Makalah Hukum Waris Adat Revisi.docx

30
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam hal pewarisan, Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris diantaranya, diantaranya Hukum Waris BW, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat. Masing-masing hukum tersebut memiliki karakter yang berbeda dengan yang lain. Pada prinsipnya kewarisan adalah langkah-langkah penerusan harta peninggalan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari seorang pewaris kepada ahli warisnya. maksudnya dari pewaris ke ahli warisnya. Akan tetapi di dalam kenyataannya proses serta langkah- langkah pengalihan tersebut bervariasi, dalam hal ini baik dalam hal hibah, hadiah dan hibah wasiat. ataupun permasalahan lainnya Hukum waris adat mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual. Sistem waris kolektif yaitu, harta warisan dimiliki secara bersama-sama, dan ahli waris tidak diperbolehkan untuk memiliki secara pribadi. Jika ingin memanfaatkan harta waris tersebut, harus ada musyawarah dengan ahli waris yang lain.

Transcript of Makalah Hukum Waris Adat Revisi.docx

BAB IPENDAHULUAN

A.Latar BelakangNegara Indonesiaadalah negara yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam hal pewarisan,Indonesiamemiliki berbagai macam bentuk waris diantaranya, diantaranya Hukum Waris BW, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat. Masing-masing hukum tersebut memiliki karakter yang berbeda dengan yang lain.Pada prinsipnya kewarisan adalah langkah-langkah penerusan harta peninggalan baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari seorang pewaris kepada ahli warisnya. maksudnya dari pewaris ke ahli warisnya. Akan tetapi di dalam kenyataannya proses serta langkah-langkah pengalihan tersebut bervariasi, dalam hal ini baik dalam hal hibah, hadiah dan hibah wasiat. ataupun permasalahan lainnyaHukum waris adat mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual. Sistem waris kolektif yaitu, harta warisan dimiliki secara bersama-sama, dan ahli waris tidak diperbolehkan untuk memiliki secara pribadi. Jika ingin memanfaatkan harta waris tersebut, harus ada musyawarah dengan ahli waris yang lain. Sistem waris mayorat yaitu, harta waris dimiliki oleh ahli waris yang tertua, dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan ahli waris yang muda baik perempuan atau laki-lak sampai mereka dewasa dan mampu mengurus dirinya sendiri. Sistem waris individual yaitu, harta warisan bisa dimliki secara pribadi oleh ahli waris, dan kepemilikkan mutlak ditangannya.Dengan adanya beragam bentuk sistem kewarisan hukum adat, menimbulkan akibat yang berbeda pula, maka pada intinya hukum waris harus disesuaikan dengan adat dan kebudayaan masing-masing daerah dengan kelebihan dan kekurangan yang ada pada sistem kewarisan tersebut.

B.Rumusan MasalahDari sedikit ulasan diatas dapat ditarik point pertanyaan yakni, 1) Bagaimana pengertianHukum Waris Adat dan pembagian-pembagiannya ?2) Apa yang mendasari hukum waris adat terbagi menjadi system Patrilinenal, Matrinieal, dan Pariental ?3) Apa maksud Asas Harta Warisan sudah bersih ?

BAB IIPEMBAHASAN

A.Pengertian Hukum Waris AdatDi negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasional belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat RI, yakni hukum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Burgerlijk Wetboek (BW). Hal ini adalah akibat warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.Menggunakan hukum waris menurut hukum adat, menurut Wirjono Projodikoro, hukum adat pada umumnya bersandar pada kaidah sosial normatif dalam cara berpikir yang konkret yang sudah menjadi tradisi masyarakat tertentu.Menurut Ter Haar,hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang bertalian dengan dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi. Selain itu, ada pendapat lain ditulis bahwa Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda yang berwujud dan yang tidak berwujud, dari suatu angkatan generasi manusiakepada keturunnya.Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya.Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah:1. Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris, sedangkan menurut sistem hukum barat dan hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.2. Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie (bagian mutlak), sebagaimana diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.3. Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.Berdasarkan ketentuan Hukum Adat pada prinsipnya asas hukum waris itu penting, karena asas-asas yang ada selalu dijadikan pegangan dalam penyelesaian pewarisan. Adapun berbagai asas itu di antaranya seperti asas ketuhanan dan pengendalian diri, kesamaan dan kebersamaan hak, kerukunan dan kekeluargaan, musyawarah dan mufakat, sertakeadilan. Jika dicermati berbagai asas tersebut sangat sesuai dengan kelima sila yang termuat dalam dasar negara RI, yaitu Pancasila.Di samping itu, menurut Muh. Koesnoe, di dalam Hukum Adat juga dikenal tiga asas pokok, yaitu: Asas kerukunan Asas kepatutan Asas keselarasan. Ketiga asas ini dapat diterapkan dimana dan kapan saja terhadap berbagai masalah yang ada di dalam masyarakat, asal saja dikaitkan dengan desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan).Dengan menggunakan dan mengolah asas kerukunan, kepatutan dan keselarasan dikaitkan dengan waktu, tempat dan keadaan, diharapkan semua masalah akan dapat diselesaikan dengan baik dan tuntas.Hukum waris adat pada dasarnya merupakan sekumpulan hukum yang mengatur proses pengoperan dari satu generasi selanjutnya.Unsur-unsur hukum mawaris adat adalah sebagai berikut :

1.Proses pengoperan atau hibah atau pewarisan atau warisan.Maksud dari proses disini berarti bahwa pewarisan hukum adat bukan selalu aktual dengan adanya kematian, atau walaupun tak ada kematian proses pewarisan itu tetap ada, mengenai penerusan, pengoperan dan penerusan kedudukan harta material dan immaterial, penerusan itu dari generasi ke generasi berikutnya. Jadi pewarisan ini bukan merupakan pewarisan individual.

2.Harta kekayaan materiil dan imateriil.Tiap kesatuan keluarga mesti ada benda-benda material yang dimiliki oleh keluarga itu, yang disebut dengan kekayaan. Kekayaan yang biasa disebut harta keluarga(gezinsgoed),dapat diperoleh dengan cara, antara lain : a. Harta suami istri yang diperoleh dari harta warisan dari orang tuanya (toessheding)b. Harta suami istri yang diperoleh sendiri sebelum perkawinanc. Harta suami istri yang diperoleh bersama-sama semasa perkawinand. Harta yang ketika menikah kepada pengantin (suami istri).Kekayaan dalam keluarga tersebut pada dasarnya memiliki beberapa fungsi :1) Kekayaan merupakan basis material dalam kehidupan keluarga yang dinamakan harta rumah tangga bagi kesatuan rumah tangga.2) Kekayaan berfungsi untuk memberi basis material bagi kesatuan-kesatuan rumah tangga yang akan dibentuk oleh keturunan.3) Karena harta kekayaan itu merupakan basis material dari pada kesatuan-kesatuan kekeluargaan, maka dari sudut lain harta kekayaan itu merupakan alat untuk mempersatukan kehidupan keluarga.4) Karena harta kekayaan itu adalah pemersatu kehidupan keluarga, maka pada dasarnya dalam proses pewarisan, tidak dilakukan pembagian atau pada dasarnya harta peninggalan tak dibagi-bagi.Berdasarkan ketentuan mengenai fungsi dari pada harta kekayaan, maka dalam hukum waris di kenal dua harta macam peninggalan yaitu :a. Harta peninggalan yang dapat dibagi yaitu, peninggalan yang dibagi-bagikan pada ahli warisnya yaitu kepada anak-anaknya.b. Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi yaitu, jika orang itu meninggal, maka hartanya menjadi harta pusaka yang dimiliki oleh komplek-famili yang dipimpin oleh kepala-famili, dan hanya ada seorang anak saja yang berhak mewarisi. Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi di golongkan menjadi dua yaitu, Mayorat (sistem pewarisan dimana anak tertua yang menjadi ahli waris) Kolektif (suatu sistem kewarisan yang dimana harta pusaka yang dimiliki bersama, yaitu dimiliki oleh keluarga didalam arti kerabat (famili)).3.Satu generasi kegenerasi selanjutnya.Pada dasarnya yang menjadi ahli waris dalam hukum adat adalah generasi selanjutnya atau penerus.4.Tata cara penyelenggaraan pembagian warisan.Tata cara penyelenggaraannya pembagian warisan menurut hukum adat meliputi tiga cara yaitu sebagai berikut :a) Waris, waris berdasarkan sistem tata tertib sanak yang terbagi dalam tiga sistem yaitu waris parental, waris patrilineal, dan waris matrilineal.b) Hibah, adalah perbuatan hukum yang dimana seseorang tertentu memberikan sutau barang (kekayaan) tertentu kepada seseorang yang dikehendaki, menurut kaidah hukum yang berlaku. Hibah dibagi menjadi dua yaitu hibah biasa (pembagian barang milik seseorang yang langsung diikuti dengan pnyerahan seketika barang), dan hibah wasiat (pembagian barang milik seseorang yang tidak selalu diikuti penyerahan seketika itu, juga barang-barang itu kepada yang mendapat barang masing-masing dan baru akan diserahkan apabila si pemberi sudah meninggal dunia). Dengan kata lain hibah wasiat berlaku setelah si pemberi meninggal.

B.Azas-azas Pewarisan Menurut Hukum Waris adatDalam hukum waris adat bangsa Indonesia bukan semata-mata terdapat azas kerukunan dan azas kesamaan hak dalam pewarisan, karena berpangkal tolak pada sila-sila pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. maka terdapat juga azas-azas hukum yang terdiri dari:

1) Azas Ketuhanan dan pengendalian diriDengan dasar hukum orang berpegang pada ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa, karena iman dan taqwanya ia mengendalikan diri menahan nafsu kebendaan dan untuk dapat mengendalikan diri dalam masalah kewarisan, sehingga akan selalu menjaga kerukunan hidup antara para waris dan anggota keluarga dari pertentangan.a. 2) Azas Kesamaan Hak dan kebersamaan hakAdanya sikap dalam hukum waris adat sesungguhnya bukan menentukan banyaknya bagian warisan yang harus diutamakan, tetapi kepentingan dan kebutuhan para waris yang dapat dibantu oleh adanya warisan itu. Sehingga pembagian tidak selalu sama hak dan sama banyak bagian pria dan wanita3) Azas kerukunan dan kekeluargaanSuatu azas yang dipertahankan untuk tetap memelihara hubungan kekeluargaan yang tentram dan damai dalam mengurus menikmati dan memanfaatkan warisan yang tidak terbagi-bagi ataupun dalam menyelesaikan masalah pembagian pemilikan harta warisan yang dibagi4) Azas Musyawarah dan mufakatDalam mengatur atau menyelesaikan harta warisan setiap anggota waris mempunyai rasa tanggung jawab yang sama dan atau hak dan kewajiban yang sama berdasarkan musyawarah dan mufakat bersama5) Azas Keadilan dan parimirmaAzas welas kasih terhadap para anggota keluarga pewaris, dikarenakan keadaan, kedudukan, jasa, karya dan sejarahnya. Sehingga walaupun bukan ahli waris namun wajar untuk juga diperhitungkan mendapat bagian harta warisan.

C. Pembagian Waris Menurut Hukum AdatDalam hal pembagiannya yaitu anak-anak dan atau keturunannya serta janda atau duda, seluruh harta menurut pasal 852 BW harus di bagi sebagai berikut:1. Apabila anak-anak dari si wafat masih hidup, anak-anak itu dan janda atau duda mendapat masing-masing suatu bagian yang sama, misalnya ada 4 anak dan janda maka mereka masing-masing 1/5 bagian.2. Apabila salah seorang anak sudah meninggal lebih dahulu, dan ia mempunyai anak (jadi cucu dari si peninggal warisan), misalnya 4 cucu, maka mereka semua mendapat 1/5 bagian selaku pengganti ahli waris (plaatsvervulling) menurut pasal 842 BW. Jadi masing masing cucu mendapat 1/20 bagian.Dalam hal ini tidak diperdulikan apakah anak-anak itu adalah lelaki maupun perempuan, anak tertua atau termuda.Menurut ketentuan Hukum Adat yang berkembang di dalam masyarakat, secara garis besar dapat dikatakan bahwa sistem (pembagianya) hukum waris adat terdiri dari tiga sistem, yaitu: Sistem Kolektif, Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan pengalihan harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut.. Sistem Mayorat, Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki tertua (Bali, Lampung, Teluk Yos Sudarso) atau perempuan tertua (Semendo/ Sumatra Selatan), anak laki-laki termuda (Batak) atau perempuan termuda atau anak laki-laki saja. Sistem Individual, berdasarkan prinsip sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di masyarakat di Jawa dan masyarakat tanah Batak.

D.Dasar terbaginya Sistem Pewarisan Adat1. Hukum Waris Adat PatrilinealPatrilinealadalah suatuadatmasyarakatyang mengatur alur keturunanberasal dari pihakayah. Kata ini seringkali disamakan denganpatriarkatataupatriari, meskipun pada dasarnya artinya berbeda.Patilinealberasal dari dua kata, yaitupater(bahasa Latin) yang berarti "ayah", danlinea(bahasa Latin) yang berarti "garis". Jadi, "patrilineal" berarti mengikuti "garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah".Sementara itupatriarkatberasal dari dua kata yang lain, yaitupateryang berarti "ayah" danarchein(bahasa Yunani) yang berarti "memerintah". Jadi, "patriari" berarti "kekuasaan berada di tangan ayah atau pihaklaki-laki".Di dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat Batak dan Bali. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak perempuan yang telah kawin dengan cara "kawin jujur" yang kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris orang tuanya yang meninggal dunia. Dalam masyarakat tertib Patrilineal seperti halnya dalam masyarakat Batak Karo, khususnya, dan dalam masyarakat Batak pada umumnya. Titik tolak anggapan tersebut, yaitu : Emas kawin (tukur), yang membuktikan bahwa perempuan dijual; Adat lakoman (levirat) yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara dari suaminya yang telah meninggal. Perempuan tidak mendapat warisan; Perkataan naki-naki menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk tipuan, dan lain-lain.Akan tetapi ternyata pendapat yang dikemukakan di atas hanya menunjukkan ketidaktahuan dan sama sekali dangkal sebab terbukti dalam cerita dan dalam kesusasteraan klasik, kaum wanita tidak kalah peranannya dibandingkan dengan kaum laki-laki. Meskipun demikian, kenyataan bahwa anak laki-laki merupakan ahli waris pada masyarakat patrilineal, dipengaruhi pula oleh beberapa faktor sebagai berikut:a. Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki. Anak perempuan tidak dapat melanjutkan silsilah (keturunan keluarga);b. Dalam rumah-tangga, isteri bukan kepala keluarga. Anak-anak memakai nama keluarga (marga) ayah. Istri digolongkan ke dalam keluarga (marga) suaminya;c. Dalam adat, wanita tidak dapat mewakili orang tua (ayahnya) sebab ia masuk anggota keluarga suaminya;d. Dalam adat, laki-laki dianggap anggota keluarga sebagai orang tua (ibu);e. Apabila terjadi perceraian, suami-isteri, maka pemeliharaan anak-anak menjadi tanggung jawab ayahnya. Anak laki-laki kelak merupakan ahli waris dari ayahnya baik dalam adat maupun harta benda.Di dalam pelaksanaan penentuan ahli waris dengan menggunakan kelompok keutamaan maka harus diperhatikan prinsip garis keturunan yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu. Pada umumnya masyarakat Bali menganut susunan kekeluargaan patrilinial, sehingga dalam hukum adat di Bali terdapat persyaratan-persyaratan sebagai ahli waris menurut I Gde Pudja adalah :1.Ahli waris harus mempunyai hubungan darah, yaitu misalnya anak pewaris sendiri.2.Anak itu harus laki-laki.3.Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak yang bukan sedarah yang karena hukum ia berhak menjadi ahli waris misalnya anak angkat.4.Bila tidak ada anak dan tidak ada anak angkat, hukum Hindu membuka kemungkinan adanya penggantian melalui penggantian atas kelompok ahli waris dengan hak keutamaan kepada kelompok dengan hak penggantian lainnya yang memenuhi syarat menurut Hukum Hindu.Apabila suatu keluarga hanya mempunyai anak perempuan tanpa ada anak laki-laki maka anak perempuan itu dapat diangkat statusnya sebagai anak laki-laki (sentana rajeg) dengan cara perkawinan ambil laki, sehingga anak perempuan tersebut dapat menjadi sebagai ahli waris dari harta warisan orang tuanya. Anak angkat berdasarkan hukum waris adat di Bali dilakukan bilamana suatu keluarga tidak mempunyai keturunan, sehingga fungsi anak angkat itu sebagai penerus generasi atau keturunan, agar mantap sebagai penerus keturunan dan tidak ada keragu-raguan maka pengangkatan anak ini haruslah diadakan upacara pemerasan dan diumumkan di hadapan masyarakat. Upacara penggangkatan anak ini dimaksudkan untuk melepaskan anak itu dari ikatan atau hubungan dengan orang tua kandungnya dan sekaligus memasukkan anak itu ke dalam keluarga yang mengangkatnya. Dalam sistem hukum adat waris patrilineal, pewaris adalah seorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan suku bersistem patrilineal, yang memakai marga itu berlaku keturunan patrilineal maka orang tua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari orang tuanya.Sifat masyarakat patrilinial adalah masyarakat yang anggota- anggotanya menarik garis keturunan melalui garis bapak. Sifat kekeluargaan masyarakat adat ini disebut juga dengan masyarakat Unilaterial. Pada masyarakat unilaterial diperlakukan kawin jujur.Pola pembagian harta warisan masyarakat parental adalah :a.Yang berhak mewarisi hanyalah anak laki- lakib.Kakek, jika tidak memiliki anak laki- lakic.Saudara laki- laki, jika kakek tidak ada2. Hukum Waris AdatMatrilinialDi RIhukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar dari sistem suku-suku bangsa atau kelompok-kelompok etnik. Masalahnya adalah, antara lain: Apakah ada persamaan antara hukum waris adat yang dianut oleh berbagai suku atau kelompok tersebut, dan apakah hal itu tetap dianut walaupun mereka menetap di luar daerah asalnya. Menguraikan system hukum adat waris dalam suatu masyarakat tertentu, kiranya tidak dapat terlepas dari system kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Demikian pula halnya dengan system hukum adat waris dalam masyarakat matrilinial di Minangkabau, ini berkaitan erat dengan system kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari pihak ibu.Hukum waris menurut hukum adat Minangkabau senantiasa merupakan masalah yang aktual dalam berbagai pembahasan. Hal itu mungkin disebabkan karena kekhasannya dan keunikannya bila dibandingkan dengan system hukum adat waris dari daerah-daerah lain diIndonesiaini. Seperti telah dikemukakan, bahwa system kekeluargaan di Minangkabau adalah system yang menarik garis keturunan dari pihak ibu yang dihitung menurut garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan.Dengan system tersebut, maka semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta Pusaka Tinggi yaitu harta yang turun-temurun dari beberapa generasi, maupun harta pusaka rendah yang harta yang turun dari satu generasi.Sistem parental ini di RI dianut di banyak daerah, seperti: Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok.Berbeda dengan dua sistem kekeluargaan sebelumnya yaitusistem patrilineal dan sistem matrilinial, sistem kekeluargaan parentalatau bilateral ini memiliki ciri khas tersendiri pula, yaitu bahwa yangmerupakan ahli waris adalah anak laki-laki maupun anak perempuan.Mereka mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orangtuanya sehingga dalam proses pengalihan sejumlah hartakekayaan dari pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dan anakperempuan mempunyai hak untuk diperlakukan sama. Tiga bentuksistem kekeluargaan yang sangat menonjol senantiasa merupakancontoh pembahasan.Hal tersebut mungkin didasarkan padapertimbangan, bahwa di antara ketiga sistem kekeluargaan ituperbedaannya sangat prinsipil karena seolah-olah sistem patrilinealmerupakan kebalikan dari sistem matrilinial. Kemudian kedua sistemtersebut dirangkum oleh satu sistem yang mengambil unsur dari keduasistem tersebut, yaitu sistem parental atau bilateral.3. Hukum Waris AdatParentalHukum warisan parental atau bilateral adalah memberikan hak yang sama antara pihak laki-laki dan pihak perempuan, baik kepada suami dan istri, serta anak laki-laki dan anak perempuan termasuk keluarga dari pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan. Ini berarti bahwa anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama-sama mendapatkan hak warisan dari kedua orang tuanya, bahkan duda dan janda dalam perkembangannya juga termasuk saling mewarisi.Bahkan proses pemberian harta kepada ahli waris khususnya kepada anak, baik kepada anak laki-laki maupun anak perempuan umumnya telah dimulai sebelum orang tua atau pewaris masih hidup. Dan sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat ini adalah individual artinya bahwa harta peninggalan dapat dibagi-bagikan dari pemiliknya atau pewaris kepada para ahli warisnya, dan dimiliki secara pribadi.Sifat sistem hukum kewarisan adat parental atau bilateral yang pada umumnya di pulau Jawa, termasuk Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sebenarnya dapat dilihat dari beberapa segi;pertama segi jenis kelamin, ini dapat dibagi dua kelompok, pertama kelompok laki- laki dan kelompok perempuan. Kedua segi hubungan antara pewaris dengan ahli waris. Dari segi ini juga ada dua kelompok pertama yaitu kelompok ahli waris karena terjadinya ikatan perkawinan suami dan istri. Kelompok kedua adalah kelompok hubungan kekerabatan, karena adanya hubungan darah ini ada tiga yaitu kelompok keturunan pewaris, seperti anak pewaris, cucu pewaris, buyut pewaris, canggah pewaris dan seterusnya ke bawah sampai galih asem. Kelompok asal dari pada pewaris, yaitu orang tua dari pewaris, seperti ayah dan ibu dari pewaris, kakek dan nenek pewaris, buyut laki-laki dan buyut perempuan pewaris, dan seterusnya ke atas dari pihak laki-laki dan perempuan. Dan kelompok ketiga adalah hubungan kesamping dari pewaris, seperti saudara-saudara pewaris, baik laki-laki maupun perempuan seterusnya sampai anak cucunya serta paman dan bibi seterusnya sampai anak cucunya, dan siwo atau uwa laki-laki dan perempuan sampai anak cucunya.Dalam sistem hukum warisan parental atau bilateral juga menganut keutamaan sebagai mana sistem hukum warisan matrilinial. Menurut Hazairin ada tujuh kelompok keutamaan ahli waris parental atau bilateral, artinya ada kelompok ahli pertama, kelompok ahli waris kedua, kelompok ahli waris ketiga dan seterusnya sampai kelompok ahli waris ketujuh. Dimaksud kelompok keutamaan disini, ialah suatu garis hukum yang menentukan di antara kelompok keluarga pewaris, yang paling berhak atas harta warisan dari pewaris, artinya kelompok pertama diutamakan dari kelompok kedua dan kelompok kedua diutamakan dari kelompok ketiga dan seterusnya. Sehingga kelompok-kelompok ini mempunyai akibat hukum, bahwa kelompok pertama menutup kelompok kedua, dan kelompok kedua menutup kelompok ketiga seterusnya sampai kelompok ketujuh. Berdasarkan uraian tersebut di atas, tampaknya hukum warisan parental itu tidak terlepas dari sistem kekerbatan yang berlaku, karena kelompok ahli waris itu menghitungkan hubungan kekerabatan malalui jalur laki-laki dan jalur perempuan. Sehingga kedudukan ahli waris laki-laki dan perempuan sama sebagai ahli warisAtas dasar kesamaan hak antara laki-laki dengan perempuan, sehingga perolehan harta warisannya tidak ada perbedaan, yaitu satu berbanding satu, maksudnya bagian warisan laki-laki sama dengan bagian perolehan perempuan. Namun dalam perkembangannya hukum warisan adat parental khususnya di Jawa kelompok laki-laki dengan kelompok perempuan bervariasi ada dua berbanding satu, artinya laki-laki mendapat bagian dua bagian dan perempuan mendapat satu bagian. Adanya variasi itu karena terpengaruh ajaran agama Islam, karena hukum warisan Islam perolehan harta warisan antara laki-laki dengan perempuan dua berbanding satu, artinya laki-laki mendapat dua bagian, sedangkan perempuan mendapat satu bagian, (lihat Quran Surat An-Nisa ayat 11 dan 12).Dengan adanya perubahan perolehan harta warisan antara laki-laki dengan perempuan, ini membuktikan bahwa hukum warisan adat parental khususnya di Jawa telah mendapat resepsi dari hukum Islam, meskipun dalam praktek belum seluruhnya mayarakat merecepsi hukum warisan Islam.Sifat masyarakat parental adalah masyarakat yang anggota- anggotanya menarik garis keturunan melalui garis ibu dan garis bapak.Pola pembagian harta waris :1.Pertama, jika salah satu meninggal, harta warisan dibagi menjadi dua, yaitu harta benda asal ditambah setengah harta benda perkawinan. Ahli warisnya adalah :a. Semua anak- anaknya (laki- laki atau perempuan) dengan bagian sama rata,b. Bila tidak beranak, maka harta benda bersama jatuh pada yang masih hidup,c. Bila ada anak, maka harta asal jatuh pada famili yang tertua dari yang meninggal (orang tua), bila yang tertua tidak ada, harta asal jatuh pada ahliwaris kedua dari kedua orangtua tersebut (saudara laki- laki).2.Kedua, jika keduanya meninggal tanpa anak, harta benda bersama jatuh pada famili kedua belah pihak.Menurut Sopemo hukum waris tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia. Apabila mengartikan waris setelah pewaris wafat memang benar jika masalah yang dibicarakan dari sudut hukum waris Islam atau hukum waris KUH Perdata, tetapi jika dilihat dari sudut pandang hukum adat, maka pada kenyataannya sebelum pewaris wafat sudah dapat terjadi perbuatan penerusan atau pengalihan harta kekayaan kepada ahli waris. Perbuatan penerusan atau pengalihan harta dari pewaris kepada ahli waris sebelum pewaris wafat (Jawa, lintiran) dapat terjadi dengan cara penunjukkan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan kepemikan atas bendanya oleh pewaris kepada ahli waris.Hukum adat waris di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa: Hukum waris adat mempunyai corak sendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral, walaupun pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem kewarisan yang sama.

E.Asas Harta Warisan sudah BersihSebelum dilakukan pembagian terhadap Harta Warisan dari Pewaris, terlebih dahulu harus dibersihkan dari beban-beban yang menjadi tanggung jawab si Pewaris, penyelesaiannya menjadi kewajiban para ahli waris untuk pemberesannya. Karena tujuan pewarisan yaitu melancarkan kembali tertib masyarakat yang terganggu karena meninggalnya si pewaris dan dipertahankannya eksistensi masyarakat genaologis, Oleh karena itu untuk para ahli waris sebelum berbicara mengenai hak mewaris mereka terlebih dahulu harus melaksanakan kewajibannya untuk menyelesaikan segala utang-piutang si pewaris yang dibuatnya semasa hidup.Pengertian hutang di sini yang harus dibersihkan dari harta warisan tidak sekedar yang oleh umum disebut sebagai hutang uang. Tetapi meliputi segala kewajiban atau prestasi yang harus dilakukan oleh atau atas perikatan yang dibuat oleh si pewaris, juga biaya yang harus dikeluarkan sebagai akibat dari meninggalnya si pewaris. Untuk itu bisa dirinci sebagai berikut :1. Biaya Kubur2. Biaya perawatan3. Biaya keselamatan4. Hutang si mati terhadap orang lain5. Hutang si mati dilapangan keagamaan, antara lain : wakaf, shadaqah dll.

BAB IIIPENUTUPA.KesimpulanHukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual.Hukum Waris Adat mengatur proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada waktu masih hidup atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya.Harta waris adalah harta yang ditinggalkan atau yang diberikan oleh pewaris kepada warisnya, baik yang dapat dibagi maupun yang tidak dapat dibagi. Harta waris dapat dibagi dalam empat bagian, yaitu :harta asal, harta pemberian, harta pencaharian, hak dan kewajiban yang diwariskan.Di dalam sistempatrinialkedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol, contohnya pada masyarakat Batak dan Bali. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki.Dalamsystemmatrilinialsemua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiribaik untuk harta pusaka tinggi maupun untuk harta pusaka rendah. Jika yang meninggal itu adalah seorang laki-laki maka anak-anaknya dan jandanya tidaklah ahli waris mengenai harta pusaka tinggi, tetapi ahli warisnya adalah seluruh kemenakannya dari pihak laki-laki.Sistem kekeluargaan parentalatau bilateral ini memiliki ciri khas tersendiri pula, yaitu bahwa yangmerupakan ahli waris adalah anak laki-laki maupun anak perempuan.Mereka mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orangtuanya sehingga dalam proses pengalihan sejumlah hartakekayaan dari pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dan anakperempuan mempunyai hak untuk diperlakukan sama.

DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghofur, 2005. Filsafat Hukum Kewarisan Islam. UII Press. YogyakartaThaher , Asri, Sistem Pewarisan dan Kekerabatan Adat Matrilinial. Tesis. Universitas Diponegoro. SemarangSuparman , Eman. 2005. Hukum Waris RI dalam Perspektif Islam Adat dan BW, Refika Aditama. Bandung Hadikusuma, Hilman. 1983 Hukum Waris Adat. Alumni. Bandung

Soekanto, Soerjono. 2012. Hukum Adat Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, 2012). JakartaSubekti, Trusto. 2014. Bahan Pembelajaran Hukum Waris Adat Revisi III (ketiga). Unsoed. Purwokerto

TUGAS TERSTRUKTURMATA KULIAH HUKUM WARIS ADAT

Oleh :Ekky SyahrudienE1A011168

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANFAKULTAS HUKUMPURWOKERTO2014