(Makalah) Faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan Mental
-
Upload
silvia-trias-putri -
Category
Documents
-
view
659 -
download
102
description
Transcript of (Makalah) Faktor Yang Mempengaruhi Kesehatan Mental
i
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KESEHATAN MENTAL
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Kesehatan Mental Lansia
yang dibina oleh dr. Tisnalia Merdya Andayastanti
oleh IKM-B (2013):
Khitami Azemia (130612607874)
Mega Revangga Putra (130612607840)
Silvia Trias Putri (130612607834)
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
Februari 2015
ii
DAFTAR ISI
Daftar Isi ............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................................1
1.2. Topik Bahasan ............................................................................................2
1.3. Tujuan .........................................................................................................2
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Lansia ........................................................................................3
2.2. Masalah yang Sering dihadapi Lansia ..........................................................3
2.3. Pengertian Kesehatan Mental ......................................................................5
2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Mental ................................5
2.5. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Gangguan Mental Lansia ............11
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan .................................................................................................14
Daftar Pustaka ...................................................................................................15
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Saat ini jumlah kelompok lanjut usia (usia ≥ 60 tahun menurut Undang-
Undang RI No. 13, tahun 1998) di Indonesia adalah sebesar 7,28% dari jumlah
penduduk. Diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan meningkat menjadi sebesar
11,34%. Indonesia memiliki jumlah warga lanjut usia keempat terbanyak di dunia,
setelah Cina, India, dan Amerika Serikat (Kosasih dkk., 2004 dalam Sari, 2011).
Menurut Dinas Kependudukan Amerika Serikat (1999) dalam Sari (2011), jumlah
populasi lansia berusia 60 tahun atau lebih diperkirakan hampir mencapai 600 juta
orang dan diproyeksikan menjadi 2 miliar pada tahun 2050, pada saat itu lansia
akan melebihi jumlah populasi anak (0-14 tahun). Proyeksi penduduk oleh Biro
Pusat Statistik menggambarkan bahwa antara tahun 2005-2010 jumlah lansia akan
sama dengan jumlah balita, yaitu sekitar 19 juta jiwa atau 8,5% dari seluruh
jumlah penduduk (Maryam dkk., 2008 dalam Sari, 2011).
Peningkatan jumlah usia lanjut akan berpengaruh pada berbagai aspek
kehidupannya (fisik, mental, dan ekonomi). Mengantisipasi kondisi ini pengkajian
masalah-masalah usia lanjut perlu ditingkatkan, termasuk aspek keperawatannya,
agar dapat menyesuaikan dengan kebutuhan serta untuk menjamin tercapainya
usia lanjut yang bahagia, berdaya guna dalam kehidupan keluarga, dan
masyarakat di Indonesia (Tamher dan Noorkasiani, 2009 dalam Sari, 2011).
Proses menua (aging) adalah proses alami yang dihadapi manusia. Dalam
proses ini, tahap yang paling krusial adalah tahap lansia (lanjut usia). Dalam tahap
ini, pada diri manusia secara alami terjadi penurunan atau perubahan kondisi fisik,
psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu
cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum (fisik)
maupun kesehatan jiwa secara khusus pada individu lanjut usia (Affandi, 2008
dalam Sari, 2011). Gangguan mental merupakan gangguan yang mempengaruhi
kognisi, emosi, kontrol perilaku dan secara substansial mempengaruhi baik
kemampuan anak-anak untuk belajar serta kemampuan orang dewasa untuk
berfungsi secara efektif baik di dalam keluarga, di lingkungan kerja, maupun di
2
masyarakat secara luas. Menurut Maryam dkk. (2008) dalam Sari (2011) masalah
kesehatan jiwa yang sering timbul pada lansia meliputi kecemasan, depresi,
insomnia, dan demensia.
1.2. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah apa saja
faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mental.
1.3. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui apa
saja faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan mental.
3
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Lansia
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan
manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998
tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah
mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008 dalam Lubis, 2011).
Berdasarkan defenisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia)
apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan
tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan
kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia adalah
keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan
keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan
penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara
individual (Efendi, 2009 dalam Lubis, 2011).
Penetapan usia 65 tahun ke atas sebagai awal masa lanjut usia (lansia)
dimulai pada abad ke-19 di negara Jerman. Usia 65 tahun merupakan batas
minimal untuk kategori lansia. Namun, banyak lansia yang masih menganggap
dirinya berada pada masa usia pertengahan. Usia kronologis biasanya tidak
memiliki banyak keterkaitan dengan kenyataan penuaan lansia. Setiap orang
menua dengan cara yang berbeda-beda, berdasarkan waktu dan riwayat hidupnya.
Setiap lansia adalah unik, oleh karena itu perawat harus memberikan
pendekatan yang berbeda antara satu lansia dengan lansia lainnya (Potter & Perry,
2009 dalam Lubis, 2011).
2.2. Masalah yang Sering dihadapi oleh Lansia
Dengan bertambahnya usia, wajar saja bila kondisi dan fungsi tubuh pun
makin menurun. Tak heran bila pada usia lanjut, semakin banyak keluhan yang
dilontarkan karena tubuh tak lagi mau bekerja sama dengan baik seperti kala
muda dulu (Aprilianti, 2009).
4
Nina Kemala Sari dari Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS
Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam suatu
pelatihan di kalangan kelompok peduli lansia, menyampaikan beberapa masalah
yang kerap muncul pada usia lanjut, yang disebutnya sebagai a series of I’s. Mulai
dari immobility (imobilisasi), instability (instabilitas dan jatuh), incontinence
(inkontinensia), intellectual impairment (gangguan intelektual), infection (infeksi),
impairment of vision and hearing (gangguan penglihatan dan pendengaran),
isolation (depresi), Inanition (malnutrisi), insomnia (ganguan tidur), hingga
immune deficiency (menurunnya kekebalan tubuh) (Aprilianti, 2009).
Sumber lain menyebutkan, penyakit utama yang menyerang lansia ialah
hipertensi, gagal jantung dan infark serta gangguan ritme jantung, diabetes
mellitus, gangguan fungsi ginjal dan hati. Juga terdapat berbagai keadaan yang
khas dan sering mengganggu lansia seperti gangguan fungsi kognitif,
keseimbangan badan, penglihatan dan pendengaran (Aprilianti, 2009).
Secara umum, menjadi tua ditandai oleh kemunduran biologis yang terlihat
sebagai gejala-gejala kemuduran fisik, antara lain (Aprilianti, 2009):
1. Kulit mulai mengendur dan wajah mulai keriput serta garis-garis yang
menetap
2. Rambut kepala mulai memutih atau beruban
3. Gigi mulai lepas (ompong)
4. Penglihatan dan pendengaran berkurang
5. Mudah lelah dan mudah jatuh
6. Gerakan menjadi lamban dan kurang lincah
Disamping itu, juga terjadi kemunduran kognitif antara lain (Aprilianti,
2009):
1. Suka lupa, ingatan tidak berfungsi dengan baik
2. Ingatan terhadap hal-hal di masa muda lebih baik daripada hal-hal yang baru
saja terjadi
3. Sering adanya disorientasi terhadap waktu, tempat dan orang
4. Sulit menerima ide-ide baru
5
2.3. Pengertian Kesehatan Mental
Dalam mendefinisikan kesehatan mental, sangat dipengaruhi oleh kultur
dimana seseorang tersebut tinggal. Apa yang boleh dilakukan dalam suatu budaya
tertentu, bisa saja menjadi hal yang aneh dan tidak normal dalam budaya lain, dan
demikian pula sebaliknya (Sias, 2006 dalam Tambunan, 2010). Menurut Pieper
dan Uden (2006) dalam Tambunan (2010), kesehatan mental adalah suatu keadaan
dimana seseorang tidak mengalami perasaan bersalah terhadap dirinya sendiri,
memiliki estimasi yang relistis terhadap dirinya sendiri dan dapat menerima
kekurangan atau kelemahannya, kemampuan menghadapi masalah-masalah dalam
hidupnya, memiliki kepuasan dalam kehidupan sosialnya, serta memiliki
kebahagiaan dalam hidupnya.
Dari berbagai pengertian yang ada, Johada (dalam Notosoedirjo dan Latipun,
2005 dalam Tambunan, 2010), merangkum pengertian kesehatan mental dengan
mengemukakan tiga ciri pokok mental yang sehat: (a) Seseorang melakukan
penyesuaian diri terhadap lingkungan atau melakukan usaha untuk menguasai,
dan mengontrol lingkungannya, sehingga tidak pasif menerima begitu saja
kondisi sosialnya. (b) Seseorang menunjukkan keutuhan kepribadiaanya
mempertahankan integrasi kepribadian yang stabil yang diperoleh sebagai akibat
dari pengaturan yang aktif. (c) Seseorang mempersepsikan “dunia” dan dirinya
dengan benar, independen dalam hal kebutuhan pribadi.
2.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Mental
Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap tingkat kesehatan mental
yakni sebagai berikut (Tambunan, 2010):
a. Biologis
Para ahli telah banyak melakukan studi tentang hubungan antara
dimensibiologis dengan kesehatan mental.Berbagai penelitian itu telah
memberikan kesimpulan yang meyakinkan bahwa faktor biologis memberikan
kontribusi sangat besar bagi kesehatan mental.Karena itu, kesehatan manusia,
khususnya disini adalah kesehatan mental, tentunya tidak terlepaskan dari dimensi
biologis ini.
6
Pada bagian ini akan dijelaskan tentang hubungan tersebut, khususnya
beberapa aspek biologis yang secara langsung berpengaruh terhadap kesehatan
mental, diantaranya: otak, sistem endokrin, genetik, sensori, kondisi ibu selama
kehamilan.
1. Otak
Otak sangat kompleks secara fisiologis, tetepi memiliki fungsiyang
sangat esensi bagi keseluruhan aktivitas manusia. Diferensiasi dan
keunikan yang ada pada manusia pada dasarnya tidak dapat dilepaskan
dari otak manusia. Keunikan manusia terjadi justru karena keunikan
otakmanusia dalam mengekspresikan seluruh pengalaman hidupnya.
Jika dipadukan dengan pandangan-pandangan psikologi, jelas adanya
kesesuaian antara perkembangan fisiologis otak dengan perkembangan
mental. Fungsi otak seperti motorik, intelektual, emosional dan afeksi
berhubungan dengan mentalitas manusia.
2. Sistem endokrin
Sistem endokrin terdiri dari sekumpulan kelenjar yang sering bekerja
sama dengan sistem syaraf otonom. Sistem ini sama-sama memberikan
fungsi yang penting yaitu berhubungan dengan berbagai bagian-bagian
tubuh. Tetapi keduanya memiliki perbedaan diantaranya sistem syaraf
menggunakan pesan kimia dan elektrik sedangkan sistem endokrin
berhubungan dengan bahan kimia, yang disebut dengan hormon. Tiap
kelenjar endokrin mengeluarkan hormon tertentu secara langsung ke
dalam aliran darah, yang membawa bahan-bahan kimia ini keseluruh
bagian tubuh. Sistem endokrin berhubungan dengan kesehatan mental
seseorang. Gangguan mental akibat sistem endokrin berdampak buruk
pada mentalitas manusia. Sebagai contoh terganggunya kelenjar
adrenalin berpengaruh terhadap kesehatan mental, yakni terganggunya
“mood” dan perasannya dan tidak dapat melakukan coping stress.
3. Genetik
Faktor genetik diakui memiliki pengaruh yang besar terhadap
mentalitas manusia. Kecenderungan psikosis yaitu schizophrenia
danmanis-depresif merupakan sakit mental yang diwariskan secara
7
genetis dari orangtuanya. Gangguan lainnya yang diperkirakan sebagai
faktor genetik adalah ketergantungan alkohol, obat-obatan, Alzeimer
syndrome, phenyl ketunurine, dan huntington syndrome. Gangguan
mental juga terjadi karena tidak normal dalam hal jumlah dan struktur
kromosom. Jumlah kromosom yang berlebihan atau berkurang dapat
menyebabkan individu mengalami gangguan mental.
4. Sensori
Sensori merupakan aspek penting dari manusia. Sensori merupakan alat
yang menagkap segenap stimuli dari luar. Sensori termasuk:
pendengaran, penglihatan, perabaan, pengecapan dan penciuman.
Terganggunya fungsi sensori individu menyebabkan terganggunya
fungsi kognisi dan emosi individu. Seseorang yang mengalami
gangguan pendenganran misalnya, maka akan berpengaruh terhadap
perkembangan emosi sehingga cenderung menjadi orang yang paranoid,
yakni terganggunya afeksi yang ditandai dengan kecurigaan yang
berlebihan kepada orang lain yang sebenarnya kecurigaan itu adalah
salah.
5. Faktor ibu selama masa kehamilan
Faktor ibu selama masa kehamilan secara bermakna mempengaruhi
kesehatan mental anak.Selama berada dalam kandungan, kesehatan
janin ditentukan oleh kondisi ibu. Faktor-faktor ibu yang turut
mempengaruhi kesehatan mental anaknya adalah: usia, nutrisi, obat-
obatan, radiasi, penyakit yang diderita, stress dan komplikasi.
b. Psikologis
Notosoedirjo dan latipun (2005) dalam Tambunan (2010), mengatakan
bahwa aspek psikis manusia merupakan satu kesatuan dengan dengan sistem
biologis. Sebagai subsistem dari eksistensi manusia, maka aspek psikis selalu
berinteraksi dengan keseluruhan aspek kemanusiaan. Karena itulah aspek psikis
tidak dapat dipisahkan dari aspekyang lain dalam kehidupan manusia.
1. Pengalaman Awal
8
Pengalaman awal merupakan segenap pengalaman-pengalamanyang
terjadi pada individu terutama yang terjadi pada masa lalunya.
Pengalaman awal ini dipandang sebagai bagian penting bahkan sangat
menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian hari.
2. Proses Pembelajaran
Perilaku manusia adalah sebagian besar adalah proses belajar, yaitu
hasil pelatihan dan pengalaman. Manusia belajar secara langsung sejak
pada masa bayi terhadap lingkungannya.Karena itu faktor lingkungan
sangat menentukan mentalitas individu.
3. Kebutuhan
Pemenuhan kebutuhan dapat meningkatkan kesehatan mental
seseorang. Orang yang telah mencapai kebutuhan aktualisasi yaitu
orang yang mengeksploitasi dan mewujudkan segenap kemampuan,
bakat, keterampilannya sepenuhnya, akan mencapai pada tingkatan apa
yang disebut dengan tingkat pengalaman puncak (peack experience).
Maslow mengatakan bahwa ketidakmampuan dalam mengenali dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya adalah sebagai dasar dari
gangguan mental individu.
c. Sosial Budaya
Lingkungan sosial sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan mental.
Lingkungan sosial tertentu dapat menopang bagi kuatnya kesehatan mental
sehingga membentuk kesehatan mental yang positif, tetapi pada aspek lain
kehidupan sosial itu dapat pulan menjadi stressor yang dapat mengganggu
kesehatan mental. Dibawah ini akan dijelaskan beberapa lingkungan social yang
berpengaruh terhadap kesehatan mental adalah sebagai berikut:
1. Stratifikasi sosial
Masyarakat kita terbagi dalam kelompok-kelompok tertentu.
Pengelompokan itu dapat dilakukan secara demografis diantaranya jenis
kelamin, usia, tingkat pendidikan dan status sosial. Stratifikasi sosial ini
dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang, misalnya kaum
9
minoritas memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami
gangguan mental.
2. Interaksi sosial
Interaksi sosial banyak dikaji kaitannya dengan gangguan mental.Ada
dua pandangan hubungan interaksi sosial ini dengan gangguan mental.
Pertama teori psikodinamik mengemukakan bahwa orang yang
mengalami gangguan emosional dapat berakibat kepada pengurangan
interaksi sosial, hal ini dapat diketahui dari perilaku regresi sebagai
akibat dari adanya sakit mental. Kedua adalah bahwa rendahnya
interaksi sosial itulah yang menimbulkan adanya gangguan mental.
3. Keluarga
Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampumembentuk
homeostatis akan dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota
keluaganya, dan kemungkinan dapat meningkatkan ketahanan para
anggota keluarganya dari gangguan-gangguan mental dan
ketidakstabilan emosional para anggotanya.
4. Perubahan sosial
Sehubungan dengan perubahan sosial ini, terdapat dua kemungkinan
yang dapat terjadi yaitu, perubahan sosial dapat menimbulkan kepuasan
bagi masyarakat karena sesuai dengan yang diharapkan dan dapat
meningkatkan keutuhan masyarakat dan hal ini sekaligus meningkatkan
kesehatan mental mereka. Namun, di sisi lain dapat pula berakibat pada
masyarakat mengalami kegagalan dalam penyesuaian terhadap
perubahan itu, akibatnya mereka memanifestasikan kegagalan
penyesuaian itu dalam bentuk yang patologis, misalnya tidak
terpenuhinya tuntutan politik, suatu kelompok masyarakat melakukan
tindakan pengrusakan dan penjarahan.
5. Sosial budaya
Sosial budaya memiliki makna yang sangat luas. Namun dalamkonteks
ini budaya lebih dikhususkan pada aspek nilai, norma, dan religiusitas
dan segenap aspeknya. Dalam konteks ini, kebudayaan yang ada di
masyarakat selalu mengatur bagaimana orang seharusnyamelakukan
10
sesuatu, termasuk didalamnya bagaimana seseorang berperan sakit,
kalsifikasi kesakitan, serta adanya sejumlah kesakitan yang sangat
spesifik ada pada budaya tertentu, termasuk pula adanya gangguan
mentalnya.Kebudayaan pada prinsipnya memberikan aturan terhadap
anggota masyarakatnya untuk bertindak yang seharusnya dilakukan dan
meninggalkan tindakan tertentu yang menurut budaya itu tidak
seharunya dilakukan. Tindakan yang bertentangan dengan sistem nilai
atau budayanya akan dipandang sebagi penyimpangan, dan bahkan
dapat menimbulkan gangguan mental. Hubungan kebudayaan dan
kesehatan mental meliputi tiga hal yaitu: (1) kebudayaan mendukung
dan menghambat kesehatan mental, (2) kebudayaan memberi peran
tertentu terhadap penderita gangguan mental, (3) berbagai bentuk
gangguan mental karena faktor kultural, (4) upaya peningkatan dan
pencegahan gangguan mental dalam telaah budaya.
6. Stessor Psikososial lainnya
Situasi dan kondisi peran sosial sehari-hari dapat menjadisebagai
masalah atau sesuatu yang tidak dikehendaki, dan karena itu dapat
berfungsi sebagai stressor sosial kontribusi ini terhadap kesehatan
mental bisa kuat atau lemah. Stressor psikososial secara umum dapat
menimbulkan efek negatif bagi individu yang mengalaminya. Manum
demikian tentang variasi stressor psikososialini berbeda untuk setiap
masyarakat, bergantung kepada kondisi social masyarakatnya.
d. Lingkungan
Interaksi manusia dengan lingkungannya berhubungan dengan
kesehatannya. Kondisi lingkungan yang sehat akan mendukung kesehatan
manusia itu sendiri, dan sebaliknya kondisi lingkungan yang tidak sehat dapat
mengganggu kesehatannya termasuk dalam konteks kesehatan mentalnya.
11
2.5. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Gangguan Mental Lansia
2.5.1. Faktor Sosial Demografi
1. Umur
Menurut Koenig dan Blazer (2003) dalam Suyoko (2012) menjelaskan bahwa
resiko gangguan mental pada pasien sesudah berusia 50 tahun lebih
disebabkan faktor biologi yang mungkin disebabkan perubahan pada system
syaraf pusat. Hal ini yang mungkin menyebabkan terjadinya depresi. Menurut
penelitian Marini (2008) dalam Suyoko (2012) lansia yang berusia lebih dari
70 tahun lebih beresiko mengalami gangguan mental emosional.
2. Jenis Kelamin
Diagnostik gangguan mental adalah sama untuk semua jenis kelamin, namun
wanita lebih rentan terkena gangguan mental emosional karena disebabkan
perubahan hormonal dan perbedaan karakteristik antara laki-laki dan
perempuan. Selain perubahan hormonal, karakteristik wanita lebih
mengedepankan emosional daripada rasional. Ketika ada suatu masalah
wanita cenderung menggunakan perasaan (Marini, 2008 dalam Suyoko,
2012).
3. Status Perkawinan
Gangguan mental emosional lebih banyak terjadi pada lanjut usia yang hidup
sendiri baik karena bercerai ataupun tidak menikah. Riset yang dilakukan
oleh Andrianne Frech (2002) dalam Suyoko (2012) ahli Sosiologi dari
Universitas Ohio AS. Menurut Stuart dan Sundeen (2001) dalam Suyoko
(2012) bahwa orang yang bercerai, berpisah, janda/duda, atau belum kawin
cenderung beresiko tinggi melakukan bunuh diri daripada yang sudah
menikah atau memiliki pasangan.
4. Tingkat Pendidikan
Pendidikan yang lebih tinggi dapat menghasilkan keadaan sosial ekonomi
yang makin baik dan kemandirian yang makin mantap. Dari hasil penelitian
Boedhi Darmojo tahun 1992 di Semarang didapatkan bahwa tingkat
pendidikan seorang lanjut usia berbanding positif langsung dengan tingkat
kesehatannya (Darmojo, 2004 dalam Suyoko, 2012).
5. Status Pekerjaan
12
Pada umumnya setelah orang memasuki usia lansia, ia mengalami penurunan
fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar,
persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian, dan lain-lain sehingga
menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi semakin lambat. Sementara
fungsi psikomotor meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan
kehendak, seperti gerakan, tindakan, dan koordinasi yang menyebabkan
lansia kurang cekatan (Sutarto dan Cokro, 2009 dalam Suyoko, 2012).
Tuckman dan Lorge (dalam Suyoko, 2012) menemukan bahwa pada waktu
menginjak usia pensiun (65 tahun) hanya 20% diantara orang-orang tua
tersebut yang masih betul-betul ingin pension, sedangkan sisanya masih ingin
terus bekerja. Setelah pensiun beberapa orang tidak pernah dapat
menyesuaikan diri dengan waktu luangnya dan selalu merasa mengalami hari
yang panjang. Kehilangan peran kerja sering memiliki dampak besar bagi
orang yang telah pensiun. Identitas biasanya berasal dari peran kerja,
sehingga individu harus membangun identitas baru pada saat pensiun (Potter
Perry, 2009 dalam Suyoko, 2012).
6. Status Sosial Ekonomi
Ketika sesorang sakit maka tidak akan terlalu berdampak buruk pada orang
yang berpenghasilan tetapi bagi yang tidak berpenghasilan dapat
menimbulkan goncangan ekonomi sehingga dapat menimbulkan stres atau
gangguan mental. Semakin tinggi sumber ekonomi keluarga akan mendukung
stabilitas dan kebahagiaan keluarga. Apabila status ekonomi pada tahap yang
sangat rendah sehingga kebutuhan dasar saja tidak terpenuhi inilah yang akan
menimbulkan konflik dalam keluarga yang menyebabkan gangguan mental
emosional (Murti, 2004 dalam Suyoko, 2012).
2.5.2. Menderita Penyakit Kronis
Pengaruh penyakit kronik pada usia lanjut dapat menimbulkan gangguan
mental emosional melalui cara yang tidak langsung yaitu karena adanya
keterbatasan mobilitas, ketergantungan dengan orang lain, dan nyeri yang
terus-menerus atau ketidaknyamanan. Pengalaman klinis menyebutkan bahwa
bukan keparahan penyakit atau ancaman kematian yang mengganggu
kesehatan mental usia lanjut tetapi adanya berbagai kehilangan akibat
13
penyakit tersebut yang mempunyai hubungan erat dengan gangguan mental
emosional (Soedjono, dkk, 2000 dalam Suyoko, 2012).
2.5.3. Penggunaan Obat/Alkohol
Berdasarkan penilitian Hawari (1990) menunjukkan bahwa responden
dengan penyalahgunaan obat memiliki risiko gangguan mental (kecemasan)
sebesar 13,8 kali dan depresi sebesar 18,8 kali. Etiologi yang berhubungan
dengan pengguna alkohol adalah genetika dan psikososial yang meliputi
status sosial ekonomi dan riwayat kesulitan sekolah.
2.5.4. Kemandirian Fisik
Kemandirian pada usia lanjut dinilai dari kemampuannya untuk melakukan
aktivitas sehari-hari. Apakah mereka tanpa bantuan dapat bangun, mandi, dan
lain sebagainya. Sehingga jika terdapat faktor kehilangan fisik yang
mengakibatkan kehilangan kemandirian akhirnya akan meningkatkan
kerentanan terhadap depresi (Soejono, 2006 dalam Suyoko, 2012).
2.5.5.Religi
Tingkat spiritualitas terbukti besar berpengaruh terhadap kesehatan jiwa
berbagai penelitian yang dilakukan terhadap usia lanjut (Larson, 200 dalam
Suyoko, 2012) menyimpulkan bahwa:
a) Usia lanjut yang non religius angka kematiannya dua kali lebih besar
dibandingkan dengan usia lanjut yang religius.
b) Usia lanjut yang kurang tabah dan kurang mampu mengatasi stress lebih
sering mengalami gangguan jiwa.
14
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Adapun yang menjadi kesimpulan dalam makalah ini adalah faktor-faktor
yang mempengaruhi kesehatan mental ada 4, yakni faktor biologis, psikologis,
sosial budaya, dan lingkungan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Aprilianti, Ika Fitri. 2009. Penyakit yang Sering Terjadi Pada Lansia. [Online]
Pada laman https://stikeskabmalang.files.wordpress.com/2009/10/penyakit-
yang-sering-terjadi-pada-lansia_3a.doc Diakses pada 4 Februari 2015.
Lubis. 2011. Konsep Lansia. [Online] Pada laman http://repository
.usu.ac.id/bitstream/123456789/26951/4/Chapter%20II.pdf Diakses pada 4
Februari 2015.
Sari. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecemasan Pada Lansia. [Online]
Pada laman http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/27576/5/
Chapter%20I.pdf Diakses pada 4 Februari 2015.
Suyoko. 2012. Faktor-Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Gangguan
Mental Emosional pada Lansia di DKI Jakarta (Analisis Data Riskesdas
2007). [Online] Pada laman http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20298874-S-
Suyoko.pdf Diakses pada 18 Januari 2015.
Tambunan. 2010. Kesehatan Mental Lansia. [Online] Pada laman http://
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17706/3/Chapter%20II.pdf
Diakses pada 18 Januari 2015