MAKALAH PESANTREN

23
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan pendidikan islam di Indonesia antara lain ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap,mulai dari yang amat sederhana, sampai dengan tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap. Salah satunya adalah pesantren. Menurut Ahmad Syafi’i Nur : “ pesantren atau pondok adalah lembaga yang dapat dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan sistem pendidikan dan selanjutnya,ia dapat merupakan bapak dari pendidikan Islam“. Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Karena itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat di sekitarnya sehingga keberadaannya di tengah-tengah masyarakat tidak menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktifitasnya pun mendapat dukungan dan apresiasi dari masyarakat sekitarnya. Namun, kini reputasi pesantren tampaknya dipertanyakan oleh sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Mayoritas pesantren masa kini terkesan berada di menara gading, elitis, jauh dari realitas social. Problem sosialisasi dan aktualisasi ini ditambah lagi dengan problem keilmuan. Untuk membahas lebih jauh bagaimana pengembangan pesantren serta problemetika yang dihadapi pesantren, maka akan kami bahas dalam makalah ini. 1

Transcript of MAKALAH PESANTREN

Page 1: MAKALAH PESANTREN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan pendidikan islam di Indonesia antara lain ditandai oleh

munculnya berbagai lembaga pendidikan secara bertahap,mulai dari yang amat

sederhana, sampai dengan tahap yang sudah terhitung modern dan lengkap. Salah

satunya adalah pesantren. Menurut Ahmad Syafi’i Nur : “ pesantren atau pondok

adalah lembaga yang dapat dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan

sistem pendidikan dan selanjutnya,ia dapat merupakan bapak dari pendidikan Islam“.

Kehadiran pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat. Karena itu, pesantren

sebagai lembaga pendidikan selalu menjaga hubungan yang harmonis dengan

masyarakat di sekitarnya sehingga keberadaannya di tengah-tengah masyarakat tidak

menjadi terasing. Dalam waktu yang sama segala aktifitasnya pun mendapat

dukungan dan apresiasi dari masyarakat sekitarnya. Namun, kini reputasi pesantren

tampaknya dipertanyakan oleh sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Mayoritas

pesantren masa kini terkesan berada di menara gading, elitis, jauh dari realitas social.

Problem sosialisasi dan aktualisasi ini ditambah lagi dengan problem keilmuan. Untuk

membahas lebih jauh bagaimana pengembangan pesantren serta problemetika yang

dihadapi pesantren, maka akan kami bahas dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian pesantren?

2. Apa tujuan, visi, dan misi pesantren?

3. Bagaimana sistem pendidikan di pesantren serta maslah dan tantangan yang

dihadapi dalam sistem pendidikan pesantren?

C. Tujuan

1. Mengetahui pengertian pesantren.

2. Mengetahui tujuan, visi, dan misi pesantren.

3. Mengetahui sistem pendidikan di pesantren serta maslah dan tantangan yang

dihadapi dalam sistem pendidikan pesantren.

1

Page 2: MAKALAH PESANTREN

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pesantren

Secara bahasa, kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan

akhiran -an (pesantrian) yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan kata santri

sendiri berasal kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya melek

huruf. Dalam hal ini menurut Nur Cholis Majid agaknya didasarkan atas kaum santri

adalah kelas literary bagi orang jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-

kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Ada juga yang mengatakan bahwa kata santri

berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik”, yang berarti seseorang yang selalu

mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.

Sedangkan secara istilah, Husein Nasr mendefinisikan pesantren dengan

sebutan dunia tradisional Islam. Maksudnya, pesantren adalah dunia yang mewarisi dan

memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama’ (kiai) dari masa ke

masa, tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam. Di Indonesia, istilah

pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Lain halnya dengan

pesantren, pondok berasal dari bahasa Arab funduq, yang berarti hotel, asrama, rumah,

dan tempat tinggal sederhana.Dari terminology diatas, mengindikasikan bahwa secara

kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia. Mungkin dari sinilah Nur Cholis Majid

berpendapat bahwa secara historis, pesantren tidak hanya mengandung makna

keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab, memang cikal bakal lembaga

pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam tinggal

meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya.

B. Sejarah pondok pesantren

Tak banyak referensi yang menjelaskan tentang kapan pondok pesantren

pertama berdiri dan bagaimana perkembangannya pada zaman permulaan. Bahkan

istilah pondok pesntren, kiai dan santri masih di perselisihan. Menurut Manfred Ziemek,

kata pondok berasal dari kata funduq (Arab) yang berarti ruang tidur atau wisma

sederhana, karena pondok memang merupakan tempat penampungan sederhana bagi

para pelajar yang jauh dari tempat asalnya. Sedangkan kata pesantren berasal dari kata

santri yang di imbuhi awalan pe-dan akhiran –an yang berarti menunjukkan tempat,

2

Page 3: MAKALAH PESANTREN

maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga di anggap sebagai gabungan

kata santri (manusia baik) dengan suku kata (suka menolong), sehingga kata pesantren

dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.

Terlepas dari itu, karena yang di maksudkan dengan istilah pesantren dalam

pembahasan ini adalah sebuah lembaga pendidikan dan pengembangan agama islam di

Tanah Air (khususnya jawa) di mulai dan di bawa oleh wali songo, maka model

pesantren di pulau jawa juga mulai berdiri dan berkembang bersamaan dengan zaman

wali songo. Karena itu tidak berlebihan bila di katakan pondok pesantren yang pertama

didirikan adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim

atau Syekh Maulana Maghribi.1

Kedudukan dan fungsi pesantren saat itu belum sebesar dan sekomplek sekarang.

Pada awal, pesantren hanya berfungsi sebagai alat islamisasi dan sekaligus memadukan

tiga unsur pendidikan, yakni ibadah: untuk menanamkan iman, tabligh untuk

menyebarkan ilmu, dan amal untuk mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam

kehidupan sehari-hari.2

C. Tujuan Pondok Pesantren

Masing-masing pondok pesantren memiliki tujuan pendidikan yang berbeda,

sering kali sesuai dengan falsafah dan karakter pendirinya. Sekalipun begitu setiap

pondok pesantren mengemban misi yang sama yakni dalam rangka mengembangkan

dakwah Islam, selain itu di karenakan pondok pesantren berada dalam lingkungan

Indonesia, setiap pondok pesantren juga berkewajiban untuk mengembangkan cita-cita

dan tujuan kehidupan berbangsa sebagaimana tertuang dalam falsafah negara; Pancasila

dan UUD 1945.

Secara umum tujuan pendidikan pondok pesantren adalah membimbing anak

didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu

agamanya menjadi muballigh Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan

amalnya.

     Sedangkan secara khusus tujuan pondok pesantren adalah mempersiapkan para santri

untuk menjadi orang yang ‘alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang

1 Wahjoetomo. Perguruan Tinggi Pesantren. (Jakarta : Gema Insani Press, 1997).hlm 70.

2 Reaktualisasi Nilai Kepesantrenan. (http://www.ginandjar.com/public, diakses tanggal 27 november

2015

3

Page 4: MAKALAH PESANTREN

bersangkutan serta mengamalkan dalam masyarakat sebagaimana yang telah dikembangkan

dalam pondok pesantren modern.

     Tujuan pendidikan pondok pesantren di atas senada dengan tujuan pondok pesantren yang

dipaparkan oleh M. Arifin dalam bukunya “Kapita Selekta Pendidikan” (Islam dan Umum)

bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang berusaha menciptakan kader-

kader Muballigh yang diharapkan dapat meneruskan misinya dalam hal dakwah Islam

disamping itu juga di harapkan bahwa mereka yang berstudi di pesantren menguasai betul

ilmu-ilmu ke-Islaman yang diajarkan oleh para kyai.3

     Adapun tujuan pendidikan pondok pesantren, tidak boleh lepas dari tujuan pendidikan

nasional menurut undang-undang No.2 tahun 1989 adalah untuk “mencerdaskan kehidupan

bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan

bertakwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan

keterampilan, kesehatan jasmani, dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta

tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Sedangkan visi dan misi pesantren

adalah sebagai berikut :

Visi dan Misi Pesantren

Visi

1. untuk menyebarluaskan ajaran tentang universalitas Islam ke seluruh pelosok

Nusantara yang sangat pluralis.

2. ntuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang

tengah dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral dengan “Amar ma’ruf nahi

munkar”.  4

Misi

1. Mendidik santri agar memiliki kemantaban akidah, kedalaman spiritual, keluasan

ilmu dan ketrampilan serta keluhuran budi pekerti.

2. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kesenian yang bernafaskan

islami.

3 M. Arifin,  Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Bumi Aksara, Jakarta. 1995. Hlm 65

4 Nur Cholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Paramadina, Jakarta, 1997,  hlm. 3-5

4

Page 5: MAKALAH PESANTREN

3. Memberikan pelayanan terbaik & keteladanan atas dasar nilai-nilai Islam yang

inklusif dan humanis.

D. Sistem Pendidikan Pesantren

                 Paling tidak terdapat delapan poin yang menunjukan karakteristik sistem   pendidikan

model pesantren.

1. Sistem pendidikan berasrama, di mana tri pusat pendidikan menjadi satu kesatuan yang

terpadu. Yaitu sekolah, keluarga, dan masyarakat berada dalam satu lingkungan, sehingga

lebih memungkinkan penciptaan suasana yang kondusif bagi pencapain tujuan pendidikan.

2. Dalam tradisi pesantren, para santri merupakan subjek dari proses pendidikan, mereka

mengatur kehidupan mereka sendiri (self governance) melalui berbagai aktifitas, dan

interaksi sosial yang sangat penting artinya bagi pendidikan mereka.

3. Pesantren adalah lembaga pendidikan yang berasal dari, dikelola oleh, dan berkiprah untuk

masyarakat.

4. Terkait dengan orientasi kemasyarakatan pesantren, lingkungan pesantren diciptakan untuk

mendidik santri agar mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan

bermanfaat, tidak canggung untuk terjun dan berjuang ke masyarakat. Dalam bidang

pekerjaan misalnya, boleh dibilang tidak ada istilah nganggur (menunggu pekerjaan) bagi

para alumni pesantren.

5. Antara pengajaaran  (formal) dan pendidikan (informal) lebih terintegrasi, sehingga proses

pembentukan mental karakter yang didasarkan pada jiwa, falsafah hidup, dan nilai-nilai

pesantren serta transfer knowledge lebih membumi.

6. Hubungan antara anggota masyarakat pesantren berlangsung dalam suasana ukhuwwah

Islamiyya yang bersumber dari tauhid yang lurus dan prinsip-prinsip akhlak mulia. Suasana

ini tertanam dalam jiwa santri dan menjadi bekal berharga untuk kehidupan di luar

masyarakat pesantren.

7. Pendidikan pesantren didasarkan pada prinsip-prinsip keikhlasan, kejuangan, pengorbanan,

kesederhanaan, kemandirian, dan persaudaraan. Dengan menjiwai nilai-nilai ini, pesantren

tidak memiliki masalah apapun dengan paradigma School Based Management (SBM) yang

kini menjadi model pendidikan modern pasca reformasi di Indonesia.

8. Dalam masyarakat pesantren, Kyai atau pimpinan sekolah, selain berfungsi sebagai central

figure, juga menjadi moral force bagi para santri dan seluruh penghuni pesantren. Hal ini

adalah suatu kondisi yang mesti bagi dunia pendidikan, tetapi kenyataannya jarang didapati

dalam sistem pendidikan selain pesantren.

5

Page 6: MAKALAH PESANTREN

E. Problematika dan tantangan pengembangan pesantren

1. Tantangan pengembangan pesantren

Dalam peranannya sebagai benteng imperialisme budaya, memang pesantren

sampai saat ini telah membuktikan keberhasilannya. Namun akselerasi

modernitas yang begitu cepat menuntut pesantren untuk tanggap secara cepat

pula, sehingga eksistensinya tetap relevan dan signifikan. Masa depan pesantren

ditentukan oleh sejauhmana pesantren menformulasikan dirinya menjadi

pesantren yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati

dirinya.[12]

 Di sinilah tantangan yang cukup berat yang dihadapi oeh pesantren, yakni

masalah pokok yang menjadi delima: di satu pihak pesantren perlu menjalankan

fungsi tradisionalnya, yaitu pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu Islam

konvensional yang khusus untuk pendalaman agama (tafaqquh fi al-din) guna

mencetak kiai, guru agama, muballigh, dan ahli agama, tetapi di pihak lain

dituntut juga untuk mengembangkan kurikulum baru (di luar kajian

Islam/penguasaan sains) untuk memenuhi kebutuhan lapangan kerja yang lebih

luas, dengan konsekuensi pengurangan pengajaran agama konvensional.[Dalam

artian, pesantren harus memilih untuk masuk menjadi kategori, meminjam istilah

Zamakhsyari Dhofir, pesantren salaf atau kategori pesantren khalaf.[Padahal

dalam prakteknya, mayoritas pesantren yang memasukkan kurikulum baru (di

luar kajian Islam) dan mengurangi materi pendidikan agama Islam justru

mengakibatkan penurunan kualitas santri dalam melakukan pendalaman agama

(tafaqquh fi al-din). Inilah dilema pendidikan pesantren: antara memilih

pendalaman ilmu agama atau menerima materi-materi umum di luar kajian

agama dengan konskuensi merosotnya tingkat tafaqquh fi al-din.5

2. Problem Pendidikan Pesantren

Secara kuantitatif, pesantren di Indonesia saat ini berjumlah lebih dari

14.000 pesantren. Dari jumlah tersebut, sekitar 70 persen, pesantren berada

dalam afiliasi Nahdlatul Ulama (NU) yang mayoritas masih berupa pesantren

5 Ali Al-Jumbulati dan Abdul Fatuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1993. Hlm 78

6

Page 7: MAKALAH PESANTREN

tradisional, yaitu pesantren dengan karakternya yang mandiri, otonom, sederhana

dan penuh keihlasan. Pesantren tradisional yang jumlahnya sangat besar itu,

sudah barang tentu, telah mendidik jutaan anak bangsa. Sebagian dari alumni

pesantren bahkan telah berhasil menjadi pemimpin bangsa. Peran pesantren telah

melengkapi kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh negara dalam

mencerdaskan kehidupan warganya.Akan tetapi, dalam menghadapi perubahan

yang cepat dalam bidang sosial, politik dan ekonomi, pesantren sebagaimana

institusi pendidikan lainya menghadapi tantangan yang harus di segera atasi.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, perama-tama pesantren harus mampu

mengatasi persoalan-persoalan internal yang meliputi: persoalan kurikulum,

metode pengajaran, manajemen, dan pola kepemimpinan.[17]

Dalam sistem pendidikan pesantren, masalah metodologi belajar

mengajar, visi dan kerangka dasar kurikulum pendidikan sangat penting untuk

dikaji ulang, mengingat modernisasi menawarkan metode pengajaran berbeda

dengan output yang berbeda pula. Tidak hanya itu, yang perlu mendapat

perhatian juga adalah masa belajar di pesantren yang memakan waktu yang

relatif lama. Padahal pinsip masyarakat modern kini cenderung praktis-

pragmatis.6

a. Kurikulum Pesantren

Dalam kaitannya dengan kurikulum, masih banyak pesantren yang

mempertahankan pola shalafiyah secara kaku (rigid). Para pemimpin pesantren

menganggap pola ini masih canggih (sophisticated) dalam menghadapi berbagai

persoalan.[18] Padahal, kurikulum tersebut lebih bersifat parsial, subject matters

oriented, dan teacher oriented, tidak child oriented dan integral. Ditambah lagi,

proses penyususnan kurikulum di pesantren, biasanya, sangat sarat dengan

subyektifitas kiai/pengasuh. Implikasinya, kurikulum pesantren menjadi

terparsialisasi oleh sempitnya aliran dan wawasan pemahaman sang kiai. Materi-

materi keilmuan di pesantren cenderung berafiliasi hanya pada satu madzhab

atau aliran pemikiran.[19]

 Sehingga atmosfir ilmiah di dalamnya berlangsung sangat monoton. Lebih

dari itu, dominasi mereka yang cukup luas berorientasi pada terorientasikannya

kurikulum pada apa yang diinginkan kiai, pengasuh, dan guru, bukan untuk

6 Saeful Huda, Menggagas Pesantren Masa Depan, (Yogyakara: Qirtas, 20003), hal. 67.

7

Page 8: MAKALAH PESANTREN

menfasilitasi segala sesuatu yang dapat mengembangkan dan memberdayakan

potensi dan kompetensi santri.[20]

Keinginan untuk membuat kurikulum dalam susunan yang lebih mudah

dicernakan dan dikuasai oleh anak didik masih belum mendapatkan perhatian.

b. Metode Pengajaran Pesantren

Hingga saat ini, doktrin-doktrin dalam kitab kuning, yang senantiasa merujuk al-

Quran dan Sunah Nabi sebagai sumber utama, merupakan salah satu ruh yang

menjiwai kehidupan pesantren. Seluruh sisi kehidupan pesantren bersifat

religius-teosentris, sehingga semua aktivitas pendidikan dipandang sebagai

ibadah kepada Tuhan. Aktivitas belajar, misalnya, bukan hanya diposisikan

sebagai media (alat), tetapi sekaligus sebagai tujuan. Karena itu, proses belajar

mengajar di pesantren sering kali tidak mengalami dinamika dan tidak

memperhatikan waktu, strategi, dan metode yang lebih kontekstual dengan

perkembangan zaman.[21] 

Selama ini, metode pengajaran pesantren masih menekankan pada what to learn

melalui hafalan, bukan how to learn sebagaimana dituntut oleh masyarakat

modern.

Metodologi hafalan memang merupakan metode utama dalam penyelenggaraan

pendidikan pesantren. Bahkan, hafalan dijadikan sebagai standar kualitas

keilmuan seorang santri. Semakin hebat hafalan santri, maka semakin tinggi

tingkat status sosialnya di lingkungn pesantren. Sekalipun cukup ampuh dalam

melatih kedisipinan dan daya hafalan santri, metode ini justru akan mengkebiri

kreatifitas dan daya kritis mereka. Sebab keterfokusan mereka pada hafalan

menjadikan mereka belajar secara tekstual dan menerima segala apa yang

dikemukakan sang kiai/pengasuh secara taken for granted, tanpa ada proses

filterasi yang didasarkan pada semangat kritis dan kreatif. Oleh karena itu, di

samping karena minimnya media dan wawasan pembelajaran, hal ini juga

disebabkan karena besarnya dominasi guru, kiai atau pengasuh dalam kegiatan

belajar-mengajar. Berkembangnya paradigma ini juga tidak bisa dilepaskan dari

tradisi turun menurun yang selama ini dikembangkan oleh para kiai/pengasuh

pesantren. Sebuah tradisi yang lebih berorientasi pada hasil sehingga seringkali

menganggap bahwa apa yang telah tertulis merupakan sesuatu yang sudah final,

8

Page 9: MAKALAH PESANTREN

tingal dihafal. Akibatnya, proses sebagai orientasi pokok tergeser dan bahkan

terlupakan.

[22]Metodologi pengajaran di pesantren juga masih bersifat klasik, seperti sistem

bandongan, pasaran, sorogan, dan sejenisnya. Di mana seorang santri diajari

membaca kitab (teks) kata demi kata dan memahami kalimat yang tersusun

secara harfiyah. Pesantren ternyata tidak mampu meninjau apakah seorang santri

tidak membutuhkan pendekatan lain. Pokoknya kitab wajib ditelaah, dibacakan,

dan diterangkan sesuai dengan kemampuan guru/kiai dan terserah kepada santi

untuk menguasainya atau tidak.[23] Evaluasi atas kemampuan anak didik dengan

demikian tidak memperoleh tempat yang sesuai dengan kepentingannya dalam

sistem pendidikan tradisional. Sistem pendidikan yang tidak dinamis dan sulit

melakukan perubahan, serta hanya mengandalkan tradisi “hafalan” dan

“membaca”, tanpa mengiringinya dengan budaya menulis tersebut, berakibat

pesantren jarang menghasilkan penulis-penulis yang handal, kendati jumlah

lulusannya besar.[24] Walaupun, saat ini, sudah ada beberapa lulusan pesantren

yang menulis, akan tetapi prosentasinya masih sangat kecil dibandingkan dengan

jumlah lulusan yang ada.

c. Manajemen dan Pola Kepemimpinan

Permasalahan lain yang secara spesifik dihadapi pesantren berkaitan dengan

manajemen dan pola kepemimpinannya. Dalam penyelenggaraan manajemen

pendidikan pesantren sarat dengan dominasi otoritas administrasi birokrasi

kekuasan, yakni bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiai. Hal ini

menjadi pas dengan pendapat Zamakhsyari Dhofir bahwa pesantren ibarat suatu

kerajaan kecil yang bertradisi unik, di mana kiai merupakan pemimpin mutlak

dari kekuasaan dan kewenangan (power and authority) di dalamnya.[25]

Pola kepemimpinan seperti ini menyebabkan sirkulasi keilmuan di pesantren

cederung berjalan sepihak. Kiai yang memiliki otoritas mutlak mempunyai

wewenang penuh untuk menentukan corak keilmuan di pesantren yang

dipimpinnya. Panorama ini tentu tidak terlepas dari kekuatan sistem pengajaran,

maupun pola pergaulan yang patronal di pesantren tesebut.[26]

Selain itu, budaya keilmuan yang berkembang di kalangan pesantren

lebih menitik beratkan pada ruhul inqiyad, yakni semangat untuk patuh atau

menurut (sam’an wa tha’tan). Implikasinya semangat atau tingkat kekritisan

9

Page 10: MAKALAH PESANTREN

(ruhul intiqad) santri menjadi lemah. Lebih dari itu, menurut dan ta’dzim yang

mewarnai kehidupan kalangan santri juga berdampak pada penghormatan yang

“membabi buta”.[Akibatnya, santri atau komunitas pesantren yang notabinenya

menjadi pengagum berat Khulafa’ur Rasyidin tidak mampu mewarisi budaya

kritis yang diterapkan oleh sahabat Umar bin Khatab ra. setiap kali berdikusi

dengan Rasulullah saw.

3. Solusi problem dan tantangan pengembangan pesantren

Memandang masalah-masalah berat yang dihadapi dunia pendidikan

pesantren, maka membenahi sistem pendidikan pesantren jelas tidak bisa lagi

dilakukan secara parsial. Artinya, pembenahan pendidikan harus bersifat

komprehensif dan menyeluruh, baik pada tingkat konsep maupun

penyelenggaraan. Dari permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan di

atas, setidaknya dapat menjadi pijakan untuk melakukan pembenahan sistem

pendidikan pesantren yang di antaranya adalah:

a. Membenahi Kurikulum

Dalam upaya membenahi kurikulum pendidikannya, seperti yang telah

dijelaskan di atas, pesantren menghadapi ujian yang sangat dilematis. Dialektika

yang serius antara mempertahankan watak tradisionalisme dan “rayuan”

modernisme sungguh dialami oleh banyak pesantren. Dari dialektika tersebut

telah menyebabkan pesantren terbelah menjadi dua, yaitu pesantren yang

menerima sepenuhnya sistem pendidikan formal (memasukkan kurikulum non-

agama) dan pondok pesantren yang menolak sepenuhnya pendidikan formal.

Pesantren tipe pertama pesantren berkeinginan menjadi institusi pendidikan yang

bisa menyusuaikan diri dengan perubahan zaman. Pesantren juga menginginkan

agar lulusannya, selain menguasai ilmu agama (Islam) juga mampu bersaing di

masyarakat dalam memperebutkan peluang-peluang yang diberikan oleh

perubahan yang terjadi, seperti lapangan kerja dan posisi-posisi sosial politik.

Sementara tipe kedua berangkat dari ketidakpercayaan terhadap sistem

pendidikan formal di Indonesia yang dianggap tidak mendorong pada

penguasaan terhadap ajaran Islam.[28] 

Berdasarkan analisa Nur Kholis Majid, pesantren telah mengalami

anacaman ditinggalkan umat Islam. Karena pesantren di Indonesia saat ini

10

Page 11: MAKALAH PESANTREN

sedang mengalami krisis dalam menghasilkan ulama-ulama yang berkualitas.

[29] Krisis ulama merupakan akibat dari menurutnya tingkat pendalaman agama

(tafaqquh fi al-din) yang biasa diperankan oleh pesantren. Jadi, praktis pesantren

harus menanggung dua beban berat ini. Merespon beban berat tersebut,

belakangan ini, muncul beberapa pesantren yang mencoba menerima sebagian

sistem pendidikan formal dan menolak sebagian yang lain. Artinya, ia menerima

system pendidikan formal berikut tawaran legalitasnya, tetapi menolak sebagian

kurikulum dan berbagai atribut yang menempel padanya.[30]

Tipe pesantren melihat perlunya penambahan dan pengembangan ilmu terapan

di samping ilmu agama. Di tengah tantangan globalisasi, pendidikan pesantren

tidak cukup hanya mendalami ilmu agama dan bersikap eksklusif terhadap ilmu-

ilmu terapan demi tuntutan pekembangan zaman. Untuk itu, kurikulum pesantren

harus tetap melakukan penekanan pada tafaqquh fi al-din guna menjaga

keberlangsungan estafet keulamaan. Pengajaran kitab-kiab klasik (kitab kuning)

harus tetap diutamakan. Sementara pesantren juga harus menerima kurikulum

ilmu-ilmu terapan yang menjadi tuntutan di era modern, dengan tidak

mengurangi tingkat tafaqquh fi al-din. Perubahan kurikulum seperti inilah yang

akan membangun orientasi perkembangan pesantren ke depan.

b. Membenahi Metode Pengajaran

Tak dapat dipungkiri bahwa pengembangan pesantren tidak cukup dilakukan

dengan cara memasukkan pengetahuan non-agama, melainkan agar lebih efektif

dan signifikan, praktek pengajaran harus menerapkan metodologi yang lebih

baru dan modern. Artinya, pembenahan kurikulum harus disertai dengan

pembenahan metode pengajaran. Metode-metode klasik seperti hafalan harus

dibatasi sesuai dengan porsinya. Metode hafalan memang masih perlu dipakai

untuk bidang studi tertentu yang memang perlu untuk dihafal. Tetapi, saat ini,

pesantren harus lebih menekankan pada pendalaman pemahaman materi yang

dikajinya, bukan hafalan. Sementara itu, metode bandongan, pasaran, sorogan,

dan sebagainya adalah metode pengajaran yang bersifat monologis. Tidak ada

tradisi berdiskusi atau menyanggah terhadap guru/kiai, komunikasi berjalan

searah, tidak ada materi tambahan selain materi dari kitab-kitab yang dikaji.

Untuk itu, metode semacam itu harus dirombak dan metodologi

pemikiran harus menjadi fokus utama. Santri harus dikembalikan kepada literatur

11

Page 12: MAKALAH PESANTREN

(literature as central of science). Personifikasi keilmuan pada kiai harus

dikurangi.[31] Pesantren harus muai mengadopsi metodologi ilmiah modern

yang bersifat dialogis-emansipatoris. Sistem pengajaran yang terbuka untuk

melakukan dialog, diskusi, dan bahkan dialog-kritis (menyanggah) akan lebih

memperkaya khazanah keilmuan yang dipelajari di pesantren. Justru metode

seperti inilah yang harus diterapkan di pesantren.

c. Membenahi Manajemen dan Pola Kepemimpinan

Upaya untuk membenahi manajemen dan pola kepemimpinan

pesantren memang terasa sulit. Karena penyelenggaraan manajemen dan

administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiai

sebagai pemiliknya. Manajemen seperti ini tentu tidak memiliki jaminan

kelangsungan dan mutu. Karena sudah menjadi kebiasaan dunia pesantren,

setalah ditinggal oleh kiainya banyak yang mengalami penurunan, baik secara

kuantitas maupun kualitas.

Selain itu, secara psikologis, kiai merasa sebagai pemilik dan

pengelola sejak awal, maka tidak mudah menerima perubahan dari luar,

termasuk dari pemerintah. Untuk itu, sudah saatnya pesantren harus melepaskan

diri dari citra kerajaan kecil agar tumbuh nilai-nilai keterbukaaan, kebebasan

berfikir dan berpendapat, kemandirian, kolektifitas dan menerima secara opensif.

[32] 

Karena hambatan untuk menciptakan nilai-nilai ini biasanya bersumber

dari kepemimpinan pesantren yang sentralistik dan terpusat pada seorang kiai.

Perubahan penyelenggaraan pendidikan pesanten dapat dilakukan dengan

merubah otorita kekuasaan menuju otorita akademik, dari sisem pendidikan

sentralistik menuju paradigma pendidikan otonom, di mana masyarakat

mempunyai peran evaluatif dan kontroling yang signifikan. Artinya, sudah

saatnya kiai/pengasuh pesantren untuk melaksanakan program pendidikannya

secara profesional dengan senantiasa membuka kran musyawarah egaliter yang

demokratis.[33]

Demikianlah beberapa usulan perubahan untuk membenahi system pendidikan

pesantren dalam rangka mengahadapi tantangan modernisasi. Dalam hal ini,

harus kita sadari bersama bahwa ada baiknya pesantren tetap mempertahankan

tradisionalisme dan fungsi pokoknya semula, yaitu sebagai tempat

12

Page 13: MAKALAH PESANTREN

penyelenggaraan pendidikan dan pendalaman ilmu agama (tafaqquh fi al-din).

Disamping itu, pesantren juga wajib memenuhi tuntutan hidup santrinya dalam

kaitannya dengan perkembangan zaman, yaitu membekali mereka dengan

kemampuan-kemampuan nyata melalui pendidikan ilmu terapan secara

memadahi. Sehingga, pesantren diharapkan dapat melahirkan ulama yang tidak

saja menguasai ilmu keagamaan, tetapi juga mampu memenuhi tuntutan

zamannya untuk memecahkan persoalan kemasyarakatan.7

BAB III

PENUTUP

7 Ainul Huda Afandi, Menata Kembali Pesantren, Mencari Bentuk Ideal, dalam Menggagas Pesantren Masa Depan, (Yogyakarta: Qirtas, , 2003) hal. 113

13

Page 14: MAKALAH PESANTREN

A. KESIMPULAN

Pesantren adalah dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas

tradisi Islam yang dikembangkan ulama’ (kiai) dari masa ke masa, tidak terbatas

pada periode tertentu dalam sejarah Islam. Secara umum tujuan pendidikan

pondok pesantren adalah membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang

berkepribadian Islam yang sanggup dengan ilmu agamanya menjadi muballigh

Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya. dalam menghadapi

perubahan yang cepat dalam bidang sosial, politik dan ekonomi, pesantren

sebagaimana institusi pendidikan lainya menghadapi tantangan yang harus di

segera atasi. Untuk mengatasi tantangan tersebut, perama-tama pesantren harus

mampu mengatasi persoalan-persoalan internal yang meliputi: persoalan

kurikulum, metode pengajaran, manajemen, dan pola kepemimpinan.[ mengatasi

persoalan-persoalan tersebut adalah dengan membenehi sistem pendidikan

pesantren. Dengan demikian pesantren mampu menjawab tantangan dalam

pengembengannya.

B. SARAN

Dengan adanya makalah ini disarankan kepada pembaca untuk memahami isi

makalah dengan baik, demi menambah wawasan kita. Serta dapat mengkritik

demi perbaikan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

14

Page 15: MAKALAH PESANTREN

Al-Jumbulati, Ali dan Abdul Fatuh At-Tuwaanisi. 1993. Perbandingan Pendidikan Islam, ,

Jakarta : Rineka Cipta

Arifin, M. 1995. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). Jakarta : Bumi Aksara

Cholis Madjid, Nur. 1997. Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta :

Paramadina.

Huda Afandi, Ainul. 2003. Menata Kembali Pesantren, Mencari Bentuk Ideal, dalam

Menggagas Pesantren Masa Depan. Yogyakarta: Qirtas

Huda, Saeful. 2003. Menggagas Pesantren Masa Depan. Yogyakara: Qirtas

Reaktualisasi Nilai Kepesantrenan. http://www.ginandjar.com/public, diakses tanggal 27

november 2015

Wahjoetomo. 1997. Perguruan Tinggi Pesantren. Jakarta : Gema Insani Press.

15