Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

49
TUGAS KELOMPOK 2 KELAS BC MAKALAH PAJAK PENGHASILAN Perlakuan Perpajakan atas Imbalan Pembayaran Gaji, Honorarium dan Imbalan Lain yang Diterima oleh Non PNS/TNI/POLRI yang Menjadi Beban APBN/APBD Universitas Brawijaya Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Magister Akuntansi 2015 State Accountability Revitalization (STAR) BPKP UB Batch 4 Mata Kuliah: ISU-ISU TERKINI DALAM PERPAJAKAN SEKTOR PUBLIK Dosen Pengampu: Idris Effendi, SE, MM KELOMPOK 2 : 1. Muhammad Hafit (NIM. 146020306011020) 2. Haryono Sukamdaru (NIM. 146020306011025)

description

Perlakuan Perpajakan atas Imbalan Pembayaran Gaji, Honorarium dan Imbalan Lain yang Diterima oleh Non PNS/TNI/POLRI yang Menjadi Beban APBN/APBD

Transcript of Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

Page 1: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

TUGAS KELOMPOK 2 KELAS BCMAKALAH PAJAK PENGHASILAN Perlakuan Perpajakan atas Imbalan Pembayaran Gaji, Honorarium dan Imbalan Lain yang Diterima oleh Non PNS/TNI/POLRI yang Menjadi Beban APBN/APBD

Universitas BrawijayaFakultas Ekonomi dan BisnisProgram Magister Akuntansi2015

State Accountability Revitalization (STAR) BPKPUB Batch 4

Mata Kuliah:ISU-ISU TERKINI DALAM

PERPAJAKAN SEKTOR PUBLIK

Dosen Pengampu:Idris Effendi, SE, MM

KELOMPOK 2 :1. Muhammad Hafit

(NIM. 146020306011020)

2. Haryono Sukamdaru

(NIM. 146020306011025)

3. Muhammad Avicinna Dipayana

(NIM. 146020306011026)

Page 2: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL iDAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 11.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 4

1.3 Tujuan 4

BAB II PERATURAN DAN KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN TERKAIT 52.1 Peraturan Perpajakan Terkait 5

2.2 Ketentuan Umum Perpajakan Terkait 6

2.2.1 Pemotong PPh Pasal 21 6

2.2.2 Subyek dan Obyek PPh Pasal 21 6

2.2.3 Dasar Pengenaan Tarif 7

2.2.4 Ketentuan Khusus 10

BAB III TATA CARA PENGHITUNGAN / PEMOTONGAN, PEMBAYARAN / PENYETORAN DAN PELAPORAN 113.1 Tata Cara Penghitungan/Pemotongan 11

3.1.1 Petunjuk Umum Penghitungan 11

3.1.2 Contoh Penghitungan PPh Pasal 21 19

3.2 Tata Cara Pembayaran/Penyetoran 26

3.3 Tata Cara Pelaporan 26

3.3.1 Pengisian SPT dan Bukti Pemotongan 27

BAB IV PENUTUP 294.1 Kesimpulan 29

REFERENSI iii

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik iiKelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 3: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangPajak penghasilan merupakan pajak yang dipungut kepada obyek pajak atas

penghasilan yang diperolehnya. PPh akan selalu dikenakan terhadap orang atau

badan usaha selaku wajib pajak yang memperoleh penghasilan. Setiap perusahaan

jasa maupun non jasa sebagai wajib pajak diwajibkan untuk membayar pajak. Bagi

perusahaan, pajak merupakan sumber pengeluaran (cash disbursment) tanpa adanya

imbalan langsung untuk perusahaan tersebut. Sehingga biasanya banyak perusahaan

melakukan upaya untuk membayar pajak terutangnya sekecil mungkin selama hal

tersebut memungkinkanPada hakekatnya perpajakan di Indonesia ditetapkan

berdasarkan undang-undang, hal ini merupakan pencerminan bagian dari pelaksanaan

tonggak demokrasi dalam hidup berbangsa dan bernegara. Dalam hubungan ini

merupakan suatu realita negara yang merdeka dan berdaulat. Sesuai perjalanan

sejarah perpajakan nasional di Indonesia, tak dapat dipungkiri bahwa dalam

penyusunan kerangka acuan perubahan undang-undang dan peraturan perpajakan

sebagian besar bersumber dari sistem perpajakan warisan kolonial penjajah, terutama

ketika negara Republik Indonesia baru terbentuk. Dalam beberapa dekade terakhir ini

perubahan tersebut telah banyak mengalami perubahan yang bersumber dari sistem

perpajakan negara lain.

Dalam teori ekonomi klasik yang kini masih relevan diterapkan di berbagai

negara menyebutkan bahwa : “salah satu sumber penerimaan negara ialah dari sektor

pajak.” Pernyataan ini tertuang di dalam naskah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23

ayat 2 yang berbunyi sebagai berikut : “segala pajak dipungut berdasarkan undang-

undang demi kepentingan negara dan ditunjukan kesejahteraan rakyat”.

Pajak adalah salah satu alat yang digunakan pemerintah didalam mencapai

tujuan untuk mendapatkan penerimaan baik yang bersifat langsung maupun tidak

langsung dari masyarakat, untuk itu diperlukan adanya kesadaran dari masyarakat

akan kewajiban pajaknya karena pajak yang dikumpul digunakan untuk kepentingan

dan membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat.

Pajak merupakan fenomena umum sebagai sumber penerimaan negara yang

berlaku di berbagai negara. Tiap negara membuat aturan dalam mengenakan dan

memungut pajak di negaranya. Bagi Indonesia, penerimaan pajak sangat besar

perannya dalam mengamankan anggaran negara dalam APBN setiap tahun. Kondisi

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 1Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 4: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

itu tercapai ketika harga minyak bumi berfluktuasi di pasar internasional dalam kurun

waktu yang relatif panjang pada awal dekade 1980-an. Fluktuasi harga tersebut telah

membuat struktur penerimaan negara yang saat itu sangat mengandalkan penerimaan

dari minyak bumi dan gas (migas) tidak bisa diandalkan lagi untuk kesinambungannya.

Dari aspek budgeting, bila penerimaan andalan dari migas tetap di pertahankan, maka

akan merusak tatanan atau struktur penerimaan negara di APBN. Akibatnya,

pembangunan nasional yang telah dilaksanakan dan diprogramkan diberbagai bidang,

dan membutuhkan biaya saat itu, bisa saja tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan

rencana (program pembangunan).

Sumber penerimaan negara dari sektor pajak ada banyak macamnya. Salah

satu adalah pajak penghasilan badan, yaitu pajak penghasilan yang dikenakan kepada

sebuah badan usaha atas penghasilan dan laba usahannya baik dalam negeri maupun

pendapatan diluar negeri. Salah satu kewajiban wajib pajak khususnya wajib pajak

adalah menyelenggarakan pembukuan sebagai suatu proses yang dilakukan secara

teratur untuk menyusun laporan keuangan. Sumber penerimaan negara dari sektor

pajak ada banyak macamnya. Salah satu adalah pajak penghasilan badan, yaitu pajak

penghasilan yang dikenakan kepada sebuah badan usaha atas penghasilan dan laba

usahannya baik dalam negeri maupun pendapatan diluar negeri. Salah satu kewajiban

wajib pajak khususnya wajib pajak adalah menyelenggarakan pembukuan sebagai

suatu proses yang dilakukan secara teratur untuk menyusun laporan keuangan. Dalam

rangka menyukseskan pembangunan nasional, peranan penerimaan pajak sangat

penting dan mempunyai kedudukan yang strategis. Tidak mungkin pemerintah dapat

mengerakkan roda pemerintahan dan pembangunan nasional tanpa adanya dukungan

dana, terutama yang bersumber dari penerimaan pajak. Oleh sebab itu setiap tahun

penerimaan pajak senantiasa diupayakan untuk terus meningkat. Ada tiga unsur yang

menentukan penerimaan pajak, yakni undang-undang perpajakan yang tepat,

kepatuhan serta kesadaran dari Wajib Pajak dan aparat perpajakan yang cakap dan

bersih.

Sistem perpajakan di Indonesia menganut sistem self assesment. Dengan

sistem tersebut Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung sendiri besarnya

pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak. Perhitungan Pajak Penghasilan (PPh)

terutang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan.

Pada tahun 2015 yang baru saja berakhir, dimana terjadinya perlambatan

ekonomi global, Indonesia berhasil mencatatkan pertumbuhan ekonomi 4,7% dan

defisit APBN berada dalam batasan aman. Pencapaian tahun 2015 tentunya menjadi

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 2Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 5: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

fondasi dalam menempuh tahun 2016. Namun, pada APBN 2016, Pemerintah

menetapkan target APBN yang ambisius. Pendapatan negara ditargetkan mencapai

Rp 1.822 triliun dimana sekitar 75% atau Rp 1.360 triliun bersumber dari penerimaan

pajak yang diadministrasikan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Angka ini mengalami

kenaikan hampir 30% dari realisasi tahun 2015. Oleh karena itu, diperlukan upaya

yang berbeda dan luar biasa agar target tersebut dapat dicapai.

PPh Pasal 21 merupakan salah satu PPh yang dikenakan pada Wajib Pajak,

yang pengenaannya dilakukan dengan cara memotong penghasilan yang diterima oleh

Wajib Pajak tersebut dengan jumlah tertentu berdasarkan tarif PPh yang berlaku.

Pemotongan PPh Pasal 21 tersebut dilakukan oleh pihak yang melakukan pembayaran

gaji, upah, honorarium, tunjangan, pensiun dan pembayaran lain, sehubungan dengan

pekerjaan, jasa atau kegiatan. Dalam konteks pembayaran tersebut bersumber dari

APBN maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), maka kewajiban

untuk memotong PPh Pasal 21 menjadi tanggung jawab dari bendahara pemerintah.

Bendahara pemerintah menjadi “perpanjangan tangan” dari DJP dalam menghimpun

penerimaan pajak, khususnya PPh Pasal 21.

Secara umum, berdasarkan subyeknya, ruang lingkup PPh Pasal 21 yang

menjadi tanggung jawab bendahara pemerintah dapat dibagi menjadi dua bagian

besar, yaitu PPh Pasal 21 yang dipotong atas pembayaran gaji, upah, honorarium,

tunjangan dan pembayaran lain, kepada pejabat negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS),

anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), anggota Kepolisian Negara Republik

Indonesia (POLRI), dan pensiunannya. Bagian yang berikutnya adalah PPh Pasal 21

yang dipotong atas atas pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan

pembayaran lain, kepada selain pejabat negara, PNS, anggota TNI, anggota POLRI

dan pensiunannya, atau dengan kata lain PPh Pasal 21 yang dipotong atas

pembayaran kepada pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, orang pribadi yang

berstatus bukan pegawai, dan peserta kegiatan.

Bendahara pemerintah, sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab

melakukan pengelolaan dana APBN/D sekaligus sebagai pihak yang diwajibkan untuk

memotong PPh Pasal 21, diharuskan memiliki pemahaman dan kemampuan terhadap

aspek-aspek perpajakan khususnya PPh Pasal 21 yang dipotong atas pembayaran

kepada pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, orang pribadi yang berstatus

bukan pegawai, dan peserta kegiatan. Pemahaman tersebut meliputi kewajiban secara

umum, yaitu kewajiban untuk mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak dengan identitas

bendahara yang menjalankan kewajiban pemotongan PPh Pasal 21, serta kewajiban

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 3Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 6: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

khusus terkait dengan pemotongan PPh Pasal 21, yaitu menghitung, menyetor atau

membayar, dan melaporkan sehubungan dengan pemotongan PPh Pasal 21. Makalah

ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang memadai bagi bendahara

pemerintah maupun pihak lain yang terkait, atas aspek-aspek pemotongan PPh Pasal

21 yang dipotong atas pembayaran kepada pegawai tidak tetap atau tenaga kerja

lepas, orang pribadi yang berstatus bukan pegawai, dan peserta kegiatan.

1.2 Rumusan MasalahMakalah ini berfokus pada 3 masalah, yaitu:

1. Bagaimana cara perhitungan/pemotongan pajak penghasilan atas Imbalan

Pembayaran Gaji, Honorarium dan Imbalan Lain yang Diterima oleh Non

PNS/TNI/POLRI yang Menjadi Beban APBN/APBD?

2. Bagaimana cara pembayaran/penyetoran pajak penghasilan atas Imbalan

Pembayaran Gaji, Honorarium dan Imbalan Lain yang Diterima oleh Non

PNS/TNI/POLRI yang Menjadi Beban APBN/APBD?

3. Bagaimana cara pelaporan pajak penghasilan atas Imbalan Pembayaran

Gaji, Honorarium dan Imbalan Lain yang Diterima oleh Non

PNS/TNI/POLRI yang Menjadi Beban APBN/APBD?

1.3 TujuanSejalan dengan masalah yang menjadi fokus makalah ini, maka tujuan

penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui cara perhitungan/pemotongan pajak penghasilan atas

Imbalan Pembayaran Gaji, Honorarium dan Imbalan Lain yang Diterima

oleh Non PNS/TNI/POLRI yang Menjadi Beban APBN/APBD,

2. Untuk mengetahui cara pembayaran/penyetoran pajak penghasilan atas

Imbalan Pembayaran Gaji, Honorarium dan Imbalan Lain yang Diterima

oleh Non PNS/TNI/POLRI yang Menjadi Beban APBN/APBD, dan

3. Untuk mengetahui cara pelaporan pajak penghasilan atas Imbalan

Pembayaran Gaji, Honorarium dan Imbalan Lain yang Diterima oleh Non

PNS/TNI/POLRI yang Menjadi Beban APBN/APBD.

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 4Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 7: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

BAB IIPERATURAN DAN KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN TERKAIT

2.1 Peraturan Perpajakan TerkaitSebelum membahas lebih lanjut mengenai teknis, prosedur dan tata cara

dalam pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembayaran kepada pegawai

tidak tetap atau tenaga kerja lepas, orang pribadi yang berstatus bukan pegawai, dan

peserta kegiatan, berikut ini disampaikan peraturan-peraturan yang mendasari dan

terkait dengan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembayaran kepada pegawai tidak

tetap atau tenaga kerja lepas, orang pribadi yang berstatus bukan pegawai, dan

peserta kegiatan. Peraturan tersebut antara lain:

Selanjutnya Mardiasmo (2004) mengatakan bahwa dalam pemberdayaan

pemerintah daerah ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan

keuangan daerah dan anggaran daerah adalah :

(1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

(2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas PenghasilanSehubungan Dengan

Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.

(3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara

Pembayaran dan Penyetoran Pajak.

(4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015 tentang

Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak.

(5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.010/2015 tentang

Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari

Pegawai Harian dan Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang

Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan.

(6) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 32/PJ/2015 tentang Peraturan

Direktur Jenderal Pajak Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan,

Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak

Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan

Orang Pribadi.

(7) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 14/PJ/2013 tentang Bentuk, Isi,

Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 5Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 8: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Serta Bentuk Bukti Pemotongan

Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26.

2.2 Ketentuan Umum Perpajakan Terkait2.2.1 Pemotong PPh Pasal 21

Pada dasarnya, menurut Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 tahun

2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), yang berkewajiban melakukan

pemotongan PPh Pasal 21 adalah pemberi kerja, bendahara pemerintah, dana

pensiun, badan, dan penyelenggara kegiatan. Dalam hal pembayaran yang terkait

dengan APBN/D, khususnya terkait pembayaran kepada pegawai tidak tetap atau

tenaga kerja lepas, orang pribadi yang berstatus bukan pegawai, dan peserta kegiatan,

kewajiban tersebut menjadi tanggung jawab bendahara pemerintah.

2.2.2 Subjek dan Objek PPh Pasal 21Yang menjadi subjek PPh Pasal 21 atau pihak yang penghasilannya dipotong

PPh Pasal 21 dalam makalah ini adalah (sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak

Nomor 32/PJ/2015):

a. Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas, yaitu pegawai yang hanya menerima

penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari

bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan, atau penyelesaian suatu jenis

pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.

b. Orang Pribadi Bukan Pegawai, yaitu orang pribadi selain Pegawai Tetap dan

Pegawai Tidak Tetap/Tenaga Kerja Lepas yang memperoleh penghasilan dengan

nama dan dalam bentuk apapun dari Pemotong PPh Pasal 21 sebagai imbalan

jasa yang dilakukan berdasarkan perintah atau permintaan dari pemberi

penghasilan, yang meliputi:

1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,

akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;

2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang

sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati,

pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;

3. olahragawan;

4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;

5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 6Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 9: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem

aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta

pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;

7. agen iklan;

8. pengawas atau pengelola proyek;

9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi

perantara;

10. petugas penjaja barang dagangan;

11. petugas dinas luar asuransi; dan/atau

12. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan

sejenis lainnya.

c. peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan

dengan keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain:

1. peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga,

seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;

2. peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;

3. peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara

kegiatan tertentu;

4. peserta pendidikan dan pelatihan; atau

5. peserta kegiatan lainnya.

Sedangkan obyek PPh Pasal 21 atau penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21

adalah sebagai berikut (Pasal 5 Perdirjen PER-31/PJ/2015):

a. penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, berupa upah harian,

upah mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang dibayarkan secara

bulanan;

b. imbalan kepada Bukan Pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan

imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan

sehubungan jasa yang dilakukan;

c. imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang

representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama

dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun;

2.2.3 Dasar Pengenaan dan TarifDasar pengenaan atas pemotongan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut

(Pasal 9 Perdirjen PER-31/PJ/2015):

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 7Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 10: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

a. Penghasilan Kena Pajak, yang berlaku bagi:

1. Pegawai Tidak Tetap yang penghasilannya dibayar secara bulanan atau

jumlah kumulatif penghasilan yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender

telah melebihi Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah);

2. Bukan Pegawai yang menerima imbalan yang bersifat berkesinambungan;

b. jumlah penghasilan yang melebihi Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) sehari,

yang berlaku bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang menerima

upah harian, upah mingguan, upah satuan atau upah borongan, sepanjang

penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi

Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah);

c. 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi Bukan

Pegawai yang menerima imbalan yang tidak bersifat berkesinambungan; atau

d. jumlah penghasilan bruto, yang berlaku bagi penerima penghasilan selain

penerima penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan huruf c.

Jumlah penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh penerima penghasilan

yang dipotong PPh Pasal 21 adalah seluruh jumlah penghasilan yang diterima atau

diperoleh dalam suatu periode atau pada saat dibayarkan.

Penghasilan Kena Pajak diatas, diperoleh dengan dari (Pasal 10 ayat (2)

Perdirjen PER-31/PJ/2015): penghasilan bruto dikurangi Penghasilan Tidak Kena

Pajak (PTKP), bagi Pegawai Tidak Tetap; dan 50% (lima puluh persen) dari jumlah

penghasilan bruto dikurangi PTKP per bulan, bagi Bukan Pegawai.

Dalam hal Bukan Pegawai memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21:

a. mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya jumlah

penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar jumlah

pembayaran setelah dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang

dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat

dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang dipekerjakan tersebut maka

besarnya penghasilan bruto tersebut adalah sebesar jumlah yang dibayarkan; atau

b. melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah penghasilan

bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya atas pemberian jasanya saja,

kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara pemberian

jasa dengan material atau barang maka besarnya penghasilan bruto tersebut

termasuk pemberian jasa dan material atau barang.

Dalam hal jumlah penghasilan bruto dibayarkan kepada dokter yang melakukan

praktik di rumah sakit dan/atau klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 8Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 11: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

sebesar jasa dokter yang dibayar oleh pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik

sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau klinik.

Besarnya PTKP per tahun adalah sebagai berikut (Pasal 11 Perdirjen PER-

31/PJ/2015):

a. Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang

pribadi;

b. Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin; dan

c. Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga

sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat,

yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap

keluarga.

Sedangkan PTKP per bulan adalah PTKP per tahun dibagi 12 (dua belas),

sebesar:

a. Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang pribadi;

b. Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak

yang kawin; dan

c. Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota

keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak

angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk

setiap keluarga.

Tarif PPh Pasal 21 yang dikenakan adalah sesuai dengan pasal 17 ayat (1) UU PPh, yaitu:

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta

rupiah)

5%

(lima persen)

di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima

puluh juta rupiah)

15%

(lima belas persen)

di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh

juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00

(lima ratus juta rupiah)

25%

(dua puluh lima

persen)

di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) 30%

(tiga puluh persen)

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 9Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 12: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

2.2.4 Ketentuan KhususKhusus untuk penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas

berlaku ketentuan tambahan sebagai berikut (Pasal 12 Perdirjen PER-31/PJ/2015):

(1) Atas penghasilan bagi Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang tidak

dibayar secara bulanan atau jumlah kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender

belum melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah), berlaku ketentuan sebagai

berikut:

a. tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau

rata-rata penghasilan sehari belum melebihi Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu

rupiah); atau

b. dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-

rata penghasilan sehari melebihi Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah), dan

jumlah sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) tersebut merupakan

jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

(2) Rata-rata penghasilan sehari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rata-

rata upah mingguan, upah satuan, atau upah borongan untuk setiap hari kerja

yang digunakan.

(3) Dalam hal Pegawai Tidak Tetap telah memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1

(satu) bulan kalender melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) maka jumlah

yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar PTKP yang

sebenarnya.

(4) PTKP yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah sebesar

PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya.

(5) PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah

sebesar PTKP per tahun dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) hari.

(6) Dalam hal berdasarkan ketentuan di bidang ketenagakerjaan diatur kewajiban

untuk mengikutsertakan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas dalam

program jaminan hari tua atau tunjangan hari tua, maka iuran jaminan hari tua

atau iuran tunjangan hari tua yang dibayar sendiri oleh Pegawai Tidak Tetap

kepada badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja atau badan

penyelenggara tunjangan hari tua, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 10Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 13: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

BAB IIITATA CARA PENGHITUNGAN/PEMOTONGAN,

PEMBAYARAN/PENYETORAN DAN PELAPORAN

Secara garis besar, tata cara pemotongan PPh Pasal 21 dalam makalah ini

dibagi menjadi tiga bagian atau tahapan, yaitu tata cara pada tahap

penghitungan/pemotongan, tata cara pembayaran/penyetoran dan tata cara pelaporan.

Masing-masing tata cara akan dijelaskan sebagaimana berikut:

3.1 Tata Cara Pengitungan/Pemotongan3.1.1 Petunjuk Umum Penghitungan

A. Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan Penerima Berkala

Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Pegawai Tetap dan penerima pensiun

berkala dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

Penghitungan masa atau bulanan yang menjadi dasar pemotongan PPh

Pasal 21 yang terutang untuk setiap Masa Pajak, yang dilaporkan dalam

SPT Masa PPh Pasal 21, selain Masa Pajak Desember atau Masa Pajak

di mana pegawai tetap berhenti bekerja;

Penghitungan kembali sebagai dasar pengisian Form 1721 Al atau 1721

A2 dan pemotongan PPh Pasal 21 yang terutang untuk Masa Pajak

Desember atau Masa Pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja.

Penghitungan kembali ini dilakukan pada:

bulan di mana pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun;

bulan Desember bagi pegawai tetap yang bekerja sampai akhir tahun

kalender dan bagi penerima pensiun yang menerima uang pensiun

sampai akhir tahun kalender

A.1. Penghitungan Masa atau Bulanan Selain Masa Pajak Desember atau

Masa Pajak di mana pegawai tetap berhenti bekerja:

a. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur

1) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur bagi

Pegawai Tetap

a) Untuk menghitung PPh Pasal 21 atas penghasilan Pegawai

Tetap, terlebih dahulu dihitung seluruh penghasilan bruto

yang diterima atau diperoleh selama sebulan, yang meliputi

seluruh gaji, segala jenis tunjangan dan pembayaran teratur

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 11Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 14: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

lainnya, termasuk uang lembur (overtime) dan pembayaran

sejenisnya.

b) Untuk perusahaan yang masuk program BPJS

Ketenagakerjaan, premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK),

premi Jaminan Kematian (JK), premi Jaminan Hari Tua

(JHT) dan premi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)

yang dibayar oleh pemberi kerja merupakan penghasilan

bagi pegawai. Ketentuan yang sama diberlakukan juga bagi

premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja,

asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa

yang dibayarkan oleh pemberi kerja untuk pegawai kepada

perusahaan asuransi lainnya. Dalam menghitung PPh Pasal

21, premi tersebut digabungkan dengan penghasilan bruto

yang dibayarkan oleh pemberi kerja kepada pegawai.

c) Selanjutnya dihitung jumlah penghasilan neto sebulan yang

diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto

sebulan dengan biaya jabatan, serta iuran pensiun, iuran

Jaminan Hari Tua, dan/atau iuran Tunjangan Hari Tua yang

dibayar sendiri oleh pegawai yang bersangkutan melalui

pemberi kerja kepada Dana Pensiun yang pendiriannya

telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau kepada BPJS

Ketenagakerjaan.

d) Selanjutnya dihitung penghasilan neto setahun, yaitu jumlah

penghasilan neto sebulan dikalikan 12.

e) Dalam hal seorang Pegawai Tetap dengan kewajiban pajak

subjektifnya sebagai Wajib Pajak dalam negeri sudah ada

sejak awal tahun, tetapi mulai bekerja setelah bulan Januari,

maka penghasilan neto setahun dihitung dengan mengalikan

penghasilan neto sebulan dengan banyaknya bulan sejak

pegawai yang bersangkutan mulai bekerja sampai dengan

bulan Desember.

f) Selanjutnya dihitung Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar

penerapan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh, yaitu

sebesar Penghasilan neto setahun pada huruf d) atau e) di

atas, dikurangi dengan PTKP.

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 12Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 15: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

g) Setelah diperoleh PPh terutang dengan menerapkan Tarif

Pasal 17 ayat (1) huruf d UU PPh terhadap Penghasilan

Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf f,

selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 sebulan, yang harus

dipotong dan/atau disetor ke kas negara, yaitu sebesar:

(1) jumlah PPh Pasal 21 setahun atas penghasilan

sebagaimana dimaksud pada huruf a dibagi dengan 12;

atau

(2) jumlah PPh Pasal 21 setahun atas penghasilan

sebagaimana dimaksud pada huruf e dibagi banyaknya

bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana

dimaksud pada huruf e.

h) Apabila pajak yang terutang oleh Pemberi Kerja tidak

didasarkan atas masa gaji sebulan, maka untuk

penghitungan PPh Pasal 21, jumlah penghasilan tersebut

terlebih dahulu dijadikan penghasilan bulanan dengan

mempergunakan faktor perkalian sebagai berikut:

(1) Gaji untuk masa seminggu dikalikan dengan 4;

(2) Gaji untuk masa sehari dikalikan dengan 26.

i) Selanjutnya dilakukan penghitungan PPh Pasal 21 sebulan

dengan cara seperti dalam huruf d) sampai dengan g) di

atas.

j) PPh Pasal 21 atas penghasilan seminggu dihitung

berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan dalam huruf i) dibagi 4,

sedangkan PPh Pasal 21 atas penghasilan sehari dihitung

berdasarkan PPh Pasal 21 sebulan dalam huruf i) dibagi 26.

k) Jika kepada pegawai di samping dibayar gaji bulanan juga

dibayar kenaikan gaji yang berlaku surut (rapel), misalnya

untuk 5 (lima) bulan, maka penghitungan PPh Pasal 21 atas

rapel tersebut adalah sebagai berikut:

(1) rapel dibagi dengan banyaknya bulan perolehan rapel

tersebut (dalam hal ini 5 bulan);

(2) hasil pembagian rapel tersebut ditambahkan pada gaji

setiap bulan sebelum adanya kenaikan gaji, yang sudah

dikenakan pemotongan PPh Pasal 21;

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 13Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 16: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

(3) PPh Pasal 21 atas gaji untuk bulan-bulan setelah ada

kenaikan, dihitung kembali atas dasar gaji baru setelah

ada kenaikan;

(4) PPh Pasal 21 terutang atas tambahan gaji untuk bulan-

bulan dimaksud adalah selisih antara jumlah pajak yang

dihitung berdasarkan huruf c dikurangi jumlah pajak

yang telah dipotong sebagaimana disebut pada angka

(2).

l) Apabila kepada pegawai di samping dibayar gaji yang

didasarkan masa gaji kurang dari satu bulan juga dibayar

gaji lain mengenai masa yang lebih lama dari satu bulan

(rapel) seperti tersebut dalam huruf k), maka cara

penghitungan PPh Pasal 21-nya adalah sesuai dengan yang

telah ditetapkan dalam huruf k dengan memperhatikan

ketentuan dalam huruf h) sampai dengan j).

2) Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Teratur bagi

Penerima Pensiun Berkala

a) Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan

yang diterima atau diperoleh penerima pensiun pada tahun

pertama pensiun adalah sebagai berikut:

(1) terlebih dahulu dihitung penghasilan neto sebulan yang

diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto

dengan biaya pensiun, kemudian dikalikan banyaknya

bulan sejak pegawai yang bersangkutan menerima

pensiun sampai dengan bulan Desember;

(2) penghasilan neto pensiun sebagaimana tersebut pada

nomor (1) ditambah dengan penghasilan neto dalam

tahun yang bersangkutan yang diterima atau diperoleh

dari pemberi kerja sebelum pegawai yang bersangkutan

pensiun sesuai dengan yang tercantum dalam bukti

pemotongan PPh Pasal 21 sebelum pensiun;

(3) untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, jumlah

penghasilan pada nomor (2) tersebut dikurangi dengan

PTKP, dan selanjutnya dihitung PPh Pasal 21 atas

Penghasilan Kena Pajak tersebut;

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 14Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 17: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

(4) PPh Pasal 21 atas uang pensiun dalam tahun yang

bersangkutan dihitung dengan cara mengurangi PPh

Pasal 21 dalam nomor (3) dengan PPh Pasal 21 yang

terutang dari pemberi kerja sebelum pegawai yang

bersangkutan pensiun sesuai dengan yang tercantum

dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebelum

pensiun;

(5) PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan adalah

sebesar PPh Pasal 21 seperti tersebut dalam nomor (4)

dibagi dengan banyaknya bulan sebagaimana dimaksud

dalam nomor (1).

b) Penghitungan PPh Pasal 21 atas uang pensiun bulanan

untuk tahun kedua dan selanjutnya adalah sebagai berikut:

(1) terlebih dahulu dihitung penghasilan neto sebulan yang

diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto

dengan biaya pensiun;

(2) selanjutnya PPh Pasal 21 dihitung dengan cara

penghitungan untuk pegawai tetap pada nomor (1), (3),

dan (4).

b. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan Tidak Teratur bagi

Pegawai Tetap

Penghasilan Tidak Teratur bagi Pegawai Tetap yang meliputi jasa

produksi, tantiem, gratifikasi, bonus, premi, tunjangan hari raya, dan

penghasilan lain semacam itu yang sifatnya tidak tetap dan biasanya

dibayarkan sekali setahun, tidak termasuk lingkup pengelolaan

Bendahara APBN/APBD, sehingga tidak dibahas dalam makalah ini.

A.2. Penghitungan PPh Pasal 21 Terutang Pada Bulan Desember atau Masa

Pajak Tertentu untuk Pegawai Tetap yang Berhenti Bekerja Sebelum

Bulan Desember.

a. Penghitungan PPh Pasal 21 terutang pada bulan Desember atau

bulan tertentu untuk pegawai tetap yang berhenti bekerja sebelum

bulan Desember adalah sebagai berikut:

1) Hitung PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang

diterima atau diperoleh dari pemotong pajak dalam tahun

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 15Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 18: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

kalender yang bersangkutan, baik penghasilan yang teratur

maupun yang tidak teratur.

2) PPh Pasal 21 terutang yang harus dipotong untuk bulan

Desember atau bulan tertentu untuk Pegawai Tetap yang

berhenti bekerja sebelum bulan Desember adalah sebesar

selisih antara PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan

teratur dan tidak teratur yang diterima dari pemotong pajak

dalam tahun kalender yang bersangkutan, sebagaimana

dimaksud dalam nomor 1), dengan PPh Pasal 21 yang telah

dipotong dalam tahun kalender yang bersangkutan sampai

dengan bulan sebelumnya.

3) Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong sampai

dengan bulan sebelumnya tersebut lebih besar daripada PPh

Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan teratur dan tidak

teratur yang diterima dari pemotong pajak dalam tahun kalender

yang bersangkutan, misalnya dalam hal pegawai berhenti

bekerja pada pertengahan tahun, atas kelebihan pemotongan

PPh Pasal 21 tersebut dikembalikan kepada Pegawai Tetap

yang berhenti bekerja bersamaan dengan pemberian bukti

pemotongan PPh Pasal 21. Atas kelebihan pemotongan PPh

Pasal 21 untuk Pegawai Tetap yang bersangkutan, pemotong

pajak dapat memperhitungkan dengan PPh Pasal 21 terutang

atas penghasilan Pegawai Tetap lainnya dalam Masa Pajak yang

sama, sehingga jumlah PPh Pasal 21 yang harus disetor oleh

pemotong pajak untuk Masa Pajak tersebut telah

mempertimbangkan jumlah kelebihan pemotongan PPh Pasal 21

yang telah diberikan oleh pemotong pajak kepada Pegawai

Tetap yang berhenti bekerja.

b. Perhitungan PPh Pasal 21 terutang atas seluruh penghasilan yang

diterima atau diperoleh dari pemotong pajak dalam tahun kalender

yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a

adalah sebagai berikut:

1) Untuk Pegawai Tetap yang kewajiban pajak subjektifnya sudah

ada sejak awal tahun, namun mulai bekerja setelah bulan

Januari atau berhenti bekerja sebelum bulan Desember, PPh

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 16Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 19: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan jumlah seluruh

penghasilan yang diterima atau diperoleh, baik yang bersifat

teratur maupun tidak teratur, selama Pegawai Tetap yang

bersangkutan bekerja pada pemotong pajak.

2) Sedangkan untuk Pegawai Tetap yang kewajiban pajak

subjektifnya baru dimulai setelah bulan Januari atau berakhir

sebelum bulan Desember, PPh Pasal 21 terutang dihitung

berdasarkan jumlah seluruh penghasilan yang diterima atau

diperoleh, baik yang bersifat teratur maupun tidak teratur, yang

disetahunkan

B. Penghitungan PPh Pasal 21 untuk Pegawai Tidak Tetap Atau Tenaga Kerja

Lepas

B.1. Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon

Pegawai yang Menerima Upah Harian, Upah Mingguan, Upah Satuan,

Upah Borongan, Uang Saku Harian atau Mingguan

a. Tentukan jumlah upah/uang saku harian, atau rata-rata upah/uang

saku yang diterima atau diperoleh dalam sehari:

1) upah/uang saku mingguan dibagi banyaknya hari bekerja dalam

seminggu

2) upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang

dihasilkan dalam sehari

3) upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk

menyelesaikan pekerjaan borongan.

b. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku

harian belum melebihi Rp300.000,00, dan jumlah kumulatif yang

diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang bersangkutan

belum melebihi Rp3.000.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang

harus dipotong.

c. Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku

harian telah melebihi Rp300.000,00, dan sepanjang jumlah kumulatif

yang diterima atau diperoleh dalam bulan kalender yang

bersangkutan belum melebihi Rp3.000.000,00, maka PPh Pasal 21

yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-

rata upah/uang saku harian setelah dikurangi Rp300.000,00, dikalikan

5%.

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 17Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 20: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

d. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam

bulan kalender yang bersangkutan telah melebihi Rp3.000.000,00 dan

kurang dari Rp8.200.000,00, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong

adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku

harian setelah dikurangi PTKP sehari, dikalikan 5%.

e. Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam

satu bulan kalender telah melebihi Rp8.200.000,00, maka PPh Pasal

21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU

PPh atas jumlah upah bruto dalam satu bulan yang disetahunkan

setelah dikurangi PTKP, dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong

adalah sebesar PPh Pasal 21 hasil perhitungan tersebut dibagi 12.

B.2. Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, Pemagang dan Calon

Pegawai yang Menerima Upah yang Dibayarkan Secara Bulanan: PPh

Pasal 21 dihitung dengan menerapkan Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU

PPh atas jumlah upah bruto yang disetahunkan setelah dikurangi PTKP,

dan PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar PPh Pasal 21

hasil perhitungan tersebut dibagi 12.

C. Penghitungan PPh Pasal 21 Bagi Orang Pribadi yang Berstatus Bukan

Pegawai

C.1.Pemotongan PPh Pasal 21 bagi orang pribadi dalam negeri bukan

pegawai, atas imbalan yang bersifat berkesinambungan

a. Bagi yang telah memiliki NPWP dan hanya memperoleh penghasilan

dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh

Pasal 26 serta tidak memperoleh penghasilan lainnya.

PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1)

huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif penghasilan kena pajak dalam

tahun kalender yang bersangkutan. Besarnya penghasilan kena pajak

adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan

bruto dikurangi PTKP per bulan.

b. Bagi yang tidak memiliki NPWP atau memperoleh penghasilan lainnya

selain dari hubungan kerja dengan Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau

PPh Pasal 26 serta memperoleh penghasilan lainnya.

PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1)

huruf a UU PPh atas jumlah kumulatif 50% (lima puluh persen) dari

jumlah penghasilan bruto dalam tahun kalender yang bersangkutan.

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 18Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 21: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

C.2.Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi Orang Pribadi Dalam Negeri Bukan

Pegawai, atas Imbalan yang Tidak Bersifat Berkesinambungan.

PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a

UU PPh atas 50% (lima puluh persen) dari jumlah penghasilan bruto.

C.3.Dalam hal bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan

angka 2 adalah dokter yang melakukan praktik di rumah sakit dan/atau

klinik maka besarnya jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jasa

dokter yang dibayarkan pasien melalui rumah sakit dan/atau klinik

sebelum dipotong biaya-biaya atau bagi hasil oleh rumah sakit dan/atau

klinik.

C.4.Dalam hal bukan pegawai sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan

angka 2 memberikan jasa kepada Pemotong PPh Pasal 21:

a. mempekerjakan orang lain sebagai pegawainya maka besarnya

jumlah penghasilan bruto adalah sebesar jumlah pembayaran setelah

dikurangi dengan bagian gaji atau upah dari pegawai yang

dipekerjakan tersebut, kecuali apabila dalam kontrak/perjanjian tidak

dapat dipisahkan bagian gaji atau upah dari pegawai yang

dipekerjakan tersebut maka besarnya penghasilan bruto tersebut

adalah sebesar jumlah yang dibayarkan;

b. melakukan penyerahan material atau barang maka besarnya jumlah

penghasilan bruto hanya atas pemberian jasanya saja, kecuali

apabila dalam kontrak/perjanjian tidak dapat dipisahkan antara

pemberian jasa dengan penyerahan material atau barang.

D. Penghitungan PPh Pasal 21 Bagi Peserta Kegiatan

PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU

PPh atas jumlah penghasilan bruto untuk setiap kali pembayaran yang

bersifat utuh dan tidak dipecah, yang diterima oleh peserta kegiatan.

3.1.2 Contoh Penghitungan PPh Pasal 21A. Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 Terhadap Penghasilan Pegawai

Tetap

1. Dengan Gaji Bulanan

a. Amalia pada tahun 2016 bekerja pada Universitas Brawijaya sebagai

Pegawai Tetap Non PNS dengan memperoleh gaji sebulan

Rp3.750.000,00 dan membayar iuran pensiun sebesar Rp 100.000,00.

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 19Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 22: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

Amalia belum menikah. Pada bulan Januari penghasilan Amalia dari

Universitas Brawijaya hanya dari gaji. Penghitungan PPh Pasal 21

bulan Januari adalah sebagai berikut:

Gaji Rp 3.750.000,00

Pengurangan:1. Biaya jabatan:

5% x Rp3.750.000,002. Iuran pensiun

Rp

Rp

187.500,00

100.000,00Rp (287.500,00)

Penghasilan neto sebulan Rp 3.462.500,00

Penghasilan neto setahun12 x Rp3.462.500,00

Rp 41.550.000,00

PTKP (TK/0)- Untuk WP sendiri Rp (36.000.000,00)Penghasilan Kena Pajak Setahun

Rp 5.550.000,00

PPh Pasal 21 Terutang5% x Rp5.550.000,00 Rp 277.500,00

PPh Pasal 21 Bulan JanuariRp277.500,00 : 12 Rp 23.125,00

Catatan:

1) Biaya Jabatan adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan

memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan

setiap orang yang bekerja sebagai Pegawai Tetap tanpa

memandang mempunyai jabatan ataupun tidak.

2) Contoh di atas berlaku apabila pegawai yang bersangkutan sudah

memiliki NPWP. Dalam hal pegawai yang bersangkutan belum

memiliki NPWP, maka jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong

pada bulan Januari adalah sebesar: 120% x Rp 23.125,00 =

Rp27.750,00.

3) Untuk contoh-contoh selanjutnya diasumsikan penerima

penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 sudah memiliki NPWP,

kecuali disebut lain dalam contoh tersebut.

b. Sejak Bulan Februari tahun 2016, Ifana bekerja pada Dinas

Komunikasi dan Informatika sebagai Pegawai Tetap Non PNS dengan

memperoleh gaji sebulan Rp3.500.000,00 dan membayar iuran

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 20Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 23: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

pensiun sebesar Rp 100.000,00. Status Ifana adalah menikah tanpa

anak. Berdasarkan surat keterangan dari pemerintah daerah tempat

Ifana berdomisili, diketahui bahwa suaminya tidak mempunyai

penghasilan apapun. Pada bulan Juli tahun 2016 selain menerima

pembayaran gaji, Ifana juga menerima pembayaran lembur (overtime)

sebesar Rp1.200.000,00. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Juli tahun

2016 adalah sebagai berikut:

Gaji Rp 3.500.000,00Lembur (overtime) Rp 1.200.000,00Penghasilan Bruto Rp 4.700.000,00

Pengurangan:1. Biaya jabatan:

5% x Rp4.700.000,002. Iuran pensiun

Rp

Rp

235.000,00

100.000,00Rp (335.000,00)

Penghasilan neto sebulan Rp 4.365.000,00

Penghasilan neto setahun12 x Rp4.365.000,00

Rp 52.380.000,00

PTKP (TK/0)- Untuk WP sendiri- Tambahan karena

kawin

RpRp

36.000.000,003.000.000,00

Rp (39.000.000,00)Penghasilan Kena Pajak Setahun

Rp 13.380.000,00

PPh Pasal 21 Terutang5% x Rp13.380.000,00 Rp 669.000,00

PPh Pasal 21 Bulan JanuariRp669.000,00 : 12

Rp 55.750,00

B. Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 terhadap Penghasilan Pegawai

Harian, Tenaga Harian Lepas, Penerima Upah Satuan dan Penerima Upah

Borongan

1. Dengan Upah Harian

a. Bintang dengan status belum menikah pada bulan Januari Tahun

2016 bekerja sebagai mandor pada proyek swakelola pemeliharaan

jalan dan jembatan Pemerintah Kota Malang yang dilakukan oleh

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 21Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 24: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Pengawasan Bangunan.

Bintang bekerja selama 10 hari dan mendapatkan upah harian

sebesar Rp300.000,00. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan Januari

tahun 2016 adalah sebagai berikut:

Upah sehari Rp 300.000,00Dikurangi:Batas upah harian Rp 300.000,00

Rp 0,00

PPh Pasal 21 dipotong atas upah sehari Rp 0,00

Sampai dengan hari ke-10, karena jumlah kumulatif upah yang

diterima belum melebihi Rp3.000.000,00 maka tidak ada PPh Pasal

21 yang dipotong.

Pada hari ke-11 jumlah kumulatif upah yang diterima melebihi

Rp3.000.000,00, maka PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan

upah setelah dikurangi PTKP yang sebenarnya.

Upah s.d hari ke-11(Rp300.000,00 x 11)

Rp 3.300.000,00

PTKP sebenarnya:11 x (Rp36.000.000,00 : 360) Rp (1.100.000,00)

Rp 2.200.000,00

PPh Pasal 21 terutang s.d. hari ke-11(5% x Rp2.200.000,00)PPh Pasal 21 yang telah dipotong s.d. hari ke-10

RpRp

110.000,000,00

PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-11

Rp 110.000,00

Sehingga pada hari ke-11, upah bersih yang diterima Bintang

sebesar:

Rp300.000,00 – Rp110.000,00 = Rp190.000,00

Misalkan Bintang bekerja selama 12 hari, maka penghitungan PPh

Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-12 adalah sebagai

berikut:

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 22Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 25: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

Upah sehari Rp 300.000,00

PTKP sehari:- Untuk WP sendiri (Rp36.000.000,00 : 360) Rp 100.000,00

Rp 200.000,00

PPh Pasal 21 terutang pada hari ke-12(5% x Rp200.000,00)

Rp 10.000,00

Sehingga pada hari ke-12, Bintang menerima upah sebesar:

Rp300.000,00 – Rp10.000,00 = Rp290.000,00

b. Cahyo Pamungkas (belum menikah) pada bulan Maret 2016 bekerja

pada proyek swakelola pembangunan jaringan internet Kota Malang

yang dikelola oleh Dinas Komunikasi dan Informatika, dengan upah

harian sebesar Rp500.000,00. Penghitungan PPh Pasal 21 bulan

yang bersangkutan adalah sebagai berikut:

Upah sehari di atas Rp300.000,00 adalah:(Rp500.000,00 – Rp300.000,00)

Rp 200.000,00

PPh Pasal 215% x Rp200.000,00 Rp 10.000,00

Pada hari ke-7 dalam bulan kalender yang bersangkutan, Cahyo

Pamungkas telah menerima penghasilan sebesar Rp3.500.000,00,

sehingga telah melebihi Rp3.000.000,00. Dengan demikian PPh

Pasal 21 atas penghasilan Cahyo Pamungkas pada bulan Maret

2016 dihitung sebagai berikut:

Upah 7 hari kerja(7 x Rp500.000,00)

Rp 3.500.000,00

PTKP7 x (Rp36.000.000,00 : 360) Rp (700.000,00)

Rp 2.800.000,00

PPh Pasal 21:5% x Rp2.800.000,00

Rp 140.000,00

PPh Pasal 21 yang telah dipotong s.d. hari ke-6 Rp (60.000,00)PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-7

Rp 80.000,00

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 23Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 26: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

Jumlah sebesar Rp80.000,00 ini dipotongkan dari upah harian

sebesar Rp500.000,00 sehingga upah yang diterima Cahyo

Pamungkas pada hari kerja ke-7 adalah:

Rp 500.000,00 - Rp 80.000,00 = Rp 420.000,00

Pada hari kerja ke-8 dan seterusnya dalam bulan kalender yang

bersangkutan, jumlah PPh Pasal 21 per hari yang dipotong adalah:

Upah sehari Rp 500.000,00

PTKP sehari:- Untuk WP sendiri (Rp36.000.000,00 : 360) Rp 100.000,00

Rp 400.000,00

PPh Pasal 21 terutang pada hari ke-12(5% x Rp400.000,00)

Rp 20.000,00

2. Dengan Upah Satuan

Dante adalah seorang tukang mebel. Dinas Pendidikan Kota Malang

mempunyai proyek swakelola pengadaan meja untuk siswa sekolah, dan

menggunakan jasa Dante sebagai tukang mebel yang dibayar

berdasarkan jumlah meja siswa yang telah jadi. Upah yang diterima

Dante untuk setiap meja yang telah jadi adalah sebesar Rp300.000,00

dan dibayarkan tiap minggu. Dalam satu minggu (6 hari kerja), Dante

menyelesaikan 8 buah meja siswa dengan upah Rp2.400.000,00.

Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:

Upah sehari(Rp2.400.000,00 : 6) Rp 400.000,00

Upah sehari di atas Rp300.000,00 adalah:(Rp400.000,00 – Rp300.000,00) Rp 100.000,00

Upah seminggu terutang pajak:6 x Rp100.000,00 Rp 600.000,00

PPh Pasal 21 (mingguan)5% x Rp600.000,00 Rp 30.000,00

3. Dengan Upah Borongan

Mirah mengerjakan disain interior kantor Sekretaris Daerah Kota Malang

dengan upah borongan sebesar Rp2.500.000,00, pekerjaan diselesaikan

dalam 4 hari. Penghitungan PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 24Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 27: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

Upah sehari(Rp2.500.000,00 : 4) Rp 625.000,00

Upah sehari di atas Rp300.000,00 adalah:(Rp625.000,00 – Rp300.000,00) Rp 325.000,00

Upah borongan terutang pajak:4 x Rp325.000,00 Rp 1.300.000,00

PPh Pasal 215% x Rp1.300.000,00 Rp 65.000,00

C. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang Diterima oleh Bukan

Pegawai

1. Penghitungan PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang Diterima oleh Bukan

Pegawai yang Menerima Penghasilan yang Tidak Bersifat

Berkesinambungan

Joko melakukan jasa perbaikan peralatan medis pada Dinas Kesehatan

Kota Malang dengan bayaran sebesar Rp8.000.000,00. Penghitungan

PPh Pasal 21 adalah sebagai berikut:

Besarnya PPh Pasal 21 terutang adalah sebesar:5% x 50% x Rp8.000.000,00

Rp 200.000,00

Dalam hal Joko tidak memiliki NPWP maka besarnya PPh Pasal 21 yang

terutang menjadi sebesar:

120% x 5% x 50% x Rp8.000.000,00 = Rp240.000,00

D. Penghitungan Pemotongan PPh Pasal 21 atas Penghasilan yang Diterima

Peserta Kegiatan

Hendra adalah seorang atlet bulu tangkis yang mengikuti Pekan Olah Raga

Daerah (PORDA) Jawa Timur Tahun 2015. Di akhir kejuaraan, Hendra berhasil

mengalahkan semua lawannya dan menjadi juara cabang olah raga bulu

tangkis tunggal pria, dan menerima hadiah sebesar Rp75.000.000,00. PPh

Pasal 21 yang terutang atas hadiah kejuaraan tersebut adalah:

5% x Rp50.000.000,0015% x Rp25.000.000,00

RpRp

2.500.000,003.750.000,00

PPh Pasal 21 yang terutang Rp 6.250.000,00

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 25Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 28: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

3.2 Tata Cara Pembayaran/PenyetoranSetelah proses rekapitulasi penghitungan dan pemotongan pajak PPh pasal 21

atas penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, imbalan kepada

Bukan Pegawai, dan imbalan kepada Peserta Kegiatan, selanjutnya bendahara

pemerintah setiap akhir bulan kalender berkewajiban membayar atau menyetorkannya

pajak yang terhutang ke Bank Persepsi / Kantor Pos, paling lama tanggal 10 bulan

berikutnya, atau 10 hari setelah Masa Pajak berakhir dan melaporkan paling lama

tanggal 20 bulan berikutnya atau 20 hari setelah Masa Pajak berakhir, sesuai dengan

ketentuan PMK 242 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembayaran atau Penyetoran

Pajak pasal 2 ayat 6 dan Perdirjen No 32/PJ/2015 tentang Pedoman teknis Tata Cara

Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan atau 26

sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa dan Kegiatan Orang Pribadi.

Beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan kewajiban pembayaran

atau penyetoran dan pelaporan pajak yang telah dipotong apabila pada saat jatuh

tempo pembayaran atau penyetoran atau pelaporan pajak bertepatan dengan hari libur

(hari Sabtu/Minggu, hari libur nasional atau cuti bersama nasional), maka pembayaran

atau penyetoran pajak dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya.

Tempat dan sarana pembayaran dan penyetoran pajak secara umum dilakukan

ke Kas Negara menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain

yang disamakan dengan SSP melalui:

a. layanan pada loket/teller

b. layanan dengan menggunakan Sistem Elektronik lainnya

pada Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang

Asing.

Hal lain yang perlu diperhatikan terkait dengan pembayaran atau penyetoran

pajak yang telah dipotong dan dipungut adalah SSP atau sarana administrasi lain

dianggap sah apabila telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Pajak

(NTPN).

Bendahara pemerintah selaku pemotong PPh Pasal 21 memberikan tanda bukti

pemotongan atau tanda bukti pemungutan kepada orang pribadi atau badan yang

dipotong atau dipungut PPh setiap melakukan pemotongan atau pemungutan.

3.3 Tata Cara PelaporanSetelah proses rekapitulasi penghitungan dan pemotongan pajak PPh pasal 21

atas penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, orang pribadi yang

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 26Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 29: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

berstatus bukan pegawai, selanjutnya bendahara pemerintah selaku pemotong PPh

Pasal 21 membuat/mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dan bukti potong sebagai

sarana admistrasi untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan

jumlah pajak yang terhutang/wajib bayar. Tata cara pengisian dan penyampaian SPT

Masa serta Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 telah diatur dalam Perdirjen No

14/PJ/2013.

SPT masa PPh Pasal 21 yang dipotong (atas penghasilan pegawai tidak tetap

atau tenaga kerja lepas, orang pribadi yang berstatus bukan pegawai, dan peserta

kegiatan) dapat disampaikan dalam bentuk Formulir Kertas (hard copy) dengan cara

langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan

Konsultasi Perpajakan (KP2KP), melalui Pos dengan bukti pengiriman surat ke KPP,

melalui perusahaan jasa ekspedisi dengan bukti pengiriman surat ke KPP atau melalui

e-Filing yang merupakan suatu cara penyampaian e-SPT yang dilakukan secara on-

line yang real time melalui website Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id) atau

Penyedia Jasa Aplikasi atau Application Service Provider (ASP).

Bendahara pemerintah selaku pemotong PPh Pasal 21 secara umum baik PPh

final maupun tidak final yang telah menyampaikan SPT Masa PPh nya dalam bentuk

e-SPT tidak diperbolehkan lagi menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dalam bentuk

formulir kertas (hardcopy) untuk masa-masa pajak berikutnya.

Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 wajib menggunakan e-SPT apabila jumlah

bukti pemotongan dan/atau SSP dan/atau bukti Pbk lebih dari 20 dokumen dalam satu

masa pajak.

3.3.1 Pengisian SPT dan Bukti PemotonganTahap 1.

Untuk pengisian Formulir SPT PPh Pasal 21 untuk pegawai tidak tetap atau tenaga

kerja lepas, orang pribadi yang berstatus bukan pegawai, dan peserta kegiatan, secara

umum menggunakan Formulir 1721 sebagai induk SPT PPh Pasal 21, meski jenis

pekerjaan dan profesinya beragam, namun dalam Formulir 1721 pada objek pajak

antara lain:

1. Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas (Kode Objek Pajak 21-100-03)

2. Orang pribadi yang berstatus bukan pegawai, yang dikelompokkan dalam 6

(enam) kategori, yakni:

a. Imbalan Distributor MLM (Kode Objek Pajak 21-100-04);

b. Imbalan Petugas Dinas Luar Asuransi (Kode Objek Pajak 21-100-05);

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 27Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 30: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

c. Imbalan kepada Penjaja Barang Dagangan (Kode Objek Pajak 21-100-06);

d. Imbalan kepada Tenaga Ahli (Kode Objek Pajak 21-100-07);

e. Imbalan kepada Bukan Pegawai yang Bersifat Berkesinambungan (Kode Objek

Pajak 21-100-08); dan

f. Imbalan kepada Bukan Pegawai yang Tidak Bersifat Berkesinambungan (Kode

Objek Pajak 21-100-09).

3. Peserta Kegiatan (Kode Objek Pajak 21-100-13)

Tahap 2.

Terhadap pemotongan PPh Pasal 21 bukan pegawai ini dibuatkan Daftar Bukti

Pemotongan PPh Pasal 21 (tidak final) pada lampiran 1721-II diisi berdasarkan hasil

rekapitulasi perhitungan pajak PPh 21 nya sesuai dengan rumus dan formula

perhitungannya, kemudian formulir ini digunakan untuk melaporkan pemotongan PPh

dengan bukti menggunakan formulir 1721-VI

Bendahara pemerintah selaku pemotong PPh Pasal 21 wajib melaporkan

pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan

melalui penyampaian SPT Masa PPh Pasal21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat

Pemotong PPh Pasal 21 terdaftar, paling lama 20 (duapuluh) hari setelah Masa Pajak

berakhir.

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 28Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 31: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

BAB IVPENUTUP

4.1 KesimpulanSecara umum, pemotongan PPh Pasal 21 atas pembayaran gaji, upah,

honorarium, tunjangan dan pembayaran lain, kepada pegawai tidak tetap atau tenaga

kerja lepas, orang pribadi yang berstatus bukan pegawai, dan peserta kegiatan, tidak

jauh berbeda dengan pemotongan PPh Pasal 21 atas pembayaran kepada pejabat

negara, PNS, anggota TNI, anggota POLRI dan pensiunannya. Dalam hal tata cara

penghitungan, tarif PPh Pasal 21 yang digunakan sama-sama menggunakan tarif PPh

Pasal 17 UU PPh. PTKP yang digunakan juga sama-sama mengacu pada PTKP yang

berlaku, yaitu sesuai PTKP terbaru berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

122/PMK.010/2015. Namun, dalam penghitungannya, diperkenalkan PTKP per bulan

dan PTKP per hari, untuk mengakomodasi pembayaran yang tidak tetap secara

bulanan, mingguan, harian, satuan atau borongan.

Yang membedakan dalam penghitungan PPh Pasal 21 adalah penetapan

Penghasilan Kena Pajak bagi Bukan Pegawai dan batas penghasilan Pegawai Tidak

Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang dilakukan pemotongan atau tidak dilakukan

pemotongan PPh Pasal 21. Penghasilan Kena Pajak bagi Bukan Pegawai ditentukan

sebesar 50% dari jumlah penghasilan bruto. Atas penghasilan bagi Pegawai Tidak

Tetap atau Tenaga Kerja Lepas yang tidak dibayar secara bulanan atau jumlah

kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi Rp 3.000.000,00 (tiga juta

rupiah), tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau

rata-rata penghasilan sehari belum melebihi Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah).

Sedangkan dalam hal pembayaran atau penyetoran dan pelaporan atas

pemotongan PPh Pasal 21, tata cara dan prosedurnya sama dengan pemotongan PPh

Pasal 21 pada umumnya.

4.2 SaranDidasari atas beberapa kesimpulan di atas, maka disarankan kepada para

pengambilan kebijakan di Kota Probolinggo untuk mempertimbangkan kondisi yang

terjadi di Kota Probolinggo dalam pengelolaan keuangan daerah sebagai berikut:

(1) Dalam mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui

peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat,

pembangunan daerah wajib mempertimbangkan pengelolaan keuangan

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 29Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 32: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

daerah yang bersifat holistic dengan mengacu dan mempertimbangkan

arah kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi Jawa Timur;

(2) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai buah dari

bentuk kesepakatan dan kerjasama antara DPRD Kota Probolinggo dan

Pemerintah Kota Probolinggo harus dilaksanakan secara konsisten

sehingga arah perencanaan yang dimaksudkan dapat terwujud dengan

pelaksanaan APBD yang komprehensif, terpadu, tepat waktu dan

akuntabel;

(3) Upaya peningkatan pendapatan daerah tetap harus dilakukan, namun tetap

dengan mempertimbangan situasi dan kondisi daerah, utamanya kondisi

perekonomian masyarakat Probolinggo, sehingga tidak menjadi bumerang

dalam pencapaian tujuan pembangunan daerah itu sendiri yang

diantaranya adalah mewujudkan masyarakat Kota Probolinggo yang

mandiri, berdikari dan mempunyai daya saing;

(4) Efisiensi belanja daerah tetap harus digalakkan dengan mengurangi

belanja operasional yang konsumtif serta menyederhanakan belanja

aparatur sehingga dapat efisiensi belanja daerah itu sendiri dapat tercapai.

Dalam penganggaran alokasi belanja langsung, belanja barang dan jasa

dan belanja modal agar dikondisikan berpengaruh langsung terhadap

perbaikan layanan publik dan penyediaan sarana dan prasarana publik

yang mendukung percepatan ekonomi Kota Probolinggo.

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik 30Kelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB

Page 33: Makalah Kelompok 2 (PPh 21 Bagi Non PNS)

REFERENSI

Direktorat Jenderal Pajak. (2013). Bendahara Mahir Pajak. (Tim Penyusun Direktorat Peraturan Perpajakan II, Ed.) (Edisi Revi.). Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak.

Direktorat Jenderal Pajak. (2013). Oasis Pemotongan/Pemungutan PPh. (Tim Penyusun Direktorat Peraturan Perpajakan II, Ed.) (Edisi Revi.). Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak.

Referensi PeraturanUndang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan

Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa,

dan Kegiatan Orang Pribadi

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara

Pembayaran dan Penyetoran Pajak

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.010/2015 tentang Penyesuaian

besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/PMK.010/2015 tentang Penetapan Bagian

Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan

Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan

Pemotongan Pajak Penghasilan

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 32/PJ/2015 tentang Peraturan Direktur

Jenderal Pajak Tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran

dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal

26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 14/PJ/2013 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara

Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan

Pasal 21 dan/atau Pasal 26 Serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan

Pasal 21 dan/atau Pasal 26

Isu-isu Terkini dalam Perpajakan Sektor Publik iiiKelompok 2 Kelas BC PMA STAR BPKP Batch 4 UB