Makalah Patofisio G
-
Upload
anonymous-db09jmvv -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
Transcript of Makalah Patofisio G
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
2. Tujuan
3. Rumusan Masalah
4. Batasan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
1. Fisiologi Sistem Hormon
2. Patofisiologi Sistem Hormon
a. Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik Hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi Insulin atau kedua-
duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi, kegagalan beberapa organ tubuh, terutama, mata, ginjal, saraf,
jantung dan pembuluh darah. (Sudoyo, 2006)
Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis
termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.(Price,
2005)
- Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut ADA (American Diabetes Association)
tahun 2005, yaitu sebagai berikut.
I. Diabetes Melitus Tipe I
Diabetes Melitus Tipe I merupakan penyakit autoimun yang ditentukan secara
genetic dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap perusakan
imunologik sel-sel yang memproduksi Insulin.
Individu yang peka secara genetik tampaknya memberikan respon terhadap
kejadian-kejadian pemicu yang diduga berupa infeksi virus, dengan memproduksi
autoantibody terhadap sel-sel beta, yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi
Insulin yang dirangsang oleh Glukosa. Manifestasi klinis Diabetes Melitus terjadi jika
lebih dari 90% sel-sel beta menjadi rusak. Pada Diabetes Melitus dalam bentuk yang
lebih berat, sel-sel beta telah dirusak semuanya, sehingga terjadi Insulinopenia dan
semua kelainan metabolic yang berkaitan dengan defisiensi Insulin. Bukti untuk
determinan genetic diabetes tipe I adalah adanya kaitan dengan tipe-tipe
histokompatibilitas (human leukocyte antigen [HLA]) spesifik. Tipe dari gen
histokompabilitas yang berkaitan dengan diabetes tipe I (DW3 dan DW4)adalah yang
memberi kode kepada protein-protin yang berperan penting dalam interaksi monosit-
limfosit. Protein-protein ini mengatur respon sel T yang merupakanbagian normal dari
system imun. Jika terjadi kelainan, fungsi limfosit T yang terganggu akan berperan
penting dalam pathogenesis perusakan sel-sel pulau Langerhans yang ditujukan
terhadap komponen antigenic tertentu dari sel beta . Kejadian pemicu yang menentukan
proses autoimun pada individu yang peka secara genetic dapatberupa infeksi virus
coxsackie B4 atau gondongan atau virus lain.
II. Diabetes Melitus Tipe II
Diabetes Melitus Tipe II mempunyai pola familial yang kuat. Indeks untuk
diabetes tipe 2 pada kembar monozigot hamper 100%. Resiko berkembangnya diabetes
tipe 2 padasaudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya.transmisi
genetic adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat dalam diabetes awitan dewasa
muda (MODY), yaitu subtipe penyakit diabetes yang diturunkan dengan pola autosomal
dominan. Jika orang tua menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada
anak adalah 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa (carrier) diabetes tipe 2. Diabetes tipe
2 ditandai dengan kelianan sekresi Insulin, serta kerja Insulin. Pada awalnya tampak
terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja Insulin. Insulin mula-mula
mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi
reaksi intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan
meningkat transport glukosa menembus membrane sel. Sekitar 80% pasien diabetes tipe
2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi Insulin, maka
kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan diabetes tipe
2.
III. Diabetes Melitus Tipe Lain
a. Defek genetik fungsi sel beta.
Diabetes subtipe ini memiliki prevalensi familial yang tinggi dan
bermanifestasi sebelum usia 14 tahun.
b. Defek Genetik kerja Insulin.
Resistensi Insulin tipe A, leprechaunisme, sindrom Rabson Mendenhall,
diabetes lipoatrifik, dan lain-lain.
c. Penyakit Eksokrin Pankreas : Pankreatitis, trauma/pankreatektomi,
neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, dan
lain-lain.
d. Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing, feokromasitoma,
hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma dan lain-lain.
e. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid,
hormone tiroid, diazoxid, interferon alfa, dan lain-lain.
f. Infeksi : rubella congenital, CMV dan lain-lain.
g. Imunologi (jarang) : Sindrom “stiff-man”, antibody anti reseptor insulin, dan
lain-lain.
h. Sindroma genetik lain : Sindrom Down, Sindrom Klinelfelter, sindrm Turner,
distrofi miotonik, sindrom Prader Willi, dan lain-lain.
IV. Diabetes Kehamilan
b. Hipertiroidisme
Dikenal juga dengan nama tirotoksikosis, hipertiroidisme dapat didefinisikan
sebagai respon jaringan- jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolic hormon tiroid
yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau akibat asupan hormon tiroid
secara berlebihan. Terdapat dua tipe hipertiroidisme spontan uang paling sering
dijumpai, yaitu :
(1). Penyakit Graves
Biasanya terjadi pada usia sekitar 30 dan 40 dan lebih sering ditemukan pada
perempuan daripada laki-laki.terdapat predisposisi familial terhadap penyakit ini dan
sering berkaitan dengan bentuk-bentuk endokrinopati autoimun lainnya. Pada penyakit
Graves terdapat 2 kelompok gambaran utama yaitu, tiroidal dan ekstratiroidal, dan
keduanya mungkin tidak tampak.
Ciri-ciri tiroidal berupa Goiter akibat hyperplasia kelenjar tiroid, dan
hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala
hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktivitas simpatis yang
berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak
bila panas, kulit lembab, berat badan menurun, sering disertai dengan nafsu makan
meningkat, palpitasi dan takikardia, diare dan kelemahan serta atrofi otot. Manifestasi
ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit local yang biasanya terbatas pada
tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50%-80% pasien ditandai dengan
mata melotot, fisura palpebra melebar, kedipan berkurang, Lid Lag (keterlambatan
kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata), dan kegagalan konvergensi. Lid Lag
bermanifestasi sebagai gerakan kelopak mata yang relative lebih lambat terhadap
gerakan bola matanya sewaktu pasien diminta perlahan-lahan melirik ke bawah.
Jaringan orbita dan otot-otot mata diinfiltrasi oleh limfosit, sel mast dan sel-sel plasma
yang mengakibatkan eksoftalmos (proptosis bola mata), okulopati, kongestiv dan
kelemahan gerakan ekstraokuler. Oftalmopati dapat berat sekali dan pada kasus yang
ekstrim, penglihatan dapat terancam.
Manifestasi ekstratiroidal penyakit Graves dapat diikuti dengan gejala klinis yang
berbanding terbalik dengan beratnya hipertiroidisme. Sebagai contoh, menifestasi ini
dapat tidak ada atau dapat membaik bila hipertiroidisme minimal atau setelah dikontrol
dengan pengobatan. Penyakit Graves timbul sebagai manifestasi gangguan autoimun.
Dalam serum pasien ini ditemukan antibody immunoglobulin (IgG). Antibodi ini
bereaksi dengan reseptor TSH atau membran plasma tiroid. Sebagai akibat interaksi ini
antibodi dapat merangsang fungsi tiroid tanpa bergantung pada TSH hipofisis, yang
dapat mengakibatkan hipertiroidisme. Immunoglobulin yang merangsang tiroid ini
(TSI) mungkin disebabkan suatu kelainan imunitas yang bersifat herediter, yang
memungkinkan kelompokkan limfosit tertentu dapat bertahan, berkembang biak, dan
menyekskresi Imunoglobulin stimulator sebagai respon terhadap beberapa faktor
perangsang. Respons imun yang sama, bertanggung jawab atas oftalmopati yang
ditemukan pada pasien-pasien tersebut.
Pasien Hipertiroidisme berat dapat mengalami krisis atau badai Tiroid. Pada kasus
seperti ini biasanya manifestasi klinis yang disebutkan di atas menjadi semakin berat
sehingga akhirnya menjadi faktor yang membahayakan kehidupan. Demam hampir
selalu ada dan ini mungkin merupakan petunjuk penting adanya komplikasi yang serius.
Krisis dapat dipermudah oleh trauma ringan dan stress, seperti sakitinfeksi,
pembedahan, atau akibat infeksi.
Apabila terdapat manifestasi klinis Hipertiroidisme, tes laboratorium
menunjukkan kadar Tiroksin dan triyodotironin bebas dan total dalam serum yang
tinggi, serta kadar TSH serum yang rendah. Ambilan RAI dari Tiroid meningkat. Kadar
TSI pada pasien dengan penyakit Graves juga diukur. Kadang-kadang, pengobatan
hormon Tiroid yang salah menimbulkan manifestasi klinis Hipertiroidisme. Beberapa
pasien dengan gangguan kejiwaan mungkin membutuhkan jumlah tiroksin atau
triyodotironin yang lebih besar dan menjadi Tirotoksis. Pasien-pasien ini mungkin
menyangkal telah meminum hormon Tiroid dan bersikap menentang terhadap tenaga
medis yang berusaha menentukan diagnosis yang benar. Bentuk tirotoksis ini disebut
tirotoksikosis faktisia. Tirotoksikosis jenis ini ditandai dengan adanya kadar tiroksin
yang tinggi dan kadar TSH yang rendah. Namun, ambilan RAI rendah karena tiroksin
ditekan.
Eksoftalmos dengan edema periorbital pada penderita oftalmopati Graves
c. Hipotiroidisme
Terdapat beberapa tipe Hipotiroidisme. Bergantung pada lokasi timbulnya
masalah, penyakit ini dapat diklasifikasikan sebagai : (1) Hipotiroidisme Primer, bila
timbul akibat proses patologis yang merusak kelenjar tiroid, atau (2) Hipotiroidisme
sekunder, akibat defisiensi sekresi TSH hipofisis. Bergantung pada usia awitan
Hipotiroidisme, penyakit ini dapat diklasifikasikan sebagai, (1) Hipotiroidisme dewasa
atau Miksedema, (2) Hipotiroidisme Juvenilis (timbulnya sesudah usia 1 sampai 2
tahun), atau (3) Hipotiroidisme Kongenital, atau kreatinin disebabkan oleh kekurangan
hormon Tiroid sebelum atau segera setelah lahir.
Beberapa pasien dengan Hipotiroidisme mempunyai kelenjar Tiroid yang yang
mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar Tiroid akibat pembedahan atau ablasi
radioisotop, atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi.
Cacat perkembangan dapat juga menjadi penyebab tidak terbentuknya kelenjar Tiroid
pada kasus Hipotiroidisme Kongenital. Goiter dapat terlihat pada pasien Hipotiroidisme
dengan dapat herediter dalam biosintesis hormon tiroid. Goiter dapat juga terlihat pada
penderita tiroiditis Hashimoto, suatu penyakit autoimun yang infiltrasi limfosit dan
destruksi kelenjar tiroidnya dikaitkan dengan antitiroglobulin atau antibodi mkrosomal
sel antitiroid. Pasien dengan Hipotiroidisme sekunder mungkin menderita tumor
Hipofisis dan defisiensi hormon-hormon trofik hipofisis lainnya.
Manifestasi klinik Hipotiroidisme dewasa dan Juvenilis antara lain; lelah, suara
parau, tidak tahan dingin dan keringat berkurang, kulit dingin dan kering, wajah
membengkak, dan gerakan lamban, dan relaksasi lambat dari refleks tendon dalam.
Perempuan yang menderita Hipotiroidsme sering mengelauh Hipermenore.
Hipotiroidisme Kongenital atau kreatinisme mungkin sudah timbul sejak lahir,
atau dalam beberapa bulan pertama kelahiran. Manifestasi dini kreatinisme antara lain
ikterus fisiologik yang menetap, tangisan parau, konstipasi, , somnolen dan kesulitan
makan. Selanjutnya anak menunjukkan kesulitan untuk mencapai perkembangan
normal. Anak yang menderita Hipotiroidisme Kongenital memperlihatkan tubuh yang
pendek, profil kasar, lidah menjulur keluar, hidung yang lebar dan rata, mata yang
jaraknya jauh, rambut jarang, kulit kering, perut menonjol, dan Hernia umbilikalis.
Pemeriksaan radiologi rangka menunjukkan tulang yang mengalami keterlambatan
dalam pertumbuhan, disgenesis epifisis, dan keterlambatan perkembangan gigi.
Komplikasi utama dari Hipotiroidisme Kongenital dan Hipotiroidsme Juvenilis yang
tidak diketahui dan tidak diobati adalah retardasi mental. Keadaan ini dapat dicegah
dengan memperbaiki Hipotiroidisme secara dini. Para ahli medis yang merawat bayi
baru lahir dan bayi kecil harus menyadari kemungkinan ini.
Tes-tes laboratorium yang digunakan untuk memastikan Hipotiroidisme antara
lain : kadar tiroksin dan triyodotironin serum yang rendah, BMR yang rendah, dan
peningkatan kolesterol serum. Kadar TSH setum mungkin tinggi mungkin pula rendah,
ergantung pada jenis Hipotiroidisme. Pada Hipotiroidisme Primer, kadar TSH serum
akan tinggi, sedangkan kadar tiroksin rendah. Sebaliknya, keduapengukuran tersebut
akan rendah pada pasien dengan Hipotiroidisme sekunder.
3. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Diabetes Melitus
Penatalaksanaan Diabetes Melitus meliputi :
1. Rencana Diet
Dimaksudkan untuk mengatur jumlah kalori dan karbohirat yang akan
dikonsumsi setiap hari. Jumlah kalori yang disarankan bervariasi
bergantung pada kebutuhan apakah untuk mempertahankan,
menurunkan, atau meningkatkan berat tubuh.
2. Latihan Fisik
Latihan fisik kelihatannya mempermudah transport glukosa ke dalam
sel-sel dan meningkatkan kepekaan terhadap insulin. Pada individu sehat,
pelepasan Insulin menurun selama latihan fisik sehingga Hipoglikemia
dapat dihindarkan. Namun, pasien yang mendapatkan suntikan Insulin,
tidak mammpu untuk memakai cara ini,dan peningkatan ambilan glukosa
selama latihan fisik dapat menimbulkan Hipoglikemia. Faktor ini penting
khususnyaketika pasien melakukan latihan fisik saat Insulian telah
mencapai kadar maksimal atau puncaknya. Dengan menyesuaikan waktu
pasien dalam melakukan latihan fisik, pasien mungkin dapat
meningkatkan pengontrolan kadar glukosa mereka.
3. Agen-agen Hipoglikemik oral
Pada pasien diabetes mellitus tipe 2. Terdiri dari bat-obat pensensitif
Insulin (berupa a) metformin yang berfungsi untuk menurunkan produksi
glukosa hepatik, menurunkan absorbsi glukosa pada usus, dan
meningkatkan kepekaan Insulin, khususnya di hati, dan 2)
Tiazolidinedion yang dapat meningkatkan kepekaan insulin perifer dan
menurunkan produksi glukosa hepatik ) dan sulfonilurea (berfungsi
untuk merangsang fungsi sel beta dan meningkatkan sekresi Insulin).
4. Terapi Insulin
Digolongkan menjadi 3, yaitu : 1) Insulin masa kerja pendek (mencapai
kerja maksimal dalam waktu beberapa menithingga 6 jam setelah
penyuntikan dan digunakan untuk mengontrol Hiperglikemia
postprandial), 2) Insulin masa kerja sedang (mencapai kerja maksimal
antara 6-8 jam setelah penyuntikan dan digunakan untuk pengontrolan
harian pasien dengan diabetes) dan 3) Insulin masa kerja panjang
(mencapai kadar puncaknyadalam waktu hingga 14-20 jam setelah
pemberian dan jarang digunakan untuk pemakaian rutin pada pasien-
pasien diabetes)
5. Pengawasan Glukosa di Rumah
6. Pengetahuan tentang diabetes dan perawatan dini
b. Penatalaksanaan Hipertiroidisme
Penatalaksanaan Hipertiroidisme antara lain :
- Pengobatan jangka panjang dengan obat-obat antitiroid seperti ;
propiltiourasil atau metimazol, yang diberikan paling sedikit selam 1
tahun. Obat-obat ini menyekat sintesis dan pelepasan tiroksin.
- Penyekat Beta seperti propanolol diberikan bersamaan dengan obat-obat
antitiroid.karena manifestasi klinis Hipertiroidisme adalah akibat dari
pengaktivan simpatis yang dirangsang oleh hormon Tiroid, maka
manifestasi klinis tersebut akan berkurang dengan pemberian penyekat
beta; penyekat beta akan menurunkan takikardia, kegelisahan dan
keringat yang berlebihan. Propanolol juga menghambat perubahan
tiroksin perifer menjadi triyodotironin.
- Pembedahan Tiroidektomisubtotal sesudah terapi propiltiourasil
prabedah.
- Pengobatan dengan yodium radioaktif (RAI)
Pengobatan dengan RAI dilakukan pada kebanyakan pasien dewasa
dengan penyakit Graves tapi, biasanya merupakan kontraindikasi untuk
anak-anak dan wanita hamil. Pasien-pasien yang mendapatkan terapi
RAI, 40-70% dapat mengalami Hipotiroidisme dalam 10 tahun
mendatang.
c. Penatalaksanaan Hipotiroidisme
Penatalaksanaan Hipotiroidisme, yaitu dengan cara pemberian Tiroksin, yang
biasanya dimulai dengan dosis rendah (50µg/hari.)
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran