Majalah VISI 31

27
Partisipasi di Ujung Jari Majalah Keruwetan Sekolah di Solo Terapkan Kurikulum 2013 SPEKTRUM Agnia Mega Safira: Serunya Ikut Ajang Internasional TOKOH Edisi 2013/2014

description

Majalah tahunan LPM VISI FISIP UNS

Transcript of Majalah VISI 31

Page 1: Majalah VISI 31

Partisipasidi Ujung Jari

Majalah

Keruwetan Sekolah di Solo Terapkan Kurikulum 2013

SPEKTRUM

Agnia Mega Safira:Serunya Ikut AjangInternasional

TOKOH

Edisi 2013/2014

Page 2: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 3

Politik adalah bagian teramat penting bagi perjalanan sua-tu negara. Setiap hari, insan media selalu disuguhi dengan berita-berita dari kalangan politisi. Banyaknya informasi

yang diserap oleh masyarakat, mestinya meningkatkan parti-sipasi mereka dalam dunia politik. Berpartisipasi bukan berarti langsung terjun ke dunia politik, akan tetapi ikut serta memba-has dan berkomentar tentang hal-hal yang bernuansa politik juga dapat disebut sebagai bentuk partisipasi.

Dewasa ini, partisipasi di kalangan anak muda khususnya mahasiswa dianggap sangat kurang. Mari kita tinjau partisipasi politik mahasiswa masa orde baru. Mereka begitu gigih mem-perjuangkan keadilan masyarakat Indonesia pada masa itu. Ber-demo hingga membuat pemerintah ‘kebakaran jenggot’ sering mereka lakukan, hingga rezim orde baru runtuh dan berganti menjadi reformasi.

Namun, masa kini bisa kita lihat berapa banyak mahasiswa yang peduli dengan masalah politik. Berapa banyak orang yang dianggap agent of change itu mau turun ke jalan untuk mempro-tes kebijakan politik? Era cyber yang kini merajai kalangan muda, telah mampu merasuki pikiran mereka dengan hal-hal yang begi-tu beragam, lifestyle misalnya. Terkadang hal itu dianggap lebih menarik dibandingkan membicarakan masalah politik.

Untuk itu, Redaksi LPM VISI pada edisi kali ini akan membahas mengenai bagaimana kalangan muda masa kini menyikapi per-masalahan politik. Dalam rubrik Laporan Utama, pembaca akan tahu apakah para pemuda masa kini masih banyak yang peduli akan politik. Sekaligus mengetahui bagaimana mereka berpartisi-pasi dalam masalah politik tersebut.

Salam Redaksi!

SALAMREDAKSI

Salam Redaksi 2Surat Pembaca 4

SELINGANPodium 19Potret 24

BERITALaporan Utama 7, 10Laporan Khusus 27, 30Spektrum 14, 16Sekaken 22, 23

OPINIVisi Kita 5Detak 6Artikel Utama 12Kolom 20Teropong 37Refleksi 42

TOKOHTokoh 34Wawancara 40

RESENSIBuku 45Film 46Musik 47

SASTRACerpen 48Puisi 49

DAFTAR ISI

Redaksi LPM VISI menerima kritik, tulisan, dan karya lainnya ke alamat yang tersedia di atas ini. Artikel, karya sastra maupun jenis tulisan lainnya yang telah masuk ke redaksi, menjadi hak

penuh kami untuk diedit tanpa mengubah esensi.

Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan dan pengutipan pernyataan, redaksi LPM VISI menerima hak jawab sesuai UU Pers No. 40 Th. 1999 pasal 1

ayat 1.

PEMIMPIN REDAKSI : MunadhifahMAjALAH : Fenti Fadilla, Erma YuniantiTERBITAN LAIN : Linda Fitria Christyas, Astini Mega SariARTISTIK : R. Ahmad Reiza M., IG Rinda Yuda W, Arkhan Faturahman

PENELITIAN & PENGEMBANGANPEMIMPIN LITBANG : Fatmadita PangestiPENDUKUNG TERBITAN : Ikrar Setia Dewi, Galang Perwira T. H., Carlie Nurul WidyantiPEWACANAAN EKSTERNAL : Radityo Kuswihatmo, Endera Ayu LuvianaUSAHA

PEMIMPIN USAHA : Latifatul JannahIKLAN & PENGGALIAN DANA MANDIRI : Chairunnisa Widya Priastuty, Maharina Krisna Han-dayani, Tifani Helentina MarpaungPRODUKSI & SIRKULASI : Dita Rahayu Margatino, Waskito Pamungkas, Inna Ratna R

KADERISASIPEMIMPIN KADERISASI : Sinta AgustinaSKILL & LEADERSHIP : Ester Lia Amanda, Insyirah Anwari, Jenny Rahmalia N.KAjIAN & DISKUSI INTERNAL : Alvira Parahita, Eva Menageti, Rahayu NingrumANGGOTA

PERIODE 2013/2014PELINDUNG

Prof. Pawito, Ph.DPEMBIMBING

Nora Nailul Amal, S.Sos, M.L.PEMIMPIN UMUM

Ilham Fariq MaulanaSEKRETARIS UMUM

Hapsari Retno WidantiSTAf : Audia Prita Wijaya, Intan Aida Diliani, Inda Destriani

BENDAHARA UMUMDiah Harni Saputri

STAf : Neli Azizah, Sarah Umi Nur AzizahREDAKSI

Arfian Grenoadi, Aulia Mestikasari, Bima Sandria Argasona, Della Fahriana, Desi Indah P., Erna FajarDewanti, Hira Askamal, Ibnu Prasetyo, Moh. Luthfi Syamsudin, Mita Rahayu, Salma Fenty, Theresia Sandra, Umi Septiana, Venti Rahadini, Wahyu Andhika, Yasinta Rahmawati, Alfandy Kurniawan

ALAMAT SEKRETARIAT &REDAKSIGedung 2, Lantai 2, FISIP UNS, Jl. Ir. Sutami No. 36A Surakarta, 57126

[email protected]

WEBSITEhttp://www.lpmvisi.com

Desain & Tata Letak : R. Ahmad Reiza M.Ilustrasi & Sampul : Radityo Kuswihatmo

Page 3: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 VISI | No. 31/Th. XXI/20144 5

SURATPEMBACA

UNS Belum Ramah Difabel

Sebagai mahasiswa Pendidikan Luar Biasa FKIP UNS, saya merasa bahwa UNS tidak ramah ter-hadap kaum difabel jika dilihat dari segi bangunan. Banyaknya gedung di UNS yang menggunakan tangga sebagai satu-satunya akses untuk naik ke lantai atas, akan membuat kaum difabel kesulitan untuk bisa mandiri jika ingin naik ke lantai dua dan seterusnya.

Di gedung PLB sendiri, satu-satunya akses ke lantai dua dan seterusnya juga masih memakai tangga. Hal ini tentu akan sangat merepotkan ketika dari pihak PLB mengundang kaum difabel ke fakultas. Padahal kondisi gedung PLB seharusnya bisa mendukung untuk akses kaum difabel.

Di PLB sendiri, pembelajaran yang diajarkan juga hanya sekedar teori dan sangat jarang praktek langsung, khususnya ke kalangan kaum difabel.

ChristinaMahasiswi Pendidikan Luar Biasa FKIP UNS

Kecewa dengan Medical Center

Sebagai satu-satunya tempat pelayanan medis untuk mahasiswa UNS, Medical Center menurut saya kurang menjalankan fungsinya dengan baik. Banyak mahasiswa yang sakit ataupun mengurus tes kesehatan, tapi dari segi pelayanan Medical Center saya rasa kurang.

Saya sendiri pernah ke Medical Center saat sedang sakit, tapi hampir satu jam menunggu saya tidak dilayani juga. Bahkan masih banyak antrian sebelum saya yang belum dilayani juga. Pelayanan yang lama di Medical Center tentu menjadi ha yang membuat saya kecewa.

Saya juga merasa bahwa kritik semacam ini sudah banyak dilontarkan oleh beberapa teman-teman mahasiswa. Jadi saya sangat berharap medical center mampu berbenah untuk memperbaiki segi pelayanan terhadap mahasiswa.

Tuti YuniartiMahasiswi Pendidikan Akuntansi FKIP UNS

Saat ini rasanya sangat sedikit orang yang tak mengenal istilah media sosial. Dari anak kecil, remaja hingga dewasa berlom-

ba-lomba untuk eksis di media sosial. Jenis me-dia sosial pun kini telah beragam, memberikan banyak pilihan bagi para pengguna telepon pin-tar alias smartphone dan internet. Jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-nya dapat digunakan untuk mem-posting segala macam hal, status misalnya.

Tersedianya kolom untuk menuliskan apa yang sedang dialami atau segala hal yang telah dipikirkan oleh pemilik akun memang mem-buat jejaring sosial menjadi sahabat curahan hati (curhat) yang paling setia. Bagaimana tidak, sosial media ada kapanpun kita ingin bercerita, dan ia tak pernah menolak ketika kita ingin men-curahkan segala hal yang ada di kepala.

Saking baiknya aplikasi-aplikasi yang dapat diakses secara online tersebut, banyak peng-guna akun yang merasa terlalu nyaman untuk curhat di dalamnya. Mereka terang-terangan mengungkapkan banyak macam hal tanpa me-mikirkan dampak yang akan ditimbulkan. Terka-dang mereka lupa bahwa dirinya tak hanya cur-hat pada sosial media, akan tetapi juga kepada semua mata yang akan membaca status yang terpampang di akunnya masing-masing. Status yang telah dipasang di suatu akun memungkin-kan untuk dikomentari oleh orang lain. Tentu komentar itu beragam, ada yang positif, negatif, atau bersifat netral.

Masih ingat kasus Dinda yang pernah menge-cam ibu hamil saat meminta prioritas tempat duduk di KRL? Karena kekesalannya, Dinda men-ceritakan ketidaksukaannya terhadap apa yang dialaminya di akun Path-nya. Tanpa disangka oleh Dinda, ternyata ribuan orang mengecam perbuatan Dinda tersebut. Banyak orang yang mem-bully-nya lewat beragam media sosial, bukan hanya di Path. Dinda dianggap sebagai

pemuda yang tidak menghormati kaum wanita yang sedang hamil. Hujatan-hujatan untuknya muncul dari berbagai kalangan, bahkan dijadi-kan bahan perbincangan di media massa.

Kasus lain yang muncul dari Path adalah umpatan Florence Sihombing yang berujung di kepolisian. Mahasiswi S2 program studi hukum di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini harus bertangung atas apa yang diucapkannya di akun Path miliknya. Statusnya yang bernada menghina kota Yogyakarta menemui banyak kecaman dan menimbulkan kemarahan warga kota pendidikan tersebut.

Peristiwa yang tak kalah menarik adalah ki-cauan musisi ternama Indonesia Ahmad Dhani di akun twitter-nya. Meski membantah bahwa ia yang membuat status tentang sumpahnya yang akan potong kemaluan jika Prabowo Subianto kalah dalam pemilu presiden, namun banyak orang yang menyangsikan hal tersebut. Ada berbagai sindiran yang mengarah pada Ahmad Dhani.

Terlalu mudah untuk menuliskan tentang pikiran kita di akun jejaring sosial ternyata dapat menimbulkan masalah besar. Tak hanya merasa malu atau mendapat hujatan dari ribuan orang, tapi juga bisa menyeret kita ke masalah hukum. Tentu sebagai generasi yang cerdas, kita harus berpikir cerdik untuk membuat bermacam sta-tus di akun jejaring sosial.

Akan lebih bijak jika akun media sosial yang kita miliki digunakan untuk hal-hal yang bergu-na bagi banyak orang, bukan untuk kepentingan pribadi semata. mari jadikan diri kita generasi yang cerdas saat berjejaring sosial!

Jadi Generasi Cerdas BerjejaringSosial

MunadhifahPemimpin Redaksi LPM VISI

ISI KitaV

iklan

Page 4: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 VISI | No. 31/Th. XXI/20146 7

Pemuda dan Politik

Partisipasi di Ujung JariBagi sebagian orang membicarakan masalah politik mungkin merupakan sesuatu yang sangat membosankan. Apalagi di kalangan anak muda, mereka kerap tak acuh ketika ditanya perihal politik. Tapi, beberapa waktu lalu ketika masa pemilihan umum tahun 2014, kalangan muda beramai-ramai membicarakan pilihan menjadi golongan putih (golput). Inikah bukti bahwa generasi muda masa kini banyak yang apatis?

UTAMALAPORAN

Saat ini masyarakat telah di tuntut untuk memiliki kemampuan atau keahlian yang memiliki basic yang mumpuni seiring den-

gan kompleksnya kebutuhan. Pendidikan men-jadi basis utama bagi pembentukan sumber daya manusia yang terlatih dan tentunya mam-pu mengatasi kompleksitas kebutuhan tersebut.

Dewasa ini, sumber daya manusia tidak hanya dibutuhkan mereka yang memiliki ke-mampuan mumpuni dari bidang yang ditekuni. Namun, faktor karakter juga menjadi salah satu tolak ukur bagi kemampuan sumber daya ma-nusia untuk memajukan dan mengembangkan kesejahteraan hidup.

Indonesia seakan selangkah lebih maju den-gan mencoba mengimplementasikan sistem pendidikan yang kini berbasis karakter. Hal ini bukan menjadi wacana mudah, karena merujuk pada ukuran kemampuan masing-masing indi-vidu. Selama ini pendidikan Indonesia dari bobot mata pelajaran yang diarahkan kepada pengem-bangan dimensi akademik siswa. Dimana sering diukur dengan kemampuan logika-matematika dan abstraksi (kemampuan bahasa, menghafal, abstraksi – atau ukuran IQ). Lebih dari itu pen-didikan seharusnya juga membentuk karakter karena hal ini mampu menempa mental, moral, dan emosional individu.

Sejatinya ada penyeimbangan melalui pem-bangunan karakter adalah kesadaran kemamp-uan diri. Ketatnya persaingan global saat ini yang memunculkan perlombaan pembangunan an-tarnegara mendorong urgensitas kualitas sum-ber daya manusia. Ketika seorang individu sadar akan kemampuannya, maka individu tersebut mulai bebas mengeksplorasi dan menggalin-ya. Saat itulah kemampuan akan seterusnya berkembang. Karakter menjadi landasan ke-mampuan itu, ketika karakter terbentuk maka karakter menjadi pembatas sekaligus jalur bagi

individu mengeksplorasi kemampuannya.Budaya lokal menjadi salah satu faktor pem-

bentuk karakter dari masyarakat. Karena pada budaya lokal terkandung kearifan lokal yang merupakan penjelmaan normal dan moral mas-yarakat. Melihat contoh negara Jepang yang menjaga dan memegang budaya lokalnya men-jadi kebanggaan, membawa negara ini menjadi salah satu negara paling royal di dunia. Kualitas sumber daya manusia Jepang yang berkarakter melalui budaya dan kearifan lokal seakan telah dikuasai seutuhnya. Sehingga mereka mampu menjaga hal tersebut dari generasi ke generasi.

Pengusaha sekaligus motivator Indonesia, Andrie Wongso mengatakan untuk memban-gun bangsa dengan pluralitas yang luas ini membutuhkan pondasi yang kuat, yakni karak-ter bangsanya. Menurutnya, orang-orang yang berkarakter tidak akan terjebak dalam naluri rendah yang menyebabkan intoleransi. Meng-ingat seiring bertambah umurnya negeri ini pascaproklamasi, telah banyak bermunculan konflik horizontal di kalangan masyarakat. Ser-ta merambahnya praktik – praktik kotor yang mengabaikan kejujuran di birokrasi negara. Maka pembentukan karakter merupakan pen-didikan untuk mengembangkan mental dan moral masing-masing individu. Karena setiap in-dividu memiliki keunikan sendiri yang tidak bisa diseragamkan.

Untuk mengharapkan Indonesia yang lebih baik, akan lebih mudah ketika setiap elemen masyarakat saling berkolaborasi. Dari kolaborasi tersebut tentu dapat terlihat apakah bangsa ini telah menemukan karakternya. Semoga bangsa ini berjaya dengan insan yang berkarakter, saat itulah zaman emas Indonesia akan dimulai.

Era Indonesia Berkarakter

Ilham Fariq MaulanaPemimpin Umum LPM VISI

etakD

Page 5: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 VISI | No. 31/Th. XXI/20148 9

Berdasarkan data yang telah diperoleh VISI, sebesar 42% dari total

253,60 juta jiwa penduduk In-donesia adalah kaum muda. Akan tetapi, jika bicara politik di kalangan pemuda, masih sedikit yang peduli akan poli-tik. Karena masih banyaknya pemuda yang memilih untuk menjadi apatis berkenaan den-gan masalah politik.

Dalam hidup kebangsaan, manusia tidak pernah lepas dari kehidupan politik negaran-ya. “Politik berkaitan dengan segala urusan yang bersifat publik, namun dalam batasan tertentu,“ ungkap Kandyawan Dosen Ilmu Komunikasi Fakul-tas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebelas Ma-ret (UNS) Surakarta kepada VISI, di Gedung D3 FISIP UNS, Jumat (7/3). Dalam politik dan pemilihan umum (pemilu) sangat erat kaitannya dengan partisipasi pemuda. Karena da-lam pemilu akan menjadi legit-imasi berkembangnya proses demokrasi. Pemuda memiliki peran penting pada proses politik karena mereka adalah agen perubahan masa depan bagi bangsa ini.

Tahun 2014 bisa dibilang sebagai tahun pesta demokra-si bagi bangsa Indonesia. Dua pemilihan umum (pemilu) terbesar telah diadakan pada tahun ini, yakni pemilu legisla-tif serta pemilu presiden dan wakil presiden. Pemilu legisla-tif telah berlangsung 19 April 2014, sedangkan pemilu pres-iden dan wakil presiden dilak-sanakan 9 Juli 2014.

Presiden BEM UNS periode

ini sebagian pemuda Indone-sia sudah seperti kehilangan akar yang kuat sebagai bagian dari elemen bangsa. Salah satu penyebabnya adalah muncul-nya westernisasi yang terus menggerus nasionalisme. Bagi Bagas, globalisasi merupa-kan ancaman besar bagi para pemuda. “Sebagian pemuda sekarang cenderung meng-abaikan masalah politik dan kepentingan negaranya. Mere-ka lebih memilih untuk men-gurusi gaya hidup atau style yang lagi nge-trend saat ini,“ tambahnya.

Toma melihat mahasiswa yang seharusnya menjadi tong-gak generasi penerus bangsa dan salah satu penentu kebija-kan di masa depan, cenderung tidak mau tahu soal politik bahkan takut. ”Mereka fobia mengenai dunia politik. Asum-si mereka, politik ialah sua-tu kotor dan curang,“ ungkap Toma.

Deisy Nurul salah satu ma-hasiswa Public Relations 2012 FISIP UNS mengaku tindakan apatis mahasiswa saat ini dise-babkan karena mereka tidak tertarik mengenai dunia poli-tik. Menurutnya, rekam jejak para anggota dewan sebagai wakil rakyat begitu buruk di mata mereka. “Saya tidak ter-tarik dengan masalah politik, banyaknya kasus korupsi se-dangkan kemiskinan di negeri ini masih merajalela membuat saya enggan untuk mengenal lebih jauh mengenai dunia politik,” tuturnya, Selasa (1/7).

Bagaimanapun, Toma me-lihat politik sangatlah berper-an bagi kehidupan bangsa ini,

2013, Toma Patriotama saat ditemui VISI, mengungkap-kan mahasiswa belum sadar sepenuhnya akan pentingnya berpartisipasi dalam perpoli-tikan. “Mahasiswa sekarang cenderung tidak tertarik den-gan politik, mahasiswa bera-sumsi bahwa politik itu kotor, namun sebenarnya mahasiswa tidak dapat dipisahkan dengan dunia politik,” terangnya Kamis (2/1). Toma juga menyayang-kan kurangnya kesadaran dari para mahasiswa saat ini bahwa peran pemuda itu merupakan pilar kebangkitan negara.

Bicara mengenai kondisi politik di Indonesia saat ini ber-kaitan dengan ketidaktertari-kan politik anak muda. Bachtiar Anang Abiantoro Presiden BEM FISIP UNS periode 2013, menu-turkan bahwa kondisi politik saat ini sudah keluar dari reln-ya. “Sistem pemerintah Indone-sia itu demokrasi, tetapi lebih mengarah ke liberal, maksud-nya yakni yang disenangi saja yang dipilih tanpa mengkajinya lebih dalam pantas atau tidak-nya,“ jelasnya. Bachtiar juga menjelaskan bahwa hal itu disebabkan masih banyak par-tisipan pasif yang tidak melek politik. “Sistem politik di Indo-nesia juga tidak jelas sehingga butuh perombakan,“ tambah-nya.

Dulu dan SekarangPada masa perjuangan ke-

merdekaan, berbagai usaha dilakukan untuk melawan pen-jajah. Dari organisasi pemuda, gerakan bawah tanah, pem-berontakan, dan sebagainya. Setelah Indonesia merdeka,

karena politik berpengaruh dengan sistem negara ini. “Se-bagai mahasiswa kita harus berpartisipasi aktif, baik den-gan mengikuti diskusi maupun seminar mengenai masalah politik,“ ungkap Toma, Kamis (2/1). Menurutnya hal tersebut merupakan langkah kecil yang dapat dilakukan untuk melatih mahasiswa berpikir kritis serta tidak apatis.

Cara yang BerbedaNamun tidak semua pemu-

da tak peduli dengan politik, buktinya menjelang pemilihan umum (pemilu) calon presiden (capres) dan calon wakil presid-en (cawapres). Di media sosial banyak kalangan mengungkap-kan aspirasinya mengenai per-masalahan politik saat ini serta meributkan soal capres dan cawapres pilihannya melalui akun jejaring sosial.

“Meskipun tidak terlalu pa-ham mengenai politik, buktin-ya masih ada sebagian pemu-da yang peduli akan masalah politik. Seperti yang terjadi di berbagai media sosial saat ini menjelang pemilu capres dan cawapres kemarin,“ ungkap Bagas Febrantoro. Bagas me-lihat hal tersebut merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh sebagian pemuda untuk berekspresi dan menyampai-kan aspirasinya mengenai per-politikan di Indonesia.

Seperti halnya yang tertera dalam sebuah akun jejaring so-sial milik Wasita Anggara (20) dalam sebuah status di akun facebook-nya mengkritisi ban-yaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi namun

pemuda kembali berperan dalam membangun bangsa. Kepedulian dan rasa nasion-alisme pemuda pada masa itu cukup tinggi dengan berbagai masalah bangsa yang tentunya juga berkaitan dengan masalah politik.

“Pemuda zaman dulu, san-gatlah peduli dengan dun-ia politik dan permasalahan bangsa ini. Beberapa gerakan mahasiswa dilakukan untuk mengukir nilai-nilai Pancasi-la. Dimana gerakan-gerakan memberikan pengaruh da-lam perpolitikan Indonesia,“ ungkap Bagas Ferbrantoro Gubernur BEM Fakultas Ko-munikasi dan Informatika Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Kamis (3/7).

Menurut Bagas, pada saat

masih tetap kekeh duduk di kursi jabatannya, Sabtu (3/5). “Kalau di Jepang, pemimpin ga-gal atau terkena kasus hukum saja mereka pasti mundur dari jabatan. Nah kalau di Indone-sia udah terjerat korupsi masih aja enggan mundur jadi kepala daerah,” tulisnya.

Berbeda lagi dengan pern-yataan yang diungkapkan Kira-na Larasati (23) melalui akun jejaring sosial twitter miliknya berkaitan dengan harapannya kepada capres dan cawapres. “Siapapun yang akan menjadi pemimpin di negara ini, saya berharap tetap memegang teguh Bhinneka Tunggal Ika,“ harapnya, Senin (9/6).

Beberapa pernyataan yang diungkapkan oleh pemuda tersebut merupakan salah satu tindakan dan harapan yang diungkapkan melalui akun je-jaring sosial berkaitan dengan masalah politik.

(Rahayu, Waskito)

“Merekafobia men-genai dun-ia politik.

Asumsi mereka,

politik ialah suatu kotor dan curang”

— Toma Patriotama

Page 6: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 VISI | No. 31/Th. XXI/201410 11

Menurut data yang dirilis KPU, jumlah total pemilih untuk

pemilu tahun 2014 sejumlah 186.612.255 orang penduduk Indonesia (Antara.com). Dari 20-30% jumlah total pemilih pemilu 2014 adalah pemilih pemula. “Dalam konteks prak-tikal dan fakta di lapangan, pemilih muda adalah orang yang baru pertama kali memi-lih,” kata Kandyawan ketika ditemui VISI di Gedung D3 FI-SIP Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Selasa (7/3).

Mereka yang baru pertama kali memilih ini, cenderung be-lum memiliki sikap dan ideologi politik. Pemilih pemula terse-but terdiri dari siswa SMA dan mahasiswa. Belum memiliki pengalaman memilih menjadi-kan mereka awam terhadap kegiatan pemilu dan tidak menyadari pentingnya suara mereka terhadap masa depan politik bangsa.

Mahasiswa Universitas   Surakarta (UMS), Nur Apriyani (22) mengaku bahwa parti-sipasinya terhadap persoa-lan politik masih rendah. “Ya, menurut saya anak muda se-karang malas ngomongin politik

sih, karena banyak pemimpin sekarang cuma umbar janji,” jelasnya saat ditemui VISI di Sekretariat Sangguru Mapala FKIP UMS, Senin (24/2).

Menurut Kandyawan, parti-sipasi politik di Indonesia terb-agi menjadi dua, partisipasi aktif dan pasif. Partisipan aktif ialah mereka yang melek poli-tik, sedangkan partisipan pasif ialah orang yang ikut memilih tapi tidak mengetahui alasan-nya. “Ibaratnya, mereka tidak tahu alasannya berpolitik un-tuk apa. Mereka cenderung tidak melek informasi tantang politik,” tambahnya.

Presiden BEM UNS periode 2013, Toma Patriotama men-gungkapkan bahwa mahasiswa yang cenderung tidak berpar-tisipasi dalam politik memiliki perubahan menuju apatis. “Bi-asanya mereka menjauhkan diri dari politik, menganggap politik itu kejam dan bahkan tidak mau bergabung dengan organisasi kemahasiswaan seperti BEM,” ujarnya ketika ditemui VISI di Sekretariat BEM.

Tak Tertarik Kandyawan menuturkan

anak muda sekarang cen-

derung bersikap pragmatis ter-hadap politik. “Misalnya, mere-ka merasa tidak diuntungkan secara langsung dengan ada-nya pemilihan umum. Selain itu, tekanan-tekanan hidup menyebabkan mereka harus berpikir ekonomis,” tegasnya.

Ditemui di tempat terpisah, Presiden BEM FISIP UNS 2013 Bachtiar Anang Abyantoro menuturkan keapatisan yang ditunjukkan anak muda saat ini dipengaruhi oleh perkem-bangan zaman. “Sekarang anak muda bahkan mahasiswa jauh lebih tertarik dengan gadget¬-nya ketimbang bicara masalah politik,” jelasnya.

Pola hidup serba praktis, mudah, dan tanpa gejolak merupakan hal yang ditawar-kan di era baru ini, budaya pragmatisme misalnya. “Sikap pragmatis, tekanan yang menyebabkan harus berpikir ekonomis dan menjadikan se-gala sesuatu seperti komoditas itulah sikap mental yang dimi-liki bangsa kita sekarang,” im-buh Kandyawan.

Tak semua pemuda apa-tis terhadap politik, organisasi BEM misalnya. Mereka kerap mengkritisi perjalanan roda pemerintahan, begitu pula dengan adanya pemilu legis-latif maupun pemilu presid-en yang lalu. Kecenderungan mahasiswa yang tidak suka terlibat dalam masalah poli-tik disebabkan oleh lemahnya

kesadaran untuk berpolitik. “Ya balik lagi, mahasiswa yang apatis sudah terlanjur kecewa dengan calon-calon pemimpin yang ada, mereka sudah hilang kepercayaan,” kata Toma.

Di sisi lain, media turut mempengaruhi adanya sikap apatisme. Maraknya pem-beritaan korupsi di semua lini memberikan terpaan dan tanggapan negatif dari para pemuda tentang politik di In-donesia. Menurut Nur Apriyani, ia terlalu banyak mendapat in-formasi buruk tentang kondisi politik Indonesia dari media. “Lha, isi berita korupsi semua, saya jadi malas,” jelasnya.

Melek PolitikSebagai salah satu organis-

asi yang peduli terhadap poli-tik, BEM memiliki beberapa program yang memberikan pengetahuan politik kepa-da anggotanya. Misalnya da-lam bentuk diskusi internal, diskusi eksternal, dan dialog kebangsaan dengan menda-tangkan pakar-pakar politik. Lebih lanjut Toma menjelas-kan esensi kegiatan BEM tidak pada penyelenggaraan event, melainkan mengajak mahasis-wa untuk terus kritis terhadap

masalah politik.Upaya pendidikan politik

bagi pemilih pemula telah ban-yak dicetuskan baik yang be-rasal dari pemerintah maupun non-pemerintah. “Program yang dirancang agar pemilih pemula melek politik sangat bagus, karena akan menam-bah kesadaran mereka untuk mencintai Indonesia,” ujar Kandyawan.

Selain pendidikan dari lem-baga maupun organisasi, saat ini muncul aksi pergerakan yang berasal dari media baru misalnya Change.org. Pada portal tersebut, semua kalan-gan dapat mengajukan petisi tentang suatu kasus termasuk politik dan dapat diajukan ke-pada pihak yang bersangkutan.

Mahasiswa Ilmu Komunika-si UNS, Anindya Pramura men-gatakan bahwa pergerakan seperti ini lebih mudah dan ada efek riil yang dihasilkan. “Sekarang memasuki era infor-masi, kalau nggak setuju sama pemerintah bisa langsung bikin petisi dan ada tindak lanjutnya kalau banyak massa yang men-dukung. Ya nggak usah turun ke jalan gitu,” tambahnya (21/6).

Pemuda BeraksiMenurut Kandyawan,

pemuda saat ini lebih dinamis jika dibandingkan zaman dulu. Adakalanya mahasiswa dapat menjadi proaktif dan sebalik- nya, apatis terhadap politik. Begitu pula dengan fenonema ketidaktertarikan berpolitik yang marak terjadi di kalangan pemilih pemula, tak semua kal-angan peduli terhadap hal ini. Misalnya seperti yang dilaku-

kan oleh sekelompok mahasis-wa Ilmu Komunikasi UNS.

Bentuk kepedulian mereka terhadap sikap apatis pemu-da ditunjukkan dengan adan-ya penyelenggaraan event seminar anti golput di mall. Menurut ketua pelaksana Ar-tono Hastodjaya, acara ini sen-gaja dilakukan di mal karena anak muda cenderung lebih suka datang ke mal daripada seminar tentang politik. Acara yang diselenggarakan di Har-tono Mall (6/6) ini mendapat animo yang cukup tinggi dari para mahasiswa.

Dalam seminar tersebut, Dosen Ilmu Komunikasi UNS, Sri Hastjarjo mengungkapkan saat ini pemuda dapat berper-an lebih aktif melalui sosial me-dianya. “Saat ini jempol lebih tajam daripada pena, karena orang dapat mempengaruhi lainnya dengan update status di sosial media,” ungkapnya.

Beragamnya informasi yang terdapat di media maupun so-sial media, dapat menentukan sikap proaktif pemuda terh-adap pemerintahan dengan mengawal keberlangsungan politik negara. Pengawalan ini dapat dilakukan dengan ber-bagai cara baik melalui diskusi ataupun beropini dalam forum publik.

(fatma, Tifani, Sarah)

Membuka Mata Penerus Bangsa

UTAMALAPORAN

“Beri aku sepuluh pemuda maka akan aku guncang dunia”. Begit-ulah jargon Soekarno yang populer dan kerap dielu-elukan untuk mengobarkan semangat para pemuda. Beberapa dekade pemerin-tahan yang telah bergulir pun melibatkan partisipasi para pemuda. Namun, saat ini terdapat fenomena yang menunjukkan minimnya partisipasi pemuda dalam masalah politik.

“Saat ini jempol lebih tajam dari-pada pena”

— Sri Hastjarjo

Page 7: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 VISI | No. 31/Th. XXI/201412 13

kita mencapai peran yang sama sebagai ma-hasiswa seperti yang seharusnya? Pertanyaan ini sepertinya menjadi pelecut bagi kita semua tanpa terkecuali. Mahasiswa saat ini seperti ke-hilangan jati dirinya. Dibungkam secara halus dan perlahan oleh sistem yang ada. Nyali dibuat ciut untuk berani mengkritisi kebijakan pemer-intah. Mengkritisipun, hanya berakhir diujung bibir. Mahasiswa kini sedang terlena akan tan-tangan arus globalisasi yang begitu kompleks. Yang seharusnya menjadi harapan masyarakat akan kekuatan moral dan politik,kini mulai sa-mar-samar adanya. Mahasiswa kebanyakan merasa risih ketika bersentuhan dengan apa-apa yang berbau politik.

Mendengar seruan aksi, justru menutup mata serta telinga. Bahkan dari sedikit maha-siswa yang turun aksi ke jalan, hanya beberapa saja yang paham akan esensinya. Yang terpa-rah, kampus tempat mereka menimba ilmu ser-ta menggali potensi diri, kini bergeser menjadi wadah akan halalnya politik praktis bagi maha-siswa. Maka demikian, kita sudah tahu jawaban atas pertanyaan diatas.

Kita percaya bahwa setiap jaman yang sela-lu berulang ini, memiliki pemimpin, aktor, serta tantangannya masing-masing. Mungkin saat ini, ruh pergerakan mahasiswa sedang terlelap. Meski aksi turun ke jalan masih dinilai omong kosong. Namun percayalah, semangat nasion-alisme itu masih ada, di manapun dan kapan-pun. Mahasiswa tempo “doeloe” dan sekarang ini tetaplah sama dengan tantangan yangber-beda. Akan memenuhi perannya dalam sebuah peradaban dimana mereka berada. Dan akan tiba waktunya nanti, dalam sebuah momentum yang telah ditakdirkan kepada para permuda dan mahasiswa sekarang ini, seruan aksi yang menggema akan disambut meriah oleh seluruh elemen masyarakat demi mencapai agenda pe-rubahan yang berarti.Dengan semangat, dan tu-juan yang satu.

“Jika ada seribu pemuda yang turun ke jalan, maka pastikanlah aku diantaranya. Jika ada ser-atus pemuda yang turun ke jalan, maka pasti-kanlah aku diantaranya. Jika ada sepuluh pemu-da yang turun ke jalan, maka pastikanlah aku diantaranya. Dan jika hanya ada satu pemuda

yang berjuang turun ke jalan, maka pastikanlah aku orangnya”.

Hidup Mahasiswa!

UTAMAArtikel

Mungkin memang kata-kata diataslah yang paling pantas untuk menggam-barkan bagaimana peran yang begitu

besar dalam setiap peradaban, sejatinya bera-da pada sosok parapemuda, dimanapun dan kapanpun. Karena dalam jiwa seorang pemu-da-lah puncak dari semangat dan keberanian itu bersemayam. Telah banyak sejarah di dunia mencatatkan,betapa peran serta kekuatan dari kalangan pemuda selalu berpengaruh dalam mencapai sebuahperubahan yang berarti, Indo-nesia termasuk salah satunya.

Dalam nuansa perayaan kemerdekaan yang ke-69 negeri kita ini, mari sejenak kita menilik ke belakang, mencoba memahami slogan “Jas Merah” yang didengungkan sang proklama-tor. Siapakah yang memiliki andil paling besar dalam upaya meraih kemerdekaan negeri ini? Ya, kita tentu tahu bahwa para “jong-jong”atau pemuda-pemuda Indonesia-lah yang mendesak golongan tua agar menyegerakan proklamasi tanda kemerdekaan, hingga akhirnya Indone-sia dipimpin oleh Presiden dari golongan muda. Seorang founding father, proklamator, dan nega-waran terbaik. Dialah Soekarno. Namun sayang, pada akhirnya Soekarno harus lengser akibat label ideologi Nasakomnya dan peristiwa G 30S yang menjadikannya titik balik kepemimpinan Soekarno serta membuatnya dibenci oleh mas-yarakat, termasuk sebagian para pemuda yang memutuskan berada di pihak militer, menduku-ng pelengseran Soekarno. Lalu digantikan oleh Soeharto dengan orde barunya.

Memasuki era orde baru, mulai dari sini, berbicara tentang sosok pemuda, maka maha-siswa-lah yang paling identik ataupun pantas

untuk mewakilinya.Pada dasarnya, mahasiswa memang merupakan kaum intelek muda yang diberi kesempatan lebih untuk belajar dengan harapan mampu mengaplikasikannya dan ber-manfaat ketika terjun di masyarakat. Oleh kare-na itu, mahasiswa kerap menjadi lakon dalam pentas perubahan di negeri ini.Dan pada era orde baru inilah ketika terjadi sebuah momen-tum besar, mahasiswa telah menunjukkan per-annya sebagai aktor utama.

Momentum yang merujuk pada tahun ’98, ialah penggulingan rezim Soeharto yang dinilai otoriter dan telah mengakibatkan keterpurukan rakyat dibalik agenda pembangunannya selama 32 tahun berkuasa. Mulai dari aksi turun ke jalan menolak masuknya modal asing agar terhindar dari ketergantungan, hingga aksi kemanusiaan atas kasus pelanggaran HAM yang terjadi sela-ma masa Orde Baru. Pada saat itu mahasiswa secara murni memperjuangkan hak-hak rak-yat dan melawan ketidak adilan yang terjadi, menuntut reformasi dan demokratisasi segera. Merekalah mahasiswa yang selalu kritis men-gawal kebijakan pemerintah, mahasiswa yang merasa gatal ketika berdiam diri menyaksikan rakyatnya berteriak memohon keadilan, maha-siswa yang benar-benar menyandang lengkap intelektualitas, idealisme, serta nasionalisme yang tinggi terhadap negerinya. Begitulah kira-kira rupa perjuangan mahasiswa pada masa Orde Baru.

Setelah mengetahui bagaimana peran strat-egis seorang pemuda khususnya mahasiswa, lantas muncul pertanyaan dalam benak kita. Kita yang lahir di era pasca reformasi ini. Kita yang mengaku sebagai mahasiswa, sudahkah

Mahasiswa, “Doeloe Dan Kini”

”Dari dulu hingga sekarang, pemuda merupakan pilar kebangkitan. Dalam setiap kebangkitan, pemuda ada-lah rahasia kekuatannya. Dalam setiap fikrah, pemuda adalah pengibar panji panjinya.”

— Hasan Al-Banna

Aji NugrohoPresiden BEM FISIP UNS

Periode 2014/2015

Page 8: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 VISI | No. 31/Th. XXI/201414 15

Keberlangsungan Kuriku-lum 2013 dirasa lancar bagi sejumlah pihak ter-

utama dari pihak Dinas Pen-didikan Pemuda dan Olahra-ga (Disdikpora). Namun, tak semua berpendapat demikian. Banyak akademisi yang masih memperdebatkan masalah kurikulum 2013 jika dibanding-kan dengan kurikulum sebel-umnya, yakni KTSP.

“Kalau dilihat secara fisik, kurikulum 2013 ini telah dikon-disikan dengan lingkungan sehingga tidak teoritis sekali. Jadi, selalu dihubungkan den-gan kehidupan nyata karena terdapat aspek baru menge-nai penilaian,” ujar Sri Waha-rtojo Asisten Kurikulum 2013 SMK Warga Surakarta, Kamis (13/3). Pada kurikulum 2013 ini terdapat sejumlah aspek baru yang menjadi penyempurnaan dari kurikulum sebelum-sebel-umnya. Penilaian dilakukan lebih mendalam dimana tak hanya menggunakan penilaian kuantitatif saja melainkan juga kualititatif. M\enurut Waharto-jo, penilaian kualitatif merupa-kan penilaian secara deskriptif.

Baru Uji CobaDari segi muatan kuriku-

lum, KTSP dengan Kurikulum 2013 tak jauh berbeda, hanya saja dari segi pelaksanaan KTSP dan Kurikulum 2013 terdapat perbedaan dalam sasarannya. Pada awal ditetapkannya KTSP, serentak seluruh sekolah di Indonesia melaksanakan pro-gram pendidikan tersebut. Se-dangkan Kurikulum 2013 baru diterapkan di sekolah-sekolah yang ditunjuk oleh Kemen-terian Pendidikan dan Kebu-dayaan (Kemendikbud).

Hasil yang dicapai Kuriku-lum 2013 belum maksimal ka-rena pelaksanaannya masih dalam tahap uji coba. Seperti yang dijelaskan oleh Rizky Set-yaningrum Guru SMP Negeri 1 Surakarta. ”Kurikulum 2013 itu baru diimplementasikan di beberapa sekolah sebagai per-cobaan awal. Ini diberlakukan demikian karena pemerintah ingin mengetahui hasilnya sep-erti apa ketika diimplementasi-kan di sekolah dengan tipe A, B, C, dan D,” ujarnya.

Rizky mengatakan selama ini penerapan kurikulum hanya

terpusat pada sekolah-sekolah yang pemerintah anggap itu unggulan, sehingga perlu un-tuk penerapan pada sekolah dengan skala menengah dan ke bawah. Pemerintah ber-harap bisa tahu hasil ke depan seperti apa apabila sudah bisa diimplementasikan ke seluruh sekolah.

Penerapan kurikulum baru ini juga ditujukan pemerintah untuk membentuk karakter siswa-siswi di sekolah, teru-tama masalah budi pekerti. “Harus ada contoh nyata dari pendidikan karakter itu. Mung-kin mereka diarahkan pada pendidikan karakter secara real seperti kunjungan ke panti asuhan yang menyangkut pada sisi sosial, tidak hanya belajar di kelas,” tutur Budi Setiyono Kepala Seksi Kurikulum SMA/K dan Sederajat Disdikpora Surakarta.

Penilaian kuantitatif mer-upakan model penilaian baru untuk siswa sekolah. Sebelum-nya penialaian hanya diberikan dengan angka. Hal ini tak pelak menimbulkan kebingungan bagi sebagian guru yang harus memberikan penilaian secara kualitatif. Terutama penilaian yang yang berkaitan dengan ketaqwaan dan kejujuran. Menurut Rizky dua penilaian itu merupakan contoh hal-hal abstrak yang harus dinilai.

“Banyak yang bertanya-tan-ya bagaimana orang menilai

kejujuran di dalam kelas. Ket-aqwaan itu kan tidak bisa ser-ta merta kita nilai. Siswa yang tak begitu paham tentang pe-lajaran agama tidak tentu ket-aqwaannya lebih rendah dari pada yang pandai,” ungkap Rizky.

Subjektivitas Penilaian Kual-itatif

Rizky juga menambah-kan, penilaian kualitatif atau deskriptif membuka peluang bagi para tenaga pendidik un-tuk melakukan penilaian sub-jektif karena cenderung relatif dalam penilaian. Pasalnya be-lum ada indikator yang jelas dalam penilaian secara kuali-tatif ini. Maka, penilaian satu guru dengan guru yang lain akan berbeda, tergantung sub-jektifitas mereka.

Hal itu senada dengan yang-diucapkan Wahartojo. “Pada penilaian terhadap siswa, guru bersifat hanya mengambil ke-simpulan sedangkan siswa diberi kebebasan untuk ber-pikir dengan didampingi guru sebagai fasilitator. Penilaian deskriptif erat kaitannya den-gan pendapat karena berupa anggapan atau pandangan se-seoran,” tuturnya.

Wahartojo juga mengaku kerepotan mengurus proses administrasi yang baru diter-apkan dalam kurikulum 2013 . Misalnya saja menurut Wahar-tojo, wali kelas lumayan repot karena harus menuliskan ten-tang perkembangan siswa se-cara deskriptif. Hal ini ditujukan agar setelah lulus dan mencari pekerjaan, perusahaan akan tahu bagaimana perkemban-

gan calon pekerjanya selama masih bersekolah. Namun, Wa-harjoto menjelaskan bahwa se-tiap tahun, kelas akan diampu oleh wali kelas yang berbeda. Sehingga sulit untuk mengeta-hui perkembangan siswa se-cara jelas dari tahun ke tahun selama masa belajar.

Terlihat bahwa pemerintah dalam penerapan kurikulum baru ini sebenarnya masih jauh dari kesiapan. Kesiapan dan pelaksanaannya masih cenderung belum sesempurna program yang sudah disusun. Meski begitu pihak pemerintah pusat masih berusaha untuk memperbaiki kekurangan pada sisi pembekalan kurikulum baru ini. “Tahun ini Kemendik-bud berencana mengirimkan pelatih-pelatih baru untuk semua sekolah di Indonesia, lebih mantap dan paham men-genai Kurikulum 2013 sehing-ga yang diberi pelatihan juga tahu,” kata Rizky.

Dibalik pelaksanaan Kuri-kulum 2013 yang masih perlu perbaikan terdapat satu poin penting dalam pelaksanaan-nya terutama didalam sistem penyampaian mata pelajaran, misalnya matematika. Wahar-joto mengetakan perlu adanya contoh dalam pengaplikasian dalam kehidupan sehari-hari. “Penekanan di konstektual dengan dihubungkan pada kehidupan sehari-hari. Soal-soal yang diberikan oleh guru mestinya dihubungkan dengan contoh nyata yang ada di ke-hidupan sehari-hari,” katanya.

Waharjoto berharap pen-yampaian materi pelajaran tak lagi terpaku pada kegiatan di

kelas. Karena penyampaian pe-lajaran matematika mengenai materi penjumlahan perlu un-tuk dicontohkan, dipraktekkan, dan diimplementasikan sesuai dengan keadaan sebenarnya. Jika perlu pengajarannya bisa bersifat outdoor.

(Chairunnisa, Ikrar)

Kurikulum 2013 merupakan kurikulum ke-10 yang tak lagi asing dan diperbincangkan di media sosial. Sudah sekitar satu tahun kuriku-lum ini berjalan di sebagian SD hingga SMA/K di Indonesia, termasuk di Kota Surakarta. Munculnya Kurikulum 2013 ini tak lantas meng-geser posisi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang telah dilaksanakan sejak 2006. Karena Kurikulum 2013 baru diberlakukan di beberapa sekolah percontohan yang ditunjuk oleh dinas pendidi-kan pusat.

Menuju Kurikulum 2013

Perlu Sempurnakan Pelaksanaan

PEKTRUMS

Page 9: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 VISI | No. 31/Th. XXI/201416 17

Pada sekolah tingkat SD, terdapat 12 Sekolah yang telah melaksanakan kuri-

kulum 2013. “Sekolah-sekolah tersebut antara lain SDN Tem-pel, SDN Kleco 1, SDN Krato-nan, SDN Begalon 2, SDN Bu-lukantil, dan SDN Bayan,” kata Tatik Sudiarti Kepala Seksi Kuri-kulum SD & AUD Dinas Pen-didikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Surakarta saat ditemui VISI di ruang kerjanya, Senin (28/10/2013).

Pelaksanaan kurikulum 2013 ini sambung Tatik, dilaku-kan berdasarkan penunjukan

dari disdikpora pusat. Waktu pelaksanaannya pun disesuai-kan dengan tahun ajaran 2013/2014.

Sedangkan pada tingkat SMP, terdapat enam sekolah di Solo yang saat ini sedang menjalankan kurikulum 2013. Seperti yang dikatakan oleh Waliyono Kepala Seksi Kuriku-lum SMP Disdikpora Solo enam sekolah yang sedang menjalan-kan kurikulum 2013. “Sekolah menengah pertama yang saat ini menjalankan kurikulum 2013 adalah SMP Negeri 1, SMP Negeri 4, SMP Negeri 12, SMP

Keruwetan Sekolah di Solo Terapkan Kurikulum 2013

Sebagian sekolah baik tingkat dasar, menengah pertama maupun tingkat atas di kota Solo telah ditunjuki untuk menerapkan kuriku-lum 2013. Sebagai kurikulum baru, guru dan murid ditantang untuk menyiapkan diri sebaik mungkin. Meski sudah mulai diterapkan ta-hun ini, banyak di antara guru dan murid yang belum sepenuhnya melakoni aturan dengan benar

Al Irsyad, SMP Sarsita Budi, dan SMP Al Islam 1,” tuturnya.

Untuk tingkat menengah atas, setidaknya ada 15 sekolah yang telah ditunjuk untuk mel-aksanakan kurikulum baru tersebut. Budi Setiyono Kepala Seksi Kurikulum SMA/SMK Dis-diskpora Solo menjelaskan ter-dapat enam sekolah yang telah melaksanakan kurikulum 2013 yaitu SMAN 1, SMAN 3, SMAN 4, SMA Regina Pacis, SMA Batik 1 Surakarta, dan SMA MTA. Se-dang untuk SMK ada sembilan, yakni SMKN 2, SMKN 3, SMKN 4, SMKN 5, SMKN 6, SMKN 7, SMKN 8, SMKN 9, dan SMK Warga.

Pemateri Kurang PahamMeski pelaksanaan Kuriku-

lum 2013 di Kota Solo dapat dikatakan cukup berjalan den-gan baik, namun, pada pelaksa-naannya masih terganjal pada beberapa hal, seperti pem-bekalan guru. “Pemateri yang bertugas memberikan pelati-han pada guru-guru terlihat kurang paham. Ketika guru-gu-ru yang diberi pelatihan itu bertanya, kebanyakan mereka tidak bisa menjawab. Padahal mereka orang yang ditunjuk langsung oleh Kemendikpo-ra,” keluh Rizky Setyaningrum salah satu guru SMPN 1 Solo (28/10).

Berbeda dengan Rizky, Waliyono justru mengatakan perkembangan dari kurikulum

2013 yang sedang diterapkan saat ini berjalan lancar. Hal itu ditinjau dari kemampuan sekolah untuk berjalan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan. Na-mun, dibalik itu, kurikulum ini masih belum dilaksanakan di seluruh sekolah.

“Yang melaksanakan kuri-kulum 2013 baru sebagian se-kolah, karena masih dalam pro-gram uji coba,” jelas Tatik sang Kepala Seksi Kurikulum SD & AUD itu. Tatik menambahkan, kalaupun ingin menggunakan kurikulum 2013, sekolah-se-kolah tersebut harus melewati tahap latihan terlebih dahulu. Pada kurikulum 2013, guru yang mengajar dalam kuriku-lum ini tak asal dipilih namun harus melewati TOT (Trainer of Trainer).

Menyoroti kesiapan guru dan sarana prasarana di se-kolah, dikatakan bahwa semua sekolah memiliki kesiapan yang cukup. “Dari guru sendiri, memang sudah dipersiapkan dengan hasil pelatihan kalau sarana prasarana sudah diper-siapkan langsung dari Kemen-trian Pendidikan,” ujar Wali-yono.

Tetapi pada pelatihan itu sendiri, masih terdapat kenda-la dengan kesiapan pemateri. “Pembekalan tidak sekadar sosialisasi, diberi buku, juga mempraktekan buku tersebut di dalam kelas. Tetapi, ketika ditanya hal-hal yang masih mengganjal, tindak lanjutnya seperti apa, mereka tidak bisa menjawab,” jelas Rizky.

Ketersediaan BukuWaliyono menambahkan,

buku yang digunakan merupa-kan buku-buku yang diberikan langsung dari pusat tanpa di-pungut biaya, di mana penye-barannya melalui Disdikpora. “Jadi dari pusat buku-buku tersebut diserahkan kepada Disdikpora untuk kemudian dilanjutkan ke sekolah-sekolah yang menjalankan kurikulum 2013 tersebut,” terang Wali-yono.

Sedang Tatik menjelas-kan, buku tak boleh berasal dari luar penerbit Jakarta yang sudah ditunjuk dan diserahi tugas. “Kalaupun ada pener-bit luar yang akan memasok buku pun harus bekerja sama dengan pusat. Untuk penggu-naan Lembar Kerja Siswa (LKS) masih diperbolehkan, karena merupakan pengayaan bukan buku materi,” tutur Tatik.

Namun, saat ini penyupla-ian buku menurut Kepala Bagi-an Kurikulum SMA/K Sederajat, Dinas Pendidikan dan Kebu-dayaan kota Surakarta masih belum sepenuhnya. Buku yang ada saat ini baru matematika dan bahasa Indonesia. Lebih lanjut Budi menerangkan, kuri-kulum 2013 memiliki sistem mengajar yang berbeda.

“Sistem mengajarnya ber-tumpu pada siswa itu sendiri karena sistem penilaian juga berbeda, secara kualitatif dan kuantitatif. Kuantitatif diukur dengan angka-angka, kualita-tif diukur dengan sikap atau afektifnya,” imbuhnya. Tatik menambahkan pada kuriku-lum 2013 sistem mata pelaja-ran berbasis tematik. “Beber-

apa mata pelajaran dijadikan satu tema, misal penerapan materi pada kehidupan se-hari-hari,” ungkapnya.

Waliyono berpendapat Kurikulum 2013 lebih mengun-tungkan apabila dibanding-kan dengan Kurikulum Ting-kat Satuan Pendidikan (KTSP). “Kekurangan-kekurangan di KTSP itu dipenuhi di kuriku-lum 2013. Contohnya dari segi penilaian nilai, diklarifikasikan ke dalam empat skala. Lalu kemudian ada kolom deskripsi sehingga penilaian lebih kom-plit dan orang tua tahu jelas bagaimana perkembangan anaknya di sekolah,” dalihnya. Waliyono menambahkan, pada kurikulum 2013 dalam sistem penilaian terdiri atas nilai peng-etahuan, nilai sikap, dan nilai terampil yang meliputi spiritual (keagamaan), nilai sosial, dan kerja kelompok.

Persiapan Ujian NasionalKetika ditanya mengenai

sistem yang disiapkan menuju Ujian Nasional (UN), Tatik men-jelaskan kurikulum 2013 pada tingkat SD tidak bisa langsung digunakan untuk seluruh kelas. “Untuk kelas I dan IV menggu-nakan kurikulum baru, sedang sisanya menggunakan kuriku-lum yang lama,” tuturnya.

Tatik menuturkan perlu proses selama tiga tahun hing-ga seluruh kelas mulai meng-gunakan kurikulum baru. Sis-tem tersebut menunggu siswa dari kelas I naik kelas hingga kelas III dan kelas IV naik hing-ga kelas VI, akhirnya otomatis satu sekolah sudah menggu-nakan kurikulum baru. Hal

Dok. VISI/IlhamKeaktifan Murid- Pada sistem Kurikulum 2013 siswa-siswa dituntut untuk lebih aktif dan mengeksplorasi kemampuannya pada pelajaran di kelas.

PEKTRUMS

Page 10: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 VISI | No. 31/Th. XXI/201418 19

ini juga berlaku untuk tingkat SMP, yaitu memulai kurikulum baru dari kelas VII dan SMA dari kelas X. Sehingga untuk uji-an selama dua tahun ke depan (hingga 2015) masih menggu-nakan kurikulum KTSP.

Namun, ketika ditanya bagaimana UN kurikulum 2013 dilaksanakan, Tatik menga-ku belum ada bayangan pas-ti mengenai sistem UN pada kurikulum 2013 ini. Ketika dis-inggung tentang anggapan di kalangan masyarakat bahwa Indonesia sering mengganti kurikulum sehingga menimbul-kan kebingungan pada siswa dan guru, Waliyono menjelas-kan, kurikulum yang terkesan gonta-ganti itu terus mengala-mi penyempurnaan, tetapi juga takut tertinggal dengan negara lain. “Peningkatan disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Mengingat zaman sekarang legalisasi itu berkembang ter-us sehingga kurikulumnya disesuaikan, takutnya nanti kita ketinggalan dengan negara lain,” imbuhnya.

Character Building Terdapat kelebihan

yang ada pada kurikulum baru ini seperti buku-buku yang tengah disiapkan dan tanpa dipungut biaya. Selain itu ter-dapat juga penanaman char-acter building atau pendidikan karakter bagi para siswa lewat program yang dibuat oleh se-kolah masing-masing.

Menurut Tatik, kurikulum 2013 menargetkan untuk dapat memberi pendidikan karakter. “Biar rasa kesosialisasian anak terpupuk, selain itu menggali

kemampuan anak secara ek-sploratif,” ungkap Tatik. Tatik menambahkan pada pendidi-kan karakter diharapkan mam-pu memotivasi anak secara kontekstual dan sesuai dengan lingkungan. “Ketika anak ter-bangun karakternya diharap-kan mampu mengaplikasikan materi dalam kehidupan se-hari-harinya,” tutup Tatik.

(Ilham, Insyirah)

odiumP

Page 11: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 VISI | No. 31/Th. XXI/201420 21

Kolom

Dalam Gelumbang.com M. Slistya menjelas-kan Pemprov DKI Jakarta menyatakan bahwa di dalam kurikulum 2013/2014

akan dihapuskan tiga mata pelajaran wajib bagi tingkat pendidikan kelas 1 s/d 3 SD (Sekolah Dasar). Tiga mata pelajaran yang dihapus itu adalah, Bahasa Inggris, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan Pendidikan Jasmasi dan Kesehatan (Penjaskes).

Kompas.com- Penghapusan mata pelaja-ran Penjas, Bahasa Inggris dan TIK, di sekolah dasar (SD) oleh Kemendikbud karena dianggap hanya membebani siswa resmi dimulai tahun ajaran 2013/2014 ini. Penghapusan rencananya akan dilakukan secara bertahap sampai tahun ajaran 2016/2017 mendatang. Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taufik Yudi Mulyanto mengatakan, tiga mata pelajaran itu akan di-geser menjadi kegiatan ekstrakurikuler, tak lagi menjadi mata pelajaran utama. "Bidang studi ini sama kedudukannya dengan Pramuka, Unit Kesehatan Sekolah (UKS), dan lain-lainnya," kata Taufik kepada wartawan, di Jakarta, Selasa (10/12/2013).

Akan tetapi menurut pernyataan Kemen-trian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendik-bud), Rohan Mohandas dalam Gelumbang.com menyatakan bahwa memang sejak dulu Bahasa Inggris itu tidak ada di dalam kurikulum tingkat SD. Yang ada adalah kurikulum tingkat kelas 1 SMP. Sehingga beliau menyampaiakan memang sejak dulu di dalam struktur kurikulum yang ada, memang tidak wajib. Sehingga istilah di-hapuskankannya mata pelajaran Bahasa Inggris, tidaklah tepat.

Mau dihapuskan? Sebelumnya mari kita cek ulang, seperti yang telah disampaikan Bapak Moh. Nuh memang adakah mata pelajaran tersebut di kurikulum sekarang? Sebagian be-sar dari kita menganggap bahwa mata pelajaran

tersebut merupakan sebuah mapel yang berat. Senin (16/12/2013) malam, Mohammad Nuh ketika di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, menga-takan bahwa dalam Kurikulum 2013 juga tidak ada mata pelajaran bahasa Inggris, maka tidak ada penghapusan mata pelajaran itu karena memang tidak ada. Sudah jelas bukan? Bukan penghapusan, tepatnya yaitu pergeseran posi-si ke arah yang tepat dari lingkup materi wajib menjadi posisi materi opsi atau pilihan.

Maksud pemerintah menjadikan mata pela-jaran Bahasa Inggris tidak menjadi materi wajib, karena dianggap bahasa asing yang bisa dipela-jari siswa bukan hanya Bahasa Inggris saja tapi bias Bahasa Jerman, Jepang, Belanda atau lain-nya. Kemudian untuk mata pelajaran Penjaskes itu justru harus ada karena agar siswa lebih pada pengenalan olahraga, cara menjaga kebersihan, dan makanan sehat.

Ketiga mata pelajaran ini akan dinilai lebih kepada pengaplikasian Emotional Quotient (EQ). Harapannya para siswa akan mendapatkan ma-teri pengajaran dengan lebih menyenangkan dan kreatif. Selain itu, ketiga mata pelajaran ini, juga tidak akan diujikan di dalam Ujian Akhir Se-kolah (UAS).

Penghapusan UN?UN itu sebenarnya tidak harus dihapuskan,

tetap dilaksanakan pun tidak mengapa, na-mun tujuannya bukan dijadikan sebagai bahan penentuan kelulusan seorang siswa, namun hanya digunakan sebagai bahan untuk melihat ketercapaian tujuan pembelajaran. Kembali lagi juga pada program pemerintah (Wajib Belajar 9 tahun), bayangkan jika mereka yang sudah men-galami tidak lulus SD kemudian berhenti dan tidak melanjutkan ke SMP. Jika hal itu terus ter-jadi hanya karena semua keputusan didasarkan pada nilai UN saja maka program pemerintah

tak akan tercapai secara optimal.Meski tiga mata pelajaran ini dialihkan men-

jadi ekstrakurikuler atau mata pelajaran opsi, peserta didik akan tetap disuguhkan pelajaran Bahasa Inggris, dalam metode kreatif. Ramon dalam Republika.co.id mengatakan bahwa Baha-sa Inggris dan TIK, merupakan mata pelajaran muatan lokal. Artinya setiap SD boleh memasuk-kan atau tidak memasukkan bahasa Inggris dan TIK dalam mata pelajarannya.

“Muatan lokal itu,” ujar Ramon, “selain baha-sa Inggris, TIK, juga pelajaran seni budaya, dan prakarya. Pada intinya semua SD boleh menam-bah mata pelajaran muatan lokal namun jangan sampai penambahan muatan lokal mengurangi jam pelajaran yang ada di kurikulum.”

Penghapusan Mapel AtaukahPergeseran Posisi, Ya?

Oleh Oktina DamaryantiMahasiswi Pendidikan Guru SD (PGSD) UNS

Page 12: Majalah VISI 31

Mahasiswa UNS dalam Genggaman Smartphone

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 VISI | No. 31/Th. XXI/201422 23

budak kita. Itu kan alat yang membantu kita, jadi gunakan untuk hal yang penting. Bukan hiburan semata,” tuturnya.

Stefan juga memberikan saran dalam menggunakan gadget. Aksesnya yang cepat untuk brows-ing maupun mengirim pesan secara online memang jadi kekuatan smartphone. Akan tetapi, bijak da-lam menggunakan alat canggih tersebut sangatlah perlu. “Bijaklah menggunakan teknologi. Jangan sampai kita mengabaikan dunia sekitar hanya karena sibuk dengan gadget,” pungkasnya.

(Tim Redaksi LPM VISI)phone selama tiga tahun ini leb-ih memanfaatkan gadget-nya untuk chatting dengan messen-ger application. WhatsApp dan BBM misalnya, ia sangat aktif di dua aplikasi tersebut teruta-ma untuk berinteraksi dengan teman-keman kuliah.

Tak berbeda dengan Ste-fan Ardi mahasiswa D3 Akun-tansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UNS. Stefan juga sering menggunakan smart-phone yang ia punya untuk mencari informasi terbaru dari teman-tamannya mengenai perkuliahan. “Biasanya untuk cari tahu soal tugas-tugas kuli-ah, selain itu juga beberapa kali saya gunakan untuk belan-ja online via messenger applica-tion,” ujar Stefan.

jadi CanduDari jawaban dua mahasis-

wa tadi, muncullah kesimpu-lan bahwa smartphone begitu penting bagi mereka untuk berkomunikasi. Lantas, apa-kah mereka sampai kecanduan smartphone sampai susah lep-as dari alat komunikasi terse-but?

“Kalau saya sih nggak selalu pegang smartphone ya, apalagi kalau nggak ada yang penting. Jadi kalau di hitung dalam se-hari paling lama saya hanya intensif pegang handphone tiga jam. Mungkin kalau ditantang harus lepas dari smartphone,

Apa yang anda lakukan setiap bangun pagi? Dulu, mungkin anda

akan menjawab pergi ke kamar mandi atau merapikan tempat tidur. Akan tetapi, masihkan anda akan menjawab seperti itu sekarang? Mungkin tidak lagi demikian. Baru saja membuka mata, banyak orang terutama para kawula muda langsung mencari gadget-nya. Seberapa besar gadget mempengaruhi kehidupan sehari-hari kalan-gan muda saat ini?

Edisi kali ini, VISI akan menyajikan data mengenai seberapa penting keberadaan smartphone bagi mahasis-wi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Bagaimana para mahasiswa di UNS mengguna-kan teknologi yang merupakan salah satu gadget yang kini marak digunakan masyarakat tersebut dalam kehidupan mereka?

“Sekarang smartphone itu memang nggak bisa dipisah-kan, terutama untuk maha-siswa. Setiap hari kita butuh telepon yang canggih, baik buat browsing, diskusi tugas kelompok, termasuk buat hibu-ran,” kata Silvia Christina Sari mahasiswi Hubungan Masyar-akat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNS, Rabu (15/10).

Gadis berkacamata yang sudah menggunakan smart-

saya hanya sanggup dua hari aja,” ucap Silvia.

Sedangkan Stefan tern-yata hanya sanggup melepas gadget-nya selama tiga jam, tak termasuk saat ia tidur. Akan tetapi, ternyata ia memiliki aturan waktu dalam menggu-nakan gadget. “Setiap malam sebelum tidur pasti data cellu-lar selalu saya matikan. Karena nggak mau keganggu kalau lagi istirahat, baru kalau bangun saya aktifkan lagi,” katanya.

Stefan juga tak bisa jauh-jauh dari smartphone-nya bu-kan tanpa alasan yang penting. Selama ini ia sering menyimpan data-data kuliah dan organisasi di dalamnya. Hal itu ia anggap lebih mudah daripada memba-wa laptop kemana-mana.

jangan DiperbudakMeskipun masalah tugas di-

jadikan alasan Silvia dan Stefan untuk sering-sering menggu-nakan smartphone, tapi tern-yata keperluan pribadi masih mendominasi aktivitas mereka dalam memanfaatkan gadget. Paling tidak, 60% dari seluruh aktivitas yang mereka laku-kan, digunakan untuk keper-luan pribadi seperti hiburan dan berjejaring sosial dengan teman yang jauh.

Menurut Silvia, memang su-sah untuk terlepas dari gadget. “Gadget memang penting, tapi jangan sampai gadget memper-

ekakenS

Page 13: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 VISI | No. 31/Th. XXI/201424 25

Solo International Performing Arts (SIPA) 21.09.2013

Solo Carnival 22.02.2014

Solo Carnival 22.02.2014

Solo Batik Carnival (SBC) 3 22.06.2014

Solo Menari 30.04.2014

Page 14: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 27

Relokasi PasarBikin Sepi

Kota Solo tak hanya terkenal dengan budayanya, terkenal juga dengan pasar-pasar tradisonalnya. Beberapa tahun terakhir ini, Pemerintah Kota Surakarta terlihat semak-in gencar merevitalisasi dan merelokasi pasar-pasar tradisional. Akan tetapi, upaya Pemkot untuk memperbaiki tempat perbelanjaan ini tak jarang menimbulkan berbagai polemik di kalangan pedagang.

KHUSUSLAPORAN

Keluarga Pengurus LPM VISImengucapkan selamat atas

diwisudanya:•WahyuYuliastutiWidorini,S.I.Kom(Pemimpin Redaksi 2011/2013)•FauziahNurlina,S.I.Kom(Staf Litbang 2011/2013)•RudhyantoCahyoNugroho(Staf Usaha 2010/2011)•AdrianWisnuAji,S.Sos(Staf Usaha 2011/2013)•SenjaKurniaFitri,A.Md(Staf Litbang 2011/2013)

Page 15: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 VISI | No. 31/Th. XXI/201428 29

Salah satu yang telah di re-lokasi tahun-tahun tera-khir ini adalah pasar ikan

hias yang dulunya berada di se-kitar Pasar Gedhe. Pada masa relokasi, pro dan kontra di kalangan pedagang. Ada yang bersedia untuk pindah, namun tak sedikit yang terpaksa me-mindahkan dagangannya ke pasar yang baru.

“Saya terpaksa harus pin-dah tanggal 23 Januari 2014 yang lalu, kalau tidak pindah listrik dan pompa air dimati-kan, lha kalau kaya gitu ikannya nanti ikut mati. Jadi mau tidak mau ya harus ikut pindah,” kata Rini (40) pedagang pasar ikan saat ditemui VISI, Jumat (4/4).

Himbauan relokasi menurut Rini sudah dikumandangkan sejak Januari tahun 2012. Tapi rencana itu gagal dan diaju-kan kembali untuk direlokasi tahun berikutnya. Merelokasi pasar memang bukan perkara mudah, nyatanya Pemkot baru resmi merelokasi pasar ikan tersebut ke Pasar Ikan Depok 28 Desember 2013. Itu pun masih terdapat beberapa ped-agang yang belum bersedia memindahkan dagangannya ke area relokasi baru dan tetap bertahan di area sekitar Pasar Gedhe. pasalnya, menurut para pedagang relokasi terse-but dapat mengurangi omzet pendapatan mereka.

“Pelanggan kan memang sudah biasa ke sekitar Pasar Gedhe kalau cari ikan hias ya pasti kesana, jadi kalau pindah nanti mereka bingung. Selain itu kalau di depok itu tempat-nya agak di pinggiran, kurang strategis seperti di Pasar Ge-

dhe yang di tengah kota ini,” ucap Rini.

Kondisi Pasar Baru Pasar ikan hias Depok be-

ralamat di jalan Depok, Sum-ber, Banjar Sari, Solo. Wilayah-nya memang sedikit terpinggir, berbeda jauh dengan Pasar Gedhe yang berada di tengah kota. Di hari-hari biasa, pasar ini terbilang sepi pembeli. Se-dangkan hari Minggu pasar ini terlihat ramai karena ban-yak orang yang berjalan-jalan di Stadion Mahahan mampir ke pasar ikan tersebut. “Sini (Pasar Depok -red) itu kan dekat dengan Stadion Man-ahan. Biasanya kalau habis jalan-jalan minggu di Mahanan pada mampir ke pasar burung. Karena bersebelahan dengan pasar burung, jadi pasar ikan ikut ramai juga,” tutur Rini.

Tak hanya sepi pembeli, waktu berjualan di Pasar Ikan Depok juga dibatasi. Menurut penuturan Rini, para pedagang hanya bisa berjualan dari pukul 08.00 pagi sampai pukul 18.00 petang. Sementara, saat masih menempati pasar ikan sebel-umnya, mereka diperkenankan berjualan hingga larut malam. “Dulu di sekitar Pasar Gedhe kalau makin malam itu makin rame, jadi banyak yang jualan sampai larut malam. Kalau di pasar yang sekarang paling ra-menya kalau menjelang sore, itupun tak seramai yang di Pasar Gedhe,” kata Rini.

Fasilitas untuk pedagang di Pasar Depok sudah cukup baik. Pompa air yang dulunya sem-pat rusak juga telah diperbaiki. Akan tetapi, sambung Rini, hal

yang dipersoalkan utamanya ialah sepinya pembeli bukan masalah fasilitas. “Kalau ban-gunan pasar, memang bagu-san di Depok ini. Tapi kan yang di sekitar Pasar Gedhe itu lebih ramai. Banyak yang lalu lalang, apalagi letaknya dekat dengan balai kota,” ujarnya.

Problem lamaRelokasi pasar merupakan

suatu inovasi bagi penang-gulangan masalah ketertiban kota dan pedagang kali lima . Namun faktanya, sebagian pasar hasil relokasi memiliki permasalahan yang sama tan-pa penyelesaian yang mengun-tungkan bagi para pedagang. Sebut saja Pasar Panggung Rejo, pasar relokasi yang su-dah berdiri sejak tahun 2009 ini pun tak kunjung mengem-balikan kondisi pasar seperti lokasi semula. Masalah utama yang akan ditimbulkan oleh adanya relokasi bagi pedagang adalah pelanggan yang kesusa-han mencari lokasi yang baru.

Adanya relokasi membuat para pedagang resah bila nantinya pelanggan kurang menyukai tempat berjualan yang baru dan berpindah ke penjual yang lain. Jadi, untuk melaksanakan relokasi, diper-lukan pemikiran yang kom-perehensif. Menurut Ibrahim Fatwa Wijaya dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UNS Solo, hal-hal yang perlu diper-timbangkan dalam relokasi pasar adalah mengenai akses.

“Akses yang saya maksud meliputi lokasi dan transportasi menuju pasar, kemudian fasili-tas seperti lahan parkir, struk-

tur desain bangunan pasar, memahami kultur pembeli dan sistem manajerial pasar. Mengenai kultur ini contohnya adalah kultur orang indone-sia yang males jalan dan suka naik motor, otomatis pasar harus memiliki lahan parkir kendaraan bermotor yang luas untuk memenuhi kebutuhan pembeli,” kata pria yang akrab disapa Boim tersebut.

Sudah banyak pasar dan pedagang kaki lima yang men-galami relokasi di Kota Solo. Berhasil atau tidaknya pro-gram ini bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah. Pasar yang baru seperti Pasar Ikan hias Depok ini memerlu-kan dukungan dari seluruh el-emen masyarakat yang ada di lingkungan pasar. Tidak terke-cuali pedagang terkait. Dibu-tuhkan usaha dari pedagang untuk mempromosikan dagan-gannya di tempat yang baru untuk menarik minat pembeli.

Hal ini pula yang dilakukan Hari yang juga pedagang di Pasar Ikan Depok. Untuk me-narik calon pembeli, pedagang yang sudah berjualan selama kurang lebih tujuh tahun ini menata akuarium ikannya agar terlihat lebih menarik. seperti menghias akuarium lampu ber-warna-warni. Pria asli Solo ini memanfaatkan lorong pinggir jalan untuk dijadikan sebagai tempat display ikan-ikan yang dijualnya. “Kebetulan saya tidak dapat tempat di tengah tapi dipinggir, tapi ini malah menjadi kelebihan tersendiri karena display akuarium saya sudah bisa dilihat dari luar un-tuk menarik perhatian pem-

beli,” kata Hari yang berharap pasar ikan depok ini lebih dike-nal dan lebih berkualitas.

Senada dengan hal terse-but, Boim merasa bahwa perlu adanya suatu kreativitas da-lam pengelolaan pasar. Dosen yang sempat menimba ilmu di Brimingham ini menceritakan tentang keunikan pasar yang ada di Inggris Raya tersebut. Baginya, sebuah pasar dapat berjalan secara efektif karena adanya positioning yang tepat.

“Di Brimingham itu super mall bisa bersandingan den-gan pasar-pasar tradisional yang menjual sayuran, akse-soris handphone, juga daging dan ikan. Namun, pasar itu dipisah-pisah dengan sebuah jalan kecil dan semua punya positioning sendiri. Misalnya untuk masyarakat muslim yang ingin membeli daging halal di mall kan susah, mereka lebih senang ke pasar tradisional karena disana ada kios-kios daging halal. menurut saya In-donesia bisa belajar dari hal ini untuk masalah pengelolaan pasar,” kata Boim.

Selain positioning lanjut Boim, sifat substitusi antara su-per mall dan pasar tradisional merupakan salah satu faktor keberhasilan. Barang yang di-jual di dalam super mall tidak akan ditemukan di pasar tra-disional dan begitu juga sebali-knya. Pemahaman budaya dari para pembeli juga perlu diper-hatikan. Unsur dari pembeli sendiri tergantung pada daer-ah atau lingkungan dari letak pasar tersebut. Dan yang tidak kalah penting adalah anggaran yang dikucurkan pemerintah

untuk dinas pasar tidak hanya pada seremonial semata tetapi lebih pada kepentingan mana-jerial dan image dari pasar tersebut.

(Eva, Latifatul)

Page 16: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 31VISI | No. 31/Th. XXI/201430

Sekilas, kondisi pasar Pang-gungrejo tidak terlihat seperti layaknya sebuah

pasar. Sejauh mata meman-dang, pasar ini terlihat sepi dari kegiatan jual beli. Bahkan, sejumlah kios terlihat dalam kondisi tertutup. Widodo (48), pengelola Pasar Panggungrejo menjelaskan dari total 127 los di Pasar Panggungrejo yang

diresmikan 2011 lalu, baru lima kos yang buka.

“Kelima los yang sudah buka tersebut berada di lantai pertama. Sebaliknya semua los yang berada di lantai ke-2 dalam kondisi tutup,” ujarnya kepada VISI Kamis (6/02). Se-lain itu, Widodo juga menam-bahkan, Sebanyak 174 kios di Pasar Panggungrejo saat ini

dalam kondisi ditutup. Dari 201 kios yang ada, baru 27 kios yang digunakan.

Kondisi kios yang sepi ini bukan tanpa sebab. Pasalnya, menurut keterangan yang VISI dapat dari pihak pengelola pasar, pasar ini mulai ditinggal-kan oleh para pemiliknya ka-rena sepinya pengunjung. “Pa-dahal, jumlah kios yang ada di sini sudah disesuaikan dengan dengan jumlah PKL yang dire-lokasi. Tapi satu persatu dari mereka malah meninggalkan kios karena nggak ada pembe-

Pasar PanggungrejoPasca Relokasi

Sepi, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kon-disi Pasar Panggungrejo di belakang kampus utama Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Kios-kios yang berjejer di pasar tersebut tampak lengang dari penjual dan pembeli.

li,” ungkap Widodo.jadi PKL lagi

Pasar Panggungrejo mulai diresmikan pada 26 Desember 2009. Widodo menjelaskan, tu-juan awal pembangunan pasar Panggungrejo adalah sebagai bentuk relokasi dari Pedagang Kaki Lima (PKL) yang berjualan di sepanjang jalan raya sekitar kampus Universitas Sebelas Maret (UNS). Ia menuturkan, sebelum pasar tersebut dib-angun, PKL-PKL yang akan direlokasi hampir semuanya setuju untuk direlokasi. Na-

mun, setelah pasar dibangun dan mereka menempati pasar tersebut, satu persatu dari mereka mulai meninggalkan kios. “Kios yang mereka punya sekarang malah disewakan,” tambahnya.

Berdasarkan keterangan dari pengelola pasar, para ped-agang PKL yang meninggalkan kios justru kembali berjualan di tempat semula atau pindah di tempat lain yang pengunjungn-ya lebih ramai. Selain itu, dari pantauan VISI, yang tampak ak-tif berjualan di Pasar Panggu-

ngrejo bukan pedagang lama tetapi pedagang baru.

Yuli (34), adalah salah satu pedagang buku yang baru ber-jualan di pasar Panggungre-jo. Ia mulai berjualan di pasar tersebut sejak tahun 2012. Yuli mengatakan awalnya tahu ten-tang keberadaan pasar Pang-gungrejo dari salah seorang temannya. “Saya tahu dari teman kalau di sini ada pasar, dan masih banyak kios yang kosong, jadi saya ambil,” ujar perempuan berjilbab ini.

Yuli mengakui, kondisi

KHUSUSLAPORAN

Page 17: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 VISI | No. 31/Th. XXI/201432 33

Harapan PedagangWidodo, selaku pengelola

dari pasar Panggungrejo ha-nya bisa berharap, agar PKL yang sempat pindah dari pasar ini kembali berdagang. “Saya harap para PKL bisa kembali berjualan di sini lagi. Pasar ini kan bentuk apresiasi dari pem-kot agar mereka memiliki tem-pat dagang yang lebih layak dan nyaman,” ujarnya.

Lagipula, ia menambah-kan bahwa pihak pemkot tidak memungut biaya sewa dari kios-kios yang ada di sini. “Mereka cukup bayar retribusi saja, Rp1500,00 per kios setiap harinya,” tambahnya.

Lain lagi dengan Darto, pria yang memiliki empat kios di pasar Panggungrejo ini memi-liki harapan agar pemerintah lebih tegas lagi dalam me-nindak PKL. “Sekarang masih banyak PKL liar yang berjualan di pinggir jalan raya dan tidak ditindaklanjuti. Menurut saya itu seharusnya dialihkan ke sini, karena masih banyak kios yang masih kosong. Selama PKL-PKL tersebut tidak direlokasi, pasar

pasar memang tidak terlalu ra-mai, bahkan bisa dibilang sepi. Hal yang masih membuatn-ya bertahan di sini karena dia tidak hanya mengandalkan pengunjung tapi juga meng-gunakan taktik ‘jemput bola’. “Saya nggak hanya mengan-dalkan pengunjung saja di sini, karena pelanggan lama juga masih setia, jadi berjualan di sini nggak masalah buat saya,” jelasnya.

Tidak StrategisPasar Panggungrejo mer-

upakan pasar yang terletak di dekat kantor kecamatan Jebres, Surakarta. Pasar ini tidak terle-tak di pinggir jalan raya seper-ti kebanyakan pasar lainnya. Untuk bisa mengakses pasar Panggungrejo, pengunjung ha-rus memasuki gang Surya, yai-tu gang yang berdekatan den-gan kantor Kecamatan Jebres. Setelah mememasuki gang Surya, tidak jauh dari gang tersebut Pasar Panggungrejo sudah terlihat di sebelah kiri jalan.

Dari beberapa narasumber yang diwawancarai VISI, sa-lah satu alasan sepinya pasar Panggungrejo adalah karena letak pasar yang kurang strat-egis, karena berada di dalam gang. Hal tersebut diamini oleh Yuli. Ia mengatakan akses un-tuk masuk ke pasar Panggun-grejo agak susah. “Pengunjung harus masuk gang dulu, habis itu turun ke bawah. Karena kondisi tersebut, mungkin jadi banyak orang malas untuk ke sini,” ungkapnya.

Selain letak pasar yang jauh dari jalan raya dan kera-

maian, letak pasar ini juga ter-lalu turun ke bawah, sehingga orang yang berlalu lalang di jalan Surya tidak bisa melihat kondisi pasar secara keseluru-han. Hal ini diakui oleh Widodo, “Kalau di pasar ini, pembeli ha-rus masuk gang dulu, baru bisa masuk ke pasar,” ujar pria yang sudah menjadi pengelola pasar selama dua tahun ini. Ia men-gungkapkan, seandainya pasar ini terletak di pinggir jalan raya, pasti banyak orang yang mam-pir. “Meskipun awalnya Cuma lewat saja, tapi kalau lihat ada pasar yang terletak di pinggir jalan raya, orang bisa tergoda untuk mampir,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan, sebai-knya, letak pasar dan kantor kecamatan ditukar. “Kalau bisa, seharusnya pasar Panggungre-jo letaknya di kantor kecama-tan, di pinggir jalan raya. Nanti kantornya yang di sini. tidak masalah jika kantor kecamatan berada di dalam gang. Orang kalau berkunjung ke kantor kecamatan kan karena butuh, dan harus di situ, jadi mau dimanapun tempatnya pasti dicari. Beda dengan pasar, ka-lau aksesnya susah, orang akan cari pasar yang lain,” tambah pria yang sudah menjadi pen-gelola pasar sejak tahun 2010 tersebut.

Kurang PromosiSalah satu faktor yang di-

anggap membuat pasar Pang-gungrejo terlihat sepi adalah kurangnya promosi dari pi-hak pemerintah setempat. Hal ini diungkapan oleh Yuli. Menurutnya bentuk promosi yang dilakukan oleh pihak pe-

merintah kurang maksimal. “Karena pasar ini dipromosi-kan sebagai pasar mahasiswa, dulu awal-awal bentuk promo-sinya juga berkaitan dengan mahasiswa. Misalnya diadakan festival musik. Tapi mungkin kurang maksimal, jadi setelah itu ya sepi,” ujarnya.

Kurangnya promosi dari pe-merintah terkait dengan pasar ini disanggah oleh Widodo. Menurutnya pihak pasar dan pemerintah sudah melakukan promosi seoptimal mungkin. “Dulu, waktu pasar ini selesai dibangun dan ditempati oleh PKL, hampir setiap minggu di-adakan festival musik untuk menarik minat masyarakat agar mau berkunjung ke pasar ini,” katanya.

Akan tetapi, Widodo mel-anjutkan bahwa sepinya pasar bukan karena kurangnya pro-mosi, “Menurut saya bukan karena kurang promosi, lagipu-la masa kita mau promosi ter-us-terusan dengan mengakan festival musik, dananya kan terbatas,” tambahnya.

Hal senada juga diungkap-kan oleh Darto (62), salah satu pedagang makanan di pasar Panggungrejo. Menurutnya, bentuk promosi yang dilaku-kan pemerintah dan pengelola pasar sudah lebih dari cukup. “Bentuk promosinya sudah cukup, kok. Dulu, selain festi-val musik, juga ada pertunjuk-kan reog ponorogo, dan acara tersebut cukup ramai,” ujar pria yang masih sudah berda-gang sejak 2006 silam.

Darto mengungkapkan, sepinya pasar Panggungrejo bukan karena kurang promo-

Kios Mati - Pasca relokasi, Pasar Pang-gungrejo terlihat sepi pedagang dan

pembeli. Puluhan kios dibiarkan kosong tak berpenghuni.

Dok. VISI/Radit

si, tetapi karena sikap para pedagang yang kurang sabar dalam berjualan. “Sebenarnya yang bikin sepi ya pedagang itu sendiri, mereka maunya perta-ma dagang langsung ramai, jadi kurang telaten. Ketika pasar sepi, mereka langsung mening-galkan pasar ini,” jelasnya.

Menurut Darto, wajar saja jika saat awal-awal ditempati pasar masih terlihat sepi. “Na-manya juga pasar baru, belum semua masyarakat tahu kalau PKL pindah di sini,” ucapnya. Darto menuturkan, yang harus dilakukan oleh pedagang di sini adalah telaten untuk berjualan. Para pedagang sambung Dar-to, tidak sabaran sehingga mereka langsung buru-buru pindah.

Padahal menurut Darto, sepi dan ramai pembeli ada-lah hal yang wajar yang di-alami pedagang. “Namanya juga berjualan, kadang sepi, kadang ramai, itu hal yang bi-asa. Harusnya mereka tahu itu, ndak langsung pindah dari sini begitu saja,” tuturnya.

ini tidak akan ramai,” tegasnya kepada VISI.

Selain itu, Darto juga mem-inta kepada pemerintah agar memberikan pinjaman modal kepada para PKL. Ia menjelas-kan, sebenarnya di tahun 2010 Pemkot dari Balaikota sudah berencana untuk membuat ko-perasi bagi para pedagang, na-mun sampai saat ini belum ada tindak lanjutnya. “Sampai saat ini, belum ada tindak lanjut. Pa-dahal kami sudah iuran sampai dua ratus ribu,” pungkasnya.

(Diah, Radit)

Page 18: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 35VISI | No. 31/Th. XXI/201434

Pulau Dewata, tapi Mega sempat kaget pergaulan rekan- rekan yang ia temui di sana. Pergaulan disana su-dah serba internasional karena banyak berinter-aksi dengan orang luar negeri. Akan tetapi, dia menganggap hal itu justru jadi momen baginya untuk lebih percaya diri dan mengasah kemamp-uannya dalam berbahasa Inggris.

Kisah unik juga sempat dialami oleh dara 21 tahun ini. Ia mengaku hampir ketinggalan pesawat yang akan membawanya pulang ke Pulau Jawa. “Pengalaman unik banyak, tapi yang paling dramatis adalah pas mau pulang hampir aja ketinggalan pesawat. Gara- garanya nggak paham tentang prosedur pe-numpang di New Bandara Ngurahrai yang saat itu masih serba ribet,” kenang Mega.Syukurlah Mega dapat kembali ke Solo dengan selamat dan kembali menjalan-kan kegiatan-kegiatannya di Kota Bu-daya ini.

Terus BerkaryaBukan Mega jika hanya memanfaat-

kan potensinya untuk mengikuti satu ajang kompetisi. Beberapa waktu yang lalu, Mega kembali membuktikan ke-mampuannya dalam dunia penulisan. Mega menjajal kemampuannya un-tuk mengikuti lomba travel blog tingkat nasional. Setelah melakoni berbagai tantangan dalam kompetisi yang diada-kan dalam Pekan Komunikasi Universitas Indonesia (UI), akhirnya Mega berhasil memboyong predikat juara tiga.

Tak hanya suka menulis, dun-ia komunikasi sepertinya su-dah jadi passion mahasiswi kelahiran kota kembang, 7 Juni 1993 ini. Selain belajar dari bangku perkuliahan, ia juga menimba ilmu dari organisasi di kampus. “Saya sempat jadi penyiar radio komunitas di FISIP UNS, di situ saya belajar tentang penyiaran dan public speak-ing,” katanya.

okohT

Agnia Mega Safira, mahasiwi Ilmu Komu-nikasi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo ini berkesempatan untuk berparti-

sipasi dalam ajang Asia-Pasific Economic Cooper-ation (APEC) CEO Summit 2013 yang digelar di Nusa Dua Bali beberapa bulan yang lalu. APEC CEO Summit ini merupakan kegiatan yang ber-basis dalam bidang ekonomi dengan mengada-kan kerjasama se-Asia Pasifik. Dalam kegiatan-nya, APEC CEO Summit membahas mengenai isu-isu ekonomi yang sedang terjadi di kawasan Asia Pasifik. Sebagian besar peserta dalam ke-giatan akbar ini adalah pengusaha-pengusaha besar serta para petinggi negara.

Lalu, bagaimana perempuan yang kerap di sapa Mega ini bisa masuk menjadi salah satu pe-serta? Saat ditemui VISI, Mega menceritakan us-ahanya dalam mencapai impiannya untuk berg-abung dalam APEC. “Waktu itu ada lomba nulis di twitter, writing competition tentang bagaimana sebagai generasi muda bisa menjadikan APEC sebagai momentum biar Indonesia bisa ber-saing di pasar global. Dan saya tertarik untuk mengikuti kompetisi tersebut. Akhirnya saya kirim tulisan saya,” kata gadis yang berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu.

Menulis memang jadi kegemaran tersendi-ri bagi Mega. Terbukti ia sempat aktif dalam sebuah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di UNS, yakni Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kentin-gan. Jadi kemampuannya dalam mengolah ka-ta-kata dalam bentuk tulisan tersebut tak ia sia-siakan untuk mengantarnya menjadi salah satu finalis writing competition.

Dalam kompetisi menulis itu, Mega lolos sebagai finalis 5 besar, sehingga Mega berke-

sempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan APEC. “Saya shock banget waktu tahu kalau saya masuk jadi salah satu finalis. Hampir pingsan rasanya saking bahagia. Tertanya finalis 5 be-sar termasuk saya diajak ke Bali untuk menjadi observer di APEC CEO Summit. Tugasnya ya me-lihat di sana isu-isu apa yang dibicarakan, juga belajar tentang lingkungan internasional seperti apa,” ujar Mega.

berpartisipasi dalam kegiatan APEC bagi Mega mampu mempengaruhi daya pikirnya menjadi lebih terbuka. Meski tidak mudah bagi mahasiswa untuk berpartisi dalam ajang inter-nasional, namun jika memiliki tujuan-tujuan dan fokus terhadap apa yang ingin dicapai, den-gan usaha pasti akan mampu mencapai tujuan tersebut, seperti dirinya.

Kesempatan Langka Menurutnya, kesempatan untuk terli-

bat dalam forum internasional itu sangat lang-ka, apalagi diselenggarakan di negaranya sendi-ri, tentu sayang bila disia-siakan. Dalam APEC tersebut Mega menyaksikan para pemimpin ekonomi dari berbagai negara bertemu dan menghasilkan keputusan yang mempengaruhi ekonomi dunia. Tak semua orang dapat meras-akan hal ini.

“Seneng banget bisa jadi saksi sejarah di tingkat Asia-Pasifik, dan terbuka pola pikirnya kalau ternyata dunia itu luas banget, nggak se-batas kampus, nggak sebatas kota Solo aja. 10 hari di Bali kemarin bener-bener seru. Apalagi saya bisa kenalan sama orang-orang hebat dari berbagai negara,” kenang Mega.

Meski tak ada kendala yang berarti selama di

Berpartisipasi dalam ajang internasional yang dikenal oleh masyarakat dunia tentu menjadi impian ban-yak orang. Terutama jika acara besar tersebut dilaksanakan di negaranya. Tentu tak sembarangan orang dapat bergabung dalam pagelaran internasional yang diselenggarakan disuatu negara tertentu. Namun, keberuntungan berpihak pada sosok perempuan muda yang kini masih berstatus sebagai mahasiswi perguruan tinggi negeri di Kota Solo.

Agnia Mega SafiraSerunya Ikut Ajang Internasional

Dok.Pribadi

Page 19: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 VISI | No. 31/Th. XXI/201436 37

Dunia broadcast dalam beberapa tahun ini mengalami lompatan teknologi yang sangat mendasar yaitu lahirnya era baru

perkembangan ICT (Information and Communi-cations Technology) berwujud “bayi digital” yang menggantikan ‘model analog’ di media TV mau-pun radio. Mode teknologi baru ini akan lebih memanjakan mata dan telingan audiensnya. Seiring dengan pemahaman hakiki tentang ‘te-knologi’ itu sendiri, yaitu sebagai sarana untuk memudahkan fungsi kerja manusia. Lantas, apa yang perlu disorot dan dikritisi dalam memasuki era digital bagi masyarakat dan profesi komu-nikasi itu sendiri?

Era media digital secara sederhana ditandai dengan adanya kemungkinan pembagian ranah publik yang lebih banyak lagi dalam satu satuan frekuensi. Apabila periode media analog setiap frekuensi hanya dapat dipakai oleh satu media maka dengan era digital, ia akan dapat dipecah dan dipakai oleh sekitar 6 sampai dengan 12 channel baru. Konsekuensinya, melahirkan jum-lah media penyiaran yang makin banyak dan semestinya kepemilikannya juga menjadi melu-as. Di samping itu, lompatan teknologi tersebut menghasilkan kualitas audio (suara) dan visual (gambar) yang jauh lebih baik. Pendek kata, den-gan pemakaian 1 frekuensi (ranah publik yang terbatas) dapat dipakai oleh beberapa pengelo-la media secara bersamaan dan menghasilkan produk yang berkualitas. Produk dan mutu si-aran menjadi cita rasa baru yang dapat dinikma-ti konsumen media secara lebih baik.

Secara kuantitatif publik (pemirsa dan pen-dengar) akan mendapatkan pilihan media yang lebih banyak dan bervariatif. Lahirnya media si-aran yang makin banyak dan beragam ini secara nyata akan menimbulkan tingkat persaingan yang makin sengit untuk mencuri simpati dan waktu publik. Dalam teori persaingan media

dikenal dengan adanya perebutan niche breath dan niche overlap yang berlangsung makin ta-jam. Media akan mengalami proses spesialisasi menuju media spesialis yang melahirkan identi-tas baru. Lahirlah saluran TV yang khusus berisi tentang Agama, Mode, Masakan, Gaya Hidup, Drama Keluarga, Olahraga dll.

Tampak nyata dalam keseharian nantinya publik lebih aktif dan selektif mencari isi me-dia dalam belantara media digital yang sangat banyak. Perilaku mereka di depan TV layaknya bermain handphone yang makin cepat melaku-kan pemindahan channel untuk kurun waktu tertentu; dan loyalitas publik kepada satu media menjadi makin kecil atau sulit dipelihara. Ha-nya media yang punya kharakter kuat dan jelas orientasinya lah yang akan mempunyai segmen publik yang relatif loyal. Publik makin menjadi atom sosial yang bergerak secara bebas men-cari mata acara yang diinginkan, bukan pada medianya yang nantinya jumlahnya lebih dari 50 TV.

Realitas media yang selama ini dikenal de-ngan asumsi serba dibatasi oleh adanya ruang dan waktu pun akan makin bergeser. Integrasi media digital dengan media online melahir-kan proses konsumsi media yang tidak dibata-si ruang dan waktu lagi. Kapanpun publik bisa mengkonsumsi sebuah mata acara. Apa yang ingin dicari publik menjadi lebih luas dan berag-am, bahkan dalam kondisi tertentu masyarakat bisa “kebingungan” dalam menghadapi realitas media penyiaran digital tersebut. Ditengah wak-tu yang makin terbatas, ia selalu bertanya “Ka-pan saya mesti menikmati tayangan/ siaran me-dia A dan pilihan program apa/ program yang mana yang mesti dipilih?” Karena ada berbagai acara yang semua menarik dalam kurun waktu yang sama. Pemirsa ataupun pendengar dibawa kepada situasi yang makin ‘memabukkan’ ketika

Era Digital dan Prospek ProfesiKomunikasi

Dr. Widodo Muktiyo, SE M.Comm Pembantu Rektor 4

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Melalui kerja kerasnya belajar tentang dunia penyiaran, akhirnya ia memberanikan diri untuk melamar pekerjaan sebagai announcer di salah satu radio komersial ternama di Kota Solo. Dan disanalah kemampuannya mengudara di radio semakin terasah. Pengalamannya berbicara di depan umum juga makin banyak seiring ban-yaknya tawaran untuk menjadi master of cere-mony (MC) diberbagai acara. Salah satunya saat kegiatan Metro TV on Campus yang digelar be-berapa bulan lalu di UNS Solo.

Kelimpungan Membagi WaktuSebagai mahasiswa tentu saja Mega memiliki

kesibukan kuliah dan mengerjakan tugas, selain mengikuti berbagai organisasi di kampus. Mega mengaku awalnya ia sering kelimpungan dalam membagi waktu, karena jadwal kuliah dengan jadwal kegiatan lain terkadang bersamaan. “Per-tama masih panik ngerjain tugas masih suka mepet, tapi sekarang udah lebih ngerti. Ngerjain tugas pagi, nge-data segala macam yang belum selesai,” ujar Mega ditemui VISI di sela-sela ke-giatannya di kampus.

Selain aktif dalam kegiatan kampus, Mega juga aktif dalam Akademi Berbagi (Akber), yang merupakan gerakan sosial di lebih dari 35 kota di Indonesia, dengan kegiatan membuat kelas-kelas gratis untuk siapa saja yang ingin menam-bah ilmu. Dengan dasar semangat bahwa semua orang bisa dan boleh belajar apa saja. Untuk menjadi volunteer di Akber siapa saja boleh ikut, dibebaskan namun bertanggung jawab.

Pengalaman menjadi hal yang sangat ber-harga untuk mahasiswa. Tidak hanya menyibuk-kan diri dengan kuliah dan aktif di organisasi, mahasiswa juga dituntut untuk berani mengam-bil tantangan di luar kampus. Sebagai generasi masa depan, mahasiswa harus membuktikan bahwa mereka tidak hanya jago kandang, na-mun juga garang saat bertandang. Diakui Mega bahwa sudah saatnya mahasiswa mengikuti acara tingkat nasional hingga internasional sep-erti yang pernah ia ikuti.

Tak sampai disini saja pengalaman yang ingin dicapai Mega. Saat ini ia sedang berusaha untuk mengejar beasiswa ke luar negeri. “Saya pengen banget bisa kuliah di luar negeri, biar

ilmu saya makin bertambah. Mohon doanya ya!” pinta Mega diakhir wawancara.

(Ester, Inda, Retno, Sinta)

eropongT

Page 20: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 VISI | No. 31/Th. XXI/201438 39

mengkonsumsi media yang makin bagus kuali-tas gambar dan suaranya secara terus menerus dan secara bawah sadar media mengatur ritme publik.

Kreatifitas media pada akhirnya juga mel-ahirkan perubahan perilaku publik dari ‘need’ menjadi ‘want’, seolah semua acara media terse-but menjadi penting, perlu dan menarik untuk ditonton. Disini lahir generasi heavy viewer da-lam broadcasting. Pada fenomena yang lain oleh Shallows (2010) dikenal dengan adanya peruba-han perilaku audiens yang multitasking activities, sebagai scrolling culture, dalam kurun waktu ber-samaan ingin mengakses berbagai media.

Tidak terbayang sebelumnya bahwa lahirnya media digital membawa implikasi pada perilaku para konglomerat media. Secara alamiah dib-ukanya frekuensi baru akan dapat dimiliki oleh para pemilik baru, namun kenyataannya para owner media analog lebih gesit dengan segera membeli frekuensi baru, sehingga jumlah me-dia digital makin banyak tetapi pemiliknya rela-tif tetap itu-itu saja. Apabila ada 11 frekuensi TV analog dan masing-masing frekuensi bisa dipecah menjadi 8 saluran baru maka akan ada 88 media penyiaran baru. Ini belum termasuk adanya TV lokal yang jumlahnya terus bertam-bah. Pun nampaknya ijin kepemilikan frekuen-si media era digital dibebaskan sehingga para pemain lama langsung memborong ijin baru tersebut secara cepat. Kapitalisme kepemilikan media digital tidak bisa dibendung, dan akhirnya kembali dimiliki oleh segelintir konglomerat me-dia. Tidak terjadi diversity of ownership meskipun terjadi diversity of content , dan makin menguat-kan konglomerasi media di era digital.

Liberalisasi dan konglomerasi media penyiaran mendapatkan lahan baru tanpa bisa ditolak oleh publik, dengan segala resikonya yang bisa dikaji secara tersendiri. Seolah pub-lik mendapatkan layanan baru yang berkualitas dan pilihan makin banyak, namun sisi lain suara publik makin terkooptasi oleh kepentingan me-dia. KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) yang had-ir dan ditugasi negara sebagai penjaga gawang kepentingan publik dalam membuat regulasi dan pengawasan media penyiaran mengalami erosi wibawa, tak berdaya dan tidak mampu me-

narik dukungan publik. Hegemoni media makin tidak terbendung dan kepentingan media men-jadi tidak terelakkan. Hukum kapitalisme media membungkus argumen bahwa publik diberi kebebasan melakukan pilihan media secara aktif dan selektif. Namun pada kenyataannya pilihan yang ada selalu berpihak pada kepentin-gan pemilik media, semua elit pemilik media punya kepentingan yang sama (perspektif ekonomi politik media). Kekuatan media dalam melakukan framing isu juga menjadi persoalan tersendiri bagi kepentingan publik yang makin tidak berdaya. Dan, dalam kurun waktu kedepan kelahiran media digital bisa jadi menjadi kepri-hatinan baru yang patut dikaji lebih saksama.

Tenaga yang berkualitasTerlepas dari semua itu jumlah media digi-

tal yang demikian banyak, berskala besar dan beraneka ragam membawa implikasi pada ket-ersediaan SDM pengelolanya. Pasokan tenaga profesional yang dibutuhkan menjadi sangat besar pula. Ada lompatan kebutuhan tenaga profesional media penyiaran yang mesti diisi oleh profesional media yang fresh, berkualitas dan berintegritas. Pendidikan profesi komunika-si dihadapkan pada tantangan untuk menghasil-kan tenaga profesional baru tersebut. Dalam khasanah profesi penyiaran ada tantangan kom-petensi baru yang mesti dipenuhi diantaranya kompetensi terhadap penguasaan teknologi digital beserta implikasi yang terus berubah secara cepat. Perubahan lingkungan ekonomi dan politik yang makin modern dan demokratis yang menuntut adanya integritas profesi komu-nikasi, terlebih media sebagai menyangga pilar demokrasi bangsa. Oleh karena itulah, pendidi-kan ilmu komunikasi dihadapkan pada berbagai tuntutan baik dalam hal sarana prasarana /lab, kurikulum dan kemampuan tenaga dosen yang mesti bisa mengikuti tuntutan pasar yang tum-buh secara cepat.

Pendidikan profesi komunikasi seperti pada tingkat diploma dihadapkan pada masalah dalam pembelajaran yang berbasis teknologi digital. Para dosen dan kurikulum harus bisa menyesuaikan perkembangan baru tersebut dengan didukung sarana penunjang yang me-

madai dengan investasi yang besar. Dalam jen-jang sarjana (S1) pun, perubahan teknologi yang bergerak secara eksponensial tersebut mem-butuhkan telaah baru yang berubah sangat ce-pat. Tentu, perubahan kurikulum yang berbasis pada dunia kerja baru menjadi sebuah kenis-cayaan. Bagaimana menghasilkan lulusan yang dapat memahami realitas media digital dan real-itas media online yang sudah terintegrasi menja-di tantangan yang makin kompleks. Baik dalam membekali kompetensi operasional media, me-nejemen media, menghasilkan isi siaran, pema-haman konteks dalam berbagai situasi sampai dengan pembekalan jati diri sebagai profesional media yang ideal.

Materi baru atau tambahan (sebagai sub pokok bahasan) seperti Sejarah Perkemban-gan Teknologi Digital, Implikasi Sosial/Ekonomi/Politik terhadap Perubahan Teknologi Digital, Pemahaman Operasional Teknologi Digita,l dan Menejemen Media di Era Digital menjadi patut dimasukkan. Materi-materi tersebut tidak mes-ti merubah nama mata kuliah yang sudah ada akan tetapi minimal dapat ditambahkan dalam mata kuliah yang relevan. Pada bagian lain, ket-ersediaan sarana penunjang pembelajaran yang berbasis digital juga mesti ditambahkan pada laboratorium komunikasi yang sudah ada, serta didukung dengan penyiapan skill baru bagi para tenaga dosen dan pengelola lab.

Catatan akhir bahwa kelahiran media digital tidak hanya disikapi dengan cara melahirkan jumlah lulusan yang lebih banyak dan memiliki kompetensi tekhnis semata . Yang jauh lebih strategis dan penting adalah bagaimana meng-hasilkan lulusan yang nantinya menjadi tenaga profesional media yang siap menghadapi tan-tangan yang mengarah pada bangunan integ-ritas profesi. Yaitu bagaimana etika dan moral yang melekat pada diri lulusan agar senantiasa mencerminkan nilai hakiki dari sebuah media yang menjunjung tinggi idealitas sebagai pen-yangga atau pilar demokrasi bangsa yang luhur. Menghadapi gempuran kapitalisme global dan tarikan ekonomi politik maka sebuah institusi pendidikan komunikasi mendapat tantangan dalam menghasilkan lulusan yang peka terh-adap moral, idealisme dan independen dalam

menjalankan profesinya. Nilai-nilai tersebut mesti dapat disemai sejak dari kampus agar dapat tumbuh dalam sanubari lulusan.

Kerasnya tarikan dan hegemoni media kapi-talis sering secara halus mencederai hati publik atau bahkan malah membodohi publik. Kon-glomerasi media digital akan senantiasa mem-bawa medianya kepada kepentingan ekonomi politik yang menguntungkan dirinya. Tesis inde-pendensi profesional media berada pada posi-si yang lemah atau bahkan malah mendukung kepentingan pragmatis pemilik medianya, sep-erti dalam penolakan UU Penyiaran beberapa tahun yang lalu.

Page 21: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 VISI | No. 31/Th. XXI/201440 41

Wawancara

Solo merupakan kota yang tiap bulannya tidak pernah absen menggelar event budaya. Event yang digelar ban-yak menggunakan panggung sebagai tempat perfor-

mance para seniman. Seperti Solo International Performing Art (SIPA), Solo Carnaval, Solo Batik Fashion, Solo Menari, Solo Batik Carnival (SBC), Rock In Solo, dan sebagainya. Mendokumen-tasikan event di panggung tentu menjadi sesuatu yang ingin dilakukan oleh pehobi fotografi. Entah itu untuk konsumsi publik ataupun hanya sebatas konsumsi pribadi. Berangkat dari keinginan menghasilkan foto panggung yang baik inilah, VISI ingin mengetahui tips dan trik memotret event panggu-ng.

Tips dan trik dalam mendokumentasikan event panggung tersebut akan diberikan oleh Abdullah Azzam, seorang fo-tografer senior di harian Joglosemar yang mulai bulan April ini beralih ke Bisnis Indonesia. Sebagai seorang fotografer surat kabar, memotret panggung bukan lagi hal yang baru bagi Azzam.

foto aman dalam foto panggung itu yang seperti apa?“Foto aman dalam foto panggung itu ketika hasil foto kita

bisa mendiskripsikan dengan jelas pementasan yang sedang berlangsung sehingga dapat dipahami orang lain. Misal ket-ika kita memotret panggung SBC atau SIPA, harus kelihatan keseluruhan, baik perfomer dan penontonnya.”

Adakah hal yang Anda sukai dan tidak sukai dalam mem-buat foto Panggung?

“Hal yang saya sukai dari foto panggung adalah adanya permainan lighting. Sedangkan yang saya tidak sukai ketika memotret panggung adalah, banyaknya fotografer yang juga ingin mengambil gambar sehingga harus berdesak-desakan. Kadang ada juga beberapa teman fotografer yang menggu-nakan flash saat mengambil gambar. Itu kan mengganggu.”

Adakah pengalaman menarik yang pernah Anda alami ketika memotret panggung?

Ketika memotret pementasan teater dari luar negeri di Teater Arena TBJT, saya dapat te-guran dari salah satu penonton bule karena ka-tanya suara kamera saya mengganggu. Ketika itu saya menggunakan continuous, jadi wajar lah kalau mengeluarkan suara yang agak berisik.

Peralatan favorit yang selalu Anda bawa da-lam memotret panggung?

Saya biasanya pakai lensa 70-200 karena bisa digunakan dari jauh sehingga tidak meng-ganggu pementasan.

Setting kamera terbaik seperti apa yang Anda pakai dalam memotret event panggung?

Kalau saya, biasanya menyesuaikan dengan pertunjukannya. Untuk setting White Balance (WB) ya tergantung lampunya. Di setiap pemen-tasan, penggunaan lampunya berbeda-beda, jadi kita menyesuaikan saja. Misal kalau lampu terlalu kuning kita pakai setting Tungsten. Untuk setting cahaya itu tergantung keinginan, kalau bagus dibuat under ya kita buat under, kalau ba-gus dibuat over ya kita buat over. Untuk mode pemotretan, saya suka pakai manual. Biasanya lampu panggung kadang hidup kadang mati jadi kita setting light matter-nya juga enak-enak saja kalau pakai mode manual. Misal cahayan-ya keras, kita naikkan speed nya, kalau gelap ya kita turunkan speed nya. Ketika kita pakai AV/TV mungkin gambarnya akan kacau.

Sebelum memotret panggung adakah persia-pan tertentu yang harus kita lakukan?

Tergantung pementasan, kalau pementasan besar seperti Matah Ati kemarin, sehari atau dua hari sebelumnya kita harus melakukan survei lokasi pementasan. Waktu gladi bersihnya kita juga harus nonton untuk memperkirakan tem-pat dan tekhnik motret pada saat hari H nanti. Tapi untuk pementasan biasa, ya, tinggal datang saja, tidak harus melakukan survei lokasi pe-mentasan terlebih dahulu.

Setelah mendapat foto panggung, apakah Anda biasanya memberikan final retouch? jika iya, editing apa saja yang biasa Anda ter-apkan?

Saya biasanya memakai Photoshop dan Pho-tostation. Tapi itupun hanya sebatas edit kamar gelap dan memasukkan file info, soalnya foto jurnalistik kan tidak boleh direkayasa. Biasan-ya saya hanya memainkan level, kontras, crop, memasukkan caption, credit, dan judul.

Menurut Anda, adakah perbedaan antara memotret seni tari dengan seni musik?

Keduanya sangat beda. Untuk pertunjukan seni musik seperti konser-konser, saya menitik-beratkan di lighting. Sedangkan untuk seni tari, saya lebih memfokuskan di gerakannya.

Apa perbedaan foto panggung untuk jurnal-istik dengan foto panggung untuk kepentin-gan lomba?

Kalau lombanya kategori salon mungkin mainnya ke warna, dimana warna itu dibuat mateng banget. Kalau jurnalistik sendiri kan ada batasan-batasan tertentu seperti sebatas sharpen, crop, memainkan level, kontras, seperti itu.

(Alvira, Maharani)

Stage Photography ala Abdullah Azzam

Dunia fotografi sedang digandrungi oleh para kawula muda. Terlihat dari semakin banyak variasi produk kamera canggih dengan harga terjangkau dan perkembangan teknologi pada smartphone. Namun, kemudahan dalam memiliki kamera juga harus diimbangi dengan kemampuan untuk menggunakan nya. Apalagi jika berada di kota dengan berbagai event budaya sep-erti kota Solo.

Dok. Pribadi

Nama LengkapAbdullah Azzam

Alamat RumahJl Pabelan Baru 1

No 79, Pabelan, Kartasura,Sukoharjo

HobbyFotografi, Futsal

PekerjaanJoglosemar

(Sept 2010-Apr 2014)BisnisIndonesia

(Apr 2014–sekarang)

PendidikanSMPALIslam1, Solo

SMAN8, SoloD3PeriklananUNS 2008

S1IlmuKomunikasiUNS 2011

Prestasi Juara III LombaFoto

NasionalFinelon(Air Untuk Kehidupan)

Juara I LombaFotoSIPA

Pengalaman OrganisasiKetua FFC2009-2010

Anggota LPMVISI2009

Page 22: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 VISI | No. 31/Th. XXI/201442 43

Refleksi Refleksi

Biar saja Buzz Lightyear, salah satu karak-ter dalam Toy Story, sesumbar dengan obsesinya, “menuju tak terbatas dan

melampauinya”. Masyarakat Indonesia, justru telah lebih jauh merefleksikan “menuju moder-nitas dan melampauinya”. Disadari atau tidak, kini masyarakat sedang beranjak menuju zam-an baru. Meninggalkan semua bentuk kearifan yang dipandang kuno dan obsolet, serta mem-buka pintu lebar-lebar menyambut arus komer-sialisasi di segala aras. Mulai dari popok bayi sampai minuman orang dewasa pun tidak luput dari cengkeraman kapitalisme yang maha kua-sa. Momok itu terus bergentayangan seiring an-tusiasme masyarakat yang tinggi akan teknologi bernama televisi. Ketimbang media lain, entah itu cetak maupun elektronik, televisi adalah me-dia yang paling diminati. Televisi adalah candu masyarakat masa kini, segala realita di layar kaca begitu mudah membuat para penontonn-ya terlena. Demikian mukadimah singkat, seka-dar pengantar menuju pemahaman mengenai masyarakat Indonesia hari ini.

Modernitas, Obsesi Negara-Negara Dunia Ketiga

Modernitas adalah perubahan sosial bu-daya yang masif, pemutusan hubungan secara radikal terhadap tradisi dan kemapanan sosial peradaban yang mandheg. Secara epistemol-ogis, modernitas meliputi empat unsur pokok (Hidayat, 2012: 26). Pertama, subjektivitas refle-ktif yang mengakui kekuatan-kekuatan rasional sebagai ujung tombak pemecah masalah-masa-lah kehidupan. Kedua, kemampuan meng-hindarkan diri dari kekangan tradisional serta historis. Ketiga, kesadaran historis bahwa waktu berlangsung secara linear dan menitikberatkan pada kekinian. Modernitas juga menjunjung rasio melebihi wahyu, kemajuan di atas kemap-anan, dan masa depan lebih diperhatikan ket-

imbang masa lalu. Kemudian unsur pokok yang keempat, universalisme sebagai pendasaran ketiga unsur sebelumnya. Universalisme dimak-sudkan bahwa elemen-elemen modernitas sifa-tnya normatif dan ditujukan kepada masyarakat yang akan melakukan modernisasi.

Masyarakat barat sebenarnya sudah men-jumpai modernitas ketika imperialisme ber-langsung di Eropa Utara pada abad 16. Kendati demikian baru pada abad ke-19 modernitas me-nemukan wujudnya yang matang. Sedangkan di negara-negara dunia ketiga, modernitas terlam-bat datang. Betapa tidak, masyarakat dunia ket-iga belum lepas dari penjajahan tatkala di Barat sudah berlangsung modernisasi di segala lini. Dampak dari keterlambatan tersebut terlihat se-kali dewasa ini. Negara-negara dunia ketiga se-cara obsesif melakukan akselerasi di segala as-pek kehidupan. Hanya saja akselerasi tersebut sifatnya tidak autentik, ada tendensi mengekor pada masyarakat Barat. Merujuk Syed Farid Al-atas, masyarakat di negara-negara dunia ketiga belum lepas dari penyakit captive mind (benak terbelenggu). Suatu pikiran meniru yang tak kri-tis, terdominasi sumber-sumber eksternal yang menyimpang dari perspektif independen (Ala-tas, 2010: 35). Peniruan secara gamblang, Agnes Monica cukup menjadi contoh. Gaya berpaka-ian, warna musik, aksi panggung, bahkan sikap kesehariannya pun kental sekali bernuansa Barat. Peniruan terselubung, bisa dijumpai pada acara-acara televisi di Indonesia. Banyak sekali acara yang terlihat autentik, padahal konsepn-ya masih meniru, misalnya saja kompetisi men-yanyi dangdut. Belum ada kompetisi menyanyi dangdut di negara-negara Barat, namun konsep acara semacam itu lebih dulu dikenal di sana.

Tuhan yang TergantikanAkhir-akhir ini, televisi penuh dengan aca-

ra-acara yang menyajikan goyangan. Mulai dari

goyang Cesar, goyang Bang Jali, goyang Oplosan, bahkan bumi pun ikut bergoyang. Keseragaman acara televisi tak lepas dari penguasa zaman ini, yakni pasar. Siapa yang tidak mematuhi per-mintaan pasar, ia akan tertinggal. Pasar memi-liki otoritas tertinggi, bahkan Nietzsche sampai mengisahkan bahwa Tuhan telah mati di pasar. Lewat karyanya, The Gay Science, ia mencerita-kan tentang seorang gila yang berlari ke tengah pasar dan berteriak lantang, “Saya mencari Tu-han! Saya mencari Tuhan! Di mana Tuhan?” Tak ada satupun dari orang-orang di pasar yang menuntun si gila kepada Tuhan. Mencari Tuhan di pasar sepertinya sia-sia, maka si gila berkata, “Aku akan mengatakan kepada kalian. Kita telah membunuhnya, kalian dan saya. Kita semua adalah pembunuh-pembunuhnya. Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati! Kitalah yang telah mem-bunuhnya!”

Kematian Tuhan di sini bukan dalam artian sebenarnya, pada dasarnya Tuhan tetap hidup di sanubari setiap manusia yang percaya. Ha-nya saja di banyak kasus, Tuhan telah ditinggal-kan. Misalnya kasus hijabers, perintah memakai jilbab adalah wahyu samawi yang berasal dari Tuhan, namun dalam implementasinya para hi-jabers justru mengacu pasar. Mereka memakai jilbab untuk mengikuti tren yang ada atau men-ciptakan tren baru sebagai referensi pasar, den-gan kata lain mereka menjadi agen pasar. Hi-jabers sebagai agen pasar mengambil yang suci dan menjadikannya profan, peran yang sama seperti borjuis di mata Karl Marx. Atribut keag-amaan kini tidak luput dari cengkeraman komer-sialisasi yang berakar pada kapitalisme, “Akarn-ya semua iblis” (Lowy, 2013: 56). Pasar memang selalu identik dengan kapitalisme, dan di zaman yang serba pasar ini sulit sekali menghalau tan-gan-tangan kapitalisme. Televisi sebagai media mayoritas masyarakat Indonesia berperan be-sar dalam melahirkan kapitalisme lanjut, mem-buatnya “terlihat” lunak ketimbang kapitalisme sebelumnya yang radikal. Kapitalisme yang menjunjung tinggi materi pada akhirnya meny-ingkirkan humanitas manusia modern.

Alienasi Manusia di TelevisiMateri di era ini lebih merujuk pada uang,

karena memang itulah buruan utama manusia masa kini. Berbeda dengan zaman feodalisme yang mengagungkan tanah, atau imperialisme yang identik dengan gold, gospel, glory. Uang menjadi instrumen alienasi manusia yang pa-ling efektif, manusia menjadi terasing karena uang. Semisal penonton bayaran pada program televisi yang bersorak-sorai demi uang. Manusia yang bersorak-sorai karena dirinya sendiri den-gan penuh kesadaran diri adalah manusiawi. Namun manusia yang bersorak-sorai demi uang dan kepentingan orang lain, pantaskah disebut manusiawi? Jean Paul Sartre mengatakan, ada dua pilihan besar dalam kehidupan manusia, yakni hidup secara otentik atau hidup dengan mauvaise foi (keyakinan yang buruk). Hidup se-cara autentik memiliki signifikansi dalam upaya mendobrak berbagai konstruksi spat kapitalis-mus (Nogroho, 2013: 136). Hidup secara aut-entik berarti mengada bagi dirinya sendiri, etre pour soi. Segala tindakannya ditentukan diri sendiri, bukan dari otoritas-otoritas eksternal. Sedangkan mauvaise foi ditandai dengan meng-ada bagi yang lain, etre pour autre. Pengidap mauvaise foi tidak memiliki otonomi atas tinda-kannya sendiri. Penonton bayaran pun demiki-an, mereka tidak hadir di studio dan menonton program televisi secara langsung lantaran pro-gram tersebut menarik. Mereka datang karena dibayar, mereka bersorak-sorai karena dibayar, dan mereka menggadaikan tubuh beserta goy-angannya demi uang. Manusiawi?

Lebih lanjut, Sartre mengatakan bahwa ma-nusia dikutuk untuk bebas, “man is condemned to be free”. Supaya tidak disalahpahami, kebebasan bukan berarti bertindak secara ugal-ugalan atau hidup tanpa aturan. Orang yang sungguh-sung-guh bebas itu terlepas dari segala alienasi atau keterasingan (Bertens, 2004: 113). Dengan kata lain, orang yang bebas seakan memiliki dirin-ya sendiri. Ia mencapai taraf otonomi, kede-wasaan, autentisitas, dan kematangan rohani. Dikaitkan dengan oposisi biner Sartre yang telah disebutkan sebelumnya, manusia yang memiliki kehendak bebas adalah mereka yang hidup se-cara autentik. Manusia yang menjadi subjek bagi dirinya sendiri, tidak menggantungkan dirinya kepada faktor-faktor eksternal. Di lain pihak,

Masyarakat Televisi, MasihkahManusiawi?

Udji Kayang Aditya SupriyantoMahasiswa Sosiologi FISIP UNS

Page 23: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 VISI | No. 31/Th. XXI/201444 45

manusia yang tidak memiliki kebebasan hidup adalah pengidap mauvaise foi. Mereka kehilan-gan subjektivitasnya lantaran diobjekkan oleh eksistensi lain. Kendati demikian, kebebasan tetap harus dipertanggungjawabkan. Manusia hanya turun sekali di dunia, maka ia bertanggu-ng jawab sepenuhnya atas eksistensi dirinya sendiri.

Maka, mari sejenak mengheningkan cipta menghadapi realitas manusia Indonesia yang terus-menerus bersedia dan bangga menjadi benda. Lihatlah layar kaca, begitu banyak ma-nusia yang hanya menjadi hiasan, dalam satu frame yang sama dengan artis-artis papan atas. Tetapi untuk popularitas, apalagi status dan peran, tentu ada beda yang signifikan. Para penonton bayaran tak ubahnya seperti robot, yang diprogram untuk bergoyang, bersorak-so-rai, tertawa satu nada, yang dijejali bahan bakar sejumlah rupiah. Sehebat apapun sebuah robot, hakikatnya tetap saja benda, bukan manusia. Bayangkan ketika para ilmuwan terobsesi men-ciptakan robot yang menyerupai wujud manu-sia (humanoid), manusia justru merobotkan di-rinya sendiri. Merobohkan kemanusiaan yang selama ini diperjuangkan oleh banyak kalangan. Bukankah ini suatu pengkhianatan? Ya Tuhan, ampuni generasi masa kini. Oh, maaf, sepertin-ya ada yang terlupa, kesucian-Nya telah dice-mari. Tuhan sudah mati, Tuhan sudah dibunuh oleh para kapitalis dengan segala evangelisnya dalam iklan-iklan televisi.

Bagi orang di luar Jawa, mungkin pintu han-ya digunakan sebagai sarana untuk keluar dari sebuah ruangan dan masuk ke dalam

ruangan. Namun, bagi masyarakat Jawa, ternya-ta pintu memiliki tujuan yang sungguh bermak-na, terutama adanya pintu belakang rumah. Ada teki-teki yang muncul dari pintu belakang rumah ini. Semuanya dikupas tuntas dalam buku ka-rangan Jan Newberry seorang etnografer asal Leithbridge University di Alberta, Kanada. Pada awalnya ia ke Indonesia untuk meneliti perihal kaitan antara masyarakat pertanian dan negara di sebuah kampung di Yogyakarta. Namun, ia justru tertarik dengan teka-teki dibalik diban-gunnya pintu belakang rumah orang Jawa.

Buku bertajuk Back Door Java ini menyoroti sebuah lingkungan kampung di sudut kota kra-ton Yogyakarta, Jawa Tengah, selama pemerinta-han Orde Baru. Membuka budaya kelas pekerja melalui kisah-kisah kehidupan melalui perspek-tif warga kampung tersebut untuk memahami interaksi antara masyarakat kampung dengan kekuasaan negara dan dampak kekuasaan ne-gara, terutama pada pekerjaan dan kehidupan sehari-hari kaum perempuan.

Rumah diungkapkan dalam hubungan an-tara arsitektur fisik dengan arsitektur sosial dan hubungan keluarga. Bentuk fisik rumah tr-adisional masih mencerminkan nilai-nilai kun-ci dalam kehidupan bertetangga di Jawa. Ru-mah tangga dalam buku ini dipandang sebagai ekonomi rumah tangga, yang sering dibedakan dari ekonomi formal berdasarkan pekerjaan berbayar. Bab ini mengupas peran kaum per-empuan dalam mendukung penghidupan kaum laki-laki yang menganggur dan setengah men-

ganggur. Bab ini memandang pembangunan masyarakat pada masa Orde Baru yang meng-gunakan program Pembinaan Kesejahteraan Keluarga atau PKK, mendorong kaum perem-puan untuk diam di rumah dan melakukan ke-giatan ibu rumahtangga guna mendukung kelu-arga mereka. Negara dianggap berhasil karena masyarakat digunakannya sebagai landasan bagi kesejahteraan sosial, pola yang juga digu-nakan oleh pemerintah kolonial Belanda dan pemerintah Jepang di zaman perang.

Istilah “rumah-kediaman” di sini berkaitan dengan pandangan bahwa kaum perempuan sejatinya adalah di rumah, mengasuh anak, masyarakat, dan negara. Rumah tangga memili-ki suatu tatanan moral tertentu dan ide tertentu mengenai keluarga dan peranan kaum peremp-uan yang menempati tempat utama dalam visi pemerintah Orde Baru mengenai masyarakat.

Penulis mengisahkan dua perempuan, Bu Sae dan Bu Apik, yang menunjukkan bagaima-na PKK dan tatanan moralitas dukungan negara digunakan dalam kehidupan masyarakat kam-pung. Ketika retorika pemerintah Orde Baru mengenai perempuan yang baik digunakan un-tuk landasan kegiatan-kegiatan kampung. Mas-yarakat kampung direproduksi di saat berbagai ide tentang kegiatan kampung bermunculan meskipun tidak sesuai dengan tatanan kehidu-pan warga kampung.

Buku ini sangat cocok bagi anda yang ingin mengetahui bagaimana orang Jawa membentuk identitas dirinya melalui penataan rumahnya. Dalam buku ini akan terpampang kearifan para masyarakat Jawa dari hal-hal kecil yang mereka lakukan.

Judul : Back Door Java: Negara, Rumah Tangga, dan Kampung di Keluarga JawaPenulis : Jan NewberryPenerbit : Yayasan Obor IndonesiaTahun Terbit : 2013Jumlah Halaman : 284Kategori : Sosial PolitikBahasa Indonesia

BUKU

Teka-teki di Balik Pintu Belakang Rumah Oleh Fenti Fadilla

Page 24: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 VISI | No. 31/Th. XXI/201446 47

Steve Rogers alias Captain America (Chris Evans), seorang tentara eksperimental dari masa Perang Dunia (PD) II, menjadi

buronan di S.H.I.E.L.D, organisasi rahasia yang menaunginya sejak hidup kembali di abad 21. Ternyata dalam organisasi tersebut, berisi pen-tolan-pentolan dari organisasi musuh yang ia lawan pada masa PD II dahulu, HYDRA. Kemudi-an satu-persatu para antek HYDRA muncul dan mengambil alih kontrol S.H.I.E.L.D.

Untungnya Steve masih ditemani oleh Na-tasha Romanoff alias Black Widow (Scarlett Jo-hansson) dan beberapa agen S.H.I.E.L.D. lain yang bergerak secara underground menghindari bahaya. Belum lagi kematian Nick Fury (Samuel L. Jackson) sebelumnya yang didalangi oleh Al-exander Pierce (Robert Redford) yang selama itu dianggap sebagai sahabat Nick Fury. Meng-hadapi HYDRA generasi baru, Captain America tidak hanya dibantu oleh Black Widow dan agent S.H.I.E.L.D. lainnya, tetapi juga teman barunya, Falcon atau Samuel Wilson (Anthony Mackie), seorang veteran Angkatan Udara Amerika yang dikenalnya saat lari pagi.

Tidak hanya sebagai salah satu film yang suk-ses di awal tahun 2014 karena meraih keuntun-gan sebanyak 95 juta Dollar, tetapi juga sebagai re-branding dari Captain America yang sebelum-nya dikenal sebagai sosok superhero yang tidak sehebat kawan-kawannya seperti Iron Man den-gan armor canggihnya, Thor sebagai anak dewa dari Asgard, atau Hulk yang memiliki kekuatan yang bahkan mampu meratakan seluruh kota jika ia mau—dan marah tentunya.

Film ini disutradarai oleh Russo bersaudara, namun naskah masih dipegang oleh Christo-pher Markus dan Stephen McFeely. Dari sini ter-lihat bahwa sosok Captain America yang cemen

mulai terkuak semua potensi dirinya. Yang sem-ula keraguan kekuatannya, luntur begitu saja ke-tika melihat sosoknya yang benar-benar badass. Tidak berarti sosok Captain America berbeda, melainkan diberi penyegaran sekaligus penega-san bahwa ia memang superhero yang sesung-guhnya.

Bicara film superhero, tidak lupa dengan efek CGI yang tentunya semakin memukau seiring perkembangan teknologi digital yang semakin canggih. Namun bukan itu yang membuat film ini hebat, tetapi juga kekuatan alur cerita men-ingkat signifikan dibanding film sebelumnya. Koreografi dalam adegan berkelahi juga lebih hebat. Tidak sekadar pukul-tendang-cekik-bant-ing, tetapi juga martial art disusupi di dalamnya, terinspirasi dari film aksi laga fenomenal Indo-nesia yang mendunia, The Raid. Hal ini diakui Russo bersaudara dalam sebuah wawancara, dilansir dari Comicvine.com. Dari situlah terbukti kehebatan film aksi superhero ini yang dibukti-kan dengan rating 8.4/10 dan peringkat kedua di IMDb.com.

Sesuai tradisi, musuh-musuhnya berasal dari masa lalu. HYDRA sebagai musuh Amerika di masa PD II, tampil kembali. Secara garis besar cerita didominasi oleh konspirasi, penyusupan, dan dendam masa lalu. Agak monoton memang, untunglah Duo Russo dan Markus-McFeely men-gatasinya dengan peningkatan kualitas cerita dan koreografi yang memberi penyegaran.

Terkadang film aksi yang umumnya memili-ki sedikit cerita hanya mengandalkan kekuatan visual. Namun berbeda dengan film ini, pen-ingkatan alur dan adegannya membuat film ini menembus box office. Sebagai salah satu film su-perhero dari Marvel, film ini layak untuk ditonton sebagai hiburan..

MUSIKfILM

Terkuaknya Sosok Asli Sang Captain America

Sunyaruri Padukan Keroncong Jawa

Judul : Captain America: The Winter SoldierSutradara : Anthony Russo, Joe RussoNaskah : Christopher Markus, Stephen McFeely, Ed Brubaker, Joe Simon, Jack KirbyPemeran : Chris Evans, Scarlett Johansson, Anthony Mackie, Sebastian Stan, Robert RedfordDurasi : 136 menitJenis : Action, Sci-Fi, Adventure

Artis : SarasvatiAlbum : Sunyaruri EPGenre : Unconventional PopProduksi : 2013/IndieDurasi : 23 menit 49 detik

Oleh R. Ahmad Reiza Maulana Oleh IG Rinda Yuda Wardana

Band Sarasvati kembali meluncurkan al-bum terbarunya tahun lalu. Tepat di kon-sernya 12 Desember 2013, Sarasvati re-

smi merilis album bertajuk Sanyanyuri. Album ini berisi lagu-lagu yang sedikit ditambahi nuansa baru, yakni adanya paduan music keroncong Jawa yang member nuansa tradisional.

Sarasvati merupakan band asal Bandung yang dibentuk pada tahun 2010 dan berang-gotakan sembilan orang, yaitu Risa Saraswati (vokal), Hin-Hin Akew (gitar), Galang Perdhana (bass), Gigi Priadji (sequencer), Iman Jimbot (ke-capi suling), Kevin Einaldi (keyboard), Shella Sa-fira (backing vocal), serta Sheryta Arsallia dan Fajar Shiddiq (drummer). Hingga sekarang saras-vati telah memiliki 2 album dan 1 album Extend-ed Play (EP).

Band Sarasvati memiliki genre yang ter-golong unik karena lagu-lagu yang dimainkan oleh Sarasvati ini terinspirasi dari kisah hidup sang vokalis yaitu Risa Saraswati yang dapat berkomunikasi dengan makhluk-makhluk astral yang tidak dapat dilihat oleh orang biasa, seh-ingga nuansa nuansa horor, seram, dan mistik-begitu kental di setiap karya-karya Sarasvati ini.

Album pertama Story of Peter dirilis pada ta-hun 2010, yang bercerita tentang persahabatan antara risa dan teman masa kecilnya yang tidak kasat mata. Risa juga mengeluarkan buku yang berjudul Danur yang melengkapi cerita di balik lagu-lagu yang ada di album Story of Peter.

Kemudian album keduanya yang berjudul Mirror dirilis pada tahun 2012 bersamaan den-gan buku berjudul Maddah. Dan yang terbaru karya dari band ini adalah mini album atau EP Sunyaruri pada tahun 2013. Bersamaan dengan buku karya Risa yang ketiga dengan judul yang sama, Sunyaruri. Menceritakan bagian terakhir

tentang teman-teman masa kecilnya itu. Dalam album ketiga ini nuansa mistik sudah

tidak sekental pada dua album sebelumnya. Dalam EP ini terdapat lima buah lagu yaitu Sun-yaruri, Senandung Hujan, Cerita Kertas dan Pena, Larung Hara, dan Pulang. Seperti dua album sebelumnya, Sarasvati mengambil satu lagu yang digunakan untuk berkolaborasi dengan musisi lain. Mereka berkolaborasi dengan Ink Rosemary dalam lagu Cerita Kertas dan Pena.

Lagu andalan dalam album ini yaitu ada-lah Cerita Kertas dan Pena yang menceritakan sebuah kisah tentang Djalil dan Elsja. Sepasang sahabat yang dibedakan dengan status antara bangsawan Belanda dan seorang anak pem-bantu. Mereka saling mencintai dan mengasi-hi namun harus terpisah karena alasan pres-tis dan hingga akhir hayatnya mereka tidak bisa bersama karena Elsja dikurung ayahnya di ruang bawah tanah yang bermaksud untuk menyelamatkan nyawanya kemudian mening-gal. Kemudian ada lagu Sunyaruri yang men-ceritakan tentang sebuah alam kesepian yang menggambarkan bagaimana keadaan Risa saat itu yaitu saat dimana ia ditinggalkan pergi oleh teman-teman masa kecilnya, yang sebenarn-ya mereka tidak benar-benar pergi. Maka alam baru yang berisi kesepian dari Risa itulah yang kemudian disebutnya sebagai alam Sunyaruri.

Adapun lagu Senandung Hujan yang dalam album ini benar-benar spesial, unsur mistiknya tidak begitu kental, namun kali ini diisi dengan sentuhan musik beralunan keroncong yang bisa membius pendengarnya untuk mendapatkan sebuah suasana yang tenang.

Dari semua lagu dengan keistimewaan mas-ing-masing, mini album ini patut dicoba untuk didengarkan.

Page 25: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/2014 VISI | No. 31/Th. XXI/201448 49

Ruangan ini selalu lengang. Steril dari sem-barang manusia. Hanya beberapa yang tertentulah yang berhak masuk, dengan

volume suara yang hanya sedikit lebih tinggi dari suara bisikan. Barangkali aku pun termasuk dalam beberapa yang tertentu. Tentu saja. Apa jadinya mereka bila tanpa aku?

Dua orang yang singgah ke ruangan ini set-iap hari, lagi-lagi tengah berkonsolidasi. Berada tak jauh dariku, mereka berdiskusi. Aku men-genali salah satu dari mereka sebagai pemimpin redaksi. Orang-orang memanggilnya Bang Soni, namun aku mana peduli. Mau dipanggil Bang Soni, Pak Soni, atau siapapun, dia tetaplah Soni.

“Yang tadi sudah beres?” Sayup-sayup kuden-gar Soni kembali memulai diskusi.

“Hampir. Mungkin Bang Soni mau lihat?”“Bah! Kenapa masih begini? Sudah kubilang

tadi, jangan gunakan angle yang begini-begini. Kau belum mengerti juga?” suara Soni mulai meninggi, walau tak bisa dikatakan sebagai te-riakan.

“Tapi kami sudah memperbaiki angle yang jauh berbeda dari kemarin, Bang. Harus diapa-kan lagi?” tanya Fredi, karyawan yang menurut-ku paling berani menghadapi Soni.

“Fredi, sudah berapa lama kau bekerja di sini? Kenapa masih tak paham? Aku mau angle yang lain, yang lebih menarik untuk disimak.”

“Tapi kita sudah terlalu jauh dari idealisme kita...” Fredi terdengar lirih.

“Hahaha! Tahu apa kau, soal idealisme? Kau, kalau mau terus jadi kelompok idealis, jangan harap kita bisa tetap berdiri seperti ini,” seloroh si Soni. Ia meneguk sebotol air mineral 300 mili-liter hingga habis sepenuhnya, lantas membant-ingnya keras tepat di sampingku.

“Aku sudah bilang berkali-kali, Fred. Perbai-ki!” Soni menepuk bahu Fredi, lalu merangsek keluar ruangan.

Kini tinggallah aku dan Fredi sendiri. Fre-

kedua tangannya di depan dada. “Masih enggan, Fred? Alina-mu yang akan membawakan berita saja tidak susah, kok.”

Alina. Fredi kini mendongakkan kepalanya, menentang perkataan Soni barusan. Tentu saja ia tahu segala hal tentang Alina. Aku pun tahu, lewat surel-surelnya kepada Fredi, Alina menge-luhkan media tempat mereka bekerja. Mereka berdua sama-sama tak sepakat pada perintah atasan, namun tak kuasa untuk melawan. Men-jadi pembawa berita adalah cita-cita Alina sejak kecil, dan tawaran kakak tingkat mereka semasa kuliah jelas kesempatan yang tak bisa disiakan. Sama halnya dengan Fredi yang menyambut tawaran pekerjaan Soni di kala membutuhkan uang untuk masa depan mereka.

“Jangan kebanyakan melamun, Fred!” teria-kan Soni sambil memandang Fredi dengan ger-am. Baru kali ini aku mendengar ada yang ber-teriak di sini.

“Bang, untuk apa kita terus menuruti per-intah yang makin tak jelas ini?” Fredi mengatur napas dan emosinya, bersiap untuk segala yang akan terjadi kemudian. “Apa karena partai pe-megang saham, Bang? Abang ingin jadi caleg?”

“Jaga bicara kau, Fred! Ingat siapa yang sema-sa kuliah mengajarimu menulis. Siapa yang menawarimu pekerjaan di saat kau kebingun-gan bagaimana mau melamar Alina.”

“Terima kasih atas semuanya, Bang. Tapi aku lelah harus menjadi orang yang tak bisa mem-perjuangkan idealismenya sendiri.” jawab Fredi pasrah. Kulihat senyum tipisnya merekah, walau agak dipaksakan. Bila sekaranglah saatnya, ia siap untuk pergi.

Soni terdiam. Orang yang sejak lama ia bimb-ing dan percayai, pada akhirnya telah memutus-kan langkahnya sendiri. Mau bagaimana pun, ia tetap tak punya hak untuk menahan Fredi untuk tetap berada di sini.

Ketika Fredi melepaskan kartu pengenalnya dan menyerahkannya kepada Soni, aku tahu bahwa Fredi tak akan bimbang seperti hari sebelumnya. Setelah menjabat tangan Soni singkat, ia menghampiriku, memilih menu shut down. Ya, aku berhenti menjadi saksi perdebat-an antara Fredi dan pemimpinnya...

di yang malang. Ia kini terlihat begitu gamang. Seberani apapun ia menentang Soni, tetap saja ia berada di posisi yang kalah. Posisi yang pada akhirnya akan menghimpit dirinya un-tuk mengerjakan apa yang diperintahkan Soni. Bagaimana pun, Fredi berutang budi kepada Soni, senior semasa kuliah yang telah menga-jaknya bergabung ke perusahaan media besar di ibukota ini.

Fredi menatapku dengan tatapan nanar. Aku tahu apa yang ia pikirkan. Sudah begitu banyak beban yang ia dapatkan dari pekerjaan ini. Tidak jarang aku memergokinya tengah melamun setelah hasil kerjanya tak layak menurut Soni. Sore ini terlalu panas, bahkan di dalam ruangan yang pendingin ruangannya hampir tak pernah mati. Meski kegundahan masih menyelimuti permukaan wajahnya, Fredi mulai menyunting naskah berita yang sudah ia tulis dengan sepe-nuh hati. Ini bukan yang pertama kali. Kondisi ruanganku selalu seperti ini hampir setiap hari.

Aku ingat kejadian tempo hari, Fredi harus menghadapi Soni setibanya di kantor. Sebenarn-ya, bagiku yang awam soal dunia ini, permintaan Soni bukanlah sesuatu yang signifikan. Ia hanya menyuruh Fredi untuk memperbaiki beberapa kata dan frase yang ada dalam naskah berita un-tuk tayangan berita siang. Kupikir, apa bedanya frase “tragedi perusahaan” dan “bencana daer-ah”? Keduanya sama-sama musibah yang tak juga mendapatkan penanganan. Belakangan,

dari keluh kesah Fredi selepas keluarnya Soni dari ruangan ini, baru aku mengerti dampak kedua frase itu terhadap sebuah reputasi.

Fredi baru saja menyelesaikan suntingannya, ketika Soni memasuki ruangan dengan wajah yang ramah. Aku tahu, sesuatu akan terjadi. La-gi-lagi, tentu bukan sebuah peristiwa yang patut dinikmati.

“Fred, tolong periksa berita untuk Alina. Be-berapa perlu diperbaiki. Tayang satu jam lagi,” perintah Soni sambil mengangsurkan sebuah print-out yang masih terasa hangat.

“Kali ini berita apa, Bang?” tanya Fredi. Sebuah suara enggan terdengar dari pertanyan yang sebenarnya hanya basa-basi.

“Ah, kau seperti tak tahu saja. Berita mende-sak yang mau dikeluarkan di tayangan andalan, Fred,” jawab Soni dengan senyum yang bers-eri-seri. “Soft copy-nya sudah kukirim ke surel-mu.”

Aku mulai mengerti apa yang dimaksud Soni. Berada di ruangan ini sepanjang hari, tentu membuatku lebih pandai untuk cepat menger-ti. Semakin lama, aku merasakan hawa-hawa frustrasi. Kulihat ekspresi wajah Fredi makin ter-tekuk. Keningnya berkerut seiring dengan lem-bar demi lembar yang kusut dalam genggaman tangannya.

“Kenapa, Fred?” Soni mengeluarkan pertan-yaan yang terlalu polos.

“Kenapa harus berita macam ini, Bang?” Fre-di setengah membanting lembaran print out-nya. Lagi-lagi teronggok di sebelahku.

“Itu komando langsung dari atasan, Fred. Kau berani protes sama atasan?” Soni justru mem-balas pertanyaan Fredi dengan pertanyaan lain. Raut mukanya kini menegang, memperlihatkan garis-garis tegas yang membuat siapapun men-gerti bahwa lelaki di sebelahku ini sedang ma-rah.

“Saya tanya, kenapa kita harus memuat ber-ita ini?” Tidak ada lagi nada takut dalam suara Fredi, lain dari biasanya.

“Kau pasti sudah tahu, mereka memegang saham terbesar dalam perusahaan kita, Fred. Apakah ini masih kurang jelas untukmu? Tak us-ahlah banyak bertanya, kerjakan saja pekerjaan-mu. Waktumu tidak banyak, Fred.” Soni melipat

SaksiOleh Ainun Nisa Nadhifah

erpenC

Page 26: Majalah VISI 31

VISI | No. 31/Th. XXI/201450

mentari di atas telaga itu kelabulazuardi tiba-tiba berubah ungurerumputan sabana hijau layu

Pemuda! Pemuda! kau Pemuda, bukan?apa kau melihat ibu-ibu di sana?ia berumur 68 tahun, sekarang

tapi, lihatlah kerutan di wajahnya!itu lukisan alami perjuangannya

ia belum bahagia,kau harus menolongnya, Pemuda!

heh, Pemuda! Pemuda!sial, bisa-bisanya kau tertidur

lalu aku berjalan dari satu titik ke titik laindari satu waktu ke waktu yang lain

aku melihat begitu sengit, perang cari kerjaPemuda tanpa ijazah dan keterampilan,

tumbang di jalananaku melihat Muda-Mudi dirundung asmara

galau melihat kelakuan gundiknyaaku melihat mahasiswa, di kampus-kampusdamai, tanpa keresahan, tanpa pergerakan

hanya teori-teori yang santer, tapi minim eksekusiidealisme hanya jadi pajangan etalase

aku semakin kasihan pada ibu itu,aku jadi mempertanyakan kembali, kata-kataku

“beri aku sepuluh Pemuda, makaakan kuguncang dunia”

Di MatakuOleh Hanputro Widyono

uisiP

Page 27: Majalah VISI 31