Majelis ulama indonesia

21
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak dahulu kala, ulama memiliki posisi yang penting dan menentukan di Indonesia. Pada masa kolonial dan pada masa sebelumnya, pada masa kerajaan Islam, ulama memiliki peran signifikan di masyarakat, baik dalam bidang politik maupun sosial. Kerajaan Islam di Indonesia, sebagian besar dimotori oleh para ulama dalam pendiriannya. Menurut Mudzhar, pada abad ke-18, ketika kerajaan Islam telah dikuasai dan dikendalikan oleh Penjajah Belanda, peran ulama dibatasi pada masalah keagamaan dan isu-isu yang bersifat lokal, bahkan hanya boleh mengurusi pesantren yang dimilikinya. Pada masa-masa berikutnya, peran ulama kembali meluas dalam masalah-masalah politik, terutama setelah terjadi hubungan yang baik antara Indonesia dan Mekkah melalui rutinitas ibadah tahunan, yaitu ibadah haji. Gerakan politik yang dilakukan oleh para ulama diwujudkan dalam gerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan dari kungkungan penjajah Belanda, baik yang bersifat kedaerahan, maupun yang bersifat nasional. Peran strategis yang dimiliki oleh ulama, adalah kemampuannya untuk melakukan mobilisasi massa. Dengan

description

sejarah majelis ulama indonesia

Transcript of Majelis ulama indonesia

10

BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangSejak dahulu kala, ulama memiliki posisi yang penting dan menentukan di Indonesia. Pada masa kolonial dan pada masa sebelumnya, pada masa kerajaan Islam, ulama memiliki peran signifikan di masyarakat, baik dalam bidang politik maupun sosial. Kerajaan Islam di Indonesia, sebagian besar dimotori oleh para ulama dalam pendiriannya. Menurut Mudzhar, pada abad ke-18, ketika kerajaan Islam telah dikuasai dan dikendalikan oleh Penjajah Belanda, peran ulama dibatasi pada masalah keagamaan dan isu-isu yang bersifat lokal, bahkan hanya boleh mengurusi pesantren yang dimilikinya.Pada masa-masa berikutnya, peran ulama kembali meluas dalam masalah-masalah politik, terutama setelah terjadi hubungan yang baik antara Indonesia dan Mekkah melalui rutinitas ibadah tahunan, yaitu ibadah haji. Gerakan politik yang dilakukan oleh para ulama diwujudkan dalam gerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan dari kungkungan penjajah Belanda, baik yang bersifat kedaerahan, maupun yang bersifat nasional.Peran strategis yang dimiliki oleh ulama, adalah kemampuannya untuk melakukan mobilisasi massa. Dengan kewibawaan yang dimilikinya dan kepercayaan yang diberikan oleh para santri dan masyarakat, ulama atau kiai mampu menggerakkan massa secara cepat untuk berperang melawan penjajah Belanda. Peran ini menunjukkan bahwa peran kiai tidak hanya dalam bidang keagamaan, tetapi juga peran politik.B. Rumusan Masalah1. Apa itu MUI dan Bagaimana Sejarahnya?2. Apa Fungsi dan Tujuan MUI?3. Apa Saja Komisi-komisi dan Lembaga yang ada dalam MUI?4. Bagaimana Metode atau Manhaj yang digunakan MUI?C. Tujuan 1. Mengetahui MUI dan Sejarahnya?2. Mengetahui Fungsi dan Tujuan MUI?3. Mengetahui Komisi-komisi dan Lembaga yang ada dalam MUI?

BAB IIPEMBAHASANA. Pengertian dan Sejarah MUIMajelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zuama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.Antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Mathlaul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah PIAGAM BERDIRINYA MUI, yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya). Maka mereka terpanggil untuk berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penajajahan dan perjuangan kemerdekaan. Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas etika dan moral, serta budaya global yang didominasi Barat, serta pendewaan kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia.Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di kalangan umat Islam sendiri.Akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan silaturrahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat Islam.Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama dan cendekiawan muslim berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Taala; memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta; menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional; meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.Sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia mengalami beberapa kali kongres atau musyawarah nasional, dan mengalami beberapa kali pergantian Ketua Umum, dimulai dengan Prof. Dr. Hamka, KH. Syukri Ghozali, KH. Hasan Basri, Prof. KH. Ali Yafie dan kini KH. M. Sahal Maffudh. Ketua Umum MUI yang pertama, kedua dan ketiga telah meninggal dunia dan mengakhiri tugas-tugasnya. Sedangkan dua yang terakhir masih terus berkhidmah untuk memimpin majelis para ulama[footnoteRef:1] [1: http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.htmlDi akses : 24 september 2013]

B. Fungsi dan Tujuan MUIDalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)Perkataan mufti dalam bahasa Arab sebagai isim fail yang bermaksud pembuat atau pelaku. Ini bermaksud mufti adalah orang yang memberikan jawaban kepada persoalan atau perkara yang dikemukakan oleh seseorang [footnoteRef:2] [2: Zulkifli Mohamad al-Bakri. 2008. Fatwa & mufti hukum, etika dan sejarah. Bandar Baru Nilai: Universiti Sains Islam Malaysia. Hal 10]

Manakala dari segi istilah pula terdapat banyak perselisihan pendapat di kalangan ulama mengenai takrif mufti. Setelah ditarjihkan daripada perselisihan tersebut mufti adalah seorang ahli ijtihad yang faqih dan berwibawa dari segi ilmu agama sehingga tidak perlu bertaqlid. Selain itu, mufti juga adalah seorang yang alim dan warak sehingga fatwanya diterima dan mampu memahami hukum waqie yang berlaku secara berdalil dalam menjawab persoalan-persoalan yang timbul Pada prinsipnya keputusan hukum syariyah senantiasa mendasarkan pada hasil uasaha para ahli hukum atau para mufti dalam menggali ajaran-ajaran al-Quran dan as-Sunnah. a. dikeluarkan oleh mufti sebagai jawaban atas pertanyaan, fatwa adalah pendapat berdasarkan penafsiran atas syariatb. sebagai lembaga hukum keagamaan penting, secara fundamental fatwa ikut andil dalam kesinambungan dinamisme hukumdalam peraturan-peraturan praktik lokal. Namun kategori spesialisasi hukum, fatwa kurang dikenal dari pada peradilan (Pertimbangan qadhi). Dari segi status teknis, pertimbangan hakim bersifat kreatif atau permormatif, artinya pertimbangan hakim bersifat mengikat dan memaksa. Sedangkan fatwa, bersifat informatif atau komunikatif, artinya pendapat mufti bersifat menasehati. Akan tetapi, dengan ketiadaan konsepsi tentang yurisprudensi dalam hubungannya dengan putusan peradilan syariat, otoritas pertimbangan hakim cenderung berlaku terbatas pada kasus-kasus tertentu, sedangkan otoritas fatwa bersifat umum yang secara potensial dapat mencakup setiap bentuk kasus yang serupa. Pertimbangan hakim tercatat dalam catatan pengadilan dan tidak dipublikasikan, sedangkan fatwa seorang mufti dihimpun, dikutip dan disebarluaskan.c. hakim bertugas memeriksa pengakuan dan bukti dari pihak-pihak yang berselisih dan kemudian menetapkan suatu putusan, sedangkan proses penafsiran yang memunculkan suatu fatwa memiliki karakter yang berbeda. Mufti hanya menjawab individu yang bertanya.d. tidak seperti hakim pengadilan yang menyelidiki fakta dengan disertai bukti-bukti, mufti menerima fakta yang disampaikan dalam pertanyaan sebagaimana adanyae. baik hakim maupun mufti adalah penafsir syariat, namun penafsiran mereka memiliki titik tolak yang berlainan. Penafsiran hakim diarahkan untuk memahami bentuk-bentuk pembuktian seperti kesaksian, pengakuan dan sumpah. Sedangkan penafsiran mufti merujuk pada sumber-sumber tekstual hukum seperti al-Quran dan Sunnah.3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)4. Sebagai gerakan Islah wa al TajdidSecara bahasa (etimologi) tajdid memiliki makna pembaharuan dan pelakunya disebut mujaddid (pembaharu). Sedangkan dalam pengertian istilah (terminology), tajdid berarti pembaharuan terhadap kehidupan keagamaan, baik dalam bentuk pemikiran ataupun gerakan, sebagai respon atau reaksi atas tantangan baik internal maupun eksternal yang menyangkut keyakinan dan sosial umat (Ibnu Salim dkk: 1998:1). Dalam pengertian lain, tajdid adalah upaya untuk memperbaharui interpretasi-interpretasi atau pendapat-pendapat ulama terdahulu terhadap ajaran-ajaran dasar Islam, atas dasar bahwa ajaran tersebut sedah tidak relevan dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Oleh karena itu, tajdid adalah usaha yang kontinyu dan dinamis, sebab selalu berhadapan dan beinteraksi dengan historisitas kehidupan manusia.5. Sebagai penegak amar maruf dan nahi munkar.Majelis Ulama Indonesia bertujuan untuk terwujudnya masyarakat yang berkualitas (khaira ummah), dan negara yang aman, damai, adil dan makmur rohaniah dan jasmaniah yang diridhai Allah Swt (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Untuk mencapai tujuannya, MUI melaksanakan berbagai asaha, antara lain : 1. Memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat 2. Merumuskan kebijakan dakwah Islam 3. Memberikan nasehat dan fatwa 4. Merumuskan pola hubungan keumatan 5. Menjadi penghubung antara ulama dan umara.

C. Komisi dan Lembaga MUIDalam menjalankan tugas-tugasnya majelis ulama Indonesia mempunyai beberapa komisi, yaitu:a. Komisi Fatwab. Komisi Ukhuwah Islamiyahc. Komisi Dakwah dan pengembangan masyarakatd. Komisi pendidikan dan kaderisasie. Komisi pemberdayaan ekonomi umatf. Komisi informasi dan komunikasig. Komisi perempuan, remaja dan keluargah. Komisi hukum dan perundang-undangani. Komisi pengkajian dan penelitianj. Komisi kerukunan antar umat beragamak. Komisi pembinaan seni budaya islaml. Komisi hubungan luar negeri dan kerja sama internasionalAdapun komisi fatwa ini dibentuk atas tuntutan permohonan untuk mendapatkan fatwa-fatwa dalam berbagai masalah hukum islam yang ada, baik itu dari individu, lembaga ataupun masyarakat secara umum. Sehingga dirasa komisi ini perlu dibentuk sejalan dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga majelis ulama Indonesia.Masalah-masalah yang diajukan kepada MUI dicatat oleh sekretaris dan ditentukan klasifikasi dari masalah-masalah tersebut. Adapun klasifikasinya didasarkan atas:1. Masalah yang layak dibawa ke dalam Rapat komisi fatwa.2. Masalah-masalah yang dikembalikan ke MUI daerah tingkat I.3. Masalah-masalah yang cukup diberi jawaban oleh tim khusus.4. Masalah-masalah yang tidak perlu diberi jawaban.Prosedur RapatKetua komisi fatwa, atau melalui rapat komisi, berdasarkan pertimbangan dari tim khusus, menetapkan prioritas masalah yang akan dibahas dalam rapat komisi fatwa serta menetapkan waktu pembahasannya.Ketua komisi, atau melalui rapat komisi, dapat menunjuk salah seorang atau lebih anggota komisi untuk membuat makalah mengenai masalah yang akan dibahas.Undangan rapat komisi pokok masalah yang akan dibahas dan makalah (jika ada)sudah harus diterima oleh anggota komisi dan peserta rapat lain (jika ada) selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal rapat.Peserta rapat komisi fatwa terdiri atas anggota komisi dan peserta lain yang dipandang perlu.Rapat komisi fatwa dipimpin oleh ketua komisi atau wakilnya.Rapat komisi fatwa dinyatakan sah jika dihadiri oleh sekurang-kurangnya setengah dari peserta yang diundang rapat, atau jika dipandang telah memenuhi quorum oleh peserta yang hadir.Hasil rapat komisi fatwa dicatat oleh sekretaris komisi fatwa.Dalam struktural majelis ulama Indonesia terdapat beberapa lembaga, yaitu:1. Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS MUI)2. Dai Transmigrasi3. Dewan Syariah Nasional (DSN MUI)4. Lembaga Perekonomian dan Keuangan (LPK MUI)5. Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam ( LPLH-SDA MUI)6. Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM MUI)7. Pendidikan Kader Ulama (PKU MUI)8. Tim Penanggulangan terorisme9. Yayasan Dana Dakwah Pembangunan (YDDP MUI)[footnoteRef:3] [3: http://mui.or.id/mui/category/tentang-mui/lembaga diakses tanggal 23.9.2013 pkl. 19.00 WIB.]

D. Metode dalam Berfatwa Dasar-dasar dan prosedur penetapan fatwa yang dilakukan oleh Manjlis Ulama Indonesia (MUI) di rumuskan dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: U-596/MUI/X/1997 yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1997. Dasar-dasar penetapan fatwa dituangkan pada bagian kedua pasal 2 yang berbunyi[footnoteRef:4]: [4: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, 2003, hal. 4-5]

Setiap Keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mutabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1, Keputusan Fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma, qiyas yang mutabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, maslahah mursalah, dan saddu al-dzariah.Sebelum pengambilan Keputusan Fatwa, hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para imam madzhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil Keputusan Fatwanya, dipertimbangkan.Dasar-dasar penetapan fatwa atau disebut dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh MUI tidak berbeda jauh dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh para ulama salaf. Sikap akomodatif yang digunakan dalam penetapan fatwa MUI ini adalah perlunya memikirkan kemaslahatan umat ketikan menetapkan fatwa, di samping itu juga perlunya memperhatikan pendapat para ulama madzhab fikih, baik pendapat yang mendukung maupun yang menentang, sehingga diharapkan apa yang diputuskan tersebut tidak cenderung kepada dua ekstrimitas, tetapi lebih mencari jalan tengah antara dua pendapat yang bertolak belakang tersebut. Solusi cemerlang yang diberikan oleh MUI dalam menetapkan fatwa, adalah perlunya mengetahui pendapat para pakar di bidang keilmuan tertentu sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan fatwanya.Dalam menetapkan suatu fatwa, MUI harus mengikuti prosedur penetapan fatwa yang telah digariskan, sebagaimana yang tercantum pada bagian ketiga pasal 3 sampai dengan pasal 5 dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang berbunyi: Pasal 3: Setiap masalah yang disampaikan kepada Komisi hendaklah terlebih dahulu dipelajari dengan seksama oleh para anggota komisi atau tim khusus sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan.Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya (qathiy) hendaklah komisi menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui nashnya dari Al-Quran dan Sunnah.Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan madzhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatkan fiqih muqaran (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaran yang berhubungan dengan pentarjihan.Pasal 4Setelah melakukan pembahasan secara mendalam komprehensif, serta memperhatikan pendapat dan pandangan yang berkembang dalam sidang, Komisi menetapkan fatwaPasal 5Setiap Keputusan Fatwa harus di-tanfidz-kan setelah ditandatangani oleh Dewan Pimpinan dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa (SKF).SKF harus dirumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat luas.Dalam SKF harus dicantumkan dasar-dasarnya disertai uraian dan analisis secara ringkas, serta sumber pengambilannya.Setiap SKF sedapat mungkin disertai dengan rumusan tindak lanjut dan rekomendasi dan/atau jalan keluar yang diperlukan sebagai konsekuensi dari SKF tersebut.Majelis Ulama Indonesia, secara hirarkis ada dua, yaitu Majelis Ulama Indonesia Pusat yang berkedudukan di Jakarta dan Majelis Ulama Indonesia Daerah. Majelis Ulama Indonesia Pusat berwenang mengeluarkan fatwa mengenai permasalahan keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut permasalahan umat Islam Indonesia secara nasional dan/atau masalah-masalah keagamaan yang terjadi di daerah, namun efeknya dapat meluas ke daerah-daerah lain, bahkan masalah-masalah tersebut bisa menasional.Meskipun ada hirarki antara MUI Pusat dan MUI daerah, namun fatwa yang dikeluarkan kedua lembaga tersebut adalah sederajat, artinya bahwa fatwa yang satu tidak bisa membatalkan fatwa yang lain. Masing-masing fatwa berdiri sendiri sesuai dengan lokalitas dan kondisinya. Namun ketika keputusan MUI Daerah dan MUI Pusat ada perbedaan dalam masalah yang sama, maka kedua pihak perlu bertemu untuk mencari penyelesaian yang terbaik, agar putusan tersebut tidak membingungkan umat Islam[footnoteRef:5]. [5: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, 2003, hal. 7]

Meskipun MUI telah memiliki dasar-dasar dan prosedur penetapan fatwa sebagaimana yang tertuang dalam keputusan MUI Nomor: U-596/MUI/X/1997 tertanggal 2 Oktober 1997, namun di lapangan dasar-dasar dan prosedur penetapan fatwa tersebut tidak diimplementasikan secara penuh dan konsisten.

BAB IIIKESIMPULANMajelis Ulama Indonesia (MUI ) adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Secara umum kita ketahui bahwa MUI berperan untuk memberikan suatu fatwa tentang masalah-masalah hukum islam yang ada.Adapun metode istinbath dari Komisi Fatwa MUI adalah:1. Fatwa harus mempunyai dasar atas Alquran dan Sunnah serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.2. Jika tidak terdapat dalam Alquran dan Sunnah Fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma, qiyas yang mutabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, maslahah mursalah, dan saddu al-dzariah.3. Sebelum pengambilan Keputusan Fatwa, hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para imam madzhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil Keputusan Fatwanya, dipertimbangkan.Demikian sedikit penjelasan tentang metode/manhaj MUI sebagai ijtihad hukum dalam menetapkan suatu fatwa tenteng masalah masalah hukum islam yang ada.

DAFTAR PUSTAKADirektorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Depag RI, 2003.Ibnu Salim dkk, Studi Kemuhamadiyahan, Kajian Historis, Ideologis dan Organis, 1998, LSI UMS, Yogyakarta.Zulkifli Mohamad al-Bakri. 2008. Fatwa & mufti hukum, etika dan sejarah. Bandar Baru Nilai: Universiti Sains Islam Malaysia.http://mui.or.id/mui/tentang-mui/profil-mui/profil-mui.htmlhttp://mui.or.id/mui/category/tentang-mui/lembaga.