Makalah hipersensitivitas.

17
MAKALAH HIPERSENSITIVITAS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE) dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain untuk menghancurkan antigen tersebut. Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah reaksi hipersensitivitas atau alergi. Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu timbulnya respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok anafilaktik. Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke jaringan,

Transcript of Makalah hipersensitivitas.

Page 1: Makalah hipersensitivitas.

MAKALAH HIPERSENSITIVITAS

BAB IPENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pada dasarnya tubuh kita memiliki imunitas alamiah yang bersifat non-spesifik dan

imunitas spesifik. Imunitas spesifik ialah sistem imunitas humoral yang secara aktif diperankan

oleh sel limfosit B, yang memproduksi 5 macam imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE)

dan sistem imunitas seluler yang dihantarkan oleh sel limfosit T, yang bila mana ketemu dengan

antigen lalu mengadakan differensiasi dan menghasilkan zat limfokin, yang mengatur sel-sel lain

untuk menghancurkan antigen tersebut.

Bilamana suatu alergen masuk ke tubuh, maka tubuh akan mengadakan respon. Bilamana

alergen tersebut hancur, maka ini merupakan hal yang menguntungkan, sehingga yang terjadi

ialah keadaan imun. Tetapi, bilamana merugikan, jaringan tubuh menjadi rusak, maka terjadilah

reaksi hipersensitivitas atau alergi.

Mekanisme reaksi alergi adalah berdasar pada reaksi hipersensitivitas, yaitu timbulnya

respon IgE yang berlebihan terhadap bahan yang dianggap sebagai alergen, sehingga terjadi

pelepasan berbagai mediator penyebab reaksi alergi, walaupun pada orang normal reaksi ini

tidak terjadi. Apabila reaksi alergi ini berlangsung sangat berlebihan, dapat timbul syok

anafilaktik.

Histamin yang dilepaskan menimbulkan berbagai efek. Vasodilatasi dan peningkatan

permeabilitas kapiler yang terjadi menyebabkan pindahnya plasma dan sel-sel leukosit ke

jaringan, sehingga menimbulkan bintul-bintul berwarna merah di permukaan kulit. Sementara

rasa gatal timbul akibat penekanan ujung-ujung serabut saraf bebas oleh histamin. Kemudian

kerusakan jaringan yang terjadi akibat proses inflamasi menyebabkan sekresi protease, sehingga

menimbulkan rasa nyeri akibat perubahan fungsi. Efek lain histamin, yaitu kontraksi otot polos

dan perangsangan sekresi asam lambung, menyebabkan timbulnya kolik abdomen dan diare.

Selain itu, sekresi enzim untuk mencerna zat gizi, terutama protein, belum dapat bekerja

maksimal, sehingga terjadi alergi pada makanan tertentu, terutama makanan berprotein. Ada

alergi yang dapat membaik, karena maturitas enzim dan barier yang berjalan seiring dengan

bertambahnya umur. Hal ini juga dapat terjadi akibat faktor polimorfisme genetik antibodi yang

aktif pada waktu tertentu, sehingga menentukan kepekaan terhadap alergen tertentu.

Page 2: Makalah hipersensitivitas.

Secara umum, hasil pemeriksaan laboratorium normal. Terjadi eosinofilia relatif, karena

disertai dengan penurunan basofil akibat banyaknya terjadi degranulasi. Eosinofil sendiri

menghasilkan histaminase dan aril sulfatase. Histaminase yang dihasilkan ini  berperan dalam

mekanisme pembatasan atau regulasi histamin, sehingga pada pasien dengan kasus alergi yang

berat, jumlah eosinofil akan sangat meningkat melebihi normal.

B.     Rumusan Masalah

1. Apa defenisi penyakit hipersensitivitas?

2. Etiologi penyakit hipersensitivitas?

3. Patofisiologi penyakit hipersensitivitas?

4. Berapa klasifikasi penyakit hipersensitivitas?

5. Apa tanda dan gejala penyakit hipersensitivitas?

6. Bagaimana cara pemeriksaan fisik hipersensitivitas?

7. Bagaimana cara pemeriksaan penunjang hipersensitivitas?

8. Bagaimana diagnostik hipersensitivitas?

9. Bagaimana penanganan atau terapi penyakit hipersensitivitas?

10. Bagaimana prognosis penyakit hipersensitivitas?

C.    Tujuan

Pembuatan makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan lebih

dalam mengenai malfungsi sistem imun pada gangguan imunologi khususnya penyakit

hipersensitifitas serta untuk memenuhi tugas mata kuliah Imunologi dan Zat Gizi.

BAB IIPEMBAHASAN

A.    Defenisi

Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang

menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya

non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau

bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan

hipersensitivitas tersebut disebut allergen.

Page 3: Makalah hipersensitivitas.

B.     Etiologi

Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :

1. Faktor Internal

a.       Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzym-enzym

usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan

penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan

tertentu.

b.      Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa bayi

dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.

c.       Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen

bertambah.

2. Fakor Eksternal

a.       Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban

latihan (lari, olah raga).

b.      Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan 15,4%; telur

12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.

c.       Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi alergi.

C.    Patofisiologi

Saat  pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh  seseorang  yang

mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua

kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala

timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan

mengenali alergen yang masuk yang  akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang

akan merangsang sel B untuk  mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan

melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami

paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal  yaitu,:

1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap

berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya netrofil dan eosinofil,

sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.

Page 4: Makalah hipersensitivitas.

2. Alergen  tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel

mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin

tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh darah.   Saat mereka mencapai kulit,

alergen akan menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan

pada kulit dan dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat

mencetuskan terjadinya asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama

anafilaktik syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran

menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian

D.    Klasifikasi

1. Hipersensitifitas tipe I

Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik.

Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran

gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari

ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah

terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam.

Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama pada

reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping darah,

neutrofil, dan eosinofil.

Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes

kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik

untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar IgE

merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak

terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa

penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat ditempuh untuk

mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor

histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi atau

desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.

2. Hipersensitifitas tipe II

Page 5: Makalah hipersensitivitas.

Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan

imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler.

Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan dengan

antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen permukaan

sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.

Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan

dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari

hipersensitivitas tipe II adalah:

a.       Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara sel epidermal),

b.      Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada

permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian

berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan

c.       Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus sehingga

menyebabkan kerusakan ginjal).

3. Hipersensitifitas tipe III

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks imun. Hal ini disebabkan

adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal

ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks

antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan

adanya fagosit. Namun, kadang-kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora

fungi, bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis

memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut sehingga terjadi pengendapan kompleks

antigen-antibodi secara terus-menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun.

Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada membran sekresi aktif dan

di dalam saluran kecil sehingga dapat memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-

paru, sendi, atau dalam bagian koroid pleksus otak.

Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu kompleks imun karena

kelebihan antigen dan kompleks imun karena kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis akan

menimbulkan sakit serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau

glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut juga sebagai reaksi Arthus,

Page 6: Makalah hipersensitivitas.

diakibatkan oleh paparan antigen dalam dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga

menginduksi timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit yang

diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan A. fumigatus yang

menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan gandum (malt) dan spora Penicillium casei

pada paru-paru pembuat keju.

4. Hipersensitifitas tipe IV

Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe

lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan

makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T,

sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang

terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas

pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat

kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).

Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu

awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut dapat

dilihat pada tabel di bawah ini.

TipeWaktu reaksi

Penampakan klinis

Histologi Antigen dan situs

Kontak48-72 jam

Eksim (ekzema)Limfosit, diikuti makrofag; edema epidermidis

Epidermal (senyawa organik, jelatang atau poison ivy, logam berat , dll.)

Tuberkulin48-72 jam

Pengerasan (indurasi) lokal

Limfosit, monosit, makrofag

Intraderma (tuberkulin, lepromin, dll.)

Granuloma21-28 hari

PengerasanMakrofag, epitheloid dan sel raksaksa, fibrosis

Antigen persisten atau senyawa asing dalam tubuh (tuberkulosis, kusta, etc.)

Mekanisme Berbagai Gangguan Yang Diperantarai Secara Imunologis

Tipe Mekanisme Imun Gangguan Prototipe1 Tipe Alergen mengikat silang Anafilaksis, beberapa

Page 7: Makalah hipersensitivitas.

Anafilaksis antibody IgE pelepasan amino vasoaktif dan mediatorlain dari basofil dan sel mast rektumen sel radang lain

bentuk asma bronchial

2 Antibodi terhadap antigen jaringan tertentu

IgG atau IgM  berikatan dengan antigen pada permukaan sel        fagositosis sel target atau lisis sel target oleh komplemen atau sitotosisitas yang diperantarai oleh sel yang bergantung antibodi

Anemia hemolitik autoimun, eritroblastosis fetalis, penyakit Goodpasture, pemfigus vulgaris

3 Penyakit Kompleks Imun

Kompleks antigen-antibodi   mengaktifkan  komplemen  menarik perhatian nenutrofil menjadikan pelepasan enzim lisosom, radikal bebas oksigen, dll

Reahsi Arthua, serum sickness, lupus eritematosus sistemik, bentuk tertentu glumerulonefritis akut

4 Hipersensivitas Selular (Lambat)

Limfisit T tersensitisasi pelepasan sitokin dan sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel T

Tuberkulosis, dermatitis kontak, penolakan transplant

E.     Tanda dan Gejala

Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal. Pemberian

antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental) menimbulkan

anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada pejamu yang tersensitisasi

akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh

kesulitan bernafas berat yang disebabkan oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan

hipersekresi mukus. Edema laring dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi

saluran pernafasan bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan

mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi vasodilatasi

sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan sirkulasi dan kematian

dalam beberapa menit.

Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu sesuai jalur

pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus gastrointestinal

(ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan bronkokonstriksi).

Page 8: Makalah hipersensitivitas.

Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,

trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.

Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:

1.      Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-lain. gejala sering

disertai pruritis

2.      Demam

3.      Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi

4.      Limfadenopati

a.         kejang perut, mual

b.         neuritis optic

c.         glomerulonefritis

d.        sindrom lupus eritematosus sistemik

e.         gejala vaskulitis lain

Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut seperti demam,

sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin,

nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat.

Adapun Gejala klinis umumnya :

1. Pada saluran pernafasan : asma

2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut

3. Pada kulit: urtikaria. angioderma,dermatitis,pruritus,gatal,demam,gatal

4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

F.     Pemeriksaan Fisik

1. Inspeksi:  apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan  terdapat gejala adanya

urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir

2. Palpasi: ada nyeri tekan  pada kemerahan

3. Perkusi: mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan

4. Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena pada oarng

yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)

G.    Pemeriksaan Penunjang

Page 9: Makalah hipersensitivitas.

1. Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti tungau,

kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti susu,

telur, kacang, ikan).

2. Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml

disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.

3. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun.

Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi,

atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.

4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.

5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.

6. Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge

didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM.

IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).

7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.

8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti

H.    Diagnostik

1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis pilorik,

Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi, cystic

fibrosis, peptic disease dan sebagainya.

2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan

pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi

(aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli,

Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat,

pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang,

tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.

3. Reaksi psikologi

I.       Terapi

Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:

Page 10: Makalah hipersensitivitas.

1. Menghindari allergen

2. Terapi farmakologis

a.       Adrenergik

Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin, isoproterenol,

bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin,

pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan

bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap

alergen inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.

b.      Antihistamin

Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di berbagai

jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam

mencegah daripada melawan kerja histamine.

c.       Kromolin Sodium

Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan analog

kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai

sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin paling

bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.

d.      Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. Beberapa

pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau intravena yaitu

penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung

yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig

E mukosa.

3. Imunoterapi

Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E atau

alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin dari basofil pada

tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan

pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin

dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari

Page 11: Makalah hipersensitivitas.

beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara

sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar

berapapun

4. Profilaksis

Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali

sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

J.      Prognosis

Alergi makanan biasanya akan membaik pada usia tertentu. Setelah usia 2 tahun biasanya

imaturitas saluran cerna akan membaik. Sehingga setelah usia tersebut gangguan saluran cerna

karena alergi makanan juga akan ikut berkurang. Bila gangguan saluran cerna akan membaik

maka biasanya gangguan perilaku yang terjadipun akan berkurang. Selanjutnya pada usia di atas

5 atau 7 tahun  alergi makananpun akan berkurang secara bertahap. Perbaikan gejala alergi

makanan dengan bertambahnya usia inilah yang menggambarkan bahwa gejala Autismepun

biasanya akan tampak mulai membaik sejak  periode usia tersebut. Meskipun alergi makanan

tertentu biasanya akan menetap sampai dewasa, seperti udang, kepiting atau kacang tanah.

Daftar Pustaka

http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/01/10/hipersensitivitas/

http://id.wikipedia.org/wiki/Hipersensitivitas

http://akperkc.blogspot.com/2012/03/makalah-hipersensitivitas.html

http://ennypsik.blogspot.com/2012/08/askep-hipersensitivitas.html