Makalah Otong Rosadi & Awaludin Marwan
-
Upload
rochady-setianto -
Category
Documents
-
view
218 -
download
0
Transcript of Makalah Otong Rosadi & Awaludin Marwan
-
8/18/2019 Makalah Otong Rosadi & Awaludin Marwan
1/15
-
8/18/2019 Makalah Otong Rosadi & Awaludin Marwan
2/15
1
PENDIDIKAN HUKUM: SEBUAH KONTEMPLASI KRITIS
Oleh: Dr. Otong Rosadi, SH, M.Hum & Awaludin Marwan, SH, MH, MA
Dosen Filsafat Hukum Universitas Ekasakti Padang
ABSTRAK
Pendidikan hukum Indonesia kian bertambah baik kualitasnya. Lulusan sarjana hukum
sekarang semakin banyak. Kualitasnya juga semakin meningkat. Namun serapan lapangan
kerja rupa-rupanya tak sebanyak hasil yang diproduksi dari jebolan fakultas hukum. Hal ini
dikarenakan banyak faktor. Pertama, kurangnya kemampuan dan pengalaman sarjana yang
pada saat mahasiswa hanya orientasi studi dengan standar IPK saja. Kedua, kondisi
perekonomian yang lesu di sektor swasta menyebabkan profesi dan staf bidang hukum
tidak dijadikan prioritas ketimbang tenaga akuntasi, manajemen, dan bidang-bidang umum
yang vital lainnya. Namun yang paling terpenting adalah lahirnya sarjana hukum bermental
baja dengan semangat kuat memiliki idealisme sehingga tidak terjerembab dalam
mekanisme kapitalisme. Artinya, dulu banyak sarjana hukum yang hidupnya tak karuan di
zaman kemerdekaan, lihat saja Muhammad Yamin, Soepomo, dan pendiri bangsa yang lain.
Semangat sarjana hukum tidak hanya sekrup kapitalisme yang mendukung berjalanannya
institusi negara hukum, yang barangkali tak lepas dari persekongkolan permufakatan jahat.
Namun hendaknya sarjana hukum bisa mewakafkan dirinya duduk di kursi-kursi lembab
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dengan bayaran seadanya. Namun tekad untuk berjuang
melindungi hak sosial, sipil, politik, dan konstitusional warga begitu kokoh terpatri di
dalam dadanya. Semangat sarjana hukum, hendaknya dirubah yang semula mental
teknokrasi dan korporasi menjadi mental pengabdian dan perjuangan. Dari sinilah
keadilan sosial dimulai dari rekonstruksi agen sosial yang bermartabat tangguh. Pola-pola
keadilan sosial yang dibayangkan oleh Amartya Sen dan John Rawls hendaknya juga diikuti
dengan rekonstruksi Subjek Zizekian. Program-program paralegal yang dilaksanakan oleh
lembaga bantuan hukum kampus hendaknya lebih diprioritaskan membela hak-hak kaum
-
8/18/2019 Makalah Otong Rosadi & Awaludin Marwan
3/15
2
miskin kota. Jatung pendidikan hukum yakni kurikulum juga perlu ditambahkan mata
kuliah pendampingan hukum berkeadilan sosial.
Kata Kunci: Pendidikan Tinggi Hukum, Keadilan Sosial, dan Rekonstruksi Subjek
Pendahuluan
“Mau kemana mbak?” Tanya seorang dosen. “Ya, mau kuliahlah pak” , tukas seorang
mahasiswi. “Kok pakai busana serba minim?”. “Ini, model fashion terbaru, bapak sih jadul,
potongan rambut belahan pinggir kayak Changcuters!”. Sang dosen menangis dalam hati.
Fenomena pendidikan tinggi hukum tidak terlepas dari budaya pop yang melukiskan
sindrom kapitalisme kebudayaan telah merangsek ke dalam denyut nadi kehidupan
perkuliahan. Produksi kebudayaan telah membuat para insan akademik —mahasiswa-
mahasiswa—menjelma layaknya turis-turis kampus atau model-model universitas. Alih-
alih kebebasan ‘akademik’ dalam dunia kampus, malah direproduksi menjadi
pengumbaran gaya hidup. Institusi kampus yang menerapkan kententuan seragam dikira
melembagakan tradisi fasis yang tidak memberikan kebebasan.
Cherry belle dan Smash merupakan simbol politik kebudayaan mahasiswa hari ini.
Nampaknya tesis Spivak tentang kolonialisme dalam formula yang baru masih tetap
langgeng 1
itu benar-benar terbukti. Kultur akademik kehilangan tradisi ketimuran, nalarkesantunan, dan taqlid (taat) pada orang tua atau guru. Memang alih-alih santun bisa saja
diasosiasikan pada feodalisme. Namun setidaknya, kultur akademik dibangun dengan
idealisme. Krisis ideologi menghantui dunia kampus kita. Mereka berjalan tanpa jiwa!.
Watak keartisan Hollywood, bahkan di beberapa kasus melo gaya Bollywood, telah mengisi
dunia imajiner insan akademik, tak terkecuali, insane akademika hukum. Kehidupan
keseharian mereka, pengalaman mereka, bahasa kebudayaan mereka, telah dikendalikan
oleh kuasa wacana—meminjam bahasa Spivak.
Hal ini setidaknya secara empiris diperdebatkan bahwa kehidupan kita sehari-hari,
pengalaman psikis, bahasa budaya kita, yang saat ini didominasi oleh ruang yang agak
1 Sejarah imperialisme dalam peradaban dunia tidak akan pernah berakhir, melainkan terus mengalami
kontingensi menerpa aspek budaya, ekonomi, dan politik. Dalam konteks ini batasan territorial kekaisaran bangsa
(the empire-nation) telah runtuh, dengan kata lain agenda nasionalisme tiada mungkin terwujud lagi. Stephen
Morton. Gayatri Chakravorty Spivak. 2003. Routledge. London&New York. p.129-131
-
8/18/2019 Makalah Otong Rosadi & Awaludin Marwan
4/15
3
berdasarkan kategori waktu, seperti pada periode sebelumnya modernisme akut yang
sesungguhnya.2
Budaya hedonisme dan glamaour telah membanjiri kehidupan dunia kampus
dengan model-model yang diciptakan oleh kapitalisme. Figur-figur (ideol-ego) dunia
kampus telah terkooptasi dengan tokoh-tokoh yang diperankan oleh budaya pop televisi
dan jejaring sosial (facebook, twitter, dst). Spivak percaya bahwa kebudayaan telah
bermetamorfosis dalam pasar bebas dan memunculkan kebudayaan multinasional. Tidak
hanya perusahaan yang berlabel multinasional, kebudayaan juga berfungsi sebagai kapital
di era posfordis.
Meskipun kita bisa menilai, bahwa fashion yang dimaksud juga bukan hanya dalam
bentuk fisik, melainkan juga teoritis. Para dosen yang menggunakan teori-teori seperti
model fashion yang sedang hangat kala itu. Musim postmodern, maka menulis makalah
tanpa disertai nama-nama tersebut pun akhirnya terasa tidak mengikuti perkembangan
fashion-sains mutakhir. Namun setidaknya, kesadaran adalah keutamaan dalam ikut arus
air tanpa tenggelam di dalamnya. Ideologisasi inilah yang menunjukan karakter subjek.
Kita bukanlah objek, melainkan subjek dengan tindakan radikal.
Seorang subjek tidak akan menyerah dengan realitas, sistem kapitalisme budaya yang
mencengkeram, budaya pop yang memabukan, melainkan dengan kesadaran penuhmenunjukan eksistensinya. Maka dalam pandangan Zizek, subjek itu memiliki dua karakter,
yakni subjek yang mendeklarasikan diri (subject of enunciated) dan subjek yang percaya
pada hasratnya (subject of desire).3 Subjek yang mendeklarasikan diri menyediakan
pemberontakan brutal pada tirani mayoritas dan kehendak missal kapitalisme, ia tampil
dengan kegilaannya, keyakinannya, kekeras-kepalaannya, dst untuk melawan derasnya
2 It is at least empirically arguable that our daily life, our psychic experience, our culture languages, are
today dominated by space rather by categories of time, as in the preceding period of high modernism proper.
Gayatri Chakravorty Spivak. A Critique of Postcolonial Reason. Toward a History of the Vanishing Present. 1999.
Harvard University Press. Cambridge, Massachutts, London. p. 323-4. Bagi Spivak, dominasi kebudayaan itu telah
beroperasi dalam alam bawah sadar kolektif masyarakat melalui negara, institusi-institusi sosial, ritual
kepahlawanan, dan pranata lain dengan sifatnya ‘nomads’ atau berpindah-pindah, ruang begitu terbuka,hiperkosmopolitanisme telah menggejala pada posglobalisasi hari ini.
3 Slavoj Žižek. The Cartesian Subject without Cartesian Theatre. On Karren Ror Malone&Stephen
Friedlander. The Subject of Lacan: A Lacanian Reader foe Psychologists. 2000. State University of New York Press.
P. 23-34. Karakter Lenin, memang diktator, tapi ia memiliki keyakinan yang kokoh laksana gunung yang tak akan
roboh oleh badai sekalipun. Ia memiliki idealisme, dan hidup adalah perjuangan mencapai idealisme itu.
-
8/18/2019 Makalah Otong Rosadi & Awaludin Marwan
5/15
4
arus keinginan publik. Sedangkan subjek yang percaya pada hasratnya mendorong diri
menjadi pribadi yang ambisius, tak kenal lelah, terus bermimpi, dan mengejar angan-
angannya. Mahasiswa ideal adalah mahasiswa yang memiliki keyakinan kokoh, berdarah-
darah dalam memanifestasikan idealismenya, haus akan ilmu, selalu gelisah dalam
pencarian tanpa henti, dan melawan mainstream budaya pop. Ia tidak peduli kalau dijuluki
anak cupu, kutu buku, bahkan ‘kecoa perpustakaan’, dan tidak gaul, ia hanya menjadi
dirinya yang dihasrati oleh rasa keingintahuan dan pencarian ilmu pengetahuan.
Refleksi Kultur Pendidikan Hukum
Pendidikan formal sepertinya sudah tidak lagi mampu diharapkan. Ia dipenuhi
dengan kegagalan-kegagalan besar. Mereka kebanyakan mencetak generasi pekerja dan
pengangguran. Mental buruh nampaknya banyak dijumpai di kalangan mahasiswa. Roda
kehidupan bagi mereka barangkali hanya seputar kuliah, makan, lulus, cari kerja, dan hidup
mapan. Gejolak mahasiswa yang berapi-api telah padam sudah. Mereka datang kuliah
hanya ingin mengisi absen (presensi), saat kuliah main facebook atau bbm, tidur di kelas,
yang paling parah membuat onar yang sama sekali tidak menunjukan karakter subjek yang
terpelajar.
Di satu sisi lain, perguruan tinggi hukum sudah bermetamorfosis menjadi industrikapitalisme yang memproduksi ladang-ladang perternakan sarjana hukum dalam jumlah
besar. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang dulu pernah digelontorkan hanyalah
isapan jempol belaka. Demi memenuhi kebutuhan roda perekonomian fakultas, mahasiswa
diuji dalam seleksi masuk skala besar. Alhasil kelas yang besar berjumlah puluhan orang
dengan seorang dosen yang suaranya saat mengajar hilang ditelang sang angin, sayup
bahkan nyaris tak terdengar tertindig oleh, terlalu gemuk kelasnya. Kegiatan belajar
menjadi tidak efektif lagi dan paling mengerikan sudah tidak lagi manusiawi. Hubungan
antara dosen-mahasiswa sudah tidak lagi intens, saking banyaknya jumlah mahasiswa. Kini
dosen tak mengenali mahasiswanya lagi, dan bahkan ada mahasiswa yang juga tak tahu
mana dosernnya, karena tak pernah masuk kuliah dan dosdennya tak sempat mengambil
presensi, karena banyaknya mahasiswa yang diajar.
-
8/18/2019 Makalah Otong Rosadi & Awaludin Marwan
6/15
5
Padahal pendidikan yang humanis itu—meminjam bahasa Freire—hanya dimungkinkan
jika adanya revolusi kultural dunia akademik. Dengan kelas yang besar, otoritas dosen
semakin besar dalam mekanisme pembelajaran, mahasiswa kesempatan berekspresinya
semakin sempit ditengah sistem SKS. Dosen seperti sang diktator yang mengatur secara
angkuh kelasnya. Membuat sang dosen seperti bapak yang memperlakukan anaknya
sesuka hatinya. Freire menawarkan conscientização, sebuah metafora yang mengajarkan
bahwa setiap orang patut dihargai secara personal.4 Revolusi itu tentunya bukan pekerjaan
yang gampang. Birokrasi kapitalisme telah melembaga begitu kokoh di lingkungan
akademik kampus Fakultas Hukum. Sebagai pabrik ahli hukum, ia melanggengkan budaya
akademik itu dengan memberikan sentuhan legitimasi dan dukungan teori-asas hukum
pada praktek kapitalisme pendidikan itu.
Sebut saja undang-undang tentang perguruan tinggi hari ini. Sumbangsih
keteledoran juga dimiliki oleh para pakar hukum yang membiarkan praktek budaya
kapitalisme merampah ke dunia kampus.5 Sudah tidak ada tempat lagi bagi ketulusan
dalam belajar dalam pendidikan formal, di kelas-kelas gormal. Kecuali dengan membentuk
4 Otoritas bapak dan anak ini menyebab sebuah relasi yang tidak seimbang dalam kelas, menekan hasrat
aktualisasi mahasiswa dan pada akhirnya membentuk struktur feudal yang kaku. Revolusi kebudayaan dalam kelas
diperlukan untuk memelihara jejak sejarah dalam sebuah superstuktur yang selalu bertransformasi dan
penguasaan dibawah transformasi revolusioner yang terus menerus berlangsung. Conscientização sebagai kreasipraksis dari masyarakat baru, masyarakat yang menginginkan transformasi jejak mistik masyarakat lama hidup
dalam kebaruan itu sendiri. Paulo Freire. Pedagogy of the Oppressed. 2005. Continuum. New York&London. p. 159
5 Menurut UU ini, bidang keilmuan didisiplinkan: menteri berwenang untuk memberikan dan mencabut izin
penyelenggaraan program studi (pasal 7 ayat 4 huruf e); rumpun ilmu pengetahuan dan teknologi lainnya diatur
dengan peraturan menteri (pasal 10 ayat 4). Bagaimana mungkin kebebasan akadmik yang menjadi adagium suci
bagi perguruan tinggi ditekan oleh regulasi unifikasi yang bersifat represif. Penelitian dan pengabdian masyarakat
pun dikendalikan oleh kementrian, bukan inisiatif perguruan tinggi yang bersangkutan lagi (pasal 46 ayat 4 dan
pasal 48 ayat 5). Bidang organisasi diatur sedemikian detailnya oleh kementrian, tidak berdasarkan kebutuhan
perguruan tinggi masing-masing yang biasanya disesuai dengan perkembangan masyarakat setempat (pasal 71).
Kementrian memiliki otoritas penuh dalam mengatur dari kebijakan paling umum hingga pada level dapur sebuah
lembaga perguruan tinggi. Tak hanya birokrat kampus yang akan terkena getahnya dari RUU ini, tapi juga lembagakemahasiswaan (pasal 13 ayat 7). Hal ini mengingatkan kita pada memori sejarah kelam dunia akademik nusantara
yang dikuasai penuh oleh rejim orde baru melalui terbitnya Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed
Joesoef Nomor 0156/ U/ 1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus dan Nomor 037/ U/ 1979 tentang Badan
Koordinasi Mahasiswa (NKK/ BKK). Dengan regulasi berpostur seperti ini, kebebasan akademik jelas terbungkam,
nuansa intelektual kampus tiada lagi bisa berkembang sesuai dengan hukum kodratnya, melainkan dibonsai tak
dibiarkan mengalir menuai takdirnya. Yang paling parah dalam RUU ini adalah rotasi dosen oleh kementrian.
Memungkinkan para dosen yang kritis mudah sekali disingkirkan dari peredaran dunia akademik-intelektual (pasal
73 ayat 3).
-
8/18/2019 Makalah Otong Rosadi & Awaludin Marwan
7/15
6
‘komunitas epistemik’, sebuah kelompok studi diluar kampus yang terdiri dari mahasiswa,
yang secara tulus membedah buku, menganalisis kasus-kasus dengan pikiran sehat-dingin-
tidak emosional.
Meskipun demikian, kita masih bisa menyumpangkan secercah optimisme pada
pendidikan formal hukum. Walau, cukup naïf. Paling tidak pemikiran tentang pembaharuan
bisa disematkan didalamnya. Selain revisi kurikulum, disesuaikan dengan pasar, kebutuhan
masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan-sains-teknologi, perlu juga memberikan
reformasi konsep seperti: pendalaman materi; penguatan keterampilan, dan membangun
tradisi kritis di lingkungan kampus.
Pertama, pendalaman materi. Banyak dosen tua yang bersemboyan, ‘belajar 1 (satu)
tahun untuk seumur hidup’. Buku diktat ia tulis pada awal mengajar 1 (satu) tahun
pertama, misalnya silabus ‘Pengantar Ilmu Hukum’, namun buku itu tiada pernah
diperbaiki lagi hingga ia menjelang pensiun. Padahal Johnstone dan Joughin percaya mutu
dan kualitas materi itu mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran. Secara praksis ia
mengusulkan untuk: memberi mahasiswa lebih banyak kebebasan dimana dan kapan ia
belajar; mengijinkan mahasiswa untuk mengakses materi dari berbagai sumber (termasuk
up dating bahan-bahan pengajaran), menyediakan interaksi seluas-luasnya di dalam
maupun diluar kelas, dan terakhir mempromosikan mahasiswa untuk terlibat dalamkonteks perkuliahan—tidak hanya teori, tapi praktek juga.6
Kedua, penguatan keterampilan. Sebenarnya ada yang lebih penting ketimbang
keterampilan, yakni sensivitas mahasiswa dalam menanggapi ketidak-adilan yang
berlangsung di masyarakat. Nurani mereka dilatih untuk selalu tanggap atas persoalan
sosial. Meski keterampilan juga penting dalam prakteknya di lapangan. Backer
menyebutkan kemampuan yang perlu dimiliki para calon ahli hukum adalah: penyelesaian
sengketa; analisis hukum, penelitian hukum, investigasi faktual, komunikasi, konseling,
6 Richard Johnstone&Gordon Joughin. Designing Print Materials For Felxible Teaching and Learning in Law.
1997. Cavendish Publishing. New South Wales. p. 3
-
8/18/2019 Makalah Otong Rosadi & Awaludin Marwan
8/15
7
negosiasi, litigasi dan mediasi, keterampilan administrasi, dan pengetahuan tentang kode
etik profesi.7
Terakhir, pembangunan tradisi kritis. Perlunya membangun sebuah komunitas
diskusi yang detail, mempelajari tentang filsafat Karl Marx, membedah buku-buku Das
Kapitalnya per-bab, dan buku-bukunya yang lain. Mendiskursuskan pemikiran sosialisme
pasca Marx, dan menelitinya dengan detail. Yang paling penting, juga mempelajari sejarah
revolusi-revolusi dunia dan politik internasional kontemporer. Dari konteks inilah, budaya
kritis ditumbuhkan, institusi kampus tidak hanya ladang bisnis dan komersil,8 melainkan
institusi konterhegemoni dari kapitalisme.
Pendidikan Hukum: Sebuah Kontemplasi Kritis
Pendidikan adalah jantung kehidupan. Filsuf John Locke sendiri, menilai tabula rasa
akan beroperasi dengan baik dalam kancah pendidikan,9 yang pada akhirnya membuat
orang sangat berbeda antara satu dengan yang lain.10 Perhatikan pendidikan hukum kita.
Lulusan doktor ilmu hukum akan banyak menduduki posisi penting dan strategis
ketimbang orang-orang yang hanya memiliki gelar sarjana. Memang mencapai gelar doktor
itu bukanlah pekerjaan yang mudah, melainkan memerlukan perjuangan yang berdarah-
darah.Pendidikan hukum Indonesia kian bertambah baik kualitasnya. Lulusan sarjana
hukum sekarang semakin banyak. Kualitasnya juga semakin meningkat. Namun serapan
lapangan kerja rupa-rupanya tak sebanyak hasil yang diproduksi dari jebolan fakultas
7 Larry. Cata Backer. Internationalizing the American Law School Curriulum (in Light of the Carnegic
Foundation’s Report. Jan Klabbers&Mortimer. The Internationalization of Law and Legal Edducation. 2008.
Springer. 42.8 Raquel Medina Plana. Critical Thinking Inside Law Schools: An Outline. Onati-Socio-legal Serius, 2 (5), 7-24
9 Jo-Anne Dillabough, dalam artikelnya yang berjudul Degrees of Freedom and Deliberations of Self The
Gendring of Identity in Teaching, percaya bahwa pendidikan tidak hanya merekonstruksi pengetahuan, tetapi juga
membangun karakter-jiwa sebagaimana yang diyakini oleh Descartes dan pembangunan kekuasaan politis diri
sebagaimana yang diungkapkan oleh John Locke. p. 345.10
Pendidikan pada akhirnya membangun sikap-sikap yang berbasis nilai kesopanan, sehingga semua
aktivitas pada akhirnya dikontrol (behaviorism). Selain kontrol pada aktivitas, pendidikan juga mengendalikan
informasi yang dikelola dalam sistem persepsi peserta didik, hingga akhirnya apa yang mereka ketahui nyaris
seragam dan homogeny (cognitivism). Terakhir, tradisi konstruksivisme (consctructivism) mengantarkan pada
perkembangan seorang yang sejalan dengan keputuhan kekuasaan. Margaret Walshaw. Working with Foucault in
Education. 2007. Sense Publishers. p. 27-32
-
8/18/2019 Makalah Otong Rosadi & Awaludin Marwan
9/15
8
hukum. Hal ini dikarenakan banyak faktor. Pertama, kurangnya kemampuan dan
pengalaman sarjana yang pada saat mahasiswa hanya orientasi studi dengan standar IPK
saja. Kedua, kondisi perekonomian yang lesu di sektor swasta menyebabkan staf bidang
hukum tidak dijadikan prioritas ketimbang tenaga akuntasi, manajemen, dan bidang-
bidang umum yang vital lainnya. Namun yang paling terpenting adalah lahirnya sarjana
hukum bermental baja dengan semangat kuat memiliki idealisme sehingga tidak
terjerembab dalam mekanisme kapitalisme.
Artinya, dulu banyak sarjana hukum yang hidupnya tak karuan di zaman
kemerdekaan, lihat saja Muhammad Yamin, Soepomo, dan pendiri bangsa yang lain.
Semangat sarjana hukum tidak hanya sekrup kapitalisme yang mendukung berjalanannya
institusi negara hukum, yang barangkali tak lepas dari persekongkolan permufakatan jahat.
Namun mereka pada sarjana hukum yang mewakafkan dirinya duduk di kursi-kursi
lembab Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dengan bayaran seadanya. Namun tekad untuk
berjuang melindungi hak sosial, sipil, politik, dan konstitusional warga begitu kokoh
terpatri di dalam dadanya. Semangat sarjana hukum, hendaknya dirubah yang semula
mental teknokrasi dan korporasi menjadi mental pengabdian.
Menarik juga apa yang pernah dikatakan oleh Mochtar. Pendidikan hukum itu akan
jauh lebih baik bukan karena disempurnakannya perpustakaan berikut koleksinya,dinaikan gaji dosen pengajar, sampai pada lengkapnya fasilitas laboratorium hukum
sebuah fakultas hukum. Melainkan bagaimana melakukan pembaharuan kurikulum yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Jadi percuma kita memiliki sarjana lulusan hukum
yang brilian namun tidak kompatibel dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Menurunnya kualitas pendidikan hukum memang karena tiada perubahan radikal yang
direkonstruksikan oleh pendidikan tinggi, ungkap Mochtar.
Pengajaran hukum di kebanyakan tempat pendidikan sudah tidak lebih daripada
suatu proses hafal-menghafal. Jika demikian keadaan pendidikan hukum di negara kita ini,
apakah persoalan perbaikan pendidikan hukum itu akan tercapai dengan menyediakan
fasilitas perpusatakaan yang lengkap, menambah gaji para dosen, dan menambah anggaran
belanja pendidikan hukum. Jawabnya tidak, walaupun tindakan-tindakan demikian akan
banyak menolong keadaan yang sudah parah. Hal ini disebabkan perbaikan pendidikan
-
8/18/2019 Makalah Otong Rosadi & Awaludin Marwan
10/15
9
hukum itu dalam arti yang sebenarnya hanya akan terjadi dalam sistem pendidikan
sehingga dapat menjamin dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Jadi,
persoalannya adalah untuk menyeseuaikan tujuan pendidikan hukum itu dengan
kebutuhan masyarakat yang merdeka yang sedang membangun. Hal ini membawa kia pada
persoalan apakah tujuan pendidikan hukum itu hingga kini dan bagaimanakah seharusnya
untuk masa yang akan datang.11
Mochtar lebih menitik beratkan pada kebutuhan riil masyarakat terhadap pasokan
sarjana hukum yang memiliki integritas tidak hanya sekadar mengoperasikan institusi atau
mesin hukum negara. Masukan sarjana hukum pada ranah pejabat pemerintahan, pejabat
kehakiman dan jaksa, sampai pada polisi dan lawyer. Tapi yang perlu dibutuhkan juga
adalah seorang ahli atau pakar, yang bisa menyusun strategi jangka panjang dan bisa
mengidentifikasi persoalan secara radikal kehidupan sosial masyarakatnya. Maka struktur
kurikulum yang ditawarkan oleh Mochtar pada pertama memang adalah ilmu-ilmu pokok
hukum seperti ilmu dan tata hukum Indonesia, serta ilmu negara. Pada tahun kedua
mereka mendapatkan pemahaman terhadap hukum prositif, hingga akhirnya tahun
berikutnya mahasiswa diberikan mata kuliah sosiologi hukum, sejarah hukum,
perbandingan hukum, teknik dan metodologi penelitian.12 Dengan penelitian, memasok
minat baca mahasiswa, diharapkan lulusan hukum bukan lagi bermental budak atau buruh,melainkan berjiwa pembaharu hukum bahkan bisa jadi seorang begawan hukum handal.
Kurikulum yang sudah dicatat oleh Mochtar sudah banyak diimplementasikan di saban
fakultas hukum. Sampai tesis ‘pendidikan klinis hukum’ yang ditawarkan kepada
mahasiswa untuk membekali keahlian pokok (shoft skill) mereka terjun langsung kepada
masyarakat.
Memang sepertinya sederhana membahas kurikulum. Seperti yang dipikirkan
Mochtar, kurikulum adalah jantung dari hujan-kemaraunya ilmu hukum. Tanpa disadari
beberapa fakultas hukum menghapus mata kuliah pokok, seperti sosiologi hukum dan
filsafat hukum. Sebuah mata kuliah paradigmatik yang harusnya menjadi panduan filosofis
11 Mochtar Kusumaatmadja. Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan: Kumpulan Karya Tulis Prof. Dr.
Mochtar Kusumaatmadja. SH. LLM. 2002. Alumni. Bandung. Hlm. 2512
Ibid., p. 27
-
8/18/2019 Makalah Otong Rosadi & Awaludin Marwan
11/15
10
dan metodologis aparatus hukum di lapangan. Mata kuliah pokok itu digantikan dengan
pelajaran baru yang dipandang lebih seksi, meski teramat teknis aplikatif.
Hal yang senada diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo. Masyarakat berikut kebutuhan
sosialnya menjadi tolok ukur arah pendidikan hukum. Bukan ‘pasar’ yang dijadikan tolok
ukurnya. Kondisi yang lazim terjadi di lapangan, hukum dijadikan ladang kapitalistik.
Pendampingan hukum menjelma semacam perusahaan raksasa mirip pabrik-pabrik
konglomerasi lengkap dengan sistem administrasi dan tata kelola organisasi marketing. Di
gedung-gedung bertingkat konsultasi hukum lebih mahal ketimbang pemeriksaan
kesehatan rumah sakit besar. Mereka dibayar dengan hitungan per-jam. Profesionalisme
menjadi kata mutiara sakti yang membius titik nadir paralegal ini. Jasa hukum bukan lagi
sebuah profesi mulia, melainkan mesin pencari uang semata.
Dari sinilah pendidikan hukum sebagai pendidikan manusia dilupakan. Dengan
menjalani pendidikan hukum selama beberapa tahun lamanya itu, manusia telah
kehilangan sisi kemanusiaannya. Terpangkas hati nuraninya, demi sekadar memenuhi
birahi karir dan gelimpangan harta. Iming-iming kemewahan seorang lawyer berjam
terbang tinggi dengan ribuan pekerja lengkap dengan sekretaris pribadi yang penuh
kemanjaan begitu terbayang dalam imajinasi mahasiswa-mahasiswa hukum saat belajar.
Nilai-nilai pengabdian telah terhempas jauh dari jiwa mereka. Entah rasa sensitivitasterhadap ketidak adilan melayang tinggi menguap.
Diskursus ilmu hukum di ruang publik sebenarnya sudah tiada lagi kekurangan
konsep-konsep hukum yang bombastis. Sudah terlalu banyak gagasan-gagasan
pembaharuan hukum yang bertumpuk-tumpuk di lembaga-lembaga negara dan
pendidikan tinggi. Namun, yang nihil dalam percaturan itu adalah integritas moral.
Kekosongan panduan moral inilah yang membuat pembangunan hukum berjalan penuh
kepincangan. Pendidikan hukum yang dinobatkan sebagai pabrik para professional tidak
punya pengaruh sedikitpun mengubah keadaan menjadi lebih baik. Kecuali pendidikan
hukum dikembalikan dalam konstek progresif yang terus-menerus membangun paradigma
-
8/18/2019 Makalah Otong Rosadi & Awaludin Marwan
12/15
11
hukum yang berbasis moral. Kurikulum sudah tidak begitu lagi penting. Sistem pendidikan
juga sudah tiada lagi dikultuskan. Namun perhatian ditujukan pada manusianya.13
Pertemuan demi pertemuan adalah komunikasi interpersonal yang mengantarkan
sebuah refleksi mendalam terhadap sebuah fenomena hukum. Dosen bukanlah seorang
subjek yang mendominasi mahasiswa, melainkan menjadikan sebagai subjek juga.14 Dosen
memperhatikan satu per satu mahasiswa, sebagai sahabat, teman diskusi, penuh
egaliteran, memancing pembicaraan untuk menyoal problem hukum hari ini. Dalam
pergaulan sehari-hari juga, pesan-pesan moral hendaknya selalu disebar luaskan kepada
mahasiswa. Saat begawan hukum Satjipto masih hidup, beliau selalu mengungkapkan
slogan ‘hukum untuk manusia’. Adagium itu diulang terus hingga mahasiswa-
mahasiswanya jenggah dan hampir bosan mendengarnya. Namun slogan itulah yang
tertancam dalam sanubari mahasiswanya, memberikan bekal selamanya saat sang
mahasiswa merantau dalam dunia ilmu hukum.
Pendidikan hukum yang baik adalah pendidikan hukum yang berbasis nilai. Norma-
norma transcendental lebih digodok dalam paradigma mahasiswa, sehingga kelak pada
saat ia lulus tidak hanya menjadi kacung pasar maupun penguasa negara. Namun mampu
mengamalkan ilmunya laksana buldoser yang menggempur tembok ketidak-adilan yang
bersarang di muka bumi ini. Pendidikan hukum hendaknya menghasilkan mahasiswa yangpeka terhadap perubahan-perubahan sosial, diikuti dengan kreativitas dalam melakukan
aktivitas juridis, sehingga apa yang dibutuhkan masyarakat beserta perubahannya mampu
ditangkap oleh para sarjana muda hukum yang masih memegang idealismenya.
13 Satjipto sebenarnya pada tahun 1979 juga lebih fokus pada kurikulum pendidikan tinggi, sebagaimana ia
ungkapkan dalam disertasinya bahwa kurikulum pendidikan tinggi hukum hendaknya memegang kedaulatan untuk
menentukan kemana arah sesuai dengan falsafah bangsa ini. Lebih lanjut, Satjipto mengamati masih bercokolnya
beberapa mata kuliah dan sistem pendidikan bermateri dan bergaya kolonial. Misalnya pada saat
Rechthoogeschool, pada tahapan candidaatsexamen eerste gedeelte: mereka memiliki mata kuliah seperti
Inleiding totde rechtswetenschap, de beginselen van’t Neder Indich, de Staatshuis -houkunde, De instellingen vanden Islam, Net Javansch, het Maleisch of eene andere Indonesische. Sementara Pada tahapan persiapan kuriulum
minimum fakultas hukum, mahasiswa juga diberikan mata kuliah pengantar ilmu hukum, ilmu negara, sosiologi,
antropologi budaya,pengetahuan bahasa, dst. Satjipto Rahardjo. Hukum dan Perubahan Sosial. 1979, dicetak ulang
pada 2009, Genta Pubslishing. Yogjakarta. Hlm. 23714
Dalam terminologi Lacanian, subjek adalah penemuan jati diri seorang manusia secara otentik.
Sebelumnya manusia hanya bilangan yang ditandai simbol, sehingga tak mampu menggapai siapa sesungguhnya
dirinya yang sebenarnya. Dengan menemukan kembali ke-jati diri-an (the real) manusia bisa melakukan perubahan
radikal atas masalahnya dan masyarakatnya. Bruce Fink. The Lacanian Subject Between Language and Jouissance.
1995. Pricenton University Press. New York. p. 25-8
-
8/18/2019 Makalah Otong Rosadi & Awaludin Marwan
13/15
12
Tiada yang lebih indah kecuali menyaksikan mahasiswa-mahasiswa hasil binaan
kita menjadi agen perubahan sosial dengan penuh kematangan organisasi dan kecerdasan
intelektual. Dalam dunia praktek, para pelaku pembangunan tentu kurang memiliki waktu
untuk selalu bisa memikirkan tindakan-tindakan yang dilakukannya secara tenang dan
berdasarkan kerangka keilmuan yang lebih objektif. Di sinilah dibutuhkan lulusan
mahasiswa hukum yang tampil sebagai sosok ‘intelektual organik’, ia tak hanya
berkemampuan akademisi menara gading, melainkan ia juga mampu mengorganisir
kegiatan dan massa untuk memperjuangkan hak-hak sipil, politik, dan kebudayaannya.
Dengan tertanamnya jiwa pejuang yang sarat akan pertimbangan moral. Tentu tidak
hanya didukung dengan kurikulum, yang mengajarkan tentang, misalnya: hukum dan
moral, etika profesi, dst. Tetapi juga paling penting memberikan tauladan kepada para
mahasiswa. Resi-resi zaman dahulu memberikan pelajaran weda pada masyarakat bukan
hanya melalui sesembahan dan hafalan saja, melainkan juga lelaku atau tirakat , sebuah
kehidupan yang sederhana penuh kesahajaan.
Memang pada level ini, ginjal kurikulum lumayan ditinggalkan oleh Satjipto. Ia lebih
memfokuskan diri pada asupan metafisika moral pada mahasiswa. Tesisnya sederhana,
hukum yang baik dimulai dari mahasiswa yang baik secara moral. Orang yang memiliki
integritas moral kadang memang berada di jalan yang sepi, ditinggalkan, bahkan miskin.Namun kebahagiaan yang ada dalam hati tak akan bisa tergantikan dengan harta dan
kekuasaan yang bergelimpahan.
Akan tetapi revolusi kurikulum kembali dibidik oleh mereka orang yang berada di
wilayah aliran filsafat hukum kritis. Pakar seperti Duncan Kennedy yang lebih menekankan
pada pembaharuan kurikulum pendidikan hukum secara radikal untuk menggulingkan
kemapanan dominasi kepentingan status quo yang disusupkan dalam sistem pendidikan
tinggi.
Pendidikan hukum didasarkan oleh tiga basis materi, oleh Kennedy klasifikasikan ke
dalam: pengetahuan dasar dotrinal dan keterampilan, pengalaman klinik hukum dan studi
interdislipliner. Dalam penggalan materi pertama, seperti biasa, mahasiswa untuk
memahami logika dasar hukum, asas, dogma, doktrin, prinsip ilmu hukum. Mahasiswa
diberikan keterampilan dalam menggunakan perangkat hukum hingga membentuk
-
8/18/2019 Makalah Otong Rosadi & Awaludin Marwan
14/15
13
keterampilan dengan basis latihan yang intens. Pada sisi ini, tidak banyak perbedaan
antara usulan Kennedy dengan kurikulum pendidikan hukum yang berkembang
kebanyakan di Amerika, entah itu Harvard, Chicago, maupun Winconsin, namun pada
sebuah sudut yang sempit, ia mengusul, sesuatu yang nampak sumbing. Yakni pendidikan
manipulasi kasus. Karena Kennedy percaya bahwa hukum itu hanyalah sebuah trik,
sehingga yang paling liciklah yang kemungkinan besar memenangkan pertarungan, maka
mahasiswa pun harus mengetahui realitas itu, bagaimana mengenal skandal, korup, suap,
negosiasi, kompromi, dst. Memang satu ini agak riskan, namun begitulah perkembangan di
lapangan hukum, tanpa memiliki jaringan yang kuat, seorang pengacara muda hanya
menjadi bulan-bulanan dan selalu kalah dalam pertarungan di muka sidang.15
Hukum adalah kekuasaan. Untuk merobohkan rejim kekuasaan ini perlu radikalitas
gerakan. Termasuk menghancurkan sendi-sendi proseduralistik yang banyak diagung-
agungkan oleh paralegal. Dengan merekonstruksi gerakan sosial yang berbasis massa akar
rumput, seorang aktivis pergerakan akan mencongkel kemampanan kekuasaan itu untuk
dipergunakan sebagai jembatan penghubung antara aspirasi masyarakat dan keadilan
sosial. Politik distribusi yang berbasis kesejahteraan sulit dicapai jika hanya mengandalkan
pendekatan hukum normatif. Perlu adanya revolusi gerakan yang ditopang dengan
pendidikan hukum kritis. Membuat mahasiswa tidak hanya mengenal aturan, melainkanmenghafalkan medan pertarungan, di mana hukum banyak melindungi pejabat korup.
Hanya dengan membangun kekuatan sosial, berjuang terus-menerus akan mampu
mengupas ketidak-beresan yang ada di sistem hukum itu.16
Pandangan Kennedy tentu berbeda dengan Satjipto yang sarat akan moralitas.
Namun, bukan tidak mungkin pandangan ini bisa disatukan. Dengan cara rekonstruksi
sarjana hukum yang penuh idealisme berbasis moral, sementara ia tetap kritis terhadap
kekuasaan. Diharapkan filsafat pendidikan hukum yang dilukiskan dari Mochtar, Satjipto,
dan Kennedy tadi mampu memberikan inspirasi lebih dalam, luas dan detail bagaimana
cara memperbaiki sistem pendidikan tinggi hukum di Indonesia.
15 Awaludin Marwan. Studi Hukum Kritis: Dari Modern, Posmodern hingga Posmarxis. 2012. Satjipto
Rahardjo Institute. Semarang. p. 4516
Duncan Kennedy. Legal Education and the Reproduction of Hirarkhy A Polemic Against The System. New
York University Press. 2004. p. 120
-
8/18/2019 Makalah Otong Rosadi & Awaludin Marwan
15/15
14
Penutup
Tiada bangunan yang lebih indah dari sebuah kebudayaan akademik Fakultas
Hukum yang dipenuhi dengan mahasiswa kritis yang mengedepankan idealisme, nurani,
dan semangat perjuangannya. Sementara Dosennya adalah teman belajar mahasiswa.
Membuat mahasiswa menemukan dirinya sendiri dalam pencarian intelektualisme,
mengajak mereka bermimpi tentang keadilan sebagai sebuah utopia suatu saat akan bisa
diimplementasikan. Menjadikan pendidikan hukum sebagaimana direnungkan oleh
Satjipto Rahardjo sebagai ‘Pendidikan Manusia’. Karena bukankah hukum itu hadir untuk
manusia?