makalah arbitrase
Transcript of makalah arbitrase
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar belakang
Ditinjau dari segi tata cara eksekusi putusan arbitrase domestik (putusan arbitrase dalam negeri)
dengan putusan arbitrase asing (putusan arbitrase luar negeri) terdapat perbedaan.Meskipun
perbedaan itu tidak bersifat menyeluruh.
Putusan arbitrase di jatuhkan memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka pelaksanaan
putusan arbitrase yang di jatuhkan tersebut.Setiap putusan arbitrase yang di jatuhkan di luar
suatu Negara,dimana putusan arbitrase tersebut dimaksudkan untuk di laksanakan,dikenal istilah
arbitrase Internasional atau arbitrase asing.
Sebelum berlakunya Undang-undang No.30 Tahun 1999 tersebut, Indonesia telah meratifikasi
Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing (Convention on the
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards-New York Convention 1958) yang di
‘undang” kan dalam keputusan Presiden Republik Indonesia No.34 Tahun 1981.keputusan
Presiden tersebut,yang meskipun telah disahkan untuk di berlakukan di Indonesia di tahun
1981,namun “pelaksanaan” nya baru efektif di tahun 1990 dengan di keluarkanya peraturan
Mahkama Agung No.1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing
tanggal 1 maret 1990.
BAB II
PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase
Asing/Internasional Menurut UU No.30 Tahun 1999. karena itu terdapat permasalahan yang
perlu dikaji yaitu:
1.Bagaimana Defenisi Putusan Arbitrase Internasional menurut UU No.30 Tahun 1999 ?
2.apa saja Syarat Pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional menurut UU No. 30
Tahun1999?
3.Bagaimana cara pendaftaran dan pencatatan putusan arbitrase Internasional dilakukan?
dan apa saja unsur-unsur pembatalan putusan arbitrase Internasional ?
4.Contoh kasus
BAB III
PEMBAHASAN
A.PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
Undang-undang No.30 tahun 1999 tidak mengenal istilah putusan arbitrase asing melainkan
putusan arbitrase Internasional, yang di defenisikan sebagai:
“Putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga Negara arbitrase atau arbiter
perorangan di luar wilayah hukum republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga
arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia
dianggap sebagai suatu putusan arbitrase Internasional”
Defenisi yang di berikan tersebut pada pokoknya merupakan pengulangan ketentuan yang diatur
dalam peraturan Mahkama Agung No.1 Tahun 1990,dimana dikatakan bahwa:
“Yang dimaksud dengan Putusan Arbitrase asing adalah putusan arbitrase yang
dijatuhkan suatu Badan Arbitrase atau pun arbiter perorangan di luar wilayah Hukum
Republik Indonesia, ataupun putusan suatu Badan Arbiter perorangan yang menurut
ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu Putusan Arbitrase asing
yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres No.34 Tahun 1981 Lembaran
Negara Tahun 1981 No.40 tanggal 5 Agustus 1981”
B.PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
Dalam pasal 65 Undang-undang N0.30 Tahun 1999 disebutkan secara tegas bahwa “yang
berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional
adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.” Disini jelas bahwa PN Jakarta Pusat memiliki
kewenangan relative atas pengakuan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
Agar suatu Putusan Arbitrase Internasional dapat diakui dan selanjutnya dapat di
laksanakan di wilayah Hukum Negara Republik Indonesia, Bedasarkan Pasal 66 UU No.30
Tahun 1999 harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
a. Putusan arbitrase internasional di jatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu
Negara yang dengan Negara Indonesian terikat pada perjanjian, baik secara bilateral
maupun multilateral dalam kaitannya dengan pengakuan dan pelaksanaan putusan
arbitrase internasional.
b. Putusan arbitrase Internasional sebagaimana di maksud dalam huruf a terbatas pada
putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum
perdagangan.
c. Putusan arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan
yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
d. Putusan arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh
eksekuator dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
e. Putusan arbitrase Internasioanal yang menyangkut negara Republik Indonesia sebagai
salah satu pihak dalam sengketa hanya dapat di laksanaka setelah memperoleh eksekuator
dari Mahkama Agung RI, yang selanjutnya dilimpahkan pada pengadilan Negeri Jakarta
Pusat.
C.PENDAFTARAN DAN PENCATATAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
Sebagai salah satu syarat agar putusan arbitrase Internasional tersebut dapat dilaksanakan
di Negara Indonesia diatur dalam ketentuan pasal 67, 68, dan pasal 69 Undang-undang No.30
tahun 1999 yang merupakan (pembaharuan dan penyempurnaan) dari ketentuan serupa yang
diatur dalam aturan Mahkama Agung No.1 Tahun 1990. Menurut Undang-undang No.30
Tahun 1999, permohonan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional baru dapat dilakukan
setelah putusan tersebut diserahkan atau di daftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan tersebut harus di
sertai dengan:
a.Lembar asli salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional,sesuai ketentuan perihal
otentifikasi dokumen asing,dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia.
b.Lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase
Internasional sesuai dengan ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah
terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia.
a. Keterangan dan perwakilan diplomatic Indonesia di Negara tempat Putusan Arbitrase
Internasional tersebut di tetapkan,yang menyatakan bahwa Negara pemohon terikat pada
perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan Negara Republik perihal
pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
Setelah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi, maka
pelaksanaan selanjutnya di limpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif
berwenang melaksanakannya. Pelaksanaan putusan arbitrase internasional tersebut dapat
dilakukan dengan melakukan sita eksekusi atas harta kekayaan serta serta barang milik termohon
eksekusi. tata cara yang berhubungan penyitaan, maupun pelaksanaan putusan arbitrase
internasional tersebut mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam hukum acara perdata.
Dari uraian yang telah di berikan di atas, dapat kita ketahui bahwa pada dasar nya
ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan putusan arbitrase internasional yang di rumuskan
dalam Undang-undang No.30 Tahun 1999 merupakan penjabaran kembali dari ketentuan serupa
yng diatur dalam Peraturan Mahkama Agung No 1 Tahun 1990 sebagaimana dari Keputusan
Presiden No.34 Tahun 1981 tentang pengesahan Conventionon the Recognitionan and
Enfocement Of Foreign Arbitral Awards.
D.PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL
Pengadilan yang berwenang untuk memutus permohonan pembatalan Putusan arbitrase
internasional adalah pengadilan dinegara mana putusan tersebut dijatuhkan. Hal itu sesuai
dengan asas lex arbitri bahwa Negara dengan yurisdiksi utama (primary Jurisdiction) memiliki
kewenangan membatalkan putusan arbitrase Internasional. jadi, Pengadilan di Negara tempat
putusan arbitrase tersebut dijatuhkan merupakan pengadilan dengan yurisdiksi utama.
Dengan demikian, jika Pengadilan Indonesia merupakan yurisdiksi utama, menurut UU
No.30 Tahun 1999, Pembatalan putusan arbitrase internasional hanya dapat dilakukan setelah
memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
a. Putusan tersebut memenuhi salah satu atau beberapa unsur sebagaimana di sebutkan
dalam pasal 70
b. Putusan tersebut sudah di daftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dilengkapi
dengan persyaratan dokumen (sebagaimana di sebutkan dalam pasal 67 ayat 2), dan
pendaftaranya pun harus dilakukan oleh arbiter atau kuasanya; dan
c. Pengajuanya harus dalam bentuk format permohonan.
Ada pendapat para ahli hukum Indonesia tentang pembatalan putusan arbitrase internasional,
yaitu jika hukum Indonesia di gunakan sebagai hukum subtantif (choice of law) dalam proses
arbitrase, maka pengadilan Indonesia (dalam hal ini adalah PN Jakarta pusat) juga merupakan
primary Jurisdiction. Artinya, pengadilan Indonesia dapat pula membatalkan putusan arbitrase
internasional dalam kaitan itu, jika permohonan pembatalan atas putusan arbitrase internasional
telah dilakukan di Negara tempat putusan tersebut dijatuhkan, maka permohonan pembatalan
(kedua) di pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak dapat di ajukan lagi. hal ini sesuai dengan asas
ne bis in idem. Dasar dari argumentasi tersebut adalah pasal V ayat 1(e) Konvensi New York
1958, yang menyatakan (Putusan arbitrase telah dibatalkan oleh pihak berwenang di Negara
dimana, atau BERDASARKAN HUKUM MANA, putusan tersebut di jatuhkan)
Pendapat tersebut kurang memiliki argumentasi yang kuat, untuk itu perlu digunakan ketentuan
yang relevan, yaitu UNCITRAL Model law 1985, khususnya pasal 1 ayat (2) juncto pasal 34
yang bersifat teritorial. Pasal 1 ayat (2) berbunyi (ketentuan - ketentuan dari model law berlaku
hanya jika tempat arbitrase berada dalam wilayah Negara tersebut.) dengan demikian, hanya
Negara dimana arbitrase (berlangsung dan putusan di jatuhkan) yang dapat menerima
permohonan bagi pembatalan putusan. Di Indonesia syarat-syarat bagi pembatalan putusan
arbitrase diatur dalam pasal 70 UU No.30 Tahun 1999.
E.CONTOH KASUS (Karaha Bodas Company vs Pertamina dan PLN)
Pada tanggal 28 November 1994 disepakati 2 kontrak sebagai bagian dari proyek Karaha. kedua
kontrak terebut adalah:
1. Kontrak operasi bersama (Joint Operation Contract/JCO) kontrak ini menetapkan bahwa
pertamina bertanggung jawab untuk mengelola pengoperasian geothermal didalam
proyek Karaha tersebut dan KBC berperan sebagai kontraktor. KBC diwajibkan untuk
mengembangkan energy Geothermal di daerah proyek dan membangun, memiliki dan
mengoperasikan tenaga listrik.
2. Kontrak penjualan energy (Energy sales Contract)
Berdasarkan kontrak ini PLN setuju untuk membeli tenaga listrik yang diproduksi,
dipasok dan disediakan oleh pembangkit tenaga listrik yang dibangun oleh KBC. sebagai
kontraktor bagi pertamina berdasarkan JOC, KBC atas nama pertamina dan berdasarkan
ESC, berhak untuk memasok dan menjual tenaga listrik berkapasitas sampa 400Mw
kepada PLN dari proyek Karaha.
Pada tahun 1997 timbul krisis moneter menimpa Indonesia. IMF meminta kepada pemerintah
Negara Indonesia untuk meninjau kembali proyek-proyek pembangunan. seperti itu telah harus
diteliti lebih lanjut, apakah pembayaran proyek dengan valuta asing US dollar dapat di
pertahankan. pada tanggal 20 september 1997 pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden
Selanjutnya 1 November 1997 di keluarkan Kepres No 47 Tahun 1997 yang berisi perintah agar
beberapa proyek yang tertunda termasuk proyek karaha di lanjutkan kembali. pada tanggal 10
januari 1998 kepres No.5 1998 dikeluarkan. keputusan ini membatalkan kepres sebelumnya dan
menkomfirmasi penundaan proyek Karaha.
Pertamina telah menyetujui untuk membantu KBC dalam usaha melanjutkan kembali
proyek ini. akan tetapi ternyata dua minggu setelah diajukan permohonan oleh pertamina, pihak
KBC telah menyatakan telah berlakunya klausula “force majeure” dan telah menghentikan
pelaksanaan kontrak yang bersangkutan. pada tanggal 30 april 1998 KBC telah memberitahukan
kepada Pertamina dan PLN bahwa mereka akan mengajukan klaim kepada Arbitrase berdasarkan
JOC dan ESC.
KBC mengajukan klaim kepada arbitrase jenewa swiss sebagaimana yang di sepakati
oleh para pihak mengenai forum yang dipilih para pihak untuk menyelesaikan sengketa dalam
JOC. KBC menuduh bahwa tergugat melanggar kewajiban mereka membayar menurut JOC dan
EFC dengan cara antara lain mencegah KBC untuk menyelesaikan pembangunan unit-unit
tenaga Listrik berkapasitas 400Mw