Makalah Seni Bdaya Tradisional
-
Upload
gemakusuma -
Category
Documents
-
view
65 -
download
2
Transcript of Makalah Seni Bdaya Tradisional
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang masalah
Indonesia adalah negara yang besar, negara yang kaya akan nilai budaya
dan tradisi, salah satu suku di Indonesia adalah suku Sunda yang berada di pulau
Jawa, tepatnya di Jawa Barat. Suku Sunda juga memiliki kesenian tradisional
yang khas dan beragam, selain itu suku Sunda memiliki alat musik tradisional
seperti rebab, kecapi, karinding, angklung dan suling.
Pada saat ini, suling kurang diminati oleh anak-anak, karena saat ini
banyak alat musik modern yang lebih banyak digunakan. Masalah lain yang
menyebabkan hal tersebut adalah karena kurangnya media pembelajaran alat
musik suling dan kurikulum pelajaran alat musik tradisional kepada anak-anak.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka dapat
diidentifikasi masalah sebagai berikut :
1. Kurangnya pengenalan alat musik tradisional
2. Salah satu faktor anak-anak kurang meminati alat musik Tradisional karena
tergeser oleh alat musik yang lebih modern
3. Kurangnya media pembelajaran atau informasi tentang cara memainkan Alat
Musik Tradisional.
1.3. Rumusan Masalah
Penulis akan memfokuskan masalah kepada perancangan media
informasi mengenai alat musik Tradisional.
1.4. Tujuan Perancangan
Dalam menyelesaikan masalah yang telah dibahas sebelumnya. Maka
tujuan yang ingin dicapai dalam perancangan buku ini adalah:
1. Untuk mengenal alat musik tradisional khususnya di Indonesia.
1
BAB II
ALAT MUSIK TRADISIONAL INDONESIA
2.1. Gamelan (okestranya orang jawa)
Gamelan jelas bukan musik yang asing. Popularitasnya telah merambah
berbagai benua dan telah
memunculkan paduan musik baru
jazz-gamelan, melahirkan institusi
sebagai ruang belajar dan ekspresi
musik gamelan, hingga
menghasilkan pemusik gamelan
ternama. Pagelaran musik gamelan
kini bisa dinikmati di berbagai belahan dunia, namun Yogyakarta adalah tempat
yang paling tepat untuk menikmati gamelan karena di kota inilah anda bisa
menikmati versi aslinya.
Gamelan yang berkembang di Yogyakarta adalah Gamelan Jawa, sebuah
bentuk gamelan yang berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda.
Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan
Gamelan Bali yang rancak dan Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan
didominasi suara seruling. Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki
pandangan hidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya.
Pandangan hidup Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelannya
adalah keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam berbicara
dan bertindak sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta
mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud nyata dalam musiknya adalah
tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang
dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.
Tidak ada kejelasan tentang sejarah munculnya gamelan. Perkembangan
musik gamelan diperkirakan sejak kemunculan kentongan, rebab, tepukan ke
mulut, gesekan pada tali atau bambu tipis hingga dikenalnya alat musik dari
logam. Perkembangan selanjutnya setelah dinamai gamelan, musik ini dipakai
untuk mengiringi pagelaran wayang, dan tarian. Barulah pada beberapa waktu
sesudahnya berdiri sebagai musik sendiri dan dilengkapi dengan suara para
2
sinden.
Seperangkat gamelan terdiri dari beberapa alat musik, diantaranya satu set alat
musik serupa drum yang disebut kendang, rebab dan celempung, gambang, gong
dan seruling bambu. Komponen utama yang menyusun alat-alat musik gamelan
adalah bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri
dalam pagelaran musik gamelan, misalnya gong berperan menutup sebuah irama
musik yang panjang dan memberi keseimbangan setelah sebelumnya musik
dihiasi oleh irama gending.
Gamelan Jawa adalah musik dengan nada pentatonis. Satu permainan
gamelan komplit terdiri dari dua putaran, yaitu slendro dan pelog. Slendro
memiliki 5 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan
interval kecil. Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E- F#
G# A B] dengan perbedaan interval yang besar. Komposisi musik gamelan
diciptakan dengan beberapa aturan, yaitu terdiri dari beberapa putaran dan
pathet, dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam unit yang
terdiri dari 4 nada. Anda bisa melihat gamelan sebagai sebuah pertunjukan
musik tersendiri maupun sebagai pengiring tarian atau seni pertunjukan seperti
wayang kulit dan ketoprak. Sebagai sebuah pertunjukan tersendiri, musik
gamelan biasanya dipadukan dengan suara para penyanyi Jawa (penyanyi pria
disebut wiraswara dan penyanyi wanita disebut waranggana). Pertunjukan musik
gamelan yang digelar kini bisa merupakan gamelan klasik ataupun kontemporer.
Salah satu bentuk gamelan kontemporer adalah jazz-gamelan yang merupakan
paduan paduan musik bernada pentatonis dan diatonis.
Salah satu tempat di Yogyakarta dimana anda bisa melihat pertunjukan
gamelan adalah Kraton Yogyakarta. Pada hari Kamis pukul 10.00 - 12.00 WIB
digelar gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri. Hari Sabtu pada
waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring wayang kulit,
sementara hari Minggu pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai
pengiring tari tradisional Jawa. Untuk melihat pertunjukannya, anda bisa menuju
Bangsal Sri Maganti. Sementara untuk melihat perangkat gamelan tua, anda bisa
menuju bangsal kraton lain yang terletak lebih ke belakang
3
2.2 Kecapi
Kacapi merupakan alat musik petik yang berasal dari Jawa Barat, biasa
digunakan sebagai pengiring suling
sunda atau dalam musik lengkap,
sampai saat ini masih terus
dilestarikan dan dijadikan kekayaan
seni Sunda yang sangat bernilai bagi
masyarakat asli Jawa Barat.
Membutuhkan latihan
khusus untuk dapat memainkan alat musik ini dengan penuh penghayatan, tak
jarang latihan dilakukan di alam terbuka agar dapat menyatukan rasa dan jiwa
sang pemetik Kacapi, lebih dari itu semua suara yang dihasilkan dari alat musik
ini akan menenangkan jiwa para pendengarnya, dan mampu membawa suasana
alam Pasundan di tengah-tengah pendengar yang mulai terhanyut dengan buaian
nada-nada yang indah dari Kacapi.
2.3 Angklung
Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara
tradisional berkembang dalam masyarakat
berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian
barat. Alat musik ini dibuat dari bambu,
dibunyikan dengan cara digoyangkan
(bunyi disebabkan oleh benturan badan
pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi
yang bergetar dalam susunan nada 2, 3,
sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik
besar maupun kecil. Laras (nada) alat
musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalah salendro dan
pelog.
Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga
bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang
4
di Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan
bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.
Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan
Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu,
seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris
dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini
melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi
Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap
sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian
dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga,
Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau.
Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan
untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah
bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras)
dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap
ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya
sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai
pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu
sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat
menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung
menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.[rujukan?]
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai
dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang
dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita
kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan
seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian
Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah
pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat
menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan)
dan sebagainya.
5
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke
seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi
kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan
angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena-tokoh angklung yang
mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan
madenda-mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang
dari berbagai komunitas.
2.4. Calung
Calung adalah alat musik
Sunda yang merupakan prototipe
(purwarupa) dariangklung. Berbeda
dengan angklung yang dimainkan
dengan cara digoyangkan, cara
menabuh calung adalah dengan
memukul batang (wilahan, bilah)
dari ruas-ruas (tabung bambu) yang
tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis
bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam),
namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).
Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan
seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung
rantay dan calung jinjing.
Perkembangan Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal
secara umum yaitu calung jinjing. Calung jinjing adalah jenis alat musik yang
sudah lama dikenal oleh masyarakat Sunda, misalnya pada masyarakat Sunda di
daerah Sindang Heula - Brebes, Jawa tengah, dan bisa jadi merupakan
pengembangan dari bentuk calung rantay. Namun di Jawa Barat, bentuk
kesenian ini dirintis popularitasnya ketika para mahasiswa Universitas
Padjadjaran (UNPAD) yang tergabung dalam Departemen Kesenian Dewan
Mahasiswa (Lembaga kesenian UNPAD) mengembangkan bentuk calung ini
6
melalui kreativitasnya pada tahun 1961. Menurut salah seorang perintisnya, Ekik
Barkah, bahwa pengkemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami
oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh,
gerak dan lagu dipadukan. Kemudian pada tahun 1963 bentuk permainan dan
tabuh calung lebih dikembangkan lagi oleh kawan-kawan dari Studiklub Teater
Bandung (STB; Koswara Sumaamijaya dkk), dan antara tahun 1964 -
1965 calung lebih dimasyarakatkan lagi oleh kawan-kawan di UNPAD sebagai
seni pertunjukan yang bersifat hiburan dan informasi (penyuluhan (Oman
Suparman, Ia Ruchiyat, Eppi K., Enip Sukanda, Edi, Zahir, dan kawan-kawan),
dan grup calung SMAN 4 Bandung (Abdurohman dkk). Selanjutnya
bermunculan grup-grup calung di masyarakat Bandung, misalnya Layung Sari,
Ria Buana, dan Glamor (1970) dan lain-lain, hingga dewasa ini bermunculan
nama-nama idola pemain calung antara lain Tajudin Nirwan, Odo, Uko
Hendarto, Adang Cengos, dan Hendarso. Perkembangan kesenian calung begitu
pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung,
misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan
keyboard dan gitar. Unsur vokal menjadi sangat dominan, sehingga banyak
bermunculan vokalis calung terkenal, seperti Adang Cengos, dan Hendarso.
2.5. Saron
Saron (atau disebut juga
ricik) adalah salah satu instrumen
gamelan yang termasuk keluarga
balungan. Dalam satu set gamelan
biasanya punya 4 saron, dan
kesemuanya memiliki versi pelog
dan slendro. Saron menghasilkan
nada satu oktaf lebih tinggi daripada
demung, dengan ukuran fisik yang lebih kecil. Tabuh saron biasanya terbuat dari
kayu, dengan bentuk seperti palu.
7
BAB III
PENUTUP
1.1 KESIMPULAN
Alat Musik Tradisional jangan pernah di tinggalkan karena musik
tradisional adalah warisan nenek moyang suatu bangsa yang di turunkan secara
turun temurun. Alat Musik Tradisional ini merupakan suatu cirikhas sebuah
bangsa, maka menjaga, memelihara dan melestarikan budaya dengan alat alat
musik tradisional merupakan kewajiban dari setiap individu, dengan kata lain
kebudayaan merupakan kekayaan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh setiap
suku bangsa. Alat Musik tradisional juga dapat di kolaborasikan dengan musik
moderen yang tidak kalah menarik untuk di saksikan.
1.2 SARAN
Selama menjalani seni ini ada banyak kekurangan dan kelebihannya.
Misalnya kurangnya fasilitas atau media pembelajaran, dengan menambahkan
alat proyektor sebagai media pendukung siswa dapat cepat tanggap dengan apa
yang sedang di pelajarinya. Pembelajaran yang langsung menyaksikan atau
langsung turun ke lapangan juga dapat membuat mahasiswa tidak merasa jenuh
karena tidak hanya belajar di dalam kelas saja,
8