makalah agraria presentasi
-
Upload
erik-sosanto -
Category
Documents
-
view
89 -
download
2
Transcript of makalah agraria presentasi
i
MAKALAH
PENDAFTARAN TANAH
DOSEN PENGASUH :THEA FARINA, SH.M.Kn
Disusun Oleh:
KELOMPOK III
NAMA NIM KET TTD
1. ABDUL KADIR ZAILANI EAA 110 103 PENANYA
2. ADIATMA TOGI SITORUS EAA 110 035 PENYAJI
3. ERIK SOSANTO EAA 110 039 PENYAJI
4. FRANSISCA NOVITASARI H EAA 110 031 PENANYA
5. IKA SAFITRI RAHMAH EAA 110 109 MODERATOR
6. PEBRIANDI EAA 110 015 PENYAJI
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
FAKULTAS HUKUM
TAHUN 2011
ii
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-Nya dari Tuhan
Yang Maha Esa atas selesainya penyusunan makalah mengenai pendaftaran tanah.
Makalah ini disusun berdasarkan sumber dari buku-buku dan sumber lainnya yang
berhubungan dengan pendaftaran tanah.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman dan
menambah wawasan bagi orang yang membacanya.
Penulis menyadari akibat keterbatasan waktu dan pengalaman penulis, maka tulisan ini
masih banyak kekurangan. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan penulisan ini.
Harapan penulis semoga tulisan yang penuh kesederhanaan ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membacanya tentang pendaftaran tanah.
Palangka Raya, November 2011
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................................ 2
1.3. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2
1.4. Metode Penulisan .................................................................................... 2
1.5. Manfaat Penulisan ................................................................................... 2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Hak-hak atas tanah yang merupakan objek pendaftaran tanah ..................
2.2 Sistem pendaftaran tanah ...........................................................................
2.3 Stelsel pendaftaran tanah ...........................................................................
BAB 3 PENUTUP
3.1. Kesimpulan .............................................................................................
3.2. Saran .......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Telah diketahui bersama bahwa tanah mempunyai peranan yang sangat penting bagi
kehidupan manusia dalam bermasyarakat. Tercukupinya kebutuhan manusia akan bahan
pangan, dikarenakan manusia mampu mengolah dan mendayagunakan tanah. Kemampuan
tersebut ternyata tidak terbatas pada usaha untuk mencukupi kebutuhan bidang pangan saja,
melainkan untuk usaha-usaha yang lebih luas yang menyangkut perkembangan kehidupan
seperti misalnya tanah untuk perumahan, pendirian bangunan industri, perkantoran,
pendidikan, tempat ibadah, dan berbagai keperluan yang lain. Karena keadaan tanah terbatas
sedangkan penduduk bertambah terus dengan pesatnya, maka dengan sendirinya jumlah
penduduk yang ingin mendayagunakan tanah menjadi tidak seimbang dengan keadaan
tanahnya. Dalam keadaan demikian, tanpa adanya pengaturan yang tegas, maka tanah
seringkali justru menjadi “masalah” bagi manusia, baik yang disebabkan karena perebutan
hak, pendayagunaan yang salah, dan sebagainya. Di pihak lain, pemerintah sendiri
memerlukan data penguasaan tanah untuk perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya,
terutama yang melibatkan para pemilik tanah. Selain itu, diperlukan pula untuk penarikan
pajak atas tanah, sehingga mutlak diperlukan adanya data pemilikan tanah berupa peta dan
daftar.
Dari sejarahnya, pendaftaran tanah memang dilaksanakan untuk tujuan pemungutan pajak
atas tanah(fiscal cadastre). Sampai tahun 1961, dikenal tiga macam pungutan pajak tanah,
yaitu verponding Eropa,verponding Indonesia, dan Landrente. Sebagai dasar bagi penentuan
obyek pajak saat itu adalah status tanahnya sebagai tanah Hak Barat dan tanah hak milik
adat, sedangkan wajib pajaknya adalah pemegang hak/pemiliknya. Dalam perkembangan
berikutnya, untuk mewujudkan kepastian hukum atas tanah, munculah pendaftaran tanah
untuk tujuan kepastian hukum (legal cadastre). Sasarannya adalah bidang-bidang tanah yang
2
dikuasai dengan sesuatu hak dan dikenal tanah hak maupun persil yang kemudian diukur,
dipetakan dan diteliti proses penguasaan oleh pemegang haknya. Hasilnya berupa peta dan
daftar yang memberikan penjelasan mengenai siapa pemegang haknya, letaknya, dan
luasnya(data kadastral).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba merumuskan permasalahan sekaligus
merupakan pembahasan permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut :
1. Hak-hak atas tanah yang merupakan objek pendaftaran tanah ?
2. Sistem pendaftaran tanah ?
3. Stelsel pendaftaran tanah ?
1.3 Tujuan Penulisan
Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini,
penulis bertujuan untuk :
a. Mengetahui Apa yang dimaksud dengan pendaftaran tanah dan Hak-hak atas
tanah yang merupakan objek pendaftaran tanah.
b. Mengetahui dan memahami sistem dan stelsel pendaftaran tanah.
1.4 Metode Penulisan
Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yang bersumber pada buku-buku
referensi yang berhubungan dengan hukum agraria dan situs internet.
1.5 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut :
a. Sebagai media untuk menambah wawasan.
b. Bahan referensi aktual .
c. Bahan bacaan dan pengetahuan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hak-hak atas Tanah yang Merupakan Objek Pendaftaran Tanah
Menurut PP No.24 tahun 1997, pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliptui
pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-
bidang tanah yang sudah haknya dan Hak Milik atas satuan rumah susun, serta hak-hak
tertentu yang membebaninya.
Sebutan„pendaftaran tanah‟ telah menimbulkan kesan seakan-akan obyek utama
pendaftaran atau satu-satunya obyek pendaftaran adalah tanah. Memang mengenai
pengumpulan sampai penyajian data fisik, tanahlah yang merupakan obyek pendaftaran,
yaitu untuk dipastikan letaknya, batas-batasnya, luasnya dalam peta pendaftaran dan
disajikan juga dalam daftar tanah. Kata „kadaster‟ yang menunjuk pada kegiatan bidang fisik
tersebut berasal dari istilah latin capitastrum (suatu daftar yang berisikan data mengenai
tanah). Tetapi dalam pengumpulan sampai penyajian data yuridis, bukan tanahnya yang
didaftar, melainkan hak-hak atas tanah yang menentukan status hukumnya serta hak-hak lain
yang membebani hak-hak tersebut. Bahkan dalam pendaftaran tanah yang menggunakan
sistem pendaftaran akta (registration of deeds), bukan haknya, melainkan justru aktanya yang
didaftar yaitu dokumen-dokumen yang membuktikan diciptakannya hak yang bersangkutan
dan dilakukannya perbuatan-perbuatan hukum mengenai hak tersebut kemudian (Boedi
Harsono, 2003).
Kegiatan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali
(initial registration) dan kegiatan pemeliharaan data yang tersedia (maintenance). Dalam
initial registration, terdapat 3 (tiga) pokok kegiatan, yaitu bidang fisik (teknis kadastral),
bidang yuridis, dan penerbitan dokumen tanda bukti hak. Sedangkan pemeliharaan data
(maintanance) dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik dan data yuridis obyek
4
pendaftaran tanah yang telah didaftar. Perubahan ini misalnya terjad akibat beralihnya,
dibebaninya, atau berubahnya nama pemegang hak yang sudah berakhir, pemecahan,
pemisahan dan penggabungan bidang tanah yang haknya sudah didaftar.
Pendaftaran tanah pertama kali (initial registration) dapat dilakukan secara sistematik dan
secara sporadik. Secara sistematik berarti dilakukan secara serentak yang meliputi semua
obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu
desa/kelurahan, yang umumnya prakarsa datang dari Pemerintah. Secara sporadik berarti
kegiatan pendaftaran tanah untuk satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam wilayah
atau bagian wilayah suatu desa/keluarahan secara individual atau massal, yang dilakukan atas
permintaan pemegang atau penerima hak atas tanah bersangkutan.
Obyek pendaftaran tanah menurut Pasal 9 PP Nomor 24 Tahun 1997 meliputi :
a. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik,hak guna usaha,hak guna
bangunan,dan hak pakai;
b. tanah hak pengelolaan;
c. tanah wakaf;
d. hak milik atas satuan rumah susun;
e. hak tanggungan;
f. tanah negara.
Berbeda dengan obyek-obyek pendaftaran tanah yang lain, tanah negara pendaftarannya
dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang bersangkutan dalam daftar tanah.
Untuk tanah negara tidak disediakan buku tanah dan karenanya juga tidak diterbitkan
sertipikat. Sedangkan obyek pendaftaran tanah yang lain didaftar dengan membukukannya
dalam peta pendaftaran dan buku tanah serta menerbitkan sertipikat sebagai surat tanda bukti
haknya.
5
2.2 Sistem Pendaftaran Tanah
Sistem pendaftaran tanah yang dipakai di suatu negara tergantung pada asas hukum
pendaftaran tanah dan sistem publikasi yang digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran
tanah oleh negara yang bersangkutan.
Terdapat dua macam sistem pendaftaran tanah yaitu :
1. Sistem pendaftaran akta (registration of deeds);
2. Sistem pendaftaran hak (registration of title).
Persamaan dari kedua sistem pendaftaran tersebut adalah baik dalam sistem pendaftaran
akta maupun sistem pendaftaran hak, setiap pemberian atau menciptakan hak baru serta
pemindahan dan pembebanannya dengan hak lain harus dibuktikan dengan suatu akta. Dalam
akta tersebut dimuat data yuridis tanah yang bersangkutan antara lain perbuatan hukumnya,
haknya, penerima haknya, dan hak apa yang dibebankan. Dalam kedua sistem pendaftaran
tersebut akta merupakan sumber data yuridis.
Perbedaannya adalah :
a. pada sistem pendaftaran akta, pendaftaran berarti mendaftarkan peristiwa hukumnya
yaitu peralihan haknya dengan cara mendaftarkan akta. Akta itulah yang didaftar oleh
pejabat pendaftaran tanah yang bersifat pasif. Ia tidak melakukan pengujian kebenaran
data yang disebut dalam akta yang didaftar.
b. pada sistem pendaftaran hak, pemegang hak yang terdaftar adalah pemegang hak yang
sah menurut hukum sehingga pendaftaran berarti mendaftarkan status seseorang sebagai
pemegang hak atas tanah. Setiap penciptaan hak baru dan perbuatan-perbuatan hukum
yang menimbulkan perubahan kemudian juga harus dibuktikan dengan suatu akta,
tetapi dalam penyelenggaraan pendaftarannya bukan akta yang didaftar melainkan
haknya yang diciptakan dan perubahan-perubahannya kemudian. Akta hanya merupakan
6
sumber datanya. Dalam sistem pendaftaran hak, pejabat pendaftaran tanah bersifat aktif.
Sebelum dilakukan pendaftaran hak oleh pejabat pendaftaran tanah dilakukan pengujian
kebenaran data yang dimuat dalam akta yang bersangkutan.
2.3 Stelsel dalam Pendaftaran Tanah
Sistem dalam Pendaftaran tanah berkaitan dengan kegiatan publikasi berupa penyajian
data yang dihimpun secara terbuka bagi umum di Kantor Pertanahan berupa daftar-daftar
dan peta, sebagai informasi bagi umum yang akan melakukan perbuatan hukum mengenai
tanah yang terdaftar. Sejauh mana orang boleh mempercayai kebenaran data yang disajikan
dan sejauh mana hukum melindungi kepentingan orang yang melakukan perbuatan hukum
mengenai tanah yang haknya sudah didaftar tergantung pada stelsel publikasi yang
digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah oleh negara yang bersangkutan. Secara
umum dikenal dua sistem publikasi, yaitu stelsel publikasi positif dan stelsel publikasi
negatif.
1). Stelsel Publikasi Positif
Dalam stelsel publikasi positif, orang yang mendaftar sebagai pemegang hak atas
tanah tidak dapat diganggu gugat lagi haknya. Negara sebagai pendaftar menjamin
bahwa pendaftaran yang sudah dilakukan adalah benar. Konsekuensi penggunaan sistem
ini adalah bahwa dalam proses pendaftarannya harus benar-benar diteliti bahwa orang
yang mengajukan pendaftarannya memang berhak atas tanah yang didaftarkan tersebut,
dalam arti ia memperoleh tanah ini dengan sah dari pihak yang benar-benar berwenang
memindahkan hak atas tanah tersebut dan batas-batas tanah tersebut adalah benar adanya.
Negara menjamin kebenaran data yang disajikan. Sistem ini mengandung ketentuan-
ketentuan yang merupakan perwujudan ungkapan “title by registration” (dengan
pendaftaran diciptakan hak), pendaftaran menciptakan suatu “indefeasible title” (hak
yang tidak dapat diganggu gugat), dan “the register is everything” (untuk memastikan
adanya suatu hak dan pemegang haknya cukup dilihat buku tanahnya). Sekali didaftar
pihak yang dapat membuktikan bahwa dialah pemegang hak yang sebenarnya kehilangan
7
haknya untuk mendapatkan kembali tanah yang bersangkutan. Jika pemegang hak atas
tanah kehilangan haknya, maka ia dapat menuntut kembali haknya. Jika pendaftaran
terjadi karena kesalahan pejabat pendaftaran, ia hanya dapat menuntut pemberian ganti
kerugian (compensation) berupa uang. Untuk itu negara menyediakan apa yang disebut
suatu “assurance fund”.
Stelsel publikasi positif selalu menggunakan sistem pendaftaran hak, sehingga mutlak
adanya register atau buku tanah sebagai bentuk penyimpanan dan penyajian data yuridis
dan sertipikat hak sebagai surat tanda bukti hak. Dalam sistem pendaftaran hak, pejabat
pendaftaran tanah mengadakan pengujian kebenaran data sebelum membuat buku tanah
serta melakukan pengukuran dan pembuatan peta. Sistem publikasi positif ini akan
menghasilkan suatu produk hukum yang dijamin kebenarannya oleh pemerintah dan oleh
karena itu tidak bisa diganggu gugat, sehingga dapat disimpulkan bahwa segi negatif
dalam sistem publikasi positif adalah tertutup kemungkinan bagi pihak-pihak yang
merasa sebagai pemegang hak yang sebenarnya untuk melakukan gugatan atau tuntutan
terhadap segala sesuatu yang telah tercatat dalam sertipikat tersebut karena negara
menjamin kebenaran data yang disajikan.
Secara umum, stelsel positif dapat dilihat pada hal-hal sebagai berikut :
1. Pejabat Pembuat Akta Tanah diberikan tugas untuk meneliti secara materiil dokumen-
dokumen yang diserahkan dan berhak untuk menolak pembuatan akta.
2. Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya berhak menolak melakukan pendaftaran jika
pemilik tidak mempunyai wewenang mengalihkan haknya.
Campur tangan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Kantor Pertanahan terhadap peralihan-
peralihan hak atas tanah memberikan jaminan bahwa nama orang yang terdaftar benar-
benar yang berhak tanpa menutup kesempatan kepada yang berhak sebenarnya untuk
masih dapat mempersoalkannya.
8
2). Stesel Publikasi Negatif
Dalam sistem publikasi negatif, negara hanya bersifat pasif menerima apa yang
dinyatakan oleh pihak yang meminta pendaftaran. Oleh karena itu, sewaktu-waktu dapat
digugat oleh orang yang merasa lebih berhak atas tanah itu. Pihak yang memperoleh
tanah dari orang yang sudah terdaftar tidak dijamin, walaupun dia memperoleh tanah itu
dengan itikad baik. Hal ini berarti, dalam sistem publikasi negatif keterangan-keterangan
yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai
keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian yang
membuktikan sebaliknya. Dengan demikian, pendaftaran tanah dengan sistem publikasi
negatif tidak memberikan kepastian hukum kepada orang yang terdaftar sebagai
pemegang hak karena negara tidak menjamin kebenaran catatan yang disajikan.
Secara umum, pendaftaran tanah dengan sistem publikasi negatif mempunyai
karakteristik yakni:
1. Pemindahan sesuatu hak mempunyai kekuatan hukum, akta pemindahan hak harus
dibukukan dalam daftar-daftar umum;
2. Hal-hal yang tidak diumumkan tidak diakui;
3. Dengan publikasi tidak berarti bahwa hak itu sudah beralih, dan yang mendapatkan
hak sesuai akta belum berarti telah menjadi pemilik yang sebenarnya;
4. Tidak seorangpun dapat mengalihkan sesuatu hak lebih dari yang dimiliki, sehingga
seseorang yang bukan pemilik tidak dapat menjadikan orang lain karena perbuatannya
menjadi pemilik;
5. Pemegang hak tidak kehilangan hak tanpa perbuatannya sendiri
6. Pendaftaran hak atas tanah tidak merupakan jaminan pada nama yang terdaftar dalam
buku tanah. Dengan kata lain buku tanah bisa saja berubah sepanjang dapat membuktikan
bahwa dialah pemilik tanah yang sesungguhnya melalui putusan pengadilan yang sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pendaftaran tanah sistem publikasi negatif tidak membuat orang yang
memperoleh tanah dari pihak yang tidak berhak menjadi pemegang hak yang baru.
9
Dalam sistem ini berlaku asas yang dikenal sebagai nemo plus juris bahwa orang tidak
dapat menyerahkan atau memindahkan hak melebihi apa yang dimilikinya. Data yang
disajikan dalam pendaftaran dengan sistem publikasi negatif tidak bolehbegitu saja
dipercaya kebenarannya.Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan.
Walaupun sudah melakukan pendaftaran, pembeli selalu masih menghadapi
kemungkinan gugatan dari orang yang dapat membuktikan bahwa dialah pemegang hak
yang sebenarnya. Subyek hak yang merasa mempunyai hak atas tanah masih dapat
mempertahankan haknya dengan cara melakukan gugatan terhadap pihak-pihak yang
namanya terdaftar dalam buku tanah.
Bagi pejabat pendaftaran tanah tidak ada keharusan untuk memeriksa atas nama siapa
pendaftaran haknya. Pejabat pendaftaran tanah mendaftarkan hak-hak dalam daftar-daftar
umum atas nama pemohonnya tanpa mengadakan pemeriksaan terlebih dahulu terhadap
pemohonnya, sehingga pekerjaan pendaftaran peralihan hak dalam sistem negatif dapat
dilakukan secara cepat dan lancar, sebagai akibat tidak diadakannya pemeriksaan oleh
pejabat pendaftaran tanah. Sedangkan kelemahannya adalah tidak terjaminnya kebenaran dari
isi daftar-daftar umum yang disediakan dalam rangka pendaftaran tanah. Orang yang akan
membeli sesuatu hak atas tanah dari orang yang terdaftar dalam daftar-daftar umum sebagai
pemegang hak harus menanggung sendiri resikonya jika yang terdaftar itu ternyata bukan
pemegang hak yang sebenarnya. Pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak
dalam buku tanah dan sertipikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain
yang merasa mempunyai Stelsel negatif memang telah memunculkan dampak terhadap
kepastian hukum itu sendiri. Pemegang hak atas tanah yang dapat membuktikan bukti-bukti
yang sah akan dilindungi oleh hukum yang berlaku. Jangkauan kekuatan pembuktian
setipikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat oleh UUPA diberikan dengan
syarat selama belum dibuktikan yang sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang
dicantumkan dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan
hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai
dengan apa yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan, dan orang
tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertipikat atas nama orang atau badan hukum lain,
jika selama lima tahun sejak dikeluarkan sertipikat itu orang yang merasa memiliki tanah
10
tidak mengajukan gugatan pada pengadilan, sedangkan tanah tersebut diperoleh orang atau
badan hukum lain tersebut dengan itikad baik dan secara fisik nyata dikuasai olehnya atau
oleh orang lain atau oleh badan hukum yang mendapat persetujuannya.
Asas itikad baik memberikan perlindungan kepada orang yang dengan itikad baik
memperoleh suatu hak dari orang yang disangka sebagai pemegang hak yang sah. Namun
asas itikad baik ini, menurut Hoge Raad, merupakan doktrin yang merujuk kepada
kerasionalan dan kepatutan (redelijkheid en billijkheid), sehingga pembuktian itikad baik atas
pemilikan hak atas tanah lebih banyak melalui pengadilan. Asas itikad baik dipakai untuk
memberi kekuatan pembuktian bagi peta daftar umum yang ada di Kantor Pertanahan.
Dalam asas hukum nemo plus yuris, seseorang tidak dapat melakukan tindakan hukum
yang melampaui hak yang dimilikinya, dan akibat dari pelanggaran tersebut batal demi
hukum (van rechtswege nietig), yang berakibat perbuatan hukum tersebut dianggap tidak
pernah ada dan karenanya tidak mempunyai akibat hukum dan apabila tindakan hukum
tersebut menimbulkan kerugian, maka pihak yang dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada
pihak-pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut. Asas nemo plus yuris memberikan
perlindungan hukum kepada pemegang hak yang sebenarnya terhadap tindakan pihak lain
yang mengalihkan haknya tanpa sepengetahuannya. Karena itu asas nemo plus yuris selalu
terbuka kemungkinan adanya gugatan kepada pemilik yang namanya tercantum dalam
sertipikat dari orang yang merasa sebagai pemiliknya.
Berdasarkan asas nemo plus yuris, maka penguasaan sesuatu hak atas tanah oleh orang
yang tidak berhak adalah batal. Dengan demikian pemegang hak yang sebenarnya selalu
dapat menuntut kembali haknya yang telah dialihkan tanpa sepengetahuannya dari siapapun
dimana hak itu berada. Hal ini sangat penting untuk memberi perlindungan kepada pemegang
hak atas tanah yang sebenarnya. Umumnya asas ini berlaku dalam sistem pendaftaran tanah
yang negatif.
Sekalipun suatu negara menganut salah satu asas hukum atau sistem pendaftaran tanah,
tetapi tidak ada yang secara murni berpegang pada salah satu asas hukum atau sistem
11
pendaftaran tanah karena asas hukum atau sistem pendaftaran tanah tersebut mempunyai
kekurangan dan kelebihan masing-masing, sehingga setiap negara mencari jalan keluar
sendiri-sendiri. Dalam praktik, kedua sistem ini tidak pernah digunakan secara murni. Sistem
publikasi positif memberi beban terlalu berat kepada negara sebagai pendaftar. Apabila ada
kesalahan dalam pendaftaran, negara harus menanggung akibat dari kesalahan itu. Dalam
hukum pendaftaran tanah hak barat, dahulu ada dikenal sebagai lembaga acquisitive
verjaring yang dapat mengakhiri kelemahan sistem publikasi negatif. Akan tetapi lembaga
ini sudah tidak ada lagi seiring dengan tidak adanya lagi tanah-tanah hak barat dan dengan
dicabutnya pasal yang mengaturnya oleh UUPA. Lembaga yang dapat menggantinya adalah
lembaga yang dikenal dengan sebutan rechtsverwerking yang dituangkan dalam Pasal 32
ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997 untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum
kepada para pemegang sertipikat.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Salah satu hasil dari kegiatan pendaftaran tanah adalah diterbitkannya sertifikat hak atas
tanah yang berisi data fisik (letak, batas, luas) dan data yuridis (status tanah, pemegang hak,
hak-hak pihak lain, dan beban-beban lain yang berada di atasnya). Sejak UUPA diundangkan
(1960), telah diterbitkan sebanyak 22 juta sertifikat tanah, baik melalui kegiatan pendaftaran
tanah secara sporadik (65%) maupun sistematik (35%). Dengan membandingkan total 75 juta
bidang tanah yang harus disertifikatkan,maka prosentasi tanah-tanah yang sudah
disertifikatkan barulah mencapai 33%.Kecilnya jumlah tersebut merupakan salah satu
penyebab besarnya jumlah sengketa atau masalah dalam bidang pertanahan.
Menurut Soejono dan Abdurrahman (1998), bila dalam kurun waktu sekian puluh tahun
tersebut baru bisa diselesaikan seperlimanya, maka untuk merampungkan seluruhnya
diperlukan waktu kurang lebih 120 tahun lagi. Sadjarwo (1978) menentukan waktu yang
lebih cepat yaitu sekitar 50 tahun, yang diharapkan dapat dilakukan melalui berbagai
“terobosan‟ untuk mempercepat penyelenggaraan pendaftaran tanah, seperti melalui pola
pendaftaran tanah secara sistematik. Meski demikian, karena prakarsanya datang dari
Pemerintah, maka pendaftaran tanah secara sistematik memerlukan waktu untuk memenuhi
dana, tenaga dan peralatan yang diperlukan. Selain itu pelaksanaannya harus didasarkan pada
suatu rencana kerja yang meliputi jangka waktu agak panjang dan rencana pelaksanaan
tahunan yang berkelanjutan melalui uji kelayakan agar berjalan dengan lancar.
Secara global berbagai persoalan yang terkait dengan penyelenggaraan pendaftaran tanah
tersebut di atas tidak terlepas dari berbagai kendala, baik yang berupa teknis kadastral,
kualitas sumber daya manusia, dana, peralatan, maupun tingkat responsivitas masyarakat
dalam pelaksanaan pendaftaran tanah. Tak ketinggalan pula, keadaan obyektif tanah-
tanahnya sendiri yang selain jumlah besar dan tersebar di wilayah yang luas, sebagian besar
justru tidak didukung oleh alat-alat pembuktian yang mudah diperoleh dan dapat dipercaya
kebenarannya. Di pihak lain, ketentuan hukum untuk dasar pelaksanaannya dirasakan belum
13
cukup memberikan kemungkinan untuk terlaksananya pendaftaran tanah dalam waktu yang
singkat dengan hasil yang lebih memuaskan.
3.2 Saran
Dalam kaitan dengan hal tersebut, diperlukan penyelenggaraan proyek percepatan
pensertifikatan tanah dengan memanfaatkan teknologi tinggi di bidang pengukuran dan
pemetaan. Upaya lain untuk mempercepat pensertifikatan tanah adalah menertibkan
administrasi pertanahan, komputerisasi, pemanfaatan surveyor berlisensi dan lain sebagainya,
dengan pendekatan yang seyogyanya lebih menitikberatkan pada penyelenggaran
pendaftaran tanah secara sistematik. Di sisi lain, pendaftaran tanah secara sporadik juga perlu
ditingkatkan pelaksanaannya sebab dalam kenyataannya akan bertambah permintaan untuk
mendaftar secara individual dan massal yang diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan
yang akan makin meningkat kegiatannya.
Demikian pula „kontinuitas‟ penyelenggaraan pendaftaran tanah, perlu tetap dijaga sesuai
dengan makna pendaftaran tanah itu sendiri. Sebagai perbandingan, negara Swiss yang luas
wilayahnya jauh lebih kecil di banding dengan Indonesia, pelaksanaan pendaftaran tanahnya
telah dimulai sejak tahun 1911 sampai dengan sekarang ini. Hal ini menunjukkan bahwa
kontinuitas penyelenggaraan pendaftaran tanah memiliki arti penting bagi kelancaran
kegiatan dimaksud.
Maria SW. Sumardjono (2001) menyatakan, keberhasilan pelaksanaan pendaftaran tanah
tetaplah memerlukan peran serta masyarakat dan dukungan aparat pelaksana yang
profesional. Dalam hal ini harus pula da tekad, kesiapan dan profesionalitas dari aparat
pertanahan untuk melaksanakan pendaftaran dimaksud.
Soejono dan Abdurrahman (1998) berpendapat, agar lebih banyak memberikan
kemudahan dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, sehingga masyarakat bergairah untuk
mendaftarkan tanahnya, tentu saja tanpa harus mengabaikan kecermatan dan kepastian
hukum atas tanahnya. Misalnya, bila memang penguasaannya dilakukan berdasarkan hukum
adat setempat, maka tidak perlu melalui prosedur pemberian hak melainkan cukup dengan
konversi/ pengakuan hak.
14
Pada akhirnya, berkaca dari pengalaman dan pelaksanaaan pendaftaran tanah selama ini,
maka diperlukan „kerja keras‟ lagi dalam penyelenggaraan kegiatan dimaksud, sebagai
upaya untuk mewujudkan kepastian hukum atas tanah.
15
DAFTAR PUSTAKA
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999.
Bachtiar Effendie,SH, Pendaftaran tanah di Indonesia dan peraturan pelaksanaannya, Alumni,
Bandung, 1993.
Prof.boedi Harsono, sejarah pembentukan undang-undang pokok agraria, ,isi dan
pelaksanaannya, Djambatan , edisi revisi 1999.
Prof.boedi Harsono, Himpunan peraturan-peraturan hukum tanah , Djambatan , edisi revisi
2002.
Pendaftaran Tanah dalam Rangka Kepastian Hukum, oleh Redaksi Kalimantan post Banjarmasin
Koran Asli Banua, Headlines: 2011
Tujuan Objek dan Sistem Pendaftaran Tanah, oleh MKN-UNSRI’BLOG