Makalah Media Dan Gaya Hidup
-
Upload
shei-latiefah -
Category
Documents
-
view
1.609 -
download
9
description
Transcript of Makalah Media Dan Gaya Hidup
Media dan Gaya Hidup/ Shefti L. / Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
Media dan Gaya Hidup
Shefti L. Latiefah
Re-definisi Media Massa
Sebelum menginjak ke penjabaran media massa, kita harus mengerti terlebih dahulu untuk apakah
intrsumen itu digunakan. Media Massa merupakan alat penyampai pesan dari komunikasi massa.
Komunikasi Massa merupakan proses dimana komunikator-komunikator menggunakan media
massa untuk menyebarluaskan pesan-pesan secara luas dan terus menerus, menciptakan makna-
makna serta diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan beragam dengan berbagai
cara (McQuail, 2005). Jika, komunikasi tersebut tidak dikomunikasikan melalui media massa,
maka, tidak dapat disebut sebagai komunikasi massa.
Ketika membicarakan komunikasi massa, kita selalu terbayang akan jumlah khalayaknya, karena
itulah mengapa televisi, radio dan koran disebut-sebut sebagai media massa. Perspektif semacam
ini memang berjalan mulus, untuk beberapa waktu kebelakang, namun tidak untuk sekarang.
Bombardir berbagai kanal media semacam stasiun TV, VCR, dan multiplikasi jaringan kabel dan
munculnya website menjadikan khalayak terfragmentasi (Joseph Turow, 2009:6). Hal ini tentu saja
mengimplikasi bahwa semakin banyak kanal yang muncul, maka semakin sedikit yang
menggunakan salah satu kanal tersebut secara bersama-sama, karena mereka memiliki ketertarikan
yang berbeda (lihat figur 1). Misalnya, anak muda akan lebih condong menonton acara di MTV
ketimbang orang tua mereka yang menyaksikan sinteron, semakin banyak pilihan, semakin ketat
persaingan.
Akhirnya, kita menemukan bentuk baru dari komunikasi massa. Ketika melihat model Turow, kita
bisa menyimpulkan bahwa, khalayak yang terfragmentasi menyebabkan bentuk baru dari
komunikasi. Implikasi yang ditimbulkan dari munculnya model tersebut adalah redefinisi media
massa. Sehingga, kini, tidak ada lagi media massa. Menurut telaah penulis terhadap komunikasi
yang terfragmentasi, dewasa ini, menimbulkan definisi baru, yakni komunikasi bermedia. Istilah
massa sudah terlalu usang karena jangkauan media sekarang lebih personal dan in need, dengan
kata lain, sesuai dengan kebutuhan. Seseorang tidak akan serta-merta menonton pertandingan sepak
1
Media dan Gaya Hidup/ Shefti L. / Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
bola, meski setingkat Piala Dunia sekalipun, jika tidak membutuhkannya. Jadi, naïf bila
mengartikan komuniakasi yang disiarkan melalui satelilt diklaim menjangkau seluruh khalayak,
faktanya, khalayak sekarang lebih selektif memilih media apa yang mereka gunakan, dan tayangan
apa yang hendak mereka saksikan.
Setelah mengalami redefinisi, kali ini, kita akan melihat bagaimana media massa mempengaruhi
kehidupan kita sehari-hari. Turow menjelaskan adanya semacam kegunaan media massa,
diantaranya adalah sebagai hiburan, teman di kala senggang, pengawasan dan interpretasi. Hiburan,
adalah keinginan dasar manusia yang ingin didapatkan dalam bermedia massa. Misalnya menonton
sinetron, menyaksikan tim kesayangan berlaga, dan menyimak berita merupakan bahan
perbincangan yang tidak ada habisnya ketika bertemu dengan kawan atau kolega. Turow
menjabarkan tindak-tanduk masyarakat Amerika pada pertengahan 1990-an. Mereka sering
membicarakan acara TV maupun siaran radio kemarin sebagai bahan perbincangan ketika bertemu
di stasiun maupun di kantor. Bahkan, bahan perbincangan ini pun dapat menjadi topik ketika
berbicara dengan orang asing. Disinilah mengapa media kemudian dijadikan sarana pemuas
kebutuhan manusia akan hiburan.
2
Figur 1
(Joseph Turow, 2009:7)
Semenjak munculnya
berbagai kanal media,
khalayak menjadi
terfragmentasi karena
memiliki pilihan masing-
masing pada kanal media
yang akan digunakan.
Media dan Gaya Hidup/ Shefti L. / Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
Selain itu, media juga dapat dipergunakan sebagai teman di kala senggang. Seringkali kita
mendengarkan musik ketika menunggu bus yang akan datang, atau ketika terjebak macet,
pengemudi lebih suka menyetel radio atau memutar CD kesukaan mereka. Media massa memang
dirasa ampuh untuk killing time (membuat kita tidak merasakan lamanya menunggu atau kesepian).
Oleh karena itu, mengapa banyak penduduk senior yang menghabiskan waktu mereka dengan
menonton TV. Turow kemudian menjelaskan adanya semacam interaksi parasosial dalam
penggunaan media. Interaksi parasosial mendeskripsikan koneksi psikologis yang ditentukan oleh
pengguna media, misalnya fans memelajari tindak-tanduk selebriti idola mereka lewat TV dan
merasa sangat dekat dengan idola tersebut shingga menimbulkan suatu ikatan kuat. Disini, Turow
mencontohkan fans yang fanatik akibat terlalu banyak mengkonsumsi media, mereka bahkan dapat
mencedarai idola mereka, misalnya Brad Pitt yang rumahnya pernah dibobol seorang wanita berusia
19 tahun. Dia kemudian mengenakan kaos Brad Pitt dan tidur di kasurnya.
Fungsi lain media massa adalah sebagai surveillance atau jendela pengawas. Khalayak
menggunakan media antara lain untuk mengetahui perkembangan di sekitar mereka, baik sosial,
ekonomi, politik maupun kebudayaan. Meski sering tidak disadari, kita mengakses media massa
untuk tahu bagaimana cuaca hari ini, bagaimana kemacetan di ruas jalan tertentu, maupun
mengikuti perkembangan politik dan tren busana. Tidak hanya terbatas pada fungsi pengawasan,
media juga berfungsi menginterpretasi pesan. Khalayak menginginkan adanya penerjemah suatu
keadaan untuk mereka, misalnya, kita memerhatikan editorial koran yang mendukung kebijakan
pemerintah dan mempertimbangkan alasan-alasan logis yang dibuat oleh redaktur tersebut, atau kita
membaca kolom khusus mengenai cara berinvestasi dalam majalah bisnis yang tentunya ditulis
secara gamblang oleh pakarnya. Media massa memungkinkan kita memahami banyak hal tanpa
harus menjadi ahli di bidang tersebut.
Media massa, Kebudayaan dan Masyarakat
Media massa, selain digunakan untuk hal-hal tersebut diatas, juga memungkinkan adanya koneksi
antarpengguna di seluruh dunia. Teknologi, hal inilah yang memungkinkan industri media
melakukan produksi pesan secara masif. Debat calon presiden yang dilangsungkan di salah satu
stasiun TV di Jakarta dapat dinikmati setiap orang di seluruh Indonesia selama TV mereka terpapar
transmisi relay dari stasiun tersebut. Sehingga, pengetahuan mereka akan calon presiden dapat
3
Media dan Gaya Hidup/ Shefti L. / Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
seragam (jika hanya terpapar informasi dari stasiun TV tadi). Bayangkan hal itu, ada banyak
pengguna media yang tersebar di seluruh nusantara tapi pengetahuan mereka akan suatu topik dapat
serupa. Padahal mereka terpisah satu sama lain, tidak memiliki hubungan/ kedekatan tertentu,
bahkan tidak saling kenal, tapi mereka kemungkinan membaca artikel majalah yang sama,
mendengarkan musik di stasiun radio yang sama, dan menonton acara TV yang sama pula.
Disinilah canggihnya media massa, dapat menghubungkan khalayaknya.
Kemudian, ketika menilik hubungan masyarakat dengan kebudayaan, kita harus melihat definisi
budaya terlebih dahulu. Dalam definisi terangkum yang disusun oleh Turow, budaya diartikan
sebagai suatu cara hidup yang dilalui oleh anggota masyarakat waktu demi waktu dan menjadikan
mereka tetap bersama. Biasanya, kita dapat merujuk pada suatu kumpulan individu, grup maupun
organisasi yang hidup di area yang sama dan merasa saling terkait satu sama lain melalui sharing
culture (budaya bersama).
Lalu, keterkaitan budaya dengan media massa adalah, media menciptakan ranah tersendiri dalam
penyebaran kebudayaan. Individu dapat melihat secara jelas ide-ide yang dimiliki masyarakat dan
hubungan kulturalnya dengan yang lain. Media massa memfokuskan pada masyarakat apa yang
penting untuk dipikirkan maupun dibicarakan secara kultural. Dengan kata lain, media massa
menciptakan pengalaman hidup masyarakat secara umum, beberapa hal tentang budaya bersama
dan subkultur yang diterima. Media massa merepresentasikan ide-ide budaya dalam tiga cara: (1)
mengarahkan perhatian masyarakat tentang kode-kode yang diterima di masyarakat dan bagaimana
mereka membicarakannya, (2) memberitahukan apa dan siapa yang patut dipertimbangkan di dunia
mereka dan mengapa, (3) memberitahukan masyarakat apa yang dipikirkan orang lain tentang
mereka dan apa yang ingin dipikirkan orang lain (ibid.:26).
Selanjutnya, mari kita bahas satu persatu bagaimana media massa merepresentasikan ide-ide
tentang budaya tadi. Pembahasan yang pertama adalah media massa mengarahkan perhatian
masyarakat tentang kode-kode yang diterima di masyarakat dan bagaimana mereka
membicarakannya. Budaya memberikan individu cara-cara untuk memberikan pendekatan terhadap
seluruh spektrum kehidupan, dari bangun tidur hingga tidur lagi. Hal ini memberikan gambaran
tentang seluruh subjek-subjek yang dapat diterima. Lalu, ketika kita membicarakan tentang media
melaui cara berfikir seperti ini, maka, memang inilah yang media lakukan. Koran-koran
4
Media dan Gaya Hidup/ Shefti L. / Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
memberitahukan bagaimana kinerja pemerintah dan apakah ada pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan, acara gosip TV menyediakan mengupas kehidupan selebriti tertentu, artikel-artikel di
majalah menjelaskan bagaimana berhubungan dengan lawan jenis. Dalam waktu bersamaan, kita
tentu sadar bahwa hal-hal itulah yang disharing dan dimungkinkan untuk diterima secara luas
dalam masyarakat (ibid.).
Pembahasan yang kedua yaitu, memberitahukan apa dan siapa yang patut dipertimbangkan di dunia
mereka dan mengapa. Memang agak membingungkan, tapi sebenarnya fokus poin ini adalah, media
merepresentasikan public figure, dari artis hingga politisi, dan memberikan alasan mengapa mereka
patut diperhatikan. Penyiar berita dapat memberitakan public figure ini dalam berbagai aspek,
termasuk aspek pribadi mereka. Representasi fiksi seperti buku cerita dan film dapat memberikan
gambaran seperti apa seorang pemimpin seharusnya bertindak. Selain itu, media juga memberikan
gambaran pada masyarakat tentang ekspektasi-ekspektasi terhadap seorang yang patut menjadi
panutan publik (ibid.).
Pembahasan yang terakhir namun tak kalah penting yaitu, memberitahukan masyarakat apa yang
dipikirkan orang lain tentang mereka dan apa yang ingin dipikirkan orang lain. Representasi oleh
media. Lagi-lagi representasi menjadi penting bagi khalayak untuk mengetahui apa yang dipikirkan
orang lain tentang mereka, bahkan apa yang mereka pikir tentang orang lain. Misalnya, peliputan
seseorang yang terkena tumor ganas menyebabkan mereka yang menonton menjadi lebih bersyukur
dari sebelumnya. Teori perbandingan sosial berlaku disini. Teori perbandingan sosial adalah teori
yang mendeskripsikan kecenderungan individu yang membandingkan diri mereka dengan orang
lain dan melihat refleksi atas diri mereka (George Comstock, 2005:217). Media, selain
menghubungkan orang, juga dapat memutuskan hubungan ketika orang tersebut sadar bahwa
kultur yang ada di lingkungan sekitar mereka berbeda dengan apa yang direpresentasikan di
media. Misalnya di Amerika, seseorang dapat berpakaian sebebas-bebasnya (bahkan setengah
telanjang) dan memiliki izin kepemilikan senjata api, ternyata, setelah disadari, di Indonesia hal-hal
tersebut hampir tidak mungkin karena budaya dan regulasi masing-masing negara berbeda.
Media dan Teori Posmodernisme
Teori yang digunakan untuk menghubungkan media massa dengan gaya hidup, utamanya adalah,
teori Posmodernisme. Teori ini mendeskripsikan kemunculan masyarakat yang menganggap media 5
Media dan Gaya Hidup/ Shefti L. / Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
massa dan kebudayaan pop sebagai institusi yang sangat kuat, dan mengontrol serta membentuk
berbagai tipe dari hubungan sosial. Tanda-tanda kebudayaan pop dan citra-citra media
mendominasi kesadaran realitas kita, cara kita mendefinisikan diri dan dunia di sekitar kita. Teori
Posmodernisme adalah suatu pendekatan untuk memahami masyarakat yang sesak-media (media
saturated society). Masyarakat menjadi menggolong-gologkan sesuatu berdasarkan apa yang
direpresentasikan oleh media. Bahkan, realitas yang terdistorsi bukan lagi menjadi pertanyaan,
semenjak hal itu juga berdampak pada realitas, diluar simulasi media, yang bagaimanapun juga bisa
terdistorsi. Inilah yang menjadi isu dalam ranah teori postmodern. (Dominic Strinati, 2005:212)
Strinati juga menjelaskan tentang kemunculan Posmodernisme. Pertama yakni konsumerisme dan
sesak-media. Di Abad ke 20, kapitalisme merebak, dan menggeser produksi menjadi konsumsi.
Sehingga, menjadikan kapitalis mengkondisikan produksi dan menambah alat produksi mereka:
mesin-mesin manufaktur, pabrik dan buruh. Hal ini semata-mata untuk meningkatkan produksi dan
tentu saja berimplikasi terhadap konsumsi, karena, profit menjadi tujuan mereka. Kesemuanya itu
diciptakan dengan dalih memenuhi kebutuhan konsumen. Nyatanya, kebutuhan semua itulah yang
kemudian direkonstruksi, sehingga muncul konsumerisme, dengan instrument berupa media
tentunya. Terlebih di era yang serba canggih, media seakan menjadi toko berjalan dan menawarkan
kesenangan-kesenangan yang instan sehingga meningkatkan gejala konsumerisme (ibid.:223).
Kedua, munculnya kalangan menengah keatas. Posmodern muncul karena adanya okupasi untuk
mempromosikan kebudayaan pop. Mereka mengklaim, selain mencipta, mereka juga memanipulasi
atau memainkan symbol-simbol kultural dan citra media untuk mendorong dan memperpanjang
konsumerisme. Okupasi-okupasi yang menopang hal ini kemudian muncul: sales, biro iklan,
produksi TV dan Radio, arsitektur, dan masih banyak lagi. Guru, dosen, terapis, psikolog juga
muncul, tidak ubahnya berjualan, mereka menyediakan pemenuhan rohani yang sifatnya tak terlihat
(integible) demi pertumbuhan jiwa dan kesenangan pribadi (ibid.:225).
Ketiga, erosi identitas. identitas yang awalnya berasal dari masyarakat kolektif yang aman
kemudian menjadi tergusur pada meningkatnya fragmentasi identitas personal. Kita telah melihat
kelangkaan cara berpikir yang tradisional dan bernilai tinggi yang dapat didefinisikan dari
masyarakat dan dimana ia tinggal, dan merasa aman dalam identitas personal dan kolektif mereka.
Identitas tradisional seperti ini —Kelas sosial, keluarga besar, komunitas lokal, lingkungan sekitar,
6
Media dan Gaya Hidup/ Shefti L. / Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
agama, paguyuban pedagang, dan tanah air— dimungkinkan menurun karena pengaruh kapitalisme
modern seperti globalisasi. Meningkatnya investasi, produksi, marketing dan distribusi yang
mengambil basis internasional dan melewati batas tanah air serta komunitas lokal tersebut. Inilah
yang kemudian dimaksud sebagai erosi gradual dari identitas tradisional (ibid.:225).
Namun, bukan berarti Posmodernisme tidak memiliki batas. Strinati menjabarkan, batas-batas
posmodernisme adalah, teori tersebut gagal menyadari pentingnya komoditas dan melalaikan fakta
bahwa kemampuan membeli itu terbatas pada kesenjangan ekonomi dan kebudayaan. Terlebih lagi,
gagasan ‘realitas’ hanya bisa direpresentasikan oleh media adalah suatu pertanyaan besar karena
tidak semua realitas tentu dapat ditampilkan oleh media dan itu hanya terbatas pada para
penggunanya saja (ibid.:227).
Media dan Teori Budaya Massa
Setelah menelaah teori Posmodernisme, kali ini, teori lain yang dapat dipergunakan untuk
menganalisis dampak media massa dalam keseharian manusia adalah teori budaya massa. Hadirnya
media massa dan meningkatnya komersialisasi budaya serta waktu senggang memberikan
peningkatan pula terhadap isu, keinginan dan perdebatan yang masih ada hingga sekarang. Hal ini
seiring dengan berkembangnya budaya massa yang mengacu pada simplifikasi budaya dan
meningkatnya euforia atasnya, serta mendorong adanya konsumerisme global di era sekarang.
Dengan munculnya media massa, kebudayaan seakan tidak akan pernah habis direproduksi,
menjadikan masalah bagi ide tradisional tentang peran kebudayaan dalam masyarakat itu sendiri
(Benjamin, dalam Strinati, 2005:3). Produk kebudayaan semacam film memang tidak bisa
disamakan masifnya dengan produksi mobil, namun, kenyataannya, adanya teknik-teknik
industrialisasi dalam pembuatannya maka film dapat dikatakan sebagai produk komersial. Dengan
kata lain, kita tak bisa memandang film sebagai budaya yang otentik karena tak lagi berasal dari
rakyat dan tidak dapat dianggap merefleksikan kebutuhan dan keinginan mereka, tapi
merekonstruksi kebutuhan dan keinginan palsu karena pengaruh kapitalisme.
Media massa kemudian mengusung apa yang disebut budaya massa. Masyarakat massa adalah
masyarakat yang sudah hilang sisi-sisi primordialnya dalam berhubungan satu-sama lain. Hubungan
mereka lebih kontraktual dan jauh, juga cenderung sporadis, tidak lagi komunal serta terintegrasi
7
Media dan Gaya Hidup/ Shefti L. / Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
seperti masyarakat tradisional (Dominic Strinati, 2005:5). Kecenderungan ini yang kemudian
mempermulus pendifusian budaya massa yang dibentuk oleh para produsen untuk menggalang
keuntungan sebesar-besarnya. Budaya massa sangat kontradiktif dengan budaya yang dibentuk oleh
rakyat atas kreativitas mereka. Budaya massa merupakan produk industri yang diproduksi secara
masif dan mengesampingkan efek kreativitas serta intelektualitas dalam produksinya, tidak seperti
sebuah karya yang memerlukan pendalaman dalam penciptaannya. Budaya massa dibuat
berdasarkan unsur ekonomi-politik yang kemudian menghilangkan unsur estetiknya. Kita pasti
paham ketika setiap barang dibuat secara personal dan unik, maka nilai estetik dan autentisitasnya
akan tinggi, karena karya seni merupakan ekspresi, bukan komoditi.
Di era 1920-an, budaya massa sedang naik daun, pertarungan antara sinema-sinema keluaran
Hollywood versus pertunjukan drama di Broadway menjadi sengit. MacDonald (dikutip dari
Strinati) berpendapat bahwa sinema Hollywood memang merupakan hiburan menakjubkan, namun
hampa seni, inilah mengapa budaya massa lebih mudah dimengerti dan dinikmati. Keberadaan
budaya massa kemudian menggusur high culture (budaya kelas tinggi). MacDonald pun kemudian
berpendapat bahwa budaya tinggi memiliki masa depan suram dan sangat sukar bersaing dengan
budaya massa, inilah yang kemudian disebut MacDonald sebagai pesimisme budaya. Dari
perspektif tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa, budaya massa itu terstandarisasi, terformulasi,
repetitif, dan merupakan budaya yang dangkal, yang mengusung selebrasi remeh- temeh,
sentimental dan kesenangan palsu dengan biaya berupa keseriusan, intelektual, penghargaan atas
waktu dan nilai-nilai otentik (ibid.:12)
Teori-teori mengenai budaya massa diatas tidak terlepas dengan adanya Amerikanisasi. Amerika
dianggap mewujudkan praktek-praktek budaya massa. Budaya massa sangat terkait dengan
produksi dan konsumsi massa akan kebudayaan, oleh karena itulah Amerika dianggap rumah bagi
budaya massa tersebut (ibid.:20). Dalam Strinati dijelaskan, ancaman Amerikanisasi ini dirasakan
oleh Inggris pada sekitar abad 19 yang mana budaya massa telah terealiasi. Dalam tulisan Edmund
Goose pada 1889 yang dikutip oleh Leavis (dalam Strinati) dijelaskan:
One danger which I have long foreseen from the spread of the democratic sentiment is that of the tradition of literary taste, the canons of literature, being reversed with success by a popular vote. Up to the present time, in all parts of the world, the masses of uneducated or semi-educated persons, who form the vast majority of readers, though they cannot and do not appreciate the classics of their race, have been content to acknowledge their supremacy. Of late there have seemed to me to be certain signs,
8
Media dan Gaya Hidup/ Shefti L. / Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
especially in America, of a revolt of the mob against our literary masters.… If literature is to be judged by a plebiscite, and if the plebs recognize its power, it will certainly by degrees cease to support reputations which give it no pleasure and which it cannot comprehend. The revolution against taste, once begun, will land us in irreparable chaos.
(Leavis 1932:190, ibid.)
Hal ini menunjukkan bahwa, ketakutan Inggris akan Amerikanisasi sangat terlihat. Bahkan, di akhir
tulisan Goose disebutkan bahwa revolusi melawan selera akan menimbulkan kekacauan yang tidak
dapat diperbaiki lagi. Amerika memang merupakan salah satu pemberontak selera kesusasteraan,
hal ini dikaitkan dengan adanya sentimen demokrasi. Kritikus Inggris Matthew Arnold (dikutip dari
Strinati) mengkhawatirkan adanya Amerikanisasi yang menurutnya seharusnya tidak hanya
memberikan kekuatan pada masyarakat saja, namun juga harus disertai pedoman politik dan
diarahkan oleh negara serta disusun oleh kebudayaan.
Meski sepertinya budaya massa terlihat disukai masyarakat dan sangat populer, namun, pada
akhirnya Strinati menyimpulkan bahwa terdapat tiga poin utama tentang budaya massa. Pertama,
budaya massa memakan waktu dan energi yang seharusnya dapat digunakan untuk sesuatu yang
lebih bermanfaat seperti seni, politik, dan budaya rakyat. Kedua, budaya massa memiliki efek yang
berbahaya, membuat mereka pasif, melemahkan dan membuat rentan masyarakat dan juga sarat
manipulasi dan eksploitasi. Ketiga, budaya massa yang buruk membuang budaya rakyat dan juga
seni itu sendiri.
Media, dalam hal ini berpengaruh besar dalam mengusung budaya massa. Industrialisasi media
memungkinkan penyebaran budaya massa menjadi lebih massif, selain karena kuatnya modal, juga
invansi teknologi yang semakin canggih. Ketimbang mengusung pentas musik keroncong, media
semacam televisi akan lebih untung jika menayangkan konser grup band yang sedang naik daun
dengan perhitungan rating sehingga pengiklan tertarik. Kaset, CD, DVD dan Internet pun
menjadikan distribusi budaya massa kian gampang diakses, sehingga penyebarannya pun makin
luas.
Kesimpulan
Dari penjabaran diatas, tentu saja kita sudah dapat menarik kesimpulan bahwa, media massa sudah
seharusnya mengalami redefinisi, karena, konsep massif yang awalnya dielu-elukan kini menjadi
tidak relevan karena adanya fragmentasi kanal. Sehingga, khalayak pun terfragmentasi dan
9
Media dan Gaya Hidup/ Shefti L. / Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
penyebaran massif tidak terjadi, karena sebenarnya hanya menjangkau kelompok tertentu saja (lih.
Figur 1). Komunikasi massa sudah harus diperbarui kosakatanya menjadi “Komunikasi Bermedia”.
Sehingga, istilah media massa dan media baru tidak perlu lagi ada, internet, sudah bisa termasuk
dalam kategori “Komunikasi Bermedia”, mengingat, internet juga sudah bukan hal baru lagi,
sehingga, terminologi tersebut tidak lagi usang (istilah ‘baru’ atau ‘lama’ akan sangat kontekstual
dan menjadi tidak releavan jika digunakan di zaman yang berbeda).
Kemudian, ketika melihat media massa dan dampaknya bagi kehidupan manusia, kita bisa merujuk
pada landasan teori seperti posmodernisme dan budaya massa. Posmoderisme merupakan teori yang
mengkultuskan media sebagai instrumen terkuat. Dampak kehadiran media massa, sejalan dengan
teori posmodernisme, adalah menjadi suatu instrumen paling penting dalam kehidupan manusia,
mulai dari memberntuk kesadaran realitas, penggolongan baik-buruk, juga membentuk cara
berfikir. Ketika teori ini muncul dan memiliki perspektif bahwa media adalah segalanya dalam
keseharian manusia, Strinati memberikan kontraflow berupa pemahaman-pemahaman tentang
kelemahan teori tersebut. Menurut Strinati, teori Posmodernisme gagal menyadari pentingnya
komoditas dan melalaikan fakta bahwa kemampuan membeli itu terbatas pada kesenjangan
ekonomi dan kebudayaan. Terlebih lagi, gagasan ‘realitas’ hanya bisa direpresentasikan oleh media
adalah suatu pertanyaan besar karena tidak semua realitas tentu dapat ditampilkan oleh media dan
itu hanya terbatas pada para penggunanya saja.
Teori lain yang digunakan untuk menganalisis dampak media adalah teori budaya massa. Budaya
massa adalah budaya yang diciptakan oleh para produsen supaya dagangan mereka laris.
Pengkonsumsian budaya ini direkonstruksi sehingga, siapapun seakan membutuhkannya. Media,
merupakan agen penyebar budaya massa. Tidak salah jika, melalui media, banyak hal-hal yang
seharusnya tidak ada di kebudayaan lokal, menjadi eksis, misalnya memakai bikini bahkan bergaya
ala rapper hip-hop. Pembelajaran budaya massa ini dilakukan melalui media massa. Adanya
kemunculan yang signifikan dari budaya massa akan memengaruhi eksistensi budaya rakyat itu
sendiri. Oleh karena itu mengapa banyak yang menakutkan kebudayaan asli akan punah, karena
tergusur dengan hadirnya budaya massa. Budaya massa selain ditakutkan akan memusnahkan
budaya sesungguhnya, sebenarnya, penyebarannya melaui media inilah yang sangat dikhawatirkan.
Dengan adanya konsep globalisasi, maka kanal media semakin terbuka dan dikonsumsi secara
mendunia. Proses pendistribusian budaya massa kemudian akan semakin melebar, sehingga
10
Media dan Gaya Hidup/ Shefti L. / Kajian Media Universitas Paramadina, Jakarta
produksi dan konsumsi budaya massa menjadi signifikan. Penggunaan media yang awalnya hanya
menjadi instrumen penyebaran produk-produk masif tadi kini menjadi produk tersendiri.
Blackberry, Motorolla Android, TiVo dan PSP, telah melalui tahun keemasannya. Jika bukan
bagian dari budaya massa, lantas, mengapa perkembangan Blackberry di Indonesia bisa melonjak
hingga 494% (diunduh dari www.detikinet.com), tentu saja karena pengaruh imperialisme global
dalam pasar dunia, dengan dalih globalisasi. Namun, hal ini semakin tidak dapat dihentikan apalagi
dalam negara dunia ketiga seperti Indonesia yang masyarakatnya bahkan belum terinformasi-baik,
penyantapan budaya-budaya massa akan terus terjadi kecuali ada penyadaran kolektif. [ ]
Referensi:
- Colin Sparks, Development, Globalization and the Mass Media, 2007
- Denis McQuail, Mass Communication Theory, 2005
- Dominic Strinati, An Introduction to Theories of Popular Culture, 2005
- Joseph Turow, Media Today, 2009
11