Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan Indonesia.docxediiit
-
Upload
amille-rossalina -
Category
Documents
-
view
325 -
download
13
Transcript of Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan Indonesia.docxediiit
MAJELIS DISIPLIN TENAGA KESEHATAN INDONESIA
DAN MAJELIS TENAGA KESEHATAN PROPINSI
A. Latar Belakang
Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum, dengan
berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhannya tentang perlindungan
hukum menjadikan dunia pengobatan bukan saja sebagai hubungan keperdataan,
bahkan sering berkembang menjadi persoalan pidana. Banyak persoalan-persoalan
malpraktek yang kita jumpai, atas kesadaran hukum pasien maka diangkat menjadi
masalah pidana. Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu pemikiran dan langkah-
langkah yang bijaksana sehingga masing-masing pihak baik dokter maupun pasien
memperoleh perlindungan hukum yang seadil adilnya. Membiarkan persoalan ini
berlarut-larut akan berdampak negatif terhadap pelayanan medis yang pada
akhirnya akan dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Memang disadari
oleh semua pihak, bahwa dokter hanyalah manusia yang suatu saat bisa salah dan
lalai sehingga pelanggaran kode etik bisa terjadi, bahkan mungkin sampai
pelanggaran norma-norma hukum. Soerjono Soekanto dan Kartono Muhammad
berpendapat bahwa belum ada parameter yang tegas tentang batas pelanggaran
kode etik dan pelanggaran hukum.
Belum adanya parameter yang tegas antara pelanggaran kode etik dan
pelanggaran didalam perbuatan dokter terhadap pasien tersebut, menunjukan
adanya kebutuhan akan hukum yang betul-betul diterapkan dalam pemecahan
masalah-masalah medik, yang hanya bisa diperoleh dengan berusaha memahami
fenomena yang ada didalam profesi kedokteran.
Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum
substantive, diantaranya hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi
tidak mengenal bangunan hukum “malpraktek”.
Keterkaitan antara berbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter, merupakan
dibidang hukum baru dalam ilmu hukum yang sampai saat ini belum diatur secara
khusus. Padahal hukum pidana atau hukum perdata yang merupakan hukum positif
yang berlaku di Indonesia saat ini tidak seluruhnya tepat bila diterapkan pada
dokter yang melakukan pelanggaran. Bidang hukum baru inilah yang berkembang
di Indonesia dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas
dikenal dengan istilah Hukum Kesehatan.
Istilah hukum kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan dari Health
Law yang digunakan oleh World Health Organization. Kemudian Health Law
diterjemahkan dengan hukum kesehatan, sedangkan istilah hukum kedokteran
kemudian digunakan sebagai bagian dari hukum kesehatan yang semula disebut
hukum medik sebagai terjemahan dari medic law.
Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan
berkembang pesat di Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum
pada tanggal 1 Nopember 1982 dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di
Indonesia dengan tujuan mempelajari kemungkinan dikembangkannya Medical
Law di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical Law masih belum muncul
dalam bentuk modifikasi tersendiri. Setiap ada persoalan yang menyangkut medical
law penanganannya masih mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang
berupa Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Kalau ditinjau dari budaya hukum Indonesia, malpraktek
merupakan sesuatu yang asing karena batasan pengertian malpraktek yang
diketahui dan dikenal oleh kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal dari
alam pemikiran barat. Untuk itu masih perlu ada pengkajian secara khusus guna
memperoleh suatu rumusan pengertian dan batasan istilah malpraktek medik yang
khas Indonesia (bila memang diperlukan sejauh itu) yakni sebagai hasil oleh piker
bangsa Indonesia dengan berlandaskan budaya bangsa yang kemudian dapat
diterima sebagai budaya hukum (legal culture) yang sesuai dengan system
kesehatan nasional.
Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan
malpraktek di Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi
(peradilan) dan jalur non litigasi (diluar peradilan).
Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau
kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya banyak
kendala yuridis yang dijumpai dalam pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut.
Masalah ini berkait dengan masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh
orang pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai penanggung jawab hak
dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena
menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang
digunakan dalam mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara
pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat
Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan
agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya
seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan
pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam
struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan
menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran
hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang
menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian
ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk
secara resmi melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No.
56/1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas
menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan
tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non
structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan
yang mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi,
Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh
MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri
dari para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk
bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien
tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter
saja dan kurang memikirkan kepentingan pasien.
B. Mejelis Disiplin Tenaga Kesehatan Indonesia (MDTKI)
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 56 TAHUN 1995
TENTANG MAJELIS DISIPLIN TENAGA KESEHATAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau
kelalaian dalam melaksanakan tugas profesinya, dapat dikenakan
tindakan disiplin;
b. bahwa untuk memberikan penilaian yang obyektif atas ada atau
tidak adanya kesalahan atau kelalaian dalam penerapan standar
profesi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, dipandang perlu
membentuk Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan dengan Keputusan
Presiden;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3495);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG
MAJELIS DISIPLIN TENAGA KESEHATAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan
dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan;
2. Pejabat Kesehatan adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh Menteri
Kesehatan untuk memberikan tindakan disiplin kepada tenaga kesehatan yang
melakukan kesalahan atau kelalaian dalam penerapan standar profesi.
BAB II
PEMBENTUKAN DAN KEDUDUKAN
MAJELIS DISIPLIN TENAGA KESEHATAN
Pasal 2
(1) Dalam rangka pemberian perlindungan yang seimbang dan obyektif kepada
tenaga kesehatan dan masyarakat penerima pelayanan kesehatan, dibentuk
Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan untuk menentukan ada atau tidak adanya
kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan standar profesi.
(2) Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan yang selanjutnya disingkat MDTK
merupakan lembaga yang bersifat otonom, mandiri dan non struktural.
Pasal 3
(1) MDTK terdiri dari:
a. MDTK Tingkat Pusat; dan
b. MDTK Tingkat Propinsi.
(2) MDTK Tingkat Pusat berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia.
(3) MDTK Tingkat Propinsi berkedudukan di Ibukota Propinsi.
Pasal 4
(1) Kepada MDTK Tingkat Pusat diperbantukan sebuah Sekretariat yang secara
fungsional dilaksanakan oleh salah satu satuan kerja di lingkungan Departemen
Kesehatan.
(2) Kepada MDTK Tingkat Propinsi diperbantukan sebuah Sekretariat yang secara
fungsional dilaksanakan oleh salah satu satuan kerja di lingkungan Kantor
Wilayah Departemen Kesehatan setempat
BAB III
TUGAS
Pasal 5
MDTK bertugas meneliti dan menentukan ada atau tidak adanya kesalahan atau
kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
dalam memberikan pelayanan kesehatan.
BAB IV
KEANGGOTAAN DAN SUSUNAN ORGANISASI
Pasal 6
Keanggotaan MDTK terdiri dari unsur:
a. Sarjana Hukum;
b. Ahli kesehatan yang mewakili organisasi profesi di bidang kesehatan;
c. Ahli agama;
d. Ahli psikologi;
e. Ahli sosiologi.
Pasal 7
(1) Jumlah anggota untuk masing-masing MDTK Tingkat Pusat ataupun Tingkat
Propinsi sebanyak-banyaknya lima belas orang.
(2) Tenaga kesehatan yang pernah mendapat tindakan disiplin dari Pejabat
Kesehatan atau pernah diadukan melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
penerapan standar profesinya, tidak dapat dipilih dan diangkat menjadi anggota
MDTK Tingkat Pusat ataupun Tingkat Propinsi.
Pasal 8
(1) Anggota MDTK diangkat untuk masa bakti tiga tahun dan dapat diangkat
kembali untuk periode berikutnya.
(2) Anggota MDTK dapat diganti dalam masa bakti keanggotaanya apabila
meninggal dunia atau karena suatu hal tidak dapat melaksanakan tugasnya.
Pasal 9
Anggota MDTK diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kesehatan.
Pasal 10
(1) Susunan organisasi MDTK terdiri dari Ketua merangkap anggota, Sekretaris
merangkap anggota, dan anggota.
(2) Ketua MDTK dijabat oleh Sarjana Hukum yang mempunyai pengetahuan di
bidang hukum kesehatan.
(3) Sekretaris MDTK dijabat oleh pimpinan satuan kerja di lingkungan Departemen
Kesehatan yang secara fungsional ditetapkan sebagai sekretariat MDTK
Tingkat Pusat, atau pimpinan satuan kerja di lingkungan Kantor Wilayah
Departemen Kesehatan Propinsi yang secara fungsional ditetapkan sebagai
sekretariat MDKT Tingkat Propinsi, yang memenuhi persyaratan keanggotaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
BAB V
TATA KERJA
Pasal 11
Wilayah kerja MDTK Tingkat Propinsi meliputi wilayah hukum Propinsi Daerah
Tingkat I yang bersangkutan.
Pasal 12
(1) MDTK Tingkat Propinsi melakukan tugas dan fungsinya atas dasar permintaan
Pejabat Kesehatan, pimpinan sarana kesehatan atau penerima pelayanan
kesehatan yang merasa dirugikan oleh tenaga kesehatan yang bersangkutan.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis
disertai data-data yang diperlukan kepada Ketua MDTK Tingkat Propinsi yang
bersangkutan.
Pasal 13
Selambat-lambatnya dalam jangka waktu tujuh hari sejak diterimanya permintaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Ketua MDTK Tingkat Propinsi
menetapkan hari sidang.
Pasal 14
Dalam melakukan tugasnya, Sidang Majelis dapat memanggil dan meminta
keterangan dari tenaga kesehatan yang diadukan, penerima pelayanan kesehatan
yang merasa dirugikan, saksi, melakukan pemeriksaan di lapangan, atau hal lain
yang dianggap perlu.
Pasal 15
(1) Apabila terdapat keragu-raguan atau menghadapi kesulitan dalam memberi
keputusan untuk menentukan ada atau tidak adanya kesalahan atau kelalaian
dalam penerapan standar profesi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, Ketua
MDTK Tingkat Propinsi dapat meminta bantuan atau berkonsultasi dengan
MDTK Tingkat Pusat.
(2) Sekalipun diminta bantuan atau konsultasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), pengambilan keputusan tetap dilakukan oleh MDTK Tingkat Propinsi.
Pasal 16
Sidang Majelis dinyatakan tertutup untuk umum.
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sidang Majelis ditetapkan Menteri Kesehatan.
Pasal 18
(1) (1) Anggota Sidang Majelis harus mengundurkan diri dari persindangan
apabila terikat hubungan keluarga atau semenda sampai derajat ketiga, atau
hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tenaga kesehatan
yang diadukan atau penerima pelayanan kesehatan yang merasa dirugikan.
(2) Apabila anggota Sidang Majelis tidak mengundurkan diri sedangkan hasil
sidang telah diputus, maka segera dilakukan sidang ulang tanpa
mengikutsertakan anggota Sidang Majelis yang karena ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus mengundurkan diri.
(3) Apabila pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
menyebabkan jumlah anggota Sidang Majelis menjadi genap, maka ketua
MDTK Tingkat Propinsi mengambil keputusan untuk mengurangi satu orang
anggotanya sehingga pelaksanaan Sidang Majelis jumlah anggotanya menjadi
ganjil.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pengunduran diri dan pengurangan anggota
Sidang Majelis dalam melaksanakan sidangnya sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur oleh Menteri Kesehatan.
Pasal 19
(1) Hasil keputusan Sidang Majelis dituangkan dalam bentuk tertulis.
(2) Hasil keputusan Sidang Majelis sebagimana dimasud dalam ayat (1) memuat:
a. ada atau tidak adanya kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh
tenaga
(3) kesehatan dalam melakukan tugas profesinya;
a. ringkasan jalannya persidangan;
b. dasar atau alasan yang menjadi dasar putusan; d. hari, tanggal putusan,
dan nama susunan anggota Sidang Majelis.
(4) Hasil keputusan sidang ditandatangani oleh anggota Sidang Majelis.
Pasal 20
Hasil keputusan MDTK Tingkat Propinsi disampaikan secara tertulis kepada
Pejabat Kesehatan selambat-lambatnya enam puluh hari sejak ditetapkan hari
sidang.
Pasal 21
(1) Pejabat Kesehatan berwenang mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga
kesehatan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak mengurangi ketentuan
Pasal 55 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan.
BAB VI
PEMBIYAAN
Pasal 22
Segala biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas MDTK dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Departemen Kesehatan.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 23
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di
Jakarta pada tanggal 10 Agustus 1995
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SOEHARTO
C. Majelis Tenaga Kesehatan Propinsi (MTKP)
1. Latar Belakang berdirinya MTKP Jawa Tengah
Dalam rangka memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan, Pemerintah Propinsi
Jawa Tengah bersama-sama dengan 5 (lima) Organisasi Profesi, (Ikatan Dokter
Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia,
Ikatan Bidan Indonesia, dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia), Para Ahli,
Asosiasi Institusi Pendidikan Tenaga Kesehatan, Perhimpunan Hukum Kesehatan
Indonesia (Perhuki) dan Masyarakat yang dalam hal ini diwakili oleh Lembaga
Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) serta Yayasan Pemberdayaan
Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI), membentuk Majelis Tenaga Kesehatan
Propinsi Jawa Tengah (MTKP Jawa Tengah) melalui Surat Keputusan Gubernur
Jawa Tengah nomor 24 tahun 2004 tanggal 24 Maret 2004 dan diundangkan di
Semarang pada tanggal 25 Maret 2004 oleh Sekretaris Daerah Propinsi Jawa
Tengah dan masuk dalam Lembaran Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 29 tahun
2004.
2. Pengertian MTKP
Tenaga Kesehatan Propinsi Jawa Tengah yang selanjutnya disebut MTKP
Jateng adalah Lembaga Negara Tingkat zpropinsi Non Struktural dan yang bersifat
independen dan bertugas mengatur sertifikasi dan registrasi tenaga kesehatan.
MTKP Jateng berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur
dan bertempat di Ibukota Propinsi.
Keanggotaan MTKP Jateng terdiri dari unsur Pemerintah, Organisasi Profesi,
para Ahli, Wakil Asosiasi Institusi Pendidikan, Wakil Perhimpunan Hukum
Kesehatan dan Wakil Masyarakat. Susunan keanggotaan terdiri dari ketua, wakil
ketua, sekretaris, anggota dan komite tenaga kesehatan. Sejak terbentuknya MTKP
Jateng sampai dengan tahun 2006, MTKP Jateng terdiri dari komite dokter daerah,
komite dokter gigi daerah, komite farmasi daerah, komite perawat daerah dan
komite bidan daerah.
Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP) Jawa Tengah dibentuk
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah No. 24 Tahun 2004 tanggal
24 Oktober 2004 yang diperbaharui menjadi Peraturan Gubernur No. 37 Tahun
2007 tanggal 7 Juni 2007.
Pembentukan MTKP Jawa Tengah ini tidak lepas dari upaya dan usaha
Pemerintah Jawa Tengah dalam mempersiapkan diri menyongsong berlakunya
Undang-Undang Praktik Kedokteran dan untuk menjawab tantangan masa kini,
dimana masyarakat semakin kritis terhadap pelayanan kesehatan.
MTKP Jawa Tengah diharapkan mampu menjembatani maraknya gugatan
masyarakat yang kurang puas terhadap pelayanan kesehatan.
3. Tujuan dibentuknya MTKP Jawa Tengah adalah :
a) Memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada tenaga kesehatan dan
pasien.
b) Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan
oleh tenaga kesehatan.
c) Meningkatkan profesionalisme, mutu, dan daya saing tenaga kesehatan di pasar
dalam dan luar negeri.
4. Tugas dan Kewenangan MTKP Jateng
MTKP Jawa Tengah dibentuk sebagai upaya Pemerintah Propinsi Jawa Tengah
untuk: a) secara langsung maupun tak langsung, meningkatkan kualitas atau mutu
pelayanan kesehatan bagi individu maupun masyarakat yang membutuhkan; b)
mempersempit kesenjangan yang ada antara harapan masyarakat dengan pelayanan
yang diterimanya sampai saat ini; c) memberikan perlindungan dan kepastian
hukum bagi masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan, maupun bagi para
petugas yang memberikan pelayanan profesi kesehatan.
Adapun tugas MTKP Jawa Tengah adalah:
a) Melaksanakan registrasi tenaga kesehatan
b) Melakukan sertifikasi tenaga kesehatan
c) Menetapkan standard pendidikan kesehatan berkelanjutan
d) Menapis dan merumuskan arah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
pelayanan kesehatan yang digunakan dalam praktik sesuai keputusan organisasi
profesi
e) Melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pelayanan praktik kesehatan
f) Menetapkan peraturan pelaksanaan guna kelancaran pelaksanaan tugas
g) Menyampaikan hasil pelaksanaan tugas tersebut huruf a sampai dengan huruf f
kepada Gubernur.
Selain itu, MTKP Jawa Tengah mempunyai kewenangan yakni : a) meneliti
kelengkapan dan keabsahan terhadap persyaratan registrasi tenaga kesehatan, b)
menyetujui dan menolak permohonan registrasi tenaga kesehatan, c) menerbitkan
dan mencabut sertifikasi registrasi tenaga kesehatan, d) mengesahkan standard
kompetensi tenaga kesehatan yang sudah ditetapkan oleh masing-masing organisasi
profesi, e) memantau dan memberikan sanksi administrasi terhadap pelanggaran
pelaksanaan praktik kesehatan.
MTKP mempunyai komite-komite tenaga kesehatan daerah, yaitu Badan
otonomi masing-masing Organisasi Profesi dengan tugas teknis mengatur sertifikasi
dan registrasi. Komite yang ada di MTKP sampai dengan bulan Maret 2007 adalah
Komite Derah Dokter, Komite Daerah Dokter Gigi, Komite Daerah Farmasi,
Komite Daerah Perawat dan Komite Daerah Bidan. Komite ini yang
mengkoordinasikan penyelenggaraan uji kompetensi dengan menggunakan metode
OSCA dan menerbitkan sertifikat uji kompetensi bagi yang lulus uji.
5. Keanggotann MTKP Jawa Tengah terdiri dari unsure
a) Pemerintah
b) Pemerintah Daerah
c) Organisasi Profesi
d) Para ahli
e) Perwakilan Asosiasi Institusi Pendidikan Tenaga Kesehatan
f) Perwakilan Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (Perhuki)
g) Perwakilan masyarakat : Lembaga Pemberdayaan dan Perlindungan Konsumen
(LP2K) dan Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI)
D. Isu dan Analisa
Malpraktik vs UU Kesehatan
Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH
Tuduhan akan adanya Malapraktik sebenarnya bukan hanya ditujukan pada
mereka yang berprofesi sebagai Tenaga Kesehatan yang salah satunya adalah
Dokter, akan tetapi tuduhan Malapraktik dapat dituduhkan kepada semua kelompok
Profesionalis, yaitu apakah mereka itu kelompok Wartawan, Advokat, Paranormal
dan kelompok lainnya. Pengertian Malapraktik selama ini banyak diambil dari
kalangan mereka yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan, terutama Dokter
Sedang batasan pengertian umum tentang Malpraktik di kalangan tenaga
kesehatan adalah ; Seseorang tenaga kesehatan dalam memberikan tanggungjawab
profesinya kepada pasien dilakukan di luar prosedure dan stardard profesi pada
umumnya yang berakibat cacat dan matinya sang pasien. Namun rumusan akan
standard profesi yang bersifat baku, khususnya bagi tenaga kesehatan (Dokter)
secara tegas belum ada dirumuskan di dalam undang-undang
Adapun mengenai ukuran tentang standard profesi bisa kita adopsi pendapat
seorang ahli hukum tenaga kesehatan, Prof. Mr.W.B. Van der Mijn, yang
mengatakan seorang tenaga kesehatan perlu berpegang pada 3 (tiga) ukuran umum,
yaitu : 1. Kewenangan ; 2. Kemampuan rata-rata ; dan 3. Ketelitian yang umum ;
Disini maksudnya seorang Tenaga Kesehatan harus memiliki kewenangan hukum
untuk melaksanakan pekerjaannya (Rechtsbevoegheid) bisa berupa ijin praktik bagi
dokter dan tenaga kesehatan lainnya, bisa berupa Badan Hukum dan Perijinan lain
bagi penyelenggara kesehatan seperti rumah sakit atau klinik-klinik.
Selanjutnya Tenaga Kesehatan harus memiliki kemampuan rata-rata yang
ditentukan berdasarkan pengalaman kerja dalam linkungan yang menunjang
pekerjaannya dan kemudian Tenaga Kesehatan harus memiliki ketelitian kerja yang
ukuran ketelitian itu sangatlah bervariasi. Namun betapapun sulitnya untuk
merumuskan rating scale (skala pengukuran) tentang standard profesi Tenaga
Kesehatan, Undang-undang mengharuskan mereka yang berprofesi sebagai Tenaga
Kesehatan berkewajiban mematuhi standard profesi dan menghormati hak pasien.
(vide : pasal 53 ayat 2 UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan). Dan setiap orang
berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga
kesehatan. (Vide : pasal 55 ayat 1 UU No.23 tahun 1992).
Dan bagi tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin yang ditentukan oleh
Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan ( Vide: pasal 54 ayat 1 dan 2 dari UU No.23
tahun 1992 tentang kesehatan Jo. PP. No.32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan ).
Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) inilah yang berhak dan berwenang
untuk meneliti dan menentukan ada-tidaknya kesalahan atau kelalaian dalam
menerapkan standard profesi yang dilakukan oleh Tenaga Kesehatan terhadap
mereka yang disebut sebagai pasien. ( vide : pasal 5 dari Kepres RI No.56 tahun
1995 tentang MDTK ).
Pada dasarnya seorang tenaga kesehatan apakah dia dokter, perawat,
kefarmasian,tenaga gizi, dan tenaga lainnya tidak hanya dapat digugat dan dituntut
berdasarkan adanya malpraktik, akan tetapi tenaga kesehatan dapat juga digugat
berdasarkan pelanggaran akan hak-hak pasien yang timbul dengan adanya kontrak
terapeutik antara tenaga kesehatan dengan pasien antara lain : 1. Hak atas informasi
tentang penyakitnya; 2. Hak untuk memberi infotmed consent untuk pasien yang
tidak sadar; 3. Hak untuk dirahasiakan tentang penyakitnya ; 4. Hak atas ikhtikad
baik dari dokter; dan 5. Hak untuk mendapatkan pelayanan medis yang sebaik-
baiknya. Dari hak-hak pasien tersebut yang paling penting disini adalah hak tentang
informasi dari pasien bersangkutan yang biasanya berisi tentang : Diagnosa, terapi
dengan kemungkinan alternatif terapi, tentang cara kerja dan pengalaman dokter,
tentang resiko, tentang kemungkinan rasa sakit atau perasaan lainnya sebagai akibat
dilakukannya tindakan medis, tentang keuntungan terapi dan prognose
Tenaga kesehatan dapat digugat berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata Jo. pasal
55 UU No.23 tahun 1992 dan dapat dituntut pidana berdasarkan pasal 359, 360 dan
361 KUHP, pasal 80, 81, 82 dari UU No.23 tahun 1992 dan ketentuan pidana
lainnya. Di samping hak-hak pasien, disini perlu juga kita kemukakan sedikit
tentang hak-hak tenaga kesehatan khususnya para dokter. Adapun mengenai hak-
hak dokter dapat dikemukakan sbb : Hak untuk berkerja menurut standard profesi
medis, hak menolak untuk melaksanakan tindakan medis yang tidak dapat ia
pertanggungjawabkan secara profesional, hak untuk menolak yang menurut suara
hatinya tidak baik, hak mengakhiri hubungan dengan pasien jika ia menilai
kerjasamanya dengan pasien tidak ada gunanya lagi, hak atas privacy dokter, hak
atas ikhtikat baik dari pasien dalam pelaksanaan kontrak terapeutik (penyembuhan),
hak atas balas jasa, hak untuk membela diri dan hak memilih pasien namun hak ini
tidak mutlak sifatnya. Jadi disini dapat ditarik kesimpulan bahwa Malapraktik erat
hubungannya dengan pelanggaran terhadap standard profesi medik, pelanggaran
prosedure tindakan medik, dan bagi pelanggarnya tentu dapat digugat, dituntut
pidana dan diberi sanksi administratif berupa pencabutan ijin praktik
TUGAS KELOMPOK
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN
MAJELIS DISIPLIN TENAGA KESEHATAN INDONESIA
DAN MAJELIS TENAGA KESEHATAN PROPINSI
Dosen Pengampu : Munayarokh, SPd, M.Kes
Disusun oleh :
Amille Rossalina P.174.24.511.005
Hermanita RakhimArrafi P.174.24.511.020
Istiqomah P.174.24.511.023
Resha Prafitaningrum P.174.24.511.037
Vissa Lusiana Martha P.174.24.511.055
POLITEKNIK KESEHATAN SEMARANG
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
PROGRAM STUDI KEBIDANAN MAGELANG
2011