MAKALAH KEL 5. JIWA AL FARABI.docx

15
MAKALAH FILSAFAT ILMU PEMIKIRAN AL-FARABI MENGENAI TEORI JIWA DISUSUN OLEH: FARIZA RESTI FITRIA HERLIANA PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

Transcript of MAKALAH KEL 5. JIWA AL FARABI.docx

MAKALAH FILSAFAT ILMUPEMIKIRAN AL-FARABI MENGENAI TEORI JIWA

DISUSUN OLEH:FARIZA RESTIFITRIA HERLIANA

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN FISIKAFAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

BAB IPENDAHULUANA. LATAR BELAKANGSebagai makhluk yang di anggap sempurna dibumi ini, manusia bukan berarti tidak memiliki kekurangan. Manusia memiliki kelebihan dan kekurangan, tetapi dibalik kelebihan dan kekurangannya, manusia merupakan mahluk yang penuh dengan misteri. Tidak heran jika timbul banyak pemikiran tentang manusia dalam segala aspek. Salah satunya pemikiran bahwa manusia tidak hanya terdiri dari satu unsur saja. Di dalam dirinya, manusia memiliki substansi yang pokok yaitu jiwa. Jiwa merupakan unsur rohani di samping unsur jasmani. Jiwa merupakan gambaran eksistensi manusia yang kemudian diimplementasikan dengan raga atau badan. Jiwa merupakan unsur yang halus dan tidak dapat ditangkap oleh indra(mata).Pemahaman tentang jiwa pada manusia merupakan salah satu bagian dari kajian filsafat. Banyak filsuf yang menyampaikan pendapatnya mengenai jiwa sesuai dengan pemikirannya masing-masing. Diantaranya adalah filsuf Yunani dan filsuf Islam, termasuk Al-Farabi seorang filsuf Islam yang menyatukan dua pendapat filsuf Yunani mengenai pemikiran tentang jiwa. Walaupun Al-Farabi mencangkok pemikiran para filsuf Yunani tetapi dalam substansinya berbeda. Dimana Al-Farabi lebih islami dan sesuai dengan Al-Quran. Kenyataan yang tidak dapat dinyalahi bahwa persoalan jiwa adalah salah satu rahasia Tuhan yang ada pada diri hamba-Nya, ia hadir menjadi teka-teki yang belum terpecahkan secara sempurna, tetapi menimbulkan banyak pendapat. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai jiwa, maka dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai jiwa dalam filsafat Islam, khususnya menurut pemikiran Al-Farabi.B. RUMUSAN MASALAHPokok permasalahan dalam makalah ini adalah pemikiran tentang jiwa dalam filsafat Islam, khususnya menurut pemikiran Al-Farabi yang selanjutnya akan diurai dalam beberapa sub-pokok bahasan. Di antaranya:1. Apakah yang dimaksud dengan jiwa?2. Bagaimanakah hasil pemikiran Al-Farabi tentang jiwa?

BAB IIPEMBAHASANa. Pengertian JiwaSecara leksikografis, jiwa berarti roh manusia, nyawa, seluruh kehidupan batin dan sesuatu utama yang menjadi semangat. Telaah pemikiran Islam tentang jiwa dalam kaitannya dengan filsafat Islam, akan ditilik dari akar kata bahasa Arab, yaitu kata al-nafs. Al-nafs (nun-fa-sin) menunjukkan arti keluarnya angin lembut bagaimana pun adanya. Al-nafs juga diartikan darah, atau hati (qalb) dan sanubari (damir), padanya ada rahasia yang tersembunyi. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa jiwa dapat diartikan sebagai sesuatu yang berbentuk materiil yang melekat pada diri manusia yang tampak dan tidak tersembunyi, tetapi jiwa juga mengandung arti sebagai sesuatu yang berbentuk non-materiil, yang mengalir pada diri fisik manusia sebagai jauhar (substansi), substansi ruh ataupun substansi berfikir.Jauhar menurut Aristoteles adalah subtansi (sederhana, tidak tersusun, tidak panjang dan tidak lebar) menyebar ke setiap mahluk yang memiliki ruh pada alam ini, agar makhluk dapat bekerja dan mengatur urusan-urusannya. Jauhar dalam setiap mahluk memiliki makna yang satu. Apa yang dikemukakan Aristoteles merupakan pemahaman umum para filosof Yunani di zamannya. Para filosof Yunani termasuk Aristoteles tampaknya memahami jiwa sebagai sesuatu yang sulit digambarkan secara materiil dan sebagai sesuatu yang membutuhkan ruang dan tempat. Jiwa tidak punya ukuran sama sekali dan tidak memiliki bentuk fisik, tetapi memiliki fungsi pada setiap makhluk termasuk manusia.Manusia terdiri dari materi dan forma. Materi adalah jasad, sedangkan forma adalah jiwa. Sebagaimana materi tidak dapat dipisahkan dengan forma, begitu pula jasad tidak dapat dipisahkan dengan jiwa. Kedua unsur ini membentuk suatu kesatuan esensial, karena hal tersebut Aristoteles mengatakan bahwa jiwa adalah kesempurnaan pertama bagi benda alami yang organis lagi mempunyai hidup dalam bentuk potensial. Maksud dari yang mempunyai hidup dalam bentuk potensial adalah karena jiwa bukanlah jauhar (substansi) hakiki yang berdiri sendiri pada insan atau yang turun dari langit lalu bertempat tinggal dalam jasad serta membuatnya hidup. Jiwa itu merupakan jauhar rohani yang berdiri sendiri dan memiliki hubungan yang bersifat aksidental dengan jasad, sehingga kefanaan jasad tidak menimbulkan kefanaan jiwa. Oleh karena itu, jiwa adalah wujud kesempurnaan pertama karena wujud jiwa itu merupakan kehormatan dan kesempurnaan bagi jasad yang memang tidak dapat berfungsi tanpa adanya jiwa.

b. Pemikiran Al-Farabi tentang jiwaAl-Farabi menaruh perhatian besar pada eksistensi jiwa dalam kaitannya dengan kekuatan berpikir. Menurut Al-farabi, jiwa ada di dalam tubuh manusia, memancar dari akal kesepuluh. Dari akal kesepuluh ini pulalah memancar bumi, roh, api udara dan tanah. Dalam persoalan jiwa ini Al-Farabi mencoba melakukan sintesa antara pendapat Plato dengan Aristoteles. Menurut Plato, jiwa adalah sesuatu yang berbeda dengan tubuh dan merupakan suatu substansi rohani. Jiwa tidak dapat matikarenamerupakan sesuatu yang adikodrati berasal dari dunia ide. Meski kelihatan bahwa jiwa dan tubuh saling bersatu, tetapijiwa dan tubuh adalah kenyataan yang harus dibedakan. Tubuh memenjarakan jiwa, oleh karenanya jiwa harus dilepaskan dari tubuh dengan dua macam cara yaitu pertama dengan kematian dan kedua dengan pengetahuan. Jiwa yang terlepas dari ikatan tubuh bisa menikmati kebahagiaan melihat ide karena selama ini ide tersebut diikat oleh tubuh dengan keinginan atau nafsu badaniah sehingga menutup penglihatan terhadap ide (Hadiwijono, 2005:42).Sedangkan menurut Aristoteles, jiwa adalah bentuk tubuh. Jiwa dan tubuh ibarat bentuk dan materi. Jiwa adalah bentuk dan tubuh adalah materi.Jiwa merupakan asas hidup yang menjadikan tubuh memiliki kehidupan. Jiwa adalah penggerak tubuh, kehendak jiwa menentukan perbuatan dan tujuan yang akan dicapai (Hadiwijono, 2005:51). Secara spesifik, jiwa adalah pengendali atas reproduksi, pergerakan, dan persepsi. Aristoteles mengibaratkan jiwa dan tubuh bagaikan kampak.Jika kampak adalah benda hidup, maka tubuhnya adalah kayu atau metal, sedangkan jiwanya adalah kemampuan untuk membelah dan segala kemampuan yang membuat tubuh tersebut disebut kampak. Sebuah kampak tidak bisa disebut kampak apabila tidak bisa memotong, melainkan hanya seonggok kayu atau metal. Disadari oleh Aristoteles bahwa tubuh bisa mati dan oleh sebab itu, maka jiwanya juga ikut mati. Seperti kampak tadi yang kehilangan kemampuannya, manusia juga demikian ketika mati ia akan kehilangan kemampuan berpikir dan berkehendak.Dalam hal ini, Al-Farabi mencoba mencari jalan kompromis antara kedua pendapat yang berbeda di atas. Menurut Al-Farabi, jiwa berupa substansi dalam dirinya dan bentuk dalam hubungannya dengan tubuh. Hal tersebut dapat diperjelas bahwa jiwa bersifat rohani, bukan materi dan terwujud setelah adanya badan serta jiwa tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan yang lain. Tampak dengan jelas betapa Al-Farabi mengambil teori substansi dari plato dan teori bentuk dari Aristoteles. Al-Farabi berpendapat bahwa jiwa pada manusia memiliki daya. Daya tersebut dipilah menjadi tiga macam, yakni sebagai berikut:1) Daya al-Muharrikat (gerak) daya ini mendorong untuk makan, memelihara dan berkembang. Daya ini bertujuan menumbuhkan makhluk hidup, memelihara kelestariannya serta menjamin kelangsungan jenisnya.2) Daya al-Mudrikat (mengetahui) daya ini yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi. Daya pengindera terdiri dari indera lahir melalui panca indera sebagai alatnya dan dengan indera kita dapat mengetahui apa yang tidak diketahui oleh panca indera. Daya khayal atau imajinasi berfungsi untuk memelihara citra indrawi setelah penginderaan berlalu.3) Daya al-Nathiqat (berpikir) daya ini yang mendorong untuk berpikir secara teoritis dan praktis. Berpikir praktis berfungsi untuk menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan oleh seseorang. Sedangkan berpikir teoritis berfungsi untuk membantu dalam menyempurnakan jiwa.Dari pernyataan diatas, daya berpikir teoritis dibagi menjadi tiga tingkatan yang dikemukakan oleh Al-Farabi. Ketiga tingkatan tersebut, antara lain:1) Akal Potensial (alHayulany) ialah akal yang baru mempunyai potensi berpikir dalam arti, melepaskan arti-arti atau berbentuk-bentuk materinya.2) Akal Aktual (alAql bi al-fii) akal yang telah dapat melepaskan arti arti dari materinya, dan arti-arti itu telah mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi dalam bentuk potensial, tetapi dalam bentuk aktual.3) Akal Mustafad (al-Aql al-Mustafad). Akal yang telah dapat menangkap bentuk semata-mata yang tidak dikaitkan dengan materi dan mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi dengan akal kesepuluh atau dengan sang pencipta.Untuk dapat berkomunikasi dengan Sang Pencipta menurut Al-Farabi seseorang harus mempunyai jiwa yang bersih, kesucian jiwa. Tidak hanya diperoleh melalui badan dan perbuatan-perbuatan badaniah semata-mata. Kesucian jiwa dapat diperoleh melalui kegiatan berpikir dan terus berpikir. Menurut Al-Farabi, filsafat dan moral sama-sama mengidealkan kebahagiaan bagi manusia. Kebahagiaan seseorang akan terwujud apabila jiwanya sudah sempurna. Salah satu indikasi kesempurnaan jiwa ialah apabila ia sudah tidak lagi berhajat kepada materi. Al-Farabi sendiri dalam kehidupannya sebagai seorang sufi dan filosof menyimpan jiwa kesufiannya sangat mendalam dapat berkomunikasi dengan Sang Pencipta dalam kezuhudan kehidupan. Ia menjadikan kesucian jiwa sebagai asas dalam berfilsafat yang benar.Menurut Al-Farabi kebahagiaan mengandung kelezatan yakni kelezatan jasmani dan akli. Kelezatan jasmani hanya sebentar, mudah diperoleh dan cepat hilang. Sedangkan kelezatan akli awet dan inilah tujuan hidup hakiki manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut manusia perlu mengembangkan daya pikir yang benar, mampu membedakan baik dan buruk, benar dan salah, serta punya kemauan keras. Memiliki keutamaan hasil pemikiran teoritis, pemikiran praktis, sikap mental yang benar dan perbuatan yang benar.Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa, Al-Farabi mengaitkan dengan filsafat Negara utamanya. Bagi jiwa yang hidup pada Negara utama, yakni jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan segala perintahnya, maka jiwa ini akan kembali ke alam Nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kebahagiaan. Jiwa yang hidup pada Negara Fasiqah, yakni jiwa yang kenal dengan Allah, tetapi ia tidak melaksanakan perintahnya, maka jiwa ini akan kembali ke alam Nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kesengsara. Sementara itu jiwa yang hidup pada Negara jahilah, yakni jiwa yang tidak kenal dengan Allah dan tidak pula pernah melakukan perintahnya, ia lenyap bagaikan jiwa hewan.

BAB IIIPENUTUP

KESIMPULANJiwa dapat diartikan sebagai sesuatu yang berbentuk materiil yang melekat pada diri manusia yang tampak dan tidak tersembunyi, tetapi jiwa juga mengandung arti sebagai sesuatu yang berbentuk non-materiil, yang mengalir pada diri fisik manusia sebagai jauhar (substansi), substansi ruh ataupun substansi berfikir. Jiwa adalah wujud kesempurnaan pertama karena wujud jiwa itu merupakan kehormatan dan kesempurnaan bagi jasad yang memang tidak dapat berfungsi tanpa adanya jiwa.Menurut Al-Farabi, jiwa berupa substansi dalam dirinya dan bentuk dalam hubungannya dengan tubuh. Hal tersebut dapat diperjelas bahwa jiwa bersifat rohani, bukan materi dan terwujud setelah adanya badan serta jiwa tidak berpindah-pindah dari suatu badan ke badan yang lain. Jiwa memiliki tiga daya, yakni sebagai berikut:1. Daya al-Muharrikat (gerak) 2. Daya al-Mudrikat (mengetahui) 3. Daya al-Nathiqat (berpikir) Daya berpikir terdiri dari tiga akal, antara lain:1. Akal Potensial (alHayulany)2. Akal Aktual (alAql bi al-fii)3. Akal Mustafad (al-Aql al-Mustafad)Tentang bahagia dan sengsaranya jiwa, Al-Farabi mengatakan bahwa jiwa yang kenal dengan Allah dan melaksanakan segala perintahnya, maka jiwa ini akan kembali ke alam Nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kebahagiaan. Jiwa yang kenal dengan Allah, tetapi ia tidak melaksanakan perintahnya, maka jiwa ini akan kembali ke alam Nufus (alam kejiwaan) dan abadi dalam kesengsara. Sementara itu jiwa yang tidak kenal dengan Allah dan tidak pula pernah melakukan perintahnya, ia lenyap bagaikan jiwa hewan.