Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

81

Transcript of Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

Page 1: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi
Page 2: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya, kami

dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Mitigasi Bencana (TG 5124) yang berjudul

“PERBANDINGAN MITIGASI BENCANA GEMPA BUMI DI BENUA EROPA, ASIA,

DAN AMERIKA (Studi Kasus : Prancis, Jepang, dan Equador). Tugas ini merupakan

salah satu bentuk usaha kami untuk dapat lebih memahami mengenai substansi

mata kuliah tersebut agar dapat kami aplikasikan di kemudian hari. Tugas tersebut

tentu dapat kami selesaikan dengan adanya bantuan dan dukungan dari berbagai

pihak, oleh karena itu kami bermaksud untuk mengucapkan apresiasi sebesar-

besarnya kepada :

a) Allah SWT.

b) Bapak Dr. A. Nanang T. Puspito, selaku dosen mata kuliah Mitigasi Bencana

yang selama satu semester ini telah banyak memberikan wawasan serta

pada akhirnya memberikan penugasan ini yang semakin membuat kami

memahami substansi dari mata kuliah tersebut.

c) Kedua orang tua kami, yang telah memungkinkan kami menempuh

pendidikan di ITB serta berbagai dukungan, baik materi maupun non materi.

d) Seluruh peserta mata kuliah Mitigasi Bencana, yang telah memerhatikan dan

memberikan masukan pada saat presentasi topik makalah kami ini

disampaikan.

e) Berbagai pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

Besar harapan kami bahwa hasil makalah yang kami tulis ini dapat memberikan

tambahan wawasan bagi siapapun yang membacanya sehingga dapat bersama-

sama dengan kami mengkritisi kondisi negara kita (Indonesia) dalam meningkatkan

kapasitasnya dalam menghadapi potensi bencana gempa bumi. Namun demikian,

kami juga sebelumnya ingin memohon maaf apabila di dalam makalah ini terdapat

kesalahan maupun kekurangan. Selamat membaca!

Bandung, 4 Januari, 2009

Penyusun

Page 3: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

ii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………………

Daftar Isi…………………………………………………………………………

Daftar Tabel…………………………………………………………………….

Daftar Gambar………………………………………………………………….

Abstrak……………………………………………………………………….....

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang………………………………………………………….....

1.2 Tujuan dan Sasaran………………………………………………………

1.3 Ruang Lingkup…………………………………………………………….

1.4 Metodologi Studi…………………………………………………………..

1.5 Sistematika Penulisan…………………………………………………….

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum mengenai Bencana Alam, Gempa Bumi, dan

Manajemen Bencana……………………………………………………..

2.2 Tinjauan Umum mengenai Mitigasi Gempa Bumi……………………...

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Mitigasi Gempa Bumi di Kota Nice, Prancis…………………………….

3.1.1 Gambaran Umum Wilayah……………………………………......

3.1.2 Teknik Mitigasi Bencana di Kota Nice, Prancis…………………

3.2 Mitigasi Gempa Bumi di Kota Kobe, Jepang……………………………

3.2.1 Mitigasi Bencana di Jepang Secara Umum……………………..

3.2.2 Gambaran Umum Kota Kobe……………………………………..

3.2.3 Mitigasi Bencana di Kobe………………………………………….

3.2.4 Kesiapan Setiap Level Pemerintahan dalam Menghadapi

Bencana di Kota Kobe……………………………………………..

3.2.5 Implementasi Konsep Safety Oriented City……………………..

3.2.6 Manajemen Bencana Kota Kobe…………………………………

Hlm

i

ii

iv

v

vi

I – 1

I – 2

I – 3

I – 4

I – 6

II – 1

II – 6

III – 1

III – 1

III – 5

III – 13

III – 13

III – 15

III – 17

III – 18

III – 20

III – 24

Page 4: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

iii

3.2.7 Riset Mengenai Gempa Bumi di Jepang………………………...

3.3 Mitigasi Gempa Bumi di Kota Quito, Equador………………………….

3.3.1 Gambaran Umum Wilayah Kota Quito…………………………...

3.3.2 Kebijakan Pengelolaan Bencana (The Quito Earthquake Risk

Management)……………………………………………………….

3.3.3 Analisis Resiko Gempa Bumi Kota Quito di Masa yang Akan

Datang……………………………………………………………….

3.3.4 Teknis Mitigasi Bencana Struktural di Kota Quito………………

3.3.5 Teknis Mitigasi Bencana Non Struktural di Kota Quito…………

3.3.6 Riset Ilmu Kebencanaan dan Teknologi di Kota Quito…………

BAB IV KESIMPULAN

4.1 Apresiasi dan Kritik

4.1.1 Apresiasi dan Kritik Mitigasi Bencana di Kota Nice, Prancis…..

4.1.2 Apresiasi dan Kritik Mitigasi Bencana di Kota Kobe, Jepang….

4.1.3 Apresiasi dan Kritik Mitigasi Bencana di Kota Quito, Equador..

4.2 Relevansi Studi untuk Mitigasi Gempa Bumi di Indonesia……………

4.2.1 Relevansi Studi dari Mitigasi Bencana Kota Nice, Prancis…….

4.2.2 Relevansi Studi dari Mitigasi Bencana Kota Kobe, Jepang……

4.2.3 Relevansi Studi dari Mitigasi Bencana Kota Quito, Equador….

DAFTAR PUSTAKA

III – 25

III – 29

III – 29

III – 35

III – 37

III – 43

III – 44

III – 46

IV – 1

IV – 1

IV – 2

IV – 3

IV – 7

IV – 7

IV – 7

IV – 7

Page 5: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Scala Intensitas gempa MMI

Tabel 3.1 Sejarah Kejadian Gempa di Kota Nice, Prancis tahun 1300 –

1900

Tabel 4.1 Matriks Perbandingan Mitigasi Bencana di Prancis, Jepang,

dan Equador

Hlm

II – 3

III – 4

IV – 4

Page 6: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta Lokasi Negara/Kota Kasus

Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran Studi

Gambar 2.1 Gambar Siklus Manajemen Bencana

Gambar 2.2 Tujuh Langkah Perencanaan Mitigasi Bencana

Gambar 3.1 Peta Prancis

Gambar 3.2 Peta Kawasan Perkotaan Nice

Gambar 3.3 Kota Kobe

Gambar 3.4 Gempa di Kobe

Gambar 3.5 Segitiga Kehidupan

Gambar 3.6 Peta Lokasi Quito

Gambar 3.7 Grafik Pertumbuhan Penduduk Kota Quito

Gambar 3.8 Peta Kerentanan Infrastruktur Listrik, Jalan, dan Air Bersih

di Kota Quito

Gambar 3.9 Foto Marsical Sucre International Airport

Gambar 3.10 Peta Lokasi Kemungkinan Gempa Bumi di Kota Quito

Gambar 3.11 Perbandingan Intesitas Gempa di Setiap Zona Kota Quito

Akibat Ketiga Jenis Gempa Bumi

Gambar 3.12 Peta Sebaran Jenis Kelompok Bangunan di Kota Quito

Gambar 3.13 Peta Sebaran Kerusakan Bangunan akibat Gempa Lokal

Hlm

I – 4

I – 5

II – 5

II – 11

III – 1

III – 2

III – 16

III – 17

III – 26

III – 30

III – 30

III – 33

III – 34

III – 38

III – 40

III – 41

III – 42

Page 7: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

vi

ABSTRAK

Bencana alam merupakan suatu interaksi antara kejadian/fenomena alam yang

membahayakan (hazard) dengan kerentanan (vulnerability) serta kapasitas

(capacity) masyarakat di lokasi kejadian. Paradigma pengelolaan bencana dari waktu

ke waktu semakin menyadari bahwa pengelolaan bukan hanya pada saat pasca

kejadian, melainkan pengelolaan sebelum kejadian dalam bentuk meminimasi resiko

kejadian serta dampak kerusakan (mitigasi). Gempa bumi sebagai salah satu jenis

bencana alam memiliki karakteristik yang sangat tidak diduga dan belum dapat

diprediksi kapan dan dimana kejadian berikutnya akan terjadi. Hal ini bahkan telah

membuat beberapa kalangan seismolog menyatakan bahwa ilmu kegempaan pun

telah mulai mengakui kerumitan gempa yang luar biasa (Jackson, 2006). Dengan

demikian mitigasi bencana alam gempa bumi sangat patut dilaksanakan di berbagai

negara serta kota yang memiliki ancaman bencana tersebut.

Bentuk-bentuk mitigasi bencana alam gempa bumi pada akhirnya diterapkan sesuai

dengan karakteristik potensi gempa, kerentanan, serta kapasitas masing-masing

lokasi. Teori Lempeng sebagai salah satu teori terbaru mengenai penyebab gempa

bumi dan pencanangan Dekade 90’an sebagai Dekade Pengurangan Resiko

Bencana oleh PBB, sangat mendorong berbagai dialektika dan kerjasama

internasional dalam mengurangi resiko bencana gempa bumi. Pembelajaran teknis

mitigasi gempa bumi antar suatu kota maupun antar negara merupakan salah satu

langkah yang cukup efisien dalam menyiapkan mitigasi bencana gempa bumi.

Kata kunci : Bencana alam, gempa bumi, mitigasi bencana

Page 8: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

I-1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bencana alam merupakan suatu kejadian yang tidak akan pernah dapat dilepaskan

dengan kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat. Telah cukup

banyak riwayat kejadian bencana alam yang terekam dan dari informasi tersebut kita

dapat melihat bahwa dimanapun dan kapanpun sebenarnya terdapat potensi akan

suatu bencana alam. UU 24/2007 mengenai Penanggulangan Bencana

mendefinisikan terminilogi “bencana alam” sebagai “bencana yang diakibatkan oleh

peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa

gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah

longsor”. Pada dasarnya pada keadaan tertentu kejadian/fenomena alam merupakan

satu proses alamiah di muka bumi, dikatakan bencana ketika menimbulkan kerugian.

Bencana merupakan interaksi dari bahaya alam yang umumnya terjadi dari kejadian

alam yang tidak terduga dan tiba-tiba dengan keadaan rentan (vulnerable conditions)

yang berakibat pada kerusakan/kerugian terhadap manusia dan lingkungannya (El-

Masri dan Tipple dalam Awotona, 1997:3).

Tulisan ini membahas lebih mendalam mengenai bencana alam gempa bumi.

Gempa bumi merupakan pergerakan bumi secara mendadak yang disebabkan oleh

pelepasan kekuatan yang terakumulasi lama. Berdasarkan penyebabnya gempa

dikelompokkan menjadi gempa tektonik dan gempa vulkanik. Teori Lempeng

Tektonik menjelaskan bumi terdiri atas lempengan-lempengan yang terus bergerak.

Pergerakan lempeng dapat berupa pemisahan, tabrakan, maupun gesekan; akibat

gerakan tersebut menimbulkan tekanan yang dalam tingkatan tertentu akan

melepaskan energi tertahan yang memecahkan batuan dan menciptakan retakan

(sesar). Pelepasan energi secara mendadak akan menimbulkan getaran (kemudian

merambat menjadi gelombang) yang mengguncangkan tanah, secara teoritis

rangkaian tersebutlah yang disebut dengan gempa bumi. Adapun pada kasus gempa

vulkanik, pelepasan energi ditimbulkan oleh getaran yang dihasilkan oleh aktivitas

vulkanik gunung api.

Page 9: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

I-2

Bencana gempa bumi sampai dengan saat ini merupakan salah satu bencana yang

paling sulit untuk dicegah. Masalah yang pokok terkait gempa ialah ia enggan

muncul dalam patokan waktu manusia (Achenbach, 2006). Kejadian gempa San

Fransisco (1906) merupakan pemicu tumbuh berkembangnya ilmu kegempaan;

namun demikian sampai dengan saat ini manusia belum dapat mencapai tahapan

mampu memprediksi kapan dan dimana akan terjadi gempa. Ilmu kegempaan pun

telah mulai mengakui kerumitan gempa yang luar biasa (Jackson, 2006).

Karakteristik dan perkembangan ilmu kegempaan modern yang masih tergolong

muda menyebabkan tindakan pencegahan terhadap gempa hampir mustahil, bahkan

di antara seismolog pun masih memperdebatkan apakah gempa bumi benar-benar

diprediksi atau tidak. Pada akhirnya dekade 90’an dicanangkan sebagai dekade

pengurangan resiko bencana (United Nation-International Strategy for Disaster

Reduction). Dalam hal ini sangat ditekankan pula pada usaha mitigasi bencana

(pengurangan resiko) gempa bumi di seluruh dunia.

Dalam pencatatan riwayat kegempaan, terlihat bahwa seluruh benua rentan atas

terjadinya gempa bumi. Hal ini sangat mendorong kerjasama di tingkat lokal sampai

dengan internasional untuk mengurangi resiko bencana gempa bumi di berbagai

negara. Penerbitan Resolusi PBB No.63/1999, Hyogo Framework for Action, serta

Beijing Action merupakan sedikit dari sekian banyak usaha pengurangan resiko ini.

Pada akhirnya kerjasama antar negara serta aspek pembelajaran antar negara

dalam hal mitigasi bencana gempa bumi menjadi sangat penting.

1.2 Tujuan dan Sasaran

Makalah ini memiliki tujuan studi untuk “Menemukenali perbandingan kegiatan

mitigasi bencana alam gempa bumi di Prancis, Jepang, dan Equador serta

memberikan tinjauan kritis terhadapnya bagi relevansi kegiatan serupa di Indonesia”.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka terdapat sasaran studi sebagai berikut :

a. Memberikan gambaran umum mengenai bencana gempa bumi dan mitigasi

bencana gempa bumi.

b. Memberikan gambaran umum kegiatan mitigasi bencana di Prancis, Jepang, dan

Equador

Page 10: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

I-3

c. Menemukenali perbandingan antar kegiatan mitigasi di Prancis, Jepang, dan

Equador

d. Memberikan tinjauan kritis atas hasil temuan dan relevansi bagi kegiatan mitigasi

bencana bumi di Indonesia

1.3 Ruang Lingkup

Batasan studi pada makalah ini didefinisikan melalui penentuan ruang lingkup

wilayah serta ruang lingkup materi yang dibahas. Ruang lingkup wilayah dibatasi

dengan pemilihan studi kasus mitigasi bencana gempa bumi pada satu negara di

setiap benua Amerika, Asia, dan Eropa. Berikut ialah negara-negara yang menjadi

contoh kasus untuk mewakili benua masing-masing :

1) Negara Prancis, mewakili Benua Eropa. Secara spesifik akan

memperlihatkan mitigasi bencana gempa bumi di Kota Nice; terletak pada

pertemuan Lempeng Eurasia dan Lempeng Afrika.

2) Negara Jepang, mewakili Benua Asia. Secara spesifik akan memperlihatkan

mitigasi bencana gempa bumi di Kota Kobe; terletak pada pertemuan

Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Filipina.

3) Negara Equador, mewakili Benua Amerika. Secara spesifik akan

memperlihatkan mitigasi bencana gempa bumi di Kota Quito; terletak pada

pertemuan Lempeng Nazca dan Lempeng Amerika Selatan.

Dari aspek materi, maka lingkup bahasan akan difokuskan pada bencana alam

gempa bumi (sebagai salah satu jenis bencana alam). Sebagai bencana alam, maka

gempa bumi pada setiap kasus tetap akan dibedah dari sisi potensi bahaya (hazard),

kerentanan (vulnerability), dan kapasitas (capacity). Adapun bahasan mengenai

manajemen/pengelolaan bencana akan dijelaskan secara umum, dengan bahasa

spesifik pada tingkatan mitigasi (pengurangan resiko bencana). Bahasan mitigasi

bencana pada setiap kasus akan didefinisikan dari sudut pandang teknis dan non

teknis; jenis mitigasi struktural maupun non struktural; serta dari aspek riset ilmu

pengetahuan dan teknologi.

Page 11: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

Gambar 1.1 Peta Lokasi Negara/Kota Kasus

1.4 Metodologi Studi

Metodologi studi yang dilakukan dalam studi ini ialah metodologi penelitian kualitatif

dengan fokus pada beberapa aspek mitigasi bencana yang diperhatikan; yakni aspek

teknis/non-teknis, jenis mitigasi struktural/non struktural, serta perkembangan riset

dan teknologi. Sebagai pendahuluan akan digambarkan untuk setiap

potensi bahaya gempa bumi (

(capacity).

Kegiatan studi didominasi melalui

materi, gambaran umum

implementasi teknis mitigasi bencana di setiap

demikian pada dasarnya pengumpulan data/informasi dilakukan melalui su

sekunder memanfaatkan berbagai publikasi baik secara cetak maupun digital.

Gambar 1.1 Peta Lokasi Negara/Kota Kasus

Metodologi studi yang dilakukan dalam studi ini ialah metodologi penelitian kualitatif

dengan fokus pada beberapa aspek mitigasi bencana yang diperhatikan; yakni aspek

teknis, jenis mitigasi struktural/non struktural, serta perkembangan riset

n teknologi. Sebagai pendahuluan akan digambarkan untuk setiap

potensi bahaya gempa bumi (hazard), kerentanan (vulnerability

Kegiatan studi didominasi melalui Desk Study terhadap kajian teoritis terkait lingkup

gambaran umum wilayah negara/kota sample, hasil riset, kebijakan, serta

implementasi teknis mitigasi bencana di setiap negara/kota

demikian pada dasarnya pengumpulan data/informasi dilakukan melalui su

sekunder memanfaatkan berbagai publikasi baik secara cetak maupun digital.

I-4

Metodologi studi yang dilakukan dalam studi ini ialah metodologi penelitian kualitatif

dengan fokus pada beberapa aspek mitigasi bencana yang diperhatikan; yakni aspek

teknis, jenis mitigasi struktural/non struktural, serta perkembangan riset

n teknologi. Sebagai pendahuluan akan digambarkan untuk setiap sample kasus

vulnerability), dan kapasitas

kajian teoritis terkait lingkup

, hasil riset, kebijakan, serta

negara/kota sample. Dengan

demikian pada dasarnya pengumpulan data/informasi dilakukan melalui survey

sekunder memanfaatkan berbagai publikasi baik secara cetak maupun digital.

Page 12: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

I-5

Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran Studi

Page 13: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

I-6

1.5 Sistematika Penulisan

Berikut ialah sistematika penulisan makalah serta gambaran umum bahasan pada

setiap bab :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi uraian latar belakang dilakukannya studi, tujuan dan sasaran studi,

ruang lingkup serta metodologi studi, dan ditutup dengan uraian sistematika

penulisan hasil studi. Melalui bab ini maka dapat dilihat gambaran umum studi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi uraian singkat dari hasil studi literatur terhadap berbagai teori dan

pustaka mengenai lingkup materi yang dibahas dalam studi. Dalam hal ini akan

diuraikan mengenai bencana alam, gempa bumi, manajemen/pengelolaan bencana,

dan mitigasi bencana. Uraian pada bab ini merupakan landasan dalam membahas

serta memberikan tinjauan kritis atas berbagai aspek mitigasi di Negara/Kota kasus.

BAB III PEMBAHASAN

Bab ini berisi uraian atas temuan pada berbagai aspek dalam mitigasi bencana

gempa bumi di Negara/Kota kasus. Bab ini dibagi berdasarkan masing-masing

kasus, serta pada setiap kasus dibahas menurut aspek yang telah ditentukan

sebelumnya. Temuan pada bab ini merupakan dasar dalam menyimpulkan tujuan

studi.

BAB IV PENUTUP

Bab ini merupakan bagian penutup studi yang berisi atas kesimpulan berupa

apresiasi serta kritik terhadap temuan mitigasi bencana gempa bumi di setiap

Negara/Kota kasus yang kemudian saling dibandingkan di dalam suatu matriks.

Uraian tersebut kemudian dikritisi serta diberikan relevansinya terhadap kegiatan

mitigasi bencana gempa bumi di Indonesia.

Page 14: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

II-1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum mengenai Bencana Alam, Gempa Bumi, dan Manajemen

Bencana

Gempa bumi adalah gejala alam,berupa sentakan alamiah yang terjadi di bumi, yang

bersumber di dalam bumi dan merambat ke permukaan. Gempa adalah salah satu

bencana alam yang dapat diramalkan. Ada tiga kelompok pembagian gempa bumi

yang lazim kita kenal. Pertama gempa tektonik, yaitu yang berkaitan erat dengan

pembentukan patahan (fault), sebagai akibat langsung dari tumbukan antar lempeng

pembentuk kulit bumi. Gempa ini merupakan gempa yang umumnya berkekuatan

lebih dari 5 skala Richter. Gempa vulkanik, yaitu gempa berkaitan dengan aktivitas

gunung api. Gempa ini merupakan gempa mikro sampai menengah, gempa ini

umumnya berkekuatan kurang dari 4 skala Richter. Ketiga, terban yang muncul

akibat longsoran / terban dan merupakan gempa kecil. Kekuatan gempa mungkin

sangat kecil sehingga yang muncul tidak terasa, berupa tremor dan hanya terdeteksi

oleh seismograf.

Secara umum, gempa bumi merupakan gerakan tiba-tiba yang akibat pelepasan

yang terakumulasi akibat tumbukan lempeng / kulit bumi, pergeseran sesar, aktivitas

gunung api atau yang lain. Titik pelepasan sebagai sumber energi,melepaskan

energi membentuk gelombang ke segala arah, termasuk ke permukaan. Teori yang

dapat digunakan sebagai pendekatan untuk mengetahui penyebab kejadian gempa

tektinik adalah menerapkan Teori bingkas Elastik (Elastic Rebound Theory) dan

Teori Tektonik Lempeng (Plate Tectonic Theory). Teori Bingkas Elastik menjelaskan

proses pelepasan energi dalam bentuk getaran. Pada Teori Bingkas Elastik,fase

pertama dimulai dari bekerjanya gaya dari dua arah mulai bekerja terjasi penahanan

oleh kohesi maupun adhesi batuan (bahan). Fase kedua terjadi sampai pelenturan

maksimal dan terjadi akumulasi pada batas batuan. Fase ketiga, terjadi patahan

pada daya tahan batuan mencapai maksimal namun gaya yang masih berlangsung.

Fase ketiga segera diikuti fase keempat berupa fase pelepasan energi. Pada fase

terakhir batuan yang melengkung kembali ke posisi semula dengan oleh pelepasan

energi gelombang ke segala arah, dalam gelombang tranversal maupun gelombang

longitudinal.

Page 15: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

II-2

Teori Tektonik Lempeng diterapkan untuk menjelaskan gaya tektonik regional yang

bekerja disuatu kawasan. Untuk Indonesia, tektonik regionalnya sangat dipengaruhi

oleh keberadaan Lempeng Hindia-Australia di sebelah Selatan, Lempeng di sebelah

Utara Barat, Lempeng Filipina di sebelah timur, serta Lempeng Pasific disebelah

timur, yang masing-masing bergerak mendekat dengan kecepatan 8 km / tahun

samapai 12 km / tahun.

Pada peristiwa gempa, biasanya diikuti dengan gempa susulan yang muncul.

Menurut K. Mogi, ahli Seismologi jepang akan menyertai gempa utama. Umumnya

tidak akan lebih dari gempa utama namun terjadi berulang-ulang. Pusat gempa

susulan dapat berada disekitar maupun jauh dari gempa utama. Pada kasus-kasus

tertentu gempa susulan akan relative lebih besar dengan gempa utama. Hal ini

terajadi jika gempa utama justru berfungsi sebagai pemicu munculnya gempa ikutan.

Gempa ikutan tersebut mungkin muncul kuat jika kawasan yang telah mengalami

akumulasi energi maksimal.

Kekuatan gempa

Untuk mengetahui kekuatan gempa dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu

dengan mengukur energi yang dilepaskan dan mengukur akibat yang ditimbulkan

oleh gempa tersebut.

Pengenalan kekuatan cara pertama gempa bersifat kuantitatif,dilakukan pengukuran

dengan skala Richter yang umumnya dikenal sebagai pengukuran magnetudo

gempa bumi. Magnetudo gempa bumi adalah ukuran mutlak yang dikeluarkan oleh

pudat gempa. Pendapat ini pertama kali dikemukakan oleh Richter, dengan

amplitude antara 0 sampai 9. Selama ini gempa terbesar tercatat sebesar 8,9 skala

Richter terjasi di Columbia tahun 1906

Pengenalan kekuatan cara kedua bersifat kualitatif, melihat besarnya kerusakan

yang diakibatkan oleh gempa. Kerusakan tersebut dapat dikatakan sebagai

intensitas gempa bumi. Pada kerusakan yang sama dapat ditarik dalam satu

kesamaan kerusakan sebagai satu isoseisme. Selanjutnya, daerah-daerah memiliki

kesamaan kerusakan dipetakan dan buat peta isoseisme. Suatu peta isoseisme

selalu terdiri oleh garis-garis yang tertutup (kontur). Bagian pusat dari garis-garis

Page 16: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

II-3

melingkar disebut episentrum gempa bumi. Intensitas ini merupakan akibat

maksimun, karena kerusakan yang diderita merupakan kerusakan maksimum.

Tentunya intensitas maksimum ini tergantung dari besarnya energi yang dilepas oleh

gempa bumi.

Intensitas gempa nampaknya lebih penting bagi manusia menyangkut rusaknya

bentukanbentukan fisik yang dibuat oleh manusia. Di Indonesia digunakan skala

intensitas MMI (Modified Mercarlli Intensity) versi tahun 1931. Di bawah ini

merupakan perbandingan intensitas skala MMI dari nilai 1 hingga 12.

Tabel 1.1 Skala Intensitas gempa MMI

Skala MMI Deskripsi

1 Dapat dirasakan oleh beberapa orang saja.

2 Dapat dirasakan oleh berapa orang. Benda-benda yang digantung

dapat bergerak.

3 Dirasakan lebih keras. Kendaraan atau benda lain yang berhenti

dapat bergerak.

4 Dirasakan lebih keras baik didalam bangunan atau diluar. Jendela

dan pintu mulai bergetar.

5 Dirasakan hamper oleh semua orang. Pigura di dinding mulai

berjatuhanjendela kaca pecah.

6 Dirasakan oleh semua orang. Orang mulai ketakutan. Kerusakan

mulai nampak.

7 Setiap orang mulai lari ke luar. Bisa dirasakan di dalam kendaraan

yang bergerak.

8 Sudah membahayakan bagi setiap orang. Bangunan lunak mulai

runtuh.

9 Mulai dengan kepanikan. Sudah ada kerusakan yang berarti bagi

semua bangunan.

10 Kepanikan lebih hebat.hanya gedung-gedung kuat dapat bertahan

Terjadi arah longsor dan rekahan.

11 Lebih panih lagi. Hanya beberapa bangunan bertahan.Jembatan

rusak.

Page 17: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

II-4

12 Kerusakan total. Gelombang terlihat ditanah. Benda-benda

berterbangan.

Sumber : Makalah Modul Manajemen Bencana Seputar Beberapa Bencana di Indonesia

Manajemen Bencana

Banyaknya peristiwa bencana yang terjadi dan menimbulkan korban jiwa serta

kerugian harta benda yang besar baik di Jawa Barat maupun di Indonesia, telah

membuka mata kita bersama bahwa manajemen bencana di negara kita masih

sangat jauh dari yang kita harapkan. Selama ini, manajemen bencana dianggap

bukan prioritas dan hanya datang sewaktu-waktu saja, padahal kita hidup di wilayah

yang rawan terhadap ancaman bencana. Oleh karena itu pemahaman tentang

manajemen bencana perlu dimengerti dan dikuasai oleh seluruh kalangan, baik

pemerintah, masyarakat, maupun swasta.

Manajemen bencana merupakan seluruh kegiatan yang meliputi aspek perencanaan

dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana

yang dikenal sebagai Siklus Manajemen Bencana (seperti terlihat dalam Gambar

Siklus Manajemen Bencana), yang bertujuan untuk (1) mencegah kehilangan jiwa;

(2) mengurangi penderitaan manusia; (3) memberi informasi masyarakat dan pihak

berwenang mengenai risiko, serta (4) mengurangi kerusakan infrastruktur utama,

harta benda dan kehilangan sumber ekonomis.

Secara umum kegiatan manajemen bencana dapat dibagi dalam kedalam tiga

kegiatan utama, yaitu:

1. Kegiatan pra bencana yang mencakup kegiatan pencegahan, mitigasi,

kesiapsiagaan, serta peringatan dini;

2. Kegiatan saat terjadi bencana yang mencakup kegiatan tanggap darurat untuk

meringankan penderitaan sementara, seperti kegiatan search and rescue

(SAR), bantuan darurat dan pengungsian;

3. Kegiatan pasca bencana yang mencakup kegiatan pemulihan, rehabilitasi, dan

rekonstruksi.

Page 18: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

Sumber : Makalah Manajemen dan Mitigasi Bencana, Ir. Agus Rachmat

Kegiatan pada tahap pra bencana ini selama ini banyak dilupakan, padahal justru

kegiatan pada tahap pra bencana ini

dipersiapkan pada tahap ini merupakan modal dalam menghadapi bencana dan

pasca bencana. Sedikit sekali pemerintah bersama masyarakat maupun swasta

memikirkan tentang langkah

dilakukan didalam menghadapi bencana atau bagaimana memperkecil dampak

bencana.

Kegiatan saat terjadi bencana yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana,

untukmenanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan

korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian, akan mendapatkan perhatian

penuh baik dari pemerintah bersama swasta maupun masyarakatnya. Pada saat

terjadinya bencana biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian dan

mengulurkan tangan memberikan bantuan tenaga, m

Banyaknya bantuan yang datang sebenarnya merupakan sebuah keuntungan yang

harus dikelola dengan baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat

sasaran, tepat manfaat, dan terjadi efisiensi.

Gambar 2.1

Gambar Siklus Manajemen Bencana

Sumber : Makalah Manajemen dan Mitigasi Bencana, Ir. Agus Rachmat

Kegiatan pada tahap pra bencana ini selama ini banyak dilupakan, padahal justru

kegiatan pada tahap pra bencana ini sangatlah penting karena apa yang sudah

dipersiapkan pada tahap ini merupakan modal dalam menghadapi bencana dan

pasca bencana. Sedikit sekali pemerintah bersama masyarakat maupun swasta

memikirkan tentang langkah-langkah atau kegiatan-kegiatan apa yang p

dilakukan didalam menghadapi bencana atau bagaimana memperkecil dampak

Kegiatan saat terjadi bencana yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana,

untukmenanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan

benda, evakuasi dan pengungsian, akan mendapatkan perhatian

penuh baik dari pemerintah bersama swasta maupun masyarakatnya. Pada saat

terjadinya bencana biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian dan

mengulurkan tangan memberikan bantuan tenaga, moril maupun material.

Banyaknya bantuan yang datang sebenarnya merupakan sebuah keuntungan yang

harus dikelola dengan baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat

sasaran, tepat manfaat, dan terjadi efisiensi.

II-5

Sumber : Makalah Manajemen dan Mitigasi Bencana, Ir. Agus Rachmat

Kegiatan pada tahap pra bencana ini selama ini banyak dilupakan, padahal justru

sangatlah penting karena apa yang sudah

dipersiapkan pada tahap ini merupakan modal dalam menghadapi bencana dan

pasca bencana. Sedikit sekali pemerintah bersama masyarakat maupun swasta

kegiatan apa yang perlu

dilakukan didalam menghadapi bencana atau bagaimana memperkecil dampak

Kegiatan saat terjadi bencana yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana,

untukmenanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan

benda, evakuasi dan pengungsian, akan mendapatkan perhatian

penuh baik dari pemerintah bersama swasta maupun masyarakatnya. Pada saat

terjadinya bencana biasanya begitu banyak pihak yang menaruh perhatian dan

oril maupun material.

Banyaknya bantuan yang datang sebenarnya merupakan sebuah keuntungan yang

harus dikelola dengan baik, agar setiap bantuan yang masuk dapat tepat guna, tepat

Page 19: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

II-6

Kegiatan pada tahap pasca bencana, terjadi proses perbaikan kondisi masyarakat

yang terkena bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada

keadaan semula. Pada tahap ini yang perlu diperhatikan adalah bahwa rehabilitasi

dan rekonstruksi yang akan dilaksanakan harus memenuhi kaidah-kaidah

kebencanaan serta tidak hanya melakukan rehabilitasi fisik saja, tetapi juga perlu

diperhatikan juga rehabilitasi psikis yang terjadi seperti ketakutan, trauma atau

depresi.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa titik lemah dalam Siklus Manajemen Bencana

adalah pada tahapan sebelum/pra bencana, sehingga hal inilah yang perlu diperbaiki

dan ditingkatkan untuk menghindari atau meminimalisasi dampak bencana yang

terjadi.

2.2 Tinjauan Umum mengenai Mitigasi Gempa Bumi

Mitigasi bencana adalah “serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik

melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan

menghadapi ancaman bencana” (UU 24/2007). Konsep mitigasi bencana merupakan

suatu usaha untuk mengubah paradigma penanggulangan bencana yang

sebelumnya lebih banyak menekankan diri pada tindakan pasca terjadinya bencana.

Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan istilah mitigasi

bencana yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan

oleh bencana. Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan

tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko dampak dari suatu bencana yang

dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan

pengurangan resiko jangka panjang.

Usaha untuk menyebarkan paradigma ini mulai banyak dilakukan sejak awal tahun

1900-an. Berbagai kegiatan dan penelitian menyangkut hal tersebut banyak

dilakukan oleh PBB maupun negara-negara lain. Salah satu siklus pengelolaan

bencana yang cukup komprehensif diperkenalkan oleh Carter (1991), terdiri atas :

Kejadian bencana (impact) Response Pemulihan (recovery) Pembangunan

(development) Pencegahan (preventioni) Mitigasi Kesiapan (preparedness)

Kejadian bencana (impact).

Page 20: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

II-7

Adapun di dalam siklus keseluruhan penanggulangan bencana di Indonesia, maka

kegiatan mitigasi bencana merupakan salah satu kegiatan pada tahap pra bencana.

Dalam tahap pra bencana, kegiatan-kegiatan penyelenggaran penanggulangan

bencana dilakukan baik dalam situasi tidak terjadi bencana maupun dalam situasi

terdapat potensi bencana. Berbagai kegiatan pada tahap pra bencana ketika

terdapat situasi tidak terjadi bencana dilakukan melalui : perencanaan

penanggulangan bencana, pengurangan resiko bencana, pencegahan, pemaduan

dalam perencanaan pembangunan, persyaratan analisis resiko bencana,

pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan pelatihan, dan

persyaratan standar teknis penanggulangan bencana. Adapun kegiatan-kegiatan

ketika terdapat situasi potensi terjadi bencana meliputi kegiatan kesigapan,

peringatan dini, dan mitigasi bencana.

Kegiatan mitigasi dilakukan untuk mengurangi resiko bencana bagi masyarakat yang

berada pada kawasan rawan bencana. Mitigasi bencana dilakukan dengan

pelaksanaan penataan ruang; pengaturan pembangunan, pembangunan

infrastruktur; dan penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik

secara konvensional maupun modern.

Secara umum, praktik mitigasi bencana dikelompokkan menjadi dua jenis; yakni

mitigasi struktural dan mitigasi non struktural. Mitigasi struktural berhubungan

dengan usaha-usaha pembangunan konstruksi fisik yang dapat mengurangi resiko

atas terjadinya bencana. Sementara mitigasi non struktural lebih kepada penyadaran

untuk menjaga lingkungan (seperti perencanaan guna lahan dan pemberlakukan

peraturan) dan peningkatan kemampuan mengahadapi bencana.

Upaya mitigasi struktural dapat dilakuka dengan memperkuat bangunan dan

infrastruktur yang berpotensi terkena bencana, seperti membuat kode bangunan,

desain rekayasa, dan konstruksi untuk menahan serta memperkokoh struktur

ataupun membangun struktur bangunan penahan longsor, penahan dinding pantai,

dan lain-lain.

Page 21: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

II-8

Untuk mitigasi juga dapat dilakukan dalam bentuk non struktural, diantaranya seperti

menghindari wilayah bencana dengan cara membangun menjauhi lokasi bencana

yang dapat diketahui melalui perencanaan tata ruang dan wilayah serta dengan

memberdayakan masyarakat dan pemerintah daerah.

Mitigasi Bencana yang Efektif

Mitigasi bencana yang efektif harus memiliki tiga unsur utama, yaitu penilaian

bahaya, peringatan dan persiapan.

1. Penilaian bahaya (hazard assestment); diperlukan untuk mengidentifikasi populasi

dan aset yang terancam, serta tingkat ancaman. Penilaian ini memerlukan

pengetahuan tentang karakteristik sumber bencana, probabilitas kejadian

bencana, serta data kejadian bencana di masa lalu. Tahapan ini menghasilkan

Peta Potensi Bencana yang sangat penting untuk merancang kedua unsur

mitigasi lainnya;

2. Peringatan (warning); diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat

tentang bencana yang akan mengancam (seperti bahaya tsunami yang

diakibatkan oleh gempa bumi, aliran lahar akibat letusan gunung berapi, dsb).

Sistem peringatan didasarkan pada data bencana yang terjadi sebagai peringatan

dini serta menggunakan berbagai saluran komunikasi untuk memberikan pesan

kepada pihak yang berwenang maupun masyarakat. Peringatan terhadap

bencana yang akan mengancam harus dapat dilakukan secara cepat, tepat dan

dipercaya.

3. Persiapan (preparedness). Kegiatan kategori ini tergantung kepada unsur mitigasi

sebelumnya (penilaian bahaya dan peringatan), yang membutuhkan pengetahuan

tentang daerah yang kemungkinan terkena bencana dan pengetahuan tentang

sistem peringatan untuk mengetahui kapan harus melakukan evakuasi dan kapan

saatnya kembali ketika situasi telah aman. Tingkat kepedulian masyarakat dan

pemerintah daerah dan pemahamannya sangat penting pada tahapan ini untuk

dapat menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengurangi dampak

akibat bencana. Selain itu jenis persiapan lainnya adalah perencanaan tata ruang

yang menempatkan lokasi fasilitas umum dan fasilitas sosial di luar zona bahaya

bencana (mitigasi non struktur), serta usaha-usaha keteknikan untuk membangun

struktur yang aman terhadap bencana dan melindungi struktur akan bencana

(mitigasi struktur).

Page 22: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

II-9

Mitigasi Bencana Berbasis Masyarakat

Penguatan kelembagaan, baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta merupakan

faktor kunci dalam upaya mitigasi bencana. Penguatan kelembagaan dalam bentuk

dalam kesiapsiagaan, sistem peringatan dini, tindakan gawat darurat, manajemen

barak dan evakuasi bencana bertujuan mewujudkan masyarakat yang berdaya

sehingga dapat meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana.

Perwujudan Masyarakat atau komunitas yang berdaya dalam menghadapi bencana

dapat diwujudkan melalui Siklus Pengurangan Risiko Berbasis

Masyarakat/Komunitas. Sementara itu upaya untuk memperkuat pemerintah daerah

dalam kegiatan sebelum/pra bencana dapat dilakukan melalui perkuatan

unit/lembaga yang telah ada dan pelatihan kepada aparatnya serta melakukan

koordinasi dengan lembaga antar daerah maupun dengan tingkat nasional,

mengingat bencana tidak mengenal wilayah administrasi, sehingga setiap

daerahnmemiliki rencana penanggulangan bencana yang potensial di wilayahnya.

Hal yang perlu dipersiapkan, diperhatikan dan dilakukan bersama-sama oleh

pemerintahan, swasta maupun masyarakat dalam mitigasi bencana, antara lain:

1. Kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan kebencanaan atau mendukung

usaha preventif kebencanaan seperti kebijakan tataguna tanah agar tidak

membangun di lokasi yang rawan bencana;

2. Kelembagaan pemerintah yang menangani kebencanaan, yang kegiatannya

mulai dari identifikasi daerah rawan bencana, penghitungan perkiraan dampak

yang ditimbulkan oleh bencana, perencanaan penanggulangan bencana,

hingga penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang sifatnya preventif

kebencanaan;

3. Indentifikasi lembaga-lembaga yang muncul dari inisiatif masyarakat yang

sifatnya menangani kebencanaan, agar dapat terwujud koordinasi kerja yang

baik;

4. Pelaksanaan program atau tindakan ril dari pemerintah yang merupakan

pelaksanaan dari kebijakan yang ada, yang bersifat preventif kebencanaan;

5. Meningkatkan pengetahuan pada masyarakat tentang ciri-ciri alam setempat

yang memberikan indikasi akan adanya ancaman bencana.

Page 23: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

II-10

Proses Menyiapkan Rencana Mitigasi Bencana

Mitigasi bencana harus memperhatikan semua tindakan yang diambil untuk

mengurangi pengaruh dari bencana dan kondisi yang peka dalam rangka untuk

mengurangi bencana yang lebih besar dikemudian hari. Oleh karena itu seluruh

aktivitas mitigasi difokuskan pada bencana itu sendiri atau bagian/elemen dari

ancaman. Beberapa hal untuk rencana mitigasi (mitigation plan) pada masa depan

dapat dilakukan sebagai berikut (Ilyas, Tommy : 2006):

1) Perencanaan lokasi (land management) dan pengaturan penempatan

penduduk

2) Memperkuat bangunan dan infrastruktur serta memperbaiki peraturan (code)

disain yang sesuai.

3) Melakukan usaha preventif dengan merealokasi aktiftas yang tinggi kedaerah

yang lebih aman dengan mengembangkan mikrozonasi

4) Melindungi dari kerusakan dengan melakukan upaya perbaikan lingkungan

dengan maksud menyerap energi dari gelombang Tsunami (misalnya dengan

melakukan penanaman mangrove sepanjang pantai)

5) Mensosialisasikan dan melakukan training yang intensif bagi penduduk

didaerah area yang rawan Tsunami

6) Membuat early warning sistem sepanjang daerah pantai/perkotaan yang

rawan Tsunami

Pada Gambar 2.2 disampaikan diagram dari mitigation planing proses (case study

dari Regional all hazard mitigation Master Plan for Benton, Lane and Liin county,

USA ) berupa 7 langkah yang perlu diantisipasi. Dimulai dari asesmen resiko

bencana sampai dengan penyediaan dana untuk pembangunannya. Mitigasi pada

langkah keempat dihentikan jika risk atau toleransi dapat diterima. Jika tidak rencana

dilanjutkan sampai langkah ketujuh yang merupakan prioritas dari mitigasi proyek

yang diperlukan yaitu menyediakan pendanaan untuk mewujudkan

Page 24: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

II-11

Gambar 2.2 Tujuh Langkah Perencanaan Mitigasi Bencana

Sumber : Regional All Hazard Mitigation Master Plan for Benton, Lane, and Liin County; USA

Page 25: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

3.1 Mitigasi Gempa Bumi di Kota Nice, Prancis

3.1.1Gambaran Umum Wilayah

Prancis merupakan negara yang terletak di bagian selatan Benua Eropa dan salah

satu negara yang berbatasan langsung dengan laut. Batas

adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara

Sebelah Selatan

Sebelah Barat

Sebelah Timur

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Mitigasi Gempa Bumi di Kota Nice, Prancis

Gambaran Umum Wilayah

Prancis merupakan negara yang terletak di bagian selatan Benua Eropa dan salah

satu negara yang berbatasan langsung dengan laut. Batas-batas negara Prancis

: Belgia dan Selat Inggris.

: Spanyol dan laut mediterania.

: Laut Atlantik.

: Italia, Switzerland, Jerman, dan Luxembourg.

Gambar 3.1Peta Prancis

Sumber : http://www.abdet.com/maps/map_france.gif

III-1

Prancis merupakan negara yang terletak di bagian selatan Benua Eropa dan salah

batas negara Prancis

: Spanyol dan laut mediterania.

: Italia, Switzerland, Jerman, dan Luxembourg.

http://www.abdet.com/maps/map_france.gif

Page 26: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

Prancis merupakan negara yang dilalui oleh pertemuan dua lempeng tektonik yaitu

lempeng eurasia dan lempeng afrika. Dengan kondisi tersebut, maka

dikatakan bahwa Prancis merupakan salah satu negara di Eropa dengan tingkat

kerawanan bencana gempa yang cukup tinggi.

Kota Nice pertama kali berkembang pada abad pertengahan selama masa

renaissance dan merupakan suatu permukiman yang mengelilingi p

yang berlokasi di dekat laut. Permukiman pertama di Kota Nice pertama kali

dibangun di bukit tersebut selama masa renaissance.

Mulai dari awal terbentuknya hingga sekitar tahun 1950, Nice berkembang sebagai

kota dengan aktivitas utama adal

sebagai pusatnya. Akan tetapi, pada akhirnya, karena Nice ternyata tidak mampu

untuk bersaing dengan kota pelabuhannya lainnya seperti Marseile dan Genoa yang

pada saat itu memiliki jumlah dan kualitas fasilita

utama di Kota Nice berganti menjadi kegiatan pariwisata. Saat ini, Kota Nice tidak

hanya berkembang sebagai salah satu tujuan wisata di Prancis, akan tetapi mulai

mengembangkan berbagai bisnis dan industri lain yang menduku

pariwisata yang ada.

Sumber :

Prancis merupakan negara yang dilalui oleh pertemuan dua lempeng tektonik yaitu

lempeng eurasia dan lempeng afrika. Dengan kondisi tersebut, maka

dikatakan bahwa Prancis merupakan salah satu negara di Eropa dengan tingkat

kerawanan bencana gempa yang cukup tinggi.

Kota Nice pertama kali berkembang pada abad pertengahan selama masa

renaissance dan merupakan suatu permukiman yang mengelilingi p

yang berlokasi di dekat laut. Permukiman pertama di Kota Nice pertama kali

dibangun di bukit tersebut selama masa renaissance.

Mulai dari awal terbentuknya hingga sekitar tahun 1950, Nice berkembang sebagai

kota dengan aktivitas utama adalah sebagai kawasan komersial dengan pelabuhan

sebagai pusatnya. Akan tetapi, pada akhirnya, karena Nice ternyata tidak mampu

untuk bersaing dengan kota pelabuhannya lainnya seperti Marseile dan Genoa yang

pada saat itu memiliki jumlah dan kualitas fasilitas yang lebih baik, maka kegiatan

utama di Kota Nice berganti menjadi kegiatan pariwisata. Saat ini, Kota Nice tidak

hanya berkembang sebagai salah satu tujuan wisata di Prancis, akan tetapi mulai

mengembangkan berbagai bisnis dan industri lain yang menduku

Gambar 3.2

Peta Kawasan Perkotaan Nice

Sumber : http://www.psi.edu/~obrien/Bike_Fr/Maps/MosaicMap.gif

III-2

Prancis merupakan negara yang dilalui oleh pertemuan dua lempeng tektonik yaitu

lempeng eurasia dan lempeng afrika. Dengan kondisi tersebut, maka dapat

dikatakan bahwa Prancis merupakan salah satu negara di Eropa dengan tingkat

Kota Nice pertama kali berkembang pada abad pertengahan selama masa

renaissance dan merupakan suatu permukiman yang mengelilingi perbukitan rocky

yang berlokasi di dekat laut. Permukiman pertama di Kota Nice pertama kali

Mulai dari awal terbentuknya hingga sekitar tahun 1950, Nice berkembang sebagai

ah sebagai kawasan komersial dengan pelabuhan

sebagai pusatnya. Akan tetapi, pada akhirnya, karena Nice ternyata tidak mampu

untuk bersaing dengan kota pelabuhannya lainnya seperti Marseile dan Genoa yang

s yang lebih baik, maka kegiatan

utama di Kota Nice berganti menjadi kegiatan pariwisata. Saat ini, Kota Nice tidak

hanya berkembang sebagai salah satu tujuan wisata di Prancis, akan tetapi mulai

mengembangkan berbagai bisnis dan industri lain yang mendukung kegiatan

http://www.psi.edu/~obrien/Bike_Fr/Maps/MosaicMap.gif

Page 27: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-3

Kota Nice merupakan kota dengan penduduk terbanyak ke-5 di Prancis dengan

jumlah penduduk mencapai 350.000 jiwa (16.000 jiwa pada abad 18 dan 136.000

pada tahun 1911). Akibat dari adanya kegiatan pariwisata, maka populasi di Kota

Nice selalu bertambah pada saat musim panas yang jumlah bisa mencapai dua kali

lipat dari penduduk aslinya. Luas total dari Kota Nice adalah 72 km2 dengan

kepadatan penduduknya sekitar 4.860 jiwa/ km2. Akan tetapi, Nice tidak hanya

berupa dataran rendah melainkan juga terdapat pegunungan dan perbukitan yang

melingkupi hingga sebagian kota sehingga telah diidentifikasikan kembali bahwa

kepadatan di kawasan pergunungan dan perbukitan adalah sebesar 200jiwa/km2

sedangkan di kawasan perkotaannya mencapai 29.800 jiwa/km2

Pertumbuhan penduduk Kota Nice masih terus bertambah tetapi relatif lambat.

Perbedaan antara dua sensus penduduk terakhir (1982 dan 1990) menunjukkan

hanya ada pertambahan penduduk sejumlah 11.000 jiwa. Pertumbuhan ini terutama

oleh adanya pendatang karena jika melihat perbandingan antara kelahiran dan

kematian, ternyata diperoleh data bahwa kelahiran masih lebih rendah dari kematian.

Kondisi Geologis

Pegunungan alpen bagian baran ini dapat dikatakan masih baru dan aktif yang

merupakan akibat dari pertemuan lempeng Eurasia dan Aftika. Memang lokasi pasti

perpotongan lempeng ini masih belum dapat diidentifikasikan dengan jelas serta

menurut sejarah gempa yang telah terjadi sebelumnya, kejadian-kejadian tersebut

menyebar di seluruh Kota Nice. Kondisi geologisnya terdiri dari bermacam-macam

pola, diantaranya thrust, strike-slip, dan normal faulting. Menurut prediksi dari

beberapa ahli, kemungkinan terjadinya gempa dengan karakteristik yang sejenis di

Kota Nice baru akan terjadi sekitar 1000 tahun setelah kejadian sebelumnya terjadi.

Page 28: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-4

Sejarah Gempa

Tabel 3.1

Sejarah Kejadian Gempa di Kota Nice, Prancis tahun 1300 - 1900

Tahun Intensitas (Skala MSK)

1348 IX

1494 IX

1517 VIII

1564 X

1612 VII

1618 VII

1618 VIII

1644 IX

1818 VII

1854 VIII

1887 IX

Sumber: Issues in Urban Earthquake Risk

Berdasarkan tabel 3.1, diketahui bahwa telah terjadi 11 gempa dengan skala lebih

dari VII MSK di Kota Nice dalam kurun waktu tahun 1300 hingga tahun 1900. Hal

tersebut memberikan gambaran bahwa Kota Nice juga merupakan Kota yang rawan

bencana meskipun tingkat periodesasinya cukup panjang. Berdasarkan tabel

tersebut diketahui bahwa untuk gempa dengan intensitas yang sama baru akan

terjadi setelah lebih dari satu abad. Gempa dengan intensitas tertinggi berlokasi di

bagian timur laut Kota Nice.

Infrastruktur Pencatat Gempa

Terdapat sebuah jaringan pengawas gempa yang terdiri dari 7 single-component

stasiun yang telah beroperasi dari tahun 1977 dan telah mencatat lebih dari 1000

kejadian dengan skala intensitas maksimum 5 dan terjadi di lokasi yang berbeda-

beda. Karena dirasa bahwa jumlah stasiun yang ada masih minim, maka dilakukan

penambahan 2 jaringan lagi yang terdiri dari 4 single-component stasiun (sudah

beroperasi) yang meliputi seluruh pegunungan di Prancis dan 10 three-component

Page 29: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-5

stasiun (belum beroperasi) yang merupakan alat pengukur beresolusi tinggi yang

akan digunakan bersama-sama dengan jaringan yang sejenis yang berlokasi di Italia.

Salah satu temuan menarik dari alat-alat ini adalah dua kejadian dengan magnitud 4

yang terjadi pada tahun 1989 dan 1990 yang cukup dirasakan warga di Nice. Pusat

gempa tersebut berlokasi di lepas pantai hanya sekitar 25-30 km dari Nice. Sebuah

pertanyaan muncul yaitu apakah kejadian tersebut dapat terjadi lagi dengan

magnitude yang sama atau bahkan lebih tinggi dari 6. Hal tersebut yang menjadi

kesulitan dalam penentuan bagaimana skenario yang terbaik dalam melakukan

mitigasi bencana yang efektif dan efisien.

Kondisi Geoteknik

Beberapa observasi dilakukan setelah beberapa gempa yang terjadi untuk melihat

seberapa rentan Kota Nice terhadap gempa. Pusat Kota Nice dibangun pada dua

pegunungan alluvial yang paralel. Pegunungan ini terdiri dari batuan sedimen yang

masih baru dan belum mengikat dengan baik. Dengan kondisi tersebut, tanah akan

mengalami likuifikasi pada getaran dengan intensitas 8 MSK.

Di bagian barat Nice, pegunungan Var memiliki struktur tanah yang lebih besar dan

tipis dan merupakan karakteristik geoteknik yang cukup buruk. Airport di Kota Nice

berlokasi di kawasan tersebut dan sebagian tanahnya merupakan tanah yang

diperoleh dari laut yang dipadatkan. Berdasarkan kondisi tersebut, maka tingkat

kerawanan bencana di arport Kota Nice menjadi besar bukan karena getaran gempa

yang akan terjadi melainkan karena kondisi tanah yang tidak stabil. Perbukitan lain

yang melingkupi bagian lainnya dari Kota Nice terbentuk dari struktur batuan

konglomerat dengan komposisi yang berbeda.

3.1.2 Teknik Mitigasi Bencana di Kota Nice, Prancis

1. Emergency Response

Prancis memiliki suatu bentuk respon terhadap kejadian bencana yang akan terjadi

yang dinamakan emergency response. Dalam sistem administratif negara Prancis,

terdapat dua bagian yang mengurusi renspon tersebut, yaitu Prefet yang merupakan

perwakilan dari pemerintah pusat yang ada di daerah) dan walikota. Kedua berbagi

tanggung jawab antara kebutuhan pendidikan dan pelatihan bagi kebencanaan serta

Page 30: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-6

melakukan koordinasi dari berbagai bentuk masalah yang berada di bawah otoritas

mereka yang berbeda.

Keberadaan kedua institusi tersebut masih belum memiliki tindakan yang spesifik

dalam menghadapi kejadian bencana gempa yang terjadi. Institusi tersebut lebih

bersifat general dalam menangani bencana tidak hanya gempa, akan tetapi juga

bencana lainnya, seperti kebakaran hutan, longsor, dan juga tsunami. Seluruh

keputusan dan pilihan terhadap penanganan bencana yang akan dilakukan

sepenuhnya diambil oleh pihak prefet dan terus berkoordinasi dengan walikota.

Metode koordinasi yang dilakukan antar pihak prefet dengan walikota dilakukan

dengan melakukan suatu pertemuan rutin.

Pada praktiknya, Prefet memiliki beberapa organisasi yang khusus dan spesifik yang

melayani bidang-bidang tertentu. Organisasi tersebut, yaitu:

1. Urban Civil Security

2. SDIS (Fire Department)

3. DDAFF (Agriculture and Forests)

4. DDE (Public Works and Housing)

5. DDASS (Health and Social Welfare)

6. DRIRE (Industry and Environment)

7. Geophysical Observation)

Untuk negara dengan intensitas kejadian gempa yang relatif kecil, pemerintah

Prancis sepertinya masih belum terlalu memperhatikan bahaya gempa yang akan

terjadi. Selain karena sebagian besar gempa yang terjadi dalam kurun waktu

beberapa tahun kebelakang ini hanya merupakan gempa kecil dengan skala kurang

dari 5 MSK, hal tersebut juga terjadi karena sejarah yang membuktikan bahwa

kejadian gempa dengan skala besar di Kota Nice Prancis ini terjadi dalam

periodesasi yang cukup panjang yaitu sekitar satu abad. Hal ini yang membuat

pemerintah Prancis tidak mengkhususkan adanya tim yang khusus menangani

bencana gempa. Padahal jika melihat kondisi geografis dan geoteknik dari Kota Nice

ini, banyak hal yang dapat dijadikan alasan untuk mengkhususkan masalah ini,

diantaranya adalah kondisi lapisan tanah yang tidak stabil serta lokasi Kota Nice ini

yang merupakan pertemuan antar lempeng yang sangat rawan bencana gempa. Jika

Page 31: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-7

dua kondisi tersebut digabungkan, maka tingkat kerawanan bencana gempa di Kota

Nice akan semakin tinggi.

Kesimpulannya, mitigasi bencana gempa pada emergency rensponse tidak

dilakukan secara spesifik hanya untuk kejadian gempa saja, melainkan untuk

kejadian bencana lainnya. Hal ini dapat disebabkan karena kejadian gempa yang

terjadi di Kota Nice, Prancis ini tidak terlalu sering terjadi sehingga jika hal ini

dikhususkan, mungkin dirasa kurang begitu efektif, maka emergency response ini

dibuat sebagai suatu sistem mitigasi bencana untuk segala kejadian bencana.

2. Construction Code

Prancis merupakan negara yang karakteristik kotanya cukup kecil dan tersentralisasi

kehidupan di dalamnya sehingga dalam perumusan suatu construction code,

dilakukan secara sederhana yaitu hanya membuat satu national code yang

merupakan standar minimal desain bangunan yang pada akhirnya tergantung jenis

bangunan dan zona getaran dimana lokasi bangunan tersebut berada. Pada

awalnya, pengaplikasian kebijakan construction code ini hanya diperuntukkan pada

bangunan-bangunan baru atau bangunan yang berubah fungsi karena keselamatan

dari tiap kawasan terbangun yang ada di Kota Nice ini berbeda-beda tergantung usia

bangunan dan sejarah di lokasi tersebut. Akan tetapi, pada awal-awal pengaplikasian

kebijakan ini, masih belum diperuntukkan pada bangunan-bangunan lama. Padahal,

mungkin saja pada praktiknya, terdapat bangunan-bangunan lama yang tidak sesuai

dengan construction code yang telah dibuat.

Kebijakan construction code untuk mitigasi bencana gempa di Prancis pertama kali

disahkan pada tahun 1955 setelah gempa yang terjadi di Algeria. Kemudian,

kebijakan tersebut mulai dikembangkan dan ditingkatkan pada tahun 1962 dan 1964

dan terus mengalami proses penyempurnaan dan modifikasi hingga thaun 1969.

Setelah tahun tersebut, kebijakan construction code untuk mitigasi bencana gempa

telah disahkan sebagai “PS69” yang juga diaplikasikan dengan terus melakukan

pengembangan-pengembangan yang dibuat pada tahun 1982 setelah adanya

kejadian di El Asnam, Algeria pada tahun 1980.

Page 32: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-8

Selanjutnya, pada tahun 1985, dibuat suatu zoning kawasan mengenai lokasi dan

bahaya gempa. Akan tetapi, dalam pengaplikasiannya hanya mengikat terbatas pada

pembangunan dua jenis bangunan baru, yaitu high-rise building (dengan ketinggian

lebih dari 28m) dan bangunan-bangunan yang menjadi barang publik, seperti

sekolah, rumah sakit, stadion olahraga, museum, serta jaringan jalan dan kereta api.

Tidak lama setelah itu, pada bulan Mei tahun 1991 dan Juli tahun 1992, dua buah

dokumen kebijakan kembali mucul dan disahkan. Meskipun begitu, ternyata tidak

terlalu terdapat perubahan pada bagian teknis, hanya saja, objek regulasi tersebut

telah bertambah menjadi termasuk bangunan perumahan yang dimulai pada agustus

tahun 1993 dan untuk jenis perumaha individu pada tahun 1994. Lebih jauh lagi,

sebuah kebijakan construction code yang lebih rinci dan lengkap sedang dalam

tahap persiapan setelah mendapat rekomendasi dari pihak French Assosiation for

Earthquake Engineering (FAEE). Bedasarkan dokumen kebijakan yang akan dibuat

tersebut, Kota Nice didefinisikan sebagai kota dengan karakteristik kota dengan

tingkat kerawanan bencana gempa paling tinggi di Prancis. Pada akhirnya, dokumen

terakhir ini diharapkan dapat diaplikasikan untuk seluruh bangunan yang ada di

prancis. Hal ini tentu saja akan sangat bermanfaat dalam proses mitigasi bencana

yang dilakukan karena dimungkinkan dengan adanya construction code ini, maka

apabila gempa terjadi, maka kerusakan dan korban yang timbul akan dapat ditekan

jumlahnya.

Menyadari bahwa kualitas kebijakan penanganan mitigasi bencana gempa di Prancis

yang cukup minim, maka pihak pemeirntah Kota Nice telah mengantisipasi hal

tersebut dengan membuat beberapa pengaplikasikan kebijakan lebih dulu

diaplikasikan tidak mengikuti alur yang sudah direncanakan pemeritah pusat Prancis.

Misalnya, untuk kasus pembangunan sekolah, sekolah tersebut sudah harus

mengikuti kebijakan PS69 mulai dari tahun 1972 yang pada rencananya baru akan

diimplementasikan pada tahun 1977. Begitu juga dengan pengimpelementasian

kebijakan construction code untuk seluruh bangunan sudah mulai dilakukan pada

tahun 1979.

Page 33: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-9

Sejarah menyatakan bahwa hingga tahun 1982, tidak ada otoritas lokal yang

berinisiatif untuk mengusulkan bagaimana kebijakan penanganan bencana dari sisi

fisik itu sebaiknya dilakukan. Pada akhirnya, telah dilakukan pendesentralisasian

kebijakan penanganan bencana gempa ke setiap wilayah di Prancis.

Construction Type

Kota Nice terdiri dari 200.000 unit rumah baik flat maupun individual yang termasuk

12% yang merupakan perumahan yang tidak permanen (hanya digunakan pada

musim liburan). Seperti yang terjadi di sebagian besar wilayah Prancis bahkan di

negara-negara sepanjang laut mediteran, karakteristik rumahnya berbeda-beda dan

sangat heterogen. Hal tersebut bergantung pada kondisi ekonomi dari tiap penghuni

rumah yang ada serta berdasarkan heterogennya jenis batuan yang melingkupi

kawasan perumahan tersebut.

Kota tua Nice berlokasi di tanah alluvial yang datar yang mengelilingi Sungai Pailon.

Bangunannya yang ada dibangun dengan menggunakan material lokal seperti batu,

kayu,pasir, dan mortar. Penggunaan bahan-bahan campuran dalam membangun

mulai digunakan pada thaun 1930 dan menjadi quasi-systematic pad athaun 1945

untuk bangunan publik dan perumahan. Ketinggian rata-rata dari bangunan-

bangunan tersebut adalah 20 meter. Aturan tersebut juga ada di beberapa dokumen

perencanaan yang mencantumkan mengenai batas ketinggian bangunan. Sebagian

besar struktur ini dibangun di tanah alluvial yang datar. Untuk kehidupan di

perbukitan, sebagian besar perumahan dibangun dengan tipe individual yang dibuat

dari masonry dan/atau bahan-bahan campuran.

Control and Enforcement

Dalam menjalankan fungsi dari kebijakan construkcion code, dilakukan suatu metode

control dan enforcement terhdap berbagai kasus pembangunan yang ada di Kota

Nice, Prancis. Hal ini dilakukan guna menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan

yang ada di constructuon code yang telah dibuat.

Seluruh proyek konstruksi termasuk melakukan modifikasi terhadap bangunan laman

harus selalu terdaftar dan pembangunannya tidak dapat dimulai jika belum mendapat

izin dari kantor administrasi yang mengurusi bagian izin bangunan. Formulir

Page 34: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-10

persetujuan ini baru diperoleh setelah dilakukan inspeksi lapangan oleh pihak pemda

dan pihak pemerintha pusat. Menurut data, terdapat 300 orang dan kurang lebih

2.100 unit perumahan yang dibangun setiap tahunnya dan identik dengan

pembangunan 175.000 m2 luas lantai bangunan. Untuk bangunan-bangunan yang

sudah ada sebelum kebijakan construction code ini diberlakukan, maka pihak kota

meminta kepada manajer proyek untuk mengirimkan desain dan konstruksi

bangunan untuk diperiksa dan didaftarkan di control office.

Sesuai dengan pemaparan mengenai kebijakan construction code yang telah dibuat,

maka dapat diperkirakan bahwa sekitar 95% bangunan yang telah dibangun di Kota

Nice, Prancis dalam proses desain dan pembangunan konstruksi, tidak

memperkirakan ancaman bahaya bencana gempa. Oleh karena itu, diharapkan

setelah diimplementasikannya kebijakan tersebut, maka jika saja terjadi gempa di

Kota Nice, maka kerugian yang ditimbulkan baik materi maupun non materi, tidak

akan terlalu banyak karena kualitas struktur bangunan yang kuat menghadapi

gempa.

3. Earthquake Awareness

Pihak pemerintah Kota Nice telah lama menyadari bahaya gempa yang mengancam.

Salah satu kebijakan yang diambil adalah dengan ikut mengimplementasikan suatu

building code dalam proses konstruksi bangunan. Selain ini, telah dilakukan berbagai

koordinasi antara pihak pemerintah daerah di Kota Nice dengan pemerintah pusat

untuk lebih memberikan penanganan yang serius terhadap bahaya gempa ini serta

dalam kegiatan emergency renspose. Kesadaran ini telah menghasilkan suatu

komite khusus di tingkat pemerintah pusat Prancis yang akan menyusun suatu

rencana tindak yang akan dilakukan. Kota Nice juga tergabung sebagai anggota

dalam sebuat asosisasi yang bergerak dibidang manjemen resiko bencana di kota-

kota skala menengah.

Hal lain yang dilakukan adalah dengan memberikan pengetahuan yang cukup

kepada masyarakat mengenai bagaimana bahaya dari bencana gempa yang akan

terjadi serta hal-hal yang berhubungan dengan gempa di Kota Nice. Hal ini dilakukan

karena berbagai pemberitaan di media massa kurang begitu memberikan

pengetahuan mengenai bahaya gempa. Selain itu, dalam brosur/boolet yang akan

Page 35: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-11

dibuat, dicantumkan juga mengenai sejarah gempa dan berbagai pendidikan

mengenai bagaimana sebaiknya masyarakat dalam menghadapi gempa yang akan

terjadi. Hal ini tentu saja akan lebih mempermudah pemerintah untuk menjalankan

berbagia skenario mitigasi bencana yang telah dibuat karena dengan kondisi

masyarakat yang telah memiliki tingkat awareness yang cukup, maka masyarakat

akan lebih mengikuti bagaimana skenario yang dibuat. Prefet juga melakukan

berbagai penyuluhan di berbagai sekolah dengan tujuan yang sama yaitu

memberikan pendidikan kebencanaan. Hanya saja target yang ingin dicapai leh

pihak Prefet ini adalah siswa-siswa sekolah.

Tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dari berbagai proses penyebaran informasi

mengenai bencana gempa ini adalah untuk membuat suatu prosedur mitigasi

bencana yang baru yang dapat dimengerti oleh seluruh masyarakat. Proses

penyebaran informasi ini merupakan langkah awal yang ditempuh untuk

menyepahamkan masyarakat mengenai berbagai informasi tentang gempa dan

bagaimana masyarakat sebaiknya bertindak dalam gempa yang akan terjadi.

Cukup beralasan jika dikatakan bahwa tingkat kesadaran dari pemerintah daerah di

Kota Nice sudah semakin baik dan mereka memiliki keinginan untuk meningkatkan

kualitas penanganan terhadap proses mitigasi yang berlangsung. Oleh karena itu,

perlu dilakukan penginformasian kepada publik tentang ancaman gempa ini. Untuk

melakukan hal tersebut, pihak pemerintah daerah harus dapat menyeimbangkan

antara berita yang ada di media massa dengan informasi-informasi yang umum

seputar gempa sehingga tidak terjadi ktimpangan informasi. Lebih jauh lagi,

pemerintah harus juga mempertimbangkan antara bahaya gempa yang akan terjadi

dengan kondisi ekonomi dan pasar pariwisata yang telah menjadi andalan Kota Nice.

4. Research

Kegiatan penelitian mengenai mitigasi bencana yang ada di Prancis ternyata dalam

pengambilan keputusan bagaimana penelitian tersebut harus dijalankan masih

menjadi otoritas dari pemerintah pusat. Keputusan mengenai siapa yang harus

menjalankan penelitian tersebut diambil di Kota Paris yang merupakan ibukota dari

Prancis. Hal ini tentu saja berdampak pada kurang terakomodasinya kepentingan

pihak pemerintah lokal yang sebenarnya lebih mengetahu mengenai keadaan

Page 36: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-12

daerahnya masing-masing. Akan tetapi, bagi pihak-pihak yang ada di daerah yang

juga ikut bertanggung jawab dalam penelitian yang dilaksanakan dengan cara ikut

serta menjadi anggota tim peneliti. Biasanya tim peneliti ini diikuti oleh universitas-

universitas yang juga ikut memperhatikan masalah bencana gempa ini. Selain itu

berbagia pihak juga dapat membatu dalam bentuk dana penelitian. Pda praktiknya

tetap saja terdapat koordinasi antara pihak pemerintah pusat dengan pemerintah

daerah.

Penelitian tentang bencana gempa ini dilakukan oleh tiga institusi yang bersama-

sama memperhatikan masalah bencana gempa, yaitu

1. Universitas

2. Konsultan-konsultan lokal dari kementerian perumahan dan pekerjaan umum

(CETE)

3. Teknisi gempa dari BRGM

Pihak universitas di Kota Nice telah melakukan penelitian mengenai berbagai

aktivitas yang berhubungan dengan bahaya gempa. Selain karena di Kota Nice

terdapat departemen geofisika yang mengkhususkan pada geofisika laut dan

geodinamika, kegiata penelitian ini telah dimulai pada tahun 1990 pada saat terdapat

bagian peneliti mengenai seismologi. Tim ini telah berhasil merekrut peneliti yang

biasa bekerja pada kawasan aktif bencana gempa untuk bekerjasama meneliti dalam

skala lokal di Kota Nice. Tim ini juga terus melakukan koordinasi dengan beberapa

tim yang lebih besar (Paris, Genoa, Grenoble, Napoli) yang juga bersama-sama

melakukan penelitian tentang bencana gempa dan bersedia bekerja sama dengan

Kota Nice.

CETE yang lingkup kerja utamanya adalah tanah, konstruksi bangunan dan jalan,

mula mencoba untuk mengembangkan penelitian mengenai aktivitas bencana

gempa. Sebuah tim teknis geologi telah memulai penelitiannya selama 15 tahun dan

mereka mempublikasikan hasil penelitian pertamanya yang merupakan metode studi

dengan contoh Kota Nice. Pada permulaannya, CETE telah memperoleh banyak

pengalaman proses penelitian yang dilakukan di Kota Nice yang salah satunya juga

mengenai likuifikasi dan bahaya longsor. Selain itu, CETE juga mencoba untuk

melakukan penelitian mengenai tingkat ketahanan bangunan publik yang ada di Kota

Page 37: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-13

Nice. Hal ini mengingat bahwa struktur lapisan tanah di Kota Nice tidak terlalu padat

meskipun datar.

Teknis gempa yang berasal dari BGRM yang terdiri dari lebih dari 10 teknisi yang

memilki keahlian khusus di bidang bencana gempa dan longsor serta teknisi yang

berasal dari bidang geoteknik. Tim ini telah membuat berbagai penelitian mengenai

proses maintenance untuk berbagai kawasan industri dalam menghadapi ancaman

bencana gempa. BGRM dan CETE juga melakukan beberapa penelitian bersama.

Kawasan perkotaan Nice memiliki berbagai karakteristik yang unik yang berbeda dari

berbagai kota lain di dataran eropa. Selain itu, Kota Nice juga merupakan salah satu

tujuan wisata di Eropa. Dengan tingkat kerawanan yang cukup tinggi terhadap

bencana gempa karena merupakan lokasi perpotongan lempeng tektonik, maka

perlu adanya penanganan yang serius dari berbagai pihak yang berkepentingan.

3.2 Mitigasi Gempa Bumi di Kota Kobe, Jepang

3.2.1Mitigasi Bencana di Jepang Secara Umum

Terdapat beberapa aspek dalam penanganan gempa di Jepang. Pertama, adalah

langkah penyelamatan. Di Kobe, sekitar 90 persen penyelamatan warga yang

terperangkap puing dilakukan oleh warga sendiri. Polisi, tentara, dan pemadam

kebakaran tentu berperan penting meski dalam porsi yang lebih kecil. Artinya,

masyarakat merupakan kekuatan utama dan efektif dalam penyelamatan tersebut

sehingga hubungan sesama manusia menjadi tak ternilai harganya.

Dalam gempa Kobe, pada hari pertama terdapat 20.000 relawan dan meningkat

menjadi 1,3 juta dalam tiga bulan. Mereka membersihkan puing-puing gempa,

menjembatani antara pemerintah dan korban, menyediakan makanan, dan lain

sebagainya. Banyaknya relawan juga membawa masalah karena tidak semua

relawan punya pengalaman dan keahlian. Akan tetapi, nilai kesetiakawanan itulah

yang diapresiasi sehingga tahun 1995 disebut sebagai tahun kesetiakawanan.

Kedua, adalah rekonstruksi. Gempa Kobe yang dikenal sebagai ”The Great Hanshin-

Awaji Earthquake” mendorong pemerintah mengeluarkan Hyogo Phoenix Plan pada

Juli 1995, yang tidak saja mengembalikan infrastruktur dan pelayanan sebagaimana

Page 38: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-14

sebelum gempa. Lebih dari itu, mereka berorientasi pada creative reconstruction

yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan era baru dan masyarakat matang (drive

to maturity) melalui partisipasi warga. Langkah pertama pemerintah adalah

mengundang warga mendiskusikan proyek rekonstruksi fisik. Baru pada tahap kedua

berfokus pada sosial-ekonomi.

Seperti diungkap The Great Hanshin-Awaji Earthquake Statistics and Restoration

Progress 2005 pada tahun 1997, pemerintah menetapkan Rencana Rehabilitasi

Sosial Ekonomi yang diawali dengan kampanye Catch the Spirit Kobe untuk

mengembalikan kepercayaan diri mereka dalam rangka pemulihan secara cepat.

Bagi Jepang, semangat kebersamaan untuk membangun Kobe yang hancur adalah

modal yang amat vital. Meskipun demikian, mereka pun punya rencana jangka

panjang yang tertuang dalam Kobe 2010 Comprehensive Civic Welfare Plan.

Rancangan jangka panjang ini bertujuan membangun kota berbasis kemandirian dan

kerja sama yang saling menguntungkan antara pemerintah, warga, dan swasta.

Program ini lalu diimplementasikan melalui sejumlah proyek, misalnya proyek skema

people-friendly urban development dalam perspektif anak-anak. Pembangunan

arena dan fasilitas bermain anak-anak dilakukan secara komprehensif.

Ketiga, adalah penyiapan keselamatan warga. Mereka sadar, lambatnya langkah

Pemerintah Kobe pada saat bencana itu disebabkan lemahnya sistem komunikasi

darurat. Maka, agenda nasionalnya adalah mempersiapkan jaringan komunikasi

yang lebih baik di saat-saat darurat. Ketika Niigata dihantam gempa pada 2004 lalu,

dalam tujuh menit tentara Jepang sudah bertindak dan 36 menit kemudian bergerak

mengumpulkan informasi. Pemerintah provinsi lainnya, seperti Hyogo, langsung

mengirim ahli pemulihan gempa, pembangunan perumahan darurat, menilai tingkat

bahaya rumah yang rusak, menyediakan tim kesehatan, serta pelayanan spiritual

dan psikologi. Pada level masyarakat, Pemerintah Kobe mendorong adanya

komunitas pencegahan bencana di mana warga dilatih untuk siap setiap saat ketika

terjadi gempa. Salah satu instrumennya adalah terbitnya buku manual langkah-

langkah saat gempa terjadi. Buku berisi petunjuk praktis melalui gambar dan bahasa

yang mudah dipahami itu dibagikan ke seluruh warga dan anak-anak sekolah. Begitu

pula pelatihan dan penguatan jaringan antarwarga dalam kesiapan menghadapi

gempa. Pada level pemerintah, disahkan serangkaian peraturan daerah yang

Page 39: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-15

mendorong terciptanya keselamatan warga Kobe, pembangunan jaringan informasi

dan komunikasi, membangun pusat manajemen krisis, serta pusat pengumpulan

data 24 jam. Dari sekitar 640 jenis kebijakan untuk pemulihan Kobe, pemerintah

menciptakan Indeks Kebahagiaan Warga (Citizen-Happines Index) untuk memantau

sejauh mana hasil dari kebijakan-kebijakan tersebut.

Keempat, pengembangan pusat riset, baik oleh universitas maupun pemerintah. Di

Kyoto University ada Research Center for Disaster Reduction System. Ada juga

Disaster Reduction and Human Renovation Institution (DRI) milik pemerintah

prefektur (baca: provinsi) Hyogo. DRI mengembangkan riset-riset serta ”museum”

yang memberikan layanan informasi seputar gempa. Bahkan DRI mengadakan

pelatihan bagi seluruh pemerintah daerah dalam membangun jaringan penanganan

gempa. Saat ini DRI tengah mengembangkan program internasional melalui

International Disaster Prevention and Reconstruction Center yang tugasnya melatih,

dengan mengirim para ahli teknis untuk meneliti dan memberi solusi penanganan

gempa melalui sistem ”One Stop Service”.

Dari semua uraian di atas jelaslah bahwa Jepang tidak menerima begitu saja kondisi

negerinya yang demikian rawan bencana. Mereka dengan cerdas belajar dari kondisi

lokal demi membangun masa depan yang lebih sejahtera dan membahagiakan

warganya.

3.2.2 Gambaran Umum Kota Kobe

Kobe adalah ibukota dari prefektur Hyogo. Kota ini merupakan kota pelabuhan

modern yang mempunyai sejarah panjang. Dengan latar belakang pegunungan

Rokko, Kota Kobe merupakan kota pelabuhan yang indah di pantai selatan Teluk

Osaka (Osaka Bay). Pelabuhan Kobe, yang berperan sangat penting dalam aktivitas

ekonomi kota, terbuka untuk dunia luar sejak 1 Januari 1868 yaitu tahun yang

terkenal dengan Restorasi Meiji ketika Jepang melakukan modernisasi dengan

meninggalkan politik isolasi nasional yg sebelumnya berlaku. Sejak pembukaan

tersebut, lebih dari satu abad telah berlalu, pelabuhan Kobe telah berkembang

menjadi satu dari pelabuhan perdagangan internasional utama, bahkan pelabuhan

ini masuk dalam tiga pelabuhan terbesar di dunia. Setelah pembukaan pelabuhan

Kobe, banyak orang asing yang datang untuk tinggal di kota pelabuhan ini.

Page 40: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-16

Bersamaan dengan meningkatnya populasi mereka, tempat kediaman orang asing

meluas, dengan rumah-rumah dan toko-toko model barat (western-style) yang

dibangun di sepanjang jalan. Pada abad ke-19, Kobe telah menjadi kota yang unik

yang mempunyai atmosfer yang eksotik. Kota Kobe juga mempunyai salah satu

universitas yang terkemuka di Jepang yaitu University of Kobe; universitas ini

menjadi salah satu tujuan mahasiswa-mahasiswa asing dari berbagai negara.

Gambar 3.3 Kota Kobe

Sumber : www.google.com

Kobe adalah sebuah kota di Jepang yang terletak di pulau Honshu. Kobe adalah

bagian dari wilayah metropolitan Osaka-Kobe-Kyoto. Kobe terletak di wilayah Kansai

di Jepang, di Prefektur Hyogo di sebelah barat daya Osaka. Kota ini adalah salah

satu kota pertama Jepang yang membuka perdagangan kepada Barat pada tahun

1868. Kota pelabuhan yang kosmopolitan ini mempunyai sekitar 45.500 penduduk

asing dari lebih dari 100 negara.

Ketika gempa besar yang melanda Kota Kobe pada tahun 1995 dengan kekuatan

7,2 SR. Menurut The Great Hanshin-Awaji Earthquake Statistics and Restoration

Progress 2005, korban yang terluka parah 14.678 orang, 4.571 orang tewas, 7.500

gedung terbakar, 85 persen sekolah rusak, dan sekitar 222.127 orang dievakuasi.

Dengan adanya bencana-bencana besar yang menimpa maka pemerintah Jepang

banyak melakukan pembelajaran dalam proses memitigasi bencana gempa tersebut.

Page 41: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-17

Gambar 3.4 Gempa di Kobe

Sumber : www.google.com

Gempa yang sangat besar tersebut terletak tepat di bawah pusat Kota Kobe sedalam

16 km, gempa yang hanya berlangsung sekitar 20 detik tersebut hampir

menghancurkan setiap sudut Kota Kobe, terlihat pada gambar dimana jembatan

yang sangat panjang tersebut dapat terbalik dan juga retak. Hal ini menunjukkan

betapa dashyatnya gempa yang mengguncang Kota Kobe pada thun 1995 tersebut.

3.2.3 Mitigasi Bencana di Kota Kobe

Pemerintah Jepang sangat menekankan proses mitigasi dilakukan oleh daerah

masing-masing. Mengingat Jepang sadar bahwa kawasan mereka merupakan

kawasan yang sangat rentan terhadap bencana, maka proses mitigasi merupakan

hal yang wajib dimiliki oleh setiap Kota atau Propinsi. Begitu juga dengan Kota Kobe.

Kota yang pernah mengalami gempa yang sangat besar pada tahun 1995 tentu tidak

ingin kehilangan banyak nyawa lagi ketika terjadi gempa kedepannya. Oleh sebab itu

pemerintah Kota Kobe melakukan mitigasi yang di bagi ke dalam 4 hal besar, yaitu;

1. Konsep Utama

2. Kesiapan Setiap Level Pemerintahan dalam Menghadapi Bencana

3. Implementasi Konsep Safety-Oriented City

4. Manajemen Bencana

Konsep Safety Oriented City

Kota yang sangat berorientasi pada keselamatan penduduknya tentu akan

mengupayakan berbagai cara agar kota tersebut dapat meminimalkan dampak

apabila terjadi bencana. Maka Kota memerlukan tiga upaya:

Pertama, tingkat bencana yang menjamin keselamatan warga dimana tempat warga

tersebut tinggal dan bekerja. Kedua, fasilitas infrastruktur perkotaan yang mampu

Page 42: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-18

mendukung daerah pasca terkena bencana alam. Dan ketiga fungsi administrasi

yang dapat mengoptimalkan bencana dan meningkatkan kemampuan dalam

menghadapi bencana.

Sudut Bencana

Keselamatan kota terhadap bencana berorientasi dengan melibatkan konsep

integrasi tiga lapisan masyarakat: pada lingkungan, perwakilan masyarakat,

dan intermediate antar tingkatan.

Departemen Kota untuk kesiapan bencana

Departemen atau instansi khusus yang menangani permasalahan kota dalam

menghadapi kesiapan bencana ini diperlukan untuk mempertahankan kota

agar dapat meminimalkan dampak ketika terjadi bencana alam seperti gempa

bumi. Hal ini dapat diambil tiga bentuk dasar perkotaan yang terdiri dari

penghijauan, luas kawasan bencana dasar, dan infrastruktur lifelines yang

berlabuh di berbagai kegiatan sehari-hari yang terjadi secara terus-menerus.

Manajemen Bencana

Kesiapan kota dalam menghadapi bencana akan berfungsi secara efektif dan

menyeluruh jika terdapat perencanaan yang terintegrasi dengan perencanaan

kota yang berbasis bencana. Hal tersebut juga memerlukan aliran orang,

barang, dan informasi pada setiap tingkat pelayanan/pemerintahan yang

dikelola secara komprehensif melalui setiap tahapan proses bencana

sehingga pada akhirnya menjadi kegiatan rutin harian.

3.2.4 Kesiapan Setiap Level Pemerintahan dalam Menghadapi Bencana di Kota

Kobe

Saat bencana gempa bumi yang sangat besar yaitu Gempa Bumi yang terjadi di

Kota Kobe pada tahun 1995 yang kurang lebih menewakan 6000 jiwa penduduk

Kota Kobe tersebut. Kejadian yang hamper menhancurkan setengah Kota Kobe

tersebut menghancurkan banyak fasilitas perkotaan yang terdapat di Kota Kobe

tersebut. Kedepannya, upaya penanganan bencana atau mitigasi bencana dimulai

dengan peran pemerintah dalam menangani bencana tersebut. Kegiatan

penanganan bencana dimulai dengan berdasarkan pada masyarakat local terlebih

dahulu. Upaya ini didasarkan agar menekankan kepada masyarakat lokal akan

Page 43: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-19

pentingnya sebuah sistem yang mengatur penanganan terhadap kebencanaan ini

agar nantinya masyarakat lokal dapat mandiri dalam penanganan bencana tersebut.

Dalam menciptakan keamanan di dalam kota dan agar dalam penanggulangan

bencana dapat terkoordinir dengan baik, maka diperlukan sebuah lingkungan yang

memungkinkan untuk proses pemulihan kegiatan yang terkoordinir dengan baik yang

merupakan kegiatan dari serangkaian operasi antara warga, dan antara warga dan

pemerintah setempat. Ini memerlukan koordinasi reguler dan pembentukan "kegiatan

dasar" dibangun ke dalam kehidupan sehari-hari warga lokal dan sesuai dengan

skala kegiatan perkotaan

Kebijakan-kebijakan Pemerintah

1. Membentuk suatu tingkatan keselamatan berdasarkan aktivitas sehari-

hariyang dilakukan penduduk Kota Kobe.

2. Bentuk kegiatan keselamatan dalam penanganan bencana yang berbasis

pada masing-masing daerah.

3. Melakukan pelatihan terhadap personil agar terlatih dalam menghadapi resiko

bencana dan membentuk organisasi lokal agar mendukung kegiatan

penanganan bencana.

Untuk menciptakan kota yang benar-benar aman kedepannya, Kota Kobe

menerapkan tingkatan keamanan di tiga tingkatan, yaitu tingkat lingkungan rumah

tangga, tingkat intermediate, dan tingkat kecamatan.

1. Tingkat Lingkungan Rumah Tangga

Untuk tingkatan lingkungan rumah tangga di Jepang biasanya di awali dengan

kebiasaan yang berpuat di sekolah dasar. Biasanya di tempat inilah yang

berfungsi sebagai awal mula pusat kegiatan masyarakat setempat yang

sangat erat kaitannya dengan rumah. Dalam hal ini biasanya warga

mengambil secara sukarela memimpin dalam pelaksanaan keselamatan

bencana melalui bantuan bersama masyarakat dan kegiatan-kegiatan lainnya

yang dilakukan bersama masyarakat. Selain itu, pada tingkatan ini juga

mencari untuk menentukan tingkatan yang minimum harus dilakukan di setiap

kegiatan sehari-hari dan dapat dilanjutkan secepat mungkin setelah terjadi

Page 44: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-20

bencana. Tingkatan dalam lingkungan rumah tangga ini berupa kegiatan lokal

"bencana berbasis"

Di tingkat lingkungan rumah tangga, terdapat 3 hal yang harus diperhatikan,

yaitu kegiatan masyarakat, peningkatan bencana berbasis lokal, dan

pembentukan lingkungan yang aman dan nyaman. Untuk kegiatan

masyarakat, masyarakat harus diberikan pelatihan mengenai kesadaran akan

bencana secara berkelanjutan. Dan pemerintah lebih menekankan proses ini

berawal atau berbasis pada daerah lokal terlebih dahulu.

2. Tingkat Intermediate

Bencana "dukungan dasar" biasanya beberapa per kecamatan, yang dibentuk

untuk mendukung kegiatan kecamatan kantor. Dasar ini juga mendukung

berbagai kegiatan sehari-hari di tingkat rumah tangga melalui koordinasi

warga dan pemerintah setempat. Informasi yang diperlukan adalah dukungan

untuk dipergunakan bersama dengan perwaliannya. Layanan seperti koleksi

darurat dan pasokan mereka setiap pengiriman ke tingkat RT, koordinasi

kegiatan relawan, komunikasi dan informasi yang akurat dilakukan bekerja

sama dengan kecamatan.

3. Tingkat Kecamatan

Kantor pemerintah daerah kecamatan berbasis pada penyelamatan kegiatan.

Program ini menerima pasokan penyelamatan, mengatur personil seperti

relawan dari luar daerah yang terkena bencana. dan memberikan informasi

dan berkomunikasi dari balai kota dan sekitar kota.

3.2.5 Implementasi Konsep Safety-Oriented City

Saat Selatan Hyogo mengalami gempa serius sangat mengganggu kehidupan

perkotaan, terutama di Kobe. Luas perkotaan yang intensif oleh tinggi dari kepadatan

penduduk perkotaan, kekurangan pasokan air, kemacetan lalu lintas yang terjadi

dimana mana. Kondisi tersebut memakan waktu lama untuk memulihkannya

khususnya infrastrukturnya agar kota tersebut dapat menjalani kehidupan perkotaan

secara lancar. Pengalaman ini lebih menekankan kepada tanggung jawab kita agar

kedepannya dapat membuat penyelamatan yang berorientasi pada kota dengan

penyediaan pemadam kebakaran, dan layanan darurat lainnya agar ketika gempa,

dampak lainnya akibat gempa tersbut juga dapat teratasi.

Page 45: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-21

Beberapa Kebijakan terkait dengan Konsep Safety Oriented City

1. Melaksanakan langkah-langkah yang mempertimbangkan topografi dan

geologi fitur Kota Kobe dan memastikan hidup berdampingan dengan alam.

2. Menyediakan jaringan hijau terkait untuk membantu menciptakan kota yang

tahan bencana.

3. Meningkatkan kesiapan kota bencana melalui komprehensif, luas sosial

koordinasi.

4. Menstabilkan sipil gaya hidup dengan menyediakan jaringan Lifeline tahan

bencana

Dalam konsep Safety Oriented City ini terdapat 4 langkah dalam penanganan

bencana gempa bumi, yaitu implementasi mitigasi bencana melalui RTH dan open

space, implementasi Basis Bencana, adaptasi Lingkungan Perkotaan terhadap

Peningkatan Kapasitas Kota dalam menghadapi bencana, dan implementasi

Jaringan Pelayanan Publik Tahan Bencana.

1. Implementasi Mitigasi Bencana Melalui RTH dan Open Space

Sungai, jalan, jalur hijau, taman, dan masyarakat harus kembali untuk

membentuk tanaman hijau yang berfungsi sebagai jalur evakuasi apabila

bencana terjadi. Jalur ini menyediakan kerangka untuk fisik dan kesiapan pada

bencana. Pada saat yang sama, jalur ini melayani warga negara seperti

biasanya dalam berkegiatan seari-hari.

Sungai dan Daerah Hijau

Sungai dan daerah hijau atau jalur hijau sangat baik untuk mendukung jalur

atau rute untuk evakuasi. Selain itu juga dapat berperan sebagai transportasi

darurat apabila terjadi bencana. Sungai juga dapat menyediakan air yang

membantu dalam kegiatan sehar-hari masyarakat.

Jalan Grid Perkotaan

Jalur utama barat timur utara dan selatan yang berfungsi sebagai jalan

utama di Kota Kobe digunakan sebagai jalur evakuasi dan juga transportasi

darurat apabila terjadi bencana.

Jalur pesisir

Jalur pesisir juga dapat digunakan sebagai jalur untuk rute evakuasi dan juga

transportasi darurat, namun apabila kemungkinan terjadi tsunami, maka jalur

ini sangat rawan, terlebih lagidi pesisir pantai.

Page 46: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-22

2. Implementasi Basis Bencana

Basis Bencana

Basis bencana disediakan untuk mendukung kegiatan bencana di tingkat

rumah tangga dalam koordinasi dengan pusat bencana dasar. Balai kota,

yang bertanggung jawab untuk kegiatan utama kota, secara umum bencana

dasar, yang menepis kantor, di daerah bencana dasar umum, dan lain umum

bencana berbasis.

Dasar untuk Area Evakuasi dan Penerimaan Supply

Untuk kekuatan dasar bencana dan dukungan luas adalah pemindahan

penerimaan pasokan, penambatan fasilitas darurat yang disediakan di

taman, ruang hijau, dan di titik-titik tertentu.

Menguatkan kemampuan pencegahan bencana perkotaan

Meningkatkan kemampuan untuk pencegahan dapat dilakukan dengan

menguatkan struktur bangunan agar lebih tahan terhadap gempa. Seperti

mall-mall dan infrastruktur lainnya terutama yang merupakan milik publik.

3. Adaptasi Lingkungan Perkotaan terhadap Peningkatan Kapasitas Kota dalam

menghadapi bencana

Dalam peningkatan kapasitas kota diperlukan adaptasi dari lingkungan

perkotaan tersebut, Salah satu pendukungnya yaitu jaringan transportasi untu

menghubungkan antara satu kota dengan kota yang lainnya khusunya dari Kota

Kobe ke kota-kota lain disekitarnya.. Kawasan perkotaan untuk mengefisienkan

dalam penyelamatan kegiatan yang termasuk dalam jaringan ini yaitu dengan

menubuhkan luas kawasan bencana untuk melayani sebagai basis poin dengan

daerah-daerah di luar kota.

Peningkatan luas area jaringan transportasi

Dalam peningkatan kapasitas kota maka factor terpenting yaitu akses agar

kota tersebut dapat beradaptasi dengan kota-kota di sekitarnya. Dalam hal

ini, maka diperlukan dukungan dari jaringan transportasi untuk mendukung

proses peningkatan kapasitas kota tersebut.

Koordinasi darat laut dan udara dalam “bencana dasar”

Dalam memfasilitasi kegiatan penyelamatan kota terhadap bencana, luas

kawasan bencana yang didirikan di pedalaman dasar Kobe, bertujuan untuk

mengurangi kemacetan di perkotaan tersebut. Kota Kobe juga

memanfaatkan topografi. Udara dan laut berbasis bencana yang didirikan

Page 47: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-23

untuk beragam berbagai bencana yang berkaitan dengan kegiatan

dilaksanakan melalui koordinasi dengan basis bencana, terutama yang

terletak di pusat.

4. Implementasi Jaringan Pelayanan Publik Tahan Bencana.

Jaringan-jaringan pelayanan publik tentu harus tahan terhadap bencana, sebab

ketika terjadi bencana, fasilitas-fasilitas tersebut sangat dibutuhkan banyak

orang karena sifatnya publik tersebut. Fasilitas-fasilitas tersebut seperti,

pasokan air, listrik, gas, dan telekomunikasi. Apabila terjadi gempa bumi dan

fasilitas-fasilitas tersebut rusak, maka kondisi tersebut akan semakin

memperparah keadaan pasca terjadinya bencana. Untuk itu diperlukan

peningkatan jaringan pelayanan publik yang tahan terhadap bencana.

Memperkuat Sistem Pasokan Air

Ketika pasca bencana, air merupakan factor penting yang menunjang

kehidupan. Oleh karena itu sistem penyaluran air dan pengelolaannya harus

tahan terhadap bencana agar ketika pasca bencana, pasokan air masih

dapat diberikan pada masyarakat.

Memperkuat Sistem Pembuangan Kotoran

Sistem pembuangan kotoran sangat diperlukan ketika pasca bencana karena

rata-rata ketika terjadi gempa, fasilitas pembuangan akan ikut hancur.

Namun hal ini merupakan kebutuhan pokok. Oleh sebab itu dilakukan

penguatan sistem ini agar tahan terhadap bencana.

Sistem Pembuangan Limbah

Pasca bencana, akan banyak sampah yang berupa fisik, pemerintah Kota

Kobe mendirikan sistem pembuangan limbah yang kuat terhadap bencana

agar ketika nantinya terjadi bencana, maka sistem tersebut masih dapat

digunakan.

Diversifikasi Sumber Energi

Energi merupakan factor penting dalam kehidupan. Ketika terjadi bencana

maka kemungkinan listrik mati sangat besar karena rusaknya jaringan akibat

bencana sehingga listrik maupun energi lain sulit untuk didistribusikan. Oleh

karena itu pemerintah Kota Kobe melakukan diversifikasi sumber energi agar

pasokan energy pasca bencana tetap dapat didisribusikan.

Page 48: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-24

3.2.6 Manajemen Bencana Kota Kobe

Manajemen bencana merupakan dasar untuk mengurangi dampak akibat terjadinya

bencana. Bencana sendiri merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari, namun

dapat diminimalisis dampaknya. Bagaimana agar dampak dari bencana tersebut

sangat minim, maka diperlukan manajemen bencana yang baik pula. Beberapa

kebijakan pemerintah Kobe terkait manajemen bencana

1. Meningkatkan kesiapan bencana untuk mengaktifkan cepat, tanggapan

fleksibel untuk berbagai bencana

2. Bencana memperkuat sistem dan meningkatkan koordinasi dengan organisasi

terkait untuk meningkatkan kemampuan tanggap darurat.

3. Memastikan kelancaran dan penyelamatan rekonstruksi proaktif melalui

koordinasi pengelolaan dan promosi daerah.

4. Aktif studi bencana dan memastikan pembentukan dan penanganan bencana

dari bawah kesadaran budaya terus-menerus sesuai untuk memastikan

respon dalam menghadapi bencana.

Dalam manajemen bencana, terdapat 4 proses penting, yaitu Peningkatan kesiapan

dalam menghadapi bencana, Peningkatan Kemampuan Respon Tanggap Darurat,

Peningkatan Kemampuan Aktivitas Penyelamatan dan Rekonstruksi, dan Penurunan

Kesadaran dalam Kesiapan Menghadapi Bencana.

1. Peningkatan kesiapan dalam menghadapi bencana

Sebelum datangnya bencana, masyarakat dan pemerintah harus sudah

melakukan berbagai upaya agar dapat meminimalkan dampak apabila

bencana tersebut terjadi. Yang dilakukan di Kota Kobe yaitu dengan

mendesain dan melihat persebaran ketika terjadi bencana dan menbuat

rencana apa saja yang dilakukan pasca bencana tersebut terjadi. Untuk

peralatan yang disediakan yaitu seperti penyediaan mobil pemadam

kebakaran, karena gempa bumi juga berisiko terjadinya kebakaran. Serta

penyediaan ambulans untuk mengevakuasi korban yang berjatuhan ketika

bencana tersebut datang.

2. Peningkatan Kemampuan Respon Tanggap Darurat

Setelah bencana terjadi tentu hal yang harus dilakukan yaitu mencoba

menolong orang yang mungkin masih dapat diberikan pertolongan. Dan

usaha-usaha perbaikan yang dapat dilakukan untuk sementara. Sedangkan

Page 49: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-25

yang dilakukan oleh pemerintah Kota Kobe yaitu membuka lokasi informasi

darurat, agar segala informasi mengenai korban atau apapun dapat terakses

sehingga dapat membantu prose pemulihan.

3. Peningkatan Kemampuan Aktivitas Penyelamatan dan Rekonstruksi

Setelah bencana terjadi cukup lama, maka mulai dilakukan proses perbaikan

atau rekonstruksi kota atau daerah yang terkena bencana tersebut. Biasaya

pada tahapan ini infrastruktur yang rusak mulai dibangun kembali, begitu juga

bangunan-bangunan dan rumah-rumah pribadi. Yang dilakukan pemerintah

Kota Kobe yaitu dengan melaukukan kerjasama regional untuk membantu

pemulihan secara total serta melakukan menagemen terhadap kemungkinan

krisis yang terjadi akibat terjadinya bencana tersebut.

4. Penurunan Kesadaran dalam Kesiapan Menghadapi Bencana

Setelah tahap rekonstruksi atau pemulihan selesai, maka diperlukan

penanaman kesadaran kepada masyarakat agar ketika bencana datang

kembali, maka masyarakat sudah mengetahui apa saja yang harus dilakukan

agar dampak dari bencana tersebut dapat benar-benar diminmalisir. Hal ini lah

yang sangat baik dilakukan di Kobe. Masyarakat sangat menganggap serius

masalah mitigasi ini, dengan begitu ketika terjadi bencana gempa, masyarakat

di Kota Kobe sudah mengetahui apa yang harus dilakukan.

3.2.7 Riset Mengenai Gempa Bumi di Jepang

Selain melakukan bentuk-bentuk mitigasi non structural dan mitigasi structural,

Jepang dalam mitigasi non strukturalnya juga mengembangkan riset. Dan hasil riset

tersebut tentunya dapat dimanfaatkan oleh seluruh kawasan di Negara Jepang

termasuk Kota Kobe. Berikit beberapa riset Jepang mengenai kebencanaan.

A. Segitiga Kehidupan

Segitiga kehidupan ini merupakan bagian dari public education. Namun dalam

menentukan segitiga kehidupan ini baik untuk diterapkan, Doug Copp seorang

Kepala Penyelamat dan Manajer Bencana dari American Rescue Team International

(ARTI), tim penyelamat paling berpengalaman di dunia melakukan sebuah riset.

Dengan pengalaman merangkak di bawah 875 reruntuhan bangunan, bekerja sama

dengan tim penyelamat dari 60 negara, dan mendirikan tim penyelamat di beberapa

negara serta salah satu dari ahli PBB untuk Mitigasi Bencana selama 2 tahun. Dan

Page 50: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-26

juga pengalaman bekerja di seluruh bencana besar di dunia sejak tahun 1985, Pada

tahun 1996 dibuat film yang membuktikan keakuratan metode bertahan hidup

segitiga kehidupan. Dengan meruntuhkan sebuah sekolah dan rumah dengan 20

boneka di dalamnya. 10 boneka "menunduk dan berlindung" dan 10 lainnya

menggunakan metode bertahan hidup "segitiga kehidupan". Setelah simulasi gempa,

ternyata setelah melihat ke dalam puing-puing dan masuk ke dalam bangunan untuk

membuat dukumentasi film mengenai hasilnya. Film itu menunjukkan bahwa boneka

yang menunduk dan berlindung tidak dapat bertahan hidup dan mereka yang

menggunakan metode "segitiga kehidupan" bertahan hidup 100%.

Gambar 3.5 Segitiga Kehidupan

Sumber :Tempo Interaktif

Dari gambar tersebut terlihat bahwa metode segitiga kehidupan ini akan terbentuk

dengan sendirinya ketika terjadi gempa dan puing-puing atap bangunan akan jatuh

dan membentur meja atau lemari atau peralatan lainnya dan membentuk sebuah

ruang kosong yang berbentuk segitiga yang dinamakan “segitiga kehidupan”.

B. Chikyu (Kapal Pengeboran Laut)

Sekelompok ilmuwan internasional dari Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa

melakukan penggalian pertama kalinya ke mantel bumi. Mata bor akan menerabas

kerak bumi dan untuk pertama kalinya menembus lapisan mantel, yang selama ini

belum terjamah. Penggalian akan dilakukan menggunakan kapal pengeboran laut

dalam Chikyu, yang ditargetkan bisa menembus sampai kedalaman 7.000 meter.

Pengeboran jauh ke dalam kerak bumi bukan perkara mudah. Salah-salah mata bor

justru menembus batuan leleh panas atau ladang minyak dan gas. Para ilmuwan

internasional yang tergabung dalam proyek ini memang tak mencari sumber minyak

Page 51: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-27

apalagi gas bumi, tapi lumpur. Tapi lumpur yang dicarinya bukan sembarang lumpur,

seperti yang menyembur di proyek PT Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo. Mereka

mengincar lumpur dan inti batuan dalam, yang diharapkan bisa menyediakan

petunjuk kondisi iklim di muka bumi selama ratusan bahkan jutaan tahun. Batuan

dan lumpur dari mantel bumi itu juga akan dianalisis untuk mencari tanda-tanda

kehidupan. Seperti kita tahu, beberapa jenis bakteri mikroskopik bisa hidup pada

temperatur tinggi yang ditemukan di sekitar sumber air panas. Jika bakteri semacam

itu benar-benar ditemukan di kedalaman kerak dan mantel bumi, ada kemungkinan

mereka mempunyai enzim yang tahan temperatur panas.

Tentu bukan cuma lumpur yang akan diperoleh dalam Nankai Trough Seismogenic

Zone Experiment itu. Pengeboran ke mantel bumi ini diharapkan bisa memantau

pergerakan lempeng Filipina dan Eurasia yang berada di bawah kepulauan Jepang.

Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (JAMSTEC), yang menjadi

pemimpin proyek bernilai ratusan juta dolar itu, menyadari risiko misi tersebut.

Sampai saat ini, lubang pengeboran terdalam yang pernah dilakukan barulah

mencapai 2,1 kilometer, sepertiga dari target yang harus dilakukan Chikyu.

Diperkirakan Chikyu harus mengebor selama setahun sebelum bisa melubangi

mantel bumi. Namun, bila misi berhasil, pengeboran terapung di atas kapal seberat

57.500 ton itu akan mengambil sampel pertama dari kerak bumi. "Ini seperti proyek

Apollo, tapi di bawah tanah," kata peneliti Kan Aoike. "Sebuah upaya serius untuk

melengkapi eksplorasi kunci bagi umat manusia."

Chikyu, yang berarti bumi dalam bahasa Jepang, memulai pengeborannya di Palung

Nankai di Samudra Pasifik. Palung itu adalah lapisan kerak bumi paling tipis

dibanding kawasan sekitarnya. Satu tantangan yang harus diatasi oleh Program

Pengeboran Samudra Terpadu itu adalah menembus "Moho", daerah perbatasan

yang secara formal dikenal sebagai Mohorovicic discontinuity. Daerah ini menandai

pemisahan antara kerak bumi terluar yang rapuh dan mantel bumi yang lebih lunak

serta panas. Kerak bumi membentuk lapisan tipis terluar yang membungkus bumi.

Bagian ini terdiri atas batuan padat dengan tebal sekitar 72 kilometer di bawah

benua. Namun, di bawah samudra, tebalnya kurang dari 8 kilometer.

Page 52: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-28

Bersama lapisan mantel terluar yang lebih tebal dan solid di bawahnya, kerak bumi

ini terpecah jadi lempengan-lempengan besar yang bergerak amat pelan.

Gerakannya mirip rakit hanyut di atas lapisan mantel cair di bawahnya. Batuan

mantel di bagian bawah memang selalu berada dalam kondisi cair karena tekanan

dan temperatur tinggi di perut bumi. Pergerakan lempeng amat lambat, sekitar 5

sentimeter per tahun. Pergerakan semacam ini bisa menghasilkan formasi

pegunungan, memicu gempa bumi dan erupsi gunung berapi di bagian tepi lempeng.

Pergerakan lempeng inilah yang menarik minat JAMSTEC, lembaga riset kelautan

Jepang. Apalagi negara itu berada di salah satu zona gempa paling aktif, yaitu

Palung Nankai, sehingga kerap diguncang gempa di atas magnitudo 8. Untuk

melaksanakan riset ini, JAMSTEC melengkapi Chikyu dengan berbagai teknologi

paling modern. Alat bor yang dibawanya menggunakan teknologi yang biasa dipakai

industri minyak. Bor ini dilindungi oleh pipa kedua yang diisi dengan lumpur sebagai

pelumas. Pipa ini memiliki besar yang pas dengan diameter pipa bor dan berfungsi

mengeluarkan serpihan batu dan tanah dari lubang. Sebuah katup pelepas tekanan

berfungsi mencegah semburan yang terjadi jika bor mengenai deposit minyak atau

gas bertekanan tinggi. Jika semburan terjadi, kapal bisa tenggelam, bahkan ledakan

dan kebakaran hebat. Yang paling penting, kapal itu juga dilengkapi sistem dynamic

positioning, mekanisme penentu lokasi yang dipandu satelit. Sistem ini bisa

mengoreksi posisi kapal terhadap angin, gelombang, dan arus dengan enam mesin

pendorong yang menjaga kapal tetap pada tempatnya. Pergeseran kapal sedikit saja

akibat gelombang atau arus bisa membuat pipa bor menjadi bengkok.

Dalam proyek selama 10 tahun itu, JAMSTEC didampingi oleh tim ilmuwan Amerika

Serikat dan Eropa. Selain riset tentang pergerakan lempeng tektonik, ada sejumlah

tugas lain yang harus dikerjakan para ilmuwan tersebut, termasuk upaya

menemukan kehidupan baru dan potensi menyelamatkan umat manusia. Setelah

Chikyu sukses membuat lubang pengeboran sampai ke mantel bumi, sejumlah

sensor akan diletakkan ke dalamnya untuk memantau pergerakan lempeng.

Tujuannya memprediksi kapan dan dimana gempa akan mengguncang dan

mengevakuasi penduduk dari daerah bencana. Metode tercanggih yang ada saat ini

hanya bisa memberikan peringatan akan adanya gempa beberapa menit sebelum

bencana itu terjadi. Riset ini diharapkan gempa dapat diminimalisir dampaknya.

Page 53: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-29

3.3 Mitigasi Gempa Bumi di Kota Quito, Equador

3.3.1 Gambaran Umum Wilayah Kota Quito

Gambaran umum mengenai Quito akan terbagi menjadi pembahasan mengenai

aspek geografis, kependudukan, ekonomi, infrastruktur, riwayat gempa bumi.

Bahasan pada setiap aspek akan dikaitkan dengan salah satu/beberapa faktor yang

memengaruhi resiko Quito terhadap bencana gempa bumi; yakni potensi bahaya

(hazard), kerentanan (vulnerabiity), dan kapasitas (capacity).

A. Aspek Geografis

Kota Quito terletak di bagian tengah-utara dari Equador, tepatnya pada koordinat

00°15′00″S 78°35′00″W. Lokasi menyebabkan secara keseluruhan Quito berada

pada daerah dataran tinggi yang memanjang di sepanjang sempadan Sungai

Guayllabamba. Adapun pada bagian barat Kota Quito berbatasan langsung dengan

Gunung Api Pichincha. Quito berada pada Lempeng Amerika Selatan yang

berbatasan langsung dengan Lempeng Nazca. Dengan kondisi tersebut, maka pada

dasarnya Quito memiliki iklim yang sejuk, dengan suhu 19oC siang hari dan 10oC

pada malam hari.

Luas wilayah Kota Quito mencapai 4.204 km2 pada ketinggan 2.580 m dpl, adapun

bentuk kota ini sendiri ialah memanjang; menandakan pola ribbon development.

Panjang Kota Quito mencapai 40 km, sedangkan lebarnya hanya 5 km. Kota Quito

secara keseluruhan terbagi atas 32 bagian kota, yang secara umum karakteristik

penggunaan lahannya dapat diidentifikasikan menjadi 3 kelompok yang dibatasi oleh

bukit. Bagian tengah Kota Quito merupakan kawasan kota tua. Bagian selatan kota

mayoritas merupakan perumahan berskala rendah-menengah serta kawasan

industri. Adapun bagian utara merupakan bagian yang modern dengan karakteristik

penggunan lahan dipenuhi high rise building untuk bisnis, komersial, dan

permukiman elit.

Kondisi geografis ini menyebabkan Quito memiliki potensi bahaya gempa bumi yang

berasal dari 3 tempat kemungkinan episentrum; yakni gempa di lautan, gempa di

daratan, serta gempa lokal (Quito Risk Manajement Project, 1994).

Page 54: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-30

Gambar 3.6 Peta Lokasi Quito

Sumber : Municipio de Quito

B. Aspek Sosial Kependudukan

Kota Quito merupakan kota dengan jumlah penduduk terbanyak di Equador.

Diperkirakan terdapat 2.504.991 jiwa di seluruh wilayah Quito (data tahun 2005)

yang tersebar di sepanjang koridor Quito. Keadaan saat ini merupakan hasil dari

ledakan penduduk yang terjadi di Quito sejak 4 abad lalu. Pada tahun 1868, Kota

Quito hanya berpenduduk 45.000 jiwa; ledakan penduduk tercatat terjadi pada awal

tahun 1990-an sampai dengan saat ini.

Gambar 3.7 Grafik Pertumbuhan Penduduk Kota Quito

Sumber : Quito Earthquake Manajement Project

Page 55: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-31

Jumlah serta persebaran penduduk dibandingkan dengan luas wilayah Kota Quito

memberikan ruang kehidupan dalam bentuk kepadatan pendudu yang mencapai

4.313,9 jiwa/km2. Adapun banyaknya rumah tangga di Quito ialah sebanyak 419.845

rumah tangga. Penduduk Quito pun terbagi ke dalam kelompok-kelompok sosial

berdasarkan pekerjaan dan tingkat ekonomi mereka yang tersebar satu pola dengan

persebaran guna lahan. Pada umumnya penduduk Quito merupakan ras hispanik

dengan bahasa dan budaya yang hampir sama.

Ledakan penduduk di Kota Quito merupakan salah satu faktor yang semakin

memperbesar resiko bencana gempa bumi di kota tersebut. Di samping karena unsur

jumlah penduduk, unsur kepadatan dan persebaran merupakan unsur penting

lainnya karena hal perbandingan jumlah penduduk yang timpang terhadap daya

dukung lahan dapat mengurangi kemampuan lahan dalam mendukung kehidupan di

atasnya. Selain itu, ledakan penduduk ialah faktor penarik tumbuh dan

berkembangnya pola perkembangan Kota Quito yang tidak ramah terhadap

bencana.

C. Aspek Ekonomi

Kota Quito sebagai Ibukota Negara Equador di samping berfungsi sebagai ruang

kehidupan bagi masyarakat yang tinggal di atasnya juga berfungsi sebagai pusat

pemerintahan. Sebagaimana tipikal negara berkembang, kedudukan ibukota negara

kerap menjadikan kota tersebut sangat menarik untuk menjadi tempat investasi yang

pada akhirnya menjadikan kota tersebut juga sebagai pusat perekonomian. Pada

akhirnya kota menjadi sangat vital dipandang dari segi politis juga ekonomis.

Sebagai pusat perekonomian, tentu konsentrasi kegiatan ekonomi akan berada di

kota tersebut dengan wilayah pengaruhnya yang jauh melebihi wilayah kota itu

sendiri. Pada umumnya modal berupa dana, pabrik, kantor pusat, dan lain

sebagainya pun akan terkonsentrasi di tempat yang sama. Sebagaimana

diindikasikan melalui informasi guna lahan yang telah didapatkan, seluruh karakter 3

bagian Quito memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Bagian utara dengan pusat

perekonomian dalam bentuk high rise building, bagian tengah dengan warisan

sejarah sebagai modal pariwisata, serta bagian selatan yang memiliki banyak pabrik;

seluruhnya merupakan faktor ekonomi yang perlu dilindungi dari bencana.

Page 56: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-32

D. Aspek Infrastruktur

Aspek infrastruktur (sarana dan prasarana) merupakan aspek yang sangat penting,

baik dalam kehidupan sehari-hari maupun pada saat tanggap darurat bencana.

Kerentanan terhadap infrastruktur merupakan suatu hal penting mengingat sifatnya

saling bergantung dengan lahan perkotaan yang dilayaninya (Chapin, Kaiser,

Godschalk, 1995 : 369). Dalam hal yang berkaitan langsung dengan bencana, studi

menyebutkan bahwa terdapat 5 jenis infrastruktur terpenting dalam situasi

pengelolaan bencana; yakni infrastruktur listrik, air bersih, jalan (transportasi),

kesehatan, dan pemadam kebakaran. Di samping itu, kerentanan terhadap

infrastruktur bangunan (untuk jenis kegiatan apapun) juga merupakan hal yang

sangat penting.

Berkaitan dengan uraian di atas, pada dasarnya perkembangan hampir seluruh

infrastruktur di Quito berkembang kurang terencana. Hal ini di samping mengurangi

efisiensi layanan pada saat normal, juga kurang reliable pada saat terjadinya

bencana. Studi “Quito Earthquake Risk Manajement Project” menggarisbawahi

beberapa temuan penting terkait hal tersebut :

a) Sistem jaringan listrik dan air bersih di Quito bukan dibangun pada suatu

sistem loop. Dengan demikian pada keadaan terjadi kerusakan, meskipun

hanya satu titik, maka layanan akan tidak berjalan dan beberapa blok kota

tidak akan terlayani.

b) Jaringan jalan yang berkembang secara linier disertai perkembangan

penduduk dan pembangunan kota yang sporaris menyebabkan jaringan jalan

sulit untuk berkembang serta tidak semua akses jalan saling terhubung.

Pada keadaan terjadi bencana jaringan jalan yang berada di kawasan

berbukit (yang membatasi antar bagian kota) sangat rentan untuk tidak

berfungsi sebagaimanamestinya.

c) Pola perkembangan Kota Quito juga berimplikasi pada kerentanan dan

kapasitas layanan sarana kesehatan, keamanan (polisi), dan pemadam

kebakaran. Ketiga sarana pelayanan tersebut tidak tersebar secara merata di

seluruh wilayah Kota Quito.

Page 57: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-33

Gambar 3.8 Peta Kerentanan Infrastruktur Listrik, Jalan, dan Air Bersih di Kota Quito

Sumber : The Quito Earthquake Risk Manajement Project

Page 58: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-34

Dalam konteks layanan transportasi secara umum, di samping pengembangan jalan

sebagai prasarana transportasi; di Quito juga telah dikembangkan transporasi

massal dalam bentuk kereta api serta kereta listrik. Di samping itu, kondisi Quito

sebagai kota land-log membuat Quito tidak memiliki akses transportasi laut, dan

sebaliknya mengembangkan transportasi udara. Namun demikian keduanya pun

memiliki kerentanan yang tinggi terhadpa bencana gempa bumi. Pada kasus

transportasi kereta api/listrik, ketergantungan terhadap listrik serta pengembangan

jaringan rel kereta api masih rentan terhadap kerusakan dari gempa bumi. Pada

kasus transportasi udara, keberadaan Mariscal Sucre International Airport yang

berada di tengah-tengah kepungan high rise building yang padat; pada kondisi terjadi

bencana sangat memungkinkan untuk terkurangi kapastias layanannya jika struktur

bangunan di sekelilingnya mengalami kerusakan.

Gambar 3.9 Foto Marsical Sucre International Airport

Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Quito

Aspek infrastruktur lainnya yang sangat perlu diperhatikan keretanannya terhadap

bencana ialah sarana bangunan (dalam konteks untuk fungsi apapun). Fokus

perhatian dalam hal ini ialah kerentanan terhadap bangunan rumah (residential),

perkantoran, serta fasilitas sosial lainnya. Ledakan penduduk dan perkembangan

kota mengakibatkan banyak munculnya bangunan yang tidak dirancang dengan baik

(non-engineered structur) serta ketiadaan building codes untuk bangunan tahan

gempa merupakan gambaran tingkat kerentanan bangunan di Quito terhadap gempa

bumi (The Quito Earthquake Risk Manajement Project, 1994).

Page 59: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-35

E. Aspek Riwayat Kebencanaan

Dalam menilai tingkat kerawanan suatu wilayah atas suatu potensi bahaya alam,

maka informasi mengenai riwayat kebencanaan menjadi sangat penting. Bagi Quito,

sejarah mengenai kejadian gempa bumi telah tercatat sejak 460 tahun lalu. Selama

periode tersebut tercatat terdapat 23 kali gempa bumi berintensitas VI MMI ke atas

dan tentu terdapat ribuan gempa kecil. Berikut ialah data gempa berkekuatan VII

sampai IX MMI di Quito :

a) Gempa berkekuatan IX MMI tercatat tahun 1859 dan 1868

b) Gempa berkekuatan VIII MMI tercatat tahun 1587 dan 1755

c) Gempa berkekuatan VII MMI tercatat tahun 1797, 1923, dan 1987

Dengan ditambahkan pada catatan lainnya serta statistik yang ada; pada dasarnya

terdapat beberapa pola bahwa gempa berkekuatan VIII MMI ke atas rata-rata

berulang selama 113 tahun sekali, gempa berkekuatan VII MMI ke atas rata-rata

berulang selama 65 tahun sekali, gempa berkekuatan VI MMI ke atas rata-rata

berulang selama 20 tahun sekali. Hal ini tentu telah menunjukkan bahwa potensi

bahaya gempa bumi akan terus ada bagi Kota Quito. Isu bencana gempa bumi di

Quito juga semakin penting untuk disikapi karena seiring potensi bahaya yang selalu

ada, kerentanan dan kapasitas Quito dalam menghadapi gempa bumi semakin

berkurang. Sebagai perbandingan, pada kejadian gempa 1868 (IX MMI) jumlah

penduduk Quito hanya 1/25 jumlah penduduk Quito di tahun 1994. Adapun pada

kejadian gempa 1987 (VII MMI) dengan jumlah penduduk telah melampaui

1.000.000 jiwa, gempa mengakibatkan korban jiwa 1.000 meninggal dunia dan

kerugian 700 juta dollar.

3.3.2 Kebijakan Pengelolaan Bencana (The Quito Earthquake Risk Manajement)

Pembahasan mengenai kebijakan pengelolaan bencana gempa bumi di Equador

umumnya dan Kota Quito secara khusus, baru mulai dirintis pada awal dekade

90’an. Hal ini cukup bersamaan dengan pencanangan dekade 90’an sebagai dekade

pengurangan resiko bencana oleh PBB. Perumusan kebijakan pengelolaan bencana

gempa bumi di Quito pun merupakan cerminan kerjasama internasional dalam

pengurangan resiko bencana. Di semangat internasional, awal perumusan kebijakan

juga didorong gempa bumi di Quito tahun 1987 (VII MMI). Perumusan kebijakan

tersebut didokumentasikan dalam “The Quito Earthquake Risk Manajement Project”.

Page 60: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-36

“The Quito Earthquake Risk Manajement Project” sebagai pilot project yang

mengawai kebijakan pengelolaan bencana gempa bumi secara umum merupakan

kerjasama antara Pemerintah Equador, Pemerintah Kota Quito, GeoHazard

International (Amerika Serikat), dan OYO Corporation (Jepang). Proyek ini dirintis

pada tahun 1991-1992 dan berlangsung sampai dengan tahun 1994. Adapun tujuan

dari Quito’s Project ialah :

1. Meningkatkan pemahaman atas potensi bahaya gempa bumi dia Kota Quito.

2. Meningkatkan kepekaan atas resiko gempa bumi di Ekuador dan dunia pada

umumnya.

3. Merancang program pengelolaan atas bencana gempa bumi.

Selama kurun waktu kurang lebih 2 tahun, Quito’s Project terbagi atas 3 tahapan;

yakni 1) Tahap analisis potensi bahaya gempa bumi di masa mendatang serta

dampaknya bagi Kota Quito, 2) Tahap analisis dampak kehidupan di Kota Quito

selama satu bulan setelah terjadi bencana gempa bumi, hal ini dilakukan melalui

treasure study atas gempa bumi tahun 1987 (VII MMI), dan 3) Tahap rekomendasi

pengelolaan resiko bencana gempa bumi di Kota Quito.

Pada setiap tahapan di samping sangat mengandalkan pada ilmuwan internasional

dan Equador; keterlibatan dari masyarakat umum serta kalangan dunia usaha juga

sangat penting. Dalam hal keberhasilan menarik minat setiap stakeholder untuk

terlibat dalam proyek ini merupakan salah satu kelebihan Pemerintah Kota Quito.

Proses penyusunan kebijakan dalam bentuk Quito’s Project ini juga memberikan

perspektif baru dalam aspek kepemerintahan. Dominasi Pemerintah Pusat atas

banyak sektor publik seperti pendidikan, keamanan (polisi), kesehatan, energi dan

bencana; dengan hanya menyisakan urusan drainase dan tata ruang pada

Pemerintahan Kota berhasil diubah paradigmanya melalui proyek ini. Pada akhirnya,

integrasi pemerintah pada setiap level, dukungan ilmuwan internasional, dan

ketertarikan masyarakat umum menjadikan Quito’s Project dapat berhasil melalui

ketiga tahapan dengan baik.

Page 61: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-37

Bentuk kebijakan lain selain menjadikan dokumen The Quito Earthquake Risk

Manajement Project sebagai landasan dalam perencanaan mitigasi bencana; ialah

pembentukan Quito Earthquake Safety Advisory Board (QESAB). Pembentukan ini

didasari pada kebutuhan kepemimpinan, komitmen, dan keberlanjutan dalam

mengimplementasikan rencana mitigasi bencana gempa bumi di Kota Quito.

Perspektif yang dihasilkan pada pelaksanaan proyek menyebutkan bahwa dalam

pengelolaan bencana sangat dibutuhkan koordinasi yang berkesinambungan antara

Pemerintah Pusat, Pemerintah Kota, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perusahaan-

perusahaan, sekolah, dan sebagainya. Oleh karenanya bentuk koordinasi yang

dibentuk ialah suatu badan yang terdiri atas berbagai unsur dan bertanggungjawab

langsung kepada Walikota Quito.

Pelaksanaan pekerjaan QESAB dilakukan, dikoordinasikan, dan dilaporkan langsung

kepada Walikota Quito melalui koordinator yang ditunjuk langsung oleh walikota dan

bertindak selaku Asisten Walikota Quito khusus mengenai lingkup pekerjaan ini.

Arahan kerja QESAB diberikan langsung oleh Walikota yang mencakup tujuan dan

wewenang QESAB, kriteria pemilihan anggota, dan kaitannya dengan lingkup

pekerjaan Pemerintah Kota. Pada dasarnya QESAB terdiri atas representasi

Pemerintah Kota, representasi pengusaha, berbagai perwakilan kantor pelayanan

publik, akademisi, serta komunitas terkait lainnya.

Badan ini bertanggungjawab memberi masukan pada Walikota, Pemerintah Kota,

sektor swasta atas bentuk kegiatan yang harus dilakukan sebagai bentukkesiapan

menghadapi gempa bumi. Badan ini juga bertanggungjawab melakukan prioritas

mitigasi yang dilakukan berdasarkan analisis resiko bencana sekaligus

melaksanakan program manajemen bencana, updating data, advokasi mitigasi, serta

pencarian dana untuk kebutuhan mitigasi dan pengelolaan bencana. Dalam rangka

memenuhi kegiatan tersebut, badan ini diberi wewenang untuk melakukan berbagai

kerjasama sampai dengan ke level internasional.

3.3.3 Analisis Resiko Gempa Bumi Kota Quito di Masa yang Akan Datang

Tahap pertama pada Quito’s Project merupakan langkah penting bagi keseluruhan

tahap dan kegiatan berikutnya, bahkan sampai ketika proyek ini berakhir. Analisis

terhadap kemungkinan terjadinya gempa bumi di masa yang akan datang serta

Page 62: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-38

proyeksi resiko serta dampak yang mungkin terjadi di seluruh wilayah Quito, di

samping merupakan landasan bagi kebijakan serta bentuk mitigasi lainnya juga

memiliki arti strategis untuk membuat seluruh pihak terkait sadar bahwa pengelolaan

bencana merupakan tanggung jawab bersama. Tahap pertama ini diawali dengan

penentuan tiga jenis kemungkinan gempa bumi yang dapat menyebabkan

kerusakan/kerugian di Quito.

Intensitas getaran yang akan dirasakan tanah di Quito akibat terjadinya suatu gempa

bumi ditentukan oleh tiga faktor, yakni 1) kekuatan gempa (magnitude), 2) jarak

epicenter gempa terhadap Kota Quito, dan 3) kondisi tanah di masing-masing tempat

di Kota Quito. Dalam analisis kemungkinan gempa di masa datang yang akan

memengaruhi Kota Quito, para ahli menginterpertasi data dari catatan gempa bumi

Quito sampai dengan abad ke-16. Pada akhirnya dihasilkan tiga kemungkinan,

sebagai berikut :

a) Gempa bumi di lautan pada zona subduksi dengan kekuatan 8,4 MMI

dengan lokasi epicenter 200 km di arah barat Kota Quito (Titik A).

b) Gempa bumi di daratan dengan kekuatan 7,3 MMI dengan lokasi epicenter

80 km di arah timur Kota Quito (Titik B).

c) Gempa bumi lokal dengan kekuatan 6,5 MMI dengan lokasi epicenter 25 km

di arah utara Kota Quito (Titik C).

Gambar 3.10 Peta Lokasi Kemungkinan Gempa Bumi di Kota Quito

Sumber : The Quito Earthquake Risk Manajement Project

Page 63: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-39

Intensitas getaran yang dirasakan pada suatu lokasi di Kota Quito pada akhirnya

ditentukan pula oleh keadaan tanah di lokasi itu sendiri. Sebagai contoh, ketika

seluruh faktor yang menentukan intensitas yang dirasakan berada pada kondisi yang

sama; tanah yang lebih lembut bergetar lebih kencang dibandingkan dengan tanah

yang keras. Untuk dapat memeroleh analisis dampak yang lebih detail, maka Kota

Quito dibagi ke dalam 18 zona, berdasarkan keadaan tanah di masing-masing zona.

Pada setiap zona akan dianalisis intensitas gempa yang terasa akibat ketiga jenis

gempa bumi yang diperkirakan akan terjadi.

Berdasarkan hasil analisis resiko yang dilakukan, terdapat temuan penting terhadap

intensitas gempa yang terasa di Kota Quito; yakni 1) Meskipun gempa di lautan (8,4

MMI) melepaskan energi 30 kali lebih besar dari gempa daratan (7,3 MMI); gempa

tersebut memberikan intensitas gerakan tanah yang lebih kecil karena lokasi

episentrum sejauh 120 km dari Kota Quito. 2) Meskipun kekuatan gempa lokal di

Kota Quito merupakan yang terkecil, tetapi menyebabkan intenstitas gempa yang

terasa di Kota Quito lebih besar dibandingkan jenis gempa lainnya. Besaran

intenstias gempa yang dirasakan pada setiap zona relatif berbeda terkait dengan

getaran dan loksi episentrum gempa. Perbandingan intensitas gempa yang terasa

pada setiap zona akibat setiap jenis gempa ditunjukkan pada Gambar 3.x.

Hasil analisis gerakan tanah dan besaran intensitas gempa yang dirasakan pada

setiap zona di Kota Quito pada dasarnya menjadi landasan dalam memperkirakan

dampak yang akan ditimbulkan terhadap berbagai aspek kehidupan di Quito. Dalam

hal ini terlihat dampak kerusakan terhadap bangunan-bangunan, prasarana jalan

raya, jaringan listrik, jaringan air bersih, dan jaringan drainase. Oleh karena jenis

gempa lokal diperkirakan memberikan dampak kerusakan yang paling besar; maka

dalam Quito’s Project jenis gempa ini yang lebih diperhatikan dalam penyusunan

rencana mitigasi bencana di Kota Quito.

Page 64: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-40

Gambar 3.11 Perbandingan Intesitas Gempa di Setiap Zona Kota Quito Akibat Ketiga Jenis Gempa Bumi

Sumber : The Quito Earthquake Risk Manajement Project

Intensitas GempaAkibat Gempa di Laut (A)

Intensitas GempaAkibat Gempa di Daratan (B)

Intensitas GempaAkibat Gempa Lokal (C)

Page 65: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-41

Hasil besaran intensitas gempa yang dirasakan pada setiap zona di Kota Quito

kemudian digunakan untuk mengestimasi kerusakan akibat gempa terhadap

bangunan dan infrastruktur. Estimasi ini dapat dilakukan dengan memiliki data

mengenai tipe struktur yang ada di setiap zona dan analisis respon setiap struktur

terhadap pengaruh setiap gempa. Perilaku setiap struktur dalam kondisi gempa tidak

hanya dipengaruhi oleh kondisi tanah; melainkan pula oleh usia struktur, material,

desain, kualitas konstruksi, dan dimensi stuktur itu sendiri.

Berdasarkan karakteristik bangunan atas

faktor-faktor tersebut, pada dasarnya

terdapat 5 kelompok jenis bangunan di

Quito; yakni :

a) adobe (bangunan bata)

b) masonry (bangunan batu)

c) self-built,

d) steel, dan

e) beton bertulang (reinforced concrete)

Di samping pengelompokkan di atas,

terdapat pula pengelompokkan

berdasakan jumlah lantai bangunan,

yakni:

a) Low-Rise Building (< 3 lantai)

b) Med-Rise Building (3-7 lantai)

c) High-Rise Building (> 8 lantai)

Besaran gempa yang disimulasikan pada

setiap jenis bangunan pada zona-zona

tanah di Kota Quito ialah mengacu pada

standar bangunan yang diterapkan di

California, serta intensitas gempa yang

terjadi di Kota Quito pada tahun 1987.

Gambar 3.12 Peta Sebaran Jenis

Kelompok Bangunan di Kota Quito

Sumber : The Quito EarthquakeRisk Manajement

Page 66: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-42

Dari kelompok-kelompok jenis bangunan

tersebut, kemudian ditemukan bahwa

terdapat karakteristik blok-blok di Quito.

Karakteristik tersebut bergantung pada

kelompok struktur yang dominan pada

suatu blok, yakni :

1) Jenis struktur yang paling dominan

di Kota Quito adalah flat.

2) Terdapat kelompok bangunan “non-

engineered” dan permukiman

kumuh yang tidak teratur.

3) Terdapat konsentrasi bangunan

zaman dahulu dengan bahan batu

bata di tengah-tengah kota.

Pada gambar 3.x terlihat persentase

kerusakan yang dialami setiap struktur

dengan tingkatan kerusakan masing-

masing. Jenis kerusakan di Kota Quito

terbagi atas 7 level; yakni None, Slight,

Light, Moderate, Heavy, Major, dan

Destroyed

Berdasarkan gambar di samping, kita dapat melihat bahwa area dengan kerusakan

10-20% merupakan area kerusakan terluas dengan jenis bangunan self-built.

Adapun pada bagian utara Quito yang lokasinya cukup dekat dengan episentrum

gempa, kerusakan 10-20% dialami bahkan oleh jenis bangunan reinforced concrete

(yang mayoritas adalah high-rise building); sedangkan jenis bangunan self-built yang

terletak di daerah tersebut mengalami kerusakan sampai dengan lebih dari 30%.

Pada lokasi-lokasi yang umumnya bangunan self-built mengalami kerusakan 10-

20%, jenis bangunan dengan konstruksi beton (reinforced concrete) hanya

mengalami kerusakan berkisar antara 3-9% saja.

Sumber : The Quito EarthquakeRisk Manajement

Gambar 3.13 Peta Sebaran

Kerusakan Bangunan akibat Gempa

Page 67: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-43

3.3.4 Teknis Mitigasi Bencana Struktural di Kota Quito

A. Peningkatan Kualitas Infrastruktur Tanggap Darurat

Tingkat kerentanan Kota Quito yang tinggi terhadap potensi bencana gempa bumi

salah satunya disebabkan oleh minim dan tidak meratanya fasilitas dan peralatan

untuk respon darurat bencana; hal ini mencakup infrastruktur pemadam kebakaran,

polisi, serta ruang untuk evakuasi. Oleh karena itu konsentrasi mitigasi bencana

struktural di Kota Quito masih pada tahap memprioritaskan pengemangan

kemampuan respon darurat bencana melalui pembangunan infrastruktur tanggap

darurat agar dapat cepat dan efektif dalam bertindak pada kondisi tanggap darurat.

Langkah mitigasi ini meliputi inventarisasi kemampuan sumber daya manusia dan

infrastruktur yang dimiliki; untuk kemudian dikembangkan sesuai dengan analisis

resiko dan dampak bencana gempa bumi di Kota Quito.

Langkah mitigasi struktural ini menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah

Kota Quito, Pemadam Kebakaran, berbagai Rumah Sakit, Polisi, dan Lembaga

Tanggap Darurat lainnya. Koordinasi antar lembage tersebut menghasilkan

kesepakatan bahwa prioritas berada pada peningkatan infastruktur Pemadam

Kebakaran, Search & Resque (SAR), dan rumah sakit. Prioritas utama dari

keseluruhan kegiatan ialah penyebaran sarana masing-masing prioritas sehingga

terdapat akses yang sama di seluruh wilayah Quito terhadap pemadam kebakaran

dan rumah sakit. Adapun langkah detail lainnya sebagai berikut :

a) Inspeksi rutin terhadap kesiapan Hydrant oleh Pemadam Kebakaran dan

PDAM Kota Quito.

b) Penyediaan crane untuk perbaikan saluran drainase

c) Penyediaan peralatan keselamatan (P3K, makanan darurat, cadangan air

bersih) untuk perusahaan-perusahaan, industri, fasilitas sosial.

d) Peningkatan kemampuan dan peralatan untuk Search&Rescue Team

B. Adopsi dan Penerapan Building Code

Penerapan building code diharapkan dapat memastikan keselamatan berbagai

fasilitas, agar dirancang dan dibangun dalam suatu standar yang tahan gempa.

Dalam mitigasi ini, sekelompok insinyur sipil dan perencana kota memuat suatu

aturan building code untuk seluruh jenis bangunan di Kota Quito, memfasilitasi

integrasi building code terhadap desain dan rancangan bangunan, serta secara

Page 68: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-44

berkala meng-update building code tersebut. Penerapan building code dilakukan

melalui pendidikan terhadap para perencana, arsitek, dan insinyur sipil.

Model umum building code di Kota Quito mengadopsi model Uniform Building Code

yang diterapkan di Amerika Serikat. Jenis mitigasi bencana ini, secara spesifik,

merupakan tanggung jawab Sociedad Ecuatoriana de Ingenirea Estructural, Camara

de la Construccion de Quito, Municipio de Quito, dan Institutio Ecuatoriano de

Normalizacion. Berikut ialah beberapa kegiatan spesifik penerapan building code di

Quito :

Pengembangan building code yang lebih ketat bagi fasilitas sosial seperti

rumah sakit, pemadam kebakaran, kantor polisi, sekolah, dan tempat

pengungsian

Pengembangan building code khusus bagi bangunan/struktur kritis,

seperti misalnya bangunan kuno

Penerbitan dan publikasi peraturan bagi rancangan rumah tipe self-built

yang umumnya dibangun sendiri oleh pemilik rumah

Pengadaan pelatihan untuk para profesional di bidang konstruksi

mengenai seismic design and constructio

Pengadaan peraturan loan agreement agar bangunan-bangunan sewaan

dipastikan tetap mematuhi building code.

3.3.5 Teknis Mitigasi Bencana Non Struktural di Kota Quito

Implementasi mitigasi bencana gempa non struktural di Kota Quito lebih banyak

jenisnya dibandingkan dengan mitigasi struktural. Jenis mitigasi non struktural

tersebut antara lain pelatihan kebencanaan dan peraturan asuransi. Berikut ialah

uraian dari setiap jenis mitigasi non struktural tersebut :

A. Pelatihan Kebencanaan berbasis Tempat Kerja

Salah satu faktor yang membuat kerentanan Kota Quito tinggi ialah ketidaksadaran

masyarakat bahwa tempat tinggal mereka ialah daerah rawan bencana. Hal ini

memengaruhi perilaku masyarakat yang tidak siap ketika bencana sewaktu-waktu.

Oleh karena itu bentuk mitigasi melalui kegiatan pelatihan kebencanaan menjadi

sangat penting.

Page 69: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-45

Strategi peningkatan kemampuan dan kesiapan masyarakat melalui pelatihan yang

berbasiskan personil industri dan perusahaan-perusahaan di bidang lain. Asumsi

yang digunakan ialah bahwa melalui strategi ini akan menyebarkan informasi

mengenai bencana di setiap rumah tangga, hal ini dipercaya akan berhasil karena

personil perusahaan sebagai manusia dewasa diasumsikan memiliki logika berpikir

dan kebijaksanaan dalam menyalurkan infomasi bagi lingkungannya.

Di samping asumsi di atas, pendekatan pelatihan melalui personil/karyawan juga

dilakukan untuk memancing ketertarikan manajemen perusahaan terhadap resiko

bencana gempa bumi yang ada di Kota Quito. Dengan demikian, manfaat pendidikan

kebencanaan tidak hanya bagi personil, tetapi juga terhadap perusahaan itu sendiri.

Pengenalan terhadap resiko bencana akan menstimulus perusahaan untuk membuat

rencana darurat, jika kejadian bencana terjadi dan memengaruhi kegiatan di

perusahaan tersebut.

Pengembangan substansi pelatihan serta pengemasan pelatihan menjadi isu yang

terus bergulir dan berkembang di dalam mitigasi ini. Pemberian pelatihan terhadap

personil perusahaan disepakati akan dikelola bersama antara perusahaan tersebut,

Palang Merah, Pemadam Kebakaran, ALERTA, serta Pertahanan Sipil.

B. Peraturan Asuransi Pro Kesiapan Bencana Gempa Bumi

Penerapan peraturan asurasi dengan persyaratan yang sangat mempertimbangkan

adanya potensi bencana gempa bumi akan mendorong tanggung jawab dalam

membuat konstruksi bangunan yang tahan gempa. Melalui mitigasi bencana jenis ini,

Pemerintah Kota Quito menerapkan suatu standar dan tarif asuransi bagi seluruh

masyarakat agar membangun dan menempati bangunan yang tahan gempa.

Tarif asuransi bagi setiap jenis bangunan akan ditentukan melalui variabel kondisi

tanah dikaitkan dengan intensitas tanah tersebut pada kondisi gempa, distribusi

kerusakan, dan rancangan serta konstruksi bangunan. Keringanan tarif asuransi

akan diberikan pada bangunan yang sesuai dengan syarat konstruksi. Hal ini juga

memberikan tambahan kompensasi pada kerusakan bangunan ketika gempa bumi

terjadi.

Page 70: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

III-46

3.3.6 Riset Ilmu Kebencanaan dan Teknologi di Kota Quito

Pendekatan potensi geologi pada tahap awal pekerjaan Quito’s Project hanya

mengandalkan data geologi yang terbatas. Terdapat banyak asumsi yang digunakan

seperti kedalaman jenis-jenis batuan di bawah permukaan Kota Quito, perlambatan

gerakan tanah akibat gempa, respon tanah, dan respon berbagai jenis struktur

bangunan dalam keadaan gempa. Riset lebih jauh dalam hal ini akan meningkatkan

tingkat kedetailan mengenai potensi bahaya geologi gempa bumi, metode

pengenalan resiko gempa bumi, dan kebijakan pengelolaan bencana gempa bumi.

Berikut ialah fokus riset keilmuan untuk Kota Quito :

a) Pengembangan basis tanah profil tanah

b) Pemetaan batuan bawah tanah

c) Pemetaan sesar dan lipatan aktif

d) Penempatan alat deteksi gempa bumi dan pengukur intensitas tanah

e) Studi evaluasi respon bangunan dalam keadaan gempa

f) Pengembangan metode prediksi kerusakan struktur bangunan akibat gempa

g) Pengembangan skenario resiko gempa bumi untuk wilayah Quito yang lebih

luas lagi

Page 71: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

IV-1

BAB IV

PENUTUP

4.1 Apresiasi dan Kritik

4.1.1 Apresiasi dan Kritik Mitigasi Bencana Kota Nice, Prancis

Kota Nice sebagai kota dengan tingkat ekonomi yang relatif tinggi ternyata

merupakan suatu kota dengan tingkat kerawanan bencana gempa yang cukup tinggi.

Akan tetapi, hal tersebut ternyata belum dapat disikapi dengan serius oleh

pemerintahan di Kota Nice tersebut. Hal ini terlihat dari kurangnya penanganan

terhadap bencana yang akan terjadi khususnya gempa. Tidak adanya komisi khusus

yang menangani itu memungkinkan adanya keterlambatan dalam aksi menghadapi

bencana yang akan terjadi. Hal itu terjadi dimungkinkan karena periodesasi

terjadinya bencana yang relatif cukup lama yaitu lebih dari 1 abad. Pemerintah Kota

Nice masih menganggap kejadian bencana gempa masih belum terlalu penting untuk

diperhatikan dengan serius.

Meskipun begitu, Kota Nice telah lebih maju dibandingkan dengan kota-kota lainnya

di Prancis. Hal ini disebabkan Kota Nice berlokasi sangat dekat dengan laut serta

struktur lapisan tanah yang kurang stabil memberikan tingkat kerawanan yang lebih

tinggi dibandingkan dengan kota-kota lainnya. Kota Nice telah mengaplikasikan

berbagai kebijakan construction code lebih dahulu dibandingkan dengan kota-kota

lainnya. Selain itu, berbagai penelitian telah dilakukan dengan lokasi studi di Kota

Nice sehingga memberikan pengetahuan yang lebih baik mengenai kondisi Kota

Nice baik fisik, sosial, maupun ekonomi. Begitu juga dengan pemberian berbagai

pendidikan kebencanaan terhadap masyarakat.

Pada intinya, mitigasi bencana di Kota Nice perlu lebih ditingkatkan dengan

membuat suatu regulasi mengenai kebencanaan khususnya untuk bencana gempa.

Hal tersebut akan lebih meningkatkan control terhadap kegiatan mitigasi bencana

yang dilakukan dan akan berefek terhadap tingkat kesadaran masyarakat dalam

menghadapi bahaya bencana gempa yang akan terjadi.

Page 72: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

IV-2

4.1.2 Apresiasi dan Kritik Mitigasi Bencana Kota Kobe, Jepang

Jepang merupakan negara yang sangat rentan terhadap bencana gempa bumi dan

juga tsunami. Hal ini juga didukung dengan keadaan geografis Jepang yang terletak

di petemuan tiga buah lempeng bumi, yaitu lempeng eurasia, lempeng filipina, dan

lempeng pasifik. Setelah gempa bumi yang sangat besar yang melanda kawasan

Kobe pada tahun 1995, Jepang semakin banyak belajar bagaimana cara mitigasi

yang baik untuk mengurangi atau meminimalisir dampak yang terjadi setelah

terjadinya gempa bumi.

Jepang sangat menganggap serius untuk permasalahan kebencanaan ini. Hal ini

dapat dilihat dengan dibentuknya suatu badan khusus yang menangani masalah

kebencanaan. Jepang juga mengeluarkan kebijakan Hyogo Phoenix, yaitu kebijakan

yang mengharuskan pasca terjadinya suatu bencana, maka kawasan yang terkena

bencana tersebut harus langsung diambil tindakan untuk dipulihkan ke keadaan

normal. Untuk di Kota Kobe sendiri, pasca terjadinya gempa besar yang melanda

kota tersebut pada tahun 1995, banyak upaya-upaya mitigasi yang dilakukan oleh

pemerintah kota tersebut. Diantaranya yaitu membentuk konsep utama dalam

penanganan mitigasi gempa ini yang selanjutnya menyiapkan setiap level

pemerintahan di kota tersebut dalam menghadapi bencana, yaitu dilakukan sampai

pada tingkat lingkungan rumah tangga dan tingkat kecamatan. Selain itu, Kota Kobe

juga menerapkan implementasi Konsep Safety Oriented City, yaitu bentuk-bentuk

mitigasi struktural yang dilakukan untuk menghadapi terjadinya bencana. Kota Kobe

juga memiliki manajemen yang baik dalam menangani bencana.

Konsep mitigasi yang dimiliki oleh Kota Kobe ini sangat baik untuk diapresiasi karena

dengan kondisi daerah yang sangat rentan terhadap bencana, selain Kota Kobe juga

merupakan pusat salah satu pelabuhan besar di dunia, Kota Kobe mempersiapkan

dengan baik upaya-upaya mitigasi untuk mengurangi dampak apabila terjadi

bencana. Hampir dikatakan tidak ada kritik untuk konsep mitigasi di Kota Kobe ini,

karena untuk kesadaran masyarakat pun juga masyarakat sangat cerdas dalam

upaya-upaya mitigasi tersebut. Hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah Kota

Kobe yaitu bagaimana memanajemen dengan baik konsep mitigasi tersebut agar

dapat lebih meningkatkan kesiapan darisegala aspek.

Page 73: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

IV-3

4.1.3 Apresiasi dan Kritik Mitigasi Bencana Kota Quito, Equador

Kegiatan mitigasi bencana gempa bumi di Kota Quito dimulai melalui suatu pilot

project penyusunan rencana pengelolaan bencana gempa bumi yang disebut

dengan “The Quito Risk Management Project”. Dokumen tersebut memiliki peran

strategis karena memberikan panduan rencana pengelolaan bencana yang

komprehensif bagi Kota Quito serta menjadi pedoman bagi pengelolaan di tingkat

nasional Negara Equador. Penyusunan rencana tersebut memiliki suatu hal yang

patut diapresiasi, yakni adanya keberanian secara politis untuk melakukan hal

tersebut. Seperti kita ketahui bahwa pekerjaan tersebut dapat dikatakan investasi

jangka panjang, yang dalam kacamata orang awam mungkin dianggap kurang

berguna. Hal ini sejalan dengan pandangan umum, yang pada saat itu masih

menganggap pengelolaan bencana hanyalah tindakan pasca bencana.

Keberanian politis dari Pemerintah Kota Quito pada akhirnya memberikan tiga nilai

tambah. Nilai tambah yang pertama ialah munculnya kesadaran akan bencana yang

ditindaklanjuti dengan peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi

bencana; namun demikian pendekatan yang dilakukan hanya melalui edukasi

terhadap karyawan-karyawan di berbagai perusahaan.Nilai tambah yang kedua ialah

berubahnya paradigma pelayanan publik, dimana awalnya banyak sektor publik yang

dikelola oleh Pemerintah Equador mulai didesentralisasikan pasca proyek ini. Nilai

tambah yang ketiga ialah terdapatnya dukungan lembaga-lembaga internasional

dalam pelaksanaan proyek ini, dukungan dan bantuan ini sangat berguna karena

seperti kita ketahui Negara Equador adalah negara berkembang yang pada

dasarnya belum cukup concern terhadap kebencanaan.

Dokumen Quito’s Project yang dihasilkan selama rentang 2 tahun pelaksanaan

(1992 – 1994) menghasilkan suatu rencana yang komprehensif, meliputi berbagai

program mitigasi sturkural dan non struktural yang tepat sasaran. Bentuk mitigasi

struktural berupa implementasi building code dan peningkatan kualitas serta

kuantitas infrastruktur penyelamatan; merupakan program yang tepat sasaran pada

persoalan kerentanan infrastruktur di Kota Quito yang sangat rentan terhadap gempa

bumi. Adapun bentuk mitigasi non struktural dalam bentuk aturan asuransi yang pro

kesiapan bencana bumi dan pelatihan kebencanaan, cukup efektif untuk menarik

Page 74: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

IV-4

perhatian beragam unsur masyarakat di Quito untuk peduli pada ancaman bencana

gempa bumi.

Namun demikian, terdapat beberapa kritik utama dalam Quito’s Project; yakni

keterbatasan dalam data dan informasi yang dibutuhkan mengurang akurasi program

mitigasi yang dihasilkan. Kritik lainnya ialah kurangnya variasi dalam peningkatan

kapasitas kemampuan masyarakat karenan program yang ada belum menyentu

seluruh lapisan masyarakat. Pendekatan utama melalui karyawan perusahaan belum

sepenuhnya menyentuh lapisan masyarakat; contohnya ialah pada masyarakat yang

tidak bekerja. Kritik terakhir ialah kelengkapan program mitigasi yang dihasilkan

Quito’s Project, masih sangat dipertanyakan kesiapan data, informasi, model,

metode, serta dukungan finansial.

Page 75: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

IV-5

Tabel 4.1 Matriks Perbandingan Mitigasi Bencana di Prancis, Jepang, dan Equador

Aspek Kota Nice, Prancis Kota Kobe, Jepang Kota Quito, EquadorKondisi Geologi Dilalui dua jaur lempeng tektonik,

yaitu eurasia dan afrika.Kondisi tanah sebagian dari wilayahdi Kota Nice merupakan tanahalluvial yang tidak begitu stabil.

Dilalui tiga lempeng tektonik; yakniEurasia, Pasifik, Filipina.

Berada di lempeng AmerikaSelatan dan atas pengaruhlempeng Amerika Selatan danNazca.Bentang alam berupa datarantinggi, di bawah pengaruhaktivitas Sungai Guayllabambadan Gunung Api Pichincha.

Kegiatan Utama Kawasan pariwisata dan jasaindustri.

Kegiatan Pelabuhan yangmerupakan salah satu pelabuhanterbesar di Dunia.

Pusat Pemerintahan Ekuadordan pusat kegiatan ekonomiskala nasional.

KerentananMasyarakat

Rendah; karena masyarakatnyamerupakan masyarakat yangberpendidikan.

Rendah : karena masyarakat KotaKobe sadar akan letak mereka didaerah yang rentan terhadapbencana.

Tinggi; karena masyarakat Quitoumumnya tidak sadar bahwamereka berada di wilayah yangrentan gempa bumi.

KerentananEkonomi

Rendah; karena Kota Nice bukanmerupakan pusat kegiatan ekonomiriil.

Tinggi : karena merupakan pusatpelabuhan dan juga merupakanpusat perdagangan.

Tinggi; karena merupakankonsentrasi kegiatan ekonomiskala nasional yang padawalnya dikembangkan tanpaparadigma sadar bencana.

KerentananInfrastruktur

Tinggi karena merupakan lokasipariwisata terkenal di dunia.

Tinggi : karna merupakan salahsatu kota besar di Jepangditambah lagi terdapat pelabuhanyang merupakan salah satupelabuhan besar di dunia.

Tinggi; karena merupakankonsentrasi infrastruktur skalanasional dengan konstruksiyang minim dipengaruhi bentukperkembangan kota yangmemanjang sehingga tidakterjadi pemerataan pelayananinfrastruktur bagi seluruh zonadi Kota Quito.

Page 76: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

IV-6

Kebijakan Belum ada kebijakan yang spesifikmengenai bencana.

- Kebijakan Konsep SafetyOriented City.- Kebijakan Hyogo Phoenix, yaiturekonstruksi pasca bencana(kebijakan pemerintah pusat)

- Penyusunan dokumen TheQuito Earthquake RiskManagement.- Pembentukan QuitoEarthquake Safety AdvisoryBoard

MitigasiStruktural

Adanya construction code Konsep Safety Oriented City - Building Code- Peningkatan infrastrukturpenyelamatan bencana gempabumi

Mitigasi NonStruktural

Pendidikan terhadap masyarakatmelalui media booklet danpenyuluhan kepada siswa sekolah

Penyiapan setiaplevel dalampemeintahan Kota Kobe (tingkatlingkungan umah tangga, tingkatintermediate, dan tingkatkecamatan.

- Peraturan Asuransi BangunanPro Kesiapan Gempa Bumi dan- Pelatihan KebencanaanBerbasis Karyawan Perusahaan

Riset Ilmu danTeknologi

-Lokasi-lokasi rawan bencana-Tingkat ketahanan bangunan

- Public Education : SegitigaKehidupan- Chikyu (Kapal Pengeboran Laut)

- Pengembangan dan updatebasis data geologis Kota Quito- Pengembangan metode danpemodelan analisis resiko sertamanajemen bencana gempabumi

Sumber : Hasil Analisis, 2009

Page 77: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

IV-7

4.2 Relevansi Studi untuk Mitigasi Gempa Bumi di Indonesia

4.2.1 Relevansi Studi dari Mitigasi Bencana Kota Nice, Prancis

Jika membandingkan dengan kegiatan mitigasi bencana yang telah dilakukan di

Indonesia, dapat disimpulkan bahwa mitigasi di Indonesia lebih baik dari sisi teknis

dibandingkan mitigasi bencana di Kota Nice. Akan tetapi, terdapat perbedaan dalam

hal tingkat pendidikan masyarakat antar kedua negara tersebut. Tingkat pendidikan

masyarakat di Kota Nice dapat dikatakan masih lebih tinggi dibandingkan di

Indonesia. Hal ini membuat berbagai kebijakan yang dibuat di Kota Nice dapat

dengan cepat terimplementasikan, sedangkan di Indonesia, berbagai kebijakan yang

telah dibuat kurang terimplementasikan dengan baik dikarenakan berbagai faktor

diantaranya kepatuhan pelaksana kebijakan tersebut. Oleh karena itu, satu hal yang

perlu diperbaiki dari Indonesia adalah bagaimana masyarakat dapat mematuhi

seluruh kebijakan yang dibuat.

4.2.2 Relevansi Studi dari Mitigasi Bencana Kota Kobe, Jepang

Hal utama yang membedakan proses mitigasi di Jepang dan di Indonesia salah

satunya adalah faktor masyarakat. Masyarakat Jepang sangat sadar bahwa kawasan

mereka merupakan kawasan yang sangat rentan terhadap bencana seperti gempa

bumi dan tsunami, namun masyarakat Indonesia belum terlalu sadar akan potensi

bencana yang sangat besar di Kawasan Indonesia ini. Hal ini dapat dilihat ketika

terjadi bencana, korban jiwa di Jepang sangat lebih sedikit dibandingkan dengan

Indonesia. Selain itu setiap kota di Jepang memiliki konsep-konsep tersendiri dalam

melaksanakan mitigasi bencana sesuai dengan keadaan geologi, geografis dan

aspek lainnya. Sedangkan di Indonesia tiap-tiap kota belum mempunyai konsep

mitigasi khusus. Sangat baik apabila di kota-kota di Indonesia menyusun konsep

mitigasi agar siap terhadap datangnya bencana. Selain itu kesadaran dan pendidikan

masyarakat Indonesia harus ditingkatkan sebagai bentuk upaya mitigasi.

4.2.3 Relevansi Studi dari Mitigasi Bencana Kota Quito, Equador

Perencanaan pengelolaan dan mitigasi bencana gempa bumi di Kota Quito serta

Ekuador pada umumnya dimulai dengan adanya kemampuan politis yang kuat dari

Walikota Quito. Dengan mempertimbangkan keberlangsungan kegiatan sehari-hari di

perkotaan, rencana pengelolaan bencana dapat diwujudkan dengan bantuan

Page 78: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

IV-8

berbagai pihak. Kemauan politis seperti ini merupakan sesuatu yang patut dicontoh

oleh para pemimpin di Kota/Kabupaten di Indonesia. Sebagai perbandingan, pasca

penerbitan UU 24/2007 mengenai Pengelolaan Bencana; baru 4 kota pesisir yang

memiliki rencana mitigasi bencana (Departemen Kelautan & Perikanan, 2007) dan

contoh lainnya di kota/kabupaten di Provinsi Lampung kesulitan membuat rencana

mitigasi karena lambatnya proses pembuatan perda di tingkat Provinsi Lampung

mengenai hal ini (Kajian Mitigasi Bencana untuk Perencanaan Wilayah Kabupaten

Tanggamus, 2008).

Quito’s Project merupakan pilot project rencana mitigasi yang diharapkan dapat

menjadi contoh, baik dalam lingkup Equador maupun internasional. Dalam hal ini,

Indonesia sebagai negara yang besar tentu menghadapi isu pemerataan

pembangunan wilayah (secara umum) dan tentu isu tersebut juga cukup relevan

berkaitan dengan peningkatan kapasitas kota/kabupaten di Indonesia dalam

menghadapi ancaman bencana alam gempa bumi. Hal ini ditambah dengan

kenyataan bahwa penerbitan undang-undang di tingkat nasional ditanggapi dan

diterapkan dalam kecepatan yang berbeda-beda di tiap daerah. Dengan demikian, di

samping dibutuhkan ketegasan dan kerajinan dalam pengawasan; pembuatan suatu

rencana pengelolaan dan mitigasi bencana gempa bumi di salah satu

kota/kabupaten yang rawan gempa bumi (agar dapat menjadi teladan) perlu untuk

ditempuh.

Salah satu pembelajaran teknis yang didapat dari Quito’s Project lainnya ialah

pentingnya perencanaan infarstruktur perkotaan yang sangat mempertimbangkan

resiko bencana gempa bumi. Di samping untuk mereduksi kemungkinan dampak, hal

ini juga penting untuk menjamin kecepatan penyaluran bantuan penyelamatan serta

kegiatan rekonstruksi pasca bencana. Dalam hal reduksi resiko kerusakan, Quito’s

Project menghasilkan aturan building code; hal ini juga patut untuk dicontoh karena

belum semua kota/kabupaten memiliki aturan zonasi semacam ini.

Page 79: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

IV-9

DAFTAR PUSTAKA

http://www.abdet.com/maps/map_france.gif

http://www.psi.edu/~obrien/Bike_Fr/Maps/MosaicMap.gif

--------- . 1997 . The Wheel Extended No.95, Part Four : Urban Disaster Prevention

Planning . Tokyo : Toyota Motor Corporation, International Public Affairs

Division

--------- . 1998 . Hamparan Dunia Ilmu : Geologi dan Perubahan . Jakarta : Tira

Pustaka

--------- . 2006 . National Geographic Indonesia Edisi April 2006 : Gempa “Melacak

Gerak Patahan Sumatera” . Jakarta : Gramedia

Bard, Pierre-Yves . Feuillade, Francois . 1994 . Seismic Exposure and Mitigation

Policy in Nice, France . LGIT Grenoble Obserrvatory : France

Escuela Politecnica Nacional, Ilustre Municipio de Quito, OSTROM Quito,

GeoHazard International , OYO Corporation . 1994 . The Quito, Equador,

Earthquake Risk Management Project . GeoHazard International : USA

Fuady, Mizan Bustanul . 2008 . Laporan Kerja Praktik : Kajian Mitigasi Bencana

untuk Perencanaan Wilayah Kabupaten Tanggamus . Prodi Perencanaan

Wilayah dan Kota Institut Teknologi Bandung

Ilyas, Tommy . 2006 . Mitigasi Gempa dan Tsunami di Daerah Perkotaan . Seminar

Bidang Keekayasaan Fakultas Teknik Unstrat

Paripurno, Eko Teguh . Modul Manajemen Bencana Seputar Beberapa Bencana di

Indonesia

Page 80: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi

IV-10

Rachmat, Agus . 2008 . Manajemen dan Mitigasi Bencana, Bandung

Tsunozaki, Etsuko . 2006 . Disaster Reconstruction in Japan : Lessons Learned from

The Kobe Earthquake . Asian Disaster Reduction Center

Tucker, Brian E. Erdik, Mustafa . Hwang, Christina N . 1994 . Issues in Urban

Earthquake Risk . Kluwer Academic Publisher : Dordrecht, The Netherlands

Page 81: Makalah Per Banding An Mitigasi Gempa Bumi