

Page 25

DAFTAR PUSTAKA

1. Corwin Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. buku Kedokteran.

2. Gibson J.M, MD.1996. Mikrologi dan patologi Modern untuk perawat.

Buku Kedoktreran.

3. Golmeri S.K, levena G.M. 1993 . Tes diagnosa bergambar. Buku

Kedokteran.

4. Robins dan kumar. 1995. Buku ajar patologi (eds.4). buku Kedokteran

5. Robins, DKK. 1996). Buku saku Robins Dasar Patologi Penyakit (eds.5).

buku Kedokteran.

6. Underwodd J.C.E. 1999. Patologi Umum dan Sistematik (eds2). Buku

Kedokteran.

7. Baughman Diane C. Dan JoAnn C. Hackley . 2000 . Keperawatan

Medikal Bedah Buku saku dari Brunner & Suddarth . Buku Kedokteran

Page 26