Makalah Pengantar Ekonomi Pertanian 02
-
Upload
nadia-ulfa-savitri-ii -
Category
Documents
-
view
452 -
download
6
Transcript of Makalah Pengantar Ekonomi Pertanian 02
MAKALAH PENGANTAR EKONOMI PERTANIAN
“KARAKTERISTIK EKONOMI PERTANIAN KABUPATEN
CIAMIS ”
Disusun Oleh:
Nanang Wahyu Prajaka :
Nugrahita Iswari : 115040200111142
Ni Putu Eka Pratiwi : 115040201111079
Nadia Ulfa Safitri : 115040201111131
Novia Dwirani : 115040201111217
Kelas : L
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kabupaten Ciamis merupakan daerah yang sebagian besar mata pencaharian
penduduknya bertani,sehingga sektor pertanian memberikan kontribusi terhadap PDRB yang
dominan dibandingkan sektor lainnya. Kondisi ini juga menggambarkan pemerintah daerah
masih berpihak terhadap pengembangan potensi sektor pertanian, di mana cakupannya
meliputi tanaman pangan, perikanan, peternakan, dan kehutanan. Kabupaten Ciamis memiliki
luas wilayah 2.559,75 km2, dengan jumlah penduduk 1.478.686 jiwa, mengalami laju
pertambahan penduduk sebesar 0,84persen per tahun. Produksi padi sawah merupakan
komoditas utama sektor pertanian. Menurut data dari Biro Pusat Statistik luas panen pada
tahun 2000 mencapai 108.199 ha dengan produktivitas mencapai 5,32 t/ha, hal ini meningkat
dibandingkan dengan tahun 1999 dimana luas panen hanya mencapai 106.215 ha sedangkan
produktivitas mencapai 4,86 t/ha, berarti produktivitas meningkat sebesar 0,46 t/ha. Secara
keseluruhan produksi padi di Kabupaten Ciamis pada tahun 2000 sebesar 575.641 ton.
Selain padi sawah, komoditas yang lain juga memberikan kontribusi terhadap
pendapatan asli daerah walaupun tidak sebesar yang disumbangkan padi sawah. Produksi
Komoditas-komoditas tersebut adalah : padi ladang 10.625 ton, jagung 21.586 ton, ubi kayu
186.858 ton, kacang tanah 13.368 ton, kacang kedelai 9.895 ton dan kacang hijau 908 ton.
Melihat potensi tersebut, maka akan dihasilkan limbah yang cukup melimpah berupa jerami
dan hasil ikutan lainnya.
1.2 Tujuan
1. Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan, maka ada beberapa hal yang menjadi
tujuan dari penelitian ini, diantaranya :
2. Menganalisis peranan dan keterkaitan sektor agroindustri dengan sektor-sektor lainnya di
Kabupaten Ciamis.
3. Menganalisis berapa besar dampak penyebaran sektor agroindustri di Kabupaten Ciamis.
4. Menganalisis berapa besar dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh sektor agroindustri,
ditinjau berdasarkan multiplier terhadap output dan pendapatan.
5. Menganalisis besarnya dampak yang ditimbulkan dari investasi sektor agroindustri terhadap
sektor-sektor lainnya dalam perekonomian Kabupaten Ciamis.
BAB II
HASIL PEMBAHASAN
2.1 Kualitas dan kuantitas sumber daya lahan pertanian
Dari sisi kualitasnya, akibat desakan ekonomi maka kegiatan eksploitasi sumberdaya
alam menjadi meningkat. Hal ini menyebabkan lahan menjadi kritis. Potensi lahan kritis di
wilayah kawasan sepanjang Ciamis cukup besar. Lahan ini merupakan potensi lahan pertanian
yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan.
Sebagian besar dari lahan kering tersebut kondisinya kurang menguntungkan/kritis. Lahan-
lahan ini sudah kurang produktif lagi dalam segi pertanian, karena pengolahan dan
penggunaannya kurang memperhatikan kaidah konservasi/pengawetan tanah.
Salah satu sebab timbulnya lahan kritis tersebut karena petani masih melakukan
usahatani secara tradisional tanpa mengindahkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air
secara benar. Hal ini mengakibatkan erosi pada lahan yang diusahakan, sehingga
menimbulkan lahan-lahan kritis di daerah tersebut. Ditinjau dari aspek tingkat kerusakan fisik,
lahan kritis dapat digolongkan ke dalam tiga kriteria, yaitu lahan potensial kritis, lahan
semi/hampir kritis dan lahan kritis. Kriteria penggolongannya didasarkan pada tingkat
kerusakan dan parameter-parameter seperti: tingkat erosi, kedalaman efektif, penutupan,
topografi, dan kesuburan tanah. Kerusakan lahan tersebar baik di pedesaan maupun
perkotaan.
Kondisi lahan kritis di daerah Ciamis terpecah-pecah (tidak luas pada satu hamparan),
karena kondisi lahan kritis biasanya terjadi pada lahan-lahan :
1. Lahan yang sedang dalam proses konflik/sengketa antara masyarakat dengan
masyarakat atau masyarakat dengan perhutani dan belum selesai masalahnya dalam
waktu yang berkepanjangan.
2. Lahan-lahan HGU (hak guna lahan) yang tidak jelas pengelolanya atau siapa yang
menggunakannya.
3. 2 Tanah guntai (lahan milik orang luar) sehingga tidak jelas penggarapannya.
Kondisi kerusakan lahan ini juga tergambarkan pada terdapatnya kantong-kantong
kemiskinan di wilayah ini. Data tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di
Ciamis relatif besar. Jumlahnya mencapai 926.900 jiwa atau 16,98 persen dari total penduduk.
Kondisi ini menunjukkan rawannya keadaan wilayah sekitar Ciamis. Dari data dan informasi
yang masih terbatas menunjukkan bahwa penduduk miskin di Ciamis sebagian besar terdapat
di Kecamatan Pamarican, Banjarsari, dan Langkap Lancar. Hal ini berkaitan dengan kondisi
lahan di wilayah tersebut yang kritis. Di wilayah tersebut sering terjadi bahaya banjir dan
musim kering yang dapat merusak dan menggagalkan tanaman padi masyarakat. Apabila
terjadi banjir pada saat menjelang panen, maka lahan-lahan sawah petani tergenang dan
padinya pun tidak dapat dipanen. Hal ini sangat merugikan petani dan menyebabkan mereka
jatuh miskin. Dari ketiga kecamatan tersebut, Langkah Pancar merupakan daerah dengan
tingkat kekritisan paling parah.
Sedangkan dari sisi kuantitasnya konfeksi lahan di daerah Jawa memiliki kultur
dimana orang tua akan memberikan pembagian lahan kepada anaknya turun temurun,
sehingga terus terjadi penciutan luas lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi lahan
bangunan dan industri.
Solusi
Perlu upaya untuk meningkatkan potensi yang ada dengan cara inovasi teknologi
pertanian yang lebih maju dan modern supaya pembangunan pertanian berorientasi pada
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani dapat tercapai.
Dan juga melakukan optimasi lahan pertanian merupakan usaha meningkatkan
pemanfaatan sumber daya lahan pertanian menjadi lahan usaha tani tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan dan peternakan melalui upaya perbaikan dan peningkatan daya
dukung lahan, sehingga dapat menjadi lahan usahatani yang lebih produktif. Kegiatan
optimasi lahan pertanian diarahkan untuk memenuhi kriteria lahan usahatani tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan dan perternakan dari aspek teknis, perbaikan fisik dan kimiawi
tanah, serta peningkatan infrastruktur usahatani yang diperlukan.
Kegiatan optimasi lahan diarahkan untuk menunjang terwujudnya ketahanan pangan
dan antisipasi kerawanan pangan, terutama 3 (tiga) komoditi utama yaitu padi, jagung dan
kedelai. Untuk meningkatkan pemanfaatan lahan yang sementara tidak diusahakan dan lahan
yang indeks pertanamannya (IP) masih rendah, maka akan dilaksanakan kegiatan
pengembangan optimasi lahan, sebagai upaya perluasan areal tanam bagi komoditi tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan.
2.2 Ketersediaan infrastruktur penunjang pertanian
1. Sarana Prasarana yang Kurang Memadai
Banyak petani yang mengalami kendala pada sarana prasarana karena kekurangan modal.
Padahal hal ini juga mempengaruhi dalam mengolah sawah dan pendistribusian hasil
panen. Padahal jika sarana prasarana yang mereka miliki lengkap, mereka bisa mengolah
sawah dengan lebih maksimal, pendistribusian yang bisa tepat waktu dan bisa
menyimpan hasil panen sementara waktu. Sarana prasarana yang biasanya kurang seperti
kendaraan, traktor, jalan, dan koperasi.
Solusi :
Dalam masalah ini diperlukan bantuan dari pemerintah karena jika petani mengadakan
jalan sendiri petani tidak akan sanggup. Sedangkan pada masalah yang lain, petani dapat
membentuk suatu kelompok dan mendirikan koperasi bersama sehingga alat-alat yang
belum mereka miliki bisa dibeli dengan iuran bersama ataupun menyewa pada persewaan
alat.
2. Infrastruktur Sumber Daya Air
Air merupakan bahan bagi tanaman untuk menghasilkan makanan sendiri sehingga air
menjadi faktor yang penting dalam pertumbuhan tanaman. Sifat karang dalam tanah yang
berpori dan permeable akibat proses pelarutan telah menciptakan akuifer karang dengan
sistem drainase internal dan air tanah menjadi jauh dari permukaan tanah, terlebih lagi
saat ini hujan turun tidak sesuai dengan musimnya sehingga tidak bisa ditentukan kapan
hujan akan turun.
Solusi :
Memang ini masalah yang sulit, sebab yang dihadapi adalah alam, tetapi tentu saja masih
ada jalan keluarnya. Hal ini bisa diatasi dengan membuat sumur untuk pengairan. Atau
mengambil air dari sungai dengan menggunakan pompa air.
3. Infrastruktur Lahan Pertanian
Laju penyusutan lahan pertanian di Indonesia kian cepat. Penyebabnya adalah penyusutan
kepemilikan lahan pertanian sebagai dampak system bagi waris dan alih fungsi lahan.
Dalam pertanian, lahan merupakan sumber daya pokok dalam usaha tani. Bahkan ada
lahan yang kosong tetapi sudah tercemar dengan bahan kimia yang merusak tanah
sehingga tanah tersebut tidak bisa dipakai sebagai lahan pertanian.
Solusi :
Perlu sosialisasi agar petani tidak sembarangan menggunakan pestisida. Dan sebaiknya
pemerintah membuat peraturan tentang pengalihfungsian lahan pertanian sehingga luas
lahan pertanian tidak perlu menyusut lagi.
2.3 Sistem Alih Teknologi
Tenaga kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi padi. Nilai koefisien
yang bertanda positif menunjukkan bahwa penggunaan tenaga kerja perlu ditambah untuk
meningkatkan produksi padi. Namun demikian, kecenderungan ketersediaan tenaga kerja
yang mau bekerja di sektor pertanian terus mengalami penurunan, sehingga perlu
dipertimbangkan penggunaan teknologi pertanian yang dapat menghemat penggunaan tenaga
kerja (labor saving). Penggunaan teknologi pertanian yang dapat menghemat tenaga kerja ini
membutuhkan modal yang besar (capital intensive), sehingga perlu dipertimbangkan
pemberian bantuan modal kepada petani. Menurut Ashari (2009), lemahnya permodalan
masih menjadi salah satu permasalahan yang dihadapi oleh pelaku usaha pertanian. Talib,
Inounu, dan Bamualim (2007) menyatakan bahwa kelemahan pada usaha peternakan sapi
potong antara lain adalah rendahnya permodalan di tingkat peternak.
Solusi
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah telah meluncurkan beberapa
kredit modal atau bantuan modal bagi petani dan pelaku usaha pertanian melalui beberapa
skim seperti dana bergulir, penguatan modal, subsidi bunga, maupun yang mengarah
komersial. Menurut Nwaru, Onyenweaku, dan Nwosu (2006), kredit menjadi faktor penting
pada kegiatan produksi di pedesaan manakala penggerak utama pembangunan ekonomi
adalah modal dan teknologi. Pentingnya kredit didasarkan pada kenyataan bahwa kredit dapat
meningkatkan ukuran operasional usahatani dan produktivitas sumberdaya. Selain itu, kredit
dapat memfasilitasi kegiatan adopsi inovasi yang dapat meningkatkan produksi dan
pendapatan usahatani sehingga terjadi pembentukan modal.
2.4 Akses petani terhadap modal
Petani Kelapa di Ciamis Kesulitan Modal
Petani kelapa di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, kesulitan meminjam modal usaha
bertani dari perbankan, akibatnya harus pinjam modal kepada tengkulak yang biasanya
berujung menekan harga jual kelapa. Ketua Asosiasi Petani Kelapa Indonesia (APKI)
Kabupaten Ciamis, Engkus Kusnadi menyatakan bahwa Permodalan usaha dalam
pengembangan kelapa dari perbankan sulit untuk mendapatkannya, sehingga hanya
mengandalkan pinjaman dari tengkulak. Karena tidak punya modal, dijelaskan Engkus,
biasanya para petani kelapa di Kabupaten Ciamis terlebih dahulu meminjam uang kepada
tengkulak dan menjanjikan akan dibayar ketika panen kelapa tiba. Namun tengkulak dinilai
leluasa dan terkesan memaksa dalam menetapkan harga jual kelapa dari petani, akibatnya
petani kelapa pasrah menjual kelapa dengan harga rendah karena sebelumnya tengkulak telah
berjasa membantu meminjamkan modal.
Apabila pemerintah maupun perbankan membantu permodalan bagi petani kelapa
tentu petani tidak akan pinjam uang kepada tengkulak untuk biaya pemupukan, beli bibit atau
obat-obatan pengusir hama. Bertani kelapa tentu membutuhkan modal dalam perawatan
tanaman pohon kelapa. Ketika petani tidak punya modal, pinjam pada perbankan sulit,
akhirnya tengkulak sebagai solusi pinjaman modal.
Selain itu kurangnya sosialisasi sehingga sebagian besar petani kelapa tidak tahu
adanya pinjaman modal dari program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Permasalahan lainnya
yaitu petani kelapa yang ingin meminta pinjaman diminta jaminan pinjaman apabila KUR
ingin dikucurkan namun karena tidak memiliki jaminan yang diminta pihak perbankan,
akhirnya petani kelapa tidak dapat menikmati program KUR tersebut untuk pengembangan
usaha bertani kelapa.
Solusi
Diharapkan perbankan terutama pemerintah dapat membantu mengembangkan
pertanian kelapa di Kabupaten Ciamis yang merupakan komoditi produksi kelapa terbesar di
Jawa Barat. Diadakannya sosialisasi kepada para petani kelapa secara berkala dan intensif
mengenai pinjaman modal dari program Kredit Usaha Rakyat (KUR) agar lebih memudahkan
petani dalam mendapatkan modal sehingga usaha pertanian mereka lancar . Selanjutnya pihak
perbankan lebih memudahkan untuk penyerapan KUR karena petani tidak memiliki apa-apa
bila dimintai jaminan pinjaman dan seharusnya ada syarat lain yang diberikan pihak bank
yang bisa lebih menjangkau para petani.
2.5 Panjangnya mata rantai niaga pertanian
1. Para produsen hasil pertanian tidak dapat mengontrol harga hasil penennya sendiri
Pada umumnya para petani yang ingin menjual hasil panennya, langsung
menyerahkan harga sepenuhnya kepada pengepul yang bersedia membeli hasil
panennya tersebut. Sebab tidak adanya standar harga tetap sebuah produk pertanian.
Jadi mau tidak mau petani menerima harga beli yang ditawarkan oleh para pedagang
pengepul. Pada kenyataannya saluran niaga pertanian yang ada di ciamis itu dimulai
dari petani (produsen) - pedagang pengepul - pedagang eceran - konsumen. Sehingga
secara tidak langsung para pedagang pengepul menjadi pengontrol harga produk
pertanian.
Secara lebih luas rantai niaga pertanian dapat digambarkan dengan bagan
sebagai berikut:
Sebagai contoh kasus dari bagan tersebut adalah seorang petani yang
meprodusi hasil pertanian padi dan menjualnya kepada pengepul dengan dihargai Rp.
4000 per kilo, bisa jadi sesampainya ke pedagang besar menjadi Rp. 5000 per kilo.
Dan akan naik lagi jika sampai pada pedagang eceran menjadi Rp. 6000 per kilo.
Margin antara konsumen dengan produsen yang semakin jauh maka kemungkinan
akan semakin mahal pula harga suatu hasil produksi.
2. Strata social produsen pertanian tidak bisa meningkat
Kebanyakan para produsen hasil pertanian strata hidupnya jauh lebih rendah
dari pada para pedagang pengepul. Sebab biasaya hasil dari penjualan kepada
pengepul hanya cukup untuk modal memproduksi hasil pertanian pada tahun
berikutnya. Dimana hal tersebut menyebabkan petani yang bertindak sebagai
produsen hasil pertanian tetap pada strata paling dasar dibandingkan dengan pengepul
dan juga pedagang eceran.
Solusi
1. Harus adanya capur tangan pemerintah khususnya menteri pertanian untuk memutus
panjangnya rantai niaga pertanian.
Pemerintah harusnya ikut campur dalam mekanisme niaga pertanian terebut
dan memberikan sebuah kebijakan dengan mengeluarkan aturan tentang alur niaga
yang baik. Dimana aturan tersebut agar bertujuan tidak ada pihak yang dirugikan. Jika
niaga pertanian terus-terusan seperti itu maka pihak produsenlah yang menjadi pihak
yang dirugikan dan pihak yang diuntungkan adalah para pedegang pengepul. Karena
para produsen tidak dapat mengkotrol harganya sendiri dan yang bertindak sebagai
penentu harga mala para pengepul.
2. Adanya perhatian khusus kepada para produsen hasil pertanian
Kenyataan yang ada para petani kurang begitu diperhatikan. Seperti halnya
memberikan sebuah wadah untuk petani pinjam meminjam sarana prasarana pertanian.
Seperti contoh biasanya para petani meminjam modal pertama untuk memproduksi
suatu komoditas pertanian pada para pengepul sehingga pada saat panen petani
biasanya membayar pinjamannya tersebut dengan hasil penennya. Jadi dengan sangat
bebas para pengepul menentukan harga hasil pertanian dari produsen. Dimana kasus
tersebut menunjukkan strata social petai yang mash rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Yuniawan Isyanto. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Produksi pada Usaha
Tani Padi di Kabupaten Ciamis. Vol. I No. 8 Maret 2012.
Nwaru, J.C., Onyenweaku, C.E., dan Nwosu, A.C. 2006. Relative Technical Efficiency of
Credit and Non-Credit User Crop Farmers. African Crop Science Journal, Vol. 14.
No.3, pp: 241-251.
Talib, C., Inounu, I., dan Bamualim, A. 2007. Restrukturisasi Peternakan di Indonesia.
Analisis Kebijakan Pertanian, Volume 5 No. 1, Maret 2007: 1-14.