Makalah Agraria Masalah Tanah

21
i MAKALAH PERMASALAHAN TANAH DI INDONESIA DOSEN PENGASUH : YACOB FERDINAN MARTONO,SH.MH Disusun Oleh: NAMA : ERIK SOSANTO NIM : EAA 110 039 JURUSAN : HUKUM KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS PALANGKA RAYA FAKULTAS HUKUM TAHUN 2011

Transcript of Makalah Agraria Masalah Tanah

Page 1: Makalah Agraria Masalah Tanah

i

MAKALAH

PERMASALAHAN TANAH DI INDONESIA

DOSEN PENGASUH : YACOB FERDINAN MARTONO,SH.MH

Disusun Oleh:

NAMA : ERIK SOSANTO

NIM : EAA 110 039

JURUSAN : HUKUM

KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

FAKULTAS HUKUM

TAHUN 2011

Page 2: Makalah Agraria Masalah Tanah

ii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-Nya dari Tuhan

Yang Maha Esa atas selesainya penyusunan makalah mengenai Permasalahan Pertanahan di

Indonesia.

Makalah ini disusun berdasarkan sumber dari buku-buku dan sumber lainnya yang

berhubungan dengan Permasalahan Pertanahan di Indonesia.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman dan

menambah wawasan bagi orang yang membacanya.

Penulis menyadari akibat keterbatasan waktu dan pengalaman penulis, maka tulisan ini

masih banyak kekurangan. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan

kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan penulisan ini.

Harapan penulis semoga tulisan yang penuh kesederhanaan ini dapat bermanfaat bagi

semua pihak yang membacanya tentang Permasalahan Pertanahan di Indonesia.

Palangka Raya, Oktober 2011

Penyusun

Page 3: Makalah Agraria Masalah Tanah

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2. Perumusan Masalah ................................................................................ 5

1.3. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 5

1.4. Metode Penulisan .................................................................................... 5

1.5. Manfaat Penulisan ................................................................................... 5

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Sejarah permasalahan tanah indonesia....................................................... 6

2.2 Sifat permasalahan tanah di indonesia ....................................................... 10

2.3 Perubahan pola konflik dan dampaknya pada masyarakat adat ................. 12

2.4 Rekomendasi .............................................................................................. 15

BAB 3 PENUTUP

3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 16

3.2. Saran ....................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: Makalah Agraria Masalah Tanah

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.Latar Belakang

Bergulirnya reformasi yang dimulai pertengahan tahun 1988 akhirnya bergerak di segala

bidang termasuk diantaranya di bidang Pertanahan. Sejak dahulu persoalan pertanahan selalu

ada dan menarik untuk dibahas penyelesaiannya. Persoalan pertanahan selalu diwarnai dengan

adanya gejolak karena adanya ketidak adilan di dalam pelayanan yang dilakukan pemerintah

baik di pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa. Pemerintah Orde Baru yang ada pada waktu itu

sangat kuat menciptakan suatu pemerintahan dengan bernaung Undang-Undang Nomor. 5

Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah. Di dalam pelaksanaan Undang-

Undang yang bersifat sentralistik ini ada yang dinilai tidak sesuai dengan amanat Pasal 18

Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan landasan kuat untuk menyelenggarakan otonomi

daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada

daerah. Reformasi tampaknya menyadari sebagian masyarakat tentang penegakan tatanan

pemerintah yang mendasarkan kepada Undang Undang Dasar 1945. Pemikiran Otonomi

Daerah dipandang dapat memecahkan masalah-masalah pemerintah yang lebih berkeadilan di

segala bidang meskipun disadari bahwa manfaat dari pengaturan sentralistik tidak semuanya

buruk. Otonomi Daerah dapat dianggap sebagai jalan keluar yang sangat baik bagi

penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana diamanatkan pada Ketetapan MPR RI Nomor

XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan

Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat

dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Koreksi total terhadap

penyelenggaraan pemerintah di daerah yang mendasarkan kepada Ketetapan MPR tersebut di

atas dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan

Daerah pada tanggal 2 Mei 1999, yang termuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor : 3839 yaitu dengan prinsip mengatur penyelenggaraan Pemerintah di Daerah yang

lebih mengutamakan pelaksanaan azas desentralisasi. Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1999

Page 5: Makalah Agraria Masalah Tanah

2

tersebut telah diganti dengan Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah, karena tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan tuntutan

penyelenggaraan otonomi daerah. Masih dalam rangka menyikapi bergulirnya reformasi,

khususnya di bidang pertanahan, Majelis Permusyawaran Rakyat Republik Indonesia

menetapkan Ketetapan MPR RI Nomor : IX/MPR/2001, tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam menetapkan prinsip-prinsip pembaruan dan

pengelolaan sumber daya alam, dinyatakan dalam Pasal 4 huruf 1, bahwa kebijakan

pelaksanaan desentralisasi tersebut, berupa : “Pembagian kewenangan di tingkat Nasional,

Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota dan Desa atau yang setingkat, berkaitan dengan lokasi dan

pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam”, yang pelaksanaannya ditugaskan kepada

Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Dalam rangka menindaklanjuti perintah TAP MPR

Nomor : IX/MPR/ 2001 tersebut telah dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor : 34 Tahun

2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, ada 9 (sembilan) kewenangan

pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota yaitu :

1. Pemberian ijin lokasi;

2. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;

3. Penyelesaian sengketa tanah garapan;

4. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan;

5. Penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan

maksimum dan tanah absentee;

6. Penetapan dan penyelesaian tanah ulayat;

7. Pemanfaatan dan penyelesaian tanah kosong;

8. Pemberian ijin membuka tanah;

9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota.

Untuk keseragaman administrasi oleh pemerintah dalam hal ini Kepala Badan Pertanahan

Nasional telah menerbitkan Keputusan Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003

tanggal 23 Agustus 2003, tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan

Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah

Kabupaten/Kota, norma tersebut merupakan tindak lanjut sekaligus sebagai pedoman 9

(sembilan) kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah

Kabupaten/Kota. Masih sering terjadi adanya informasi masyarakat mengenai perselisihan

Page 6: Makalah Agraria Masalah Tanah

3

tanah garapan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang jelas, sehingga berakibat terjadinya

konflik kepentingan antara masyarakat penggarap dengan masyarakat lain yang ingin

menguasai dan menggarap bahkan ada sebagian Pemerintah Desa/Kelurahan yang

menginginkan demikian. Sebetulnya apa yang dikenal dengan sebutan “Hak Garapan” tidak

ada dalam Hukum Tanah.

Menurut hukum penguasaan tanah yang bersangkutan tidak ada landasan haknya

(“illegal”).

1) Penguasaannya justru melanggar hak pihak yang empunya tanah atau hak negara, kalau

yang diduduki itu tanah negara dan ini melanggar Undang-Undang Nomor 51 Perpu.

Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya

yang Sah. Pelanggaran-pelanggaran seperti ini masih ada dan berlangsung terus, hal ini

terjadi karena jumlah penduduk terus bertambah, sudah tentu kebutuhan akan tanah terus

meningkat, di sisi lain tanah mempunyai nilai strategi dan ekonomis.

Jadi wajar kalau masalah tanah selalu muncul di Negara Republik Indonesia tercinta ini,

khususnya yang berkaitan dengan penguasaan tanah garapan. Untuk mengatasi hal

tersebut, negara mengatur tentang penerbitan status dan penggunaan hak-hak atas tanah,

sebagai upaya meningkatkan kepastian hukum, salah satu caranya dengan pemberian

sertifikat kepemilikan hak-hak atas tanah tersebut. Secara konstitusional, Undang-

Undang Dasar 1945 telah mengatur hal tersebut, yaitu Pasal 33 ayat (3), memberikan

landasan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai

oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2) Penjabaran atas ketentuan tersebut di atas pemerintah mengeluarkan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal

dengan nama singkatan resminya Undang-Undang Pokok Agraria disingkat UUPA, untuk

bertujuan memberikan dasar hukum yang jelas bagi kepemilikan hak-hak atas tanah,

dimana negara sebagai kekuasaan tertinggi tersebut Negara berkewajiban untuk:

a. Mengatur dan menyelesaikan peruntukan, penggunaan, penyediaan dan pemeliharaan

bumi, air dan ruang angkasa.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan

bumi, air dan ruang angkasa.

Page 7: Makalah Agraria Masalah Tanah

4

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan

perbuatan-perbuatan hukum yang menyangkut penguasaan bumi, air dan ruang

angkasa.

Dalam perannya sebagai penguasa tertinggi rakyat Indonesia, negara berkewajiban untuk

melaksanakan hal-hal tersebut di atas, guna mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Oleh karena itu, setiap pelaksanaan penyelesaian sengketa tanah, orang-orang atau pejabat

berwenang seharusnya benar-benar memahami peraturan perundang-undangan yang berlaku

sebagai landasan hukum dan teknis pelaksanaan tugas dengan baik, sehingga pencapaian hasil

tidak menimbulkan masalah atau sengketa baru.

Berbagai usaha dan langkah yang ditempuh selama ini untuk mengendalikan penggunaan

penguasaan tanah, pemilikan dan pengalihan hak atas tanah, telah dilaksanakan dengan baik,

dan dapat dipergunakan untuk menunjang berbagai kegiatan pembangunan. Akan tetapi

keberhasilan itu bukan tidak ada masalah, hal tersebut dapat dimaklumi karena masih

terbatasnya tenaga dan prasarana.

3) Kebutuhan dan permintaan bidang tanah menjadi semakin pelik dan kompleks,

sedangkanluas tanah terbatas atau tetap. Meningkatnya kebutuhan akan tanah sebagai

akibat lajunya pertumbuhan penduduk dan pembangunan. Kemudian pemusatan

penguasaan yang luas, persaingan keras dalam perolehan tanah, meningkatnya harga tanah

semakin tinggi, masalah ganti kerugian tanah belum terselesaikan, ketidakseimbangan

penggunaan tanah tidak efisien sehingga menimbulkan tanah terlantar. Praktek-praktek

penggunaan tanah tidak sesuai dengan daya dukungnya, sehingga merusak lingkungan

hidup, merupakan kasus-kasus keagrariaan atau pertanahan yang banyak dijumpai,

semuanya itu merupakan tantangan bagi pejabat berwenang di bidang pertanahan dalam

menghadapi dan menyelesaikan kasus tersebut dengan benar.

Page 8: Makalah Agraria Masalah Tanah

5

2.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka perumusan

masalah yang dapat dikemukakan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Sejarah permasalahan tanah di Indonesia ?

2. Sifat permasalahan tanah indonesia ?

3. Perubahan pola konflik dan dampaknya pada masyarakat adat ?

4. Rekomendasi ?

3.Tujuan Penulisan

Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk :

a. Mengetahui proses Sejarah permasalahan tanah di Indonesia dan Sifat permasalahannya.

b. Mengetahui dan memahami Perubahan pola konflik dan dampaknya pada masyarakat adat

serta Rekomendasi yang diharapkan dapat menyelesaikan setiap permasalahan tanah di

indonesia.

4.Metode Penulisan

Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yang bersumber pada buku-buku

referensi yang berhubungan dengan hukum agrarian dan pertanahan dalam pembaruannya dan

situs internet yang langsung mengangkat permasalahan-permasalahan tentang konflik-konflik

pertanahan di indonesia.

5.Manfaat Penulisan

Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut :

a. Sebagai media untuk menambah wawasan.

b. Bahan referensi aktual .

c. Bahan bacaan dan pengetahuan

Page 9: Makalah Agraria Masalah Tanah

6

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Permasalahan Tanah Indonesia

Permasalahan pertanahan adalah merupakan masalah yang mempunyai karakter yang

bersifat multi dimensi. Unik, berbagai aspek yang terlibat didalamnya, sehingga tidak mudah

dalam penanganan dan penyelesaiannya. Di dalamnya ada muatan politis, hukum, ekonomi,

budaya bahkan pertahanaan dan kemanan bisa masuk didalamnya, belum lagi muatan

kepentingan tertentu dan ujungnya adalah bicara adil tidak adil, sehingga peran Negara sangat

dibutuhkan dalam rangka turut ikut upaya penyelesaiannya. Ketika kita mengedepankan

hukum maka akan menjadi tidak adil bagi yang dikalahkan. Demikian juga bisa terjadi jika

untuk kepentingan politis maka hukum menjadi mandul. Masalah pertanahan tidak mengenal

batas waktu penyelesaian. Bisa cepat bisa juga memakan puluhan tahun. Tidak jarang masalah

pertanahan yang muncul saat ini, merupakan kelanjutan warisan masa lalu. Ketika putusan

masa lalu dianggap penyelesaian yang adil pada masa lalu belum tentu untuk masa berikutnya.

Terlebih jika terkaitan dengan kebijakan politik hukum pada suatu era akan berbenturan

dengan era yang berikutnya. Dengan kata lain bahwa masalah pertanahan bisa ditangani

sehingga benar-benar tuntas dalam arti yang sesungguhnya. Angka masalah pertanahan yang

dihimpun oleh BPN(Badan Pertanahan Nasional ) Republik Indonesia sampai tahun 2008 tidak

kurang 7149 kasus. Kerugian yang ditimbulkan adanya permasalahan ini bisa mencapai

mendekati nilai anggaran pendapatan negara ( APBN ) dalam satu tahun. Angka tersebut bisa

terus bertambah dari tahun ketahun jika tidak segera ada solusi yang lintas sektor dan

komprehensip.

Masalah pertanahan yang pada umumnya terjadi melibatkan beberapa pihak dan

mempunyai akar masalah yang bervariasi pula. Pihak–pihak yang terlibat dalam masalah

pertanahan: orang perorangan dan atau kelompok masyarakat dan atau badan hukum privat

atau publik dan atau kombinasi diantaranya. Adapun akar masalah pertanahan dapat

diklasifikasikan: pertama, masalah penguasaan dan kepemilikan tanah, didalamnya berkaitan

dengan perbedaan perspektif para pihak mengenai status penguasaan dan pemilikan atas bidang

Page 10: Makalah Agraria Masalah Tanah

7

tanah tertentu baik yang belum maupun yang sudah dilekati dengan hak – hak keperdataan

pihak tertentu. Bidang tanah yang belum dilekati hak masuk dalam dikategorikan jenis tanah

dengan status " tanah Negara"(tanah yang dikuasai langsung oleh Negara). Tanah yang telah

dilekati hak tertentu misalnya, tanah hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha; kedua,

masalah batas, luas dan letak atas bidang tanah tertentu, didalamnya terjadi perbedaan

perspektif mengenai masalah batas, luas dan letak antara para pihak; ketiga, masalah berkaitan

dengan pendaftaran tanah dan penetapan hak; keempat, masalah tanah-tanah obyek bekas hak

barat dan atau obyek landreform; kelima, masalah tanah ulayat; keenam, masalah pengadaan

tanah, hal ini biasanya adanya perbedaan persepsi mengenai nilai, status hak atas tanah dan

proses pembebasan serta pelaksanaan pelepasan dan nilai ganti rugi; ketujuh, masalah

pelaksanaan putusan pengadilan, adanya perbedaan persepsi berkaitan dengan kepentingan

para pihak atau obyek hak atas tanah atau mengenai prosedur penerbitan hak atas tanahnya.

Selanjutnya adalah tindak lanjut dari penanganan masalah pertanahan ini yang perlu

mendapat perhatian adalah masuk kedalam ranah hukum yang mana, perdata ( adat ), pidana

atau sengketa Tata Usaha Negara. Model penanganan penyelesaian apakah diselesaikan diluar

( out court of resettlement ) melalui musyawarah atau mediasi atau masuk keranah lembaga

peradilan ( in court of resettlement) maka kita bicara kompetensi atau kewenangan lembaga

hukum peradilan mana, Peradilan umum atau Peradilan Tata Usaha Negara. Jika masuk ke

ranah peradilan maka mau tidak mau membutuhkan kesabaran, biaya dan waktu yang relative

lama. Lembaga peradilan sebagai ujung tombak harapan terakhir dalam rangka penyelesaian

sengketa pertanahan kadang dirasakan oleh pihak tertentu yang bersengketa menjadi tidak

mencerminkan keadilan hukum yang dicari. Dengan kata lain hukum tidak selalu dapat

menyelesaikan persoalan sengketa pertanahan secara tuntas, tetap ada aspek lain yang harus

dipertimbangkan.

Contoh kasus masalah pertanahan yang dapat dikatakan rumit, sebagai ilustrasi

sebagaimana yang digambarkan berikut ini. Bapak X (alm ) betawi asli mewariskan kepada

para ahli warisnya, sebut saja A, dkk, sebidang tanah yang cukup luas yang diperkirakan lebih

dari 4 hektar, terletak pinggir jalan yang sangat strategis, dengan nilai NJOP bisa mencapai

puluhan juta per meter perseginya dan total nilai asset tersebut bisa ratusan milyar rupiah.

Bukti kepemilikan ada sebagian yang sudah bersertipikat hak milik tahun 1960-an ( konversi ),

Page 11: Makalah Agraria Masalah Tanah

8

dan sebagian lagi yang masih berstatus bekas hak barat ( eigendom ) dikuasai berdasarkan akta

jual beli sekitar tahun 1950-an. factual, sebidang tanah berwujud pekarangan dan rumah

tinggal. Sisa bidang tanah tersebut ada yang menjadi jalan protocol, sebagian telah berdiri hotel

berbintang. Fakta yuridis bahwa ternyata diatas bidang tanah tersebut telah terbagi-bagi dan

terbit puluhan sertipikat hak atas tanah yang saling tumpang tindih satu sama yang lain,

termasuk bidang tanah yang sudah ada sertipikat konversi dan beberapa putusan pengadilan.

Setelah sekian puluhan tahun lamanya A dkk, berjuang untuk menuntaskan masalah tersebut,

dan dengan berbekal putusan peradilan yang yang menurut logika hukumnya sudah "inkrach",

A dkk, berkeinginan untuk melegalisasikan ( sertipikat ) asset keluarganya, ternyata sampai

sekarang belum juga berhasil.

Contoh lain, ada sebidang tanah yang telah berdiri bangunan gedung pertokoan mewah

yang dimana para pihak yang mengaku mempunyai bukti kepemilikan yang menurut pendapat

para pihak yang bersengketa adalah sah secara hukum. Pihak pertama menggunakan alat bukti

petok atau girik pihak kedua menggunakan alat bukti sertifikat hak yang sekaligus secara

factual menguasai tanah dan bangunan tersebut. Oleh lembaga peradilan umum diputuskan

dimenangkan oleh pihak pertama, namun gagal untuk eksekusinya. Guna mempertahankan

tanah dan bangunan tersebut pihak kedua mengambil tindakan lain seperti melakukan gugatan

ke ranah pidana alasan misalnya dikatakan surat bukti yang dipegang pihak pertama adalah

palsu dan dimenangkan pihak kedua. Namun selanjutnya pihak pertama melakukan perlawanan

kembali ke ranah peradilan TUN, menyeret instansi yang mengeluarkan sertifikat tersebut ke

ranah PTUN ( peradilan Tata Usaha Negara ).

Salah satu kunci utama dalam penanganan masalah pertanahan adalah pemahaman

terhadap status hukum dari obyek sengketa, dan riwayat hukum dari bukti kepemilikan subyek

-subyek hukum atas obyek sengketa tersebut. Penelusuran riwayat hukum atas obyek sengketa

akan menjadi sangat penting untuk menentukan subyek hukum yang berhak atas tanah tersebut.

Seperti halnya contoh kasus sengketa tersebut diatas, misalnya, para pihak yang menggunakan

alat bukti yang berasal dari hak atas tanah yang lama seperti akte Eigendom yang mana

sebetulnya oleh peraturan peraturan perundang-undangan telah dikonversikan kepada hak-hak

atas tanah yang baru pada tahun 1960, berdasarkan UUPA, ataupun telah dinyatakan hapus

secara hukum sejak tahun 1945 untuk tanah–tanah yang disebut " perdikan"( UU No.1 tahun

Page 12: Makalah Agraria Masalah Tanah

9

1946), atau karena hukum terkena ketentuan undang-undang Nasionalisasi, tahun 1958

penghapusan tanah-tanah partikulir atau tanah Eigendom yang luasnya lebih dari 10 bouw (

UU No. 1 tahun 1958 ), dan bahkan telah dihapuskan pada tahun 1980 ( Keppres No. 32 tahun

1979). Tanah–tanah hak yang ada berdasarkan hukum perdata barat tersebut dihapus atau

dicabut yang selanjutnya dikuasai oleh negara, dimana secara hukum maka status tanahnya pun

berubah menjadi berstatus "tanah negara". Demikian juga terhadap tanah swapraja telah

dihapus yang mana selanjutnya ada sebagian besar telah dibagikan kepada masyarakat

setempat ( PP 24 tahun 1961 ), juga sebagian besar tanah-tanah bekas bekas perkebunan-

perkebunan sebagian besar telah dibagikan dalam rangka kebijakan landreform antara tahun

1960–1968.

Kasus-kasus masalah pertanahan semacam ini masih sering terjadi, banyak aspek yang

harus dilihat dan dikaji, sehingga dapat dikatakan bahwa masalah pertanahan adalah

berkarakter yang bersifat multi dimensi. Aspek hukum, banyak sekali peraturan perundangan

yang terkait dengan pertanahan ada unsur keperdataan, pidananya maupun aspek administrasi

pertanahannya bisa terlibat didalamnya serta penegakan hukumnya. Aspek politik akan bicara

bagaimana kebijakan dan kepentingan Negara diarahkan untuk itu. Demikian juga aspek social

dan ekonomi sangat mempengaruhi putusan politik dan penegakan hukumnya.

Pada negara-negara agraris seperti Indonesia, tanah merupakan faktor produksi sangat

penting karena menentukan kesejahteraan hidup penduduk negara bersangkutan. Paling sedikit

ada tiga kebutuhan dasar manusia yang tergantung pada tanah. Pertama, tanah sebagai sumber

ekonomi guna menunjang kehidupan. Kedua, tanah sebagai tempat mendirikan rumah untuk

tempat tinggal. Ketiga, tanah sebagai kuburan. Walapun tanah di negara-negara agraris

merupakan kebutuhan dasar, tetapi struktur kepemilikan tanah di negara agraris biasanya

sangat timpang. Di satu pihak ada individu atau kelompok manusia yang memiliki dan

menguasai tanah secara berlebihan namun di lain pihak ada kelompok manusia yang sama

sekali tidak mempunyai tanah. Kepincangan atas pemilikan tanah inilah yang membuat

seringnya permasalahan tanah di negara-negara agraris menjadi salah satu sumber utama

destabilisasi politik. Tanah dan pola pemilikannya bagi masyarakat pedesaan merupakan

faktor penting bagi perkembangan kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat pedesaan

di samping kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masing-masing warga desa itu sendiri.

Page 13: Makalah Agraria Masalah Tanah

10

Negara agraris yang mengalami pola pemilikan tanahnya pincang dapat dipastikan mengalami

proses pembangunan yang lamban, terjadi proses pemelaratan yang berat, terjadi krisis

motivasi dan kepercayaan diri untuk membangun diri mereka sendiri. Pada bagian lain,

ketimpangan pemilikan tanah yang memperlihatkan secara kontras kehidupan makmur

sebagian kecil penduduk pedesaan pemilik lahan yang luas dengan mayoritas penduduk desa

yang miskin merupakan potensi konflik yang tinggi karena tingginya kadar kecemburuan sosial

dalam masyaralat itu. Hal tersebut sukar dihindarkan karena tanah selain merupakan aset

ekonomi bagi pemiliknya juga merupakan aset politik bagi si pemilik untuk dapat aktif dalam

proses pengambilan keputusan pada tingkat desa. Bagi mereka yang tidak memiliki tanah akan

mengalami dua jenis kemiskinan sekaligus, yakni kemiskinan ekonomi dan kemiskinan politik.

Pemerintah Indonesia pada dasarnya telah berusaha untuk menjamin adanya pemerataan

pemilikan tanah di Indonesia melalui UU No. 5 Tahun 1960, serta melalui program

transmigrasi. Melalui program transmigrasi tersebut, pemerintah memberi kesempatan kepada

petani miskin di Jawa, Bali dan Lombok untuk memiliki sebidang tanah, tetapi dalam

perkembangannya, masalah yang muncul bukan lagi bagaimana si miskin memperoleh tanah,

tetapi bagaimana si pemilik tanah mempertahankan hak miliknya dari usaha-usaha pemilik

modal yang akan mengambilnya.

2.2. Sifat Permasalahan tanah di Indonesia

Apabila dicermati, sifat permasalahan tanah di Indonesia antara dekade setelah kemerdekaan

hingga akhir 1960-an; dekade 1980 hingga akhir Orde Baru serta Pasca Orde Baru terdapat

perbedaan, baik yang terkait dengan permasalahan tanah itu sendiri maupun posisi atau peran

pemerintah di dalamnya. Dekade setelah kemerdekaan hingga 1960-an, persoalan pertanahan

adalah masalah yang lebih banyak terjadi di lingkungan pedesaan yang dipicu oleh pola

hubungan patron-client antara petani pemilik tanah yang biasanya memiliki lahan yang sangat

luas dengan petani gurem dan buruh tani. Konflik tersebut terfokus pada masalah akses

seseorang terhadap tanah, atau dikenal juga dengan istilah ”land hunger”. Tetapi lapar tanah

(land hunger) pada era ini bagi mayoritas rakyat miskin lebih karena urusan perut

(pemenuhan kebutuhan konsumsi), sedang bagi tuan tanah sudah mencakup status sosial.

Peran pemerintah dalam konflik tanah di pedesaan dalam kontek hubungan patron-client

tersebut, masih cukup netral dan bukan sebagai pihak yang tersangkut dalam persoalan itu.

Page 14: Makalah Agraria Masalah Tanah

11

Hal tersebut disebabkan karena pola kekuasaan era Orde Lama cenderung pada pembangunan

bangsa (nation building) dalam kontek politik, dan belum menjadikan tanah sebagai bagian

kebijakan pembangunan ekonomi nasional. Dekade 1980-hingga akhir Orde Baru,

permasalahan tanah berkembang menjadi persoalan antara pemilik modal besar dan atau

pemerintah melawan pemilik tanah setempat, baik yang ada di desa maupun di kota, serta

antara pemerintah dan pemilik tanah di kota atau di desa. Isu yang memicu konflik juga

berubah; dari akses seseorang atau kelompok orang atas sebidang tanah, ke konflik yang

dipicu oleh penghargaan atau ganti rugi yang seharusnya diterima pemilik tanah yang

tanahanya akan digunakan oleh pemilik modal dan atau pemerintah. Pada dekade tersebut,

pola konflik pertanahan sangat diwarnai oleh peran dominan kekuasaan otoritarian Orde Baru

yang bersama pemilik modal menjadi pelaku ekonomi yang terus menerus mengambil tanah-

tanah rakyat dalam jumlah besar atas nama pembangunan. Pemerintah bukan pelindung

kepentingan rakyat berhadapan dengan pemilik modal, tetapi sebaliknya, menekan rekyat

melindungi pemilik modal. Sebagai pembeli tanah, pemerintah memang berbeda dengan

pembeli tanah biasa, karena mempunyai kekuatan memaksakan kehendaknya, baik melalui

aparatnya, maupun hukum yang menyatakan bahwa negara adalah pemilik semua tanah di

negeri ini, dan dengan demikian berhak untuk ”membebaskan” tanah yang dimiliki oleh

warganya untuk kepentingan umum.

Dengan demikian, pola konflik agraria (tanah) yang

terjadi di Indonesia selama Orde Baru adalah konflik struktural. Disebut demikian karena

terjadinya konflik akibat kebijakan pemerintah, dan yang berkonflik bukan antar rakyat

dengan rakyat, tetapi rakyat versus pengusaha, rakyat versus pemerintah termasuk BUMN.

Kasus tanah sepanjang Orde Baru ribuan jumlahnya. Database KPA mencatat setidaknya ada

1.753 kasus sengketa tanah atau konflik agraria. Ciri lain dari konflik agraria struktural

adalah penggunaan cara-cara penindasan dan penaklukan kepada rakyat. Penindasan ini

bersifat fisik, seperti intimidasi, teror, kekerasan fisik, pembuldoseran tanah dan tanaman,

penangkapan, isolasi, dsb. Sedang pola penaklukannya bersifat “ideologis” seperti

delegitimasi bukti-bukti hak rakyat, penetapan ganti rgusi sepihak, manipulasi tanda-tangan

rakyat, dicap sebagai PKI atau anti pembangunan, dsb. Di era Orde Baru, hak-hak masyarakat

adat atau masyarakat lokal diingkari begitu rupa. Pola pengingkaran terhadap hak adat dimulai

dari segi legal-formal melalui suatu peraturan perundang-undangan sampai pada tingkat

praktik atas nama'pembangunan'. Walaupun berdasarkan Pasal 2 ayat 4 UUPA 1960

Page 15: Makalah Agraria Masalah Tanah

12

membolehkan masyarakat adat untuk "melaksanakan hak menguasai dari Negara" tetapi

dalam peraturan di beberapa sektor seperti kehutanan dan pertambangan misalnya

memperlihatkan bahwa hak mereka dimandulkan bahkan dibekukan. Sebut saja Pasal 2 UU

5/1967 tentang Kehutanan membagi dua bagian yaitu "Hutan Negara" dan "Hutan Milik".

Penjelasan Pasal dua dengan tegas meniadakan hutan milik masyarakat adat dengan

menyebutkan: Hutan Negara ialah hutan yang tumbuh diatas tanah yang bukan tanah milik.

Hutan yang tumbuh atau ditanam diatas tanah yang diberikan kepada Daerah Swatantra

dengan hak pakai atau hak pengelolaan mempunyai status sebagai Hutan Negara. Dengan

demikian tidak ada lagi hutan marga, hutan daerah, hutan swapraja dan sebagainya.

Pengingkaran terhadap hak-hak penduduk lokal berawal dari kekisruhan pengakuan terhadap

hak masyarakat adat yang diatur dalam UUPA 1960. Dalam UU No. 11/1967 tentang

pertambangan hak-hak masyarakat adat itu semakin teralienasi. Misalnya pemilik tanah

diwajibkan memperbolehkan pekerjaan-pekerjaan pemegang kuasa pertambangan di atas

tanahnya dengan musyawarah dan mufakat. Kata-kata diwajibkan dalam ketentuan tersebut,

meskipun disertai penegasan harus ada musyawarah dan mufakat terlebih dahulu, tetap

memberi pengertian bahwa tidak ada pilihan lain bagi pemilik hak atas tanah untuk menolak

melepaskan haknya pad apemegang kuasa pertambangan. Sementara itu, pola konflik

pertanahan dekade Orde Baru mulai menururn, seiring dengan menguatnya masyarakat sipil.

Konflik pertanahan pasca Orde Baru berubah menjadi konflik perebutan kembali lahan oleh

masyarakat petani pemilik tanah, petani penggaraf atau individu-individu yang hak milik

tanahnya telah dirampas atau dikuasai oleh pengusaha, TNI, Polri dan atau pemerintah semasa

Orde Baru. Kasus-kasus yang terjadi di Awu, Lombok Tengah, NTB, Kasus PLTA

Sulewana, Poso, Ambon, Alas Tlogo Jawa Timur, di Jawa Tengah dan seterusnya adalah

beberapa contoh kasus perebutan kembali lahan yang terjadi semenjak kejatuhan Soeharto.

Peristiwa-peristiwa tersebut menguatkan fakta bahwa perpindahan hak atas tanah dalam

berbagai bentuk di era Orde Baru itu dilakukan secara paksa dengan kekerasan.

2.3. Perubahan Pola Konflik & Dampaknya Pada Masyarakat Adat

Perubahan pola konflik tanah yang muncul awal dekade 1980-an itu disebabkan oleh dua hal.

Pertama, perubahan sifat proyek pembangunan di Indonesia dari proyek perbaikan kehidupan

Page 16: Makalah Agraria Masalah Tanah

13

sosial ekonomi rakyat ke megaproyek yang bertujuan meningkatkan kemampuan ekspor

Indonesia. Di samping munculnya megaproyek, pembangunan juga membawa apa yang

disebut dengan ”proyek pembangunan konsumtif” untuk memenuhi kehidupan konsumstif

kaum elite perkotaan, seperti pembangunan padang golf, perumahan mewah, super market,

dan sebagainya. Perubahan ini menyebabkan pembangunan di Indonesia terjangkit penyakit

”land hunger” dalam skala yang luas. Ribuan hektar tanah, tidak terkecuali tanah-tanah

pertanian potensial yang merupakan tulang punggung kelestarian program swasembada

pangan di Indonesia dirubah fungsi menjadi lahan pembangunan proyek konsumtif dimaksud.

Kedua, adanya standar ganda di bidang administrasi pertanahan di Indonesia. Di samping UU

Pokok Agraria 1960 muncul juga berbagai Undang-Undang Pokok yang mengatur

pemanfaatan dan penguasaan tanah yang dikeluarkan oleh berbagai departemen yang jiwa dari

undang-undang itu bertentangan dengan UU PA 1960. Paling sedikit ada empat undang-

undang pokok: (a) Undang-Undang Pokok Pertambangan; (b) Undang-Undang Pokok

Transmigrasi; (c) Undang-Undang Pokok Irigasi; (d) Undang-Undang Pokok Kehutanan.

Undang-Undang Pokok tersebut semuanya bertujuan untuk melindungi kepentingan sektoral,

dan dalam pelaksanannya sering mengorbankan kepentingan rakyat demi melindungi

kepentingan departemen/sektoral masing-masing. Penghuni hutan bisa dipindahkan

(terkadang secara paksa/terpaksa) untuk meninggalkan hutan karena hutan itu dinyatakan

sebagai hutan lindung oleh Departemen Kehutanan berdasar UU Pokok Kehutanan,

walaupun yang bersangkutan telah tinggal dalam hutan tersebut selama berpuluh-puluh

tahun. Adanya berbagai Undang-Undang Pokok yang mengatur masalah pemanfaatan tanah

ini juga menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat siapa sebenarnya yang menjadi

administrator pertanahan di Indonesia. Badan Pertanahan Nasional-kah atau Departemen-

Departemen yang memiliki undang-undang pokok tersebut? Begitu pula orang

mempertanyakan status UU Pokok Agraris 1960, apakah undang-undang tersebut masih

berlaku ataukah sudah digantikan dengan UU Pokok Kehutanan yang lebih menonjol

termasuk pengaturan hubungan antara masyarakat tepian hutan dengan kelompok pengusah

HPH. Bagaimana mungkin Undang-undang Pokok Agraria dibatasi wilayah berlakunya di

negeri ini? Apa dasar hukum atas semua hal ini? Pertanyaan dan jawaban demikian

Page 17: Makalah Agraria Masalah Tanah

14

seringkali terangkat dalam penanganan berbagai kasus atas tanah-tanah adat yang berada

dalam wilayah yang diakui oleh Departemen Kehutanan sebagai kawasan hutan negara.

Cukup banyak sarjana hukum di negeri ini yang tidak mengetahui dalam prakteknya UUPA

tidak berlaku di kawasan hutan (wilayahnya ± 120 juta hektar ha atau 61% dari luas seluruh

daratan Indonesia). Realitas pembatasan berlakunya UU adalah fenomena yang tidak wajar

di negara hukum, apalagi dengan alasan yang tidak jelas. Sejumlah pakar hukum agraria

menyatakan bahwa pembatasan berlakunya UUPA di kawasan hutan terjadi sejak pemerintah

Orde Baru berkuasa atau tepatnya sejak ditetapkannya UU No. 5 tahun 1967 tentang

Ketentuan Pokok Kehutanan; sebuah UU yang merupakan bagian dari paket hukum ekonomi

liberal Indonesia bersama UU Penanaman Modal Asing, UU Pertambangan dan UU

Penanaman Modal Dalam Negeri. Sejak saat itu UUPA yang dirumuskan dengan semangat

nasionalisme dan sosialisme serta berbasis hukum adat itu praktis dibekukan dengan alasan

yang mengada- ada yaitu bahwa UUPA merupakan produk komunis. Alasan yang

disampaikan pemerintahan Soeharto menanggapi masalah ini, yaitu: (1) bahwa UU

Kehutanan adalah UU yang lebih khusus daripada UUPA sehingga berlaku asas lex specialis

derogat lex generalis (aturan hukum khusus mengesampingkan aturan umum);

(2) bahwa

relasi UUPA dan UU Kehutanan yang berkembang sekarang merupakan kelanjutan dari pola

relasi Agrarische Wet 1870 dan Boschordonantie 1927 Stb. 27-221 jo. 28-561 jo. 31-168 jo.

134-163, yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya

sebagai eigendom (milik) seseorang merupakan tanah negara yang secara acontrario dapat

ditafsirkan bahwa semua tanah yang dapat dibuktikan kepemilikannya tidak dapat ditetapkan

sebagai tanah negara, termasuk hutan negara, dan (3) realitas politik Orde Baru yang

mengutamakan pertumbuhan ekonomi diatas kepentingan lainnya. Apapun alasannya,

penguasaan tanah, terutama hutan dengan segala isinya di era Soeharto merupakan kebijakan

primadona karena dianggap sebagai salah satu penyumbang devisa negara. Pemerintah Orde

Baru secara sengaja membiarkan tumbuh dan berkembangnya sektor kehutanan meskipun

harus melanggar hak-hak masyarakat yang tanah-tanahnya ditetapkan secara sepihak sebagai

kawasan hutan negara, termasuk melanggar peraturan perundangan yang sah yang masih

berlaku seperti UUPA.

Bidang kehutanan yang awalnya berupa satu direktorat jenderal di

bawah naungan Departemen Pertanian berkembang pesat menjadi Departemen Kehutanan

yang sangat kuat dan berkuasa. Ironisnya kebijakan tersebut masih berlanjut sampai

Page 18: Makalah Agraria Masalah Tanah

15

sekarang. Kondisi demikian tidak memungkinkan dapat dicapainya tujuan kepastian hukum

bagi rakyat atau suku-suku asli yang pada kenyataannya semakin jauh dari jangkauan

mereka. Pembatasan berlakunya UUPA yang telah berlangsung selama hampir empat dekade

dapat dikategorikan sebagai tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Diperlukan adanya

koreksi atas sesat hukum yang telah terjadi selama ini dan pembenahan sistem hukum demi

terwujudnya kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat secara luas, termasuk di

dalamnya hak-hak agraria suku-suku asli.

2.4. Rekomendasi

TAP MPR No.IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya

Alam secara eksplisit menyebutkan bahwa peraturan perundang undangan yang saling

bertentangan dan berhubungan dengan tanah dan penguasaan sumber daya lainnya oleh

department/instansi sektor haruslah dihentikan, karena pertentangan ini menciptakan

kemiskinan dan penurunan sumber daya alam. Peraturan perundang-undangan ini harus

direvisi, dicabut atau diubah menggunakan pendekatan holistik. Pada saat yang sama konflik

harus diselesaikan melalui proses yang adil. Selain itu, memahami karakter konflik agraria

di Indonesia, maka proses-proses hukum yang selama ini digunakan untuk menyelesaikan

konflik tidak memadai untuk menyelesaikannya. Dibutuhkan lembaga khusus penyelesaian

konflik agraria. Karena pada dasarnya yang disebut dengan penyelesaian konflik agraria,

bukan hanya pembuktian hukum formal dari tanah yang dikonflikkan. Melainkan pemenuhan

rasa keadilan pada korban konflik agraria. Selama ini pihak rakyatlah yang selalu jadi korban

konflik agraria. Kenapa pemenuhan rasa keadilan ini yang didahulukan ? karena proses

penggusuran tanah-tanah rakyat yang diikuti tindakan kekerasan bukanlah insiden, melainkan

sebagai akibat dari kebijakan yang dilahirkan di masa lalu.

Berbagai hal strategis yang bisa dicapai dari lembaga penyelesaian konflik agraria ini adalah:

1) memungkinkan rakyat mengadukan tanahnya yang dirampas;

2) menguatkan posisi rakyat dalam hal pemilikan tanah,

3) memungkinkan rakyat mendapatkan keadilan melalui pemulihan, penggantian terhadap

kerugian dan hak-haknya yang dirampas oleh proses masa lalu, dan

4) memungkinkan satu terobosan hukum yang menjadi pintu masuk mendekontruksi atas

sistem hukum yang tidak memenuhi rasa keadilan rakyat.

Page 19: Makalah Agraria Masalah Tanah

16

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sengketa tanah dan sumber-sumber agraria pada umumnya sepertinya merupakan konflik

laten dan pihak-pihak yang bersengketa pun sebagian besar kalaupun tidak bisa disebut,

hampir seluruhnya bukan hanya individual, namun melibatkan tataran komunal maka boleh

dibayangkan bagaimana hebatnya bom waktu yang akan meledak jika kasus-kasus sengketa

tanah tersebut tidak segera mendapatkan penanganan dan penyelesaian yang layak dan yang

berpihak pada kepentingan rakyat.

Ada 3 (tiga) faktor penyebab sering munculnya masalah sengketa tanah, diantaranya yaitu

sistem administrasi pertanahan terutama dalam hal sertifikasi tanah yang tidak beres,

distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata dan legalitas kepemilikan tanah yang semata-

mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat) tanpa memperhatikan produktivitas tanah.

Berdasarkan Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan

Sumber Daya Alam, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Undang-

undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Keppres No.34 Tahun

2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, pada dasarnya memberi kewenangan

untuk menjalankan reformasi agraria yang besar kepada pemerintah daerah untuk

menuntaskan masalah-masalah agraria secara serius.

3.2 Saran

Banyaknya permasalahan pertanahan yang melibatkan masyarakat dengan masyarakat,

masyarakat dengan perusahaan maupun masyarakat dengan pemerintah yang kerap berujung

pada dirugikannya salah satu pihak dirasakan perlu dilakukan penyelesaian sengketa

alternatif (PSA). Saat ini di Indonesia belum ada langkah PSA, selama ini permasalahan

sengketa pertanahan selalu di selesaikan di pengadilan dimana biasanya dalam proses

pengadilan tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, biaya cukup mahal dan tidak bisa

Page 20: Makalah Agraria Masalah Tanah

17

langsung di eksekusi. Sehingga sebelum berkas perkara masuk ke pengadilan perlu dibuat

mekanisme PSA. Diantaranya membuat lembaga mediasi dan membuat arbitrase pertanahan,

dimana lembaga mediasi bertugas mempertemukan pihak-pihak bersengketa, sedangkan

arbitrase mempunyai tugas untuk melakukan penyelesaian di luar pengadilan tetapi berkas

berada di pengadilan

Page 21: Makalah Agraria Masalah Tanah

18

DAFTAR PUSTAKA

KONFLIK TANAH DI INDONESIA Oleh: Suparman Marzuki, S.H., M.Si Direktur PUSHAM

UII

Analisis Hukum Terhadap Kasus Sengketa Tanah Proyek Pemukiman TNI-AL Di Pasuruan

Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria,

Law community

Peran Kantor Pertanahan Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan DI KABUPATEN

KARANGANYAR, Oleh : SRIYONO S.H. CN

Tanah Dan Hukum Tanah, oleh boedi djatmiko

Undang-undang RI No.5 Tahun 1950 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok

Agraria, Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999.

Bachtiar Effendie,SH, Pendaftaran tanah di Indonesia dan peraturan pelaksanaannya, Alumni,

Bandung, 1993.

Prof.boedi Harsono, sejarah pembentukan undang-undang pokok agraria, ,isi dan

pelaksanaannya, Djambatan , edisi revisi 1999.

Prof.boedi Harsono, Himpunan peraturan-peraturan hukum tanah , Djambatan , edisi revisi

2002.