Makalah Kebijakan mobilitas penduduk musiman

20
Makalah Kebijakan MOBILITAS PENDUDUK N0N-PERMANEN DI PERMUKIMAN KUMUH KOTA SURABAYA: Kebijakan Pengelolaan Oleh : Suko Bandiyono 1 Surabaya sebagai kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia, merupakan pusat pertumbuhan orde pertama yang telah menjadi “magnet” terkuat bagi penduduk di daerah penyangga (hinterland), terutama daerah perdesaan sekitar kota tersebut. Keberadaan Kota Surabaya tersebut merupakan bagian dari daerah perkotaan (urban) di Indonesia, khususnya di P.Jawa. Secara makro, pertumbuhan penduduk perkotaan di P.Jawa terus berkembang sehingga Jawa telah dijuluki sebagai urban island. Mereka datang ke Kota Surabaya karena di tempat tersebut banyak pilihan untuk memperoleh berbagai kesempatan dalam upaya memperbaiki kehidupannya. Mereka datang ke Kota Surabaya dengan berbagai motif, meskipun motif ekonomi adalah unsur yang paling dominan. Mereka mempunyai persepsi dan harapan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi daripada di daerah asal, terutama perdesaan. Meskipun demikian, pesatnya pertumbuhan penduduk Kota 1 Ahli Peneliti Utama di Puslit Kependudukan-LIPI. Saya mengucapkan terima kasih kepada rekan tim peneliti lain yang telah memberi masukan pada waktu penysusunan makalah ini. 1

description

mari sekedar mencari sesuatu yang tepat bagi penangan penduduk negeri ini

Transcript of Makalah Kebijakan mobilitas penduduk musiman

Page 1: Makalah Kebijakan mobilitas penduduk musiman

Makalah Kebijakan

MOBILITAS PENDUDUK N0N-PERMANEN DI PERMUKIMAN KUMUH KOTA SURABAYA: Kebijakan Pengelolaan

Oleh : Suko Bandiyono 1

Surabaya sebagai kota metropolitan terbesar kedua di Indonesia, merupakan

pusat pertumbuhan orde pertama yang telah menjadi “magnet” terkuat bagi

penduduk di daerah penyangga (hinterland), terutama daerah perdesaan sekitar

kota tersebut. Keberadaan Kota Surabaya tersebut merupakan bagian dari

daerah perkotaan (urban) di Indonesia, khususnya di P.Jawa. Secara makro,

pertumbuhan penduduk perkotaan di P.Jawa terus berkembang sehingga Jawa

telah dijuluki sebagai urban island. Mereka datang ke Kota Surabaya karena di

tempat tersebut banyak pilihan untuk memperoleh berbagai kesempatan dalam

upaya memperbaiki kehidupannya. Mereka datang ke Kota Surabaya dengan

berbagai motif, meskipun motif ekonomi adalah unsur yang paling dominan.

Mereka mempunyai persepsi dan harapan untuk memperoleh pendapatan yang

lebih tinggi daripada di daerah asal, terutama perdesaan. Meskipun demikian,

pesatnya pertumbuhan penduduk Kota Surabaya selain disebabkan oleh proses

migrasi, juga karena pertambahan alami. Kota Surabaya itu sendiri telah

berkembang dalam proses interaksi dari komponen keadaan penduduk,

teknologi, lingkungan dan organisasi perkotaan sehingga telah melahirkan “

ecological urban complex”.

Sejalan dengan kondisi yang demikian maka di Kota Surabaya, seperti halnya

kota-kota metropolitan yang lain, muncul kamajemukan masyarakat. Sebagian

dari sekmen masyarakat yang majemuk tersebut adalah penduduk yang tinggal

di daerah perkampungan kumuh baik yang legal maupun yang ilegal. Penduduk

yang bermukim di kampung yang ilegal lazim disebut penduduk liar atau

1 Ahli Peneliti Utama di Puslit Kependudukan-LIPI. Saya mengucapkan terima kasih kepada rekan tim peneliti lain yang telah memberi masukan pada waktu penysusunan makalah ini.

1

Page 2: Makalah Kebijakan mobilitas penduduk musiman

penduduk spontan atau squatters. Hal tersebut telah menjadi fenomena sosial

yang universal, artinya telah terjadi di banyak negara. Keberadaan masyarakat

kumuh tersebut merupakan realita sosial yang tidak dapat dihilangkan,

sepanjang penduduk daerah penyangga Kota Surabaya masih hidup dalam

kondisi marginal atau telah terjadi proses ketimpangan dalam kehidupan sosial-

ekonomi. Pembangunan investasi yang bergerak pesat telah terjadi di Surabaya

sehingga telah memperlebar jurang ketimpangan dengan kondisi sosial-

ekonomi daerah perdesaan. Oleh karena itu ketimpangan tersebut telah

menimbulkan proses migrasi , antara lain penduduk non-permanen pada strata

sosial-ekonomi bawah.

Pada tataran regional, adanya proses kaitan (lingkage) yang kurang harmonis

antara Kota Surabaya dengan daerah belakang telah berlangsung puluhan

tahun. Kehidupan mereka di Surabaya telah ditunjukkan oleh rendahnya

kualitas pendidikan migran non-permanen dan umumnya mereka bekerja

sebagai buruh dan sebagian lain berusaha pada sektor informal. Sepanjang

pekerjaan di sektor informal maupun buruh murah masih ada demand di

masyarakat Surabaya dan dinilai secara ekonomi menguntungkan, maka

keberadaan mereka akan tetap ada. Pilihan mereka menjadi tukang becak,

menjadi pemulung, menjadi penjual pakaian bekas, penjaja makanan murah,

menjadi buruh babrik, menjadi pembantu rumahtangga, adalah pilihan jenis

pekerjaan yang rasional dan menjadi tujuan mengingat tingkat kemampuan

ekonomi dan tingkat pendidikan mereka yang umumnya sangat rendah.

Oleh karena itu keberadaan penduduk marginal di lingkungan permukiman

kumuh Kota Surabaya merupakan suatu keniscayaan, dan tidak perlu

dipertentangkan dengan upaya pemerintah daerah Kota Surabaya yang ingin

meningkatkan keindahan dan kenyamanan lingkungan kota. Pemerintah Kota

Surabaya tidak dapat melarang seseorang yang ingin bermigrasi, karena hak

asasi manusia telah melindunginya, walaupun mereka seharusnya mematuhi

perundang-undangan yang berlaku dan menghormati nilai-nilai yang hidup pada

2

Page 3: Makalah Kebijakan mobilitas penduduk musiman

masyarakat Kota Surabaya. Dalam hal ini kegiatan penduduk marginal di

permukiman kumuh dapat dilihat sebagai sub-sistem dari sistem perkotaan

Surabaya. Penduduk migran non-permanen yang bermukim di daerah kumuh

antara lain berada di Kelurahan Putat Gede, Kelurahan Tg.Sari, Kelurahan Suko

Manunggal, Kelurahan Pacar Keling, Kelurahan Kr.Pilang dan Kelurahan Waru

Gunung, cenderung didominasi oleh penduduk dari daerah perdesaan sekitar

Kota Surabaya seperti Bangkalan, Gresik, Lamongan dan Mojokerto, meskipun

mereka banyak pula yang datang dari daerah lain, bahkan dari luar provinsi

Jawa Timur.

Migran non-permanen yang banyak tinggal di daerah permukiman ilegal

tersebut sering disebut sebagai penduduk spontan atau disebut secara popular

sebagai migran musiman , ternyata masih terikat dengan kehidupan daerah

asalnya. Oleh karena itu sebagian besar dari mereka belum memiliki Kartu

Tanda Penduduk (KTP) Kota Surabaya. Atas dasar pemilikan KTP Pemkot

Surabaya telah membuat kebijakan dengan memberi prioritas dalam

memperoleh atau memanfaatkan bantuan, fasilitas publik dan subsidi.

Meskipun ada kebijakan yang diskriminatif namun dalam kenyataan sebagian

warga musiman dapat ikut menikmatinya. Dalam hal ini terkesan bahwa

pemerintah kota tidak ketat antara status kependudukan dengan hak-hak

warganya. Aturan kependudukan yang tidak diikuti oleh ketegasan dalam

implementasinya, tentunya telah membuat kondisi yang kondusif terjadinya

migrasi masuk ke Surabaya, yang pada gilirannya menimbulkan berbagai

masalah perkotaan, antara lain ketidakcukupan penyediaan fasilitas sosial,

munculnya konflik tanah, penurunan daya dukung lingkungan, dan

meningkatnya pengangguran.

Penduduk musiman yang umumnya hidup dalam kondisi marginal, diharuskan

memiliki Kartu Identitas Penduduk Musiman (KIPEM), namun untuk mengurus

KIPEM, apalagi menjadi warga Surabaya tidaklah sederhana. Mereka harus

mengorbankan sejumlah dana dan waktu pengurusan yang dinilai cukup

3

Page 4: Makalah Kebijakan mobilitas penduduk musiman

memberatkan. Di samping itu, dengan tetap mempertahankan sebagai warga

musiman, berarti mereka tidak kehilangan statusnya sebagai warga di daerah

asalnya. Dengan memiliki KTP daerah asal, berarti mereka masih tetap

memiliki hak untuk melakukan berbagai urusan di daerah asalnya misalnya

memilih kepala desa, mengurus pemilikan aset, dan mengurus tempat

pemakaman. Oleh karena itu meskipun secara de fakto mereka tinggal di

Surabaya, namun masih tetap terikat dengan daerah asalnya, bahkan telah

terjadi arus remitan baik uang maupun barang, dan penyampaian ide-ide seputar

kehidupan di Surabaya. Dalam keadaan demikian maka hal ini telah

menimbulkan proses migrasi desa-kota secara “gandeng-ceneng” (chain

migration). Hasil penelitian PPK-LIPI (2004) telah menunjukkan bahwa tidak

semua pendatang, (meskipun telah lama tinggal di Surabaya, bahkan telah

punya rumah), mempunyai KIPEM. Oleh karena itu dalam kenyataan jumlah

pendatang musiman di Surabaya adalah di atas data statistik berdasarkan

kepemilikan KIPEM.

Keberadaan migran non-permanen di permukiman kumuh yang menempati

lahan milik pemerintah atau milik publik, dapat dikategorikan sebagai hunian

ilegal atau lazim disebut hunian liar ( squatter). Hal ini jelas telah menimbulkan

konflik antara penghuni dengan instansi yang bertanggung jawab atas lahan

yang ditempatinya, seperti DAUP VIII PT.TKI dan Dinas PU2. Meskipun

mereka tinggal pada permukiman liar, namun mereka juga membentuk lembaga

Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW), bahkan sebagian dapat

menikmati penerangan listrik, ada pula yang punya telepon rumah, dan tetap

membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Mereka juga telah berpartisipasi

aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Kondisi yang demikian, jelas akan

mempersulit bagi Pemkot Surabaya maupun pemilik lahan untuk membebaskan

permukiman demikian.

2 Permikiman squatter yang ada di bantaran rela kereta api antara lain di Rw 02, Kel. Sukomanunggal, dan yang menempati bantaran sungai antara lain di Rw I, Kel.Warugunung.

4

Page 5: Makalah Kebijakan mobilitas penduduk musiman

Munculnya permukiman liar dan permukiman yang tidak layak huni sebenarnya

merupakan kelemahan managemen dalam mengelola tata ruang kota. Upaya

telah dilakukan untuk mengurangi persoalan permukiman kumuh yaitu dengan

perbaikan kondisi lingkungan dan membuat rumah susun yang telah melibatkan

partisipasi masyarakat . Upaya ini telah dinilai berhasil, meskipun belum

mampu menyelesaikan persoalan menyeluruh tentang permukiman kumuh yang

cenderung bertambah sejalan dengan pertambahan penduduk pendatang yang

ingin memperoleh perumahan murah. Banyak kendala yang dihadapi dalam

penyediaan rumah layak huni dalam hal ini adalah rumah susun bagi keluarga

kurang mampu antara lain kekurangan lahan kosong, rendahnya minat swasta

untuk berinvestasi, dan harga tanah di Surabaya yang sangat mahal. Meskipun

untuk membangun rumah susun adalah sulit, namun bagi kota metropolitan

Surabaya nampaknya merupakan keharusan untuk memfasilitasinya.

Penduduk pendatang yang kurang selektif, meskipun telah memberi kontribusi

negatif terhadap kondisi lingkungan kota karena telah menciptakan permukiman

kumuh dengan segala implikasinya, namun sebenarnya mereka juga memberi

kontribusi positif bagi pembangunan kota. Kota Surabaya telah memperoleh

alokasi sumberdaya manusia dari daerah perdesaan. Sumberdaya manusia asal

perdesaan kendati kualitasnya adalah rendah, namun mereka telah menjadi

bagian dari ekosistem perkotaan yang secara langsung menyumbangkan jasa

tenaga kerja murah, dan menyediakan produksi skala rumah tangga, terutama

sangat diperlukan bagi usaha formal maupun masyarakat golongan menengah

ke atas, baik sebagai tenaga kerja maupun sebagai bagian dari segmen pasar,

bahkan sebagai distributor komoditi pabrikan. Keberadaan permukiman kumuh

yang dapat menyediakan perumahan murah, juga sangat membantu penduduk

kota yang menginginkannya, misalnya buruh pabrik atau pegawai daerah

golongan rendah yang memerlukan kamar sewaan ataupun kontrakan yang

relatif murah.

5

Page 6: Makalah Kebijakan mobilitas penduduk musiman

Isu dan Rekomendasi Kebijakan

Secara umum, pada saat ini Kota Surabaya tengah menghadapi berbagai

masalah dalam tatanan masyarakat sebagai akibat ketidaksanggupan daya

dukung sumberdaya kota menghadapi pertumbuhan penduduk yang pesat,

terutama masuknya migran non-permanen dalam skala besar dan telah

berlangsung lama. Hal ini telah mengakibatkan persoalan yang terkait dengan

permukiman kumuh, padahal Kota Surabaya telah berkomitmen untuk

mendukung program “City Without Slum”. Mengingat persoalan di kota

Surabaya terkait erat dengan daerah belakang maka hubungan harmonis dalam

tataran regional harus ditingkatkan. Hal ini dimaksudkan untuk

mengintegrasikan kegiatan di mana pertumbuhan dan pendapatan , kesempatan

kerja di perdesaan maupun di kota-kota lain yang berdekatan adalah saling

membantu dan saling bermanfaat. Dengan keterpurukan kondisi ekonomi

Indonesia selama ini maka persoalan yang diakibatkan oleh isu tersebut

diperkirakan akan berlanjut dalam tempo yang panjang. Meskipun demikian,

upaya untuk mengatasi maupun mereduksi persoalan harus tetap diupayakan.

Upaya mengatasi persoalan Kota Surabaya sebagai akibat masuknya migran

non-permanen yang datang dari berbagai daerah , tentu saja harus melibatkan

kebijakan makro baik pada tataran nasional maupun regional, selain kebijakan

yang sifatnya mikro atau spesifik.

Rekomendasi Untuk Kebijakan Makro

1. MENUJU PEMBANGUNAN DAERAH ASAL MIGRAN

Distribusi penduduk mempunyai hubungan erat dengan proses

pembangunan yang telah berlangsung selama ini. Dengan kata lain

bahwa migrasi penduduk dapat dilihat sebagai akibat pembangunan.

Daerah yang maju dalam pembangunan akan mempunyai pilihan-pilihan

yang lebih baik daripada daerah yang pembangunannya masih terbatas.

6

Page 7: Makalah Kebijakan mobilitas penduduk musiman

Mengingat bahwa orang akan selalu ingin meningkatkan kehidupannya

dengan mencari akses yang lebih baik, maka ada kecenderungan bahwa

orang akan melakukan migrasi dari daerah yang mempunyai ketegori

negatif menuju daerah yang masuk kategori positif. Oleh karena itu

motif utama migrasi ke daerah perkotaan akan dilatarbelakangi dengan

alasan ekonomi di samping ada alasan non-ekonomi. Variasi demand

yang diciptakan oleh pembangunan ekonomi pada akhirnya juga akan

menciptakan sekmentasi dalam pasar kerja. Pembangunan yang urban

bias telah menempatkan Surabaya sebagai kota metropolitan terbesar ke

dua di Indonesia, sehingga telah menjadi pusat peradaban. Pembangunan

investasi yang pesat di Kota Surabaya selain telah meningkatkan

kemampuan sosial-ekonomi masyarakat secara keseluruhan, namun hal

ini telah menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan dengan daerah

lain di seputar Surabaya . Sebagai akibatan atas hal tersebut antara lain

telah menimbulkan mobilitas penduduk non-permanen dari daerah

perdesaan ke Surabaya dan telah menimbulkan dampak negatif berupa

permukiman kumuh.

Mengingat bahwa Kota Surabaya tidak mungkin mampu menghentikan

laju arus mobilitas tersebut, maka perlu diambil kebijakan untuk

mengarahkan arus migrasi tersebut dengan meningkatkan peran zona

atau pusat pertumbuhan orde kedua dan zona orde ketiga, terutama di

Jawa Timur. Dengan meningkatnya peran pusat pertumbuhan tersebut

maka arus mobilitas non-permanen yang kurang selektif dapat

dihambat. Migran non-permanen yang umumnya datang dari daerah

perdesaan akan terserap di kota-kota lain seperti Kediri, Malang,

Madiun, Jember, Lumajang, Sragen, Dampit dan Bojonegoro. Untuk

dapat meningkatkan peran kota-kota di luar Surabaya, tentunya perlu

langkah kongkrit berupa kemudahan bagi investor ( antara lain

keringanan pajak dan kredit) agar menanamkan modalnya untuk usaha

yang sifatnya padat karya. Dengan kebijakan demikian akan

7

Page 8: Makalah Kebijakan mobilitas penduduk musiman

mempercepat proses defusi urbanisasi ke daerah hinterland, yang pada

gilirannya dapat bermuara pada peningkatan daya serap tenaga kerja

perdesaan.

Daerah perdesaan sebaiknya meningkatkan perbaikan prasarana umum

dalam bentuk jalan, pusat pelayanan masyarakat, penyediaan air bersih,

penyebaran sekolah dan pusat kesehatan. Dengan perbaikan pilihan-

pilhan yang dapat diperoleh di perdesaan maka akan membuat orang

lebih berkeinginan untuk tetap tinggal. Selain itu investasi di Kota

Surabaya harus lebih selektif yaitu hanya untuk industri padat modal

(misalnya elektronik, perakitan mobil dan jasa perbankan) yang

memerlukan tenaga kerja terdidik dan terampil. Adapun industri yang

sifatnya adalah padat karya (misalnya sandal, rokok, sepatu, dan tekstil)

yang selama ini masih banyak didapati di Kota Surabaya sebaiknya

untuk direncanakan agar dapat direlokasi keluar daerah. Kenyataan

menunjukkan bahwa industri padat karya telah menciptakan buruh

murah, umumnya tenaga kerja musiman, yang akhirnya tetap akan

melestarikan permukiman kumuh. Hal ini tentunya merupakan kebijakan

yang menjadi wewenang Pemda Tk.I dengan berkoordinasi dengan

Pemda Tk II baik Kabupaten maupun Kota. Sejalan dengan upaya

tersebut pemerintah kota (Pemko) Surabaya sebaiknya juga melakukan

peningkatan program kerjasama dengan kabupaten-kabupaten sebagai

daerah asal utama migran non-permanen, antara lain Gresik, Sidoardjo,

Lamongan, Nganjuk, Jombang dan Bangkalan. Atas dasar semangat

otonomi daerah, sifat kerjasama yang diciptakan adalah saling

menguntungkan antara Pemko Surabaya dengan Kabupaten tersebut di

atas.

8

Page 9: Makalah Kebijakan mobilitas penduduk musiman

2. MEMFASILITASI MOBILITAS ULANG-ALIK

Penduduk yang bekerja di Surabaya asal kabupaten-kabupaten

seputarnya (hinterland) sebaiknya tidak tinggal di kota Surabaya tetapi

cukup dengan melakukan mobilitas ulang-alik, yaitu tetap tinggal di

desa asalnya. Hal ini dapat terjadi apabila sarana dan prasarana

transportasi massal telah memadai. Upaya ke arah itu telah dilaksanakan

baik trnasportasi dengan kereta api, bus maupun ferry. Oleh karena itu

pelaksanaan program yang sudah ada tersebut direkomendasikan untuk

terus ditingkatkan kapasitas, keamanan dan kenyamanannya, antara lain

dengan memperhatikan aspek teknologi dan kepentingan masyarakat.

Selain itu ongkos tranportasi yang terjangkau, orang akan lebih senang

menggunakan alat transportasi publik, dan akan merangsang tinggal di

luar Surabaya karena harga tanah, harga rumah maupun keadaan

lingkungan yang lebih kondusif daripada tinggal di Kota Surabaya.

3. PEMIKIRAN MANAGEMEN KOTA JANGKA PANJANG

Dalam jangka panjang dan dalam skala yang lebih makro, bahkan

pembangunan di P. Jawa perlu dirancang dalam satu kosep pengelolaan

“Java City Island”. Hasil sensus penduduk menunjukkan adanya

kecenderungan penduduk Jawa yang tinggal di kota terus mengalami

peningkatan. Dalam tahun 1961 dan tahun 2000, jumlah penduduk

perkotaan di Jawa masing-masing mencapai 15,6 % dan 48,7 %. Dalam

tempo 39 tahun penduduk Jawa yang tinggal di kota telah naik 33,1 %.

Keharmonisan pembangunan perkotaan dapat terwujud manakala ada

pengelolaan pembangunan Jawa secara terintegrasi. Dengan

memperhatikan adanya kecenderungan bahwa angka urbanisasi di Jawa

yang terus mengalami kenaikan secara signifikan maka keberadaan Kota

Metropolitan Surabaya telah menempati bagian dari daerah perkotaan di

Jawa. Dalam konteks ini untuk memecahkan persoalan perkotaan di

9

Page 10: Makalah Kebijakan mobilitas penduduk musiman

Surabaya seharusnya juga dilihat secara makro dan komprehensif. Hal

ini dapat terwujud manakala ada konsep pengelolaan pembangunan

Jawa secara terintegrasi, meskipun pada saat ini telah ada konsep

otonomi daerah. Untuk itu dalam makalah ini perlu dilontarkan

pemikiran untuk melakukan studi eksplorasi yang tujuannya adalah

mencari model bagaimana mengelola Jawa sebagai kesatuan

managemen, sehingga dalam pengelolaannya lebih efisien dan dapat

melihat keterkaitan isu perkotaan secara makro Jawa.

Rekomendasi Untuk Kebijakan Mikro

4. ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

Kesempurnaan sistem administrasi kependudukan memegang peranan

penting dalam mendukung program kebijakan pengelolaan penduduk.

Dengan penyempurnaan sistem administrasi kependudukan maka data dasar

kependudukan, antara lain tentang mobilitas penduduk akan dapat diketahui

secara akurat. Salah satu program administrasi kependudukan adalah

pendataan penduduk musiman yang disebut program KIPEM. Mengingat

bahwa program KIPEM belum efektif untuk menginventarisir penduduk

musiman dan manfaat yang tidak jelas atas program tersebut maka perlu

dikritisi tentang perannya.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tidak semua warga pendatang yang

sifatnya musiman mempunyai kartu KIPEM. Warga pendatang bahkan

masih banyak yang mempertahankan kartu identitas daerah asalnya

walaupun telah tinggal lama di Kota Surabaya, dengan mengutarakan

berbagai alasan. Seandainya warga pendatang musiman merasakan manfaat

10

Page 11: Makalah Kebijakan mobilitas penduduk musiman

yang nyata dengan pemilikan KIPEM maka secara otomatis mereka akan

mengurusnya. Isu tersebut perlu diangkat guna menghilangkan pemikiran

adanya dikhotomi antara warga Surabaya dengan migran non-permanen atau

sering disebut warga pendatang musiman, yang telah mengarah pada

perlakuan diskriminatif. Fakta sosial menunjukkan bahwa penduduk

musiman adalah warga negara Indonesia yang hidupnya kurang beruntung

yang tentunya mereka juga mempunyai hak yang sama untuk memperoleh

perlindungan dari pemerintah dan hak untuk dapat berkembang, antara lain

di Kota Surabaya. Manakala program KIPEM memang bermanfaat bagi

pendatang musiman, tentunya perlu peningkatan sosialisai peraturan

tersebut baik di kantong-kantong permukiman di Kota Surabaya maupun

daerah potensial tempat asal mereka.

5. MENGHILANGKAN HUNIAN SPONTAN

Kesalahan telah terjadi dimana pada saat pertama kali muncul hunian

spontan atau hunian ilegal di suatu tempat, namun terus dibiarkan

keberadaannya bahkan selanjutnya mendapat fasilitas publik. Seandainya

sedini mungkin kontrol terhadap lingkungan permukian dijalankan dengan

penuh kedisiplinan, maka hunian ilegal dapat dicegah perkembangannya.

Sebagian dari penduduk musiman tersebut telah menempati lahan bukan

miliknya sehingga memperoleh predikat sebagai penghuni spontan, atau

ilegal atau liar. Dilihat dari kaidah hukum positif hal ini jelas melanggar.

Status sebagai hunian spontan atau liar tersebut tentunya telah menimbulkan

konflik kepentingan dan telah merugikan pemilik lahan maupun Pemerintah

Kota Surabaya. Dalam konteks untuk menghilangkan hunian tersebut perlu

diambil langkah kebijakan : (a) Melakukan peningkatan inventarisasi status

aset lahan baik milik publik, perusahaan maupun perorangan; (b)

Melakukan kontrol oleh instansi tingkat paling bawah secara tegas, ketat

agar perluasan hunian liar dapat dihentikan; (c) Untuk menegakkan

supremasi hukum sebaiknya permukiman liar harus dihilangkan namun

perlu dicarikan jalan keluar yang tidak menimbulkan konflik. Untuk itu

11

Page 12: Makalah Kebijakan mobilitas penduduk musiman

perlu diambil langkah-langkah antara lain melakukan sosialisasi isu tersebut,

kemudian perlu menindaklanjuti dengan menggalang partisipasi mereka

guna mencari jalan keluar untuk mengatasinya, misalnya dengan relokasi ke

rumah susun secara partisipatif.

6. PENINGKATAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN KUMUH

Sesuai dengan RUTRK, strategi yang perlu dilakukan untuk mengatasi

permukiman kumuh yang legal adalah dengan program rumah susun,

perbaikan kampung, dan konsolidasi tanah. Sesuai dengan hakekat

pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk, maka

program rumah susun bagi penduduk miskin kota, termasuk migran non-

permanen, harus tetap dikembangkan kendati banyak kendala yang

dihadapi. Untuk merangsang tumbuhnya rumah susun, investor sebaiknya

diberi berbagai kemudahan misalnya keringanan bunga bank, keringanan

pajak, dan subsidi pengadaan lahan. Selain itu program pembangunan yang

selama ini telah ditetapkan yaitu dengan pola 1: 3: 6 harus tetap dilakukan.

Mereka yang akan menghuni golongan rumah pola 6 tersebut pada dasarnya

adalah untuk tataran masyarakat bawah namun telah disubsidi oleh mereka

yang mampu sehingga dapat menekan biaya.

Upaya yang selama ini pernah dilakukan tentang Kampung Improvement

Programme (KIP) oleh UNEP-UNDP Tahun 1978-1980 di daerah Babakan,

nampaknya perlu menjadi agenda program Pemkot Surabaya yang

berkelanjutan. Pendekatan yang lebih luas daripada pembangunan fisik,

antara lain meningkatkan peran masyarakat melalui kelembagaan yang ada ,

antara lain RW . Sejalan dengan program tersebut, untuk mengatasi

penduduk miskin kota, sebagai target group, tentunya upaya untuk

meningkatkan kualitas lingkungan hidup hunian kumuh harus tetap

12

Page 13: Makalah Kebijakan mobilitas penduduk musiman

ditingkatkan, antara lain penyediaan infrastruktur lingkungan ,

pengembangan lembaga permodalan usaha skala kecil dan penyelenggaraan

pelatihan ketrampilan untuk bekal berusaha. Dalam hal ini Pemkot Surabaya

sebaiknya dapat memberi kontribusi tambahan anggaran selain adanya

anggaran dari APBN.

13