BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...1 BAB I . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang Masalah...
Transcript of BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...1 BAB I . PENDAHULUAN . 1.1. Latar Belakang Masalah...
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
“Soal Agraria adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena
tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Perebutan tanah
berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk ini, orang
rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi
mempertahankan hidup yang seharusnya,” (Tauchid, 1952)
Kutipan diatas sekiranya cukup memberikan gambaran munculnya
berbagai gerakan petani di tanah air. Menurut Topatimasang (dalam Mustain
2007: 13) keberadaan tanah bagi petani, selain bernilai ekonomis sebagai
sumber kehidupan, juga bermakna magis religion-kos-mis dan bahkan
idiologis. Ironisnya, sejak zaman colonial, bahkan jauh sebelumnya yakni
dimasa kerajaan, hingga kini sejarah pertanahan (yang identic dengan nasib
kehidupan petani) tidak menunjukkan adanya tanda-tanda perbaikan.
Kehidupan petani selalu terombang-ambing oleh ketidakpastian akibat
kebijakan Negara tentang pertanahan yang sering berubah-ubah.
Menurut Marx (dalam Sueseno 1977: 38) dalam suatu realita yang
telanjang, bahwa di dalam masyarakat terdapat dua kelompok yang saling
berhadapan (secara diametral) yang tak pernah terdamaikan, kelas-kelas atas
(penindas) dan kelas-kelas bawah (tertindas). Pertentangan ini tidak akan
terselesaikan karena bersifat obyektif. Masalahnya bukan disebabkan oleh
kehendak buruk individu-individu kelas atas sehingga tidak akan bias
ditiadakan hanya melalui perbaikan kesadaran social saja. Pertentangan itu
desebabkan oleh kedudukan masing-masing kelas tersebut dalam proses
produksi. Kelas-kelas atas berkepentingan untuk melanjutkan penindasan
mereka dan menindas kelas-kelas bawah, karena eksistensi mereka
bergantung dari penghisapan tersebut. Sementara itu, kelas-kelas tertindas
-
2
berkepentingan untuk menhancurkan kelas-kelas atas sebagai satu-satunya
jalan yang harus di tempuh agar dapat membebaskan diri dari penindasan.
Pada umumnya jika diperhatikan secara cermat, latar belakang
konflik pertanahan di pedesaan bersumber dari perebutan tanah antara
perkebunan ( baik yang difasilitasi oleh Negara maupun swasta) dan rakyat
petani. Scott (1993: 61) menulis, bahwa akibat pertanian komersial dan
perkebunan Negara, kepercayaan petani akan jaminan subsistensi mulai
menurun dan petani tak punya pilihan lain kecuali melawan. Perlawanan
(resistensi) petani banyak ditemukan pada daerah-daerah yang kemajuan
komersialnya paling menonjol. Hal ini disebabkan didaerah-daerah pusat
komersialisasi tersebut, sumbangan terhadap kesejahteraan petani semakin
kecil akibat naiknya posisi tawar pemilik tanah. Keadaan ini memicu
timbulnya gerakan perlawanan oleh petani dalam berbagai bentuk seperti
halnya aksi protes dan kekerasan sebagai manifestasi dari ketidakpuasan
petani akibat hubungan ekploitasi yang dirasa tidak adil.
Di Indonesia, sumber daya alam merupakan bagian dari sistem
korporasi negara, sehingga sumber daya alam tersebut tidak dapat
dimanfaatkan secara sewenang-wenang oleh masyarakat. Semua peruntukan
sumber daya alam strategis seperti pertanahan, kehutanan, perairan,
kelautan, dan mineral serta tambang, ditentukan oleh pemerintah sebagai
institusi yang mewakili negara tersebut. Hal sama tentu saja terjadi pada
sumber daya hutan (Awang, 2007: xv). Dengan demikian, semua aktivitas
petani hutan yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk mengakses,
memanfaatkan dan menggunakan sumber daya hutan dalam memenuhi
kebutuhan hidup (subsistensi) tanpa perizinan resmi dari negara
digolongkan sebagai perbuatan liar dan tidak sah atau disebut sebagai
perambah hutan, penjarah hasil hutan, peladang liar, pencuri kayu, perusuh
keamanan hutan, dan lain-lain. Akibatnya, penetapan kawasan hutan sebagai
hutan negara cenderung menimbulkan konflik kekerasan oleh Perum
Perhutani terhadap masyarakat desa hutan yang mencoba mengakses,
-
3
memanfaatkan dan menggunakan sumber daya hutan tanpa izin oleh pihak
yang berwenang.
Setelah masa kolonialisme berakhir dan negara baru dengan nama
Indonesia lahir. Pada masa Soekarno dalam konteks kebijakan penggelolaan
sumberdaya alam kaitanya dengan pertanahan, terdapat pandangan populis
tertuang dalam Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) 19601 yang
merupakan penjabaran dari UUD 1945 pasal 33 ayat 3 UUD 19452. Dengan
dasar konstitusi tersebut, ini berarti bahwa arah kebijakan negara adalah
kemakmuran seluruh rakyat, bukan kemakmuran orang per orang. Dalam
hal ini negara memiliki kekuasaan hanyalah untuk mengatur dalam upaya
pencapaian kemakmuran tersebut.
Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) hasil kerja
panitia bentukan pemerintah Soekarno diakui secara legal sebagai landasan
hukum pertanahan yang sah (Tap MPR No,IV/1978). Namun setelah era
orde baru kebijakan agraria tersebut diganti karena rezim ini mempunyai
1 Beberapa point penting dalam UUPA adalah: (1) Hak bangsa Indonesia atas tanah airnya
bersifat abadi (pasal 1 ayat 3 UUPA), yang berarti sepanjang bangsa Indonesia masih ada dan
wilayah Indonesia masih ada, tidak ada kekuasaan apapun yang dapat memutuskan hubungan
hak bangsa Indonesia atas tanah airnya. Hubungan ini seperti hak ulayat pada masyarakat adat
yang memungkinkan adanya hak milik, hak pakai, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan
hak-hak atas tanah lain yang dapat dipegang oleh perorangan ataupun badan hukum; (2) Hanya
warga negara Indonesia saja yang dapat memiliki hak atas tanah atas dasar hak milik (pasal 21
ayat 1 UUPA), tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan; (3) Warga
negara asing tidak dapat memiliki hak atas dasar hak milik (pasal 26 ayat 6 UUPA); (4) Asas
domein (hak milik mutlak negara atas tanah) dihapuskan dan diganti dengan hak menguasai dari
negara, yang digunakan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (pasal 2 ayat 3
UUPA). Hak menguasai ini dapat didelegasikan kepada daerah-daerah swatantra (propinsi,
kabupaten/ kota, kecamatan dan desa) dan bahkan pada suatu komunitas adat; (5) Tanah
mengandung fungsi sosial (pasal 6 UUPA). Fauzi (1999) menuliskan bahwa prinsip tanah
berfungsi sosial ini berarti bahwa setiap hak atas tanah yang ada pada seseorang (kelompok)
tidak dibenarkan semata-mata demi kepentingan pribadi (kelompok), apalagi sampai merugikan
masyarakat. Dengan kata lain, penggunaannya harus bermanfaat bagi kepentingan umum; (6)
Prinsip land reform. Prinsip ini terdapat pada pasal 13 dan pasal 17, tentang batas minimum luas
tanah yang harus dimiliki oleh seorang petani, supaya dapat hidup layak bagi diri sendiri dan
keluarganya. Pada undang-undang ini tercantum pula batas maksimum luas tanah yang dapat
dimiliki oleh seseorang dengan hak milik (pasal 17 UUPA). Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah penguasaan tanah yang luas pada tangan segelintir orang. Selanjutnya, pada pasal 7
UUPA dinyatakan pula pelarangan pemilikan tanah yang melampaui batas, karena bisa
merugikan kepentingan umum, khususnya rakyat petani (Hendarto, 2005: 5-6 dalam:
www.dephut.go.id).
2 Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa : “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
-
4
pandangan berbeda dalam melihat pembangunan. Pada awal kekuasaan orde
baru, pertumbuhan ekonomi yang disertai upaya stabilitas politik menjadi
prioritas utama. Atas dasar tersebut beberapa kebijakan yang diambil pada
masa orde baru diantaranya, Pertama, pembekuan UUPA yang merupakan
dasar kebijakan masa orde lama. Kedua, mendorong terjadinya eksploitasi
terhadap sumberdaya alam untuk membiayai pembangunan. Kebijakan
eksploitasi terhadap sumberdaya alam tersebut ditandai dengan
dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) tahun
1967, Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun
1968, diikuti kebijakan lain seperti UU.No.5/1967 tentang Pokok-Pokok
Kehutanan, UU.No.11/1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan dan
UU.No.11/1972 tentang Ketentuan Pokok Transmigrasi (Suhendar, 1996 :
64-76).
Adanya pemberian hak pengelolaan kawasan oleh pemerintah
kepada pihak swasta atupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang
marak pada masa Orde Baru, merupakan bentuk konversi dari hak erfpacht
yang ada pada massa kolonial. Sejalan dengan itu, Mustain (2007)
menyatakan bahwa pengelolaan HGU tersebut dalam praktiknya sering
terjadi penyimpangan peruntukan, penguasaan, dan pengasingan terhadap
masyarakat sehingga memicu manifestasi konflik.
Kejatuhan pemerintahan Orde Baru menciptakan ketidakstabilan di
bidang politik dan ekonomi, baik itu pada tingkat pusat atupun daerah.
Sudah menjadi cirri rezim otoriter modern bahwa ketika pusat tidak dapat
bertahan, maka segalanya akan berantakan dengan begitu cepat. (Simon
Philpott, 2003). Krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 mendesak
lahirnya gagasan reformasi. Reformasi membuka ruang yang lebih besar
bagi rakyat dalam menyuarakan aspirasinya, terutama dengan dukungan dari
banyaknya organisasi non pemerintah yang memang pesat juga
perkembangannya diseluruh dunia pada awal tahun 1990-an (Hulme dan
Edward, dalam Pinky, 2007). Semangat reformasi tidak hanya dirasakan
oleh mahasiwa dan berbagai elemen masyarakat yang melakukan aksi turun
-
5
ke jalan di kota – kota besar, tetapi juga dirasakan pada masyarakat di
tingkat akar rumput.
Dalam sejarah Gerakan petani di indonesia, paling tidak bisa
dibedakan menurut masanya, misalnya antara masa kolonial,Orde lama,
Orde baru dan masa transisi (reformasi) yang memiliki ciri atau corak yang
berbeda. Pola gerakan sosial petani pada era kolonial berupa
pemberontakan-pemberontakan sekala mikro yang dipimpin oleh seorang
tokoh yang diistilahkan dengan Ratu adil3 untuk mendapatkan kembali
tanah adat yang diambil secara paksa oleh negaran untuk kepentingan
penguasaan tanah oleh kolinal Belanda dalam aktivitas perkebunan.
Sementara itu pada era Orde lama gerakan petani lebih diakibatkan oleh
interfensi partai politik dalam memblow-out masalah tanah sebagai isu
kepentingan partai. Berlainan dengan masa Orde Baru, karakteristik gerakan
petani lebih bersifat vertikal antara pemegang hak dengan pengusaha yang
berkolaborasi dengan penguasa(Noer Fauzi,1997). Berlainan lagi dengan
pada era reformasi saat ini, gerakan petani lebih dicirikan dengan reklaming
tanah sebagai akibat dari tidak jelasnya paradigma dalam penanganan sektor
pertanian sehingga nasip petani tetap termajinalkan oleh pemilik
modal(Siahaan,1997:17).
Kedepan gerakan petani belumlah akan terhenti mengingat tekanan
terhadap petani tidak saja dilakukan oleh negara, melainkan juga oleh pasar
yang dengan leluasa menggunakan siapa saja untuk menekan petani.
Ungkapan ”rich forest, poor people”4, mungkin adalah kata yang tepat
untuk menggambarkan kondisi hutan kaitannya dengan kondisi ekonomi
masyarakat khususnya masyarakat desa hutan. Dimana, hutan telah
dieksploitasi bahkan selama beberapa abad dari masa kolonialisme sampai
indonesia merdeka hingga saat ini, lingkungan sudah mengalami
3 Seperti yang digambarkan oleh Kuntowijoyo dan Kartodirjo dalam: PETANI vs NEGARA, Dr
Mustain, Ratu adil atau Imam Mahdi, yaitu seorang yang mengemban misi membebaskan rakyat
dari kesengsaraan dan akan memimpin masyarakat secara arif bijaksana. 4 Peluso (dalam Syahyuti, 2006: 249-250), mengungkapkan suatu kondisi ketimpangan dalam
kerjasama pengelolaan hutan pada 1970-an dimana petani merupakan “pesanggem” atau petani
pengarap pada lahan negara.
-
6
kehancuran, dan berbagai kebijakan oleh Perhutani telah dikeluarkan, akan
tetapi kondisi masyarakat khususnya masyarakat desa hutan tetaplah pada
kondisi miskin. Hal tersebut ditunjukan oleh kondisi dimana terdapat sekitar
6000 desa hutan atau desa yang berbatasan dengan hutan di bawah
penggelolaan Perum Perhutani, pada kenyataan masih dalam kondisi miskin
(Awang, 2004: 134).
Dalam konteks ini peneliti melihat suatu kasus yang terjadi pada
salah satu desa hutan di Jawa tengah tepatnya desa-desa hutan yang
berbatasan langsung dengan kawasan hutan di KPH Randublatung dimana
mereka telah menyatukan diri dalam sebuah wadah organisasi petani, Lidah
Tani dalam proses perlawanan mereka menuntut keadilan.
Randublatung adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Blora,
Provinsi Jawa tengah. Dinamika pengelolaan dan konflik hutan jati di Blora
memiliki sejarah yang sangat panjang. Sejak zaman kerajaan Mataram,
Blora terkenal sebagai daerah penghasil kayu jati. Waktu itu, masyarakat
sekitar hutan bebas membabat hutan untuk lahan pertanian dan
memanfaatkan kayunya untuk dijual atau untuk tempat tinggal. Keadaan
menjadi berubah ketika Belanda datang dan mulai memberlakukan
peraturan yang macam-macam terhadap daerah koloninya. Belanda mulai
membentuk dinas kehutanan modern yang bernama Dienst van het
Boshwezen. Dinas ini yang menerapkan peraturan hak atas tanah, pohon dan
buruh. Setiap petani yang dengan tanpa izin memasuki hutan akan ditangkap
dan dikriminalisasikan (Rahma, 2007:64). Warga sekitar hutan di Blora
terusir dari tanahnya sendiri.
Ketika Jepang datang dan menggantikan posisi kolonial Belanda di
Jawa, keadaan masyarakat setempat tidak menjadi lebih baik. Keadaannya
menjadi lebih buruk karena Jepang menerapkan sistem kerja paksa.
Masyarakat direkrut sebagai buruh penebang pohon jati atau pengangkut
hasil hutan. Hutan jati dieksploitasi besar-besar oleh Jepang dan diangkut ke
negara mereka. Setelah lahan kosong dan gundul, rakyat baru dibolehkan
menggarap lahan bekas pohon jati untuk pertanian. Ketika Indonesia
-
7
merdeka, lahan hutan yang dulu milik rakyat dan kemudian dirampas oleh
Belanda, dinasionalisasi oleh pemerintah. Sayangnya, lahan hutan tersebut
tidak dikembalikan kepada rakyat setempat. Sejak tahun 1961, penguasaan
hutan jati jatuh ke Jawatan kehutanan. Luas lahan yang dikuasai Perhutani
mencapai 49,118 % dari total wilayah Blora. Lahan tersebut hampir
semuanya ditanami pohon jati (Rahma, 2007:61). Dengan penguasaan lahan
seluas itu dengan produksi kayu jati yang sangat strategis, Perhutani
sebenarnya telah menggenggam separuh nyawa Kabupaten Blora. Resistensi
masyarakat Blora terhadap pola-pola pengelolaan hutan oleh Perhutani terus
berlanjut di masa Orde Baru. Bentrok fisik langsung antara petani dengan
Perhutani terjadi berkali-kali. Sikap represif negara, dalam hal ini Perhutani,
ditunjukkan dengan adanya penangkapan dan kriminalisasi terhadap orang-
orang yang diduga membabat hutan dan mencuri hasilnya.
49,66 % luas kabupaten Blora merupakan kawasan hutan yang
dikelola oleh Perum Perhutani I Jawa Tengah dan terbagi atas tiga kesatuan
pemangkuan hutan (KPH), yaitu KPH Randublatung, KPH Cepu dan KPH
Blora. Produksi kayu jati bundar terbanyak berasal dari Kecamatan
Randublatung yakni sebesar 35.310,000 m3 yang termasuk di wilayah
Randublatung. Total produksi kayu jati bundar di Kabupaten Blora tahun
2002 sebesar 85.950,197 m3 atau turun sebesar 14,28 persen dari tahun
sebelumnya. Dengan tanah kawasan hutan yang luas tersebut,sengketa tidak
dapat terhindarkan.5
Di antara 3 KPH lainnya (KPH Blora, KPH Cepu), KPH
Randublatung adalah yang paling banyak timbul masalah. Dengan jumlah
penduduk sekitar 73 ribu jiwa (17 ribu KK atau 4 jiwa/RT), yang berarti
kepadatan sebesar 300 jiwa/km2, terlihat bahwa Randublatung tergolong
padat penduduk. Secara geografis, interaksi masyarakat desa hutan (MDH)
di Randublatung dengan hutan di sekitar tempat hidup mereka sangat tinggi.
Salah satu indikatornya adalah bahwa dari wilayah Kecamatan
5 http://www.pemkabblora.go.id diakses tanggal 3 Mei 2015.
-
8
Randublatung seluas 21.113,097 hektare, 13.366,605 hektar di antaranya
(64%) merupakan kawasan hutan Perum Perhutani.
Rentan waktu kurang dari setengah abad―semenjak mandat
pengelolaan pertama kali diserahkan pada 1961―tentu menyiratkan
keyakinan negara akan kinerja positif Perhuntani dalam mengelola sumber
daya hutan (Maryudi, 2011:76). Tetapi, setelah Orde Baru yang memiliki
karakter kekuasaan otoriter dalam mengelola pemerintah ambruk, terjadi
fenomena kekacuan dibidang pengelolaan sumber daya hutan di kawasan
KPH Radandublatung. Konflik-konflik perebutan sumber daya hutan terjadi
bahkan merebak. Berbagai masyarakat desa hutan yang sebelumnya pasif
menjadi merasa kuat bila berhadapan dengan negara. Perlawanan terbuka
dengan aksi penjarahan kayu terjadi di seluruh kawasan hutan wilayah kerja
Perum Perhutani KPH Randublatung dan kawasan-kawasan hutan lainya.
Pada mulanya aksi penjarahan kayu terjadi di kawasan RPH
Kedungsambi, tetapi kemudian dalam prosesnya meluas ke wilayah
kawasan hutan negara di Randublatung, Cepu, bahkan Blora. Ribuan
penjarah secara leluasa melakukan “panen raya‟ (penebangan liar) tanpa
ada yang dapat menghentikanya. Bahkan, pihak Perum Perhutani KPH
Randublatung pun telah melakukaan operasi-operasi dalam upaya
pengamanan hutan, baik dengan Polhutanya maupun bersama pihak
Kepolisian, Militer maupun Brimob.
Pasca aksi penjarahan kayu, lahan yang telah kosong akibat dari aksi
penjarahan kayu dikapling-kapling begitu saja oleh petani hutan, guna dialih
fungsikan menjadi lahan pertanian. Bahkan lebih jauh lagi, aksi penjarahan
kayu yang terjadi pada awal tahun 1998 disertai dengan fenomena aksi balas
kekerasan antara masyarakat desa hutan dan Perum Perhutani KPH
Randublatung bersama aparat negara gabunganya. Sehingga mengakibatkan
korban meninggal dan lukaluka, baik dari pihak Perum Perhutani KPH
Randublatung maupun masyarakat desa hutan. Kemudian, aksi kekerasan
dari masyarakat desa hutan juga dilakukan dengan cara merusak sarana dan
prasana milik Perum Perhutani KPH Randublatung.
-
9
Kondisi tersebut menempatkan Perum Perhutani dalam situasi
kesulitan mengatasi persoalan aksi penjarahan kayu, aksi perambahan lahan
dan diikuti dengan aksi kekerasan yang terjadi secara masif di semua
wilayah kerja Perum Perhutani KPH Randublatung. Kondisi itu juga
menjadikan masyarakat desa hutan yang sebelumnya cenderung diam di era
Orde Baru berubah menjadi masyarakat yang secara “liar” untuk masuk ke
dalam hutan tanpa dapat diatasi oleh aparat negara pada awal era Reformasi.
Oleh karena itu sangat wajar jika perlawanan terbuka di sekitar hutan KPH
Randublatung di era Reformasi cenderung menonjolkan sifat anarkhis dan
memilih berkonfrontasi langsung secara terbuka dengan kekuatan negara.
Pada tahun 1998, Perhutani menembak dua orang warga yang
sedang mencari kayu di Hutan. Dua orang tersebut adalah Darsit dan Rebo.
Setelah kejadian salah tembak itu, masyarakat melakukan pengrusakan
bangunan Perhutani yang ada di Randublatung dan melakukan tindakan
pembalasan dengan mengambil kayu di hutan jati. Pada tahun 2000
kekerasan oleh Polisi Hutan kembali terjadi. Kali ini di KPH Cepu yang
menewaskan Djani. Djani ditembak saat Polisi Hutan sedang melakukan
operasi pengamanan hutan. Padahal Djani bukanlah pencuri kayu. Pagi itu
dia pergi ke sawah membawa cangkul. Kebetulan polisi hutan sedang
mengejar pencuri kayu dan mendapati Djani di lokasi, polisi hutan
menembaknya sampai tewas. Kekerasan yang sama terus berulang di Blora,
baik yang menyebabkan tewasnya warga masyarakat maupun yang luka-
luka. Korban-korban yang tewas di Blora dalam rentang waktu 1998-2008
dijelaskan di bawah6:
n
No
Na
ma
Modus KPH Waktu
1Darsit Penembakan Randublatung 28 Juni 1998
6 Data diolah dari tabulasi dokumen kasus yang dikumpulkan LBH Semarang dan Lidah
Tani
-
10
1
2
2
Rebo Penembakan Randu Blatung 28 Juni 1998
3
3
Djani Penembakan Cepu 5 November 200
4
4
Wiji Penganiayaan Cepu 14 Oktober 2002
5
5
Mursi Penembakan Randublatung 16 Desember
2003
6
6
Nurhadi Penganiayaan Randublatung 13 Juni 2006
7
7
Pariyono Penaniayaan Randublatung 18 November
2006
Beberapa contoh kasus di atas menunjukkan bahwa sengketa hutan
cenderung terjadi tindak kekerasan di antara para pihak yang terlibat
sengketa. Catatan dari Arupa menguatkan asumsi itu.7 Dalam sepuluh
tahun terakhir sudah 7 (tujuh) orang tewas ditangan Perhutani di Blora.
Apabila dikalkulasikan untuk Jawa Tengah (Wilayah I Perhutani),
sebagaimana ditabulasikan oleh LBH Semarang dan Lidah Tani, dalam
sepuluh tahun terakhir (1998-2008.) sudah 31 orang tewas dan 69 orang
luka-luka akibat pendekatan keamanan yang dilakukan oleh Perhutani.
Dalam perkembangannya, Perlawanan petani di Randublatung
menunjukkan dinamika kelangsungan perlawanannya itu sendiri.
Penggunaan organisasi atau paguyuban atau forum sebagai suatu strategi
untuk memperjuangkan hak-hak atas tanah adalah gejala baru gerakan
hukum petani sebagai upaya untuk ’memaksa’ pihak yang berlawanan mau
duduk berunding dan mencari penyelesaian sengketa yang saling
7 Edi Suprapto, “Konflik Kehutanan yang Berbuah Kekerasan,“ dalam http://www.
arupa.or.id. diakses tanggal 28 Mei 2015.
-
11
menguntungkan. Para petani yang berseteru dengan Perhutani membentuk
kelompok-kelompok tani yang disebut Lembaga Rembug Hutan (LRH).
Kelahirannya difasilitasi oleh Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam
(Arupa; suatu aliansi yang terdiri dari beragam latar belakang, termasuk
para mahasiswa). Pada tahun 2003, setelah melakukan studi banding di
beberapa daerah dan berdiskusi panjang, petani membentuk Organisasi
Tani Lokal (OTL) yang bernama Lidah Tani yang berarti “Api Perlawanan
Petani.” Lidah Tani mengorganisir petani hutan, belajar bersama, dan
membangun jaringan dengan petani se-Jateng dengan satu tujuan utama
agar yakni memperjuangkan keadilan petani yang tinggal di sekitar
kawasan hutan (Rahma, 2007: 74).
Tanpa mengorganisir diri atau bergerak secara individual, protes
dan tuntutan para petani tak akan digubris oleh Perhutani. Gerakan, protes
atau tuntutan yang dilakukan dengan menggunakan wadah atau institusi
tertentu kemungkinan besar akan direspon oleh pihak yang dituntut.
Institusi atau organisasi tersebut dalam istilah sosiologi Berger dan
Neuhaus disebut sebagai ’mediating structures’ (institusi-institusi mediasi)
yang wujud konkretnya merujuk pada lembaga keluarga, ketetanggaan,
keagamaan dan juga asosiasi keswadayaan.
Dalam perkembangan politik kontemporer, berbagai langkah telah
dilakukan oleh aktor intermediary dalam peran dan fungsinya sebagai state
society relation. Dalam ranah non-ektoral, biasanya wadah yang
digunakan berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
didirikan atas dasar tujuan tertentu. Kehadiran LSM dalam sebuah
masyarakat merupakan kenyataan yang tidak dapat dinafikan. Hal ini
dikarenakan keterbatasan pemerintah yang tidak dapat memenuhi
kebutuhan warga masyarakat, dan atau keterbatasan masyarakat dalam
memenuhi tuntutannya kepada negara. Hingga yang terjadi biasanya
adalah peran itu kemudian diambil alih oleh kelompok LSM atau aktor
akto-raktor intermediary. Disisi lain, fenomena pembentukan norma dan
-
12
tatanan sosial yang dilakukan oleh negara, menciptakan ketegangan
dengan masyarakat, sehingga peran-peran dari aktor intermediary akan
sering terlihat. Terkait dengan ketegangan yang terjadi antara negara dan
masyarakat, dan peran aktor intermediary didalamnya ditemukan pada
Perlawanan Petani Hutan di Randublatung. Hal ini menarik untuk diteliti
dikarenakan Perlawanan Petani Randublatung ternyata banyak
menggunakan strategi yang terkonstruksi dan dimobilisasi oleh ARUPA.
Berdirinya Lidah Tani sebagai wadah perlawanan petaani Randublatung
dapat dikategorisasikan sebagai bagian dari gerakkan sosial yang
dilakukan oleh masyarakat untuk melawan negara, melalui aktor
intermediary. Olehnya itu dalam penelitian ini, penulis ingin menjelaskan
bagaimana peran aktor intermediary dalam perlawanan petani
Randublatung dilihat dari perspektif gerakan sosial baru. Sehingga,
dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana peran aktor intermediary
dalam ranah gerakan sosial baru.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, secara umum dapat dikatakan
bahwa Perlawanan petani di Randublatung mengalami dinamika dalam
kelangsungan perlawanan terhadap tindak kekerasan oleh Perhutani.
Penggunaan organisasi atau paguyuban atau forum sebagai suatu strategi
untuk memperjuangkan hak-hak atas tanah adalah gejala baru gerakan
hukum petani sebagai upaya untuk ’memaksa’ pihak yang berlawanan mau
duduk berunding dan mencari penyelesaian sengketa yang saling
menguntungkan. Selain itu, Hadir dan banyaknya aktor-aktor yang secara
terbuka memposisikan dirinya sebagai jembatan penghubung antara
masyarakat dan negara. Dalam hal bagaimana peran dan strategi mereka
dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat semakin menambah daya
tarik untuk diteliti. Berangkat dari kondisi-kondisi tersebut, pertanyaan
yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah Bagaimana petani
Randublatung melakukan perlawanannya? Termasuk didalamnya, peran
-
13
Organisasi Petani (lidah Tani) sebagai institusi Intermediary dalam peran
dan fungsinya sebagai state society relation.
Untuk mempertajam rumusan masalah tersebut, permasalahan
dalam penelitian ini dapat diturunkan menjadi beberapa pertanyaan yang
lebih spesifik lagi diantaranya:
1. Bagaimana perlawanan petani Randublatung atas kekerasan
yang dialami?
2. Bagaaimana peran Institusi Intermediary dalam prespektif
gerakan social baru?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang:
1. Bagaimana gambaran perlawanan petani Randublatung atas
kekerasan yang dialami?
2. Bagaimana peran aktor (institusi) intermediary dalam
perlawanan petani menghadapi kekerasan?
1.4 Manfaat penelitian
Denganadanya penelitian ini diharapkan mampu:
- Menambah khasanah baru bagi study sosiologi sekaligus sebagai
bentuk kontribusi terhadab study-study tentang perlawanan petani
di Indonesia yang sedeng berkembang .
- Sebagai masukan bagi institusi-institusi terkait atau lembaga-
lembaga formal maupun informal agar lebih memaksimalkan
perannya terutama dalam pendampingan masyarakat dan terlebih
pada advokasinya terhadap petani.
- Menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.
- Mampu memberikan pengetahuan, kesadaran dan kepedulian
terhadap rakyat kecil (petani) yang selalu terkucilkan,
-
14
tereksploitasi, tertindas dan termarjinalkan agar petani juga
mendapatkan perlakuan yang layak dan mendapatkan akses untuk
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.