Makalah Mpr

download Makalah Mpr

of 16

Transcript of Makalah Mpr

BAB I

PENDAHULUAN

Masa remaja merupakan masa transisi, dimana terjadi perubahan dan perkembangan baik secara fisik, psikis, kognitif, maupun secara sosioemosional. Pada masa transisi tersebut kemungkinan dapat menimbulkan rasa krisis, yang ditandai dengan kecenderungan munculnya perilaku menyimpang. Pada kondisi tertentu perilaku menyimpang tersebut akan menjadi perilaku mengganggu. Melihat kondisi tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan sifat kepribadian yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya berbagai penyimpangan perilaku dan berbagai perbuatan-perbuatan negatif yang melanggar aturan dan norma yang ada di masyarakat yang biasanya disebut dengan kenakalan remaja.

Kenakalan-kenakalan yang dilakukan oleh remaja sangat beragam, mulai dari perbuatan yang amoral dan anti sosial tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Bentuk kenakalan remaja tersebut salah satunya adalah kabur dari rumah.

Kabur dan pergi tanpa tujuan merupakan salah satu reaksi negatif kejiwaan seorang anak. Sikap ini banyak terjadi di tengah-tengah sebagian anak-anak dan kebanyakan anak remaja. Ini terjadi karena mereka mengalami kondisi hidup (berkeluarga) yang tidak harmonis atau menilai bahwa berlama-lama dalam lingkungan keluarga tidak menguntungkan bagi dirinya. Kemudian, mereka berusaha menjaga jarak dan menjauhinya.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Kabur

Kabur atau pergi tanpa tujuan merupakan salah satu reksi negatif kejiwaan yang di alami oleh sebagian remaja. Kecenderungan untuk melarikan diri merupakan semacam mekanisme pertahanan dan reaksi balasan yang mengarah pada sikap menyerah terhadap konflik yang sedang dihadapi oleh seorang remaja.

Karen Horney berpendapat bahwa hakikat melarikan diri adalah pertentangan, dari satu sisi seseorang ingin mandiri, sementara di sisi yang lain ingin bekerja sama dengan orang lain. Kondisi pertentangan inilah yang melahirkan kecenderungan untuk berperilaku kabur dari tekanan yang dihadapi. Perilaku kabur merupakan salah satu bentuk dari mekanisme pertahanan diri (self-protective). Walaupun remaja sering menunjukkan kebingungan dan konflik yang muncul akibat adanya usaha-usaha introspektif untuk memahami dirinya, remaja juga memiliki mekanisme untuk melindungi dan mengembangkan dirinya (Santrock, 2003, h. 180).

Dari sudut pandang lain, hakikat perilaku kabur adalah gangguan perilaku dan guncangan jiwa. Kecenderungan melarikan diri muncul dari gangguan dan gejolak kejiwaan yang mendalam pada diri seseorang sehingga memunculkan keinginan untuk keluar dari lingkungan peraturan dan kondisi yang mengikat.

Kecenderungan perilaku kabur pada dasarnya mencerminkan beberapa kondisi, yakni:

a. kondisi hidup yang tidak harmonis, terutama di dalam keluarga, penganiayaan, dan kontradiksi batin seseorang.

b. keinginan untuk menyadarkan orang tua dan pendidik tentang keadaan diri pelaku.

c. keinginan untuk meraih ketenaran.

d. sikap permusuhan terhadap orang tuanya.

e. sikap protes pelaku yang ingin menyatakan kepada orang tua dan pendidik bahwa dirinya tidak puas terhadap kondisi yang sedang dihadapi.

f. pelaku ingin menentramkan batinnya dari tekanan penderitaan.

g. keinginan memprotes peraturan dan ketentuan yang berlaku.

h. kesulitan hidup yang menghimpit pelaku.

i. keinginan untuk hidupmandiri dan bebas.

j. keinginan memberi peringatan kepada orang tua dan pendidik. Dengan cara ini, pelaku ingin mengubah kondisi dan situasi yang tidak disukainya.Bentuk-bentuk Perilaku Kabur

Terdapat beberapa kecenderungan bentuk atau pola yang tampak pada perilaku kabur yang dilakukan oleh remaja. Beberapa bentuk perilaku kabur adalah sebagai berikut:

a. meninggalkan suatu lingkungan atau daerah, misalnya sekolah, rumah, asrama, dan sejenisnya.

b. masa kabur yang relatif singkat ataupun dalam jangka waktu yang cukup lama. Pada remaja, perilaku kabur biasanya dalam jangka waktu yang relatif lama.

c. dalam beberapa keadaan, melarikan diri dapat berbentuk kondisi kejiwaan, misalnya menyakiti diri sendiri supaya terhindar dari suatu masalah.

d. melarikan diri dari suatu hakikat. Misalnya, mengingkari sebuah fakta atau permasalahan tertentu.

e. pada sebagian besar remaja dan orang dewasa, perilaku kabur di tampakkan dalam bentuk penyimpangan seksual dan kecanduan alkohol.

f. kecenderungan perilaku tersebut kadang juga ditampakkan pada perilaku brutal atau anarkis dan keinginan untu melanggar aturan tertentu.

Faktor Penyebab

Banyak faktor yang menyebabkan seorang anak cenderung kabur dari rumah. Beberapa faktor diantaranya adalah:1. Perasaan

dimanja terlalu berlebihan sehingga anak merasa dipentingkan dan selalu menganggap pendapatnya mutlak benar

merasa kurang mendapat kasih saying atau tidak adanya perlindungan dari orang tua yang semestinya

merasa diasingkan dari lingkungan keluarga

sikap dingin orang tua dalam lingkungan keluarga

adanya perasaan takut dan tigak aman bagi keselamatan fisik dan jiwanya

ingin membalas dendam dan meluapkan amarah sewaktu meghadapi kesulitan dan kekacauan

gangguan perasaan yang menjadikan anak lupa dan membuang kesempatan untuk kembali ke rumah

hubungan yang kurang harmonis dengan kedua orang tua

tidak adanya kepedulian orang tua terhadap perasaan anak2. Kejiwaan

mengalami keresahan, kegundahan hati, dantekanan mental karena telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai moral

gangguan kejiwaan yang medorong anak ingin pergi ke tempat yang jauh. Gejalanya timbul bila anak, misalnya, menyimpan kesedihan dan enggan membicarakannya dengan orang lain

membalas kekalahan-kekalahan dirinya serta inginmelepaskan diri dari perasaan berdosa

adanya keinginan untuk membela diri atau menghindar dari kondisi yang menyakitkan

kecenderungan memuaskan diri sendiri dan mendapatkan kemandirin hidup

menghindar dari hinaan, rasa malu dan tekanan jiwa

merasa putus asa, kalah dan tidak mampu dalam menghadapi masalah

kesombongan diri yang dibuat-buat

ingin menghibur hati dan menyenangkan diri sendiri3. Sosial

tidak puas terhadap kondisi dan keadaan yang ada, serta merasa bosan dan malas menjalani hidup

adanya pertengkaran dalam keluarga, keretakan rumah tangga, pernikahan baru (poligami), dan terjadinya perceraian orang tua

adanya perasaan terasing dalam rumah

anak memiliki teman dan bentuk pergaulan yang merusak

merasa jenuh menghadapi persoalan keluraga

ingin meninggalkan tanggung jawab

merasa takut terjebak dalam masalah dan berusaha menghindari kewajibannya

dasar-dasar pendidikan yang keliru yang diterima pada saat anak masih balita4. Peraturan

orang tua terlalu ketat dan tegas dalam memberlakukan peraturan

peraturan tersebut brada diluar batas kemampuan anak sehingga anak merasa takut menaggungnya

merasa takut terhadap perlakuan kejan orang tua

perilaku buruk orang tua yang merusak mental dan kejiwaan anakB. Tugas-tugas Perkembangan Remaja dan Kebutuhan Khas Remaja

Menurut Havighurst, remaja mempunyai tugas-tugas perkembangan sebagai berikut:

Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.

Mencapai peran sosial pria dan wanita.

Menerima keadaan fisik dengan menggunakan tubuh secara efektif.

Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.

Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.

Mempersiapkan karier ekonomi.

Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi.

Mampu berpikir abstrak, logis dan hipotetik.

C. Hubungan Orang tua-Remaja

Hubungan pernikahan, pengasuhan, dan perilaku remaja dapat saling memiliki efek langsung maupun tidak langsung terhadap satu sama lain. Satu contoh efek langsung adalah pengaruh perilaku orangtua terhadap remaja. Contoh efek tidak langsung adalah bagaimana hubungan antara pasangan suami dan istri bertindak terhadap remaja. Misalnya, konflik pernikahan dapat mengurangi efisiensi fungsi orang tua, yang dapat memiliki pengaruh tidak langsung terhadap perilaku remaja (Wilson&Gottman, 1995, dalam Santrock, 2003, h.176).Masa awal remaja adalah waktu di mana konflik antara orang tua dengan remaja meningkat melebihi konflik antara orang tua dengan anak-anak. Peningkatan ini dapat terjadi karena adanya peningkatan kedewasaan orang tua dan remaja dalam berbagai aspek.

Perubahan-perubahan yang dapat mempengaruhi hubungan orang tua dengan remaja adalah pubertas, penalaran logis yang berkembang, penilaian idealis yang meningkat, harapan yang tidak tercapai, perubahan di sekolah, rekan sebaya, persahabatan, pacaran, dan pergerakan menuju kebebasan (Santrock, 2003, h.178). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa konflik antara orang tua dan remaja adalah yang paling membuat tertekan selama puncak pertumbuhan pubertas.

Dalam hal perubahan kognitif, remaja dapat memberi alasan yang lebih logis kepada orang tuanya daripada di masa kanak-kanak. Dengan kemampuan kognitif yang meningkat, remaja tidak lagi mau menerima alasan yang tidak logis untuk mengikuti pendiktean orang tuanya. Dimensi lain dari perubahan kognitif remaja yang berhubungan dengan hubungan orang tua-remaja adalah harapan orang tua terhadap remaja dan sebaliknya (Collins, 1993, dalam Santrock, 2003, h.179).

Remaja telah dapat mulai mempertanyakan dan mencari dasar dari permintaan orang tua mereka. Orang tua mungkin menganggap perilaku ini sebagai penolakan dan pertentangan karena hal ini jauh dari perilaku anak yang biasanya patuh. Orang tua seringkali merespon ketidakpatuhan ini dengan menambah tekanan agar peraturannya dipatuhi oleh remaja.

Remaja menghabiskan waktu lebih banyak dengan rekan sebaya daripada ketika masih dalam masa kanak-kanak. Remaja juga mulai mendorong lebih keras untuk mendapat kebebasan. Jelasnya, orang tua diminta untuk beradaptasi dengan perubahan dunia sekolah remaja, hubungan dengan teman sebaya, dan dorongan untuk mendapatkan kebebasan.

Perubahan orang tua yang memiliki andil pada hubungan orang tua-remaja meliputi kepuasan pernikahan, beban ekonomi, peninjauan ulang karier, dan pandangan mengenai waktu, kesehatan, dan pemeliharaan tubuh (Hill, 1980; MacDermid & Crouter, 1995; Silverberg & Steinberg, 1990, dalam Santrock, 2003, h.178). Ketidakpuasan dalam pernikahan semakin besar ketika pasangan memiliki anak remaja daripada keturunannya adalah anak kecil atau orang dewasa. Orang tua juga merasa mendapat beban ekonomi yang semakin besar selama memelihara seorang remaja. Selama itu pula orang tua bisa meninjau ulang apa yang telah mereka capai dalam pekerjaan. Masalah kesehatan dan kekhawatiran atas integritas tubuh serta daya tarik seksual menjadi perhatian bagi orang tua.

Judith Smetana (dalam Santrock, 2003, h.188) percaya bahwa konflik orang tua-remaja dapat lebih dipahami dengan mempertimbangkan kemampuan kognitif sosial remaja yang berubah. Dalam penelitiannya, dia menemukan bahwa konflik orang tua dengan remaja berhubungan dengan pendekatan yang berbeda yang digunakan orang tua-remaja ketika menghadapi berbagai pertentangan.D. Pola Asuh

Menurut Baumrind (dalam Santrock, 2003, h.188) ada tiga jenis pola asuh, yakni otoriter, permisif, dan demokratis.

1. Pola asuh Otoriter (Authoritarian)

Pengasuhan autoritarian adalah gaya yang membatasi dan dan bersifat menghukum yang mendesak remaja untuk mengikuti petunjuk orang tua dan untuk menghormati pekerjaan dan usaha. Orang tua yang bersifat autoritarian membuat batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan hanya melakukan sedikit komunikasi verbal. Pengasuhan autoritarian berkaitan dengan perilaku sosial yang kurang baik (Santrock, 2003, h. 185). Remaja yang memiliki orang tua yang otoriter seringkali merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mampu memulai suatu kegiatan, dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah.

Dalam pola asuh ini, orang tua menjadi sentral, artinya segala ucapan, perkataan, maupun kehendak orang tua dijadikan patokan yang harus ditaati oleh anak. Agar taat, orang tua tak segan-segan menerapkan hukuman yang keras pada anak. Orang tua beranggapan bahwa agar aturan itu stabil, maka seringkali orang tua tak menyukai tindakan anak yang memprotes, mengkritik, atau membantah.

Banyak anak yang dididik dengan pola asuh otoriter ini cenderung tumbuh menjadi pribadi yang suka membantah, memberontak, dan berani melawan arus terhadap lingkungan sosial. Terkadang anak tidak mempunyai sikap peduli, antipati, pesimis, dan antisosial. Hal ini adalah akibat dari tidak adanya kesempatan bagi anak untuk mengemukakan gagasan, ide, pemikiran, maupun inisiatifnya. Apapun yang dilakukan anak tidak pernah mendapat perhatian, penghargaan, penerimaan yang tulus oleh lingkungan keluarga atau orang tuanya. 2. Pola Asuh Permisif (Permisive)Gaya pengasuhan tidak peduli adalah suatu pola di mana orang tua sangat tidak ikut campur dalam kehidupan remaja. Hal ini berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang kurang baik, terutama kurangnya pengendalian diri.

Pengasuhan permisif memanjakan adalah suatu pola di mana orang tua sangat terlibat dengan remaja tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan mereka. Pengasuhan permisif memanjakan berkaitan dengan ketidakcakapan sosial remaja, terutama kurangnya pengendalian diri (Santrock, 2003, h.186). Orang tua yang bersifat permisif memanjakan mengijinkan anak melakukan apa yang mereka inginkan dan akibatnya adalah remaja tidak pernah belajar mengendalikan perilaku dan selalu berharap mereka bisa mendapat semua keinginannya.

Bila anak mampu mengatur seluruh pemikiran, sikap, dan tindakannya dengan baik, kemungkinan kebebasan yang diberikan oleh orang tua dapat dipergunakan untuk mengembangkan kreativitas dan bakatnya, sehingga anak dapat berkembang menjadi individu yang dewasa, inisiatif, dan kreatif. Namun hal yang sering ditemui dalam kenyataan, sebagian besar anak tidak mampu menggunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya. Mereka justru menyalahgunakan kesempatan sehingga cenderung melakukan tindakan-tindakan yang melanggar nilai-nilai, norma-norma, dan aturan sosial.

3. Pola asuh Demokratis (Authoritative)

Pengasuhan autoritatif mendorong remaja untuk bebas tetapi tetap memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal timbal balik bisa berlangsung dengan bebas dan orang tua bersikap hangatdan membesarkan hati remaja. Pengasuhan autoritatif berkaitan dengan perilaku sosial remaja yang kompeten.

Pola asuh ini adalah gabungan pola asuh permisif dan otoriter dengan tujuan untuk menyeimbangkan pemikiran, sikap, dan tindakan antara anak dan orang tua. Orang tua dan anak mempunyai kesempatan yang sama untuk menyampaikan suatu gagasan, ide, atau pendapat untuk mencapai suatu keputusan. Dengan demikian, orang tua dan anak dapat berdiskusi, berkomunikasi, atau berdebat secara konstruktif, logis, rasional, demi mencapai kesepakatan bersama. Karena hubungan komunikasi antara orang tua dan anak berjalan dengan menyenangkan, maka terjadi pengembangan kepribadian yang mantap pada diri anak. Anak tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, matang, dan dapat menghargai dirinya sendiri dengan baik. Pola asuh demokratis akan dapat berjalan secara efektif bila:

Orang tua dapat menjalankan fungsi sebagai orang tua yang memberi kesempatan kepada anak untuk mengemukakan pendapatnya.

Anak memiliki sikap yang dewasa yakni dapat memahami dan menghargai orang tua sebagai tokoh utama yang tetap memimpin keluarganya.

Orang tua belajar memberi kepercayaan dan tanggung jawab pada anaknya.E. Perkembangan Kepribadian Remaja

Pandangan yang kompleks dari Erikson mengenai identitas remaja melibatkan tujuh dimensi (Bourne, 1978, dalam Santrock, 2003, h.343):

Genetik. Erikson menggambarkan perkembangan identitas sebagai suatu hasil yang mencakup pengalaman individu pada lima tahap perkembangan yang telah dialami. Perkembangan identitas merefleksikan cara individu mengatasi tahap-tahap sebelumnya.

Adaptif. Perkembangan identitas remaja dapat dilihat sebagai suatu hasil atau prestasi yang adaptif. Identitas adalah penyesuaian diri remaja mengenai keterampilan-keterampilan khusus, kemampuan, dan kekuatan ke dalam masyarakat di mana mereka tinggal.

Struktural. Kebingungan identitas merupakan suatu kemunduran dalam perspektif waktu, inisiatif, dan kemampuan untuk mengkoordinasikan perilaku masa kini dengan tujuan yang ingin dicapai di masa depan.

Dinamis. Erikson meyakini bahwa pembentukan identitas diawali ketika manfaat dari identifikasi berakhir. Proses ini muncul dari identifikasi masa kecil individu dengan orang dewasa yang kemudian menarik mereka ke dalam identitas baru.

Subjektif atau berdasarkan pengalaman. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh selama masa hidup akhirnya membentuk identitas seorang remaja.

Timbal balik psikososial. Erikson menekankan hubungan timbal balik antara remaja dengan masyarakat sosialnya.

Status eksistensialisme. Erikson berpendapat bahwa remaja mencari arti dalam hidupnya sekaligus arti dari hidup secara umum. Kepribadian, Watak, dan Tempramen

Gordon W.Allport (dalam Sumadi Suryabrata, 2011, h.205) memandang kepribadian sebagai organisasi dinamis didalam individu yang terdiri dari sistem-sistem psikofisis yang menentukan cara-caranya yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Sistem psikofisis terdiri dari kebiasaan, sikap, nilai, kepercayaan, keadaan emosi, motif, dan sentimen.Definisi kepribadian ini memiliki tiga unsur pokok, yaitu: Dynamic organization (organisasi dinamik) yaitu kepribadian terus-menerus berkembang dan berubah, dan di dalam diri individu ada pusat organisasi yang mewadahi semua komponen kepribadian.

Psichophysical systems (sistem psikofisik), kepribadian bukan hanya konstruk hipotetik tetapi merupakan fenomena nyata yang merangkum elemen mental dan neural.

Determine yakni bagian dari individu yang berperan aktif dalam tingkah laku seseorang.

Menurut Allport (dalam Sumadi Suryabrata, 2011, h.207) temperamen adalah adalah disposisi perilaku individu yang berkaitan erat dengan determinan biologis atau fisiologis. Oleh sebab itu temperamen sedikit sekali mengalami modifikasi di dalam perkembangan. Dalam hal ini peranan faktor keturunan pada temperamen lebih besar daripada peranan faktor keturunan pada aspek-aspek kepribadian yang lain. Temperamen merupakan sifat-sifat yang berhubungan dengan emosi (perasaan), misalnya pemarah, penyabar, periang, pemurung, introvert, ekstravert dan sebagainya. Sifat-sifat emosional adalah bawaan (warisan/turunan), sehingga bersifat permanen dan tipis kemungkinan untuk dapat berubah. Kepribadian, watak, dan temperamen berkaitan satu sama lain. Kepribadian seseorang berhadapan dengan lingkungannya, yang turut membentuknya hingga mencapai taraf kematangan tertentu.

Penentu utama tingkah laku dewasa adalah seperangkat sifat (traits) yang terorganisir dan seimbang yang mengawali dan membimbing tingkah laku sesuai dengan prinsip otonomi fungsional. Dalam usia dewasa, manusia dapat memperoleh kekuatan motifnya dari sumber kekinian. Masa lalu tidak penting kecuali hal itu tampak dalam dinamik aktivitas masa kini.

Allport (dalam Alwisol, 2009, h.231) mengusulkan beberapa penanda kualitas kemasakan kepribadian sebagai berikut:

Perluasan perasaan diri. Memiliki kemampuan berrpartisipasi dan menyenangi rentang aktivitas yang luas. Memiliki kemampuan masuk ke masa depan dan berharap merencanakan.

Mengakrabkan diri dengan orang lain: kemampuan bersahabat dan kasih sayang, keintiman yang melibatkan hubungan cinta dengan keluarga dan teman.

Keamanan emosional, penerimaan diri: Kemampuan menghindari aksi berlebihan terhadap masalah yang menyinggung dorongan spesifik dan mentoleransi frustasi, perasaan seimbang.

Persepsi, ketrerampilan, tugas yang realistis: kemampuan dan minat memecahkan masalah memiliki ketrampilan yang cukup untuk meyelesaikan tugas yang dipilihnya.

Objektivitas diri: insight dan humor : Adalah kemampuan untuk memandang secara objektif diri sendiri dan orang lain.

Menyatukan filsafat hidup: Ada latar belakang alur keseriusan yang lengkap yang memberi tujuan dan makna kepada apapun yang dilakukan orang.

Remaja yang telah menunjukkan tanda-tanda kemasakan kepribadian tersebut akan tumbuh sebagai seseorang yang dapat menyelesaikan berbagai konflik yang dihadapinya. Berbeda dengan remaja yang belum matang kepribadiannya, akan mengalami hambatan dalam penyesuaian diri menghadapi konflik.

Sikap introversi dan ekstroversi yang dimiliki oleh remaja dapat menjadi faktor kuat mentukan kepribadian remaja. Sikap introversi mengarahkan pribadi ke pengalaman subjektif, memusatkan diri pada dunia dalam dan privat di mana realita hadir dalam bentuk hasil amatan, cenderung menyendiri, pendiam dan tidak ramah, bahkan antisosial. Umumnya, orang yang introvert senang introspektif dan sibuk dengan kehidupan internal mereka sendiri (Alwisol, 2009, h.46).

Sikap ekstravert mengarahkan pribadi ke pengalaman objektif, memusatkan perhatian ke dunia luar, cenderung berinteraksi dengan orang di sekitarnya, aktif, dan ramah. Orang yang ekstravert sangat menaruh perhatian mengenai orang lain dan dunia ekitarnya, aktif, santai, atraktif.

Kedua sikap berlawanan tersebut ada di dalam kepribadian, namun biasanya salah satunya dominan dan sadar, sedangkan lainnya kurang dominan dan tak sadar. Apabila ego lebih bersifat ekstravert dalam berhubungan dengan dunia luar, maka secara tidak sadar pribadi akan introvert. Sebaliknya, jika ego introvert, mka secara tak sadar pribadinya ekstrovert.

F. Perkembangan Emosi RemajaRemaja memiliki karakteristik pemunculan emosi yang berbeda bila dibandingkan dengan masa kanak-kanak maupun dengan orang dewasa. Emosi remaja seringkali meluap-luap (tinggi) dan emosi negatif mereka lebih mudah muncul. Keadaan ini lebih banyak disebabkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka dan lingkungan yang menghalangi terpuaskannya kebutuhan tersebut (Hurlock, 1980). Ada 3 jenis emosi yang menonjol pada periode remaja, yaitu emosi marah, takut, dan cinta.Reaksi-reaksi dan ekspresi emosional yang masih labil dan belum terkendali pada masa remaja dapat berdampak pada kehidupan pribadi maupun sosialnya. Dia menjadi sering merasa tertekan dan bermuram durja atau justru dia menjadi orang yang berperilaku agresif. Pertengkaran dan perkelahian seringkali terjadi akibat dari ketidakstabilan emosinya.Perkembangan kemandirian emosional remaja, tidak terlepas dari penerapan pengasuhan orang tua melalui interaksi antara ibu dan ayah dengan remajanya. Orang tua merupakan lingkungan pertama yang paling berperan dalam pengasuhan anak remajanya, sehingga mempunyai pengaruh yang paling besar pada pembentukan kemandirian emosional remaja. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa gaya pengasuhan orang tua yang harmonis, hangat, penuh kasih sayang (authoritative) menunjang perkembangan kemandirian emosional remaja, namun sebaliknya gaya pengasuhan yang penuh dengan tuntutan, orang tua tidak perhatian, penuh dengan sanksi, tidak pernah melibatkan anak dalam pengambilan keputusan akan menghambat perkembangan kemandirian remaja khususnya kemandirian emosional artinya remaja tidak mampu melepaskan diri dari ketergantungan dan keterikatan secara emosional dengan orang tua.G. Rasa Percaya Diri dan Konsep Diri

Rasa percaya diri (self esteem) adalah dimensi evaluatif yang menyeluruh dari diri. Dua sumber penting dukungan sosial yang berpengaruh terhadap rasa percaya diri remaja adalah hubungan dengan orang tua dan teman sebaya. Dalam suatu penelitian yang mengukur hubungan orang tua- anak dengan rasa percaya diri menyebutkan bahwa ada beberapa atribut dari orang tua yang berhubungan dengan tingkat rasa percaya diri, yaitu:

Ekspresi kasih sayang

Perhatian terhadap masalah yang dihadapi oleh anak

Keharmonisan di rumah

Pertisipasi dalam aktivitas bersama keluarga

Kesediaan untuk memberikan pertolongan yang kompeten dan terarah kepada anak ketika mereka membutuhkannya

Menetapkan peraturan yang jelas dan adil

Mematuhi peraturan-peraturan tersebut

Memberikan kebebasan kepada anak dengan batas-batas yang telah ditentukan.

Untuk sebagian besar remaja, rendahnya rasa percaya diri hanya menyebabkan rasa tidak nyaman secara emosional yang bersifat sementara. Namun bagi beberapa remaja, rendahnya rasa percaya diri dapat menimbulkan banyak masalah, seperti depresi, bunuh diri, anoreksia nervosa, delinkuesi, dan masalah penyesuaian diri lainnya. Tingkat kseriusan masalah tidak hanya tergantung pada rendahnya tingkat rasa percya diri, namun juga kondisi-kondisi lain. Ketika tingkat percaya diri yang rendah berhubungan dengan sekolah atau kehidupan keluarga yang sulit, maka masalah yang muncul pada remaja menjadi meningkat (Santrock, 2003, h. 336).

Hurlock (1980) mengemukakan bahwa konsep diri adalah gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri yang merupakan gabungan dari keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional, aspirasi, dan prestasi yang telah mereka capai dalam hidup. Santrock (2003) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan evaluasi individu terhadap domain yang spesifik dari dirinya.

Harry Stack Sullivan (dalam Alwisol, 2009) menjelaskan bahwa jika seseorang diterima orang lain, dihormati, dan disenangi karena keadaan dirinya, maka individu terebut akan cenderung menghormati dan menghargai dirnya sendiri. Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikai interpersonal, karena setiap orang bertingkah laku sedapat mungkin sesuai dengan konsep diri yang dimilikinya. Jika seorang anak diberitahu bahwa ia cantik, pintar, dan rajin, maka mereka akan mengembangkan konsep diri yang positif. Kondisi yang berbeda akan dijumpai pada anak yang diberitahu bahwa mereka jelek, bodoh, dan pemalas. Pada kondisi demikian, perasaan negatif pada diri anak akan muncul, dan ke depan ia akan tumbuh dengan konsep diri yang buruk.BAB IIIKASUS DAN PEMBAHASANKasusS adalah seorang remaja berusia 14 tahun. S merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Usia S dan kakak pertamanya berjarak 4 tahun. Sejak kecil terutama ketika menginjak bangku sekolah, S merasa diperlakukan berbeda oleh kedua orangtuanya. Kedua orangtua S memaksa S untuk selalu mendapat nilai terbaik dan menempati rangking 1 di kelas. Dalam kesehariannya, S mengisi waktunya dengan terus belajar bahkan tidak diberi waktu untuk bermain bersama teman-teman sebayanya. Berbeda dengan kakaknya, orangtua S tidak memberlakukan hal yang sama terhadap kakaknya. Sang kakak terlihat lebih dibebaskan, sering keluar rumah, dan orangtua tidak terlalu mempermasalahkan prestasi akademiknya.

Perilaku dari orangtua yang diterima S menjadikan S sering berbohong bila ingin pergi bersama teman-temannya. Bila ingin keluar rumah, S memberikan alasan ingin kerja kelompok atau berdiskusi mengenai tugas yang diberikan di sekolah. Sampai pada suatu saat, orangtua S mengetahui kebohongan anaknya tersebut dan sampai di rumah menghukumnya bahkan tidak segan-segan memukul S sampai memar. S sempat protes dan bertanya pada orangtuanya mengapa dirinya diperlakukan seperti ini sedangkan sang kakak tidak. Tetapi orangtua hanya memberi jawaban Jadi anak nurut aja sama orangtua, tidak usah bantah! Mama tau yg terbaik buat kamu S hanya terdiam dan menyimpan kekesalannya dalam hati.Sebagai respon kekecewaan, awalnya S memperlihatkan perilaku mogok makan dan mengurung diri di kamar selama beberapa hari. Tetapi nyatanya tidak juga merubah perilaku orangtuanya yang penuh tuntutan itu. Kedua orangtua masih melihat hal itu wajar sehingga tidak begitu mempermasalahkan perbedaan perilaku si anak. Hingga pada akhirnya, S merasa tidak tahan lagi dan memutuskan untuk kabur dari rumahnya tanpa seijin orangtuanya. S menginap di salah satu rumah temannya selama lebih dari 3 minggu. S sengaja menyuruh temannya tidak membuka mulut ketika kedua orangtua S menanyakan keberadaan dirinya. S juga mematikan alat komunikasi sehingga orang rumah tidak ada yang bisa menghubungi. PembahasanRemaja dihadapkan pada tugas perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan khas remaja yang unik dan ingin dipenuhi. Remaja yang berperilaku kabur memiliki kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi, sehingga otomatis remaja mulai merasa tidak aman (insecure) dengan lingkungannya tersebut dan berusaha mencari tempat yang mampu memberikan rasa aman untuknya. Proses keluar dari rumah tanpa pamit dan mencari tempat yang aman inilah yang dinamakan perilaku kabur.

Perilaku kabur dalam kasus tsb disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berhubungan, yakni pola asuh terkait dengan hubungan antara orangtua-remaja, pembentukan konsep diri, perkembangan emosi, serta kepribadian yang dimiliki remaja. Faktor-faktor tersebut yang akhirnya menyebabkan remaja mengalami kesulitan dalam menentukan perilakunya apabila aspek perkembangan tidak berjalan dengan baik.Masa awal remaja adalah waktu di mana konflik antara orang tua dengan remaja meningkat melebihi konflik antara orang tua dengan anak-anak. Peningkatan ini dapat terjadi karena adanya peningkatan kedewasaan orang tua dan remaja dalam berbagai aspek. Di satu sisi, individu pada usia remaja menginginkan kebebasan melihat tugas perkembangan remaja yang berada pada masa pencarian identitas. Tetapi di sisi lain, orangtua menjadi sangat khawatir dengan perubahan sikap remaja yang kadang terkesan terlalu bebas dan tidak ada batasannya. Hal ini juga berkaitan dengan penerapan pola asuh yang diberikan orangtua pada remaja.

Pola asuh memiliki peranan penting bagi perkembangan kepribadian remaja. Pola asuh yang otoriter menjadikan remaja merasa tertekan sehingga sulit untuk mengungkapkan pendapatnya dengan bebas karena orang tua tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk mengemukakan pendapatnya. Remaja yang memiliki orang tua yang otoriter merasa cemas akan perbandingan sosial, tidak mampu memulai suatu kegiatan, dan memiliki kemampuan komunikasi yang rendah. Situasi yang demikian membuat remaja tidak mampu mengatasi masalah yang dihadapi sehingga membentuk konsep diri dan kepercayaan diri yang rendah. Konsep diri dan kepercayaan diri remaja yang rendah akan menimbulkan banyak masalah, salah satunya adalah remaja akan merasa tidak berdaya dalam menyelesaikan konfliknya. Sehingga bila remaja tidak dapat menyelesaikan masalahnya, maka yang terjadi adalah memutuskan untuk keluar dari lingkungan tersebut dan mencari lingkungan baru yang membuatnya aman.Berdasarkan perkembangan emosinya, remaja memiliki reaksi-reaksi dan ekspresi emosional yang masih labil dan belum terkendali sehingga berdampak pada kehidupan pribadi maupun sosialnya. Emosi remaja seringkali meluap-luap (tinggi) dan emosi negatif mereka lebih mudah muncul. Keadaan ini lebih banyak disebabkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka dan lingkungan yang menghalangi terpuaskannya kebutuhan tersebut (Hurlock, 1980). Perkembangan kemandirian emosional remaja, tidak terlepas dari penerapan pengasuhan orang tua melalui interaksi antara ibu dan ayah dengan remajanya. Orang tua merupakan lingkungan pertama yang paling berperan dalam pengasuhan anak remajanya, sehingga mempunyai pengaruh yang paling besar pada pembentukan kemandirian emosional remaja. Gaya pengasuhan otoriter yang penuh dengan tuntutan, paksaan, penuh dengan sanksi, tidak pernah melibatkan anak dalam pengambilan keputusan akan menghambat perkembangan kemandirian remaja khususnya kemandirian emosional sehingga remaja cenderung mengambil jalan pintas yaitu kabur dari rumah mencari tempat lain yang dirasa lebih nyaman sebagai respon kekecewaan remaja. Hal ini juga terlihat dari pengelolaan emosi remaja yang belum matang sehingga mudah mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Selain itu, pengendalian diri, penyesuaian diri, dan pengambilan keputusan merupakan bagian dari pembentukan kepribadian remaja yang berpengaruh juga pada tempramen masing-masing individu. Tidak semua remaja mampu berpikir jernih pada situasi yang diinginkan/tertekan. Dalam perkembangannya, remaja yang telah menunjukkan tanda-tanda kemasakan kepribadian akan tumbuh sebagai seseorang yang dapat menyelesaikan berbagai konflik yang dihadapinya. Berbeda dengan remaja yang belum matang kepribadiannya, akan mengalami hambatan dalam penyesuaian diri menghadapi konflik, seperti yang dialami remaja pada kasus tsb.DAFTAR PUSTAKAAlwisol. 2009. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM PressHurlock, E.B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: ErlanggaSantrock, John W. 2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jilid 2. Jakarta: ErlanggaSantrock, John W. 2003. Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta: ErlanggaSuryabrata, Sumadi. 2011. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali Press