Makalah Perbarengan Tindak Pidana

24
1 PERCOBAAN, PENYERTAAN DAN PERBARENGAN DALAM HUKUM PIDANA Oleh : Nyoman Serikat Putra Jaya Maksud dan tujuan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (MAHUPIKI) mengadakan kegiatan Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi dengan mengambil tema : Asas-Asas Hukum Pidana dan Kriminologi serta Perkembangannya, terlihat dari tujuan yang tercantum dalam Proposal Kegiatan yaitu : 1. Meningkatkan pemahaman terhadap asas-asas hukum pidana dan kriminologi. 2. Memahami asas-asas hukum pidana dan kriminologi serta perkembangannya dewasa ini. 3. Adanya kesamaan pemahaman terkait asas-asas hukum pidana dan kriminologi dalam rangka menyebarluaskan asas-asas tersebut kepada para mahasiswa di perguruan tinggi masing-masing. Pada kegiatan ini saya ditugaskan untuk menyiapkan bahan untuk berdikusi dengan judul : “Percobaan, Penyertaan dan Perbarengan dalam Hukum Pidana”, yang disusun dengan sistimatika sebagai berikut : (A) Percobaan, (B) Penyertaan, (C) Perbarengan dan (D) Pengaturannya dalam RUU KUHP 2012. A. Percobaan ( Poging / Attempt ) 1. Pengertian dan sifat percobaan Didalam Buku I KUHP khususnya dalam Bab IX tentang arti beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang, tidak dijumpai defisi / arti istilah “ percobaan “. Rumusan yuridis mengenai percobaan dapat ditemukan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

Transcript of Makalah Perbarengan Tindak Pidana

Page 1: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

1

PERCOBAAN, PENYERTAAN DAN PERBARENGAN

DALAM HUKUM PIDANA

Oleh : Nyoman Serikat Putra Jaya

Maksud dan tujuan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi

(MAHUPIKI) mengadakan kegiatan Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi

dengan mengambil tema : Asas-Asas Hukum Pidana dan Kriminologi serta

Perkembangannya, terlihat dari tujuan yang tercantum dalam Proposal Kegiatan

yaitu :

1. Meningkatkan pemahaman terhadap asas-asas hukum pidana dan

kriminologi.

2. Memahami asas-asas hukum pidana dan kriminologi serta

perkembangannya dewasa ini.

3. Adanya kesamaan pemahaman terkait asas-asas hukum pidana dan

kriminologi dalam rangka menyebarluaskan asas-asas tersebut kepada

para mahasiswa di perguruan tinggi masing-masing.

Pada kegiatan ini saya ditugaskan untuk menyiapkan bahan untuk

berdikusi dengan judul : “Percobaan, Penyertaan dan Perbarengan dalam

Hukum Pidana”, yang disusun dengan sistimatika sebagai berikut : (A)

Percobaan, (B) Penyertaan, (C) Perbarengan dan (D) Pengaturannya dalam

RUU KUHP 2012.

A. Percobaan ( Poging / Attempt ) 1. Pengertian dan sifat percobaan

Didalam Buku I KUHP khususnya dalam Bab IX tentang arti beberapa

istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang, tidak dijumpai defisi / arti

istilah “ percobaan “. Rumusan yuridis mengenai percobaan dapat

ditemukan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP yang berbunyi sebagai berikut:

Page 2: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

2

“ Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata

dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan

itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”.

Perumusan Pasal 53 ayat (1) KUHP tersebut hanya memuat persyaratan

atau kriteria / batasan seseorang yang melakukan percobaan untuk

melakukan tindak pidana dipidana atau tidak dipidana. Percobaan

melakukan tindak pidana yang dipidana hanyalah percobaan untuk

melakukan tindak pidana berupa “ kejahatan “, sedangkan percobaan

untuk melakukan tindak pidana berupa “ pelanggaran “ tidak dipidana

Pasal 54 ( KUHP ) . Namun demikian terdapat beberapa pasal dalam

buku II KUHP yang diberi label / nama yuridis berupa kejahatan yang tidak

dipidana seperti percobaan duel / perkelahian tanding (Pasal 184 ayat 5),

percobaan penganiayaan ringan terhadap hewan ( Pasal 302 ayat 4 ),

percobaan penganiayaan biasa ( Pasal 351 ayat 5 ), dan percobaan

penganiayaan ringan ( Pasal 352 ayat 2 ).

Mengenai sifat dari percobaan terdapat 2 ( dua ) pandangan.

a) Percobaan dipandang sebagai “ Strafausdehnungsgrund atau

strafuitbreidingungsgrond ( dasar / alasan memperluas dapat

dipidananya orang ).

Menurut pandangan ini, percobaan adalah untuk memperluas

dapat dipidananya orang dan tidak memperluas rumusan-rumusan

tindak pidana. Percobaan tidak dipandang sebagai “ delictum sui

generis “ atau delik yang berdiri sendiri, tetapi dipandang sebagai

delik yang tidak sempurna ( “ onvolkomen delictsvorm “ ).

b) Percobaan dipandang sebagai Tatbestand-ausdehnungsgrund

(dasar / alasan memperluas dapat dipidananya perbuatan ).

Menurut pandangan ini, percobaan melakukan suatu tindak pidana

merupakan satu kesatuan yang bulat dan lengkap. Percobaan

merupakan delik yang sempurna hanya saja bentuknya istimewa.

Dengan demikian merupakan delik tersendiri ( “ delictum sui

generis “ ) ( Barda Nawawi Arief, 209 : 2-3 ).

Page 3: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

3

Prof. Moeljatno ( 1983 ) memasukkan percobaan sebagai delik berdiri

sendiri ( “ delictum sui generis “ ) dengan mengemukakan tiga alasan :

Pertama : Timbulnya kemungkinan untuk dipidana ialah karena telah

melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

Kedua : Dalam KUHP khususnya delik-delik makar dalam Pasal 104, 106,

107 KUHP, meskipun pada hakikatnya delik-delik itu, kalau yang dituju

oleh terdakwa belum terlaksana, merupakan delik percobaan namun

dianggap sebagai delik selesai dan berdiri sendiri.

Ketiga : Dalam hukum adat tidak dikenal delik yang dirumuskan sebagai

percobaan dari suatu kejahatan tertentu. Perbuatan-perbuatan yang

terang merupakan bagian dari pelaksanaan yang tertentu diberi kualifikasi

sendiri, dan tidak dipandang sebagai percobaan dari kejahatan tertentu

tadi. Dicontohkan seorang laki-laki yang mengaku telah mendekap

(memegang badan seorang gadis dengan maksud mencoba bersetubuh

dengan dia dan dengan demikian akan kawin dengan dia, tidak dihukum

karena percobaan perbuatan dengan paksa tetapi karena “ nangkap

badan gadis “ ) ( Moeljatno, 1983 : 11-12 ).

2. Dasar patut dipidananya percobaan.

Mencari dasar-dasar pembenaran dipidananya percobaan dapat

dikemukakan tiga teori / ajaran yaitu :

a. Teori / ajaran subjektif yang dianut oleh Van Hamel yang

menerangkan bahwa dasar patut dipidananya percobaan terletak pada

sikap batin / watak yang berbahaya dari si pembuat.

b. Teori objektif yang antara lain dianut oleh Simons, Duynstee dan

Zevenbergen yang menerangkan bahwa dasar patut dipidananya

percobaan terletak pada sifat berbahayanya perbuatan terhadap

masyarakat. Teori ini terdiri dari :

Objektif formil yang menyatakan bahwa dasar patut dipidananya

percobaan terletak pada sifat berbahayanya perbuatan

terhadap tata hukum.

Page 4: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

4

Objektif materiil yang menyatakan bahwa dasar patut pidana

percobaan terletak pada sifat berbahayanya perbuatan

terhadap kepentingan / benda hukum. Kepentingan hukum

adalah segala sesuatu yang dilindungi oleh hukum.

c. Teori campuran yang menyatakan bahwa dasar patut dipidananya

percobaan terletak pada sifat berbahayanya si pembuat ( aspek

subjektif ) dan sifat berbahayanya perbuatan ( aspek objektif )

terhadap masyarakat.

Prof. Moeljatno termasuk menganut teori campuran dan berpendapat

bahwa percobaan dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP memuat dua inti yaitu inti

yang subjektif berupa niat untuk melakukan kejahatan tertentu dan inti

yang objektif berupa kejahatan tersebut sudah dimulai dilaksanakan tetapi

tidak selesai. Dalam pemidanaan percobaan tidak boleh dipilih teori

subjektif saja atau teori objektif saja sebab akan menyalahi kedua inti

tersebut. Disamping itu beliau mengemukakan bahwa kalau hanya dipilih

salah satu teori saja akan mendatangkan ketidakadilan ( Barda Nawawi

Arief, 2010 : 8 ).

3. Unsur-Unsur Percobaan.

Dari bunyi Pasal 53 ayat (1) KUHP yang telah dikemukakan di atas, maka

dapat diketahui unsur-unsur percobaan ialah :

1. Ada niat.

2. Ada permulaan pelaksanaan.

3. Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata karena

kehendaknya sendiri.

Ad. 1. Unsur niat

Unsur niat ( Voornemen ) menurut MVT adalah niat untuk

melakukan perbuatan yang oleh undang-undang diberi lebel

kejahatan.

Page 5: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

5

Kebanyakan sarjana seperti Simons, van Hamel, van Dijck,

Hazewinkel-Suringa, Jonkers, Mezger, Langemeyer, memandang

unsur niat ini sama dengan kesengajaan dalam segala coraknya ( “

opzet als oogmerk, opzet met zekerheidsbewustzijn /

noodzakelijkheidsbewutzijn dan voorwaardelijk opzet atau dolus

eventualis “ ). Hanya Sarjana yang bernama Vos yang berpendapat

sempit bahwa niat adalah sama dengan kesengajaan dengan maksud

( opzet als oogmerk ).

Prof. Moeljatno mengenai unsur niat ini berpendapat bahwa :

1) Niat jangan disamakan dengan kesengajaan tetapi niat secara

potensiil bisa berubah menjadi kesengajaan apabila sudah

ditunaikan menjadi perbuatan yang dituju. Dalam hal semua

perbuatan yang diperlukan untuk kejahatan telah dilakukan,

tetapi akibat yang dilarang tidak timbul ( percobaan selesai )

disitu niat 100% menjadi kesengajaan, sama kalau menghadapi

delik selesai.

2) Tetapi kalau belum semua ditunaikan menjadi kejahatan, maka

niat masih ada dan merupakan sifat batin yang memberi arah

kepada perbuatan, yaitu subjectief onrechtselement.

3) Oleh karena niat tidak sama dan tidak boleh disamakan dengan

kesengajaan, maka isinya niat jangan diambilkan dari isinya

kesengajaan dari isinya kesengajaan apabila kejahatan timbul.

Untuk ini diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang

tertentu tadi juga sudah ada sejak niat belum ditunaikan jadi

perbuatan ( Moeljatno, 1983 : 20 ).

Dikatakan ada percobaan selesai apabila terdakwa telah

melakukan semua perbuatan yang diperlukan untuk terjadinya

kejahatan, tetapi akibat yang terlarang tidak terjadi.

Ad. 2. Unsur ada permulaan pelaksanaan (“begin van uitvoering“).

Page 6: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

6

Unsur permulaan pelaksanaan dalam percobaan merupakan

persoalan pokok yang sangat sulit baik dilihat dari sudut teori maupun dari

sudut praktik., mengingat selalu dipersoalkan batas antara perbuatan

persiapan (“voorbreidingshandeling“) dan perbuatan pelaksanaan

(“uitvoeringshandeling“).

Karena kesulitan ini para sarjana kembali kepada teori-teori dasar

patut dipidananya percobaan, untuk menentukan adanya perbuatan

pelaksanaan.

van Hamel, dikatakan ada perbuatan pelaksanaan, apabila dilihat

dari perbuatan yang telah dilakukan, telah ternyata adanya

kepastian niat untuk melakukan kejahatan.

Simons berpendapat:

a. pada delik formil, perbuatan pelaksanaan ada, apabila telah

dimulai perbuatan yang disebut dalam rumusan delik.

b. pada delik materiil, perbuatan pelaksanaan ada apabila telah

dimulai / dilakukan perbuatan yang menurut sifatnya

langsung dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh

undang-undang tanpa memerlukan perbuatan lain.

Duynstee sebagai penganut teori percobaan objektif formil,

berpendapat ada perbuatan pelaksanaan, jika apa yang dilakukan

termasuk dalam salah satu kelakuan yang merupakan rangkaian

kelakuan seperti yang dilarang dalam rumusan delik.

zevenbergen serupa dengan Duynstee, berpendapat bahwa ada

perbuatan pelaksanaan apanila sebagian ( suatu fragment ) dari

lukisan delik dalam undang-undang telah dilaksanakan atau

direalisir.

Prof. Moeljatno sebagai penganut teori campuran yang

menganggap dasar pemidanaan delik percobaan sama dengan

delik selesai yaitu adanya perbuatan bersifat melawan hukum, dan

Page 7: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

7

berpendapat bahwa ada perbuatan pelaksanaan harus memenuhi

tiga syarat:

a. secara objektif, apa yang telah dilakukan terdakwa harus

mendekatkan pada delik / kejahatan yang dituju, atau

dengan kata lain , harus mengandung potensi untuk

mewujudkan delik tersebut.

b. secara subjektif, dipandang dari sudut niat , harus tidak ada

keraguan lagi bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu

ditujukan atau diarahkan pada delik / kejahatan yang

tertentu tadi.

c. bahwa apa yang telah dilakukan oleh terdakwa itu

merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.

Ad.3. Unsur pelaksanaan Tidak Selesai Bukan semata-mata karena

kehendaknya sendiri.

Perbuatan pelakasanaan tidak selesai yang disebabkan bukan

karena kehendak sendiri bisa terjadi, karena hal-hal sebagai berikut :

a. adanya penghalang fisik misalnya A mau memukul B, tetapi tangan

A dipegang si C.

b. walaupun tidak ada penghalang fisik tetapi takut akan adanya

penghalang fisik, misalnya takut ditangkap karena gerak-geriknya

dicurigai orang lain untuk mencuri.

c. adanya penghalang karena faktor-faktor / keadaan-keadaan

khusus pada objek yang akan menjadi sasaran, misalnya daya

tahan orang yang ditembak karena mencuri sangat kuat, sehingga

tidak membahayakan nyawanya.

Tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri dalam hal ini

berarti ada pengunduran diri secara sukarela yang diberi makna

bahwa menurut pandangan terdakwa / pembuat, ia masih dapat

meneruskan perbuatannya, tetapi ia tidak mau meneruskannya.

Page 8: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

8

Tidak selesainya perbuatan pelaksanaan karena kehendaknya

sendiri, secara teori dapat dibedakan :

a. pengunduran diri secara sukarela ( “ rucktritt “ ) tidak

menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk

delik yang bersangkutan.

b. tindakan penyesalan ( “ Tatiger Reue “ ) perbuatan pelaksanaan

telah diselesaikan, tetapi berusaha dengan sukarela menghalau

timbulnya akibat mutlak untuk delik tersebut.

MvT ( Memorie van Toelichting ) risalah penjelasan dari

WvS Belanda memberikan uraian maksud dicantumkan unsur

ke 3 ini dalam Pasal 53 ayat 1 ialah :

a. untuk menjamin supaya orang yang dengan kehendaknya

sendiri secara sukarela mengurungkan kejahatan yang telah

dimulai tetapi belum terlaksana, tidak dipidana.

b. pertimbangan dari segi kemanfaatan ( utilitas ), bahwa

usaha yang paling tepat ( efektif ) untuk mencegah

timbulnya kejahatan ialah menjamin tidak dipidananya orang

yang telah melakukan kejahatan tetapi kemudian dengan

sukarela mengurungkan pelaksanaannya.

Pencantuman unsur ke-3 ini dalam Pasal 53 ayat (1),

membawa dua konsekuensi, ialah :

a. mempunyai konsekuensi materiel artinya unsur ketiga ini

merupakan unsur yang melekat pada percobaan, jadi

bersifat accessoir ( tidak berdiri sendiri ). Untuk adanya

percobaan unsur ke-3 ini harus ada, berarti kalau ada

pengunduran secara sukarela tidak ada percobaan.

b. mempunyai konsekuensi formil dibidang processuil artinya

karena unsur ke-3 ini dicantumkan dalam Pasal 53 ayat (1),

maka unsur ini harus disebutkan dalam surat dakwaan dan

harus dibuktikan.

Page 9: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

9

4. Percobaan Mampu dan Percobaan Tidak Mampu.

Persoalan percobaan mampu dan tidak mampu ini muncul

sehubungan dengan telah dilakukannya perbuatan pelaksanaan namun

delik yang dituju atau akibat yang dilarang oleh undang-undang tidak

timbul. Tidak selesainya delik atau tidak timbulnya akibat yang dilarang

oleh undang-undang dapat disebabkan karena objeknya yang tidak

mampu atau alatnya yang tidak mampu. Persoalan percobaan mampu

dan tidak mampu bagi yang mengikuti teori subjektif tidak merupakan

persoalan karena yang dititik beratkan adalah sifat berbahayanya orang /

pembuat, sedangkanbagi penganut teori percobaan yang objektif,

persoalan mampu dan tidak mampu menjadi penting karena menitik

beratkan pada sifat berbahayannya perbuatan si pembuat / terdakwa.

Persoalan percobaan tidak mampu karena objeknya ini, MvT

memberi penjelasan dengan mengemukakan :

“ Syarat-syarat umum percobaan menurut Pasal 53 KUHP ialah

syarat-syarat percobaan untuk melakukan kejahatan yang tertentu dalam

buku II KUHP. Jika untuk terwujudnya kejahatan tertentu tersebut

diperlukan adanya objek, maka percobaan melakukan kejahatan itupun

harus ada objeknya. Kalau tidak ada objeknya, maka tidak ada

percobaan“.

Dengan demikian tidak mungkin ada percobaan pada objek yang tidak

mampu, dan hanya ada percobaan tidak mampu karena alatnya.

Percobaan tidak mampu karena alatnya bisa terjadi karena (1) tidak

mampu mutlak artinya dengan alat itu tidak mungkin menimbulkan delik

selesai dan (2) tidak mampu relatif dalam hal ini mungkin ada percobaan.

Percobaan tidak mampu relatif karena alatnya ini, MvT memberikan

penjelasan :

Page 10: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

10

a. keadaan tertentu dari alat pada waktu si pembuat melakukan

perbuatan dimana alat ini bisa dilihat dari aspek jenis tersendiri atau

dapat dilihat secara konkrit.

b. keadaan tertentu dari orang yang dituju, yang dapat dilihat secara

abstrak untuk orang pada umumnya dan dilihat secara konkrit dalam

keadaan tertentu.

Misalnya mengenai jenis dari alat yang dipakai gula adalah alat yang

tidak mampu akan menjadi alat yang mampu jika ditujukan kepada

sasaran dalam keadaan tertentu misalnya berpenyakit gula maka

yang secara umum tidak mampu menjadi mampu, sedangkan

warangan atau arsenicum dilihat dari jenisnya merupakan alat yang

mampu, tetapi dapat menjadi alat yang tidak mampu apabila

jumlahnya tidak memenuhi dosis yang cukup mematikan dimana

untuk warangan 5 mg. ( Disarikan dari Barda Nawawi Arief, 2010 ).

5. Pemidanaan Percobaan

Pada intinya pemidanaan terhadap percobaan adalah lebih ringan

dari tindak pidana selesai ialah maksimun pidana untuk percobaan,

dikurangi 1/3 dari ancaman pidana apabila tindak pidana terjadi / selesai.

Apabila tindak pidana diancam dengan pidana mati atau pidana penjara

seumur hidup, maka maksimum pidana untuk percobaan adalah 15

tahun penjara. Sedangkan pidana tambahan untuk percobaan sama

dengan delik selesai.

Beberapa undang-undang pidana di luar KUHP menentukan

percobaan dipidana sama dengan tindak pidananya artinya menyimpang

dari Pasal 53 KUHP hal ini memang dimungkinkan mengingat Pasal 103

KUHP. Namun yang kadang-kadang menimbulkan masalah yuridis

apabila undang-undang pidana diluar KUHP tidak menentukan

kualifikasi tindak pidana apakah sebagai kejahatan atau pelanggaran,

Page 11: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

11

mengingat menurut Pasal 53 KUHP percobaan yang dipidana hanyalah

percobaan untuk melakukan tindak pidana berupa kejahatan.

B. Penyertaan

Dalam berbagai literatur dijumpai istilah yang maknanya sama dengan

penyertaan ialah (1) Turut Campur Dalam Peristiwa Pidana ( Tresna ), (2)

Turut Berbuat Delik ( Karmi ), (3) Turut Serta ( Utrecht ), (4) Deelneming (

Belanda ), Complicity ( Inggris ).

Seperti pada percobaan tentang penyertaan ini juga ada dua pandangan

ialah (1) memandang sebagai strafausdehnungsgrund dimana penyertaan

dipandang sebagai persoalan pertanggungjawaban pidana bukan merupakan

suatu delik karena bentuknya tidak sempurna dan (2) memandang sebagai

Tatbestandausdehnungsgrund dimana penyertaan sebagai bentuk khusus

suatu tindak pidana hanya saja bentuknya istimewa.

Penyertaan dalam KUHP diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56.

B.1.Penyertaan (Deelneming)

Pasal 55 KUHP menentukan :

(1) Dipidana sebagai pembuat ( dader ) sesuatu perbuatan pidana :

ke-1 mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut

serta melakukan perbuatan.

ke-2 mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan

menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,

ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan,

sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang supaya

melakukan perbuatan.

(2) Terhadap penganjur hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah

yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

a. Pasal 56 KUHP menentukan :

Dipidana sebagai pembantu ( medeplichtige ) sesuatu kejahatan :

Page 12: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

12

ke-1 mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan

dilakukan.

ke-2 mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan

untuk melakukan kejahatan.

Dengan demikian, menurut KUHP pembantuan yang dapat dipidana

hanya membantu melakukan kejahatan sedangkan membantu

pelanggaran tidak dipidana sesuai dengan bunyi Pasal 60 KUHP.

Dari ketentuan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dapat diketahui

bahwa :

a. pembuat / dader dalam Pasal 55 terdiri dari :

1. pelaku ( pleger )

2. yang menyuruh lakukan ( doenpleger )

3. yang turut serta ( medepleger )

4. penganjur ( uitlokker )

b. pembantu / medeplichtige dalam Pasal 56 terdiri dari :

1. pembantu pada saat kejahatan dilakukan

2. pembantu sebelum kejahatan dilakukan

a.1. pelaku/ pleger

pelaku ( pleger ), adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan

yang memenuhi rumusan delik. Dalam hal pembentuk undang -

undang tidak menentukan secara pasti siapa menjadi pembuat

terdapat 3 pedoman.

- Peradilan Indonesia - pembuat ialah orang yang menurut

maksud pembuat undang-undang harus dipandang yang

bertanggung jawab.

- Peradilan Belanda – dader ialah orang yang mempunyai

kemampuan untuk mengakiri keadaan terlarang, tetapi tetap

membiarkan keadaan terlarang itu berlangsung terus.

Page 13: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

13

- Pompe - dader ialah orang yang mempunyai kewajiban untuk

mengakhiri keadaan terlarang itu.

a.2. Orang yang menyuruh lakukan ( doenpleger )

Orang yang menyuruh lakukan ( doenpleger ) ialah orang yang

melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain, sedang

perantara ini hanya diumpamakan sebagai alat.Dengan demikian

pada menyuruh lakukan ada dua pihak ialah (1) pembuat

langsung ( onmiddelijke dader / auctor physicus / manus ministra )

dan (2) pembuat tidak langsung ( middelijke dader, auctor

intellectualis / moralis, manus domina ).

Syarat-syarat untuk adanya menyuruh lakukan ( doenpleger ) :

- alat yang dipakai adalah manusia

- alat yang dipakai itu terbuat bukan alat yang mati

- alat yang dipakai itu “ tidak dapat dipertanggungjawabkan “,

unsur / syarat ketiga inilah yang merupakan tanda ciri dari

menyuruh lakukan / doenpleger.

a.3. Orang yang turut serta ( medepleger )

Menurut MvT – orang yang turut serta melakukan ( medepleger )

ialah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut

mengerjakan terjadinya sesuatu.Menurut Pompe, “ turut

mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana “ itu ada tiga

kemungkinan :

- Mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan

delik.

- Salah seorang memenuhi semua unsur delik, sendang yang lain

tidak.

- Tidak seorangpun memenuhi rumusan delik seluruhnya, tetapi

mereka bersama-sama mewujudkan delik itu.

Page 14: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

14

Syarat-syarat untuk adanya turut serta ( medepleger ) :

(1) ada kerjasama secara sadar ( bewuste samenwerking ) dan (2) ada

pelaksanaan bersama secara fisik ( gezamenlijkeuitvoering /

physieke samenwerking ). Disini tidak perlu ada permufakatan

terlebih dahulu, yang penting ada pengertian antara peserta saat

perbuatan dilakukan dengan tujuan yang sama. Harus ada

kesengajaan (a) untuk bekerja sama yang sempurna dan erat, dan

(b) ditujukan kepada hal yang dilarang oleh undang-undang.

Adanya perbuatan pelaksanaan bersama berarti perbuatan

langsung menimbulkan selesainya delik yang bersangkutan. Di sini

harus ada kerja sama yang erat dan langsung.

a.4. Penganjur ( uitlokker )

Penganjur adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk

melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-

sarana yang telah ditentukan secara limitatif dalam undang-

undang ( Pasal 55 ayat 1 ke-2) yang dapat berupa (1) memberi

atau menjanjikan sesuatu, (2) dengan menyalahgunakan

kekuasaan atau martabat, (3) dengan kekerasan, (4) dengan

ancaman atau penyesatan, dan (5) dengan memberi

kesempatan, sarana atau keterangan.

Adapun syarat-syarat untuk adanya penganjuran yang

dipidana ialah :

1) ada kesengajaan untuk menggerakkan orang lain untuk

melakukan perbuatan terlarang.

2) menggerakkannya dengan menggunakan sarana-sarana

seperti tersebut dalam undang-undang sifatnya limitatif.

3) putusan kehendak dari si pembuat materiil ditimbulkan karena

hal-hal tersebut angka 1 dan angka 2 diatas harus ada

psychische causaliteit.

Page 15: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

15

4) si pembuat materiil tersebut harus melakukan tindak pidana

yang dianjurkan atau percobaan melakukan tindak pidana.

5) pembuat materiil tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan

dalam hukum pidana.

Jika si pembuat materiil tidak mau atau mau melakukan

perbuatan tetapi tidak menimbulkan tindak pidana atau

percobaan tindak pidana yang dipidana maka disebut dengan “

Penganjuran yang gagal “ sebagaimana diatur dalam Pasal 163

bis KUHP.

B.2. Pembantuan ( Medeplichtige )

- Dilihat dari perbuatannya, pembantuan bersifat accessoir, artinya

untuk adanya pembantuan harus ada orang lain yang melakukan

kejahatan atau harus ada orang lain yang dibantu. Namun dilihat

dari pertanggung jawab tidak bersifat accessoir artinya

dipidananya si pembantu tidak tergantung pada dapat tidaknya si

pelaku dipidana.

- Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan hampir mirip dengan

turut serta dan pembantuan sebelum kejahatan dilakukan hampir

mirip dengan penganjuran ( uitlokking ), namun masing-masing

ada perbedaannya.

- Pemidanaan terhadap pembantu pada prinsipnya menurut KUHP

lebih ringan daripada si pelaku ialah maksimum ancaman pidana

dikurangi 1/3 dan untuk tindak pidana yang diancam dengan

pidana mati atau pidana penjara seumur hidup untuk pembantu

pidana paling lama 15 tahun penjara.

- Pidana untuk pembantu untuk buku II KUHP terdapat

penyimpangan begitu juga untuk undang-undang di luar KUHP,

seperti pembantu dipidana sama berat dengan pembuat ( Pasal

333 ayat 4 ),pembantu dipidana lebih berat dari pembuat ( Pasal

Page 16: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

16

349 KUHP ), sedangkan pembantu untuk undang-undang di luar

KUHP pada umumnya pidananya sama berat dengan pembuat

(diambil dari Prof. Barda Nawawi Arief, Bab II Hukum Pidana

Lanjut )

C.Perbarengan ( Concusus )

- Terdapat dua pandangan mengenai concursus ialah (1) memandang

sebagai masalah pemberian pidana dan (2) memandang sebagai

bentuk khusus dari tindak pidana.

- Pengaturan Perbarengan dalam KUHP yaitu:

1. Perbarengan peraturan ( Concursus Idealis Pasal 63 KUHP ).

2. Perbuatan berlanjut ( Delictum Continuatum / Voortgezettehandeling

Pasal 64 KUHP ).

3. Perbarengan Perbuatan ( Concursus Realis Pasal 65 s/d Pasal 71

KUHP )

- Pengertian masing-masing perbarengan ( Concursus ) dapat dilihat dari

bunyi masing-masing pasal yang mengaturnya

a. menurut Pasal 63 ada concursus idealis apabila suatu perbuatan

masuk dalam lebih dari satu aturan pidana.

b. menurut Pasal 64 ada perbuatan berlanjut apabila :

- Seseorang melakukan beberapa perbuatan.

- Perbuatan tersebut masing-masing merupakan kejahatan atau

pelanggaran.

- Antara perbuatan-perbuatan itu harus ada hubungan sedemikian

rupa sehingga harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut.

Mengenai syarat “ ada hubungan sedemikian rupa sehingga harus

dipandang sebagi perbuatan berlanjut “, MvT memberikan tiga

criteria ialah :

Page 17: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

17

1) harus ada satu keputusan kehendak

2) masing-masing perbuatan harus sejenis

3) tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlampau

lama.

c. Menurut Pasal 65 ada Concursus realis apabila (1) seseorang

melakukan beberapa perbuatan dan (2) masing-masing perbuatan

itu berdiri sendiri-sendiri sebagai suatu tindak pidana baik berupa

kejahatan maupun pelanggaran dan tidak perlu sejenis dan

berhubungan satu sama lain.

- Harus diperhatikan bahwa baik pada perbuatan berlanjut maupun

pada perbarengan perbuatan ( concursus realis ), antara

perbuatan-perbuatan harus belum ada keputusan hakim.

- Masalah perbuatan / feit dalam pasal-pasal Concursus

menimbulkan persoalan yang cukup sulit dalam hal seseorang

hanya melakukan satu perbuatan disebabkan ilmu hukum pidana

ada yang melihat perbuatan / feit secara materiel, secara fisik

jasmaniah, yaitu dipikirkan terlepas dari akibatnya, terlepas dari

unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur tambahan yang dikenal

dengan ajaran feit materiel ; dan ada pula yang melihatnya dari

sudut hukum pidana yaitu yang dihubungkan dengan akibat /

keadaan yang terlarang.

- Mengingat kesulitan-kesulitan tersebut, maka para sarjana

mengemukakan beberapa pendapat :

a) Hazewinkel – Suringa, ada Concursus Idealis apabila suatu

perbuatan yang sudah memenuhi rumusan delik, mau tidak mau (

eoipso ) masuk pula dalam peraturan yang lain.

b) Pompe, ada Concursus Idealis, apabila orang melakukan suatu

perbuatan konkrit yang diarahkan kepada satu tujuan yang

merupakan benda / objek aturan hukum.

c) Taverne, ada Concursus Idealis apabila dipandang dari sudut

hukum pidana ada dua perbuatan atau lebih; dan antara

Page 18: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

18

perbuatan-perbuatan itu tidak dapat dipikirkan terlepas stu sama

lain.

d) van Bemmelen, ada Concursus Idealis, apabila dengan melanggar

satu kepentingan hukum dengan sendirinya melakukan perbuatan

( feit ) yang lain. (Disarikan dari Barda NA, Hukum Pidana Lanjut

Bab III)

- Sistem Pemidanaan terhadap Consursus

1) Concursus Idealis, menurut Pasal 63 ayat (1) dipakai sistem

absorbsi, hanya dikenakan satu pidana pokok yang

terberat. Pasal 63 ayat (2) merupakan ketentuan khusus

dimana berlaku asas “ lex specialis derogat legi generali “

2) Perbuatan berlanjut, menurut Pasal 64 ayat (1) dipakai

sistem absorbsi dalam arti hanya dikenakan satu aturan

pidana dan jika berbeda-beda dikenakan ketentuan pidana

yang memuat ancaman pidana pokok terberat. Pasal 64

ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal terjadi

pemalsuan mata uang dan menggunakan / mengedarkan

mata uang yang dipalsu di sini tidak dipandang sebagai

Concursus Realis tetapi sebagai perbuatan berkanjut

sehingga hanya dikenakan satu ketentuan pidana bisa Pasal

244 KUHP memalsu mata uang, bisa Pasal 245 KUHP

menggunakan mata uang yang palsu. Begitu juga ketentuan

Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal

kejahatan-kejahatan ringan dalam Pasal 364, 373, 379, dan

Pasal 407 ayat (1) yang apabila dilakukan sebagai

perbuatan berlanjut dan kerugian yang timbul lebih dari Rp

250,- maka dikenakan aturan pidana yang berlaku untuk

kejahatan biasa.

3) Concursus Realis ( Perbarengan Perbuatan )

Page 19: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

19

- menurut Pasal 65 - untuk Concursus Realis berupa

kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis,

hanya dikenakan satu pidana diman jumlah

maksimumnya tidak boleh lebih dari maksimum terberat

ditambah 1/3.

- menurut Pasal 66, - untuk Concursus Realis berupa

kejahatan yang diancam dengan pidana pokok tidak

sejenis, dipakai sistem kumulasi, artinya semua jenis

pidana dikenakan dengan ketentuan jumlahmya tidak

boleh melebihi yang terberat ditambah 1/3. Kumulasi yang

diperlunak.

- menurut Pasal 70, - untuk Concursus Realis berupa

pelanggaran dipakai sistem kumulasi dengan pembatasan

maksimumnya 1 tahun 4 bulan.

- menurut Pasal 70 bis, - untuk Concursus Realis berupa

kejahatan ringan dalam Pasal 302 ayat (1) , 352, 364,

373, 379, dan Pasal 482 KUHP, digunakan sistem

kumulasi, namus dibatasi maksimum 8 bulan penjara.

- menurut Pasal 71, untuk Concursus Realis berupa

kejahatan ataupun pelanggaran, yang diadili pada saat

yang berlainan, maka pidana yang telah dijatuhkan

terdahulu diperhitungkan dengan pidana yang akan

dijatuhkan dengan mengangap perkara-perkara itu diadili

dalam waktu bersamaan dengan menggunakan ketentuan

dalam Concursus.

D. Perbarengan ( Concursus ) dalam RUU-KUHP 2012

a. Percobaan

- Pasal 17

(1) Percobaan melakukan tindakan pidana dipidana, jika pembuat

telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan dari tindak

Page 20: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

20

pidana yang dituju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai atau

tidak mencapai hasil atau tidak menimbulkan akibat yang

dilarang.

(2) Permulaan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) terjadi jika :

a) perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau ditujukan utnuk

terjadinya tindak pidana;

b) perbuatan yang dilakukan langsung mendekati atau

berpotensi menimbulkan tindak pidana yang dituju;

c) pembuat telah melakukan perbuatan melawan hukum.

- Pasal 18

(1) Tidak dipidana jika setelah melakukan permulaan pelaksanaan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1):

a. pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya karena

kehendaknya sendiri secara sukarela;

b. Pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah

tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya.

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan

perundang-undangan telah merupakan tindak pidana

tersendiri, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan untuk

tindak pidana tersebut.

- Pasal 19

Percobaan melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan

pidana denda Kategori I, tidak dipidana.

- Pasal 20

Page 21: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

21

Dalam hal tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak

pidana disebabkan ketidakmampuan alat yang digunakan atau

ketidakmampuanobjek yang dituju, maka pembuat tetap dianggap

telah melakukan percobaan tindak pidana dengan ancaman

pidana tidak lebih dari 1/2 ( satu perdua ) maksimum pidana

yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju.

b. Penyertaan

- Pasal 21

Dipidana sebagai pembuat tindak pidana, setiap orang yang:

a. melakukan sendiri tindak pidana;

b. melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat atau

menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan;

c. turut serta melakukan ; atau

d. memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan

kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman

kekerasan, atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan,

saran, atau keterangan, memancing orang lain supaya

melakukan tindak pidana.

- Pasal 22

(1) Dipidana sebagai pembantu tindak pidana, setiap orang yang:

a. memberi kesempatan, sarana, atau keterangan utnuk

melakukan tindak pidana; atau

b. memberi bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan.

(2) Pembantu tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diancam dengan ancaman pidana maksimum tindak

pidana yang dibantu dikurang 1/3 (satu pertiga)

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku

untuk pembantuan terhadap tindak pidana yang diancam

dengan pidana denda Kategori I.

Page 22: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

22

- Pasal 23

Keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangi,

atau memberatkan pidana hanya diberlakukan terhadap pembuat

atau pembantu tindak pidana yang bersangkutan.

c. Perbarengan ( Concursus )

- Pasal 137

(1) Jika suatu perbuatan memenuhi lebih dari satu ketentuan

pidana yang diancam dengan ancaman pidana yang sama

maka hanya dijatuhkan satu pidana

(2) Jika suatu perbuatan diatur dalam aturan pidana umumdan

aturan pidana khusus maka hanya dikenakan aturan pidana

khusus

- Pasal 138

(1) Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang saling

berhubungan sehingga dipandang sebagai perbuatan

berlanjut dan diancam denga ancaman pidana yang sama

maka hanya dijatuhkan satu pidana.

(2) Jika tindak pidana perbarengan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) diancam dengan pidana yang berbeda maka hanya

dijatuhkan pidana pokok yang terberat.

(3) Ketentuan mengenai penjatuhan pidana sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tindak pidana

memalsu atau merusak mata uang dan menggunkan uang

palsu atau uang yang dirusak tersebut.

- Pasal 139

(1) Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang harus

dipandang sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri dan

diancam dengan pidana pokok yang sejenis maka hanya

dijatuhkan satu pidana

Page 23: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

23

(2) Maksimum pidana untuk tindak pidana perbarengan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah

maksimum pidana yang diancamkan pada tindak pidana

tersebut tetapi tidak melebihi maksimum pidana yang terberat

ditambah 1/3 (satu per tiga)

- Pasal 140

(1) Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang harus

dipandang sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri dan

diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis maka

pidana dijatuhkan adalah semua jenis pidana untuk masing-

masing tindak pidana, tetapi tidak melebihi maksimum pidana

yang terberat ditambah 1/3 (satu per tiga).

(2)Perhitungan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

didasarkan pada lamanya maksimum pidana penjara

pengganti pidana denda.

(3) jika tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana

minimum maka minimum pidana untuk perbarengan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah pidana

minimum khusus untuk masing-masing tindak pidana, tetapi

tidak melebihi pidana minimum khusus terberat ditambah 1/3

(satu per tiga)

- Pasal 144

Jika seseorang setelah dijatuhi pidana dan dinyatakan bersalah

lagi melakukan tindak pidana lain sebelum putusan pidana itu

dijatuhkan maka pidana yang terdahulu diperhitungkan terhadap

pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan

perbarengan dalam Bab ini seperti apabila tindak pidana itu diadili

secara bersamaan.

=====000=====

Page 24: Makalah Perbarengan Tindak Pidana

24

Daftar Pustaka

- Barda Nawaw Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana Lanjut, Badan Penyediaan Bahan

Kuliah, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, cet. ke-2 tahun

2010.

- Moeljatno, Hukum Pidana Delik-Delik Percobaan, Delik-Delik Penyertaan, Bina

Aksara, 1983.

- ______, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

- RUU KUHP tahun 2012.