MAKALAH II MPBI-Ras dan Gender
-
Upload
nisa-nurdiana -
Category
Documents
-
view
663 -
download
0
Transcript of MAKALAH II MPBI-Ras dan Gender
1. Pengantar
Dalam satu populasi, individu yang terdapat didalamnya pasti memiliki tingkat
intelegensi yang berbeda-beda. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh faktor demografis, yang
antara lain adalah gender dan ras. Berkaitan dengan perbedaan gender, ada beberapa pendapat
yang beranggapan bahwa laki-laki memiliki tingkat kecerdasan lebih besar daripada
perempuan. Pada orang dewasa, otak laki-laki 11-12% lebih berat daripada otak perempuan.
Namun, beberapa penelitian menunjukkan hal ini tidak berpengaruh pada kinerja otak dan
tingkat kecerdasan perempuan (Budhi, 2010). Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan
oleh Neto, Furnham, dan Paz (2001), juga tidak ditemukan perbedaan dalam kecerdasan
spasial maupun matematika antara laki-laki dan perempuan.
Selain dalam gender, perbedaan intelegensi juga terjadi pada antar ras. Banyak studi
yang membahas mengenai kaitan antara warna kulit, Hitam dan Putih, dengan tingkat
intelegensi mereka. Studi-studi tersebut mempertanyakan apakah intelegensi orang-orang
kulit putih itu lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang kulit hitam? Jika terdapat
perbedaan, maka bagaimana penjelasan mengenai perbedaan tersebut? Studi-studi ini
dilakukan dengan berbagai metode dan bukti-bukti yang bervariasi, antara lain melalui
analisis distribusi skor tes intelegensi dari seluruh dunia, g factor, faktor keturunan, ukuran
otak dan kemampuan kognitif, adopsi transrasial, percampuran ras, regresi, sejarah tentang
sifat yang berkaitan, riset tentang asal-usul manusia, dan hipotesis tentang variabel
lingkungan (Rushton & Jensen, 2005). Dari berbagai penelitian tersebut, secara garis besar
perbedaan intelegensi dikaji dari segi genetik, genetik-lingkungan dan lingkungan/budaya
(environmentalist). Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai penjelasan dari masing-masing
penjelasan mengenai perbedaan intelensi antar ras dan gender, maka dalam makalah ini kami
akan mencoba membahas mengenai perbedaan tingkat intelegensi antar gender dan ras dari
beberapa sudut pandang.
2. Perbedaan Intelegensi antar Gender
Pada bagian ini, akan dijelaskan mengenai perbedaan intelegensi antar gender dalam
overall IQ, multiple intelligence, dan kemungkinan adanya konstruksi sosial yang
menyebabkan perbedaan intelegensi antar gender ini. Di akhir bagian ini juga akan dijelaskan
mengenai implikasi dari adanya perbedaan tersebut.
a. Perbedaan pada Overall IQ
Dalam perkembangan mengenai teori inteligensi, dapat dikatakan diskusi tentang
perbedaan intelegensi antar gender masih menjadi isu yang kontroversial dan masih hangat
diperdebatkan (Sewell, 2007). Dari banyak studi, didapat dua kubu yang secara umum
menunjukkan hasil yang bertolak belakang. Kubu pertama menyatakan bahwa tidak ada
perbedaan inteligensi umum (g) antar gender (Brody; Colom; Halpern; Juan-Espinosa;
Neisser et al, dalam Colom et al., 2002). Sedangkan kubu yang berseberangan menyatakan
bahwa pria, umumnya, memiliki ukuran otak yang lebih besar dari wanita—dalam banyak
studi dinyatakan bahwa ukuran otak memiliki asosiasi positif dengan inteligensi. Jadi
menurut mereka, pria secara umum memiliki level inteligensi yang lebih tinggi daripada
wanita (Jensen; Mackintosh; Rushton & Ankey, dalam Colom et al., 2002).
Sewell (2007) dalam meta-studinya mengumpulkan 26 penelitian tentang perbedaan
inteligensi antar gender yang dilihat dari skor IQ. Hasilnya didapat bahwa setengah dari
penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan IQ antar gender.
Setengahnya lagi mengatakan bahwa pria secara rata-rata memiliki poin IQ yang lebih tinggi
dari wanita. Namun pada kesimpulannya yang berdasar weighted mean ( dari jumlah resensi,
kutipan per tahun, dan journal impact factor) didapat bahwa pria unggul sebanyak 2 poin.
Sejauh ini banyak ahli mengatakan bahwa tes progressive matrice yang
dikembangkan Raven adalah salah satu alat ukur terbaik untuk mengukur inteligensi umum
(g) (Lynn & Irwing, 2004). Isu tentang perbedaan skor IQ berbasis tes Raven’s Progressive
Matrice (RPM) antar gender juga masih sering didiskusikan. Dari banyak penelitian yang
mengangkat isu tersebut, secara umum masih menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan pada skor rata-rata (mean score) pada pria dan wanita (Raven; Eysenck;
Jensen; dan Mackintosh dalam Lynn & Irwing, 2004).
Salah satu studi mengenai RPM antar gender adalah studi Lynn (1999). Dalam
studinya, Lynn menyatakan bahwa antara pria dan wanita terdapat perbedaan maturasi secara
fisik dan mental selama rentang masa kanak-kanak dan remaja. Menurutnya, maturasi anak
laki-laki dan perempuan memiliki tingkat yang sama hingga usia 7 tahun; mulai usia 8 tahun,
anak perempuan mengalami akselerasi pertumbuhan yang lebih cepat dalam tinggi, berat, dan
ukuran otak; dan kemudian tingkat pertumbuhan ini menurun pada usia 14 dan 15, sedangkan
pertumbuhan pada remaja pria terus berlanjut. Hingga pada kesimpulannya, Lynn
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan skor IQ antar gender hingga usia 8 tahun; bahwa
pada rentang usia 9-12 tahun rata-rata skor anak perempuan sedikit lebih unggul (1 poin);
bahwa pada rentang usia 13-15 remaja pria maupun wanita cenderung memiliki rata-rata
skor yang sama; dan mulai usia 16 tahun remaja pria cenderung memiliki skor rata-rata yang
lebih tinggi dan hingga akhirnya pria dewasa memiliki keunggulan sekita 2,4 – 5 skor IQ
dibandingkan wanita.
2
Lynn dan Irwing (2004) mengaitkan fenomena peningkatan skor rata-rata secara
gradual pada pria dengan kemungkinan dari perbedaan pengalaman dan peran antar gender di
masyarakat. Di semua budaya dalam masyarakat, wanita digambarkan sebagai sosok yang
bertanggung jawab dalam mengasuh anak. Bahkan ketika wanita berkecimpung dalam dunia
profesional, ia masih harus dihadapkan pada urusan domestik rumah tangganya (Yogev,
Lynn & Irwing, 2004). Lynn & Irwing (2004) menduga ini sebagai hal yang mempengaruhi
skor pada tes kemampuan kognitif. Asumsi tentang perbedaan pengalaman dan peran dapat
mempengaruhi skor tes inteligensi ini juga diajukan oleh Ackerman et al. (dalam Lynn dan
Irwing, 2004). Menurut mereka, potensi sosial, kedekatan sosial, dan traditionalism-worry
terkait dengan skor yang rendah pada pengetahuan umum—crystallized intelligence. Hal ini
terkait dengan penelitian Lippa (dalam Lynn & Irwing, 2004) dimana dalam dimensi People-
Things, wanita cenderung lebih tertarik pada hal-hal yang berbau sosial; sedangkan pria lebih
tertarik pada hal yang bersifat kebendaan.
b. Perbedaan pada Multiple Intelligence
Dalam teori multiple intelligences, Gardner (dalam Sattler, 2001) mengungkapkan
bahwa setiap orang memiliki sedikitnya 8 kompetensi intelektual dan 2 kemungkinan
kompetensi lain. Ia juga menjelaskan bahwa setiap kecerdasan relatif terpisah satu sama
lainnya dan tidak saling bergantung sehingga menjadikan seseorang dapat unggul dalam
bidang tertentu meskipun memiliki kelemahan di bidang lainnya. Namun pada kenyataannya,
berbagai jenis kecerdasan tersebut bekerjasama untuk menghasilkan kesesuaian informasi
yang dibutuhkan. Adapun kompetensi intelektual yang diidentifikasi oleh Howard Gardner
antara lain linguistic, logical mathematical, spatial, bodily kinesthetic, musical,
interpersonal, intrapersonal, naturalist, spiritual, dan existensial
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa individu mungkin akan lebih unggul dalam satu
atau lebih bidang, namun dapat lemah di bidang lainnya. Hal ini bisa dilihat dari penelitian
yang dilakukan oleh Neto, Furnham, dan Paz (2007), yang menyebutkan bahwa terdapat
perbedaan skor IQ pada beberapa kompetensi kecerdasan yang dijelaskan oleh Gardner. Hasil
dari penelitian pada chinese communities menunjukkan bahwa laki-laki memiliki kecerdasan
yang lebih tinggi dibandingkan perempuan dalam hal kemampuan matematika dan spasial.
Laki-laki baik dalam melakukan menggunakan gambaran visual dalam memorinya.
Sementara itu, perempuan memiliki skor yang tinggi pada bidang interpersonal. Hal ini
menyebabkan perempuan lebih mudah belajar bahasa dibandingkan dengan laki-laki.
Perempuan juga cenderung superior pada kemampuan verbal dibandingkan dengan laki-laki.
3
c. Konstruksi Sosial
Perbedaan kecerdasan antar gender ternyata tidak mutlak dipengaruhi oleh perbedaan
struktur biologis dari tiap gender itu sendiri. Perbedaan kecerdasan antar gender tersebut
berhubungan dengan adanya kontruksi sosial yang berkembang di masyarakat. Dalam meta-
studi yang dilakukan Hogan (dalam Furnham & Gasson, 1998) pada 11 penelitian, disebutkan
bahwa wanita cenderung menilai dirinya memiliki IQ yang lebih rendah dibanding pria.
Penelitian serupa yang dilakukan Furnham & Gasson (1998) pada orang dewasa di Inggris
juga menghasilkan gambaran serupa dengan penelitian sebelumnya, yaitu pria cenderung
menilai diri mereka memiliki IQ yang lebih tinggi dari wanita. Sedangkan baik pria maupun
wanita menilai anak laki-laki mereka memiliki IQ yang lebih tinggi daripada anak perempuan
mereka. Hasil penelitan tersebut sekaligus dapat memberikan penjelasan sosiokultural tentang
perbedaan IQ antar gender (Furnham & Gasson, 1998).
Penjelasan menarik mengenai perbedaan kecerdasan antar gender ini pun juga
dijelaskan oleh Dr. Irawan M. (http://forumm.wgaul.com/showthread.php?t=38758), spesialis
saraf anak. Dalam sebuah artikel, ia menyebutkan bahwa pada dasarnya gender tidak
berpengaruh pada tingkat intelegensi yang dimiliki oleh seseorang, tetapi memang terjadi
perbedaan antara wanita dan pria dalam hal menstimulasi otak. Pria biasanya lebih
menstimulasi bagian otak kiri, dimana bagian otak kiri ini lebih kepada hal-hal yang
berhubungan dengan matematika, sains, logika. Sedangkan wanita biasanya lebih banyak
menstimulasi bagian otak sebelah kanan, yang lebih berfungsi pada hal-hal yang besifat
emosional, kemampuan verbal, artistik, perasaan.
Perbedaan stimulasi pada otak ini dapat disebabkan karena harapan budaya terhadap
pria dan wanita cenderung berbeda, sehingga terdapat perbedaan perlakuan antara pria dan
wanita. Biasanya para wanita lebih dididik untuk lebih banyak menggunakan perasaan, lebih
lembut, dan patuh pada laki-laki sehingga terkadang pendidikan tinggi tidak menjadi suatu
hal yang patut di raih oleh perempuan karena kodrat perempuan sebagai ibu yang bertugas
untuk mengurusi keluarganya. Sedangkan pria lebih dididik untuk melakukan hal-hal yang
berhubungan dengan akal untuk dapat berpikir dan berbuat lebih cepat dan tepat, karena laki-
laki dituntut untuk dapat menjadi pemimpin dan mampu menafkahi keluarga sehingga
pendidikan tinggi dianggap penting agar laki-laki bisa mendapatkan posisi dalam pekerjaan
yang baik.
4
d. Kesimpulan dan Implikasi
Dari banyak studi yang meneliti isu perbedaan gender dalam intelegensi, masih
banyak pro dan kontra. Lynn (1999) menyatakan bahwa perbedaan intelegensi antara pria dan
wanita terus berubah selama masa anak-anak dan mulai menunjukkan perbedaan yang
signifikan pada masa remaja, dimana pria memiliki nilai intelegensi yang lebih tinggi. Hal ini
disebabkan karena perbedaan maturasi fisik dan mental antara pria dan wanita, dimana pada
umumnya wanita mengalami maturasi lebih awal. Lynn dan Irwing (2004) mengaitkan
fenomena peningkatan skor rata-rata secara gradual pada pria dengan kemungkinan dari
perbedaan pengalaman dan peran antar gender di masyarakat. Penelitian perbedaan self-
estimates IQ antar gender memberikan penjelasan sosiokultural tentang perbedaan IQ antar
gender. Dari banyak penelitian, didapat bahwa wanita cenderung menilai IQ mereka lebih
rendah dibanding pria; begitu juga sebaliknya, pria cenderung menilai diri mereka memiliki
IQ yang lebih baik daripada wanita.
Salah satu implikasi pandangan atas isu adalah pada pandangan tentang peran antar
gender di masyarakat. Hal ini sering kali dikaitkan sebagai penyebab dalam dominasi laki-
laki dalam bidang sains dan teknologi, sedangkan wanita lebih banyak menggeluti bidang-
bidang yang bersifat seni dan keindahan. Kemampuan spasial yang dianggap lebih tinggi
pada laki-laki menyebabkan kebanyakan orang yang menggeluti profesi penerbang adalah
laki-laki. Contoh nyata dapat terlihat dari penerimaan taruna Angkatan Udara yang memiliki
syarat utama yaitu berjenis kelamin laki-laki.
Implikasi nyata dari sebuah perbedaan kecerdasan antar gender tampak jelas dari
penjelasan mengenai profesi penerbang yang lebih diperuntukkan bagi laki-laki. Selain hal
tersebut, implikasi lain dari adanya perbedaan kecerdasan antar gender ini terlihat dari
munculnya fenomena "glass ceiling" yang dialami perempuan di tempat kerja. Dalam
fenomena ini perempuan dihambat untuk mencapai posisi puncak di institusi tempatnya
bekerja.
3. Perbedaan IQ antar Ras
Pada bagian ini, akan dijelaskan mengenai perbedaan intelegensi antar ras menurut
tiga sudut pandang, yaitu pandangan genetik, genetik-lingkungan, dan lingkungan/budaya
(environmentalist). Di akhir bagian ini juga akan dibahas mengenai implikasi dari adanya
perbedaan intelegensi antar ras.
5
a. Sudut Pandang Genetik
Secara sederhana, ras didefinisikan sebagai grup yang dapat dibedakan dari grup yang
lainnya (Lynn, 2006). Penggolongan ras tersebut didasarkan pada ciri biologis yang tampak,
antara lain berdasarkan warna kulit dan bentuk morfologis. Taksonomi ras yang pertama
dibuat oleh Linneaus (1758, dalam Lynn, 2006). Dalam taksonomi ini ia membagi ras
menjadi empat kategori yaitu Europaeus (Europeans), Afer (black Africans), Asiaticus
(Asians), dan Americanus (Native-Americans). Kemudian pada tahun 1776, Blumenbach
menambahkan lima ras yang didasarkan pada warna kulit, yaitu ras Kaukasoid (kulit putih),
Mongoloid (kulit kuning), Ethiopian (kulit hitam), American (kulit merah) dan Melanesia
(kulit coklat).
Ras-ras yang telah disebutkan di atas ternyata tidak hanya memiliki perbedaan dari
segi morfologis dan warna kulit, tetapi mereka juga memiliki perbedaan dalam hal tingkat
inteligensi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ras Kaukasoid di Amerika Utara, Eropa,
dan Australia secara umum memiliki IQ sekitar 100. Ras Mongoloid memiliki IQ yang lebih
tinggi, yakni sekita 100-106. Ras Negroid Afrika memiliki skor IQ rata-rata sekitar 70,
sementara ras Negroid-Kaukasoid yang bermukin di Amerika Serikat dan Inggris
memperoleh skor sekitar 85. Sementara ras Indian Amerika dan Asia Tenggara memeroleh
skor sekitar 85-95 (Lynn, 1991).
Penelitian mengenai perbedaan ras terhadap inteligensi sudah dimulai sejak
pertengahan abad 19. Pada tahun 1830an, Samuel Morton mengumpulkan tengkorak-
tengkorak manusia dari berbagai macam ras, mendapati bahwa ras kulit putih (Eropa)
memiliki ukuran tengkorak yang paling besar, yang diikuti oleh ras mongoloid (Asia Timur),
Melanesia (Asia Tenggara), Indian Amerika, Afrika dan terakhir Australia Aborigin. Dari
penemuannya ini, ia menyimpulkan bahwa ukuran kepala berhubungan dengan perbedaan
inteligensi pada berbagai ras. Kemudian pada tahun 1861, Paul Broca mengatakan bahwa
manusia-manusia yang memiliki bakat unggul memiliki ukuran kepala yang lebih besar
daripada manusia-manusia yang memiliki bakat yang biasa (Lynn, 2006). Otak adalah proxy
dalam kapasitas pemrosesan, tetapi proxy dari ukuran otak adalah ukuran kepala (Sternberg,
2003). Korelasi antara ukuran kepala dan ukuran otak pada orang dewasa bervariasi dengan
perkiraan sebesar .60 (Hoadley; Wickett, Vernon, & Lee, dalam Sternberg, 2003), dan pada
anak-anak, korelasi antara ukuran kepala dan otak berkorelasi lebih tinggi.
Lebih lanjut, perbedaan ras terhadap inteligensi juga telah diketahui sejak perang
dunia pertama ketika sebuah tes militer diberikan kepada sejumlah anggota militer di
Amerika Serikat. Dari hasil tes ini ditemukan bahwa ras kulit hitam memiliki rata-rata level
6
inteligensi sekitar 15 poin di bawah level inteligensi yang diperoleh oleh ras kulit putih.
Penemuan ini kemudian menimbulkan pertanyaan apakah perbedaan inteligensi ini didasari
oleh perbedaan genetis dan banyak dibantah oleh environmentalist yang mengemukakan
bahwa penyebab rendahnya skor IQ pada ras Negroid lebih karena faktor lingkungan yang
tidak menguntungkan dan posisi mereka sebagai kaum minoritas di Amerika (Flynn, Jaynes
& Williams, Mackintosh & Mascie Taylor, dalam Lynn, 1991). Namun skor intelegensi kulit
hitam di sub-Saharan Afrika, yang bukan merupakan kaum minoritas di negaranya, juga
menunjukkan nilai yang bahkan lebih rendah dari American Black (Rushton & Jensen, 2005).
Terdapat dua penjelasan untuk fenomena tersebut. Yang pertama yaitu bahwa American
Black telah memiliki 25% sifat yang diturunkan oleh kulit putih (mendukung pandangan
genetik). Sementara penjelasan kedua yaitu American Blacks memiliki standar kehidupan
yang lebih baik daripada sub-Saharan (mendukung pandangan environmentalist).
Sementara itu hipotesis dari environmentalist tentang posisi minoritas juga tidak bisa
menjelaskan skor intelegensi East-Asian dan Yahudi yang lebih tinggi daripada kulit putih
(Rushton & Jensen, 2005). Padahal East-Asian dan Yahudi juga mengalami posisi sebagai
minoritas dan bahkan kolonialisme yang kejam. Oleh karena itu, sejauh ini pandangan
genetik adalah pandangan yang paling bisa menjelaskan adanya perbedaan intelegensi antar
ras.
b. Sudut Pandang Genetik-Lingkungan
Sudut pandang ini mengajukan hipotesis bahwa terdapat 50% pengaruh genetik dan
50% pengaruh lingkungan terhadap skor intelegensi. Studi mengenai hal ini dilakukan
dengan penelitian pada adopsi transrasial. Studi pada anak Vietnam dan Korea yang diadopsi
oleh keluarga kulit putih menunjukkan bahwa walaupun sebelum diadopsi mengalami
malnutrisi, anak Vietnam dan Korea tersebut memiliki skor intelegensi 10 poin lebih tinggi
daripada orang tua adopsi mereka. Sebaliknya, anak kulit hitam yang diadopsi oleh keluarga
kulit putih menunjukkan skor intelegensi yang lebih rendah daripada anak kulit putih yang
diadopsi keluarga tersebut (Rushton & Jensen, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa skor
intelegensi anak-anak adopsi tersebut masih sama dengan rata-rata skor intelegensi dari
kelompok ras mereka, yaitu ras Asia memiliki skor yang lebih tinggi daripada kulit putih, dan
kulit putih memiliki skor yang lebih tinggi daripada kulit hitam. Studi yang dilakukan oleh
Scarr dan Weinberg (1976, dalam Rushton & Jensen, 2005) pada adopsi anak kulit hitam dan
keturunan campuran kulit hitam dan putih menunjukkan bahwa pada masa anak-anak, skor
intelegensi mereka mendekati skor intelegensi orang tua adopsinya. Namun pada masa
7
remaja, skor intelegensi mereka menurun dan lebih mendekati skor rata-rata kelompok ras
mereka, walaupun skor mereka masih tetap berada di atas rata-rata skor intelegensi kelompok
ras. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh genetik dan lingkungan terhadap skor
intelegensi.
c. Sudut Pandang Environmentalist
Menurut pandangan ini, kemampuan kognitif merupakan hasil dari faktor lingkungan.
Jika terdapat perbedaan antar kelompok, kemungkinan pada kelompok dengan intelegensi
lebih rendah terdapat pengalaman yang tidak dirasakan atau kekurangan stimulus dari
lingkungan.
Dalam Ruhton dan Jensen (2005) disebutkan bahwa environmentalist berhipotesis
bahwa tes intelegensi yang banyak digunakan mengandung bias karena item-item tes tidak
familiar bagi setiap kelompok. Item tes lebih mencerminkan budaya dan bahasa kalangan
menengah ke atas dan menekankan culture-fair. Padahal American Blacks cenderung
memiliki skor yang lebih tinggi pada tes yang bersifat culturally-loaded Sementara
sebaliknya kelompok Mexican Indians dan Asia Timur memiliki skor yang lebih tinggi pada
tes yang bersifat culturally-reduced. Environmentalist menjelaskan hal tersebut terjadi karena
faktor kurangnya bahan bacaan di rumah, lingkungan budaya yang kurang nyaman, struktur
keluarga yang tidak lengkap, penggunaan bahasa yang berbeda, minat anak dan orang tua
yang rendah terhadap sekolah, serta self-esteem anak yang buruk. Namun penjelasan tersebut
tidak bisa menjelaskan skor intelegensi yang tinggi pada Bangsa Inuit. Walaupun sebagian
besar dari mereka menghadapi kondisi ekonomi yang lebih buruk daripada American Blacks,
mereka tetap memiliki skor intelegensi yang lebih tinggi.
Seharusnya jika pandangan environmentalist benar, maka penyetaraan kualitas
pendidikan mampu mengurangi perbedaan tersebut. Namun pada kenyataannya, setelah lima
dekade penghapusan pemisahan sekolah berdasarkan ras (Brown v. Board of Education of
Topeka) ternyata perbedaan antar ras dalam pencapaian bidang akademik masih ada.
Penelitian-penelitian secara kuantitatif pun tidak bisa membuktikan kebenaran hipotesis yang
diajukan oleh environmentalist. Hal ini mendorong John Ogbu (2003, dalam Carter, 2004) –
seorang antropolog berbangsa Nigerian-American – untuk melakukan studi etnografik
tentang perbedaan antara kulit putih dan kulit hitam dalam pencapaian akademik. Penelitian
kualitatif ini dilakukan pada komunitas kulit hitam di kalangan menengah ke atas. Pemilihan
kalangan menengah ke atas untuk penelitian ini didasari oleh pertimbangan bahwa selama ini
studi tentang kulit hitam lebih banyak dilakukan pada kalangan bawah. Fokus Ogbu dalam
8
penelitian ini adalah untuk mengetahui mengapa performa akademik siswa kulit hitam
rendah.
Studi ini menemukan bahwa orang tua dan siswa kulit hitam tidak percaya pada
sistem pendidikan dan job market yang menurut mereka masih berdasarkan budaya kulit
putih. Kepercayaan ini membuat orang tua dan siswa kulit hitam sama-sama memandang
sekolah secara pesimis dan berdampak pada dukungan orang tua yang rendah terhadap
pencapaian akademik anak di sekolah. Anak-anak kulit hitam juga percaya bahwa secara
intelektual kemampuan mereka lebih rendah daripada kulit putih. Hal ini juga membuat
motivasi mereka dalam pendidikan menjadi rendah.
Sementara itu, Ogbu juga mengemukakan bahwa harapan guru terhadap prestasi
siswa kulit hitam yang cenderung rendah juga menyebabkan siswa kulit hitam malas
mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru mereka. Selain itu, kulit hitam juga menganggap
bahwa budaya dan bahasa yang digunakan di sekolah pada umumnya merupakan cerminana
dari budaya kulit putih. Oleh karena itu jika mereka ingin mencapai prestasi akademik yang
baik, setidaknya mereka harus menginternalisasi budaya tersebut dalam diri mereka. Namun
dalam komunitas kulit hitam, seseorang yang mereka anggap bertingkah laku dan berbahasa
seperti kulit putih sebagai outsider. Hal ini menyebabkan siswa kulit hitam enggan
beradaptasi dengan budaya dan bahasa kulit putih di sekolah. Mereka lebih memilih untuk
bertingkah laku dan mencapai pencapaian yang tinggi dengan cara mereka sendiri. Karena
kepercayaan ini, banyak siswa kulit hitam yang menggunakan waktunya untuk mengasah
kemampuan mereka sendiri di luar sekolah atau melakukan kerja paruh waktu. Hal ini
membuat waktu untuk mengerjakan tugas dari sekolah makin sedikit, sehingga tak heran jika
pemahaman mereka terhadap materi di sekolah rendah. Menurut hasil studi Ogbu, rendahnya
prestasi di sekolah membuat mereka berpikir bahwa sekolah tidak berguna untuk mencapai
mobilitas ekonomi dan sosial. Mereka lebih memilih pekerjaan yang berkaitan dengan
olahraga, hiburan, dan drug dealing sebagai alternatif untuk mencapai mobilitas tersebut.
4. Kesimpulan dan Implikasi
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menjelaskan mengenai
perbedaan intelegensi antar ras lebih banyak ditemukan bukti genetik dan genetik-
lingkungan. Bukti genetik yang menunjukkan perbedaan ini yaitu besar kepala/volume otak
yang berbeda antar ras, dimana ras yang memiliki skor intelegensi lebih tinggi memiliki
ukuran kepala/volume otak yang lebih besar. Hipotesis genetik-lingkungan juga menemukan
bukti dari studi adopsi transrasial, dimana walaupun rata-rata skor intelegensi anak kulit
9
hitam meningkat beberapa poin, nilai mereka masih mendekati rata-rata nilai intelegensi kulit
hitam.
Sementara itu, hipotesis environmentalist yang tak kunjung menemukan bukti
mendorong dilakukannya penelitian etnografik oleh Ogbu yang bertujuan untuk mendapatkan
data secara kualitatif tentang alasan kulit hitam memiliki prestasi akademik yang lebih
rendah dari kulit putih. Dari studi ini ditemukan bahwa: (a). belief dan sikap mereka terhadap
sistem pendidikan rendah; (b). harapan guru terhadap prestasi siswa kulit hitam yang
cenderung rendah menyebabkan siswa kulit hitam malas mengerjakan tugas yang diberikan
oleh guru mereka; dan (c) anggapan bahwa system pendidikan lebih banyak mengadopsi
budaya dan bahasa kulit putih membuat siswa kulit hitam untuk mencapai mobilitas sosial
dan ekonomi dengan strategi mereka sendiri, yaitu mengasah kemampuan mereka di luar
sekolah.
Perbedaan intelegensi antar ras ini tentu akan berimplikasi pada dunia kerja dan
kualitas kehidupan kelompok ras. Selama ini seleksi kerja dilakukan dengan tes intelegensi.
Dengan perbedaan intelegensi antar ras ini, tentu akan menyebabkan posisi kerja lebih
banyak diisi oleh kelompok ras dengan nilai intlegensi yang lebih tinggi dari kelompok ras
lain. Hal ini akan menimbulkan kecemburuan sosial dan peningkatan serta penyetaraan
kualitas hidup pada kaum minoritas akan lebih sulit tercapai.
Ogbu (2003, dalam Carter, 2004) menawarkan beberapa solusi untuk mengatasi
masalah tersebut, khususnya pada peningkatan prestasi siswa kulit hitam. Solusi tersebut
antara lain adalah dengan adanya peningkatan cooperative learning dengan siswa kulit hitam
dan pedagogi yang mempertimbangkan budaya siswa dari kelompok minoritas. Sementara
untuk komunitas kulit hitam, disarankan peningkatan kesadaran pentingnya pendidikan baik
bagi kalangan orang tua maupun siswa.
10