Makalah Patofisio G

14
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 2. Tujuan 3. Rumusan Masalah 4. Batasan Masalah BAB II PEMBAHASAN 1. Fisiologi Sistem Hormon 2. Patofisiologi Sistem Hormon a. Diabetes Melitus Diabetes Melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik Hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi Insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, kegagalan beberapa organ tubuh, terutama, mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. (Sudoyo, 2006) Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.(Price, 2005) - Klasifikasi Diabetes Melitus

Transcript of Makalah Patofisio G

Page 1: Makalah Patofisio G

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

2. Tujuan

3. Rumusan Masalah

4. Batasan Masalah

BAB II

PEMBAHASAN

1. Fisiologi Sistem Hormon

2. Patofisiologi Sistem Hormon

a. Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik Hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi Insulin atau kedua-

duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka

panjang, disfungsi, kegagalan beberapa organ tubuh, terutama, mata, ginjal, saraf,

jantung dan pembuluh darah. (Sudoyo, 2006)

Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis

termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.(Price,

2005)

- Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi Diabetes Melitus menurut ADA (American Diabetes Association)

tahun 2005, yaitu sebagai berikut.

I. Diabetes Melitus Tipe I

Diabetes Melitus Tipe I merupakan penyakit autoimun yang ditentukan secara

genetic dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap perusakan

imunologik sel-sel yang memproduksi Insulin.

Individu yang peka secara genetik tampaknya memberikan respon terhadap

kejadian-kejadian pemicu yang diduga berupa infeksi virus, dengan memproduksi

Page 2: Makalah Patofisio G

autoantibody terhadap sel-sel beta, yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi

Insulin yang dirangsang oleh Glukosa. Manifestasi klinis Diabetes Melitus terjadi jika

lebih dari 90% sel-sel beta menjadi rusak. Pada Diabetes Melitus dalam bentuk yang

lebih berat, sel-sel beta telah dirusak semuanya, sehingga terjadi Insulinopenia dan

semua kelainan metabolic yang berkaitan dengan defisiensi Insulin. Bukti untuk

determinan genetic diabetes tipe I adalah adanya kaitan dengan tipe-tipe

histokompatibilitas (human leukocyte antigen [HLA]) spesifik. Tipe dari gen

histokompabilitas yang berkaitan dengan diabetes tipe I (DW3 dan DW4)adalah yang

memberi kode kepada protein-protin yang berperan penting dalam interaksi monosit-

limfosit. Protein-protein ini mengatur respon sel T yang merupakanbagian normal dari

system imun. Jika terjadi kelainan, fungsi limfosit T yang terganggu akan berperan

penting dalam pathogenesis perusakan sel-sel pulau Langerhans yang ditujukan

terhadap komponen antigenic tertentu dari sel beta . Kejadian pemicu yang menentukan

proses autoimun pada individu yang peka secara genetic dapatberupa infeksi virus

coxsackie B4 atau gondongan atau virus lain.

II. Diabetes Melitus Tipe II

Diabetes Melitus Tipe II mempunyai pola familial yang kuat. Indeks untuk

diabetes tipe 2 pada kembar monozigot hamper 100%. Resiko berkembangnya diabetes

tipe 2 padasaudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya.transmisi

genetic adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat dalam diabetes awitan dewasa

muda (MODY), yaitu subtipe penyakit diabetes yang diturunkan dengan pola autosomal

dominan. Jika orang tua menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada

anak adalah 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa (carrier) diabetes tipe 2. Diabetes tipe

2 ditandai dengan kelianan sekresi Insulin, serta kerja Insulin. Pada awalnya tampak

terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja Insulin. Insulin mula-mula

mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi

reaksi intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan

meningkat transport glukosa menembus membrane sel. Sekitar 80% pasien diabetes tipe

2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi Insulin, maka

kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan diabetes tipe

2.

III. Diabetes Melitus Tipe Lain

a. Defek genetik fungsi sel beta.

Page 3: Makalah Patofisio G

Diabetes subtipe ini memiliki prevalensi familial yang tinggi dan

bermanifestasi sebelum usia 14 tahun.

b. Defek Genetik kerja Insulin.

Resistensi Insulin tipe A, leprechaunisme, sindrom Rabson Mendenhall,

diabetes lipoatrifik, dan lain-lain.

c. Penyakit Eksokrin Pankreas : Pankreatitis, trauma/pankreatektomi,

neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, dan

lain-lain.

d. Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing, feokromasitoma,

hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma dan lain-lain.

e. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid,

hormone tiroid, diazoxid, interferon alfa, dan lain-lain.

f. Infeksi : rubella congenital, CMV dan lain-lain.

g. Imunologi (jarang) : Sindrom “stiff-man”, antibody anti reseptor insulin, dan

lain-lain.

h. Sindroma genetik lain : Sindrom Down, Sindrom Klinelfelter, sindrm Turner,

distrofi miotonik, sindrom Prader Willi, dan lain-lain.

IV. Diabetes Kehamilan

b. Hipertiroidisme

Dikenal juga dengan nama tirotoksikosis, hipertiroidisme dapat didefinisikan

sebagai respon jaringan- jaringan tubuh terhadap pengaruh metabolic hormon tiroid

yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan atau akibat asupan hormon tiroid

secara berlebihan. Terdapat dua tipe hipertiroidisme spontan uang paling sering

dijumpai, yaitu :

(1). Penyakit Graves

Biasanya terjadi pada usia sekitar 30 dan 40 dan lebih sering ditemukan pada

perempuan daripada laki-laki.terdapat predisposisi familial terhadap penyakit ini dan

sering berkaitan dengan bentuk-bentuk endokrinopati autoimun lainnya. Pada penyakit

Graves terdapat 2 kelompok gambaran utama yaitu, tiroidal dan ekstratiroidal, dan

keduanya mungkin tidak tampak.

Ciri-ciri tiroidal berupa Goiter akibat hyperplasia kelenjar tiroid, dan

hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala

Page 4: Makalah Patofisio G

hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktivitas simpatis yang

berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak

bila panas, kulit lembab, berat badan menurun, sering disertai dengan nafsu makan

meningkat, palpitasi dan takikardia, diare dan kelemahan serta atrofi otot. Manifestasi

ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit local yang biasanya terbatas pada

tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50%-80% pasien ditandai dengan

mata melotot, fisura palpebra melebar, kedipan berkurang, Lid Lag (keterlambatan

kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata), dan kegagalan konvergensi. Lid Lag

bermanifestasi sebagai gerakan kelopak mata yang relative lebih lambat terhadap

gerakan bola matanya sewaktu pasien diminta perlahan-lahan melirik ke bawah.

Jaringan orbita dan otot-otot mata diinfiltrasi oleh limfosit, sel mast dan sel-sel plasma

yang mengakibatkan eksoftalmos (proptosis bola mata), okulopati, kongestiv dan

kelemahan gerakan ekstraokuler. Oftalmopati dapat berat sekali dan pada kasus yang

ekstrim, penglihatan dapat terancam.

Manifestasi ekstratiroidal penyakit Graves dapat diikuti dengan gejala klinis yang

berbanding terbalik dengan beratnya hipertiroidisme. Sebagai contoh, menifestasi ini

dapat tidak ada atau dapat membaik bila hipertiroidisme minimal atau setelah dikontrol

dengan pengobatan. Penyakit Graves timbul sebagai manifestasi gangguan autoimun.

Dalam serum pasien ini ditemukan antibody immunoglobulin (IgG). Antibodi ini

bereaksi dengan reseptor TSH atau membran plasma tiroid. Sebagai akibat interaksi ini

antibodi dapat merangsang fungsi tiroid tanpa bergantung pada TSH hipofisis, yang

dapat mengakibatkan hipertiroidisme. Immunoglobulin yang merangsang tiroid ini

(TSI) mungkin disebabkan suatu kelainan imunitas yang bersifat herediter, yang

memungkinkan kelompokkan limfosit tertentu dapat bertahan, berkembang biak, dan

menyekskresi Imunoglobulin stimulator sebagai respon terhadap beberapa faktor

perangsang. Respons imun yang sama, bertanggung jawab atas oftalmopati yang

ditemukan pada pasien-pasien tersebut.

Pasien Hipertiroidisme berat dapat mengalami krisis atau badai Tiroid. Pada kasus

seperti ini biasanya manifestasi klinis yang disebutkan di atas menjadi semakin berat

sehingga akhirnya menjadi faktor yang membahayakan kehidupan. Demam hampir

selalu ada dan ini mungkin merupakan petunjuk penting adanya komplikasi yang serius.

Krisis dapat dipermudah oleh trauma ringan dan stress, seperti sakitinfeksi,

pembedahan, atau akibat infeksi.

Page 5: Makalah Patofisio G

Apabila terdapat manifestasi klinis Hipertiroidisme, tes laboratorium

menunjukkan kadar Tiroksin dan triyodotironin bebas dan total dalam serum yang

tinggi, serta kadar TSH serum yang rendah. Ambilan RAI dari Tiroid meningkat. Kadar

TSI pada pasien dengan penyakit Graves juga diukur. Kadang-kadang, pengobatan

hormon Tiroid yang salah menimbulkan manifestasi klinis Hipertiroidisme. Beberapa

pasien dengan gangguan kejiwaan mungkin membutuhkan jumlah tiroksin atau

triyodotironin yang lebih besar dan menjadi Tirotoksis. Pasien-pasien ini mungkin

menyangkal telah meminum hormon Tiroid dan bersikap menentang terhadap tenaga

medis yang berusaha menentukan diagnosis yang benar. Bentuk tirotoksis ini disebut

tirotoksikosis faktisia. Tirotoksikosis jenis ini ditandai dengan adanya kadar tiroksin

yang tinggi dan kadar TSH yang rendah. Namun, ambilan RAI rendah karena tiroksin

ditekan.

Eksoftalmos dengan edema periorbital pada penderita oftalmopati Graves

c. Hipotiroidisme

Terdapat beberapa tipe Hipotiroidisme. Bergantung pada lokasi timbulnya

masalah, penyakit ini dapat diklasifikasikan sebagai : (1) Hipotiroidisme Primer, bila

timbul akibat proses patologis yang merusak kelenjar tiroid, atau (2) Hipotiroidisme

sekunder, akibat defisiensi sekresi TSH hipofisis. Bergantung pada usia awitan

Hipotiroidisme, penyakit ini dapat diklasifikasikan sebagai, (1) Hipotiroidisme dewasa

atau Miksedema, (2) Hipotiroidisme Juvenilis (timbulnya sesudah usia 1 sampai 2

tahun), atau (3) Hipotiroidisme Kongenital, atau kreatinin disebabkan oleh kekurangan

hormon Tiroid sebelum atau segera setelah lahir.

Beberapa pasien dengan Hipotiroidisme mempunyai kelenjar Tiroid yang yang

mengalami atrofi atau tidak mempunyai kelenjar Tiroid akibat pembedahan atau ablasi

Page 6: Makalah Patofisio G

radioisotop, atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi.

Cacat perkembangan dapat juga menjadi penyebab tidak terbentuknya kelenjar Tiroid

pada kasus Hipotiroidisme Kongenital. Goiter dapat terlihat pada pasien Hipotiroidisme

dengan dapat herediter dalam biosintesis hormon tiroid. Goiter dapat juga terlihat pada

penderita tiroiditis Hashimoto, suatu penyakit autoimun yang infiltrasi limfosit dan

destruksi kelenjar tiroidnya dikaitkan dengan antitiroglobulin atau antibodi mkrosomal

sel antitiroid. Pasien dengan Hipotiroidisme sekunder mungkin menderita tumor

Hipofisis dan defisiensi hormon-hormon trofik hipofisis lainnya.

Manifestasi klinik Hipotiroidisme dewasa dan Juvenilis antara lain; lelah, suara

parau, tidak tahan dingin dan keringat berkurang, kulit dingin dan kering, wajah

membengkak, dan gerakan lamban, dan relaksasi lambat dari refleks tendon dalam.

Perempuan yang menderita Hipotiroidsme sering mengelauh Hipermenore.

Hipotiroidisme Kongenital atau kreatinisme mungkin sudah timbul sejak lahir,

atau dalam beberapa bulan pertama kelahiran. Manifestasi dini kreatinisme antara lain

ikterus fisiologik yang menetap, tangisan parau, konstipasi, , somnolen dan kesulitan

makan. Selanjutnya anak menunjukkan kesulitan untuk mencapai perkembangan

normal. Anak yang menderita Hipotiroidisme Kongenital memperlihatkan tubuh yang

pendek, profil kasar, lidah menjulur keluar, hidung yang lebar dan rata, mata yang

jaraknya jauh, rambut jarang, kulit kering, perut menonjol, dan Hernia umbilikalis.

Pemeriksaan radiologi rangka menunjukkan tulang yang mengalami keterlambatan

dalam pertumbuhan, disgenesis epifisis, dan keterlambatan perkembangan gigi.

Komplikasi utama dari Hipotiroidisme Kongenital dan Hipotiroidsme Juvenilis yang

tidak diketahui dan tidak diobati adalah retardasi mental. Keadaan ini dapat dicegah

dengan memperbaiki Hipotiroidisme secara dini. Para ahli medis yang merawat bayi

baru lahir dan bayi kecil harus menyadari kemungkinan ini.

Tes-tes laboratorium yang digunakan untuk memastikan Hipotiroidisme antara

lain : kadar tiroksin dan triyodotironin serum yang rendah, BMR yang rendah, dan

peningkatan kolesterol serum. Kadar TSH setum mungkin tinggi mungkin pula rendah,

ergantung pada jenis Hipotiroidisme. Pada Hipotiroidisme Primer, kadar TSH serum

akan tinggi, sedangkan kadar tiroksin rendah. Sebaliknya, keduapengukuran tersebut

akan rendah pada pasien dengan Hipotiroidisme sekunder.

3. Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Page 7: Makalah Patofisio G

Penatalaksanaan Diabetes Melitus meliputi :

1. Rencana Diet

Dimaksudkan untuk mengatur jumlah kalori dan karbohirat yang akan

dikonsumsi setiap hari. Jumlah kalori yang disarankan bervariasi

bergantung pada kebutuhan apakah untuk mempertahankan,

menurunkan, atau meningkatkan berat tubuh.

2. Latihan Fisik

Latihan fisik kelihatannya mempermudah transport glukosa ke dalam

sel-sel dan meningkatkan kepekaan terhadap insulin. Pada individu sehat,

pelepasan Insulin menurun selama latihan fisik sehingga Hipoglikemia

dapat dihindarkan. Namun, pasien yang mendapatkan suntikan Insulin,

tidak mammpu untuk memakai cara ini,dan peningkatan ambilan glukosa

selama latihan fisik dapat menimbulkan Hipoglikemia. Faktor ini penting

khususnyaketika pasien melakukan latihan fisik saat Insulian telah

mencapai kadar maksimal atau puncaknya. Dengan menyesuaikan waktu

pasien dalam melakukan latihan fisik, pasien mungkin dapat

meningkatkan pengontrolan kadar glukosa mereka.

3. Agen-agen Hipoglikemik oral

Pada pasien diabetes mellitus tipe 2. Terdiri dari bat-obat pensensitif

Insulin (berupa a) metformin yang berfungsi untuk menurunkan produksi

glukosa hepatik, menurunkan absorbsi glukosa pada usus, dan

meningkatkan kepekaan Insulin, khususnya di hati, dan 2)

Tiazolidinedion yang dapat meningkatkan kepekaan insulin perifer dan

menurunkan produksi glukosa hepatik ) dan sulfonilurea (berfungsi

untuk merangsang fungsi sel beta dan meningkatkan sekresi Insulin).

4. Terapi Insulin

Digolongkan menjadi 3, yaitu : 1) Insulin masa kerja pendek (mencapai

kerja maksimal dalam waktu beberapa menithingga 6 jam setelah

penyuntikan dan digunakan untuk mengontrol Hiperglikemia

postprandial), 2) Insulin masa kerja sedang (mencapai kerja maksimal

antara 6-8 jam setelah penyuntikan dan digunakan untuk pengontrolan

harian pasien dengan diabetes) dan 3) Insulin masa kerja panjang

(mencapai kadar puncaknyadalam waktu hingga 14-20 jam setelah

Page 8: Makalah Patofisio G

pemberian dan jarang digunakan untuk pemakaian rutin pada pasien-

pasien diabetes)

5. Pengawasan Glukosa di Rumah

6. Pengetahuan tentang diabetes dan perawatan dini

b. Penatalaksanaan Hipertiroidisme

Penatalaksanaan Hipertiroidisme antara lain :

- Pengobatan jangka panjang dengan obat-obat antitiroid seperti ;

propiltiourasil atau metimazol, yang diberikan paling sedikit selam 1

tahun. Obat-obat ini menyekat sintesis dan pelepasan tiroksin.

- Penyekat Beta seperti propanolol diberikan bersamaan dengan obat-obat

antitiroid.karena manifestasi klinis Hipertiroidisme adalah akibat dari

pengaktivan simpatis yang dirangsang oleh hormon Tiroid, maka

manifestasi klinis tersebut akan berkurang dengan pemberian penyekat

beta; penyekat beta akan menurunkan takikardia, kegelisahan dan

keringat yang berlebihan. Propanolol juga menghambat perubahan

tiroksin perifer menjadi triyodotironin.

- Pembedahan Tiroidektomisubtotal sesudah terapi propiltiourasil

prabedah.

- Pengobatan dengan yodium radioaktif (RAI)

Pengobatan dengan RAI dilakukan pada kebanyakan pasien dewasa

dengan penyakit Graves tapi, biasanya merupakan kontraindikasi untuk

anak-anak dan wanita hamil. Pasien-pasien yang mendapatkan terapi

RAI, 40-70% dapat mengalami Hipotiroidisme dalam 10 tahun

mendatang.

c. Penatalaksanaan Hipotiroidisme

Penatalaksanaan Hipotiroidisme, yaitu dengan cara pemberian Tiroksin, yang

biasanya dimulai dengan dosis rendah (50µg/hari.)

Page 9: Makalah Patofisio G

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

2. Saran