Makalah Bahasa Indonesia
-
Upload
eko-cahyono -
Category
Documents
-
view
214 -
download
0
description
Transcript of Makalah Bahasa Indonesia
IMPLEMENTASI UU PERLINDUNGAN ANAK DAN UU TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG TERHADAP KASUS PERDAGANGAN ANAK
(CHILD TRAFFIKING)
Disusun Untuk Melengkapi Tugas Bahasa Indonesia Kelas B
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 4
A. Faktor-faktor yang melatarbelakangi Kasus Perdagangan
Anak (Child Trafficking)........................................................... 4
B. Implementasi Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang terhadap
Kasus Perdagangan Anak (Child Trafficking)........................... 5
C. Implementasi UU Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak terhadap Kasus Perdagangan
Anak (Child Trafficking)........................................................... 8
D. Upaya yang dilakukan penegak Hukum dan semua pihak yang
terkait dalam menangani atau mencegah Perdagangan
Anak (Child Trafficking)........................................................... 9
BAB III PENUTUP........................................................................................ 11
A. Kesimpulan................................................................................ 11
B. Saran........................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Anak-anak merupakan generasi bangsa yang akan datang, kehidupan
anak-anak merupakan cermin kehidupan bangsa dan negara. Kehidupan aak-anak
yang diwarnai dengan keceriaan merupakan cermin suatu negara yang
memberikan jaminan kepada anak-anak untuk dapat hidup berkembang sesuai
dengan dunia anak-anak itu sendiri. Kehidupan anak-anak yang diwarnai dengan
rasa ketakutan, traumatik, sehingga tidak dapat mengembangkan psiko-sosial
anak, merupakan cermin suatu negara yang tidak peduli pada anak-anak sebagai
generasi bangsa yang akan datang. Disisi lain masa anak-anak merupakan masa
yang sangat menentukan untuk terbentuknya kepribadian seseorang.
Akhir-akhir ini, banyak masalah diperdebatkan baik ditingkat regional
maupun global dan dikatakan sebagai bentuk perbudakanmasa kini serta
melanggar HAM. Salah satu masalah tersebut adalah masalah perdagangan anak
(Child Trafficking). Perdagangan anak merupakan suatu kejahatan terorganisasi
yang melampaui batas-batas negara, sehingga dikenal sebagai kejahatan
transnasional. Indonesia tercatat dan dinyatakan sebagai salah satu negara sumber
dan transit perdagangan anak internasional, khususnya untuk tujuan seks
komersial dan buruh anak di dunia.
Perdagangan anak bukanlah hal baru, namun baru beberapa tahun
belakangan masalah ini muncul kepermukaan dan menjadi perhatian tidak saja
pemerintah Indonesia, namun juga menjadi masalah transnasional. Berbagai latar
belakang dapat dikaitkan dengan meningkatnya masalah perdagangan anak
seperti; lemahnya penegakan hukum, peraturan perundang-undangan yang ada,
peran pemerintah dalam penanganan maupun minimnya informasi tentang
trafficking.
Sebenarnya sejak tahun 1979 pemerintah telah menetapkan sebuah
peraturan untuk meletakkan anak-anak dalam sebuah lembaga proteksi yang
cukup aman, yaitu UU No 4 tentang Kesejahteraan Anak. Langkah pemerintah
iii
selanjutnya adalah menetapkan UU Pengadilan Anak (UU No 3 Tahun 1997).
Terakhir, pemerintah menetapkan pula UU No 23 Tahun 2003 tentang
Perlindungan Anak yang secara tegas pula menggariskan bahwa anak adalah
penerus generasi bangsa yang harus dijamin perlindungannya dari segala bentuk
kekerasan dan diskriminasi. Meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB
tentang Hak Anak dan telah mengeluarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002,
secara obyektif yang terjadi di kehidupan anak-anak adalah masih belum
teratasinya masalah anak yang terjadi di Indonesia, khususnya lagi kasus child
trafficking yang semakin tidak bisa ditolerir dengan akal sehat ( the most
intolerable forms).
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
yang menjelaskan child trafficking adalah terdapat pada Pasal 59, Pasal 68 dan
yang mengatur tentang sanksi pidananya adalah Pasal 78, Pasal 83 dari hal itu
semua pada dasarnya Pemerintah telah memperkuat instrumen hukum tentang
child trafficking, seperti KILO 182, CRC, Optional Protocol of CRC on sale of
Children, Child Prostitution, and Child Pornography – namun hal tersebut hingga
saat ini isu child trafficking masih belum memperoleh intervensi yang signifikan.
Pada dasarnya child trafficking adalah penggunaan anak yang dilibatkan
dalam eksploitasi ekonomi maupun seksual dan lain-lain oleh orang dewasa atau
pihak ketiga untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk uang maupun bentuk
yang lain. Dalam kaitannya dengan anak, elemen “consent” (kerelaan atau
persetujuan) tidak diperhitungkan, karena anak tidak memiliki kapasitas legal
untuk bias memberikan (atau menerima) informed consent. Setiap anak, karena
umumnya harus dianggap tidak mampu memberikan persetujuan secara sadar
terhadap berbagai hal yang dianggap membutuhkan kematangan fisk, mental,
sosial, dan moral bagi seseorang untuk bias menentukan pilihannya, oleh
karenanya anak adalah korban (victim) dan bukan pelaku kejahatan (criminal
actor).
iv
B. RUMUSAN MASALAH
Mengingat fenomena perdagangan anak memiliki ruang lingkup yang sangat luas
dan sangat memprihatinkan maka masalah-masalah yang dibahas dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi Kasus Perdagangan Anak (Child
Trafficking)
2. Bagaimana implementasi Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang terhadap Kasus
Perdagangan Anak?
3. Bagaimana implementasi UU Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak terhadap Kasus Perdagangan Anak yang terjadi di Medan
pada Tahun 2007 ?
4. Bagaimana Upaya yang dilakukan penegakan hukum dan semua pihak yang
terkait dalam menangani atau mencegah kasus perdagangan anak ?
v
BAB II
PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor yang melatarbelakangi Kasus Perdagangan Anak (Child
Trafficking).
1. Kurangnya Kesadaran: Banyak anak dibawah umur yang bermigrasi untuk
mencari kerja baik di Indonesia ataupun di luar negeri tidak mengetahui
adanya bahaya child trafiking dan tidak mengetahui cara-cara yang dipakai
untuk menipu atau menjebak mereka dalam pekerjaan yang disewenang-
wenangkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan.
2. Kemiskinan: Kemiskinan telah memaksa banyak keluarga untuk
merencakanan strategi penopang kehidupan mereka termasuk
memperkerjakan anak-anaknya karena jeratan hutang.
3. Keinginan Cepat Kaya: Keinginan untuk memiliki materi dan standar hidup
yang lebih tinggi memicu terjadinya migrasi dan membuat keluarga anak yang
bermigrasi rentan terhadap child trafiking.
4. Faktor Budaya: Faktor-faktor budaya berikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya child trafiking:
a. Peran Anak dalam Keluarga: Kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban
untuk membantu keluarga membuat anak-anak rentan terhadap trafiking.
Buruh/pekerja anak, anak bermigrasi untuk bekerja, dan buruh anak
karena jeratan hutang dianggap sebagai strategi-strategi keuangan
keluarga yang dapat diterima untuk dapat menopang kehidupan keuangan
keluarga.
b. Perkawinan Dini: Perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi
para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah,
kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan
seringkali, juga perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah
bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap
trafiking disebabkan oleh kerapuhan ekonomi mereka.
vi
5. Sejarah Pekerjaan karena Jeratan Hutang: Praktek menyewakan tenaga
anggota keluarga untuk melunasi pinjaman merupakan strategi penopang
kehidupan keluarga yang dapat diterima oleh masyarakat. Anak yang
ditempatkan sebagai buruh karena jeratan hutang khususnya, rentan terhadap
kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi yang mirip dengan
perbudakan.
6. Kurangnya Pencatatan Kelahiran: Orang tanpa pengenal yang memadai
lebih mudah menjadi mangsa trafiking karena usia dan kewarganegaraan
mereka tidak terdokumentasi. Anak-anak yang ditrafik, misalnya, lebih mudah
diwalikan ke orang dewasa manapun yang memintanya.
7. Kurangnya Pendidikan: Orang dengan pendidikan yang terbatas memiliki
lebih sedikit keahlian/skill dan kesempatan kerja dan mereka lebih mudah
ditrafik karena mereka bermigrasi mencari pekerjaan yang tidak
membutuhkan keahlian.
8. Korupsi & Lemahnya Penegakan Hukum: Pejabat penegak hukum dan
imigrasi yang korup dapat disuap oleh pelaku trafiking untuk tidak
mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal. Para pejabat
pemerintah dapat juga disuap agar memberikan informasi yang tidak benar
pada kartu tanda pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor yang membuat
buruh migran lebih rentan terhadap trafiking karena migrasi ilegal. Kurangnya
budget/anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha trafiking
menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif
menjerakan dan menuntut pelaku trafiking.
B. Implementasi Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang terhadap Kasus Perdagangan Anak
(Child Trafficking).
Berangkat dari masalah Perdagangan anak yang semakin meluas, baik
dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisir dan tidak terorganisir, baik
bersifat antarnegara maupun dalam negeri. Hal ini dirasakan merupakan ancaman
bagi masyarakat, bangsa dan negara, serta terhadap norma-norma kehidupan yang
vii
dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Ditambah pula peraturan
perundang-undangan selama ini yang berkaitan dengan perdagangan orang
khususnya anak belum memberi landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu
bagi upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang maka pada tanggal
19 April 2007 Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2007
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Dengan berlakunya UU N. 21 Tahun 2007 maka Pasal 297 dan Pasal 324
KUHP dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun segala perkara tindak
pidana perdagangan orang yang masih dalm proses penyelesaian di tingkat
penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tetap diperiksa
berdasarkan undang-undang yang mengaturnya. Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007
memberikan rumusan tentang tindak pidana perdagangan orang sebagai berikut:
1. Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau
memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang
yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang
tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp. 120.000.000 (seratus dua puluh juta) dan paling banyak Rp.
600.000 juta.
2. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang ter-
eksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1). Khusus tentang perdagangan anak, Pasal 5 UU No.
21 Tahun 2007 merumuskan bahwa setiap orang yang melakukan
pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu
dengan maksud untuk mengeksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama15 (lima belas tahun) dan pidana denda
paling sedikit Rp. 120.000.000 (seratus dua puluh juta) dan paling lama 15
(lima belas) tahun. Selanjutnya Pasal 6 merumuskn bahwa untuk setiap orang
viii
yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara
apapaun yang mengakibatkan anak tereksploitasi dipidana dengan masa
hukuman dan denda yang sama dengan hukuman yang termaktub dalam Pasal
5.
UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang telah disahkan, selanjutnya diperlukan kegiatan sosialisasi
dengan unsur-unsur masyarakat, antara lain dengan aparat penegak hukum (polisi,
jaksa, dan hakim), kaukus anak dan NGO anak, kaukus perempuan dan NGO
perempuan, sektor pemerintah yang terkait, perguruan tinggi dan masyarakat luas.
Melalui pendekatan yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman
dalam Legal System, maka upaya penegakan hukum dapat dilakukan melalui
pembenahan struktur hukum (legal structure). Struktur hukum yang terdiri dari
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Pengacara/Konsultan Hukum, LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakatan). Untuk membangun sistem penegakan hukum
yang baik, peningkatan kesejahteraan aparat penegak hukum (kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan) yang dibarengi dengan sistem Reward and
Punishment, menjadi suatu yang harus mendapat prioritas utama. Legal culture
(budaya hukum) berkaitan dengan persepsi dan apresiasi masyarakat terhadap
hukum. Dengan demikian, diperlukan upaya membangun kesadaran dan
partisipasi masyarakat terhadap penegakan hukum, khususnya penegakan hukum
terhadap perdagangan orang.
Dengan demikian dalam konteks upaya penegakan hukum akhirnya akan
sangat tergantung pada kualitas substansi hukum, kinerja struktur hukum, dan
kesadaran masyarakat yang merupakan suatu sistem. Akhirnya dengan
mengambil teori hukum Roscoe Pound yang menyatakan bahwa law is a tool of
social engineering/social engineering by law. Roscoe Pound ingin memberikan
gambaran tentang apa yang sebenarnya yang diinginkan dan apa yang telah
diinginkan oleh pengguna hukum sebagai alat rekayasa sosial. UU No. 21 Tahun
2007 telah disahkan, namun sekarang tergantung kepada kita mau diapakan
undang-undang ini, karena undang-undang ini hanya sebagai alat yang mengatur
tindak pidana perdagangan orang terutama perdagangan anak.
ix
C. Implementasi UU Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak terhadap Kasus Perdagangan Anak (Child
Trafficking).
Implementasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar tetap hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan diskriminasi,
demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan
sejahtera. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 mengkhususkan diri pada
perlindungan anak. Kriminalisasi terhadap perdagangan anak termaktub dalam
Pasal 83 dan Pasal 88 UU No. 23 Tahun 2002. Jika korbannya bukan anak maka
pasal-pasal dalam undang-undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum.
Dalam kasus perdagangan anak dengan pelaku bernama Tony ( 52) yang
terjadi di Medan pada tahun 2007, Tony dinyatakan bersalah melanggar Pasal 83
UU No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Tony divonis 3 tahun 7 bulan
potong masa tahanan oleh majelis hakim pengadilan negeri medan. Tony
mengaku baru terlibat dalam masalah ini ketika kurang lebih dua tahun lalu,
dikarenakan terlilit hutang. Dalam melakukan aksinya Tony bekerjasama dengan
Sum, Germo dari Batam yang hingga kini masih dalam buronan. Semenjak kasus
itu digelar, pusat perhatian LSM terfokus terhadap perlindungan anak dan
perempuan. Tony diadili berdasarkan laporan Linda ( 15 ) yang dijanjikan sebagai
baby sitter, akan tetapi kenyataannya dia malah dipekerjakan sebagai purel
diskotik. Majelis hakim membantah bahwa putusannya karena tekanan
masyarakat. Tapi, kuatnya desakan dan gerakan sejumlah LSM dan pemerhati
anak-anak menjadi catatan tersendiri, baik bagi jaksa maupun majelis. Jumlah
kasus Trafficking dari tahun ke tahun terus meningkat di Sumatera Utara. Praktik
Trafficking yang berkembang antara lain perdagangan perempuan untuk
kepentingan prostitusi dan penjualan bayi. Menyimak kasus diatas persoalan
perdagangan anak banyak sekali terjadi di daerah – daerah. Kendatipun demikian,
pada prakteknya belum banyak pihak yang berinisiatif untuk mengatasi masalah
x
ni, pdahal masyarakat sebenarnya sudah sadar betul dan mengetahui tentang
adanya proyek perdagangan anak yang terorganisir. Dari contoh kasus diatas,
persoalan ini memang menimbulkan permasalahan yang penanganannya
memerlukan perhatian yang serius.
D. Upaya yang dilakukan penegak Hukum dan semua pihak yang terkait dalam
menangani atau mencegah Perdagangan Anak (Child Trafficking).
Hal utama yang harus dilakukan bersama dalam mencegah perdagangan
anak yaitu dapat dilakukan dengan berbagai cara pertama membuat pemetaan
masalah perdagangan anak di lndonesia baik untuk tujuan domestik maupun
lnternasional, kedua meningkatkan pendidikan masyarakat khususnya pendidkan
alternatif bagi anak-anak dan perempuan termasuk meningkatkan sarana dan
prasarananya, ketiga meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui pemberian
informasi yang seluas-luasnya tentang perdagangan orang beserta seluruh aspek
yang terkait didalamnya, keempat perlu adanyanya jaminan dalam aksebilitas
terhadap anak-anak dan perempuan yang mencakup masalah pendidikan,
pelatihan peningkatan pendapatan dan pelayanan social. Penanganan kasus Child
Trafficking merupakan permasalahan yang kompleks, Jadi sudah seharusnya
semua pihak memberikan perhatian khusus dalam menangani masalah ini.
1. Upaya yang dilakukan penegak Hukum dalam menangani atau mencegah
Perdagangan Anak (Child Trafficking).
a. Mereview dan membuat aturan hukum (pembenahan aspek substansial)
yang lebih akomodatif dan lebih tegas terhadap kejahatan Perdagangan
Anak (Child Trafficking).
b. Meningkatkan profesionalisme, perlunya jalinan yang padu dan sistemik
antar aparatur penegak hukum, Pemerintah Daerah dan seluruh
steakholder yang concern dan terkait dalam upaya penanggulangan
maraknya trafficking, jika perlu dibentuk suatu badan atau komisi yang
secara khusus menangani child trafficking (pembenahan aspek struktural).
c. Peningkatan pemahaman tentang kejahatan child trafficking, sekaligus
untuk mengikis konstruksi sosial yang mempersepsikan child traffricking
xi
sebagai bentuk kejahatan biasa/komvensional dan maraknya kultur
patriarkhi yang mengakibatkan semakin sulitnya pencegahan dan
pemberantasan child trafficking.
d. Untuk upaya strategis yang tidak kalah pentingnya dalam rangka
pembenahan dari aspek substansi, struktur dan kultur adalah peran
Perguruan Tinggi, khususnya Fakultas Hukum melalui bentuk sajian
matakuliah yang spesifik mengakomodasi permasalahan trafficking
seperti;HAM, Hukum Perlindungan Anak. Dalam mata kuliah tersebut
diharapkan substansinya tidak hanya bersifat aplikatif tetapi juga
menampilkan perkembangan teori-teori yang dapat dipergunakan untuk
merancang bangun model penanggulangan maraknya child trafficking
secara lebih terpadu dan sistemik.
2. Upaya yang dilakukan semua pihak yang terkait dalam menangani atau
mencegah Perdagangan Anak (Child Trafficking).
Banyak hal yang harus dilakukan oleh semua pihak didalam memerangi
atau mencegah child trafficking, antara lain:
1. Terus menerus melakukan kampanye guna membangun kesadaran permanen
dikalangan masyarakat maupun sector industri, juga komitmen pemerintah
dan penegak hukum guna mendukung perlindungan anak dari child
trafficking.
2. Mewujudkan mekanisme kerjasama dan aksi dalam segenap institusi
masyarakat dan lembaga-lembaga usaha yang bisa bersinergi untuk
memberikan perlindungan anak dari child trafficking.
3. Tersedianya mekanisme nasional dan daerah – antara lain dengan cara
bersinergi dalam bentuk task force (kelompok kerja) yang bisa langsung
bekerja di lapangan secara komprehensif dan terus menerus didalam
memberikan perhatian dan penanganan perlindungan anak dari kejahatan
child trafficking.
4. Perlunya dikeluarkan produk hukum anti child trafficking yang pro
perlindungan anak dari dari tindak pidana perdagangan anak dan bertujuan
untuk perlindungan hukum bagi anak korban child trafficking.
xii
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak-anak merupakan generasi bangsa yang akan datang, kehidupan
anak-anak merupakan cermin kehidupan bangsa dan negara. Kehidupan anak-
anak yang diwarnai dengan keceriaan merupakan cermin suatu negara yang
memberikan jaminan kepada anak-anak untuk dapat hidup berkembang sesuai
dengan dunia anak-anak itu sendiri.
Melindungi anak hari ini, adalah investasi bagi masa depan bangsa. Selain
alasan itu, kepemihakan pada anak sudah menjadi esensi kemanusiaan itu sendiri.
Karenanya, tindakan paradoks yang mengeksploitasi anak, secara ekonomi
maupun seksual – berada di luar konteks kemanusiaan yang hakiki. Oleh
karenanya penegak hukum dan semua masyarakat yang berkewajiban untuk
mendukung langkah langkah yang diambil pemerintah dan semua pihak dalam
mendukung perlindungan anak dari perdagangan anak (child trafficking). Hal ini
berarti kita semua telah menciptakan keberlangsungan generasi bangsa dalam
mendukung pembangunan berkelanjutan di masa yang akan datang.
B. Saran
Dengan banyaknya kasus perdagangan anak yang akhir akhir ini
diperdebatkan baik ditingkat regional maupun global, maka sudah seharusnya
pemerintah membuka mata melihat fenomena ini. Diharapkan pemerintah tidak
hanya membuat peraturan-peraturan yang mengatur tentang perlindungan anak
tetapi juga harus memperhatikan penerapannya dalam kehidupan masyarakat.
Langkah yang harus ditempuh adalah Melakukan sosialisasi UU Perlindungan
Anak dan UU tindak pidana perdagangan orang kepada seluruh pihak yang
bersangkutan, baik aparat negara ataupun masyarakat secara umum.
xiii
DAFTAR PUSTAKA
Herlina,Apong dkk. Perlindungan anak : berdasarkan Undang – undang
Pembentukan UU Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (21 April 2007).
Pencegahan Trafficking anak apa, mengapa, dan bagaimana, (16-04-2007).
Benahi sistem Penegakan Hukum, (1 Mei 2007), http://www.pikiran-rakyat.com/ cetak /2005/ 0105/31/ teropong/lainnya03.htm.
Soemitra. 1990. Aspek hukum perlindungan. Jakarta : bumi aksara
xiv