makalah arbitrase

11
BAB I PENDAHULUAN A.Latar belakang Ditinjau dari segi tata cara eksekusi putusan arbitrase domestik (putusan arbitrase dalam negeri) dengan putusan arbitrase asing (putusan arbitrase luar negeri) terdapat perbedaan.Meskipun perbedaan itu tidak bersifat menyeluruh. Putusan arbitrase di jatuhkan memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka pelaksanaan putusan arbitrase yang di jatuhkan tersebut.Setiap putusan arbitrase yang di jatuhkan di luar suatu Negara,dimana putusan arbitrase tersebut dimaksudkan untuk di laksanakan,dikenal istilah arbitrase Internasional atau arbitrase asing. Sebelum berlakunya Undang-undang No.30 Tahun 1999 tersebut, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing (Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards-New York Convention 1958) yang di ‘undang” kan dalam keputusan Presiden Republik Indonesia No.34 Tahun 1981.keputusan Presiden tersebut,yang meskipun telah disahkan untuk di berlakukan di Indonesia di tahun 1981,namun “pelaksanaan” nya baru efektif di tahun 1990 dengan di keluarkanya peraturan Mahkama Agung No.1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing tanggal 1 maret 1990.

Transcript of makalah arbitrase

Page 1: makalah arbitrase

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar belakang

Ditinjau dari segi tata cara eksekusi putusan arbitrase domestik (putusan arbitrase dalam negeri)

dengan putusan arbitrase asing (putusan arbitrase luar negeri) terdapat perbedaan.Meskipun

perbedaan itu tidak bersifat menyeluruh.

Putusan arbitrase di jatuhkan memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka pelaksanaan

putusan arbitrase yang di jatuhkan tersebut.Setiap putusan arbitrase yang di jatuhkan di luar

suatu Negara,dimana putusan arbitrase tersebut dimaksudkan untuk di laksanakan,dikenal istilah

arbitrase Internasional atau arbitrase asing.

Sebelum berlakunya Undang-undang No.30 Tahun 1999 tersebut, Indonesia telah meratifikasi

Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing (Convention on the

Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards-New York Convention 1958) yang di

‘undang” kan dalam keputusan Presiden Republik Indonesia No.34 Tahun 1981.keputusan

Presiden tersebut,yang meskipun telah disahkan untuk di berlakukan di Indonesia di tahun

1981,namun “pelaksanaan” nya baru efektif di tahun 1990 dengan di keluarkanya peraturan

Mahkama Agung No.1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing

tanggal 1 maret 1990.

Page 2: makalah arbitrase

BAB II

PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase

Asing/Internasional Menurut UU No.30 Tahun 1999. karena itu terdapat permasalahan yang

perlu dikaji yaitu:

1.Bagaimana Defenisi Putusan Arbitrase Internasional menurut UU No.30 Tahun 1999 ?

2.apa saja Syarat Pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional menurut UU No. 30

Tahun1999?

3.Bagaimana cara pendaftaran dan pencatatan putusan arbitrase Internasional dilakukan?

dan apa saja unsur-unsur pembatalan putusan arbitrase Internasional ?

4.Contoh kasus

Page 3: makalah arbitrase

BAB III

PEMBAHASAN

A.PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL

Undang-undang No.30 tahun 1999 tidak mengenal istilah putusan arbitrase asing melainkan

putusan arbitrase Internasional, yang di defenisikan sebagai:

“Putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga Negara arbitrase atau arbiter

perorangan di luar wilayah hukum republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga

arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia

dianggap sebagai suatu putusan arbitrase Internasional”

Defenisi yang di berikan tersebut pada pokoknya merupakan pengulangan ketentuan yang diatur

dalam peraturan Mahkama Agung No.1 Tahun 1990,dimana dikatakan bahwa:

“Yang dimaksud dengan Putusan Arbitrase asing adalah putusan arbitrase yang

dijatuhkan suatu Badan Arbitrase atau pun arbiter perorangan di luar wilayah Hukum

Republik Indonesia, ataupun putusan suatu Badan Arbiter perorangan yang menurut

ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu Putusan Arbitrase asing

yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres No.34 Tahun 1981 Lembaran

Negara Tahun 1981 No.40 tanggal 5 Agustus 1981”

B.PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL

Dalam pasal 65 Undang-undang N0.30 Tahun 1999 disebutkan secara tegas bahwa “yang

berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional

adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.” Disini jelas bahwa PN Jakarta Pusat memiliki

kewenangan relative atas pengakuan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

Page 4: makalah arbitrase

Agar suatu Putusan Arbitrase Internasional dapat diakui dan selanjutnya dapat di

laksanakan di wilayah Hukum Negara Republik Indonesia, Bedasarkan Pasal 66 UU No.30

Tahun 1999 harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:

a. Putusan arbitrase internasional di jatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu

Negara yang dengan Negara Indonesian terikat pada perjanjian, baik secara bilateral

maupun multilateral dalam kaitannya dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan

arbitrase internasional.

b. Putusan arbitrase Internasional sebagaimana di maksud dalam huruf a terbatas pada

putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum

perdagangan.

c. Putusan arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan

yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

d. Putusan arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh

eksekuator dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

e. Putusan arbitrase Internasioanal yang menyangkut negara Republik Indonesia sebagai

salah satu pihak dalam sengketa hanya dapat di laksanaka setelah memperoleh eksekuator

dari Mahkama Agung RI, yang selanjutnya dilimpahkan pada pengadilan Negeri Jakarta

Pusat.

C.PENDAFTARAN DAN PENCATATAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL

Sebagai salah satu syarat agar putusan arbitrase Internasional tersebut dapat dilaksanakan

di Negara Indonesia diatur dalam ketentuan pasal 67, 68, dan pasal 69 Undang-undang No.30

tahun 1999 yang merupakan (pembaharuan dan penyempurnaan) dari ketentuan serupa yang

diatur dalam aturan Mahkama Agung No.1 Tahun 1990. Menurut Undang-undang No.30

Tahun 1999, permohonan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional baru dapat dilakukan

setelah putusan tersebut diserahkan atau di daftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan tersebut harus di

sertai dengan:

Page 5: makalah arbitrase

a.Lembar asli salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional,sesuai ketentuan perihal

otentifikasi dokumen asing,dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia.

b.Lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase

Internasional sesuai dengan ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah

terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia.

a. Keterangan dan perwakilan diplomatic Indonesia di Negara tempat Putusan Arbitrase

Internasional tersebut di tetapkan,yang menyatakan bahwa Negara pemohon terikat pada

perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan Negara Republik perihal

pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

Setelah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi, maka

pelaksanaan selanjutnya di limpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif

berwenang melaksanakannya. Pelaksanaan putusan arbitrase internasional tersebut dapat

dilakukan dengan melakukan sita eksekusi atas harta kekayaan serta serta barang milik termohon

eksekusi. tata cara yang berhubungan penyitaan, maupun pelaksanaan putusan arbitrase

internasional tersebut mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam hukum acara perdata.

Dari uraian yang telah di berikan di atas, dapat kita ketahui bahwa pada dasar nya

ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan putusan arbitrase internasional yang di rumuskan

dalam Undang-undang No.30 Tahun 1999 merupakan penjabaran kembali dari ketentuan serupa

yng diatur dalam Peraturan Mahkama Agung No 1 Tahun 1990 sebagaimana dari Keputusan

Presiden No.34 Tahun 1981 tentang pengesahan Conventionon the Recognitionan and

Enfocement Of Foreign Arbitral Awards.

D.PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL

Pengadilan yang berwenang untuk memutus permohonan pembatalan Putusan arbitrase

internasional adalah pengadilan dinegara mana putusan tersebut dijatuhkan. Hal itu sesuai

dengan asas lex arbitri bahwa Negara dengan yurisdiksi utama (primary Jurisdiction) memiliki

Page 6: makalah arbitrase

kewenangan membatalkan putusan arbitrase Internasional. jadi, Pengadilan di Negara tempat

putusan arbitrase tersebut dijatuhkan merupakan pengadilan dengan yurisdiksi utama.

Dengan demikian, jika Pengadilan Indonesia merupakan yurisdiksi utama, menurut UU

No.30 Tahun 1999, Pembatalan putusan arbitrase internasional hanya dapat dilakukan setelah

memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

a. Putusan tersebut memenuhi salah satu atau beberapa unsur sebagaimana di sebutkan

dalam pasal 70

b. Putusan tersebut sudah di daftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dilengkapi

dengan persyaratan dokumen (sebagaimana di sebutkan dalam pasal 67 ayat 2), dan

pendaftaranya pun harus dilakukan oleh arbiter atau kuasanya; dan

c. Pengajuanya harus dalam bentuk format permohonan.

Ada pendapat para ahli hukum Indonesia tentang pembatalan putusan arbitrase internasional,

yaitu jika hukum Indonesia di gunakan sebagai hukum subtantif (choice of law) dalam proses

arbitrase, maka pengadilan Indonesia (dalam hal ini adalah PN Jakarta pusat) juga merupakan

primary Jurisdiction. Artinya, pengadilan Indonesia dapat pula membatalkan putusan arbitrase

internasional dalam kaitan itu, jika permohonan pembatalan atas putusan arbitrase internasional

telah dilakukan di Negara tempat putusan tersebut dijatuhkan, maka permohonan pembatalan

(kedua) di pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak dapat di ajukan lagi. hal ini sesuai dengan asas

ne bis in idem. Dasar dari argumentasi tersebut adalah pasal V ayat 1(e) Konvensi New York

1958, yang menyatakan (Putusan arbitrase telah dibatalkan oleh pihak berwenang di Negara

dimana, atau BERDASARKAN HUKUM MANA, putusan tersebut di jatuhkan)

Pendapat tersebut kurang memiliki argumentasi yang kuat, untuk itu perlu digunakan ketentuan

yang relevan, yaitu UNCITRAL Model law 1985, khususnya pasal 1 ayat (2) juncto pasal 34

yang bersifat teritorial. Pasal 1 ayat (2) berbunyi (ketentuan - ketentuan dari model law berlaku

hanya jika tempat arbitrase berada dalam wilayah Negara tersebut.) dengan demikian, hanya

Negara dimana arbitrase (berlangsung dan putusan di jatuhkan) yang dapat menerima

permohonan bagi pembatalan putusan. Di Indonesia syarat-syarat bagi pembatalan putusan

arbitrase diatur dalam pasal 70 UU No.30 Tahun 1999.

Page 7: makalah arbitrase

E.CONTOH KASUS (Karaha Bodas Company vs Pertamina dan PLN)

Pada tanggal 28 November 1994 disepakati 2 kontrak sebagai bagian dari proyek Karaha. kedua

kontrak terebut adalah:

1. Kontrak operasi bersama (Joint Operation Contract/JCO) kontrak ini menetapkan bahwa

pertamina bertanggung jawab untuk mengelola pengoperasian geothermal didalam

proyek Karaha tersebut dan KBC berperan sebagai kontraktor. KBC diwajibkan untuk

mengembangkan energy Geothermal di daerah proyek dan membangun, memiliki dan

mengoperasikan tenaga listrik.

2. Kontrak penjualan energy (Energy sales Contract)

Berdasarkan kontrak ini PLN setuju untuk membeli tenaga listrik yang diproduksi,

dipasok dan disediakan oleh pembangkit tenaga listrik yang dibangun oleh KBC. sebagai

kontraktor bagi pertamina berdasarkan JOC, KBC atas nama pertamina dan berdasarkan

ESC, berhak untuk memasok dan menjual tenaga listrik berkapasitas sampa 400Mw

kepada PLN dari proyek Karaha.

Pada tahun 1997 timbul krisis moneter menimpa Indonesia. IMF meminta kepada pemerintah

Negara Indonesia untuk meninjau kembali proyek-proyek pembangunan. seperti itu telah harus

diteliti lebih lanjut, apakah pembayaran proyek dengan valuta asing US dollar dapat di

pertahankan. pada tanggal 20 september 1997 pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden

Selanjutnya 1 November 1997 di keluarkan Kepres No 47 Tahun 1997 yang berisi perintah agar

beberapa proyek yang tertunda termasuk proyek karaha di lanjutkan kembali. pada tanggal 10

januari 1998 kepres No.5 1998 dikeluarkan. keputusan ini membatalkan kepres sebelumnya dan

menkomfirmasi penundaan proyek Karaha.

Page 8: makalah arbitrase

Pertamina telah menyetujui untuk membantu KBC dalam usaha melanjutkan kembali

proyek ini. akan tetapi ternyata dua minggu setelah diajukan permohonan oleh pertamina, pihak

KBC telah menyatakan telah berlakunya klausula “force majeure” dan telah menghentikan

pelaksanaan kontrak yang bersangkutan. pada tanggal 30 april 1998 KBC telah memberitahukan

kepada Pertamina dan PLN bahwa mereka akan mengajukan klaim kepada Arbitrase berdasarkan

JOC dan ESC.

KBC mengajukan klaim kepada arbitrase jenewa swiss sebagaimana yang di sepakati

oleh para pihak mengenai forum yang dipilih para pihak untuk menyelesaikan sengketa dalam

JOC. KBC menuduh bahwa tergugat melanggar kewajiban mereka membayar menurut JOC dan

EFC dengan cara antara lain mencegah KBC untuk menyelesaikan pembangunan unit-unit

tenaga Listrik berkapasitas 400Mw