MakaLah KODIL nanik
-
Upload
hardono-ananto-hadi -
Category
Documents
-
view
653 -
download
17
Transcript of MakaLah KODIL nanik
PENDAHULUAN
Peternakan kelinci dewasa ini sudah mulai berkembang meskipun masih
dalam skala kecil. Hal ini bisa kita lihat dengan semakin banyaknya para penjual
kelinci di pasar hewan dan ada juga yang di pinggir-pinggir jalan. Memelihara
kelinci merupakan kesenangan tersendiri bagi sebagian orang. Selain karena hobi
alasan yang paling utama adalah tingkat komersial kelinci yang cukup tinggi.
Sehingga kelinci binatang istimewa saat ini. Selain dipelihara, kelinci juga
dimanfaatkan untuk diambil daging dan bulunya. Bahkan ada yang sengaja
diambil kotorannya untuk pupuk (Nugroho, 1982).
Berbagai jenis ternak kelinci yang sudah dikembangkan di Indonesia
seperti Lops, Fuzzy, Tan, Jersey Wooly, New Zealand White, Netherland Dwarf,
Yamamoto, Silver Fox, Dwarf Hotot, Rex, Satin, Angora, Tris Mini Rex. Kelinci
mampu melahirkan 10–11 kali per tahun dengan rataan 6–7 anak per kelahiran
oleh sebab itu kelinci mudah berkembang biak dan tumbuh dengan cepat. Salah
satu kendala yaitu penyakit. Penyakit yang menyerang kelinci di Indonesia yaitu
Kudis, Koksidiosis, Pasteurellosis, Mukoid Enteritis, Penyakit Tyzzer, Sifilis,
Ringworm, Cacingan, Mastitis, Radang mata (Iskandar1, 2005)
Kelinci lokal Indonesia yang kalau dilihat bulunya dan besar tubuhnya,
sebagian besar keturunan dari kelinci Belanda (Dutch) dan keturunan dari New
Zealand White. Kelinci lokal ini tubuhnya kecil, karena kelinci Dutch yang
berasal dari negeri Belanda tadi bukan termasuk jenis pedaging, melainkan
sebagai kelinci yang dipelihara untuk kesenangan ban beratnya hanya 1,5-2,5 kg
(Nugroho, 1982). Oryctolagus cuniculus yang telah didomestikasi dapat
ditemukan tersebar di seluruh dunia. Menurut taksonominya, kelinci lokal
termasuk dalam; Kingdom Animalia, Filum Chordata, Subfilum Vertebrata,
Kelas Mammalia, Ordo Lagomorpha, Famili Leporidae, Genus Oryctolagus dan
Spesies Oryctolagus cuniculus (Tislerics, 2008).
1
Kelinci mampu bertahan hidup di habitat yang berbeda, tetapi berkembang
biak paling baik di daerah beriklim sedang. Kelinci sangat peka terhadap suhu
lingkungan dan kelembapan yang tinggi. Suhu idealnya adalah 15°-20oC, jika
lebih dari 27oC akan mengalami penurunan produktivitas dan kemampuan
reproduksi. Suhu di atas 31°-32oC juga akan mengganggu kesehatan kelinci
(Mangkoewidjojo dan Smith, 1988). Untuk kelinci golongan kecil, dewasa
kelaminnya cepat, 4-6 bulan sudah bisa dikawinkan. Sedangkan golongan
medium dalam umur 7-8 bulan bisa dikawinkan. Golongan besar ato berat, lebih
lambat mencapai dewasa kelamin, biasanya umur 10-12 bulan baru dapat di
kawinkan (Nugroho, 1982).
Kelinci merupakan hewan yang aktif di sore dan malam hari, namun di
area yang tidak banyak aktifitas manusia, kelinci menjadi lebih aktif pada siang
hari (Anonim1, 2008). Oryctolagus cuniculus digolongkan sebagai herbivora,
pemakan bermacam-macam rerumputan, dedaunan, tunas dan akar. Meskipun
pakan mengandung nutrisi yang relatif rendah dan materi yang tidak mudah
tercerna tinggi, O. cuniculus merupakan salah satu spesies kelinci yang diketahui
memakan fesesnya sendiri (coprophagy) untuk mendapatkan nutrisi tambahan
dari pakan mereka. Spesies ini memiliki coecum yang besar, dimana terjadi
fermentasi bakteri terhadap materi yang tidak mudah tercerna (Tislerics, 2008).
Kelinci tidak sehat dan jelek mempunyai ciri-ciri: mulut basah, gigi seri
memanjang, mata setengah tertutup (ngantuk), kuku panjang, tidak digunting,
telinga berkeropeng dan rebah, paha tidak berotot, punggung bongkok, lutut jelek,
ekor menggantung basah, anus basah, kelinci tampak lesu, kurang bergairah,
nafsu makan turun, atau tiduran di pojok kandang, biasanya mencret atau bentuk
feses tidak seperti biasa misalnya mengandung darah, berlendir banyak dan
sebagainya (Nugroho, 1982).
Scabies pada kelinci umumnya disebabkan oleh tungau Psoroptes
cuniculi, Chorioptes cuniculi, Notoedres cati, dan Sarcoptes scabiei, juga kutu
Haemodipsus ventricosus. Dapat dibedakan berdasarkan lokasi, penyebab, dan
2
tanda-tanda klinis. Pada infestasi S. scabiei dan N. cati memperlihatkan gejala:
kelinci menggaruk-garuk terus sehingga bulu muka, kepala, pangkal telinga,
sekeliling mata dan kaki rontok. Pada infestasi berat, kulit di sekeliling telinga dan
hidung dapat berubah bentuk. Tungau ini cepat menyebar ke seluruh koloni
kelinci. S. scabiei dapat menginfestasi ke manusia karena bersifat zoonosis, jika
menyerang sudut mulut kelinci maka kelinci sulit makan sehingga menimbulkan
kematian (Iskandar1, 2005).
Koksidiosis merupakan salah satu penyakit parasitik yang paling sering
dan paling umum terjadi, ditandai dengan penurunan berat badan, diare intermiten
hingga diare hebat dengan feses mengandung mukus atau darah mengakibatkan
dehidrasi dan penurunan perkembangbiakan kelinci (Kulišić dkk, 2006). Tercatat
sebelas spesies koksidia usus, coecum maupun colon yang memiliki tingkat
patogenesitas bervariasi (Yakhchali dan Tehrani, 2007). Koksidiosis merupakan
infeksi protozoa yang menyebabkan gangguan pertumbuhan dan penggunaan
nutrisi, hal ini mengakibatkan mortalitas yang signifikan pada kelinci (Al-Mathal,
2008). Spesies koksidia yang paling penting pada kelinci yaitu Eimeria stidae,
yang menyerang dan berkembang di sel epitel duktus biliverus hepar kelinci
hingga dapat menyebabkan cholestasis dan chirrosis. Koksidiosis merupakan
masalah yang umum dan tersebar luas di peternakan komersial maupun penelitian.
Koksidiosis penting secara ekonomi dan merupakan penyakit pada kelinci muda,
terutama dalam masa pencapaian usia kawin dan tumbuh kembang apabila tingkat
sanitasi buruk (Yakhchali dan Tehrani, 2007).
3
TINJAUAN PUSTAKA
Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus biasa ditemukan hidup komensal pada kulit dan
membran mukosa, terutama pada saluran respirasi bagian atas, traktus digestivus
dan beberapa diantaranya dapat bersifat patogen oportunis menyebabkan infeksi
pyogenik. Staphylococcus adalah bakteri coccus gram positif, memiliki diameter
sekitar 1 μm, yang cenderung muncul bergerombol menyerupai seikat anggur.
Nama Staphylococcus berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata staphyle
dan kokkos, yang masing-masing berarti ’seikat anggur’ dan ’buah berry’ (Quinn
dkk, 2002).
Staphylococcus bersifat anaerobik fakultatif yang dapat tumbuh secara
aerobik maupun fermentasi yang menghasilkan asam laktat. Staphylococcus
aureus membentuk koloni berwarna kuning yang agak besar pada media yang
diperkaya dan bersifat hemolitik pada agar darah. S. aureus dapat tumbuh pada
temperatur antara 150–450C dan pada NaCl 15%, mampu memfermentasi
mannitol serta mampu memfermentasi glukosa menghasilkan asam laktat (Todar,
2005). Staphylococcus merupakan bakteri non motil, tidak membentuk spora,
serta menunjukkan hasil positif pada uji katalase dan oksidase negatif (Quinn dkk,
2002; Todar, 2005).
Uji katalase penting untuk membedakan Streptococcus (katalase negatif)
dengan Staphylococcus yang menghasilkan enzim katalase (katalase positif)
(Foster, 2004; Todar, 2005). Uji katalase dilakukan dengan menambahkan H2O2
3% ke dalam koloni pada plat agar atau agar miring. Pada kultur yang
menunjukkan katalase positif akan terbentuk O2 dan gelembung udara (Todar,
2005).
Staphylococcus aureus dan S. intermedius adalah koagulase positif,
sedangkan Staphylococcus yang lain merupakan koagulase negatif (Foster, 2004).
Dalam uji koagulase, suspensi Staphylococcus dicampur dengan plasma kelinci
4
baik pada slide maupun di dalam tabung. Fibrinogen pada plasma kelinci diubah
menjadi fibrin oleh koagulase. Uji slide mendeteksi adanya bound coagulase atau
clumping factor pada permukaan bakteri, reaksi positif ditandai dengan
penggumpalan oleh bakteri dalam 1 sampai 2 menit. Uji tabung untuk mendeteksi
adanya free coagulase atau staphylocoagulase yang disekresikan oleh bakteri ke
dalam plasma. Uji ini merupakan uji definitif terhadap produksi koagulase dan
reaksi positif ditandai dengan terbentuknya gumpalan di dalam tabung setelah
diinkubasi dalam suhu 370C selama 24 jam (Quinn dkk, 2002). Koagulase
merupakan protein ekstraseluler yang mengikat prothrombin hospes dan
membentuk komplek yang disebut staphylothrombin. Karakteristik aktifitas
protease pada thrombin diaktifasi dalam komplek tersebut, menghasilkan konversi
fibrinogen menjadi fibrin. Koagulase merupakan cara sederhana untuk
mengidentifikasi S. aureus di laboratorium klinis mikrobiologi (Todar, 2005).
Mannitol Salt Agar atau MSA umum digunakan sebagai media
pertumbuhan dalam mikrobiologi. MSA mengandung konsentrasi garam NaCl
yang tinggi (7,5%–10%), sehingga membuat MSA menjadi media selektif untuk
Micrococcaceae dan Staphylococcus karena tingkat NaCl yang tinggi
menghambat bakteri yang lain. MSA juga merupakan media differensial yang
mengandung mannitol dan indikator phenol red. Produksi asam sebagai hasil dari
fermentasi mannitol, yang merupakan ciri-ciri beberapa spesies seperti
Staphylococcus aureus, akan mengubah warna agar yang semula berwarna merah
menjadi kuning. Bakteri yang memfermentasi mannitol menghasilkan koloni
berwarna kuning sedangkan non fermentasi mannitol akan menghasilkan koloni
kemerahan atau ungu (Anonim, 2007).
S. aureus memiliki beberapa potensi faktor virulensi: protein permukaan
yang menyebabkan kolonisasi pada jaringan hospes; invasin yang mengakibatkan
bakteri menyebar dalam jaringan (leukocidin, kinase, hyaluronidase); faktor
permukaan yang menghambat proses fagositosis (kapsula, Protein A); materi
biokemis yang meningkatkan ketahanan bakteri terhadap fagositosis (karotenoid,
produksi katalase); penyamaran imunologi (Protein A, koagulase, clotting factor);
5
toksin perusak membran yang melisiskan membran sel eukariotik (hemolisin,
leukotoksin, leukocidin); eksotoksin yang merusak jaringan hospes atau
menimbulkan gejala penyakit (Superantigen Enterotoksin A-G, Toxic Shock
Syndrome Toxin, Exfoliatin Toxin); serta sifat ketahanan bawaan maupun
perolehan terhadap agen antimikrobial (Todar, 2005).
Staphylococcus aureus menyebabkan radang suppuratif pada kelinci
(Harcourt-Brown, 2002). Abdel-Gwad dkk (2004) menambahkan bentuk
septikemia akut sering terjadi pada anak kelinci yang baru lahir dan dapat
menimbulkan lesi yang beragam dari sedikit dan nonspesifik hingga suppuratif
dan multifokal pada berbagai organ, termasuk pulmo, ren, lien, cor dan hepar.
Organisme diisolasi dari bagian yang terinfeksi. Organisme ini juga dapat
menyebabkan septikemia fatal. Seperti P. multocida, kelinci sehat dapat
membawa S. aureus dalam cavum nasal, serta dapat diisolasi dari konjungtiva dan
kulit kelinci sehat. S. aureus dapat diisolasi dari kasus mastitis, ulserasi
pododermatitis, rhinitis, konjungtivitis, dacryocystitis, abses dan infeksi kulit.
Sering menjadi infeksi sekunder dalam kerusakan jaringan akibat trauma atau
faktor predisposisi lainnya. Tingkat keparahan penyakit tergantung pada
ketahanan tubuh hospes dan faktor virulensi bakteri (Delong dan Manning dalam
Harcourt-Brown, 2002).
Patogenesis Staphylococcosis pada kelinci telah digambarkan oleh
Richard dalam Abdel-Gwad (2004) yaitu Staphylococcus aureus mungkin tinggal
dalam sinus nasal atau pulmo dan dapat menyebar melalui kontak langsung atau
aerosol. Infeksi melalui luka pada kulit merupakan rute infeksi yang umum dan
menimbulkan radang suppuratif pada kulit dan subkutan. Septikemia juga dapat
ditimbulkan dari infeksi kulit, dan pada kasus septikemia akut mungkin akan
terjadi demam, anoreksia, depresi dan kematian. Septikemia dapat mengakibatkan
kematian perakut dengan lesi yang sedikit dan tidak spesifik, akan tetapi apabila
kelinci bertahan pada fase ini akan terbentuk abses di beberapa organ dalam
seperti cor, ginjal, pulmo, hepar, lien, testes dan persendian mengakibatkan
6
osteomylitis. Umumnya, infeksi bakteri Staphylococcus terjadi pada saat hewan
tersebut daya tahannya menurun (Carter and Wise, 2004).
Isolasi dan Identifikasi
Pada kondisi suppuratif yang kemungkinan karena infeksi staphylococccus
harus diperhatikan dan dikoleksi spesimen yang tepat berupa eksudat untuk
prosedur pemeriksaan laboratorik. Pengecatan Gram apus nanah atau spesimen
lain yang memungkinkan dapat mengungkap jenis kelompok staphylococcus.
Spesimen dikultur pada media agar darah kemudian diinkubasi secara aerobik
pada suhu 370C selama 24 sampai 48 jam. Kriteria untuk mengidentifikasi isolat
antara lain; karakteristik koloni, ada atau tidaknya kemampuan hemolisa, tidak
tumbuh pada agar MacConkey, memproduksi katalase dan koagulase serta profil
biokemisnya (Quinn dkk, 2002). Menurut Ajuwape dan Aregbesola (2001), isolat
dapat diuji biokemis sesuai metode standar dengan uji gula-gula seperti; glukosa,
mannitol, maltosa, laktosa, sukrosa, dulcitol, sorbitol, xylose dan trehalose.
Koksidiosis pada Kelinci
Koksidia pada kelinci terdapat tiga spesies yang bersifat patogenik
diantaranya E. Stiedae, E. Flafescens dan E. Intestinalis. Periode prepaten pada E.
Stiedae adalah 18 hari dan Eimeria lainnya sekitar 5-7 hari (Urquhart, 1987).
Parasit ini digolongkan dalam Filum Apicomplexa, Kelas Sporozoa, Subkelas
Coccidia, Ordo Eucoocidia, Subordo Eimerina, Genus Eimeria (Soulsby, 1982).
Hewan yang sudah sembuh dari penyakit ini sering menjadi karier. Kelinci muda
lebih sering terkena oleh koksidiosis dalam bentuk hati (Mangkoewidjojo dan
Smith, 1988).
Menurut Susetya dan Schiere (1982) pada kelinci terdapat dua bentuk
koksidiosis yaitu bentuk hati yang disebabkan oleh Eimeria stiedae dan bentuk
usus yang disebabkan oleh Eimeria magna, Eimeria media, Eimeria irresidua
atau Eimeria perforans. Eimeria mempunyai 2 fase perkembangan yaitu fase
7
internal (schizogoni dan gamogoni), dimana parasit bermultiplikasi dan
berkembang sampai oosista dieliminasi lewat feses dan fase eksternal
(sporogoterdapta pani) dimana oosista berada di luar tubuh dan akan berkembang
pada situasi yang mendukung seperti kelembaban dan oksigenasi yang cukup
(Jenkins, 2005). Eimeria ditandai dengan adanya 4 sporosista di dalam tiap-tiap
oosista dan 2 sporozoit di dalam tiap-tiap sporosista. Kebanyakan spesies dari
genus ini terutama berada didalam sel-sel intestinum vertebrata, tetapi juga
ditemukan didalam sel-sel epitel hati, saluran empedu dan organ lain (Noble dan
Noble, 1989).
Kelinci dapat terinfeksi karena menelan oosista bersporulasi, sporozoit
keluar dari oosista menembus mukosa usus, melalui limfonodus mesenterica dan
sistim porta hepatika sporozoit menuju ke hepar. Di hepar sporozoit masuk ke
epitel duktus biliverus dan sel parenkim hepar, berkembang menjadi schizont dan
menghasilkan merozoit (stadium aseksual). Merozoit sebagian ada yang menjadi
makrogamet dan yang lain menjadi mikrogamon yang menghasilkan mikrogamet.
Mikrogamet membuahi makrogamet lalu membentuk dinding oosista dan keluar
dari sel epitel masuk ke usus bersama-sama dengan empedu. Selanjutnya keluar
bersama feses 18 hari setelah infeksi (Flynn, 1973).
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh koksidiosis intestinal bervariasi
tergantung umur kelinci, jenis Eimeria yang menyerang, tingkat infeksi dan
ketahanan kelinci (yang dipengaruhi oleh umur, stress, pola makan, dll). Gejala
klinis lebih banyak terlihat pada kelinci muda dengan sistem imun yang kurang.
Penurunan berat badan, diare ringan hingga berat dan dapat mengandung mukus
atau darah, serta diare merupakan tanda-tanda yang bisa terlihat. Koksidia bentuk
hepar akan menunjukkan gejala klinis diare, kondisi rambut dan otot menurun
serta ketahanan yang menurun terhadap penyakit lain. Pada waktu nekropsi dapat
dilihat nodul pada hepar (Jenkins, 2005).
Koksidiosis dapat dicegah dengan manajemen yang layak. Tempat-tempat
pakan dan air harus dirancang begitu rupa sehingga mereka tidak dapat
8
dikontaminasi dengan tinja dan harus dijaga agar bersih. Lantai-lantai kandang
kelinci sebaiknya dapat bersih dengan sendirinya atau sebaiknya sering
dibersihkan dan dijaga agar kering. Kotoran kandang sebaiknya sering dibuang.
Hewan-hewan sebaiknya ditangani sesedikit mungkin dan dijaga agar mereka
tidak mencemari dirinya sendiri atau pakan mereka, alat-alat atau
perlengkapannya. Tempat pemeliharaan kelinci sebaiknya dijaga agar sebebas
mungkin dari serangga, rodentia dan hama-hama lainnya (Levine, 1994).
Saat ini dikenal 26 spesies koksidia pada kelinci yaitu 1 spesies terdapat di
hepar (Eimeria stiedae) dan 25 lainnya di saluran gastrointestinal antara lain
Eimeria perforans, Eimeria coecicola, Eimeria exigua, Eimeria intestinalis,
Eimeria irresidua, Eimeria magna, Eimeria media, Eimeria piriformis, Eimeria
flavescens, Eimeria vejdovskyi (Soulsby, 1982). E. Piriformis biasanya
berpredileksi di usus besar termasuk kolon dan sekum. E. magna dan E. media
menginfeksi yeyenum dan ileum (Yakchali, 2007).
Diagnosa koksidiosis dilakukan dengan identifikasi oosista pada
pemeriksaan tinja atau dengan pemeriksaan histopatologi usus dan saluran
empedu. Pada Eimeria media kadang menyebabkan edema dan titik kelabu pada
intestinum. Lesi pada bentuk usus bervariasi, kasus baru jarang memperlihatkan
lesi, sedang kasus lama tampak usus menebal dan pucat (Mangkoewidjojo dan
Smith, 1988).
Eimeria perforans
Merupakan koksidia usus yang paling umum pada kelinci peliharaan. Ia
terdapat di seluruh usus halus dan juga pada sekum. Ookista berbentuk elips,
kadang-kadang berbentuk telur, halus, tanpa mikropil dan 24-30x14-20 mikron.
Di sini terdapatdua generasi aseksual. Meron dari kedua generasi tersebut terdapat
pada epitel sel-sel vili, seperti juga gamonnya. Periode prepaten 5-6 hari.
Patogenitas Eimeria perforans ringan hingga sedang (Levinne, 1978).
.
9
Sarcoptes scabiei
Sarcoptes scabiei merupakan tungau yang bersifat mikroskopik dan salah
satu penyebab penyakit skabies yang bersifat zoonosis (Hendrix, 1990). Sarcoptes
scabiei termasuk dalam subordo Sarcoptina dan genus Sarcoptes. Anggota
subordo Sarcoptina biasanya berkulit tipis, dengan trakea atau stigmata dan
mempunyai karunkula (alat penghisap) pada tarsusnya (Levine, 1994).
Tungau ini berkaki pendek, dimana kaki ketiga dan keempatnya tidak
keluar melewati pinggir badan. Karunkula Sarcoptes scabiei jantan terdapat pada
kaki ke 1, 2 dan 4, sedangkan untuk yang betina terdapat pada kaki ke 1 dan 2.
Sarcoptes scabiei betina berukuran 300-600 x 250-400 µm dan yang jantan 200-
240 x 150-200 µm (Levine, 1994). Anus terletak di bagian kaudal tubuh. Selain
itu Sarcoptes scabiei memiliki telur yang berbentuk oval (Hendrix, 1990).
Infeksi Sarcoptes scabiei pada hewan di mulai dari bagian tubuh yang
tidak memiliki atau sedikit memiliki rambut lalu menyebar keseluruh tubuh. Pada
umumnya siku dan bagian tepi dari telinga merupakan tempat infeksi awal dari
tungau ini. Lesi yang ditimbulkan oleh tungau ini dapat berupa papula folikuler,
daerah erythema, krusta yang berisi serum kering dan darah serta pruritis
(Bowman et all, 1999).
Sarcoptes scabiei betina bertelur 3-5 butir tiap hari, dan mampu
meletakkan telur dalam terowongan-terowongan kulit hingga 40-50 butir. Dalam
3-5 hari, telur tersebut akan menetas menjadi larva berkaki 6, yang beberapa akan
meninggalkan terowongan kemudian berlokasi di permukaan kulit, dan yang lain
tetap dalam terowongan atau kantung-kantung di sekitar terowongan. Selanjutnya
dalam kantung larva di stratum korneum atau dalam terowongan larva akan
menyilih menjadi nimfa stadium pertama yang berkaki 6 dan melanjut menjadi
nimfa stadium kedua yang berkaki 8. Nimfa tersebut kemudian akan menyilih
menjadi dewasa (Levine, 1994).
Sarcoptes scabiei membuat liang pada epidermis kulit dengan
melalui lapisan tanduk yang keras. Setelah mereka memakan jaringan, tungau ini
10
menumpukan kotorannya di liang tersebut yang mungkin dapat mengakibatkan
vesikula dan prurits hebat pada kulit. Ini di perparah dengan adanya suhu badan
yang hangat dan keringat pada area tersebut, sehingga menimbulkan rasa gatal
yang hebat pada kulit. Tungau betina akan membuat liang yang lebih dalam lagi
sampai pada lapisan korneum dan lucidum untuk meletakkan telurnya. Hal ini
dapat mengakibatkan terjadinya pendarahan serta masuknya bakteri oportunis
yang bisa mengakibatkan terjadinya infeksi sekunder. Lesi yang terbentuk berupa
papula, vesikula dan pustula yang multiple, kemudian terbentuk kerak kudis yang
berwarna coklat keabuan yang berbau anyir ((Hendrix, 1990)).
11
MATERI DAN METODE
Materi
Peralatan yang digunakan meliputi alat euthanasia dan nekropsi hewan
serta pemeriksaan mikroskopis laboratorium yang terdiri atas; gunting, scalpel,
pinset, pisau, dan gunting tulang, container sample, deck glass, eppendorf, sarung
tangan, masker, cawan petri, obyek glass, double obyek glass, nampan plastik,
beker glass, spuit, tabung reaksi, sentrifus, magnet stirer, mikroskop, pipet
leukosit, pipet eritrosit, pipet Hb, kamar hitung Neurbauer, mikrohematokrit,
refraktometer, spektrofotometer, penangas air, usa, dan lampu spritus.
Hewan yang digunakan adalah kelinci betina umur 1 tahun dengan nomor
protokol E-137. Bahan yang digunakan berupa EDTA, methanol, Giemza,
formalin 10%, NaCl jenuh, NaCl fisiologis, gula jenuh, kalium bikromat 2%,
aquades, minyak emersi, reagen Turk, plat agar darah, Manitol Salt Agar, plasma
kelinci, kaldu BHI, hidrogen peroksida 3%, gentian violet, lugol, alkohol 95%, air
fuchsin.
Metode
Metode yang digunakan meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik,
pengambilan sampel darah, yang dilakukan sebelum kelinci dieuthanasi.
Pengambilan darah dilakukan secara intracardial memakai spuit 3 ml. Darah
dimasukkan ke dalam tabung eppendorf yang telah diberi EDTA dan tidak diberi
EDTA untuk pemeriksaan di laboratorium patologi klinik, yang meliputi
penghitungan eritrosit, leukosit, hemoglobin, PCV, TPP dan fibrinogen.
Kemudian dibuat juga preparat apus darah tanpa EDTA. Setelah kering, preparat
apus difiksasi dengan methanol, kemudian dilakukan pengecatan Giemza dengan
perbandingan 1 bagian Giemza : 9 bagian buffer fosfat selama 30-45 menit, lalu
dicuci dengan aquades. Preparat apus ini digunakan untuk pemeriksaan diferensial
leukosit, morfologi eritrosit dan parasit darah. Selain itu, feses juga dikoleksi
untuk pemeriksaan parasitologi.
12
Euthanasi dilakukan dengan cara emboli yaitu memasukkan udara
intrakardial dengan bantuan spuit. Setelah kelinci mati dilakukan nekropsi dengan
cara membuka bagian abdomen dari umbilikus dengan gunting kemudian
diteruskan ke arah depan dan belakang. Setelah kulit terbuka, dilanjutkan dengan
pembukaan peritoneum secara hati-hati untuk mengamati perubahan
makroskopik, selanjutnya pemotongan jika terdapat cairan diambil dan diukur
untuk identifikasi, kemudian dilanjutkan ke daerah thorak. Pemeriksaan
Makroskopik dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi dan incisi pada organ.
Organ-organ dikeluarkan dan dipreparir menurut bagian-bagiannya, kemudian
diamati perubahan warna, konsistensi, ukuran, lesi yang tampak, abnormalitas
pada lapisan serosa dan mukosa, maupun penggantung pada organ pencernaan.
Organ yang tampak mengalami perubahan dipotong dan dimasukkan ke dalam
kontainer yang berisi formalin 10% untuk dibuat preparat histopatologi. Bagian
yang mengalami perubahan sebagian diambil dan dimasukkan ke dalam kantong
plastik steril secara terpisah untuk pemeriksaan mikrobiologi.
Pemeriksaan parasitologi dilakukan terhadap sampel feses, kerokan usus,
gerusan organ dan kerokan kulit. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi;
pemeriksaan feses secara natif dan sentrifus, penghitungan jumlah oosista dengan
metode Mc Master, pemeriksaan sporulasi oosista, pemeriksaan gerusan organ,
pemeriksaan saluran pencernaan dan kerokan kulit.
Pemeriksaan mikrobiologi menggunakan sampel lesi pada telinga. Lesi di
sterilkan dengan pisau spatel yang telah dipanaskan. Selanjutnya usa yang telah
disterilkan disentuhkan pada lesi tersebut dan selanjutnya di goreskan pada Plat
Agar Darah (PAD) dan diinkubasi 370C. Koloni yang tumbuh diamati bentuk,
warna, tepi dan ukuran koloni. Koloni yang terpilih dilakukan pengecatan gram
dan selanjutnya dimurnikan pada media PAD. Koloni yang telah murni
dilanjutkan uji katalase, BHI, koagulase, media gula-gula (glukosa, laktosa,
sukrosa dan maltosa), Manitol Salt Agar, air susu litmus dan media gelatin. Hasil
uji dibandingkan dengan referensi.
13
HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIK
A. Pemeriksaan Laboratorium Patologi
Berdasarkan pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik kelinci
dengan nomor protokol E-137mengalami dermatitis, atelektasis, emphysema,
pneumonia interstitial, hepatitis dan enteritis.
B. Pemeriksaan Laboratorium Parasitologi
Berdasarkan pemeriksaan di laboratorium parasitologi, kelinci dengan
nomor protokol E-137 menderita koksidiosis oleh Eimeria perforans dan
scabies oleh Sarcoptes scabiei.
C. Pemeriksaan laboratorium mikrobiologi
Berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi, dari lesi di telinga kelinci
dengan nomor protokol E-137 tidak teridentifikasi bakteri Staphylococcus sp.
D. Pemeriksaan laboratorium patologi klinik
Berdasarkan hasil pemeriksaan patologi klinik, kelinci dengan nomor
protokol E-137 mengalami anemia mikrositik normokromik, anemia
regenerative dengan anisositosis, anulocyte, neutofilia dan eosinofilia.
14
DISKUSI
Pada tanggal 30 November 2010 telah dilakukan euthanasi dan nekropsi
terhadap kelinci (Oryctolagus cuniculus) dengan nomor protokol E-137 kemudian
dilanjutkan dengan pemeriksaan di laboratorium patologi, parasitologi, patologi
klinik dan mikrobiologi. Pemeriksaan patologi dilakukan dengan mengamati
adanya perubahan pada organ baik secara makroskopik maupun mikroskopik
dengan mengamati preparat histopatologi organ. Pada pemeriksaan makroskopik
kulit terlihat adanya nodul dengan diameter ± 1 cm yang berisi massa mengkeju.
Pemeriksaan mikroskopik kulit menunjukkan adanya kerusakan jaringan ikat
longgar yang dikelilingi oleh infiltrasi sel rangang infiltrasi eosinofil dan limfosit
di lapisan hipodermis. Pemeriksaan makroskopik hepar terdapat noduli putih
dengan diameter 0,5 mm di terpi lobus sinister dengan konsistensi kenyal dan
bidang sayatan kering. Pada pemeriksaan mikroskopik hepar menunjukan adanya
eritrosit di luar pembuluh darah vena cana cabang vena porta dan infiltrasi
limposit di interlobularis hepar. Pemeriksaan makroskopik pulmo menunjukkan
pulmo terlihat putih pucat diseluruh lobus, konsistensi kenyal, bidang sayatan
kering dan uji apung terapung. Berdasarkan pemeriksaan mikroskopik pulmo,
diketahui bahwa pulmo mengalami penyempitan alveoli, penebalan septa
interalveoli oleh infiltrasi limfosit dan pada bronchus terdapat infiltrasi neutrofil
dan limposit. Penyempitan alveoli kemungkinan terjadi karena faktor fisiologis
yaitu hewan mengalami hipoksia setelah dilakukan euthanasia dengan cara
emboli, sehingga terjadi penyempitan alveoli. Pemeriksaan makroskopik ileum
terlihat hiperemi. Hasil pemeriksaan histopatologi duodenum menunjukkan
adanya peningkatan jumlah eritrosit, erosi epitel, terlihat stadium eimeria stadium
makrogamet di lamina propia. Pada jejenum terlihat adanya erosi epitel dan
infiltrasi eosinofil da lamina propia. Berdasarkan pemeriksaan patologi, kelinci
dengan nomor protokol E-137 mengalami mengalami dermatitis, atelektasis,
emphysema, pneumonia interstitial, hepatitis dan enteritis.
15
Pada pemeriksaan parasitologi dilakukan pemeriksaan terhadap feses,
gerusan hepar, kerokan usus dan kerokan kulit untuk ektoparasit. Pemeriksaan
feses dengan metode natif tidak ditemukan adanya parasit pada feses. Berdasarkan
pemeriksaan dengan metode sentrifuse ditemukan adanya oosista dan telur
tungau. Kemudian dilakukan penghitungan jumlah oosista per gram feses dengan
metode Mc Master dan didapatkan hasil 50 oosista per gram feses dan 150 telur
per gram feses. Pada pemeriksaan gerusan hepar dan kerokan usus tidak
ditemukan adanya oosista. Kemudian feses yang positif ditemukan oosista
tersebut dilakukan uji sporulasi dengan cara 1 gram feses ditambah dengan kalium
bikromat 2,5% sebanyak 20 ml dan diamati setiap hari. Namun pada uji sporulasi
tidak ditemukan adanya sporulasi oosista dan pada pemeriksaan kerokan kulit
ditemukan adanya Sarcoptes scabei.
Berdasarkan hasil pengamatan sporulasi oosista dalam feses, tidak
ditemukan adanya oosista yang telah bersporulasi. Hal ini disebabkan feses telah
mengalami pendinginan selama beberapa jam dengan disimpan di dalam kulkas
terlebih dahulu. Berdasarkan Levine (1995) untuk mensporulasikan ookista-
ookista koksidia adalah paling baik sebelum feses tersebut mengalami
pendinginan, hal tersebut dikarenakan pada beberapa spesies, pendinginan
ookista-ookista yang tidak bersporulasi mencegah sporulasi berikutnya walaupun
pendinginan seperti itu tidak merusak ookista-ookista yang telah bersporulasi.
Gambar 1. Eimeria sp. sebelum sporulasi
16
Berdasarkan hasil pengamatan morfologi oosista dimana oosista berbentuk
elips, ukuran 14,39x20,1, tidak berwarna, mikrophil tidak jelas maka kelinci E-
137 terinfestasi koksidia intestinal yang kemungkinan adalah Eimeria perforans.
Menurut Levine (1995), Eimeria perforans biasa ditemukan terutama dalam usus
halus. Oosista elipsoid. Ukuran 15-30 x 11-20 µm, mempunyai dinding licin,
tidak berwarna sampai kemerah-merahan, dinding berlapis dua, mikrophil kurang
jelas dan waktu sporulasi 1-2 hari. nanikSiklus hidup Eimeria media dimulai dari
perkembangan awalnya di sel epitel vili tetapi kemudian ditemukan di subepitel.
Generasi pertama schizont dewasa setelah 4 hari. Ada 2 bentuk schizon yaitu tipe
schizon A yang menghasilkan 2-10 merozoit dan tipe B yang lebih kecil daripada
yang pertama, menghasilkan 12-36 merozoit. Generasi kedua schizon muncul
setelah 6 hari infeksi dan kedua tipe schizon muncul lagi. Stadium gametosit
terjadi pada hari 5-6 setelah infeksi dan periode prepatennya 6-7 hari. Patogenesis
dari Eimeria media ini jika ada 50.000 oosista bisa menyebabkan sesuatu yang
fatal pada kelinci muda seperti enteritis ditandai adanya destruksi epitel usus
(Soulsby, 1982). Eimeria media merupakan koksidia yang bersifat patogenik
sedang, pada umumnya menyerang usus kecil. Eimeria media kadang-kadang
menyebabkan enteritis sedang dan diare (Flynn, 1973).
Pada pemeriksaan ektoparasit didapat infestasi Ctenocephalides felis.
Identifikasi ini berdasarkan morfologi dari pinjal Ctenocephalides felis yang
memiliki kening rendah, tidak memiliki sayap, memiliki ktenida, gena tidak rata
dari depan ke belakang, pada tergum segmen ke sembilan terdapat sinsilium yang
dilengkapi oleh rambut-rambut sensoris sehingga dapat diketahui bahwa parasit
tersebut merupakan Ctenocephalides felis (Levine, 1994).
17
Gambar 2. Ctenocephalides felis
Pinjal dewasa hidup beberapa minggu dan beberapa bulan. Yang dewasa
sering sekali menghisap darah. Mereka menghisap darah paling tidak sekali
sehari, tetapi karena mereka biasanya terganggu ketika menghisap, maka biasanya
menghisap beberapa kali. Mereka tetap menghisap darah walaupun kenyang dan
mengeluarkan darah yang tidak berubah dari anusnya. Mereka membutuhkan
darah untuk menghasilkan telur. Yang betina bertelur pada tubuh dan telur
tersebut kemudian jatuh ke sarang atau tanah, atau yang betina berkeliaran
meninggalkan tubuh untuk bertelur, tergantung dari individu atau jenisnya
(Levine, 1994).
Pada kasus ini, infestasi Ctenocephalides felis pada kelinci disebabkan
karena sanitasi kandang yang buruk, banyak kucing liar di daerah sekitar dan
manajemen pemeliharaan yang kurang baik. Pinjal secara normal tidak berinduk
semang spesifik, kebanyakan dari mereka dapat meloncat keluar dari induk
semangnya ke induk semang lain, baik induk semang yang jenisnya sama maupun
berbeda. Larva hidup di berbagai tempat sesuai dengan tempat induk semangnya
di sarang, celah-celah dan tempat persembunyian di lantai, pada debu dan
reruntuhan di gudang.
Pada pemeriksaan patologi klinik didapatkan hasil anemia pada kasus
koksidiosis ini terjadi akibat adanya perdarahan usus (enteritis) dan infestasi
parasit, defisiensi nutrisi (Fe dan vitamin B6), dan adanya kerusakan pada struktur
hepar yang salah satu fungsinya adalah sebagai tempat penimbunan faktor
pembentuk darah (Fe), akibatnya terjadi kekurangan elemen pembentukan atau
sintesis Hb, sehingga terjadi peningkatan jumah sel dengan diameter kecil dan
penurunan konsentrasi Hb. Menurut Coles (1986) anemia adalah penurunan
jumlah eritrosit, Hb atau kedua-duanya dalam sirkulasi darah, sedangkan menurut
Jain et al. (1975), anemia merupakan suatu gejala awal dari suatu penyakit yang
secara umum merupakan reflek sekunder dan menunjukkan derajat dari suatu
penyakit. Anemia mikrositik hipokromik merupakan salah satu dari
pengklasifikasian anemia berdasarkan morfologik dan etiologik. Anemia
18
mikrositik hipokromik dapat disebabkan defisiensi zat besi (Fe) akibat pendarahan
kronis atau diet, defek-defek dalam kebutuhan dan penyimpanan Fe dan defisiensi
vitamin B6.
Kondisi hiperproteinemia menunjukkan adanya keradangan pada kelinci.
Plasma protein merupakan kelompok senyawa kimia yang heterogen, yang
menduduki posisi utama dan dominan dalam metabolisme protein karena erat
kaitannya dengan proses metabolisme dalam organ hati dan interaksinya dengan
jaringan di seluruh tubuh. Protein plasma terdiri dari albumin, globulin, serta
fibrinogen. Adanya infeksi Staphylococcus aureus, infestasi Eimeria sp dan
infestasi Ctenocephalides felis pada kelinci dapat menyebabkan keradangan pada
organ tersebut, sehingga terjadi hiperproteinemia. Karena kasus ini menyebabkan
infeksi, maka jumlah leukosit dalam perifer meningkat, sebagai respon immune
dari tubuh yang mengalami infeksi. Meningkatnya netrofil menunjukkan adanya
keradangan pada organ atau jaringan.
Pada penghitungan jumlah leukosit meningkat (leukositosis), terjadi
peningkatan jumlah sel neutrofil (neutrofilia) dan peningkatan eosinofil
(eosinofilia). Leukositosis pada kasus ini berhubungan dengan adanya
keradangan. Keradangan kronis dalam waktu hari-minggu dapat menyebabkan
perubahan karakteristik sumsum tulang, termasuk perluasan dari proliferation
pool dan maturation and storage pool of neutrophyl untuk memenuhi kebutuhan
jaringan, yang memiliki karakteristik leukogram leukositosis dengan neutrofilia,
left shift tidak ditemukan pada kasus ini (Feldman et al., 2000). Leukositosis
merupakan peningkatan jumlah leukosit dari nilai normal per mikroliter.
Leukositosis dapat disebabkan oleh infeksi umum, infeksi lokal, trauma,
neoplasma, intoksikasi hasil metabolisme, bahan kimiawi, obat-obatan (Coles,
1986). Derajat koksidiosis bervariasi tergantung pada penyebab, resistensi dari
hewan, macam infeksi dan lokasi keradangan (Benjamin, 1978).
Neutrofilia dapat disebabkan peningkatan kebutuhan jaringan untuk fungsi
fagositik pada kasus radang yang disebabkan terutama oleh bakteri, dapat juga
karena virus, parasit, fungsi karena neutrofil merupakan jajaran pertama untuk
19
sistem pertahanan tubuh. Neutrofilia juga dapat disebabkan oleh stress yang
akhirnya memicu pembebasan kortikosteroid (Feldman et al., 2000). Derajat
neutrofilia karena radang dapat diketahui karena imbangan antara pelepasan sel
oleh sumsum tulang dengan emigrasi sel ke jaringan. Jika kecepatan pelepasan sel
oleh sumsum tulang lebih besar dari kecepatan emigrasi sel, maka terjadi
neutrofilia (Benjamin, 1978).
Eosinofilia adalah peningkatan jumlah eosinofil dalam darah dapat
disebabkan oleh interaksi antara antigen-antibodi dalam jaringan yang banyak
mengandung mast sel (kulit, pulmo, saluran gastrointestinal, saluran reproduksi
betina) dan infestasi parasit, dimana terjadi reaksi sensitisasi akibat kontak antara
jaringan hospes dan parasit dalam waktu yang lama. Menurut Coles (1974),
kondisi eosinofilia dapat terjadi sebagai proses respon hipersensitifitas karena
adanya infestasi parasit dan merupakan reaksi alergi, reaksi anaphilaktik yang
juga merupakan reaksi hipersensitifitas, terjadi insufisiensi adrenokortikal
walaupun terkadang tidak diikuti eosinofilia, tahap penyembuhan dari beberapa
infeksi akut, neoplasma ovarium.
Peningkatan eosinofil dapat disebabkan karena infestasi ektoparasit dan
koksidia yang terjadi pada kelinci ini. Eosinofil mempunyai parasiticidal
properties yaitu antibody dan mempunyai kemampuan fagositik dan bakterisidal
menyerupai neutrofil. Eosinofil akan memproduksi antihistamin untuk melawan
agen penyakit sehingga timbul adanya kegatalan. Eosinofil berperan dalam
membantu meningkatkan aktivitas motilitas usus untuk membantu mengeluarkan
parasit dari usus. Selain itu eosinofil berperan dalam menghasilkan mediator
kimia yang penting untuk meningkatkan aktivitas fagositosis. Selain itu kejadian
eosinofilia juga dapat ditemukan pada infeksi bakterial, yang menunjukkan reaksi
hipersensitivitas pada agen infeksius, misalnya Staphylococcus (Jain, 1975).
Pada pemeriksaan mikrobiologi dilakukan dengan mengisolasi bakteri dari
sampel berupa lesi pada kulit dan pulmo. Media primer yang digunakan berupa
Plat Agar darah (PAD). Dari beberapa macam koloni yang tumbuh dari pulmo,
dipilih koloni yang mengarah pada Staphylococcus aureus. Menurut Carter and
20
Wise (2004), Staphylococcus aureus memiliki koloni berbentuk bulat, licin,
berkilau dengan diameter mencapai 4 mm, berwarna putih hingga kekuningan
atau oranye (keemasan). Koloni dimurnikan lagi hingga diperoleh satu macam
koloni yang terpisah. Kemudian dilakukan pengecatan Gram dan didapatkan hasil
bakteri berbentuk coccus, tercat ungu dan bergerombol menyerupai anggur.
Sehingga diketahui bakteri tersebut merupakan bakteri coccus dan termasuk Gram
positif. Secara uji labolatorik uji ini dilakukan untuk membedakan Staphylococcus
dengan Streptococcus. Setelah itu dilakukan uji katalase dengan cara mencampur
biakan dengan tetesan hidrogen peroksida 3%. Staphylococcus menghasilkan
enzim katalase (katalase positif) (Foster, 2004; Todar, 2005). Pada kultur yang
menunjukkan katalase positif akan terbentuk O2 dan gelembung udara (Todar,
2005). Dari hasil uji katalase didapatkan hasil positif dengan terbentuknya
gelembung-gelembung, hal ini menandakan bahwa bakteri mampu menghasilkan
enzim katalase. Selanjutnya dilakukan uji koagulase untuk mengetahui produksi
dua macam enzim koagulase yaitu free coagulase dengan uji tabung dan bound
coagulase (clumping factor) dengan uji slide. Pada uji ini diperlukan plasma darah
kelinci sebagai bahannya. Plasma dibuat dengan mencampur darah kelinci sehat
dengan sitrat sebagai antikoagulan dengan perbandingan 1:5, kemudian
disentrifus selama 15 menit sehingga didapatkan cairan bening di bagian atas
sebagai plasma darah. Pada uji bound coagulase, didapatkan hasil positif yaitu
terlihat dari adanya presipitat granuler setelah dilakukan pencampuran biak cair
Staphylococcus aureus dengan plasma kelinci pada kaca benda. Clumping factor
yang terdeteksi pada uji ini terletak pada dinding sel bakteri. Sedangkan untuk uji
free coagulase dilakukan dengan menggunakan uji tabung. Hasil positif didapat
dari uji ini, yaitu dengan terbentuknya clot/gel di dasar tabung. Clot-clot plasma
dari kedua enzim ini mempengaruhi proses konversi prothrombin menjadi
thrombin, yakni dengan mengubah fibrinogen menjadi fibrin (ditandai dengan
adanya clot). Enzim ini berguna pada bakteri saat ia menginfeksi hospes yaitu
untuk menyelimuti permukaan sel bakteri dengan fibrin untuk melindunginya dari
proses fagositosis. Carter et, al., (2004) menyebutkan beberapa strain
Staphylococcus, misalnya S. aureus, S. intermedius dan S. hyicus memberikan
21
hasil positif untuk uji tabung, namun hanya Staphylococcus aureus yang
memberikan hasil positif pada uji slide. Dari kedua uji tersebut didapatkan hasil
positif, hal ini menunjukan bahwa bakteri memiliki bound coagulase (clumping
factor) pada permukaan bakteri dan mampu menghasilkan staphylocoagulase
(Quinn dkk, 2002). Setelah itu dilakukan penanaman pada media Mannitol Salt
Agar (MSA) dan didapatkan hasil bakteri mampu tumbuh dan memfermentasi
mannitol yang ditandai dengan warna koloni dan media berwarna kuning. Hal ini
menunjukan bahwa bakteri mampu menggunakan mannitol sebagai sumber nutrisi
dan dihasilkan asam sebagai produk akhirnya. Adanya asam yang dihasilkan dari
fermentasi mannitol tersebut menyebabkan indikator phenol red berubah menjadi
kuning (Anonim2, 2008).
Pada uji susu lithmus media yang semula berwarna putih berubah warna
menjadi putih kebiruan hal ini menunjukan terjadi alkalinisasi atau konversi
casein dalam susu membentuk ammonia yang ditandai dengan adanya cincin ungu
pada permukaan. Pada uji gula-gula dengan media glukosa, sukrosa, laktosa dan
maltosa, didapatkan hasil media berubah menjadi kekuningan. Hal ini
menunjukkan bahwa bakteri mampu memfermentasi gula-gula. Ajuwape dan
Aregbesola (2001) melaporkan bahwa isolat Staphylococcus aureus dari 108 ekor
kelinci tercatat 100% positif memfermentasi glukosa, mannitol dan sukrosa;
98,1% memfermentasi maltosa serta 89,8% memfermentasi laktosa. Berdasarkan
pemeriksaan Gram positif, berbentuk coccus, koloni bergerombol menyerupai
anggur, katalase positif dan koagulase positif serta mampu memfermentasi
mannitol juga gula-gula (glukosa, sukrosa, laktosa dan maltosa), bakteri tersebut
memiliki sifat karakteristik Staphylococcus aureus (Ajuwape dan Aregbesola,
2001; Foster, 2004; Todar, 2005). Maka dapat disimpulkan bahwa bakteri yang
terisolasi dari pulmo kelinci E 68 adalah Staphylococcus aureus.
Pada kasus ini, keberadaan Staphylococcus aureus dalam pulmo
menunjukkan adanya bakterimia dengan saluran respirasi bagian atas sebagai
jalan masuknya. Abdel-Gwad (2004) menambahkan bahwa secara normal
Staphylococcus aureus dapat diisolasi dari saluran respiratori bagian atas pada
22
kelinci sehat. Sanitasi kandang dan manajemen pemeliharaan yang kurang baik
menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi Staphylococcus aureus.
Penularannya melalui kontak langsung atau benda yang terkontaminasi bakteri.
Selain dapat menyebabkan intoksikasi, Staphylococcus aureus juga dapat
menyebabkan bermacam–macam infeksi seperti meningitis, osteomielitis,
pneumonia dan mastitis pada manusia dan hewan (Todar, 2005). Transmisi
Staphylococcus aureus dapat terjadi melalui kontak langsung melalui aerosol,
pada hewan karier membawa organisme di dalam saluran respirasi bagian atas dan
adanya luka pada kulit (Wilber, 1999). Infeksi bakteri ini kebanyakan bersifat
opportunis dan mengikuti suatu trauma, immunosupresi, infestasi parasit, infeksi
jamur, alergi, atau gangguan endokrin dan metabolik. Staphylococcus aureus
merupakan bakteri pyogenik, sehingga dapat menyebabkan lesi suppuratif pada
tempat infeksi (Quinn dkk, 2002).
23
PATOGENESIS
Patologi
- Dermatitis
- Atelektasis
- Emphysema
- Pneumonia interstitial
- Hepatitis
- Enteritis
Parasitologi
Koksidia (Eimeria media)
Pinjal (Ctenocephalides felis)
Mikrobiologi
Staphylococcus aureus
Patologi klinik
- Anemia mikrositik hipokromik
- Leukositosis- Neutrofilia- Eosinofilia- Anulositosis - Anisositosis
24
Oosista
KELINCI
Hewan stress imunitas menurun
Faktor Prediposisi : sanitasi kandang yang kurang baik,
kelembapan tinggi
Manifestasi klinik : nafsu makan menurun, lemah
Kandang terkontaminasi
Staphylococcus aureus
Pemeriksaan Laboratorik
oosista Eimeria spp infektif termakan
Infeksi sekunder
Infestasi Ctenocephalides felis
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan patologi, parasitologi, patologi klinik dan
mikrobiologi, kelinci dengan nomor protokol E-137 terdiagnosa menderita infeksi
Staphylococcus aureus, koksidiosis dan infestasi Ctenocephalides felis.
Saran
Pengobatan untuk koksidia dilakukan dengan pemberian sulfadimidine
(100-233 mg/L dalam air minum), sulfamerazine (100 mg/kg per oral atau 0,05-
0,15% dalam air minum), sulfamethazine 0,77 g/L dalam air minum atau 0,5-
1,0% dalam pakan) atau sulfaquinoksaline (0,1-0,15% dalam air minum).
Sedangkan untuk pencegahan dapat diberikan sulfaquinosaline 0,02-0,05% dalam
air minum (Carpenter, 2005).
Pengobatan terhadap infestasi pinjal dilakukan dengan pemberian frontline
(fipronil 10%) dan ivermectin 1%. Obat-obatan dapat berupa serbuk atau cairan
untuk disemprotkan atau dimandikan. Kucing dan kelinci yang terdapat banyak
pinjal diobati setiap minggu. Kucing dan kelinci yang sudah bebas perlu diobati
tiap 3 minggu. Obat yang diberikan fenchlorphos 200 mg/kg diberikan peros tiap
3–4 hari sampai populasi pinjal terkendali. Selain itu tergantung pada tingkat
infestasi dan tebalnya rambut. Bila perlu dicukur terlebih dahulu sebelum
dilakukan pengobatan. Lingkungan tempat hewan dipelihara harus dijaga
kebersihannya dan hindari hewan dari pinjal dan tidak membiarkan hewan lewat
ditempat yang terdapat pinjal. Pengobatan dengan menggunakan insektisida
terhadap semua celah atau tempat yang mingkin untuk persembunyian pinjal.
Pengobatan terhadap infeksi bakteri harus mempertimbangkan kepekaan
dan toksisitas terhadap antibiotik tertentu. Antibiotik yang biasa dipakai untuk
25
hewan lain dapat menimbulkan gangguan pada kelinci, misalnya gangguan
jantung, ginjal dan diabetes. Selain itu, mikroflora normal dalam usus kelinci
sangat peka dan rentan terhadap beberapa antibiotik tertentu. Antibiotik yang
aman digunakan adalah tetracycline, trimethropin sulfa, metronidazole,
enrofloxacin dan chloramphenicol. Penggunaan enrofloxacin 5-10 mg/kg per oral
(Carpenter, 2005).
Perbaikan pada manajemen pemeliharaan dan kebersihan kandang serta
memisahkan kelinci yang sakit dengan yang sehat untuk mencegah terjadinya
penularan.
26
DAFTAR PUSTAKA
Abdel-Gwad, A.M., Abdel-Rahman dan Ali. 2004. Significance of Staphylococcus aureus in Rabbits in Assiut Governorate. Ass. Univ. Bull. Environ. Res. Vol. 7 No. 1.
Ajuwape, A.T.P. dan E.A. Aregbesola. 2001. Biochemical Characterization of Staphylococci Isolated from Rabbits. Israel Journal of Veterinary Medicine Vol. 56 (2).
Anonim. 2007. Mannitol Salt Agar. http://encyclopedia. thefreedictionary.com/Mannitol+Salt+Agar. 15 Juni 2010
Anonim1. 2008. Oryctolagus cuniculus. http://www.arkive.org/rabbit/oryctolagus-cuniculus/biology.html. 15 Juni 2010
Anonim2. 2008. Identification of Gram Positive Cocci Staphylococcus.
Benjamin, M.M. 1978. Outline of Veterinary Clinical Pathology. Iowa State University Press. Iowa.
Carpenter, James W. 2005. Exotic Animal Formulary 3th Edition. Elsevier Saunders Inc. Missouri.
Carter, G.R., and D.J. Wise. 2004. Essentials of Veterinary Bacteriology and Mycology, 6th ed. Iowa State Press. Michigan.
Coles, E.H. 1974. Veterinary Clinical Pathology. W. B. Saunders company, Philadelpia, London.
Coles, E.h. 1986. Veterinary Clinical Pathology. Ninth edition. W. B. Saunders company. Philadelphia.
Curnin, D.M., and Bassert, J.M., 2002, Clinical Textbook for Veterinary Technicians. Saunders, Philadelphia.
Feldman, B.F., J.G. Zinkl dan N.C. Jain. 2000. Schalm’s Veterinary Hematology. Lippincott Williams and Wilkins. Philadelphia.
Flynn, R.J, 1973, Parasitology Of Laboratory Animals, The IOWA State University Press.
Foster, T. J. 2004. Staphylococcus. http://www.cehs.siu.edu /fix/medmicro/staph.htm.15 Juni 2010
Harcourt-Brown, Frances. 2002. Textbook of Rabbit Medicine. Butterworth Heinemann. London.
27
Jain, N.C., Schalm, O. W., and Carrol, E.J. 1975. Veterinary Hematology. Third edition. Lea and Febiger, Philadelpia.
Jenkins, J. R. 2005. Coccidia in the intestines, liver, http://www.rabbit.org/chapters/san-diego/health/vet-talk/coccidi.html. 15 Juni 2010
Levine, N.D. 1994. Parasitologi Veteriner. Terjemahan dari Veterinary Parasitology. Cetakan I. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Levine, N.D. 1995. Protozoologi Veteriner. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Mangkoewidjojo, S. dan J.B. Smith. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. UI-Press. Jakarta.
Noble E. R., Noble, G.A, 1989. Parasitologi : Biologi Parasit Hewan Terjemahan dari Parasitology : The Biology of Animal Parasites oleh Wardiarto. Edisi kelima. GMU Press. Yogyakarta.
Quinn, P.J., B.K. Markey, M.E. Carter, W.J.C. Donnelly dan F.C. Leonard. 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science.
Soulsby, E.J.L. 1982. Helminths, Arthopods and Protozoa of Domesticated Animals. The English Language Book Society and Bailliere Tindall. London.
Tislerics, Ati. 2008. Oryctolagus cuniculus European Rabbit. http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Oryctolagus_cuniculus.html. 15 Juni 2010
Todar, K. 2005. Staphylococcus. Todar’s Oneline Textbook of Bacteriology. University of Wisconsin-Madison Departement of Microbiology. http://textbookofbacteriology.net/staph.html. 15 Juni 2010
Urquhart, G.M; Armour,J.;Duncan, J.L; Dunn, A M;Jennings, F. W, 1987. Veterinary Parasitology. English Language Book Sosiety. British.
Wilber, Jo Lynne. 1999. Pathology of The Rabbit. Washington D.C. Departement of Veterinary Pathology Armed Force Institute of Pathology.
Yakhchali, Mohammad ; Tehrani,liasghar, 2007. Eimeriidosis and Pathological Findings in New Zealand White Rabbits, Departement of Pathobology, Pathology Division, Faculty of Veterinarry Medicine Urmia University, Urmia, Iran. J. Biol. Sci., 7(8): 1488-1492.
28