Makalah Limbah udang

29
MAKALAH BAHAN PAKAN ALTERNATIF Limbah UdangDisusun Oleh : Kelompok : 17 Kelas : D \ Rezha Muhammad F 200110130139 Etya Nurrimas G 200110130333 FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

description

makalah bahan pakan alternatif

Transcript of Makalah Limbah udang

MAKALAH

BAHAN PAKAN ALTERNATIF

“Limbah Udang”

Disusun Oleh :

Kelompok : 17

Kelas : D

\

Rezha Muhammad F 200110130139

Etya Nurrimas G 200110130333

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

SUMEDANG

2015

I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketersediaan pakan yang cukup, berkualitas, dan berkesinambungan

sangat menentukan keberhasilan dalam budi daya ternak. Namun, untuk

memenuhi kebutuhan ternak akan zat gizi tertentu dengan bahan baku pakan yang

berkualitas masih banyak didatangkan dari luar negeri. Oleh karena itu,

penggunaan bahan pakan lokal alternatif perlu diupayakan secara optimal, dengan

catatan bahan baku pakan tersebut ditingkatkan kualitasnya dan terjamin

ketersediaannya sepanjang tahun. Tepung ikan dan bungkil kedelai merupakan

sumber protein utama yang saat ini sering digunakan dalam peternakan unggas.

Sayangnya, sebagian besar bahan pakan tersebut masih diimpor. Hal ini

disebabkan karena keterbatasan produksi dalam negeri dan persaingan dalam

penggunaannya. Untuk itu perlu dicari bahan sumber protein baru yang memiliki

kualitas dan kuantitas seperti tepung ikan atau bungkil kedelai. Salah satu pilihan

sumber protein alternatif yang memiliki kualitas dan kuantitas seperti tepung ikan

atau bungkil kedelai adalah tepung limbah udang. Oleh karena itu dirasa perlu

dilakukan pembahasan yang lebih mendalam mengenai kemungkinan penggunaan

tepung limbah udang ini untuk menggantikan tepung ikan dalam ransum broiler.

Hal inilah yang melatar belakangi pembuatan makalah ini.

1.2 Identifikasi Masalah

1. Bagaimanakah potensi dari limbah udang.

2. Apakah keunggulan dari limbah udang.

3. Apakah kelemahan dari limbah udang.

4. Bagaimanakah proses penholahan limbah udang.

5. Bagaimana kualitas limbah udang pasca pengolahan.

6. Bagaimanakah pemanfaatan limbah udang dalam ransum.

7. Bagaimanakah performance ternak setelah diberi limbah udang.

1.3 Maksud dan Tujuan

1. Untuk mengetahui agaimanakah potensi dari limbah udang.

2. Untuk mengetahui apakah keunggulan dari limbah udang.

3. Untuk mengetahui apakah kelemahan dari limbah udang.

4. Untuk mengetahui bagaimanakah proses penholahan limbah udang.

5. Untuk mengetahui bagaimana kualitas limbah udang pasca pengolahan.

6. Untuk mengetahui bagaimanakah pemanfaatan limbah udang dalam

ransum.

7. Untuk mengetahui bagaimanakah performance ternak setelah diberi

limbah udang.

II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Udang

Udang merupakan anggota filum Arthropoda, sub filum Mandibulata dan

tergolong dalam kelas Crustacea. Seluruh tubuh terdiri dari ruas-ruas yang

terbungkus oleh kerangka luar atau eksoskeleton dari zat tanduk atau khitin dan

diperkuat oleh bahan kapur kalsium karbonat (Widodo, 2005). Limbah udang

yang berupa kulit, kepala dan ekor dengan mudah didapatkan mengandung

senyawa kimia yang berupa khitin dan kitosan. Senyawa ini dapat diolah karena

hal ini dimungkinkan karena khitin dan kitosan mempunyai sifat sebagai bahan

pengemulsi koagulasi, reaktifikasi kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat

polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai penukaran ion dan dapat

berfungsi sebagai absorben logam berat dalam air limbah.

Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan golongan

invertebrata) yaitu sebagai pelindung. Kulit udang mengandung protein (25-40%),

kalsium karbonat (45-50%), dan khitin (15-20%). Tetapi besarnya kandungan

komponen tersebut tergantung pada jenis udangnya. Menurut Widodo (2005),

sebagian besar limbah udang yang dihasilkan oleh usaha pengolahan udang

berasal dari kepala, kulit dan ekornya. Kulit udang mengandung protein (25%-

40%), khitin (15%-20%) dan kalsium karbonat (45%-50%) (Marganof, 2003).

Kandungan khitin dari kulit udang lebih sedikit dibandingkan dengan kulit atau

cangkang kepiting. Kandungan khitin pada limbah kepiting mencapai 50%-60%,

sementara limbah udang menghasilkan 42%-57%, sedangkan cumi-cumi dan

kerang, masing-masing 40% dan 14%-35%. Namun karena bahan baku yang

mudah diperoleh adalah udang, maka proses khitin dan kitosan biasanya lebih

memanfaatkan limbah udang.

2.2 Khitin dan Kitosan

Khitin umumnya tidak berbentuk murni melainkan merupakan suatu

kombinasi bersama dengan substansi lain seperti protein, kalsium karbonat, dan

pigmen (Bastaman, 1990). Salah satu cara mengidentifikasi adanya khitin adalah

melalui tes warna Van Wisselingh. Pada tes ini kalium iodisa akan dapat merubah

warna khitin menjadi coklat dan dalam suasana asam dengan penambahan asam

sulfat warnanya akan berubah menjadi merah violet.

Khitin merupakan zat padat yang tak terbentuk (amorphus), tak larut

dalam air, asam anorganik encer, alkali encer dan pekat, alkohol, dan pelarut

organik lainnya tetapi larut dalam asam-asam mineral yang pekat. Kadar khitin

dalam berat udang berkisar antara 60-70% dan bila diproses menjadi kitosan

menghasilkan yield 15-20%. Kitosan mempunyai bentuk mirip selulosa dan

bedanya pada gugus rantai C-2. Senyawa khitin pada umumnya tidak digunakan

secara murni tetapi diturunkan menjadi senyawa lain yang luas penggunaannya,

misalnya kitosan (Bastaman, 1990). Namun untuk memperoleh kitosan kulit

udang harus diolah untuk mendapatkan khitin terlebih dahulu. Kitosan merupakan

turunan dari polimer khitin, yakni produk samping (limbah) dari pengolahan

industri perikanan, khususnya udang dan rajungan.

2.3 Kandungan Nutrisi Tepung Limbah Udang

Tepung limbah udang mengandung semua asam amino essensial, juga

sebagai sumber asam amino aromatik seperti fenilalanin dan tirosin yang

kandungannya lebih tinggi daripada tepung ikan, lisin cukup tinggi yaitu 4,58%

serta sumber asam amino bersulfur (S) dengan kandungan metionin sebesar

1,26% (Purwatiningsih,1990). Perbandingan kandungan nutrisi antara tepung

limbah udang dan tepung ikan terdapat pada tabel 1.

Tabel 1. Kandungan Nutrisi Antara TLU dan Tepung Ikan.

Berdasarkan tabel 1, terlihat bahwa kandungan nutrisi yang dimiliki oleh

tepung limbah udang cukup baik meskipun tidak sebaik yang dimiliki oleh tepung

ikan. Hal ini memperlihatkan bahwa potensi tepung limbah udang dapat di

rekomendasikan kepada peternak untuk menggantikan tepung ikan karena selain

mudah untuk didapatkan, bahan ini tentu saja lebih ekonomis dibandingkan bila

menggunakan tepung ikan. Terdapat perbedaan kandungan nutrisi antara tepung

limbah udang tanpa diolah dan Tepung limbah udang yang telah mengalami

proses pengolahan.

III

PEMBAHASAN

3.1 Potensi Limbah Udang

Semakin besar produksi udang, semakin besar pula limbah yang dihasilkan

dari produksi udang tersebut. Limbah udang dapat diperoleh dari industri

pengolahan udang beku dan industri kerupuk udang. Limbah udang tersebut pada

umumnya terdiri dari bagian kepala, kulit ekor dan udang kecil-kecil disamping

sedikit daging udang. Berat limbah udang ini mencapai 30-40% berat udang

(Abun, 2009). Dengan demikian, jumlah bagian yang terbuang dari usaha

pengolahan udang cukup tinggi. Akan tetapi, limbah yang mudah didapat dan

tersedia dalam jumlah yang banyak tersebut, selama ini belum dimanfaatkan

secara optimal. Masyarakat masih memanfaatkan limbah udang secara langsung

dan belum diproses lebih lanjut untuk dijadikan sebagai pakan ternak. Padahal,

limbah kulit udang yang selama ini hanya dimanfaatkan untuk pakan ternak, dapat

diolah untuk pembuatan khitin yang dapat diproses lebih lanjut menghasilkan

khitosan.

Khitosan memiliki banyak manfaat di bidang industri, antara lain adalah

sebagai pengawet makanan yang tidak berbahaya (non toksik) pengganti formalin.

Kadar khitin dalam berat udang bekisar 60%-70% dan bila diproses menjadi

khitosan menghasilkan yield 15%-20% (Marganof, 2003). Menurut Shahidi dan

Synowiecki (1992) limbah udang mengandung protein 41,9 %, khitin 17,0 %, abu

29,2 % dan lemak 4,5 % dari bahan kering. Dari kandungan protein yang cukup

tinggi, limbah kepala udang juga mengandung semua asam amino esensial

terutama methionin yang sering menjadi faktor pembatas pada protein nabati.

Protein kepala udang diikat oleh khitin dengan ikatan kovalen yang membentuk

senyawa kompleks dan stabil.

3.2 Keunggulan Limbah Udang

Tepung ikan dan bungkil kedelai merupakan sumber protein utama yang

saat ini sering digunakan dalam peternakan unggas. Sayangnya, sebagian besar

bahan pakan tersebut masih diimpor. Hal ini disebabkan karena keterbatasan

produksi dalam negeri dan persaingan dalam penggunaannya. Untuk itu perlu

dicari bahan sumber protein baru yang memiliki kualitas dan kuantitas seperti

tepung ikan atau bungkil kedelai.

Tepung limbah udang merupakan limbah industri pengolahan udang yang

terdiri dari kepala dan kulit udang. Proporsi kepala dan kulit udang diperkirakan

antara 30-40% dari bobot udang segar. Cangkang udang basah mempunyai kadar

air 60-65% dan apabila dikeringkan maka cangkang udang kering mengandung

50% protein kasar, 11% kalsium dan 1,95% fosfor. Kandungan kapur yang cukup

tinggi memungkinkan bahan ini lebih cocok untuk bahan pakan ternak yang

membutuhkan kalsium tinggi, seperti unggas petelur ataupun ternak ruminansia

dengan tingkat produksi yang tinggi (bunting dan laktasi). Faktor positif bagi

tepung limbah udang adalah karena produk ini merupakan limbah,

kesinambungan penyediaannya terjamin sehingga harganya akan cukup stabil dan

kandungan nutrisinya pun bersaing dengan bahan baku lainnya. Dalam banyak hal

ini lebih baik dibandingkan dengan tepung ikan yang bersifat musiman sehingga

pada musim tertentu ikan sulit ditangkap dan harganya menjadi mahal.

Melihat kemungkinan strategis dan harga yang cukup bersaing, sudah

banyak dilakukan analisis mengenai kandungan nutrisi tepung limbah udang.

Penelitian Rahardjo (1985) menunjukkan bahwa pemberian tepung kepala udang

hingga 30% dalam ransum itik petelur menghasilkan produksi telur dan efisiensi

pakan yang lebih baik dari kontrol.

Disamping itu, adanya pigmen astaxanthin dalam tepung kepala udang

menjadikan warna kuning telur lebih baik (kuning-kemerahan). Hal ini sesuai

dengan penelitian Sahara (2011) bahwa indeks warna kuning telur tertinggi adalah

dengan skor 10 yang dihasilkan oleh pemberian kepala udang 9% dalam pakan.

Skor indeks warna kuning telur semakin meningkat dengan bertambanya level

pemberian kepala udang dalam ransum. Hal ini mengindikasikan bahwa pigmen

penguning yang terkandung di kepala udang sangat berperan dalam meningkatkan

indeks warna kuning telur sehingga dengan bertambahnya level pemberian kepala

udang maka meningkat pula indeks warna kuning telur.

Khajarern (1994) melaporkan penggunaan tepung kepala udang (10%)

dalam ransum babi yang sedang tumbuh menghasilkan tingkat konsumsi ransum,

pertumbuhan dan konversi pakan yang sama dengan penampilan babi yang diberi

ransum dengan bungkil kedelai. Peneliti yang sama juga melaporkan pemberian

30% tepung kepala udang dalam ransum induk babi menghasilkan penampilan

reproduksi (jumlah litter, bobot lahir, jumlah anak disapih dan bobot sapih) yang

sama dengan induk babi yang diberi ransum kontrol. Secara keseluruhan tepung

limbah udang dapat dipakai sebagai pengganti tepung ikan atau bungkil kedelai

sampai batas tingkatan 12% (Poultry Indonesia, 2004).

Selain itu, senyawa khitin yang dihasilkan dari pengolahan limbah udang

dapat menurunkan kadar kolesterol, selain itu juga khitin diketahui tidak

menimbulkan alergi dan dapat memacu pertumbuhan bakteri penghasil enzim

laktase yang biasa hidup dalam organ pencernaan (Knorr 1984). Senyawa khitin

sulit dicerna oleh tubuh karena berupa polimer glukosa, namun dapat mengikat

racun dan glukosa didalam tubuh. Glukosa yang terdapat pada khitin tidak

berubah menjadi glukosa darah sehingga tidak menambah produksi kolesterol.

Khitin mampu menurunkan absorbs kolesterol lebih efektif daripada

selulosa dan mempunyai potensi sebagai hipokolesterolemik yang tinggi serta

digesti dan absorpsi lemak dalam traktus intestinal berinteraksi dengan

pembentukan misela atau emulsifikasi lipid pada fase absorbs (Deuchi, dkk.

1994). Pemberian khitin pada ransum ternak dapat meningkatkan kualitas daging

terutama dalam kandungan kolesterolnya, diamana ternak yang diberi ransum

tambahan khitin akan dapat menurunkan LDL (Low Density Lipoprotein)-

kolesterol sehingga daging yang diperoleh lebih aman dikonsumsi bagi orang

yang mempunyai berbagai penyakit terutama jantung. Berdasarkan hasil

penelitian, dengan diberikannya tepung cangkang udang terhadap kadar LDL

(Low Density Lipoprotein), dan HDL (High Density Lipoprotein) pada ternak

percobaan dapat mengikat asam empedu yang berfungsi sebagai pengemulsi

lemak, dengan diikatnya asam empedu oleh lemak maka lemak tidak terurai

menjadi asam lemak yang dapat diserap oleh tubuh (Lilis dkk, 2006).

Tepung kulit udang mengandung khitin yang merupakan pakan berserat

tinggi (>26%), seperti yang dikemukakan oleh Williams (1985) bahwa serat

memiliki sifat mengikat bahan organik lain misalnya asam empedu yang nanti

akan terbuang melalui feses. Knorr (1984) menyatakan bahwa khitin merupakan

senyawa yang tidak beracun sebagai unsur serat makanan dan dapat menurunkan

kadar kolesterol. Senyawa khitin sulit dicerna oleh tubuh karena berupa polimer

glukosa namun dapat mengikat racun dan glukosa di dalam tubuh.

Selain dapat dijadikan sebagai bahan pakan ternak, limbah udang ini dapat

diolah dan dimanfaatkan sebagai bahan penyerap logam-logam berat yang

dihasilkan oleh limbah industri. Hal ini dimungkinkan karena senyawa khitin dan

khitosan mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi, reaktifitas kimia

yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation, sehingga dapat berperan

sebagai penukar ion (ion exchanger) dan dapat berfungsi sebagai absorben

terhadap logam berat dalam air limbah (Marganof, 2003). Sebagai bahan

pemrosesan limbah cair, khitosan mampu menurunkan kadar COD, BOD, padatan

tersuspensi, warna, kekeruhan, dan mampu mengikat logam berat seperti Fe, Cu,

Cd, Hg, Pb, Cr, Ni, Mn Co, Zn, dan lain lain (Marganof, 2003).

Menurut Manurung (2011), khitin atau khitosan hasil isolasi mempunyai

potensi yang baik sebagai koagulan penjernih air. Misalnya untuk konsentrasi

koagulan 0,5%, tawas hanya mampu menurunkan tingkat kekeruhan air sebesar

54,21%, sedangkan khitin atau khitosan mampu menurunkan tingkat kekeruhan

air hingga 90,37%. Khitosan juga mampu sebagai bahan antibakteri dan

kemampuannya untuk mengimobilisasi bakteri menjadikan khitosan dapat

digunakan sebagai pengawet makanan.

3.3 Kelemahan Limbah Udang

Penggunaan limbah udang sebagai bahan pakan ternak perlu sentuhan

teknologi untuk meningkatkan nilai gizinya, karena bahan ini mempunyai

beberapa kelemahan yaitu serat kasar tinggi, dan memiliki kecernaan protein yang

rendah karena mengandung zat anti nutrisi khitin (Hartadi dkk., 1997). Zat ini

merupakan suatu polisakarida yang bergabung dengan protein sebagai bahan dasar

pembentuk kulit luar serangga dan crustaceae yang merupakan faktor pembatas

penggunaan limbah kepala udang untuk tingkat penggunaan yang lebih tinggi

dalam pakan ayam petelur (Wanasuria, 1990).

3.4 Pengolahan Limbah Udang

Tepung limbah udang (LU) terbuat dari limbah udang sisa hasil

pengolahan udang setelah diambil bagian dagingnya, sehingga yang tersisa adalah

bagian kepala, cangkang dan udang kecil utuh dalam jumlah sedikit. Kualitas dan

kandungan nutrien LU sangat tergantung pada proporsi bagian kepala dan

cangkang udang (Djunaidi. dkk, 2009).

Menurut (Mirzah, dkk. 2007) proses pembuatan tepung udang terdiri dari

beberapa tahapan antara lain :

1. Mempersiapkan limbah udang yang dapat diperoleh dari pasar tradisional,

industri pengalengan atau pembekuan udang.

2. Sebelum diolah limbah udang ini dibersihkan dari benda-benda asing yang

melekat dan dicuci dengan air segar.

3. Perendaman dengan larutan filtrat air abu sekam (FAAS) 20 % selama 48

jam.Untuk memperoleh larutan abu sekam padi 20 % dilakukan dengan

melarutkan 200 g abu sekam padi dalam 1 liter air bersih. Larutan ini

dibiarkan selama 24 jam, lalu disaring untuk memperoleh filtratnya dan siap

digunakan.

4. Selanjutnya dipanaskan dengan autoclave selama 45 menit, dan langsung

digiling menjadi bentuk pasta.

5. Dilanjutkan dengan proses fermentasi dengan EM-4 dengan dosis 20 ml/100

gram substrat dengan lama fermentasi 11 hari.

6. Kemudian di keringkan dengan cahaya matahari lalu digiling.

Penggunaan bahan kimia sebenarnya dapat dihindari dengan

menggunakan larutan filtrat air abu sekam (alkali) yang tidak bersifat polutan.

Hasil penelitian Mirzah (2006), menunjukkan bahwa perendaman limbah udang

dalam larutan filtrat air abu sekam (FAAS) 10% selama 48 jam dan dikukus

selama 45 menit dapat menurunkan khitin dari 15,2% menjadi 9,87% dan

meningkatkan kecernaan protein kasar dari 50% menjadi 70,50%, sedangkan

kandungan zat-zat makanan lain tidak banyak berubah, yaitu bahan keringnya

86,40%, protein kasar 38,98%, lemak 4,12%, kalsium 14,63%, fosfor 1,75%, dan

asam amino kritis seperti metionin 0,86%, lisin 1,15%, triptopan 0,35%, serta

retensi nitrogen 66,13% dan energy termetabolis 2204, 54 kkal/kg. TLU hasil

olahan dengan FAAS 10% tersebut lebih baik dibandingkan TLU tanpa diolah,

yaitu dengan kandungan protein kasar 42, 6%, lemak 5,43%, khitin 15,24%,

retensi nitrogen 55,23%, energi termetabolis 1984,87 kkal/kg, dan kecernaan

protein 52,00%, namun kualitas TLU olahan itu perlu dievaluasi secara biologis

melalui pemberian ransum kepada ayam broiler.

Pengolahan limbah udang digunakan filtrat air abu sekam (FAAS) 10%.

Filtrat air abu sekam sebagai larutan untuk perendam dibuat dengan cara sekam

padi yang telah diabukan secara sempurna dilarutkan dalam air bersih. Larutan

abu sekam padi 10% diperoleh dengan melarutkan 100 g abu sekam padi dalam 1

liter air bersih. Larutan ini dibiarkan selama 24 jam, lalu disaring untuk

memperoleh filtratnya dan siap digunakan. Setelah direndam selanjutnya limbah

udang dikukus selama 45 menit, dan dikeringkan dengan cahaya matahari dan

akhirnya digiling. Kandungan zat-zat makanan TLU tanpa olahan dan diolah

dibandingkan dengan tepung ikan.

Untuk meningkatkan kualitas dan memaksimalkan pemanfaatan limbah

udang ini, maka sebelum diberikan pada ternak perlu dilakukan pengolahan,

yaitu yang dapat meningkatkan kecernaan dan menurunkan kandungan khitinnya.

Penggunaan teknologi pengolahan pakan yang tepat guna, untuk tujuan

meningkatkan kualitas nutrisi limbah udang sangat diperlukan agar pemanfaatan

proteinnya maksimal. Berbagai perlakuan pengolahan dapat dilakukan antara lain

perlakuan fisik, kimia dan biologis serta kombinasinya.

Degradasi komplek senyawa protein-khitin-kalsium karbonat dengan

sempurna baru akan terjadi bila limbah udang diperlakukan dengan enzim yang

dihasilkan oleh kapang melalui proses fermentasi. Salah satu caranya adalah

menggunakan jasa kapang dari mikroorganisme penghasil enzim khitinase.

Menurut hasil penelitian Nwanna (2003), untuk pengolahan limbah udang secara

fermentasi dapat menggunakan inokulum Lactobacillus sp sebagai fermentor

untuk pembuatan silase limbah udang, yaitu dalam waktu 14 hari. Nilai gizinya

(protein kasar) cukup tinggi, yaitu 58,96 %. Namun waktu fermentasi cukup lama,

yaitu sampai 14 hari. Waktu pengolahan yang sangat lama ini tidak efektif dan

efisien dalam penyediaan bahan baku pakan unggas. Selain Lactobacillus sp, juga

dapat digunakan inokulum EM-4, yaitu bakteri fermentasi yang berisi kultur

campuran dari mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan dan

pruduksi ternak, sebagian besar terdiri dari genus Lactobacillus sp, bakteri

fotosintetik, Actinomycetes sp, Sreptomyces sp, jamur pengurai selulosa dan ragi

yang berfungsi menguraikan selulosa atau khitin pada limbah udang (Kyusey

Nature Farming Societies, 1995).

Pengolahan dengan menggunakan kultur campuran EM-4 dapat

meningkatkan kandungan nilai gizi dan kualitas nutrisi TLU dibandingkan TLU

hasil preparasi dengan FAAS saja. Penggunaan inokulum dengan kultur campuran

(EM-4) lebih baik dibandingkan inokulum dengan mono kultur (Lactobacillus

sp). Produk TLU olahan terbaik diperoleh pada pengolahan dengan menggunakan

EM-4 dengan dosis 20 ml/100 gram substrat dngan lama fermentasi 11 hari.

3.5 Kualitas Limbah Udang Pasca Pengolahan

Teknologi fermentasi limbah udang merupakan salah satu alternatif dan

murah untuk meningkatkan nilai nutrisi limbah tersebut. Manfaat fermentasi

limbah udang antara lain dapat mengubah bahan organic kompleks seperti protein,

karbohidrat dan lemak menjadi molekul - molekul yang lebih sederhana dan

mudah dicerna, mengubah rasa dan aroma yang tidak disukai menjadi disukai,

mempercepat pematangan, dan dalam beberapa hal tertentu menambah daya

tahan. (Resmi, 2000).

3.6 Pemanfaatan Limbah Udang dalam Ransum

Dalam bidang peternakan, limbah udang dapat dimanfaatkan sebagai

pakan ternak baik ternak besar maupun ternak kecil. Selain menambah variasi dan

persediaan bahan baku ransum yang tidak bersaingan dengan manusia,

mengurangi pencemaran lingkungan, dan kandungan nutrisinya cukup baik,

pemanfaatan limbah udang juga dapat menekan biaya ransum, dimana 60—70%

dari komponen biaya produksi adalah biaya ransum. Namun, perlu diperhatikan

pula kandungan senyawa dari hasil pengolahan limbah udang tersebut. Tingginya

kandungan khitin akan menyebabkan ransum bersifat amba (volumenous),

sehingga akan menurunkan konsumsi ransum ayam. Razdan and Petterson (1994),

menyatakan bahwa kadar khitin 3 % dalam ransum ayam broiler akan menekan

konsumsi ransum dan pertumbuhan, sedangkan menurut Reddy dkk, (1996)

pertumbuhan ayam akan terganggu bila kadar khitin dalam ransum lebih dari

2,32%.

3.7 Performance Ternak yang diberi Limbah Udang

Performance atau produktivitas yang tinggi dari seekor ternak pada

umumnya dan unggas pada khususnya merupakan tujuan akhir dari usaha

peternakan. Untuk menunjang performance ini diperlukan ransum yang dapat

menambah daya produktivitas ternak tersebut. Dalam pemanfaatannya, limbah

udang yang diolah menjadi tepung limbah udang (TLU) dengan cara difermentasi

memiliki nilai gizi yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan asalnya serta

memiliki daya cerna dan palatabiltas yang lebih baik dan memberikan aroma dan

flavor lebih disukai oleh ayam sehingga dapat menambah bobot tubuh untuk

menunjang produktivitas ternak yang memerlukan protein dan kalsium tinggi

seperti unggas petelur ataupun ternak ruminansia dengan tingkat produksi yang

tinggi (bunting dan laktasi).

Selain itu, tepung limbah udang olahan mempunyai daya cerna yang

optimal dalam menguraikan ikatan komplek protein-khitin-kalsium karbonat

menjadi glukosamin oleh enzim khitinase yang dihasilkan bahteri Actimomycetes

sp sehingga menambah nilai konversi ransum yang dapat meningkatkan

performance ternak. Tinggi rendahnya kualitas suatu bahan makanan antara lain

ditentukan oleh tinggi rendahnya daya cerna bahan makanan tersebut, sehingga

protein yang ada pada tepung limbah udang olahan dapat digunakan sebagai

pengganti protein tepung ikan dalam ransum.

IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Dalam bidang peretnakan, limbah udang memiliki potensi sebagai pakan

ternak karena memiliki kadar protein yang cukup tinggi dan dapat

menggantikan penggunaan tepung ikan.

2. Terdapat beberapa keunggulan dari penggunaan limbah udang dalam

bidang peternakan diantaranya adanya pigmen astaxanthin dalam tepung

kepala udang menjadikan warna kuning telur lebih baik (kuning-

kemerahan); dapat menambah tingkat konsumsi ransum, konversi pakan,

produksi telur, dan pertumbuhan; dapat menurunkan kadar kolesterol;

dapat memacu pertumbuhan bakteri penghasil enzim laktase yang biasa

hidup dalam organ pencernaan; dapat mengikat racun dan glukosa didalam

tubuh; dapat menurunkan absorbs kolesterol; dapat meningkatkan kualitas

daging terutama dalam kandungan kolesterolnya; dan dapat mengikat

asam empedu yang berfungsi sebagai pengemulsi lemak.

3. Kelemahan dalam penggunaan limbah udang diantaranya memiliki serat

kasar tinggi dan memiliki kecernaan protein yang rendah karena

mengandung zat anti nutrisi berupa khitin.

4. Pengolahan limbah udang dapat dilakukan dengan perlakuan fisik, kimia

dan biologis serta kombinasinya. Hasil terbaik dihasilkan dari pengolahan

secara fermentasi.

5. Limbah udang yang telah diolah dengan cara fermentasi mampu

mengubah bahan organik kompleks seperti protein, karbohidrat dan lemak

menjadi molekul - molekul yang lebih sederhana dan mudah dicerna,

mengubah rasa dan aroma yang tidak disukai menjadi disukai,

mempercepat pematangan, dan dalam beberapa hal tertentu menambah

daya tahan.

6. Limbah udang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak pengganti tepung

ikan.

7. Tepung limbah udang (TLU) dapat meningkatkan pertambahan berat

badan (pbb) serta produktivitas ternak bila dilakukan pengolahan secara

baik yaitu dengan menggunakan fermentasi.

4.2 Saran

Dalam mensiasati harga pakan ternak yang semakin melonjak akibat

melemahnya nilai Rupiah, penggunaan bahan pakan alternatif sangat dianjurkan

untuk menekan biaya pengeluaran untuk ransum. Limbah udang sangat berpotensi

untuk dijadikan pakan ternak khususnya unggas karena dapat menggantikan

penggunaan tepung ikan import. Dalam pengelolaannya, limbah udang sebaiknya

fermentasi untuk meningkatkan daya cerna serta efektivitas dan efisiensi

penggunaan pakan.

DAFTAR PUSTAKA

---------. 2004. Limbah Udang Pengganti Tepung Ikan.

www.poultryindonesia.com (diakses tanggal 17 September 2015)

Abun. 2009. Pengolahan Limbah Udang Windu Secara Kimiawi Dengan NaOH

dan H2SO4 Terhadap Protein dan Mineral Terlarut. Jurusan Nutrisi dan

Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Jatinangor.

Bastaman, S. 1990. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and

Chitosan from Prawn shell. The Queen’s University of Belfast, Belfast

Deuchi, K.O. Kanauchi, Y. Imasoto dan E. Kobayashi. 1994. Decreasing effect of

Chitosan on the Apparent Fat Digestibility By Fats Fed of a High Fat

Diet. Biochem. 58:1613- 1616.

Djunaidi, I. H, T. Yuwanta, Supadmo dan M. Nurcahyanto. 2009. Pengaruh

Penggunaan Limbah Udang Hasil Fermentasi dengan Aspergillus niger

terhadap Performan dan Bobot Organ Pencernaan Broiler. Fakultas

Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.

Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, dan A.D. Tillman. 1997. Tabel Komposisi Pakan

Untuk Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Khajarern, S. And J.M. Khajarern. 1994. Feeding Of Swine On Local Feed

Resources In Thailand. In: Improving Animal Production Systems Based

On Local Feed Resources. Proc. 7th Aaap. Anim. Sci. Congress, Bali

Indonesia. Pp. 117-132.

Knorr, D. 1984. The Use of Chitinous Polymers in Food, Food Tech. 85-94

Kyusey Nature Farming Societies. 1995. Benefical and Effective

Microorarganism for Suitanable Agriculture and Environment.

International Nature Farming Research Centre. Atami, Japan.

Lilis, Suryaningsih, dkk. 2006. Pengaruh Pemberian Tepung Cangkang Udang

(Karapas) sebagai Sumber Khitin dalam Ransum Terhadap Kadar LDL

(Low Density Lipoprotein), HDL (High Density Lipoprotein), dan

Persentase Karkas. Jurnal Ilmu Ternak, Juni 2006, Vol. 6 No. 1, 63 – 67.

Manurung, Manuntun. 2011. Potensi Khitin/Khitosan dari Kulit Udang sebagai

Biokoagulan Penjernih Air. Jurnal Kimia 5 (2), Juli 2011 : 182-188.

Marganof. 2003. Potensi Limbah Udang Sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,

Kadmiun dan Tembaga) di Perairan.

http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/ marganof.htm. (Diakses 17

September 2015)

Mirzah, Yumaihana dan Filawati. 2006. Pemakaian Tepung Limbah Udang

Hasil Olahan Sebagai Pengganti Tepung Ikan Dalam Ransum Ayam

Broiler. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan

Universitas Andalas. Padang. Sumatra Barat.

Mirzah. 2007. Penggunaan Tepung Limbah Udang yang Diolah dengan Filtrat

Air Abu Sekam dalam Ransum Ayam Broiler. Media Peternakan,

Desember 2007, hlm. 189-197, ISSN 0126-0472, Vol. 30 No. 3. Jurusan

Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Andalas.

Padang. Sumatra Barat.

Nwanna, L.C., A.M. Balogun, Y.F. Ajenifuja and V.N. Enujiugha. 2003.

Replacement of fish meal with chemically preserved shrimp head meal in

the diets of African catfish, Clarias gariepinus. J. Food Agri. And

Environment.

Purwatiningsih. 1990. Isolasi Khitin dan Komposisi Kimia dari Limbah Udang

Windu. Tesis Pascasarjana. ITB. Bandung.

Rahardjo, Y.C. 1985. Nilai gizi cangkang udang dan pemanfaatannya untuk itik.

Procs. Sem. Nas. Peternak dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak

hal. 97-102. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Razdan, A and D. Petterson. 1994. Effect of chitin and chitosan on nutrient

digestibility and plasma lipid concentration in broiler chicken. British

Journal of Nutrition 72 : 277-288.

Reddy, V.R., V.R. Reddy and S. Quddratullah. 1996. Squilla: A novel animal

protein, Can it be Used as a Complete Subtitute For Fish in Poultry

Ration. Feed International no. 3 vol. 17 : 18 – 20.

Resmi. 2000. Pengaruh pemanfaatan tepung limbah udang olahan dalam ransum

ayam petelur terhadap penampilan produksi. Tesis. Program Pascasarjana,

Universitas Andalas, Padang.

Sahara, Eli. 2011. Penggunaan Kepala Udang Sebagai Sumber Pigmen Dan Kitin

Dalam Pakan Ternak. Agrinak. Vol . 01 No. 1 September 2011:31-35.

Shahidi, F. and 1. Synowicki. 1992. Quality amd composional characteristic of

Newfaunland shellfish processing discard In "Advance In Chitin and

Chitosan". J. Brine, P.A Sadford and IP. Zikakis (Eds.). Elsevier Applied

Science. London.

Wanasuria, S. 1990 Tepung Kepala Udang dalam Pakan Broiler. Poultry

Indonesia.

Widodo, A., Mardiah, dan Prasetyo, A.. 2005. Potensi Kitosan dari Sisa Udang

sebagai Koagulan Logam Berat Limbah Cair Industri. Jurusan Teknik

Kimia Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya.

Williams, S.R. 1985. Nutrition and Diet Theraphy. Times Mirrir Mosby College

Publishing. St Louis.