MAKALAH II MPBI-Ras dan Gender

17
1. Pengantar Dalam satu populasi, individu yang terdapat didalamnya pasti memiliki tingkat intelegensi yang berbeda-beda. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh faktor demografis, yang antara lain adalah gender dan ras. Berkaitan dengan perbedaan gender, ada beberapa pendapat yang beranggapan bahwa laki-laki memiliki tingkat kecerdasan lebih besar daripada perempuan. Pada orang dewasa, otak laki-laki 11-12% lebih berat daripada otak perempuan. Namun, beberapa penelitian menunjukkan hal ini tidak berpengaruh pada kinerja otak dan tingkat kecerdasan perempuan (Budhi, 2010). Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Neto, Furnham, dan Paz (2001), juga tidak ditemukan perbedaan dalam kecerdasan spasial maupun matematika antara laki-laki dan perempuan. Selain dalam gender, perbedaan intelegensi juga terjadi pada antar ras. Banyak studi yang membahas mengenai kaitan antara warna kulit, Hitam dan Putih, dengan tingkat intelegensi mereka. Studi-studi tersebut mempertanyakan apakah intelegensi orang-orang kulit putih itu lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang kulit hitam? Jika terdapat perbedaan, maka bagaimana penjelasan mengenai perbedaan tersebut? Studi-studi ini dilakukan dengan berbagai metode dan bukti-bukti yang bervariasi, antara lain melalui analisis distribusi skor tes intelegensi dari seluruh dunia, g factor, faktor keturunan, ukuran otak dan kemampuan kognitif, adopsi transrasial, percampuran ras, regresi, sejarah tentang sifat yang berkaitan, riset tentang asal-usul manusia, dan hipotesis tentang variabel lingkungan (Rushton & Jensen, 2005). Dari

Transcript of MAKALAH II MPBI-Ras dan Gender

Page 1: MAKALAH II MPBI-Ras dan Gender

1. Pengantar

Dalam satu populasi, individu yang terdapat didalamnya pasti memiliki tingkat

intelegensi yang berbeda-beda. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh faktor demografis, yang

antara lain adalah gender dan ras. Berkaitan dengan perbedaan gender, ada beberapa pendapat

yang beranggapan bahwa laki-laki memiliki tingkat kecerdasan lebih besar daripada

perempuan. Pada orang dewasa, otak laki-laki 11-12% lebih berat daripada otak perempuan.

Namun, beberapa penelitian menunjukkan hal ini tidak berpengaruh pada kinerja otak dan

tingkat kecerdasan perempuan (Budhi, 2010). Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan

oleh Neto, Furnham, dan Paz (2001), juga tidak ditemukan perbedaan dalam kecerdasan

spasial maupun matematika antara laki-laki dan perempuan.

Selain dalam gender, perbedaan intelegensi juga terjadi pada antar ras. Banyak studi

yang membahas mengenai kaitan antara warna kulit, Hitam dan Putih, dengan tingkat

intelegensi mereka. Studi-studi tersebut mempertanyakan apakah intelegensi orang-orang

kulit putih itu lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang kulit hitam? Jika terdapat

perbedaan, maka bagaimana penjelasan mengenai perbedaan tersebut? Studi-studi ini

dilakukan dengan berbagai metode dan bukti-bukti yang bervariasi, antara lain melalui

analisis distribusi skor tes intelegensi dari seluruh dunia, g factor, faktor keturunan, ukuran

otak dan kemampuan kognitif, adopsi transrasial, percampuran ras, regresi, sejarah tentang

sifat yang berkaitan, riset tentang asal-usul manusia, dan hipotesis tentang variabel

lingkungan (Rushton & Jensen, 2005). Dari berbagai penelitian tersebut, secara garis besar

perbedaan intelegensi dikaji dari segi genetik, genetik-lingkungan dan lingkungan/budaya

(environmentalist). Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai penjelasan dari masing-masing

penjelasan mengenai perbedaan intelensi antar ras dan gender, maka dalam makalah ini kami

akan mencoba membahas mengenai perbedaan tingkat intelegensi antar gender dan ras dari

beberapa sudut pandang.

2. Perbedaan Intelegensi antar Gender

Pada bagian ini, akan dijelaskan mengenai perbedaan intelegensi antar gender dalam

overall IQ, multiple intelligence, dan kemungkinan adanya konstruksi sosial yang

menyebabkan perbedaan intelegensi antar gender ini. Di akhir bagian ini juga akan dijelaskan

mengenai implikasi dari adanya perbedaan tersebut.

a. Perbedaan pada Overall IQ

Dalam perkembangan mengenai teori inteligensi, dapat dikatakan diskusi tentang

perbedaan intelegensi antar gender masih menjadi isu yang kontroversial dan masih hangat

Page 2: MAKALAH II MPBI-Ras dan Gender

diperdebatkan (Sewell, 2007). Dari banyak studi, didapat dua kubu yang secara umum

menunjukkan hasil yang bertolak belakang. Kubu pertama menyatakan bahwa tidak ada

perbedaan inteligensi umum (g) antar gender (Brody; Colom; Halpern; Juan-Espinosa;

Neisser et al, dalam Colom et al., 2002). Sedangkan kubu yang berseberangan menyatakan

bahwa pria, umumnya, memiliki ukuran otak yang lebih besar dari wanita—dalam banyak

studi dinyatakan bahwa ukuran otak memiliki asosiasi positif dengan inteligensi. Jadi

menurut mereka, pria secara umum memiliki level inteligensi yang lebih tinggi daripada

wanita (Jensen; Mackintosh; Rushton & Ankey, dalam Colom et al., 2002).

Sewell (2007) dalam meta-studinya mengumpulkan 26 penelitian tentang perbedaan

inteligensi antar gender yang dilihat dari skor IQ. Hasilnya didapat bahwa setengah dari

penelitian-penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan IQ antar gender.

Setengahnya lagi mengatakan bahwa pria secara rata-rata memiliki poin IQ yang lebih tinggi

dari wanita. Namun pada kesimpulannya yang berdasar weighted mean ( dari jumlah resensi,

kutipan per tahun, dan journal impact factor) didapat bahwa pria unggul sebanyak 2 poin.

Sejauh ini banyak ahli mengatakan bahwa tes progressive matrice yang

dikembangkan Raven adalah salah satu alat ukur terbaik untuk mengukur inteligensi umum

(g) (Lynn & Irwing, 2004). Isu tentang perbedaan skor IQ berbasis tes Raven’s Progressive

Matrice (RPM) antar gender juga masih sering didiskusikan. Dari banyak penelitian yang

mengangkat isu tersebut, secara umum masih menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan

yang signifikan pada skor rata-rata (mean score) pada pria dan wanita (Raven; Eysenck;

Jensen; dan Mackintosh dalam Lynn & Irwing, 2004).

Salah satu studi mengenai RPM antar gender adalah studi Lynn (1999). Dalam

studinya, Lynn menyatakan bahwa antara pria dan wanita terdapat perbedaan maturasi secara

fisik dan mental selama rentang masa kanak-kanak dan remaja. Menurutnya, maturasi anak

laki-laki dan perempuan memiliki tingkat yang sama hingga usia 7 tahun; mulai usia 8 tahun,

anak perempuan mengalami akselerasi pertumbuhan yang lebih cepat dalam tinggi, berat, dan

ukuran otak; dan kemudian tingkat pertumbuhan ini menurun pada usia 14 dan 15, sedangkan

pertumbuhan pada remaja pria terus berlanjut. Hingga pada kesimpulannya, Lynn

menyatakan bahwa tidak ada perbedaan skor IQ antar gender hingga usia 8 tahun; bahwa

pada rentang usia 9-12 tahun rata-rata skor anak perempuan sedikit lebih unggul (1 poin);

bahwa pada rentang usia 13-15 remaja pria maupun wanita cenderung memiliki rata-rata

skor yang sama; dan mulai usia 16 tahun remaja pria cenderung memiliki skor rata-rata yang

lebih tinggi dan hingga akhirnya pria dewasa memiliki keunggulan sekita 2,4 – 5 skor IQ

dibandingkan wanita.

2

Page 3: MAKALAH II MPBI-Ras dan Gender

Lynn dan Irwing (2004) mengaitkan fenomena peningkatan skor rata-rata secara

gradual pada pria dengan kemungkinan dari perbedaan pengalaman dan peran antar gender di

masyarakat. Di semua budaya dalam masyarakat, wanita digambarkan sebagai sosok yang

bertanggung jawab dalam mengasuh anak. Bahkan ketika wanita berkecimpung dalam dunia

profesional, ia masih harus dihadapkan pada urusan domestik rumah tangganya (Yogev,

Lynn & Irwing, 2004). Lynn & Irwing (2004) menduga ini sebagai hal yang mempengaruhi

skor pada tes kemampuan kognitif. Asumsi tentang perbedaan pengalaman dan peran dapat

mempengaruhi skor tes inteligensi ini juga diajukan oleh Ackerman et al. (dalam Lynn dan

Irwing, 2004). Menurut mereka, potensi sosial, kedekatan sosial, dan traditionalism-worry

terkait dengan skor yang rendah pada pengetahuan umum—crystallized intelligence. Hal ini

terkait dengan penelitian Lippa (dalam Lynn & Irwing, 2004) dimana dalam dimensi People-

Things, wanita cenderung lebih tertarik pada hal-hal yang berbau sosial; sedangkan pria lebih

tertarik pada hal yang bersifat kebendaan.

b. Perbedaan pada Multiple Intelligence

Dalam teori multiple intelligences, Gardner (dalam Sattler, 2001) mengungkapkan

bahwa setiap orang memiliki sedikitnya 8 kompetensi intelektual dan 2 kemungkinan

kompetensi lain. Ia juga menjelaskan bahwa setiap kecerdasan relatif terpisah satu sama

lainnya dan tidak saling bergantung sehingga menjadikan seseorang dapat unggul dalam

bidang tertentu meskipun memiliki kelemahan di bidang lainnya. Namun pada kenyataannya,

berbagai jenis kecerdasan tersebut bekerjasama untuk menghasilkan kesesuaian informasi

yang dibutuhkan. Adapun kompetensi intelektual yang diidentifikasi oleh Howard Gardner

antara lain linguistic, logical mathematical, spatial, bodily kinesthetic, musical,

interpersonal, intrapersonal, naturalist, spiritual, dan existensial

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa individu mungkin akan lebih unggul dalam satu

atau lebih bidang, namun dapat lemah di bidang lainnya. Hal ini bisa dilihat dari penelitian

yang dilakukan oleh Neto, Furnham, dan Paz (2007), yang menyebutkan bahwa terdapat

perbedaan skor IQ pada beberapa kompetensi kecerdasan yang dijelaskan oleh Gardner. Hasil

dari penelitian pada chinese communities menunjukkan bahwa laki-laki memiliki kecerdasan

yang lebih tinggi dibandingkan perempuan dalam hal kemampuan matematika dan spasial.

Laki-laki baik dalam melakukan menggunakan gambaran visual dalam memorinya.

Sementara itu, perempuan memiliki skor yang tinggi pada bidang interpersonal. Hal ini

menyebabkan perempuan lebih mudah belajar bahasa dibandingkan dengan laki-laki.

Perempuan juga cenderung superior pada kemampuan verbal dibandingkan dengan laki-laki.

3

Page 4: MAKALAH II MPBI-Ras dan Gender

c. Konstruksi Sosial

Perbedaan kecerdasan antar gender ternyata tidak mutlak dipengaruhi oleh perbedaan

struktur biologis dari tiap gender itu sendiri. Perbedaan kecerdasan antar gender tersebut

berhubungan dengan adanya kontruksi sosial yang berkembang di masyarakat. Dalam meta-

studi yang dilakukan Hogan (dalam Furnham & Gasson, 1998) pada 11 penelitian, disebutkan

bahwa wanita cenderung menilai dirinya memiliki IQ yang lebih rendah dibanding pria.

Penelitian serupa yang dilakukan Furnham & Gasson (1998) pada orang dewasa di Inggris

juga menghasilkan gambaran serupa dengan penelitian sebelumnya, yaitu pria cenderung

menilai diri mereka memiliki IQ yang lebih tinggi dari wanita. Sedangkan baik pria maupun

wanita menilai anak laki-laki mereka memiliki IQ yang lebih tinggi daripada anak perempuan

mereka. Hasil penelitan tersebut sekaligus dapat memberikan penjelasan sosiokultural tentang

perbedaan IQ antar gender (Furnham & Gasson, 1998).

Penjelasan menarik mengenai perbedaan kecerdasan antar gender ini pun juga

dijelaskan oleh Dr. Irawan M. (http://forumm.wgaul.com/showthread.php?t=38758), spesialis

saraf anak. Dalam sebuah artikel, ia menyebutkan bahwa pada dasarnya gender tidak

berpengaruh pada tingkat intelegensi yang dimiliki oleh seseorang, tetapi memang terjadi

perbedaan antara wanita dan pria dalam hal menstimulasi otak. Pria biasanya lebih

menstimulasi bagian otak kiri, dimana bagian otak kiri ini lebih kepada hal-hal yang

berhubungan dengan matematika, sains, logika. Sedangkan wanita biasanya lebih banyak

menstimulasi bagian otak sebelah kanan, yang lebih berfungsi pada hal-hal yang besifat

emosional, kemampuan verbal, artistik, perasaan. 

Perbedaan stimulasi pada otak ini dapat disebabkan karena harapan budaya terhadap

pria dan wanita cenderung berbeda, sehingga terdapat perbedaan perlakuan antara pria dan

wanita. Biasanya para wanita lebih dididik untuk lebih banyak menggunakan perasaan, lebih

lembut, dan patuh pada laki-laki sehingga terkadang pendidikan tinggi tidak menjadi suatu

hal yang patut di raih oleh perempuan karena kodrat perempuan sebagai ibu yang bertugas

untuk mengurusi keluarganya. Sedangkan pria lebih dididik untuk melakukan hal-hal yang

berhubungan dengan akal untuk dapat berpikir dan berbuat lebih cepat dan tepat, karena laki-

laki dituntut untuk dapat menjadi pemimpin dan mampu menafkahi keluarga sehingga

pendidikan tinggi dianggap penting agar laki-laki bisa mendapatkan posisi dalam pekerjaan

yang baik.

4

Page 5: MAKALAH II MPBI-Ras dan Gender

d. Kesimpulan dan Implikasi

Dari banyak studi yang meneliti isu perbedaan gender dalam intelegensi, masih

banyak pro dan kontra. Lynn (1999) menyatakan bahwa perbedaan intelegensi antara pria dan

wanita terus berubah selama masa anak-anak dan mulai menunjukkan perbedaan yang

signifikan pada masa remaja, dimana pria memiliki nilai intelegensi yang lebih tinggi. Hal ini

disebabkan karena perbedaan maturasi fisik dan mental antara pria dan wanita, dimana pada

umumnya wanita mengalami maturasi lebih awal. Lynn dan Irwing (2004) mengaitkan

fenomena peningkatan skor rata-rata secara gradual pada pria dengan kemungkinan dari

perbedaan pengalaman dan peran antar gender di masyarakat. Penelitian perbedaan self-

estimates IQ antar gender memberikan penjelasan sosiokultural tentang perbedaan IQ antar

gender. Dari banyak penelitian, didapat bahwa wanita cenderung menilai IQ mereka lebih

rendah dibanding pria; begitu juga sebaliknya, pria cenderung menilai diri mereka memiliki

IQ yang lebih baik daripada wanita.

Salah satu implikasi pandangan atas isu adalah pada pandangan tentang peran antar

gender di masyarakat. Hal ini sering kali dikaitkan sebagai penyebab dalam dominasi laki-

laki dalam bidang sains dan teknologi, sedangkan wanita lebih banyak menggeluti bidang-

bidang yang bersifat seni dan keindahan. Kemampuan spasial yang dianggap lebih tinggi

pada laki-laki menyebabkan kebanyakan orang yang menggeluti profesi penerbang adalah

laki-laki. Contoh nyata dapat terlihat dari penerimaan taruna Angkatan Udara yang memiliki

syarat utama yaitu berjenis kelamin laki-laki.

Implikasi nyata dari sebuah perbedaan kecerdasan antar gender tampak jelas dari

penjelasan mengenai profesi penerbang yang lebih diperuntukkan bagi laki-laki. Selain hal

tersebut, implikasi lain dari adanya perbedaan kecerdasan antar gender ini terlihat dari

munculnya fenomena "glass ceiling" yang dialami perempuan di tempat kerja. Dalam

fenomena ini perempuan dihambat untuk mencapai posisi puncak di institusi tempatnya

bekerja.

3. Perbedaan IQ antar Ras

Pada bagian ini, akan dijelaskan mengenai perbedaan intelegensi antar ras menurut

tiga sudut pandang, yaitu pandangan genetik, genetik-lingkungan, dan lingkungan/budaya

(environmentalist). Di akhir bagian ini juga akan dibahas mengenai implikasi dari adanya

perbedaan intelegensi antar ras.

5

Page 6: MAKALAH II MPBI-Ras dan Gender

a. Sudut Pandang Genetik

Secara sederhana, ras didefinisikan sebagai grup yang dapat dibedakan dari grup yang

lainnya (Lynn, 2006). Penggolongan ras tersebut didasarkan pada ciri biologis yang tampak,

antara lain berdasarkan warna kulit dan bentuk morfologis. Taksonomi ras yang pertama

dibuat oleh Linneaus (1758, dalam Lynn, 2006). Dalam taksonomi ini ia membagi ras

menjadi empat kategori yaitu Europaeus (Europeans), Afer (black Africans), Asiaticus

(Asians), dan Americanus (Native-Americans). Kemudian pada tahun 1776, Blumenbach

menambahkan lima ras yang didasarkan pada warna kulit, yaitu ras Kaukasoid (kulit putih),

Mongoloid (kulit kuning), Ethiopian (kulit hitam), American (kulit merah) dan Melanesia

(kulit coklat).

Ras-ras yang telah disebutkan di atas ternyata tidak hanya memiliki perbedaan dari

segi morfologis dan warna kulit, tetapi mereka juga memiliki perbedaan dalam hal tingkat

inteligensi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ras Kaukasoid di Amerika Utara, Eropa,

dan Australia secara umum memiliki IQ sekitar 100. Ras Mongoloid memiliki IQ yang lebih

tinggi, yakni sekita 100-106. Ras Negroid Afrika memiliki skor IQ rata-rata sekitar 70,

sementara ras Negroid-Kaukasoid yang bermukin di Amerika Serikat dan Inggris

memperoleh skor sekitar 85. Sementara ras Indian Amerika dan Asia Tenggara memeroleh

skor sekitar 85-95 (Lynn, 1991).

Penelitian mengenai perbedaan ras terhadap inteligensi sudah dimulai sejak

pertengahan abad 19. Pada tahun 1830an, Samuel Morton mengumpulkan tengkorak-

tengkorak manusia dari berbagai macam ras, mendapati bahwa ras kulit putih (Eropa)

memiliki ukuran tengkorak yang paling besar, yang diikuti oleh ras mongoloid (Asia Timur),

Melanesia (Asia Tenggara), Indian Amerika, Afrika dan terakhir Australia Aborigin. Dari

penemuannya ini, ia menyimpulkan bahwa ukuran kepala berhubungan dengan perbedaan

inteligensi pada berbagai ras. Kemudian pada tahun 1861, Paul Broca mengatakan bahwa

manusia-manusia yang memiliki bakat unggul memiliki ukuran kepala yang lebih besar

daripada manusia-manusia yang memiliki bakat yang biasa (Lynn, 2006). Otak adalah proxy

dalam kapasitas pemrosesan, tetapi proxy dari ukuran otak adalah ukuran kepala (Sternberg,

2003). Korelasi antara ukuran kepala dan ukuran otak pada orang dewasa bervariasi dengan

perkiraan sebesar .60 (Hoadley; Wickett, Vernon, & Lee, dalam Sternberg, 2003), dan pada

anak-anak, korelasi antara ukuran kepala dan otak berkorelasi lebih tinggi.

Lebih lanjut, perbedaan ras terhadap inteligensi juga telah diketahui sejak perang

dunia pertama ketika sebuah tes militer diberikan kepada sejumlah anggota militer di

Amerika Serikat. Dari hasil tes ini ditemukan bahwa ras kulit hitam memiliki rata-rata level

6

Page 7: MAKALAH II MPBI-Ras dan Gender

inteligensi sekitar 15 poin di bawah level inteligensi yang diperoleh oleh ras kulit putih.

Penemuan ini kemudian menimbulkan pertanyaan apakah perbedaan inteligensi ini didasari

oleh perbedaan genetis dan banyak dibantah oleh environmentalist yang mengemukakan

bahwa penyebab rendahnya skor IQ pada ras Negroid lebih karena faktor lingkungan yang

tidak menguntungkan dan posisi mereka sebagai kaum minoritas di Amerika (Flynn, Jaynes

& Williams, Mackintosh & Mascie Taylor, dalam Lynn, 1991). Namun skor intelegensi kulit

hitam di sub-Saharan Afrika, yang bukan merupakan kaum minoritas di negaranya, juga

menunjukkan nilai yang bahkan lebih rendah dari American Black (Rushton & Jensen, 2005).

Terdapat dua penjelasan untuk fenomena tersebut. Yang pertama yaitu bahwa American

Black telah memiliki 25% sifat yang diturunkan oleh kulit putih (mendukung pandangan

genetik). Sementara penjelasan kedua yaitu American Blacks memiliki standar kehidupan

yang lebih baik daripada sub-Saharan (mendukung pandangan environmentalist).

Sementara itu hipotesis dari environmentalist tentang posisi minoritas juga tidak bisa

menjelaskan skor intelegensi East-Asian dan Yahudi yang lebih tinggi daripada kulit putih

(Rushton & Jensen, 2005). Padahal East-Asian dan Yahudi juga mengalami posisi sebagai

minoritas dan bahkan kolonialisme yang kejam. Oleh karena itu, sejauh ini pandangan

genetik adalah pandangan yang paling bisa menjelaskan adanya perbedaan intelegensi antar

ras.

b. Sudut Pandang Genetik-Lingkungan

Sudut pandang ini mengajukan hipotesis bahwa terdapat 50% pengaruh genetik dan

50% pengaruh lingkungan terhadap skor intelegensi. Studi mengenai hal ini dilakukan

dengan penelitian pada adopsi transrasial. Studi pada anak Vietnam dan Korea yang diadopsi

oleh keluarga kulit putih menunjukkan bahwa walaupun sebelum diadopsi mengalami

malnutrisi, anak Vietnam dan Korea tersebut memiliki skor intelegensi 10 poin lebih tinggi

daripada orang tua adopsi mereka. Sebaliknya, anak kulit hitam yang diadopsi oleh keluarga

kulit putih menunjukkan skor intelegensi yang lebih rendah daripada anak kulit putih yang

diadopsi keluarga tersebut (Rushton & Jensen, 2005). Hal ini menunjukkan bahwa skor

intelegensi anak-anak adopsi tersebut masih sama dengan rata-rata skor intelegensi dari

kelompok ras mereka, yaitu ras Asia memiliki skor yang lebih tinggi daripada kulit putih, dan

kulit putih memiliki skor yang lebih tinggi daripada kulit hitam. Studi yang dilakukan oleh

Scarr dan Weinberg (1976, dalam Rushton & Jensen, 2005) pada adopsi anak kulit hitam dan

keturunan campuran kulit hitam dan putih menunjukkan bahwa pada masa anak-anak, skor

intelegensi mereka mendekati skor intelegensi orang tua adopsinya. Namun pada masa

7

Page 8: MAKALAH II MPBI-Ras dan Gender

remaja, skor intelegensi mereka menurun dan lebih mendekati skor rata-rata kelompok ras

mereka, walaupun skor mereka masih tetap berada di atas rata-rata skor intelegensi kelompok

ras. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh genetik dan lingkungan terhadap skor

intelegensi.

c. Sudut Pandang Environmentalist

Menurut pandangan ini, kemampuan kognitif merupakan hasil dari faktor lingkungan.

Jika terdapat perbedaan antar kelompok, kemungkinan pada kelompok dengan intelegensi

lebih rendah terdapat pengalaman yang tidak dirasakan atau kekurangan stimulus dari

lingkungan.

Dalam Ruhton dan Jensen (2005) disebutkan bahwa environmentalist berhipotesis

bahwa tes intelegensi yang banyak digunakan mengandung bias karena item-item tes tidak

familiar bagi setiap kelompok. Item tes lebih mencerminkan budaya dan bahasa kalangan

menengah ke atas dan menekankan culture-fair. Padahal American Blacks cenderung

memiliki skor yang lebih tinggi pada tes yang bersifat culturally-loaded Sementara

sebaliknya kelompok Mexican Indians dan Asia Timur memiliki skor yang lebih tinggi pada

tes yang bersifat culturally-reduced. Environmentalist menjelaskan hal tersebut terjadi karena

faktor kurangnya bahan bacaan di rumah, lingkungan budaya yang kurang nyaman, struktur

keluarga yang tidak lengkap, penggunaan bahasa yang berbeda, minat anak dan orang tua

yang rendah terhadap sekolah, serta self-esteem anak yang buruk. Namun penjelasan tersebut

tidak bisa menjelaskan skor intelegensi yang tinggi pada Bangsa Inuit. Walaupun sebagian

besar dari mereka menghadapi kondisi ekonomi yang lebih buruk daripada American Blacks,

mereka tetap memiliki skor intelegensi yang lebih tinggi.

Seharusnya jika pandangan environmentalist benar, maka penyetaraan kualitas

pendidikan mampu mengurangi perbedaan tersebut. Namun pada kenyataannya, setelah lima

dekade penghapusan pemisahan sekolah berdasarkan ras (Brown v. Board of Education of

Topeka) ternyata perbedaan antar ras dalam pencapaian bidang akademik masih ada.

Penelitian-penelitian secara kuantitatif pun tidak bisa membuktikan kebenaran hipotesis yang

diajukan oleh environmentalist. Hal ini mendorong John Ogbu (2003, dalam Carter, 2004) –

seorang antropolog berbangsa Nigerian-American – untuk melakukan studi etnografik

tentang perbedaan antara kulit putih dan kulit hitam dalam pencapaian akademik. Penelitian

kualitatif ini dilakukan pada komunitas kulit hitam di kalangan menengah ke atas. Pemilihan

kalangan menengah ke atas untuk penelitian ini didasari oleh pertimbangan bahwa selama ini

studi tentang kulit hitam lebih banyak dilakukan pada kalangan bawah. Fokus Ogbu dalam

8

Page 9: MAKALAH II MPBI-Ras dan Gender

penelitian ini adalah untuk mengetahui mengapa performa akademik siswa kulit hitam

rendah.

Studi ini menemukan bahwa orang tua dan siswa kulit hitam tidak percaya pada

sistem pendidikan dan job market yang menurut mereka masih berdasarkan budaya kulit

putih. Kepercayaan ini membuat orang tua dan siswa kulit hitam sama-sama memandang

sekolah secara pesimis dan berdampak pada dukungan orang tua yang rendah terhadap

pencapaian akademik anak di sekolah. Anak-anak kulit hitam juga percaya bahwa secara

intelektual kemampuan mereka lebih rendah daripada kulit putih. Hal ini juga membuat

motivasi mereka dalam pendidikan menjadi rendah.

Sementara itu, Ogbu juga mengemukakan bahwa harapan guru terhadap prestasi

siswa kulit hitam yang cenderung rendah juga menyebabkan siswa kulit hitam malas

mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru mereka. Selain itu, kulit hitam juga menganggap

bahwa budaya dan bahasa yang digunakan di sekolah pada umumnya merupakan cerminana

dari budaya kulit putih. Oleh karena itu jika mereka ingin mencapai prestasi akademik yang

baik, setidaknya mereka harus menginternalisasi budaya tersebut dalam diri mereka. Namun

dalam komunitas kulit hitam, seseorang yang mereka anggap bertingkah laku dan berbahasa

seperti kulit putih sebagai outsider. Hal ini menyebabkan siswa kulit hitam enggan

beradaptasi dengan budaya dan bahasa kulit putih di sekolah. Mereka lebih memilih untuk

bertingkah laku dan mencapai pencapaian yang tinggi dengan cara mereka sendiri. Karena

kepercayaan ini, banyak siswa kulit hitam yang menggunakan waktunya untuk mengasah

kemampuan mereka sendiri di luar sekolah atau melakukan kerja paruh waktu. Hal ini

membuat waktu untuk mengerjakan tugas dari sekolah makin sedikit, sehingga tak heran jika

pemahaman mereka terhadap materi di sekolah rendah. Menurut hasil studi Ogbu, rendahnya

prestasi di sekolah membuat mereka berpikir bahwa sekolah tidak berguna untuk mencapai

mobilitas ekonomi dan sosial. Mereka lebih memilih pekerjaan yang berkaitan dengan

olahraga, hiburan, dan drug dealing sebagai alternatif untuk mencapai mobilitas tersebut.

4. Kesimpulan dan Implikasi

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menjelaskan mengenai

perbedaan intelegensi antar ras lebih banyak ditemukan bukti genetik dan genetik-

lingkungan. Bukti genetik yang menunjukkan perbedaan ini yaitu besar kepala/volume otak

yang berbeda antar ras, dimana ras yang memiliki skor intelegensi lebih tinggi memiliki

ukuran kepala/volume otak yang lebih besar. Hipotesis genetik-lingkungan juga menemukan

bukti dari studi adopsi transrasial, dimana walaupun rata-rata skor intelegensi anak kulit

9

Page 10: MAKALAH II MPBI-Ras dan Gender

hitam meningkat beberapa poin, nilai mereka masih mendekati rata-rata nilai intelegensi kulit

hitam.

Sementara itu, hipotesis environmentalist yang tak kunjung menemukan bukti

mendorong dilakukannya penelitian etnografik oleh Ogbu yang bertujuan untuk mendapatkan

data secara kualitatif tentang alasan kulit hitam memiliki prestasi akademik yang lebih

rendah dari kulit putih. Dari studi ini ditemukan bahwa: (a). belief dan sikap mereka terhadap

sistem pendidikan rendah; (b). harapan guru terhadap prestasi siswa kulit hitam yang

cenderung rendah menyebabkan siswa kulit hitam malas mengerjakan tugas yang diberikan

oleh guru mereka; dan (c) anggapan bahwa system pendidikan lebih banyak mengadopsi

budaya dan bahasa kulit putih membuat siswa kulit hitam untuk mencapai mobilitas sosial

dan ekonomi dengan strategi mereka sendiri, yaitu mengasah kemampuan mereka di luar

sekolah.

Perbedaan intelegensi antar ras ini tentu akan berimplikasi pada dunia kerja dan

kualitas kehidupan kelompok ras. Selama ini seleksi kerja dilakukan dengan tes intelegensi.

Dengan perbedaan intelegensi antar ras ini, tentu akan menyebabkan posisi kerja lebih

banyak diisi oleh kelompok ras dengan nilai intlegensi yang lebih tinggi dari kelompok ras

lain. Hal ini akan menimbulkan kecemburuan sosial dan peningkatan serta penyetaraan

kualitas hidup pada kaum minoritas akan lebih sulit tercapai.

Ogbu (2003, dalam Carter, 2004) menawarkan beberapa solusi untuk mengatasi

masalah tersebut, khususnya pada peningkatan prestasi siswa kulit hitam. Solusi tersebut

antara lain adalah dengan adanya peningkatan cooperative learning dengan siswa kulit hitam

dan pedagogi yang mempertimbangkan budaya siswa dari kelompok minoritas. Sementara

untuk komunitas kulit hitam, disarankan peningkatan kesadaran pentingnya pendidikan baik

bagi kalangan orang tua maupun siswa.

10