Pemilihan kata harus disesuaikan dengan makna yang dikandung oleh sebuah makna sebuah kata .
Makalah Makna Kata
-
Upload
aqopz-de-leon -
Category
Documents
-
view
1.138 -
download
185
description
Transcript of Makalah Makna Kata
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pelajaran Bahasa Indonesia sangat penting dikuasai dalam seluruh
tingkatan pendidikan termasuk di perguruan tinggi. Tujuan dari adanya pelajaran
ini adalah agar para rakyat khususnya para pelajar dapat terampil berbahasa
Indonesia yang meliputi terampil menyimak, berbahasa, membaca dan menulis.
Agar dapat mencapapi tujuan itu, kosa kata yang cukup sangatlah dibutuhkan.
Selain mempunyai banyak kosakata, makna kata – kata tersebut juga harus
dikuasai untuk lebih memperkaya kosa kata yang dimiliki. Oleh karena itu,
makalah ini dibuat untuk menambah ilmu pengetahuan dan wawasan para
pembaca mengenai makna kata.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian makna kata?
2. Apa saja relasi makna kata?
3. Apa saja perubahan makna kata?
4. Apa saja jenis makna kata?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian makna kata.
2. Mengetahui relasi makna kata.
3. Mengetahui perubahan – perubahan makna kata.
4. Mengetahui jenis – jenis makna kata.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Makna Kata
Makna adalah denotasi. Kadang-kadang “Makna” itu selaras dengan
“Arti” dan kata tidak selaras. Apabila makna sesuatu itu sama dengan arti sesuatu
itu maka makna tersebut disebut Makna Laras (Explicit Meaning). Apabila
maknanya tidak selaras dengan “Arti”, maka sesuatu tersebut memiliki Makna
Kandungan ( Implicit Meaning) atau Makna Lazim ( Necessary Meaning).
Sebagai contoh kata “Sapi”, ia memiliki arti dan makna “Sapi” sudah
memiliki arti sebelum kata tersebut dimasukan kedalam kalimat, tapi ia belum
memiliki makna, karena hanya akan terbentuk apabila kata itu sudah dimasukan
kedalam kaliamat.
Contoh Makna Laras:
Gara memukul sapi.
Kalimat ini memiliki makna yang sama dengan artinya, yaitu sapi. Pengertian
yang menyeluruh tentang sapi tersebut itulah yang disebut dengan Makna Laras
(Expilicit Meaning). Ketika Gara membeli sapi, tentu yang dibeli adalah
keseluruhan tubuh sapi. Oleh karena itu, makna “Sapi” dalam kaliamat tersebut
adalah sama arti “Sapi”, sehingga disebut memiliki Makna Laras.
Contoh Makna Kandungan:
Gara memukul sapi
Yang dipukul oleh gara adalah sebagian tubuh sapi itu, oleh karena itu “Sapi”
dalam kalimat tersebut tidak selaras dengan artinya, melainkan hanya
kandungan arti tersebut. Oleh karena itu “Sapi” dalam kalimat tersebut
memiliki Makna Kandungan.
Contoh Makna Kata Lazim:
Gara Menarik sapi.
Kata “Sapi” dalam
kalimat tersebut adalah memiliki Makna Lazim, karera ketika Gara menarik
2
sapi, sebenarnya yang dipegang adalah talinya. Dia menarik tali itu secara tidak
langsung menarik tubuh sapi. Kendatipun yang gara pegang dan dia tarik secara
langsung adalah tali kedali sapi dan bukan sapinya secara langsung, tetapi sudah
lazim dikatakan bahwa hal itu disebut menarik sapi. Itulah mengapa disebut
Makna Lazim.
2.2 Relasi Makna Kata
Di dalam Bahasa Indonesia, banyak ditemukan suatu kata yang memiliki
hubungan atau relasi semantik dengan kata lain, seperti kesamaan makna, lawan
kata, kegandaan kata, ketercakupan makna, kelainan makna, dan sebagainya. Di
bawah ini akan dijelaskan macam-macam relasi makna tersebut.
1. Sinonim
Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno ,
yaitu onoma yang berarti “Nama”, dansyn yang berarti “Dengan”. Maka secara
harfiah kata sinonim berarti “Nama lain untuk benda atau hal yang sama” (Chaer,
1990:85). Sinonim atau bisa disebut kegandan makna dapat diartikan sebagai dua
kata atau lebih yang memiliki makna yang sama atau hampir sama. Dikatakan
hampir sama karena meskipun dua kata tersebut sama, kata tersebut tidak dapat
atau kurag tepat bila menggantikan kata yang lain dalam sebuah kalimat.
Contohnya seperti di bawah ini :
Tikus itu mati diterkam kucing.
Tikus itu meninggal diterkam kucing.
Dalam dua kalimat di atas, kita dapat menemukan dua kata yang
bersinonim, yaitu mati dan meninggal. Namun kata “Meninggal” pada kalimat
kedua tidak dapat menggantikan kata “Mati” pada kalimat pertama. Hal ini karena
kata “Mati” dapat digunakan pada semua makhluk hidup seperti manusia, hewan,
dan tumbuhan, sedangkan kata “Meninggal” hanya digunakan pada manusia.
2. Antonim
Kata antonimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti
“Nama”, dan anti yang berarti “Melawan”. Maka secara harfiah antonim berarti
‘nama lain untuk benda lain pula’(Chaer, 1990:85). Kata antonim atau sering
3
disebut lawan kata dapat diartikan sebagai dua kata yang memiliki makna yang
berlawanan atau bertentangan. Misalnya, hidup-mati, diam-gerak dan sebagainya.
3. Homonim, Homofon, Homograf
Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onoma yang berarti
“Nama” dan homo yang artinya “Sama”. Secara harfiah homonimi dapat diartikan
sebagai “Nama sama untuk benda atau hal lain” (Chaer, 1990:85). Homonim
adalah dua kata atau lebih yang memiliki ejaan dan lafal yang sama namun
memiliki makna yang berbeda. Misalnya, kata “Bisa” dapat diartikan dua makna,
yakni “Bisa” yang berarti “Dapat” dan “Bisa” yang berarti “Racun”.
Homofon (homo berarti sama, fon berarti bunyi ) adalah dua kata atau lebih
yang memiliki lafal yang sama walaupun ejaan dan maknanya berbeda. Misalnya,
kata “Bang” dan “Bank”. Homograf (homo berarti sama, grafiberarti tulisan)
adalah dua kata atau lebih yang memiliki ejaan yang sama namun memiliki lafal
dan makna yang berbeda. Misalnya, “Tahu” (baca “Tahu”) bermakna salah satu
produk makanan yang berasal dari kedelai, sedangkan kata “Tahu” (baca “Tau”)
bermakna mengetahui.
4. Hiponim dan Hipernim
Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno , yaitu onoma berarti
“Nama” dan hypo berarti “Di bawah”. Jadi, secara harfiah berarti “Nama yang
termasuk di bawah nama lain” (Chaer, 1990:85). Hipomimi dan hipermimi
berhubungan satu sama lain, hipomimi merujuk pada kata yang lebih khusus yang
merupakan subordinat dari hipermimi. Misalnya, kata “Tongkol” dan “Ikan”, kata
“Tongkol” merupakan hiponim dari kata “Ikan” sedangkan kata “Ikan”
merupakan hipernim dari kata “Tongkol”.
5. Polisemi
Polisemi adalah satuan bahasa (bisa kata atau frase) yang memiliki
makna lebih dari satu. Misalnya pada kalimat di bawah ini :
Kepalaku sakit sejak kemarin.
Kepala sekolah menemui para murid di kelas
Kata “Kepala” yang pertama bermakna bagian tubuh yang berada di atas leher
sedangkan kata “Kepala” yang kedua bermakna pemimpin.
4
2.3 Perubahan Makna Kata
Dalam perkembangan penggunaannya, kata sering mengalami perubahan
makna. Perubahan tersebut terjadi karena pergeseran konotasi, rentang masa
penggunaan, jarak, dan lain-lain. Namun yang jelas, perubahan-perubahan
tersebut ada bermacam-macam yaitu: menyempit, meluas, amelioratif, peyoratif,
dan asosiasi. Untuk lebih jelasnya, perhatikan penjelasan dibawah ini :
Macam-macam Perubahan Makna
a. Menyempit/spesialisasi
Kata yang tergolog kedalam perubahan makna ini adalah kata yang pada awal
penggunaannya bisa dipakai untuk berbagai hal umum, tetapi penggunaannya saat
ini hanya terbatas untuk satu keadaan saja.
Contoh :
Sastra dulu dipakai untuk pengertian tulisan dalma arti luas atau umum,
sedangkan sekarang hanya dimaknakan dengan tulisan yang berbau seni. Begitu
pula kata sarjana (dulu orang yang pandai, berilmu tinggi, sekarang bermakna
“Lulusan perguruan tinggi”).
b. Meluas/generalisasi
Penggunaan kata ini berkebalikan dengan pengertian menyempit.
Contoh :
Petani dulu dipai untuk seseorang yang bekerja dan menggantungkan hidupnya
dari mengerjakan sawah, tetapi sekarang kata tersebut dipakai untuk keadaan yang
lebih luas. Penggunaan pengertian petani ikan, petani tambak, petani lele
merupakan bukti bahwa kata petani meluas penggunaannya.
c. Amelioratif
Pada awalnya, kata ini memiliki makna kurang baik, kurang positif, tidak
menguntungkan, akan tetapi, pada akhirnya mengandung pengertian makna yang
baik, positif, dan menguntungkan.
Contoh :
Wanita, pramunikmat, dan warakawuri merupakan kata-kata yang dipakai untuk
5
lebih menghaluskan, menyopankan pengertian yang terkandung dalam kata-kata
tersebut.
d. Peyoratif
Makna kata sekarang mengalami penurunan nilai rasa kata daripada makna kata
pada awal pemakaiannya.
Contoh :
Kawin, gerombolan, oknum, dan perempuan terasa memiliki konotasi menurun
atau negatif.
e. Asosiasi
Yang tegolong kedalam perubahan makna ini adalah kata-kata dengan makna-
makna yang muncul karena persamaan sifat. Sering kita mendengar kalimat “hati-
hati dengan tukang catut itu.”
Tukang catut dalam kalimat diatas tergolong kata-kata dengan makna asosiatif.
Begitu pula dengan kata kacamata dalam : menurut kacamata saya, perbuatan
anda tidak benar
f. Sinestesia
Perubahan makna terjadi karena pertukaran tanggapan antara dua indera, misalnya
dari indera pengecap ke indera penglihatan.
Contoh:
Gadis itu berwajah manis. Kata manis mengandung makna enak, biasanya
dirasakan oleh alat pengecap, berubah menjadi bagus, dirasakan oleh indera
penglihatan. Demikian juga kata panas, kasar, sejuk, dan sebagainya.
2.4 Jenis Makna Kata
Makna di dalam sastra Bahasa Indonesia ditentukan dalam beberapa
kriteria atau jenis dan juga sudut pandang. Jenis makna dalam Bahasa Indonesia
sangat banyak diantaranya: Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan
antara makna leksikal dan makna gramatikal, berdasarkan ada atau tidaknya
referen pada sebuah kata atau leksem dapat dibedakan adanya makna referensial
dan makna nonreferensial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah
kata/leksem dapat dibedakan adanya makna denotatif dan makna konotatif,
6
berdasarkan ketepatan maknanya dikenal makna kata dan makna istilah atau
makna umum dan makna khusus. Lalu berdasarkan kriteri lain atau sudut pandang
lain dapat disebutkan adanya makna-makna asosiatif, kolokatif, reflektif,
idiomatik dan sebagainya.
1. Makna Lesikal dan Makna Gramatikal
Leksikal merupakan bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina
leksikon. Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu satuan bentuk bahasa yang
bermakna. Dengan kata lain makna lesikal adalah makna unsur-unsur bahasa
(leksem) sebagai lambang benda, peristiwa, obyek, dan lain-lain. Seperti kata
tikus makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat
menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna ini tampak jelas dalam
kalimat Tikus itu mati diterkam kucing, atau Panen kali ini gagal akibat serangan
hama tikus.
Biasanya makna leksikal dipertentangkan dengan makna gramatikal. Jika
makna leksikal berkenaan dengan makna leksem, maka makna gramatikal ini
adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses
afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi. Proses afiksasi awalan ter-
pada kata angkat dalam kalimat Batu seberat itu terangkat juga oleh adik,
melahirkan makna “Dapat”, dan dalam kalimat Ketika balok itu ditarik, papan itu
terangkat ke atas melahirkan makna gramatikal “Tidak sengaja”.
2. Makna Referensial dan Makna Nonreferensial
Perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial berdasarkan ada
tidak adanya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen,
yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut
kata bermakna referensial. Kalau kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka
kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Kata meja termasuk kata yang
bermakna referensial karena mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah
tangga yang disebut “Meja”. Sebaliknya kata karena tidak mempunyai referen,
jadi kata karena termasuk kata yang bermakna nonreferensial.
7
3. Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif atau konseptual adalah makna kata yang didasarkan atas
penunjukkan yang langsung (lugas) pada suatu hal atau obyek di luar bahasa.
Makna langsung atau makna lugas bersifat obyektif, karena langsung menunjuk
obyeknya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual
objektif. Oleh karena itu, makna denotasi sering disebut sebagai ’makna
sebenarnya.
Seperti dalam kata perempuan dan wanita kedua kata itu mempunyai dua makna
yang sama, yaitu “Manusia dewasa bukan laki-laki”.
Makna konotatif merupakan lawan dari makna denotatif. Jika makna
denotatif mencakup arti kata yang sebenarnya, maka makna konotatif sebaliknya,
yang juga disebut sebagai makna kiasan. Lebih lanjut, makna konotasi dapat
dijabarkan sebagai makna yang diberikan pada kata atau kelompok kata sebagai
perbandingan agar apa yang dimaksudkan menjadi jelas dan menarik. Seperti
dalam kalimat “Rumah itu dilalap si jago merah”. Kata “Si jago merah” dalam
kalimat tersebut bukanlah arti yang sebenarnya, melainkan kata kiasan yang
bermakna “Kebakaran”. Makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu.
Misalnya kata ceramah dulu kata ini berkonotasi negatif karena berarti
“Cerewet”, tetapi sekarang konotasinya positif.
4. Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap kata atau leksem memiliki makna, namun dalam penggunaannya
makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks
kalimatnya atau konteks situasinya. Berbeda dengan kata,istilah mempunyai
makna yang jelas, yang pasti, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks
kalimat. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks. Hanya
perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau
kegiatan tertentu. Perbedaan antara makna kata dan istilah dapat dilihat dari
contoh berikut
(1) Tangannya luka kena pecahan kaca.
(2) Lengannya luka kena pecahan kaca.
8
Kata tangan dan lengan pada kedua kalimat di atas adalah bersinonim atau
bermakna sama. Namun dalam bidang kedokteran kedua kata itu memiliki makna
yang berbeda. Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan;
sedangkan lengan adalah bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu.
5. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Yang dimaksud dengan makna konseptual adalah makna yang dimiliki
oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun.
Kata kuda memiliki makna konseptual sejenis binatang berkaki empat yang biasa
dikendarai’. Jadi makna konseptual sesungguhnya sama saja dengan makna
leksikal, makna denotatif, dan makna referensial.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata
berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada di luar
bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.
6. Makna Idiomitikal dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ”Diramalkan” dari
makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Contoh
dari idiom adalah bentuk membanting tulang dengan makna “Bekerja
keras”, meja hijau dengan makna “Pengadilan”. Berbeda dengan idiom,
peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna
unsur-unsurnya karena adanya ”Asosiasi” antara makna asli dengan maknanya
sebagai peribahasa. Umpamanya peribahasa Seperti anjing dengan kucing yang
bermakna “Dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah akur”. Makna ini
memiliki asosiasi, bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersama
memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.
7. Makna Kias
Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan istilah arti kiasan digunakan
sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik
kata, frase, atau kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal,
arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Jadi, bentuk-
bentuk seperti puteri malam dalam arti “Bulan”, raja siang dalam arti “Matahari”.
9
BAB III
KESIMPULAN
Di dalam Bahasa Indonesia, makna kata sangat penting dipelajari.
Pengetahuan tentang makna kata mempengaruhi pemahaman terhadap
suatu kalimat. Dalam makna kata, dipelajari pengertian makna kata, relasi makna
kata, jenis makna kata dan perubahan makna kata. Ada beberapa kata yang
memiliki makna yang berhubungan atau memiliki relasi, seperti sinonim, antonim,
dan lain sebagainya. Ada pula satu kata yang makna dulunya berbeda dari makna
sekarang, seperti spesialisasi, ameliorasi dan lain sebagainya.
10
DAFTAR PUSTAKA
-----------------------. 1998. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta :
Rineka Cipta.
Chaer, Drs. Abdul. 1990. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka
Cipta.
(Eneng Herniti, M. Hum dkk). 2005. Bahasa Indonesia. Yogyakarta : Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Keraf, Dr. Gorys. 1991. Tata Bahasa Indonesia untuk Sekolah Lanjutan Atas.
Flores : Nusa Indah.
Parera, J. D. 2004. Teori Semantik Edisi Kedua. Jakarta : Erlangga.
Tarigan, Prof. Dr. Henry Guntur. 2009. Pengajaran Semantik. Bandung :
Angkasa.
Tim Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah
Malang. 2010. Bahasa Indonesia untuk Karangan Ilmiah. Malang : UMM
Press.
Widyamartaya. 1995. Seni Menggayakan Kalimat. Yogyakarta : Kanisius
11