Makalah Reklamasi Teluk Benoa

24
 1 Makalah Politik Kebijakan Publik “Analisis Peraturan Presiden No. 51 tahun 2014 mengenai Reklamasi Teluk Benoa” Alfania Riski Oktavia Fauzia Fadila Irma Chintiana  Nungky Kusumawardani Prodi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2014 Makalah Analisis Perpres No.51 Tahun 2014

description

Makalah Tugas Kebijakan Publik

Transcript of Makalah Reklamasi Teluk Benoa

3

Makalah Politik Kebijakan PublikAnalisis Peraturan Presiden No. 51 tahun 2014 mengenai Reklamasi Teluk Benoa

Alfania Riski Oktavia Fauzia Fadila Irma Chintiana

Nungky KusumawardaniProdi Ilmu Politik

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia2014BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar BelakangSebagai bagian dari gugusan kepulauan Nusantara, Pulau Bali termasuk salah satu dari ke-27 provinsi Republik Indonesia. Bali terkenal akan keindahan panorama alamnya yang alami nan eksotis. Selain itu Bali merupakan cerminan dari warisan budaya Hindu yang amat kental. Tidak heran apabila Bali dijuluki sebagai surga pariwisata. Anggapan tersebut dibangun atas wacana orientalis yang ingin melihat Bali sebagai museum hidup budaya Hindu-Jawa di tengah negeri Islam terbesar di dunia. Tidak dapat dipungkiri bahwa pariwisata menjadi jalan untuk meningkatkan taraf hidup orang Bali, pun tanpa merombak pola hidup tradisional mereka.Namun patut diingat bahwa tujuan pariwisata Bali, yang kini nampak sebagai sesuatu yang tak terelakkan, baik dimata orang Bali sendiri maupun di mata para wisatawan ialah bahwa pariwisata merupakan hasil dari sejarah yang khas, dan dari keputusan-keputusan tertentu. Darimana datangnya keputusan itu salah satunya disebabkan oleh karena faktor historis Bali yang pernah dijajah oleh Hindia Belanda. Pada saat itu pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan Bali di mata dunia lewat seni tradisonal-nya seperti tarian. Tidak heran bila Bali bisa dikatakan lebih terkenal daripada Indonesia.Isu yang paling hangat menimpa Bali saat ini ialah mengenai reklamasi yang akan dilakukan di Teluk Benoa di daerah Bali. Teluk Benoa terletak di sisi tenggara pulau Bali, dan direncanakan untuk direklamasi tepatnya adalah Pulau Pudut. Reklamasi direncanakan seluas 838ha dengan ijin pengelolaan PT TWBI selama 30 tahun, dan pembangunan berbagai objek wisata di atasnya.

Tentu saja hal ini menimbulkan polemik akibat adanya pihak pro dan kontra atas berbagai pertimbangan jika proyek reklamasi di bangun. Pihak kontra mendasari argumennya merujuk pada Pasal 93 Peraturan Presiden 45/2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita yang menyebutkan bahwa Teluk Benoa adalah kawasan konservasi. Mereklamasi kawasan konservasi artinya melanggar peraturan tersebut, terlebih banyak dampak negatif yang akan berdampak bagi kelangsungan ekosistem maupun kehidupan masyarakat. Sedangkan pihak pro beranggapan bahwa reklamasi ialah demi untuk kemajuan dan masa depan Bali, dan mereklamasi Bali ialah legal hukumnya, hal ini sesuai dengan Perpres No. 51/2014.Pada tanggal 30 Mei 2014 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Perpres No. 51 tahun 2014. Inti dari Perpres ini adalah berubahnya status Teluk Benoa dari kawasan konservasi perairan menjedi kawasan pemanfaatan umum dan diijinkannya reklamasi seluas maksimal 700 hektar.

Dalam melakukan reklamasi tentu banyak aspek yang mesti diperhatikan. Mengingat kawasan pantai adalah kawasan yang seharusnya bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Apabila pantai direklamasi tentu saja fungsi pantai sebagai public space bagi suatu masyarakat/kota tidak dapat berjalan seperti sediakala. Kawasan yang telah direklamasi seakan-akan telah berubah menjadi milik pribadi. Investor yang melakukan pengurukan lahan rawa atau laut akan merasa memilikinya. Jika sudah begitu maka masyarakat akan merasa dirugikan. Belum lagi timbulnya kekhawatiran akan bencana seperti banjir misalnya.

Munculnya pelbagai macam gerakan penolakan reklamasi Teluk Benoa kian ramai. Gerakan tersebut sebagai bentuk respon masyarakat terhadap Perpres No.51/2014. Produk nyata dari gerakan ini dalam menyuarakan hak-hak masyarakat Bali berupa poster, spanduk, lagu, konser musik, akun-akun media sosial yang bersedia menampung aspirasi sekaligus mengampanyekan penolakan reklamasi.I.II Rumusan Masalah1. Penjelasan Mengenai Perpres No.51/20142. Analisis Perda Propinsi Bali Tahun 2009 Terkait Proyek Reklamasi3. Relasi Konsep Ajeg Bali dengan Perpres No.51/20144. Mempertanyakan UU Pengelolaan Pesisir di Bali5. Evaluasi Kebijakan Mengenai Dampak Reklamasi Teluk Benoa6. Belajar dari Reklamasi Pulau NipahBAB IITEORI DAN KERANGKA KONSEPTUALII.I Kerangka Teori Pengertian ReklamasiMenurut pengertiannya secara bahasa, reklamasi berasal dari kosa kata dalam Bahasa Inggris, to reclaim yang artinya memperbaiki sesuatu yang rusak. Secara spesifik dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia terbitan PT. Gramedia disebutkan arti reclaim sebagai menjadikan tanah (from the sea). Masih dalam kamus yang sama, arti kata reclamation diterjemahkan sebagai pekerjaan memperoleh tanah. Para ahli belum banyak yang mendefinisikan atau memberikan pengertian mengenai reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi pantai merupakan upaya teknologi yang dilakukan manusia untuk merubah suatu lingkungan alam menjadi lingkungan buatan, suatu tipologi ekosistem estuaria, mangrove dan terumbu karang menjadi suatu bentang alam daratan. (Maskur, 2008).

Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase (UU No 27 Thn 2007).

Pengertian reklamasi lainnnya adalah suatu pekerjaan/usaha memanfaatkan kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna atau masih kosong dan berair menjadi lahan berguna dengan cara dikeringkan. Misalnya di kawasan pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai/di laut, di tengah sungai yang lebar, ataupun di danau. Pada dasaranya reklamasi merupakan kegiatan merubah wilayah perairan pantai menjadi daratan. Reklamasi dimaksudkan upaya merubah permukaan tanah yang rendah (biasanya terpengaruh terhadap genangan air) menjadi lebih tinggi (biasanya tidak terpengaruh genangan air). (Wisnu Suharto dalam Maskur, 2008).

Sesuai dengan definisinya, tujuan utama reklamasi adalah menjadikan kawasan berair yang rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan bermanfaat. Kawasan baru tersebut, biasanya dimanfaatkan untuk kawasan pemukiman, perindustrian, bisnis dan pertokoan, pertanian, serta objek wisata. Dalam perencanaan kota, reklamasi pantai merupakan salah satu langkah pemekaran kota. Reklamasi diamalkan oleh negara atau kotakota besar yang laju pertumbuhan dan kebutuhan lahannya meningkat demikian pesat tetapi mengalami kendala dengan semakin menyempitnya lahan daratan (keterbatasan lahan). Dengan kondisi tersebut, pemekaran kota ke arah daratan sudah tidak memungkinkan lagi, sehingga diperlukan daratan baru. (http//www.lautkita.org)Pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan (Kay and Alder, 1999). Sedangkan definisi reklamasi pantai menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.40/PRT/M/2007 adalah kegiatan di tepi pantai yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan (polder), atau drainase. Metode urukan dilakukan dengan cara menguruk tanah timbunan berupa pasir yang diperoleh dari dasar laut dan darat atau berupa tanah lempung, material sisa pembakaran batu bara, limbah padat, dan lainnya.Tujuan ReklamasiTujuan reklamasi juga yaitu untuk memperbaiki daerah atau areal yang tidak terpakai atau tidak berguna menjadi daerah yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia antara lain untuk lahan pertanian, perumahan, tempat rekreasi dan industri (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990). Sedangkan menurut Max Wagiu, 2011. Tujuan dari program reklamasi yaitu:

a. Untuk mendapatkan kembali tanah yang hilang akibat gelombang laut

b. Untuk memperoleh tanah baru di kawasan depan garis pantai untuk mendirikan bangunan yang akan difungsikan sebagai benteng perlindungan garis pantai

c. Untuk alasan ekonomis, pembangunan atau untuk mendirikan konstruksi bangungan dalam skala yang lebih besar.Metode dalam Reklamasi

Yang Secara umum bentuk reklamasi ada dua, yaitu reklamasi menempel pantai dan reklamasi lahan terpisah dari pantai daratan induk. Cara pelaksanaan reklamasi sangat tergantung dari sistem yang digunakan. Menurut Buku Pedoman Reklamasi di Wilayah Pesisir (2005) dibedakan atas 4 sistem, yaitu :a. Sistem Timbunan

Reklamasi dilakukan dengan cara menimbun perairan pantai sampai muka lahan berada di atas muka air laut tinggi (high water level) yang aman.b. Sistem Polder

Reklamasi dilakukan dengan cara mengeringkan perairan yang akan direklamasi dengan memompa air yang berada didalam tanggul kedap air untuk dibuang keluar dari daerah lahan reklamasi.

c. Sistem Kombinasi antara Polder dan Timbunan

Reklamasi ini merupakan gabungan sistem polder dan sistem timbunan, yaitu setelah lahan diperoleh dengan metode pemompaan, lalu lahan tersebut ditimbun sampai ketinggian tertentu sehingga perbedaan elevasi antara lahan reklamasi dan muka air laut cukup aman.

d. Sistem Drainase

Reklamasi sistem ini dipakai untuk wilayah pesisir yang datar dan relatif rendah dari wilayah di sekitarnya tetapi elevasi muka tanahnya masih lebih tinggi dari elevasi muka air laut.Pedoman dan Undang-Undang yang Mengatur Reklamasi PantaiPembangunan reklamasi di Indonesia harus mengacu pada pelbagai pedoman dan Undang-Undang yang mengatur tentang reklamasi pantai, antara lain: Pedoman perencanaan tata ruang kawasan reklamasi pantai (Peraturan Menteri PU No. 4/PRT/M/2007) yang mencakup penjelasan tentang faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam tahapan-tahapan pelaksanaan kegiatan reklamasi, yaitu aspek fisik, ekologi, sosial ekonomi dan budaya, tata lingkungan dan hukum, aspek kelayakan, perencanaan dan metode yang digunakan. Pedoman ini juga memberikan batasan, persyaratan dan ketentuan teknis yang harus dipenuhi agar suatu wilayah dapat melakukan reklamasi pantai. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang memberi wewenang kepada daerah untuk mengelola wilayah laut dengan memanfaatkan sumber daya alam secara optimal.

Undang-undang No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang merupakan guide line bagi daerah untuk mengatur, mengendalikan dan menata wilayahnya dalam satu-kesatuan matra ekosistem,

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mengamanatkan wilayah pesisir diatur secara komprehensif mulai dari perencanaan, pengelolaan, pengawasan dan pengendalian.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana yang mengatur tentang perlindungan terhadap aset baik berupa jiwa II.II Kerangka Konseptual

BAB III

ISIIII.I Penjelasan Mengenai Perpres 51 Tahun 2014

Menurut UU No.51/2014 tentang rencana tata ruang kawasan perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita). Salah satu poin terpenting dari aturan tersebut adalah mengubah peruntukkan Perairan Teluk Benoa dari kawasan konservasi perairan menjadi zona budi daya yang dapat direklamasi maksimal seluas 700 Hektar. Aturan tersebut juga mengubah kawasan konservasi pulau kecil dari seluruh Pulau Serangan dan Pudut, menjadi sebagian Pulau serangan dan Pudut. Dalam aturan tersebut juga menghapus besaran luas taman Hutan Raya Ngurah Rai sebagai kawasan pelestarian alam.Peraturan Presiden no.51 tahun 2014 merupakan perubahan atas Peraturan Presiden no. 45 tahun 2011. Yang berisi tentang tata ruang kawasan perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. Dimana pasal 55, 56, 63A, 81, 101A, 120A, dan pasal 122 mengalami perubahan. Dalam Perpres no.51 tahun 2014 menyebutkan perubahan sebagian status zona kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di kawasan Teluk Benoa, serta arahan umum pemanfaatan ruang kawasan tersebut. Karena adanya perkembangan kebijakan strategis nasional dan dinamika internal di Kawaan Perkotaan SARBAGITA. Khususnya terkait pemafaatan ruang di kawasan Teluk Benoa, sehingga diperlukan revitalisasi kawasan yang sesuai dengan perkembangan potensi alam, wisata, lingkungan, dan masyarakat di Bali secara khusus dan umum.

Kawasan Teluk Benoa dinilai tidak memenuhi kriteria sebagai kawasan konservasi perairan karena terdapat perubahan fisik, seperti adanya jalan tol, jaringan pipa migas, dan pelabuhan Internasional Benoa. Pertimbangan lain adalah karena terjadinya pendangkalan sehingga menjadikan Teluk Benoa tidak tepat untuk menjadi kawasan konservasi. Sehingga dengan adanya reklamasi kawasan Teluk Benoa dinilai dapat dikembangkan sebagai kawasan pengembangan kegiatan ekonomi serta sosial budaya dan agama. Tentu saja pemerintah menyatakan akan tetap memperhatikan kelestarian fungsi Taman Hutan Raya Ngurah Rai dan ekosistem di sekitarnya.

Menurut kajian tim yang beranggotakan para pakar dari beberapa universitan seperti UGM, ITB, IPB, ITS, dan Unhas memberikan hasil bahwa jika Teluk Benoa dibiarkan maka akan terjadi pendangkalan secara masif di teluk dan akan berdampak pada hancurnya taman hutan raya mangrove karena kekurangan air. Maka dari itu diperlukan revitalisasi di Teluk Benoa. Perubahan yang dilakukan pada Perpres no.45/2011 akan dilakukan konsultasi publik yang melibatkan pemerintah daerah, masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 diharapkan dalam implementasinya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian terkait, dan Pemerintah Daerah, serta pengembang dapat memanfaatkannya sebaik mungkin untuk kepentingan pembangunan dan masyarakat di Bali sesuai dengan peraturan yang berlaku.III. II Analisis Perda Provinsi Bali No. 16 tahun 2009Pemerintah Bali sendiri mengeluarkan Peraturan Daerah yang membahas tentang rencana tata ruang wilayah provinsi Bali dari tahun 2009-2029. Didalam Perda ini dijelaskan berbagai macam ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah provinsi Bali berdasarkan berbagai aspirasi yang ditampung dalam merencanakan tata ruang di Bali.

Di dalam pasal 11 ayat (1) Perda Provinsi Bali no. 16 tahun 2009 diseutkan bahwa kebijakan pengembangan kawasan lindung mencakup :

a) pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup;

b) pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup;

c) pemulihan dan penanggulangan kerusakan lingkungan hidup; dan

d) mitigasi dan adaptasi kawasan rawan bencana.

Dari ayat tersebut sudah jelas bahwa Bali memiliki kawasan-kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan lindung yang harus terus dijaga dan dilestarikan. Salah satunya Teluk Benoa. Sedangkan dengan adanya reklamasi bisa jadi membuat usaha untuk pelestarian kawasan lindung tersebut menjadi gagal. Memang pemerintah menjelaskan bahwa kawasan perairan di Teluk Benoa sudah tidak layak untuk menjadi lahan konservasi. Tetapi dengan dilaksanakannya reklamasi Teluk Benoa akan membuat berbagai ekosistem perairan yang hidup di sana menjadi rusak. Dan hal ini juga merujuk pada reklamasi yang sudah pernah dilakukan di berbagai wilayah lain di Indonesia. Contohnya seperti yang terjadi di Pulau Nipah.

Dalam ayat (3) masih dalam pasal 11 juga disebutkn berbagai strategi pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan kawasan lindung, yaitu:

a) Menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup;

b) Melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan erubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;

c) Melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang kedalamnya;

d) Mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan hidup yang tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan. Dan seterusnya

Dalam poin d dapat ditarik garis besar bahwa Provinsi Bali juga memiliki peraturan untuk mencegah terjadinya perubahan fisik lingungan hidup yang tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Dan seperti yang sudah diketahui bahwa reklamasi tidak hanya dapat memberikan perluasan lahan tetapi dia juga mampu membuat perubahan fisik terhadap lingkungan sekitar. Reklamsi dalam penanganan yang tidak tepat dapat pula menjadi masalah dalam berjalannya proses pembangunan. Karena biaya konservasinya yang relatif besar, ditambah lagi apabila kawasan tersebut tidak memiliki potensi atau memiliki potensi tetapi tidak di manfaatkan secara maksimal maka dia akan menjadi sumber masalah dari pembangunan di wilayah tersebut. Dan kaitannya dengan pembangunan yang berkelanjutan, dimana reklamasi yang sangat mungkin akan merusak kehidupan di bawah perairan laut dapat menjadikan kawasan rekalamasi tersebut semakin tidak layak untu menjadi kawasan konservasi perairan laut. Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa reklamasi sendiri sebenarnya tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam Perda Provinsi Bali no. 16 tahun 2009 tersebut.III.III Relasi Konsep Ajeg Bali dengan Perpres No.51/2014Arti kata ajeg merujuk pada pengertian stabil, tetap dan konstan. Ajeg atau ajek bermakna tetap atau tidak berubah (KBBI : 1976). Satu hal yang dipertahankan oleh masyarakat Bali adalah nilai, yaitu agama Hindu. Hal yang tetap dalam kebudayaan adalah perubahannya. Teknologi menyebabkan perubahan praktik dan perubahan kemasan.

Ajeg Bali meliputi berbagai hal di Bali, mulai dari sitem religi, ekonomi, seni-budaya, niaga, politik, lingkungan, politik, pendidikan, tata ruang, kependudukan, kesehatan, pendidikan, pariwisata, dan hal-hal lain yang menyangkut cara hidup masyarakat. Dalam sistem persubakan, misalnya, dilakukan sterilisasi wilayah subak dari pembangunan perumahan untuk melestarikan kondisi ekologis sekitar subak. Sosialisasi budaya Bali, seperti membuat janur, ditanamkan semenjak kanak-kanak dan merupakan bentuk ajeg Bali. Hal ini saya temukan ketika melihat perlombaan membuat prasarana ibadah bagi anak-anak SD dan SMP di Tanah Lot.

Ajeg Bali terinspirasi oleh nilai-nilai yang dianut dalam agama Hindu, yang diwujudkan dalam ajaran Tri Hita Karana yang berarti tiga penyebab kebahagiaan atau kemakmuran. Ketiga konsep tersebut dalah Parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan manusia dengan sesama manusia), dan Palemahan (hubungan manusia dengan alam) (Dewa Nyoman Suardana. 2007).

Dalam pelaksanaannya konsep Ajeg Bali dimaknai dalam tiga tataran, yaitu dalam tataran individu; ajeg Bali dimaknai sebagai kemampuan manusia Bali untuk memiliki kepercayaan diri kultural (cultural confidence) yang bersiat kreatif dan tidak membatasi diri pada hal-hal fisikal semata. Kedua, dalam tataran lingkungan kultural; ajeg Bali dimaknai sebagai sebuah ruang hidup budaya Bali yang bersifat inklusif, multikultur, dan selektif terhadap pengaru-pengaruh luar. Terakhir, dalam tataran proses kultural; ajeg bali merupakan interaksi manusia dengan ruang hidup buadayanya guna melahirkan produk-produk atau penanda-penanda budaya baru melalui sebuah proses yang berdasarkan nilai-nilai moderat (tidak terjebak pada romantisme masa lalu maupun godaan dunia modern), non-dikotomis, berbasis pada nilai-nilai kultural, dan kearifan lokal, serta memiliki kesadaran ruang (spasial) dan waktu yang mendalam. Dalam ketiga tataran tersebut, disepakati bahwa ajeg Bali bukanlah sebauah konsep yang stagnan, melainkan upaya pembaruan terus-menerus yang dilakukan secara sadar oleh manusia Bali untuk menjaga identitas, ruang, serta proses budayanya agar tidak jatuh di bawah penaklukan hegemoni budaya global (Bali Post. 2004).

Masyarakat Bali terus berubah secara kreatif dan menciptakan tradisi-tradisi baru. Dalam pariwisata ditekankan agar kebutuhan pariwisata terlayani, sementara budaya lokal tetap bertahan. Namun, jika kita perhatikan, pada praktiknya masyarakat Bali tidak pernah terlepas dari Tri Hita Karana, apa yang mereka lakukan selalu berlandaskan hal tersebut. Masyarakat Bali tidak pernah terlepas dari ritual agama Hindu yang selalu mencari keseimbangan dalam hampir setiap kegiatan hidupnya. Tri Hita Karana sendiri juga diartikan sebagai falsafah hidup masyarakat Bali yang memuat tiga unsur yang membangun keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya yang menjadi sumber kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia.Agaknya perlu kita mengaitkan konsep Tri Hita Karana dengan proyek reklamasi Teluk Benoa. Mengapa? Karena penting sekali untuk mengetahui apakah ketika proyek reklamasi Teluk Benoa dilaksanakan masyarakat Bali tetap bisa menjalankan ajeg Bali lewat pengamalan nilai-nilai Tri Hita Karana.

Nilai Tri Hita Karana yang paling berkaitan dengan proyek reklamasi ialah Palemahan (hubungan manusia dengan alam). Palemahan berasal dari kata lemah yang artinya tanah. Palemahan juga berati bhuwana atau alam. Dalam artian yang sempit palemahan berarti wilayah sutu pemukiman atau tempat tinggal. Manusia hidup dimuka bumi ini memerlukan ketentraman, kesejukan, ketenangan dan kebahagiaan lahir dan batin. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia tidak bisa hidup tanpa bhuwana agung (alam semesta). Manusia hidup di alam dan dari hasil alam. Hal inilah yang melandasi terjadinya hubungan harmonis antara manusia dengan alam semesta ini. Keharmonisan antara manusia dengan alam ini yang berusaha dijaga oleh masyarakat Bali. Tidak heran apabila masyarakat Bali amat khawatir akan terjadinya bencana alam akibat dari dampak yang ditimbulkan reklamasi. Karena bencana sejatinya menunjukkan tanda bahwa hubungan manusia dengan alam sedang tidak harmonis. Tentu bukan hanya bencana alam saja yang dikhawatirkan, masalah lainnya seperti degradasi daya dukung lingkungan juga menjadi pertimbangan. III.IV UU PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (selanjutnya disebut PWP-PK) Pasal 1 Ayat (2), disebutkan bahwa:Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

Selanjutnya, pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK

disebutkan bahwa:

Ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut di ukur dari garis pantai.Ruang lingkup Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK meliputi daerah pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan, ke arah daratan mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Sementara itu, menurut UNCLOS 1982, pengertian/batasan wilayah pesisir tidak diatur, tetapi UNCLOS 1982, membagi laut ke dalam zona-zona yaitu:

a. Wilayah laut yang berada di bawah yurisdiksi suatu Negara adalah :

1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

2. Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters)

3. Laut Wilayah (Territorial Sea)

4. Zona Tambahan (Contiguous Zone)

5. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone)

6. Landas Kontinen (Continental Shelf))

b. Wilayah laut yang berada di luar yurisdiksi suatu Negara adalah:

1. Laut Lepas (High Seas)

2. Dasar Laut Dalam/kawasan (Area/Deep Sea Bed)

Penentuan batas wilayah pesisir dan laut tidak dapat disamakan antara ketentuan dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK dengan UNCLOS 1982. UU Nomor 27 Tahun 2007 berlaku pada batas wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai, sedangkan UNCLOS 1982 tidak menentukan batas wilayah pesisir maupun cara pengukurannya.

Di setiap negara di dunia, pada dasarnya pengaturan pengelolaan pesisir dan pulau kecil menyesuaikan dengan keadaan geografis negara tersebut. Sedangkan di Indonesia sendiri, sesuai dengan hukum nasional pembagian kebijakan mengenai pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil dibagi menjadi dua, yaitu:1. Ketentuan perundang-undangan nasional yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang bersifat konkrit dan mengikat (hard law), atau ketentuan yang dihasilkan dari perjanjian internasional (treaty, convention, atau agreement) baik yang bersifat bilateral, multilateral, global, regional maupun sub-regional bagi negara-negara yang menyatakan diri siap terikat (express to be bound) dan memberlakukannya di wilayahnya;2. ketentuan-ketentuan yang berbentuk soft law, yaitu ketentuan-ketentuan yang memuat prinsip-prinsip umum (general principles), bersifat pernyataan sikap atau komitmen moral dan tidak mengikat secara yuridis. Daya ikatnya tergantung kepada kesediaan negara-negara untuk menerimanya sebagai hukum nasional, misalnya dalam bentuk deklarasi, piagam atau protokol.Di Indonesia, terdapat beberapa perangkat hukum nasional yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir dan laut, antara lain:

a. Undang-undang Nomor 17 tahun 1985 tentang pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Dimana UNCLOS tidak mengatur secara khusus dalam pasal-pasalnya tentang pengelolaan wilayag pesisir dan laut, tetapi ada makna yang tersirat mengenai sumber kekayaan laut yang membutuhkan pengelolaan yng baik sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, tanpa merusak lingkungan laut untuk kemakmuran manusia.

Maka dari itu, yang menjadi pertanyaan adalah apakah reklamasi yang akan dilakukan di Teluk Benoa tidak akan merusak kehidupan laut disekitarnya? Walaupun kembali lagi, alasan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia menyatakan bahwa perairan laut di teluk Benoa tersebut sudah tidak layak menjadi kawasan konservasi. Tetapi apakah memang keadaan perairan di Teluk Benoa telah benar-benar rusak sehingga tidak ada kemungkinan untuk diperbaiki tanpa reklamasi? Oleh karena itu, hal ini harus menjadi perhatian pemerintah untuk mengkaji ulang bagaimana sebenarnya kondisi perairan laut di Teluk Benoa dan mencari alternatif-alternatif lain untuk memperbaikinya.b. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. UU ini menjadi pembaharuan dari UU No.4/Prp/1960 tentang ketentuan Perairan di Indonesia. Dimana pembaharuan yang dilakukan disini menyesuaikan dengan perkembangan rezim baru negara kepulauan sesuai yang dinyatakan dalam Bab IV UNCLOS 1982.c. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007. UU ini membahas tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional tahun 2005-2025. Dinyatakan dalam Bab II huruuf I bahwasumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pembangunan dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan yang meliputi keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, pengaturan secara alamiah, keindahan alam, dan udara bersih yang merupakan penopang kehidupan manusia.

Arah pembangunan menurut UU ini adalah pendayagunaan dan pengawasan wilayah laut yang sangat luas. Dan arah pemanfaatannya harus dilakukan melalui pendekatan multisektor, integratif, dan komprehensif dengan tujuan untuk meminimalkan konflik dan tetap menjaga kelestariannya.Sudah jelas sekali apapun langkah yang diambil untuk memperbaiki Teluk Benoa, sekalipun dengan reklamasi haru memperhatikan kelestarian sekitar. Walaupun dalam faktanya reklamasi akan merusak kehidupan dalam laut di kawasan tersebut. Dan dari pertama dikeluarkannya wacana untuk reklamasi teluk Benoa sudah banyak penolakan yang dilakukan baik leh masyarakat setempat dan secara Naisional. Kedua hal ini akan melenceng dari tujuan UU No. 17 tahun 2007 ini karena akan menciptakan konflik dan akan menimbulkan kerusakan kelestarian sekitar.

d. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007. Seperti yang dibahas sebelumnya, UU ini berisi tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dimana di Indonesia sendiri pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dal laut belum terintegrasi dengan kegiatan pembanguan dari berbagai sektor dan daerah. Selain itu peraturan perundang-undangan tentang pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut lebih mengarah pada eksploitasi sumber daya tanpa memperhatikan kelestaroan sumber daya-nya serta belum mampu meilah faktor-faktpr yang menjadi penyebab kerusakan lingkungan.

Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun oleh berbagai sektor dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan saling penguatan pemanfaatannya. Perencanaan wilayah pesisir tebagi menjad 4 tahapan, yaitu: 1) rencana strategis; 2) rencana zonasi; 3) rencana pengelolaan; dan 4) rencana aksi sesuai dengan prinsip 1 dan 3 dari intergrated coastal management.Sesuai UU No. 27 Tahun 2007 pasal 34, reklamasi hanya dapat dilaksanakan jika manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar dari biaya sosial dan biaya ekonominya. Namun demikian, pelaksanaan reklamasi juga wajib menjaga dan memperhatikan beberapa hal salah satunya keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Hal ini tercantum dalam UU No. 27 Tahun 2007 Pasal 34:(1) Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi.

(2) Pelaksanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga dan memperhatikan:

a. keberlanjutan kehidupan dan penghidupan Masyarakat;

b. keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; serta

c. persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material.

(3) Perencanaan dan pelaksanaan Reklamasi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden.

III.V Evaluasi Kebijakan Mengenai Dampak Reklamasi Teluk BenoaReklamasi teluk Benoa menimbulkan berbagai macam reaksi dari masyarakat di Bali termasuk Indonesia. Karena pada dasarnya Reklamasi ini dianggap hanya merupakan bisnis semata yang menguntungkan para investor dan merugikan masyarakat Bali karena akan merusak kualitas lingkungan hidup. Karena hakikatnya Bali merupakan tempat pariwisata yang menjual pemandangannya atau alamnya bukan resort atau bangunan-bangunannya. Bukan berarti bahwa masyarakat Bali anti pembangunan tapi untuk melakukan pembangunan harus dilakukan secara berkelanjutan agar hasilnya maksimal karena apabila tidak maka pembangunan hanya akan menjadi peluru untuk kita sendiri. Berikut akan dijelaskan mengenai dampak-dampak dari Reklamasi Teluk Benoa di berbagai aspek.

Dampak Reklamasi Teluk Benoa terhadap Lingkungan

Reklamasi Teluk Benoa dinilai beberapa kalangan akademisi akan berdampak buruk terhadap lingkungan hidup di Bali. Diantaranya yaitu merusak lingkungan di daratan hingga terjadinya perubahan arus air laut di sekitar perairan Teluk Benoa. I Nyoman Sunarta pakar Hidrologi dari Universitas Udayana mengatakan berdasarkan hasil pengamatannya akhir-akhir ini saja sudah terlihat adanya kekacauan arus di sekitar teluk Benoa. Hal itu akan diperparah lagi dengan jika Reklamasi jadi dilakukan. Arus air laut yang seharusnya masuk ke Teluk Benoa akan mengalami perubahan lantaran adanya pulau-pulau marina di sekitar kepulauan tersebut. Kondisi ini akan membuat terjadinya perubahan arus air laut beralih ke pinggiran pantai di sekitarnya.

R.Suryanto pakar Geomorfologi dari Universitas Udayana berpendapat bahwa dengan berubahnya sirkulasi air di Teluk Benoa juga akan berpengaruh pada perkembangan hutan bakau dan kehidupan biota laut disekitarnya. Sebab, jika arus air laut mengalir ke pantai lainnya maka pohon-pohon bakau akan mengalami kekurangan suplai-suplai air laut dan menyebabkan gangguan terhadap pertumbuahan dan perkembangan pohon bakau. Demikian pula pada perkembangan biota laut seperti ikan, kepiting, dan lainnya yang hidup di sekitar perairan bakau akan terganggu lantaran kurangnya asupan nutrisi yang dibawa oleh air laut itu sendiri.Tidak hanya itu, reklamasi di perairan Teluk Benoa juga akan berdampak pada mendangkalnya kawasan Pelabuhan Benoa. Sebab, dengan adannya pembuatan pulau-pulau di sekitarnya akan mengakibatkan tingginya tumpukan endapan yang berakibat pada susahnya kapal untuk berlabuh di pelabuhan. ''Pelabuhan perlu perairan dalam. Kalau banyak pulau nantinya akan membawa banyak endapan. Kapal akan susah masuk serta diperlukan banyak biaya untuk mengeruknya,'' ujarnya.Terkait dengan proses reklamasi yang membutuhkan sejumlah material seperti pasir yang akan diambil di dasar perairan Pantai Sawangan, kata Suryanto, hal tersebut tidak terlalu menimbulkan masalah lantaran jumlah pasir di kawasan Sawangan masih bisa mencukupi kebutuhan reklamasi. Namun, yang sangat penting untuk diperhatikan dalam proses pengambilan pasir tersebut adalah pengawasan. Jangan sampai pengambilan pasir untuk reklamasi Teluk Benoa diambil di dasar perairan yang dangkal.Menurut Suryanto, kedalaman minimal untuk pengambilan pasir di kawasan perairan Sawangan sekitar 30 meter di bawah laut. Dampak reklamasi lain terhadap lingkungan yaitu pada terumbu karang: terumbu karang akan mati, pasir putih hilang dan ikan-ikan akan berkurang karena habitat hilang.Dampak Reklamasi Teluk Benoa di Bidang Ekonomi

Di satu sisi dalam hal lapangan kerja, akan dibangunnya akomodasi pariwisata dan fasilitas umum akan memberikan peluang lapangam kerja bagi masyarakat bali 5-10 tahun mendatang. Diperkirakan sekitar 200.000 lapangan kerja baru akan tersedia di kawasan ini. Saat ini jumlah angkatan kerja khususnya lulusan perguruan tinggi terus bertambah sementara lapangan pekerjaan mengalami stagnasi, karena sangat bergantung kepada kondisi dan perkembangan pariwisata yang sangat rentan terhadap kondisi keamanan dan kondisi sosial lainnya. Terlebih lagi tahun 2015 kita akan menjadi bagian dari Komunitas Tunggal Asean, sejalan dengan akan diberlakukannya Asean Trade Area (AFTA). Dalam masa tersebut, para pekerja dari luar negeri akan datang ke bali untuk bersaing mendapatkan pekerjaan dalam seluruh bidang, mulai dari manager, supir, sampai tukang sapu. Keberadaan lapangan baru akan sangat membantu persaingan kerja bagi para tenaga kerja lokal Bali. Demikian pula dengan para penari dan lulusan SMK Kesenian, dan juga perguruan tinggi seni akan mendapatkan kesempatan luas untuk tampil dengan dibagunnya art center dan akomodasi pariwisata baru. Di sisi lainnya hal yang demikian bisa dikatakan tidak efektif karena mungkin saja pekerja yang direkrut bukan merupakan masyarakat Bali. Dengan biaya yang sangat besar untuk Reklamasi tersebut maka mustahil apabila tidak ada dana-dana yang hilang dimakan oknum-oknum tertentu untuk kepentingan pribadi. Dengan tinginya angka perkiraan korupsi yang terjadi untuk proyek revitalisasi ini maka diperkirakan negara akan mengalami kerugian yang cukup besar.

Dampak Reklamasi di Bidang BudayaWE DONT NEED DISNEY LAND TO PLAY AND HAVE FUN!!. Demikianlah tanggapan masyarakat Bali yang nampak di halaman muka website ForBali.org, sebagai bentuk sikap atas rencana proyek reklamasi Teluk Benoa. Sebagai bagian dari Indonesia Bali sudah sangat terkenal melalui kekhasan budaya dan alam yang dimilikinya. Maka yang dibutuhkan oleh masyarakat Bali yaitu tetap menjaga budaya dan alamnya tanpa harus melakukan pembangunan seperti Singapura. Karena dengan budaya dan alam yang dimilikinya sudah memberikan identitas tersendiri bagi Bali yang membuatnya dikenal di kancah Internasional. Bagi masyarakat Bali yang mayoritas beragama Hindu menyayangi Alam merupakan wujud bakti kepada Tuhan sedangkan mereklamasi Teluk Benoa bukan merupakan wujud bakti ke Tuhan melainkan suatu bentuk eksploitasi. Mungkin sebagian meyakini bahwa merubah bentangan alam merupakan hal yang sepele. Apabila ada uang maka semuanya dapat dilakukan tetapi hal demikian tidak semudah itu, karena dampak yang akan datang kemudian tidak bisa diatasi atau dihindari begitu saja.

Dampak reklamasi di bidang budaya berekairtan erat dengan konsep Tri Hita Kirana yang sudah dipaparkan sebelumnya. Karena budaya menjadi sarana masyarakat Bali beribadah kepada Tuhan-Nya. Untuk itu perlunya menjaga keharmonisan antara manusia dalam alam perlu dilaksanakan sebagai bentuk perwujudan nilai palemahan dalam Tri Hita Kirana. Karena ketika alam marah (terjadi bencana, kondisi alam tidak aman) maka masyarakat Bali akan mengalami kendala dalam mengekspresikan diri lewat budaya yang sekian notabene-nya di bangun lewat hubungan harmonis dengan alam.Dampak reklamasi di bidang Sosial

Reklamasi teluk benoa juga mendatangkan dampak dibidang sosial diantaranya akan terbentuk kesenjangan yang sangat jelas antar anggota masyarakat. Dapat dikatakan yang ber-uang akan semakin kaya dan yang tidak ber-uang akan semakin tersingkirkan atau tergusur dari hidup yang layak. Investor akan dapat menarik keuntungan yang semakin besar dari reklamasi ini malalui mega-mega proyek yang akan dibangun yang juga berpotensi merusak lingkungan hidup masyarakat Bali. Sedangkan rakyat-rakyat lainnya akan semakin jatuh terpuruk karena beban hidup yang ditanggungnya akan semakin besar atau berat yang secara tidak langsung disebabkan oleh semakin mahalnya harga-harga kebutuhan hidupnya di daerah yang sudah dikembangkan menjadi resort tersebut.

Kemudian dampak sosial terjadi karena dengan berdirinya bangunan konstruksi di kawasan reklamasi, komunitas nelayan di daerah tersebut terpaksa pindah ke tempat lain, karena 2 alasan penting:

Mereka terpaksa menjual tanah tempat mereka bermukin karena tidak dapat lagi menjalankan profesinya seperti biasa. Mereka cenderung melakukan alih profesi dan mencari lapangan pekerjaan lain.

Mereka tidak dapat berinteraksi dengan orang baru yang menempati kawasan reklamasi yang modern dan yang pasti ada jurang perbedaan yang dalam di antara masyarakat komunitas nelayan tradisional dengan para pendatang baru akibat orientasi sosial yang berbeda. Karena seperti yang kita tahu kegiatan masyarakat di wilayah pantai sebagian besar adalah petani tambak, nelayan atau buruh. Dengan adanya reklamasi akan mempengaruhi ikan yang ada di laut sehingga berakibat pada menurunnya pendapatan mereka yang menggantungkan hidup kepada laut. III.V Belajar dari Reklamasi Pulau NipahPulau Nipah, adalah salah satu pulau yang merupakan bagian dari Nusantara. Pulau ini merupakan salah satu dari 20 pulau terluar yang dimiliki oleh Indonesia. Pulau Nipah dahulu pernah nyaris tenggelam. Bagaimana tidak, pasir yang ada di Pulau ini dikeruk terus-menerus untuk kemudian dijual kepada Singapura. Hal ini dilakukan karena kondisi perekonomian masyarakat lokal yang tidak seberapa. Akibatnya, luas pulau Nipah tidak lebih dari 1,2 hektar. Sehingga memunculkan potensi pulau Nipah akan menghilang terkena abrasi. Maka dari itu, pemerintah Indonesia mengambil kebijakan untuk membentuk landfill dengan maksud untuk melindungi Pulau Nipah dari abrasi yang memang rawan terjadi. Kebijakan itu disebut juga reklamasi.

Dari kebijakan reklamasi yang diambil pemerintah ini bukan berarti tidak merugikan negara. Biaya reklamasi pulau Nipah ini mencapai lebih dari 300 miliar rupiah. Sangat merugikan negara apabila dibandingkan dengan masyarakat lokal yang menjual pasir kepada Singapura setara dengan harga sekilo beras. Dimana pasir ini nantinya menjadi aset berharga bagi Singapura dengan nilai lebih dari 20 juta. Sedangkan pulau Nipah tidak akan mendapatkan keuntungan seperti itu bahkan terancam sirna.

Pulau Nipah sendiri memiliki banyak posisi strategis selain keberadaannya sebagai titik pangkal penentuan batas wilayah Indonesia-Singapura, yaitu sbb:

Posisi strategis pertama, adalah kemungkinan wilayah ini mengandung endapan mineral ekonomis, seperti timah, emas, dan bauksit. Indikasi itu dapat dilihat dari sejarah geologi Selat Malaka yang sebelum zaman es mencair berupa daratan, bagian dari Paparan Sunda. Apabila bisa dibuktikan pada dasar Selat Malaka terdapat jejak sungai purba, tidak tertutup kemungkinan mineral ekonomis tersebut diendapkan di sana sehingga maraknya isu penambangan pasir di wilayah ini sebenarnya adalah pencari mineral yang setelah diekstraksi di atas kapal membuang lumpur dan lempungnya ke laut. Hal itulah yang menambah kekeruhan laut di sekitar Pulau Nipah sangat tinggi.

Posisi strategis kedua, menjadikan Pulau Nipah sebagai pusat monitoring polusi lingkungan laut sekitar Selat Malaka dan Philip. Sebagian besar kapal yang melintasi selat-selat ini adalah tanker yang memuat ribuan galon minyak tanah, solar, dan sebagainya, yang sangat riskan terjadi bencana pencemaran tumpahan minyak ataupun masuknya material polutan lainnya ke wilayah Indonesia (dumping). Terhadap kasus ini, Indonesia bisa mengajukan klaim internasional atas kerusakan ekosistem dan lingkungan laut yang terjadi dalam teritorial kita. Namun, banyak klaim Indonesia terhadap masalah ini mentah pada aspek pembuktian ilmiah dan lemahnya bukti hukum yang mendukung proses klaim tersebut. Sementara itu, Konvensi Hukum Laut Internasional yang disahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1982, UNCLOS mengatur dengan jelas kedaulatan penuh Indonesia atas wilayahnya terhadap upaya pencegahan, pengurangan, dan kontrol terhadap semua kemungkinan polusi lingkungan laut.

Posisi strategis ketiga, menjadikan Pulau Nipah sebagai salah satu pulau untuk monitoring bajak laut di sekitar Selat Malaka dan Philip, yang saat ini telah menjadi perhatian dunia internasional akibat maraknya aksi perompakan di sana. Pulau Nipah yang terancam tenggelam karena abrasi akibat reklamasi pulau Jurong telah mengalami reklamasi sejak tahun 2002 dengan kontraktor Hutama Karya. Pulau ini memiliki luas 1,4 hektare pada saat air pasang, dan 60 hektare pada saat air surut. Pengembangan kegiatan ekonomi di pulau Nipah memang sangat diperlukan untuk kepentingannya sendiri. Mengingat potensi dan prospek ekonomi pulau Nipah sangat besar apabila bisa dimanfaatkan dengan benar. Kementerian Pertahanan RI menyatakan bahwa pulau Nipah memiliki lokasi yang strategis, maka dari itu dibutuhkan ide dan konsep untuk memajukan pulau ini. Dan juga bekerja sama dengan Singapura--yang juga berbatasan dengan pulau Nipah, Indonesia--untuk kepentingan pertahanan nasional negara masing-masing. Dimana kedua negara harus mampu berkolaborasi dan berkreasi untuk membangun wilayah perbatasan ini. Hanya saja kampanye yang dilakukan pemerintah untuk mengembangkan pulau ini belum memberikan hasil yang sesuai.

Maka dari itu dari reklamasi Pulau Nipah ini dapat diambil dua garis besar yang menjadi sangat penting sebagai pertimbangan dilaksanakannya reklamasi Teluk Benoa. Berikut penjelasannya :

1. Bahwa reklamasi bukan jalan satu-satunya untuk memperbaiki suatu kawasan. Karena harus memperhatikan kawasan sekitar dari kawasan tersebut. Baik keselamatan lingkungan dan juga persetujuan dari masyarakat lokal sebagai penduduk setempat yang memiliki hak untuk menolak atau memberikan aspirasi lain

2. Apabila reklamasi menjadi satu-satunya jalan, maka harus ada keseimbangan dalam pemeliharaannya. Sehingga yang seharusnya memperbaiki kawasan tidak menjadi biang dari kerusakan yang terjadi di kawasan tersebut. Maka diperlukan kerja sama dari berbagai pihak terkait sehingga tidak menjadikan reklamasi sebagai sumber musibah. Serta perwujudan perawatan kawasan reklamasi harus direalisasikan, jangan hanya dijadikan jalan untuk mendapat persetujuan dari masyarakat lokal tetapi ternyata tidak ada aksi nyatanya. Seperti yang terjadi pada Pulau Nipah yang memang ada kemajuan dalam perluasan daratannya, hanya saja dalam pengembangan kawasan tersebut masih tertinggal. Padahal hal tersebut tidak sesuai dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan negara untuk biaya reklamasi dan perawatannya.BAB IV

KESIMPULANSesuai UU No. 27 Tahun 2007 pasal 34, reklamasi hanya dapat dilaksanakan jika manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar dari biaya sosial dan biaya ekonominya. Namun demikian, pelaksanaan reklamasi juga wajib menjaga dan memperhatikan beberapa hal salah satunya keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat. Reklamasi di Teluk Benoa membawa dampak yang kurang baik bagi lingkungan maupun bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat sekitar serta budaya dalam prinsip ajeg Bali.

Kemudian perlunya menjadikan reklamasi Pulau Nipah sebagai studi kasus sebelum melakukan reklamasi Teluk Benoa sebagai pertimbangan apakah reklamasi Teluk Benoa harus tetap dilaksanakan. Pun sebelumnya Bali pernah melakukan reklamasi pada salah satu pulaunya, yaitu Pulau Serangan. Nelayan di kawasan tersebut kemudian kesulitan mencari ikan karena pantai-nya sudah direklamasi. Hal ini disebabkan karena biota laut yang telah mengalami perusakan akibat reklamasi. Saat kerusakan alam laut itu terjadi, beruntung beberapa nelayan setempat kreatif membuat terumbu karang buatan. Hingga sekarang nelayan-nelayan bali yang menjadi korban reklamasi ini sudah mendunia karena Coral buatannya bisa diekspor dgn sebutan "Coral Serangan". Reklamasi yang dilakukan di kawasan Teluk Benoa membawa dampak lingkungan, sosial, ekonomi, budaya. Maka reklamasi Teluk Benoa perlu dikaji ulang dan proses perijinannya perlu untuk dihentikan sementara sampai Presiden mencabut Perpres No.51 Tahun 2014. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari berbagai konflik yang semakin berkepanjangan antara Pemerintah Kota dan masyarakat lokal maupun demi kelangsungan lingkungan hidup, karena pada prinsipnya pantai dan laut merupakan common property (milik bersama) dimana tidak hanya manfaatnya yang bisa dirasakan bersama, akan tetapi dampak negatifnya juga menjadi tanggung jawab banyak pihak.Daftar Pustakahttp://berita.i-y-i.com/95/78/43/reklamasi-pulau-nipah-terhambat-kapal-keruk-singapura.htm (di akses pada 04/11/2014 pukul 14.01)http://megapolitan.kompas.com/read/2013/04/01/03054526/Kementerian.PU.Reklamasi.Pulau.Terluar (di akses pada 04/11/2014 pukul 15.10)http://metrobali.com/2013/08/05/reklamasi-teluk-benoa-untuk-masa-depan-bali/ (di akses pada 05/11/2014 pukul 19.51)http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=10&id=77329 (di akses pada 05/11/2014 pukul 19.42)

http://www.change.org/p/ketua-dprd-bali-segera-cabut-sk-reklamasi-teluk-benoa (di akses pada 04/11/2014 pukul 14.01)http://www.forbali.org/faq-2/?lang=en (di akses pada 04/11/2014 pukul 14.21)http://www.wilayahperbatasan.com/pulau-pulau-perbatasan-ri-singapura-kian-hilang-belajar-dari-reklamasi-pulau-nipah/ (di akses pada 04/11/2014 pukul 15.01)https://www.academia.edu/4432623/Reklamasi_Pantai (di akses pada 05/11/2014 pukul 14.02)

Maskur A, 2008, Rekonstruksi Pengaturan Hukum Reklamasi Pantai Di Kota Semarang Tesis. Program magister ilmu hukum. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro SemarangPeraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011 tentang rencana tata ruang kawasan perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahunn 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.Jurnal Dampak Program Reklamasi Bagi Program Ekonomi Rumah Tangga Nelayan di Kota Manado.Max Wagiu.UNSRAT.Manado

Jurnal ANALISIS KEBIJAKAN REKLAMASI PANTAI DI KAWASAN PANTAI MARINA SEMARANG. Oleh: Nur Endah Iswahyuni, R. Slamet SantosoDampak Reklamasi Teluk Benoa

Analisis Perda Propinsi Bali

Lingkungan

UU Pengelolaan Pesisir di Bali

Analisis Perpres No.51 Tahun 2014

Ekonomi

Budaya

Sosial

Relasi Dengan Konsep Ajeg Bali

Studi Kasus Pulau Nipah

Penjelasan

Picard, Michael. Tourisme culturel et culture tourisque. Editions IHarmattan. Paris:1992

HYPERLINK "http://www.forbali.org/faq-2/" www.forbali.org/faq-2/ (Di akses pada 01/11/2014 pukul 10.12)

Ibid

Churchill V.Lowe, The Law of the Sea, Juris Publishing, third edition, 1999, h. 30

Jurnal Dampak Program Reklamasi Bagi Program Ekonomi Rumah Tangga Nelayan di Kota Manado. Max Wagiu. UNSRAT. Manado. Hal.2

Jurnal. Menghadapi Singapura di Masa Depan. Dharma Agung S.I

Makalah Analisis Perpres No.51 Tahun 2014