MAENA PADA UPACARA FALÕWA DI ÕRI LARAGA KOTA … · pepatah/amaedola Nias “Manana Zalawa,...
Transcript of MAENA PADA UPACARA FALÕWA DI ÕRI LARAGA KOTA … · pepatah/amaedola Nias “Manana Zalawa,...
MAENA PADA UPACARA FALÕWA DI ÕRI LARAGA KOTA GUNUNG SITOLI:
ANALISIS TEKSTUAL, MUSIKAL DAN TARI
T E S I S
Oleh
CATHRINA SUMIATY TAMPUBOLON NIM. 127037004
PROGRAM STUDI
MAGISTER (S-2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
2 0 1 4
i
MAENA PADA UPACARA FALÕWA DI ÕRI LARAGA KOTA GUNUNG SITOLI:
ANALISIS TEKSTUAL, MUSIKAL DAN TARI
T E S I S
Oleh
CATHRINA SUMIATY TAMPUBOLON NIM. 127037004
PROGRAM STUDI
MAGISTER (S-2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
2 0 1 4 MAENA PADA UPACARA FALÕWA
ii
DI ÕRI LARAGA KOTA GUNUNG SITOLI: ANALISIS TEKSTUAL, MUSIKAL DAN TARI
T E S I S
Untuk memperoleh gelar Magister Seni (M.Sn.) dalam Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni
pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Oleh:
CATHRINA SUMIATY TAMPUBOLON NIM. 127037004
PROGRAM STUDI
MAGISTER (S-2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
2 0 1 4
iii
Judul Tesis MAENA PADA UPACARA FALÕWA DI ÕRI LARAGA KOTA GUNUNG SITOLI: ANALISIS TEKSTUAL, MUSIKAL DAN TARI
Nama : Cathrina Sumiaty Tampubolon Nomor Pokok : 127037004 Program Studi : Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Tanggal lulus:
Drs. M. Takari, M.Hum., Ph.D. NIP. 19651221 199103 1 001
Drs. Kumalo Tarigan, M.A. NIP. 19581213 198601 1 001
________________________________ Ketua
____________________________ Anggota
Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Ketua,
Drs. Irwansyah, M.A. NIP.19621221 199703 1 001
Fakultas Ilmu Budaya Dekan,
Dr. Syahron Lubis, M.A. NIP. 19511013 197603 1 001
Telah diuji pada
iv
Tanggal :
PANITIA PENGUJI UJIAN TESIS
Ketua : Drs. Irwansyah, M.A. ( ____________________ )
Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. ( ____________________ )
Anggota I : Drs. M. Takari, M.Hum., Ph.D. ( ____________________ )
Anggota II : Drs. Kumalo Tarigan, M.A. ( ____________________)
Anggota III : Prof. Dr. Ikhwanuddin Nst., M.Si. ( ____________________)
v
ABSTRACT
This research studies about an analysis of Maena poems’s structure in cultural wedding occasion ‘ori laraga’ in Gunung Sitoli. The writer wants to see the purposes are and why Nias people are so happy when they sing and move their body when the poems sung. In this thesis, the writer tries to use some semiotics theories and functional theories to know the meanings deeper which are contained in every poem sung in Maena. The writer selecs ‘fanema’õ tome to be the source to see the transcript of the song texts, the tone, the basic tone used, the tone area, the number of the tone, the tone interval, and the conture. From the beauty side, the writer wants to analyze Maena dance itself, the structure of Maena and the poems of Maena, so that the writer is able to analyze the textual poems of maena which are often sung in the cultural wedding ‘Ori Laraga’ in Gunung Sitoli. The results found that maena dance is a form of entertainment in the ceremonies conducted at Gunung Sitoli. That's what makes all people can come together and become familiar among one of the family with other families regardless of background and social status of the people who follow it. Dance maena not be a necessity that in the absence of maena the ceremony can not take place, only without the dancing maena there seems to be something missing from the ceremonial meaning. Key Words: Maena, Semiotic, Function, Õri laraga, Fanema’õ Tome
vi
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji Maena pada upacara Falõwa di Õri Laraga Kota Gunung Sitoli : Analisis Tekstual, Musikal, dan Tari. Peneliti ingin melihat makna syair Maena yang dinyanyikan oleh masyarakat Nias, apa tujuannya dan mengapa masyarakat Nias begitu sangat bergembira ketika menyanyikan dan menggerakan badan mereka ketika syair Maena dinyanyikan. Dalam tesis ini, peneliti menggunakan beberapa teori semiotik dan teori fungsional guna mendalami makna yang terkandung di dalam setiap syair yang dinyanyikan di dalam Maena. Peneliti mengambil lagu Fanema’õ Tome menjadi bahan bagi peneliti untuk melihat transkrip teks lagunya, tangga nadanya, nada dasar yang digunakan, wilayah nadanya, jumlah nadanya, interval nadanya, serta konturnya. Dari segi keindahannya, peneliti ingin menganalisis tari Maena itu sendiri. Struktur Maenanya, gaya bahasa ketika menyanyikan lagu Maena, makna syair lagu Maena, serta syair-syair lagu Maena tersebut. Sehingga peneliti dapat menganalisis tekstual syair Maena yang sering di acara pernikahan adat di Õri laraga kota Gunung Sitoli. Hasil penelitian menemukan bahwa tarian maena merupakan suatu bentuk sarana hiburan dalam suatu upacara- upacara yang dilakukan di Gunung Sitoli. Hal itulah yang membuat semua orang dapat menyatu dan menjadi akrab antara satu satu keluarga dengan keluarga lain tanpa membedakan latar belakang dan status sosial orang-orang yang mengikutinya. Tarian maena tidak menjadi suatu keharusan bahwa dengan tidak adanya maena maka upacara tidak dapat berlangsung, hanya saja tanpa adanya tarian maena sepertinya ada sesuatu hal yang hilang dari makna upacara adat tersebut. Kata kunci: Maena, Semiotik, Fungsional, Õri laraga, Fanema’õ Tome
vii
PRAKATA
Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas berkat
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan sebaik-
baiknya. Tak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen, instansi
Pemerintah Nias, serta masyarakat Nias. Adapun ucapan terima kasih itu penulis
ucapkan kepada :
Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M,Sc (CTM), Sp.A (K)
selaku Rektor Universitas Sumatera Utara; Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A selaku
Dekan Fakultas Ilmu Seni dan Budaya yang telah memberikan fasilitas dan sarana
pembelajaran sehingga penulis dapat menuntut ilmu di Kampus Universitas
Sumatera Utara dalam kondisi yang nyaman.
Bapak Drs. Irwansyah, M.A selaku Ketua Program Studi Magister (S-2)
Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Seni Ilmu Budaya Universitas Sumatera
Utara (USU), yang telah memberikan masukan dan dorongan sehingga tesis ini
dapat diselesaikan. Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum, selaku Sekretaris
Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan masukan dan materi
dalam hal teknik penulisan yang benar demi sempurnanya tesis ini.
Bapak Drs. Muhammad Takari, M.A., Ph.D selaku Pembimbing I; Bapak
Drs. Kumalo Tarigan, M.A, Ph.D selaku Pembimbing II; Bapak Prof. Dr.
Ikhwanuddin Nasution, M.A., selaku Ketua Penguji; Bapak Prof. Dr. Muhizar
Muchtar, M.A.; Bapak Drs. Setia Dermawan Purba M.Si; Bapak Drs. Bebas
Sembiring M.Si.; Ibu Dra. Rithaony, M.A.; selaku dosen pada Program Studi
viii
Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara diucapkan terima kasih.
Bapak Drs. Ponisan selaku pegawai sekretariat Magister (S-2) Penciptaan
dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara; Bapak
Pintar Zebua, S.Pd selaku Kepala Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan
Olahraga Kota Gunung Sitoli yang membantu penulis dalam memberikan
informasi terkait penyusunan laporan tesis ini; Bapak Benyamin Harefa selaku
Ketua LBN (Lembaga Budaya Nias) Kota Gunung Sitoli yang membantu penulis
dalam menghubungkan beberapa informan-informan yang mengetahui
kebudayaan Nias khususnya Maena. Juga tak lupa ucapan terima kasih kepada
Bapak Eliyaman Zebua, S.Si, sebagai pemerhati dan pecinta budaya Nias yang
telah membantu menyarankan penulis untuk mengkaji judul analisis lagu dan
syair Maena, sekaligus menjadi narasumber, dan editor penulis di Medan. Seluruh
teman-teman guru, teman-teman dari SMM (Sekolah Menengah Musik) yang
selama ini telah banyak mendukung dan memberi semangat kepada Penulis.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan
kepada keluarga tercinta, terutama kepada Alm. Ayahanda Ir. Kaya Tampubolon,
Ibunda H. Tambunan, Suami tercinta Yaia Zanolo Hulu yang sabar dan setia
membantu penulis selama proses pencarian data di kota Gunung Sitoli; serta anak-
anak penulis, Charlie Jonatan Hulu, S.E., Frederick Yogi Hulu S, S.T., dan Ruth
Ansela Thalita Hulu. Serta kepada rekan-rekan seperjuangan dan seangkatan
penulis, mahasiswa Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni
Fakultas Ilmu Budaya USU.
ix
Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih belum maksimal,
seperti pepatah mengatakan Tak ada gading yang tak retak; mengutip sebait
pepatah/amaedola Nias “Manana Zalawa, manana Gere, fakaole sa’atõ
namuhede” (biarpun tokoh masyarakat, walaupun seorang Imam, tetap ada
kekurangan dalam bertutur kata). Untuk itu penulis mengharapkan kepada semua
pihak untuk menyampaikan kritik ataupun saran guna melengkapi dan
menyempurnakan ke arah yang lebih baik lagi. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat bagi kemajuan budaya Nias dan memperkaya khasanah budaya
Indonesia.
Medan, Agustus 2014
Penulis,
Cathrina Sumiaty Tampubolon NIM: 127037004
x
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS DIRI
1 Nama Cathrina Sumiaty Tampubolon
2 Tempat / Tanggal Lahir Medan, 25 Nopember 1968
3 Jenis Kelamin Perempuan
4 Agama Katolik
5 Kewarganegaraan Indonesia
6 Nomor Telepon 0813 9690 9039
7 Alamat Jalan Rotan X No. 19 Perumnas Simalingkar Medan
8 Pekerjaan :Guru
9 Pendidikan Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dari Perguruan Tinggi Teladan (STKIP) Medan, lulus tahun 2008.
Pada tahun akademik 2012/2013 diterima menjadi mahasiswa pada
Program Studi Magister (S-2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Sumatera Utara.
xii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................. i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... ii ABSTRACT …… ....................................................................................... v ABSTRAK ..................................................................................................... vi PRAKATA .................................................................................................... vii DAFTAR RIWAYAT HIDUP....................................................................... x HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ xi DAFTAR ISI .................................................................................................. xii DAFTAR TABEL .......................................................................................... xvi DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xvii DAFTAR BAGAN ......................................................................................... xviii BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………. .. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................... 1 1.2 Pokok Permasalahan ................................................................. 15 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………... 16
1.3.1 Tujuan Penelitian ............................................................. 16 1.3.2 Manfaat Penelitian ........................................................... 17
1.3.2.1 Bagi Mahasiswa ................................................ 17 1.3.2.2 Bagi Lembaga Pendidikan ................................. 17 1.3.2.3 Bagi Masyarakat ................................................ 18 1.3.2.5 Bagi Peneliti ...................................................... 18
1.4 Landasan Konsep Dan Teori ……………………………………….. 19 1.4.1 Konsep .......................................................................... 19 1.4.2 Teori ............................................................................. 21
1.4.2.1 Teori Semiotik ................................................... 22 1.4.2.2 Semiotik Charles Sanders Peirce ........................ 24 1.4.2.3 Semiotik Ferdinand de Sausurre ......................... 27 1.4.2.4 Semiotik Halliday .............................................. 29 1.4.2.5 Semiotik Roland Barters .................................... 30 1.4.2.6 Semiotik Malinowski ......................................... 31 1.4.2.7. Teori Semantik ................................................. 34 1.4.2.8 Teori Weghted Scale …………………………... 36 1.4.2.9 Teori Koreografi Tari ………………………..... 39
1.5 Metode Penelitian ……………………………………………………. 40 1.5.1 Jenis Penelitian ............................................................... 40 1.5.2 Penelitian Lapangan ....................................................... 43 1.5.3 Fokus Penelitian ............................................................. 44 1.5.4 Teknik Pengumpulan Data …………………………………. 44
1.5.4.1 Observasi ........................................................... 45 1.5.4.2 Wawancara ........................................................ 45 1.5.4.3 Tekhnik Analisis Data ........................................ 46
xiii
1.6 Studi Kepustakaan .................................................................... 46 1.7 Sistematika Penulisan ............................................................... 56
BAB II ETNOGRAFI ETNIK MASYARAKAT NIAS ……………….. 58 2.1 Nias ..................................................................................... 58 2.2 Keadaan Geografis Nias ........................................................... 61 2.3 Penduduk ……………………………………………………………… 66 2.3.1 Suku Bangsa ................................................................. 66 2.3.2 Jumlah Penduduk .......................................................... 69 2.4 Pola Perkampungan .................................................................. 71 2.5 Asal Usul Masyarakat Nias ....................................................... 73 2.6 Sistem Religi dan Agama ......................................................... 76 2.7 Sistem Kekerabatan …………………………………………………. 78 2.7.1 Garis Keturunan ............................................................ 78 2.7.2 Kelompok Kekerabatan ................................................. 80 2.7.3 Sistem Istilah Kekerabatan ............................................ 82 2.7.4 Sopan Santun Kekerabatan ............................................ 85 2.8 Gender …………………………………………………………………. 88 2.8.1 Pengertian Gender ......................................................... 88 2.8.2 Mengapa Gender Dibicarakan ....................................... 89 2.8.3 Perwujudan Kesetaraan dan keadilan Gender ............... 94 2.9 Organisasi Sosial ...................................................................... 94 2.10 Bosi/Kasta .............................................................................. 96 2.11 Kesenian ................................................................................ 98
BAB III DESKRIPSI FALÕWA DAN PENGGUNAAN MAENA ……… 101
3.1 Falõwa/Pesta Pekawinan ……………………………………………. 101 3.1.1 Fanunu Manu .................................................................. 101 3.1.2 Fangowai dan Fame’e Afo .............................................. 105 3.1.3 Famõzi Aramba ............................................................... 106 3.1.4 Fame’e ............................................................................ 107 3.1.5 Folau Bawi ..................................................................... 109 3.1.6 Falõwa ............................................................................ 111 3.1.7 Pemberian Bola Nafo ...................................................... 111 3.1.8 Pemufakatan ................................................................... 112 3.1.9 Acara Tarian Maena ........................................................ 112 3.1.10 Fangaetu Golola ........................................................... 112 3.1.11 Fame Tou Ono Nihalõ ................................................... 112
3.2 Orang Yang Terlibat pada Upacara Pernikahan ………………… 113 3.2.1 Upacara Tahõ dõdõ.......................................................... 113 3.2.2 Upacara Fame’e Gõ ......................................................... 114 3.2.3 Upacara Famuli Mukha ................................................... 114
3.3 Pelaku Upacara pada Upacara Pernikahan ……………………… . 115 3.3.01 Fame’e li ...................................................................... 115
xiv
3.3.02 Fame’e Laeduru............................................................ 115 3.3.03 Fanunu Manu ............................................................... 115 3.3.04 Famalua Li ................................................................... 116 3.3.05 Fame’e Fakhe Toho ...................................................... 117 3.3.06 Fangandrõ Li Nina ....................................................... 118 3.3.07 Fangandrõ ba dekhembõwõ .......................................... 118 3.3.08 Fangandrõ ba Wawõwõkha ........................................... 118 3.3.09 Famaola Na nuwu ......................................................... 118 3.3.10 Famaigi Bawi ............................................................... 119 3.3.11 Folau Bawi ................................................................... 119 3.4 Waktu Upacara ........................................................................ 120 3.5 Benda-benda Upacara ............................................................... 121 3.6 Tempat Upacara ....................................................................... 127 3.7 Maena …………………………………………………………………. 128 3.7.1 Tarian Maena.................................................................. 128 3.7.2 Vokal Maena .................................................................. 131 3.8 Perkawinan Adat menurut Bõwõ Laraga .................................. 132
BAB IV HASIL ANALISIS TEKS LAGU MAENA …………………… 134 4.1 Struktur Teks………………………………………………………. ... 134 4.1.1 Teks pembuka ................................................................. 134 4.1.2 Isi teks ............................................................................ 135 4.1.3 Teks penutup .................................................................. 135 4.2 Makna Teks………………………………………………………. ..... 136 4.2.1 Makna konotatif .............................................................. 136 4.2.2 Makna denotatif .............................................................. 136 4.2 Diksi dan Gaya Bahasa……………………………………………. .. 138
BAB V STRUKTUR MUSIKAL ……………………………. .................. 149 5.1 Transkripsi Teks dan Melodi Lagu ........................................... 149 5.2 Analisis Melodi Maena............................................................. 152 5.2.1 Tangga Nada .................................................................... 152 5.2.2 Nada dasar ....................................................................... 152 5.2.3 Wilayah Nada .................................................................. 153 5.2.4 Jumlah nada ..................................................................... 154 5.2.5 Interval ............................................................................ 155 5.2.6 Kontur ............................................................................. 155 5.2.7 Formula ........................................................................... 157 5.2.6 Kadensa ........................................................................... 158
BAB VI STRUKTUR TARI MAENA ……………………………. ............ 159
6.1 Maena ..................................................................................... 159 6.2 Tari Maena .............................................................................. 164 6.3 Gerakan Tarian Maena ............................................................ 164
BAB VII PENUTUP ……………………………. ........................................ 169
xv
7.1 Kesimpulan ............................................................................. 169 7.2 Saran ..................................................................................... 170
DAFTAR PUSTAKA …………. .................................................................. 172 GLOSARIUM …………............................................................................... 174 LAMPIRAN ………….................................................................................. 177
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 : Pembagian Tanda ......................................................................... 26
Tabel 2.1 : Statistik Geografi dan Iklim Gunung Sitoli .................................... 65
Tabel 5.1 : Jumlah Nada ................................................................................ 154
Tabel 5.2 : Interval ........................................................................................ 155
Tabel 5.2 : Kontur Lagu Fanema’o Tome ..................................................... 156
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 : Peta Nias ...................................................................................... 64
Gambar 2.2 : Lambang Istilah Kekerabatan ....................................................... 82
Gambar 6.1 : Tarian Maena Pola Lantai Garis Lurus ....................................... 165
Gambar 6.2 : Tarian Maena Pola Lantai Lingkaran ........................................... 166
xviii
DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 : Segitiga Makna .............................................................................. 25
Bagan 1.2 : Tentang Hubungan Tanda ............................................................. 27
Bagan 2.1 : Persentase Distribusi Penduduk Gunung Sitoli .............................. 70
Bagan 2.2 : Kepadatan PendudukGunung Sitoli ............................................... 71
Bagan 2.3 : Pola Perkampungan Berbentuk Gang ............................................. 71
Bagan 2.4 : Pola Perkampungan Berbentuk U ................................................. 72
Bagan 2.5 : Sistem istilah Kekerabatan Nias .................................................... 87
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Tradisi merupakan adat kebiasaan yang secara turun-temurun dijalankan
dari zaman nenek moyang hingga generasi terakhir dalam suatu tatanan kehidupan
masyarakat. Tradisi dalam sebuah suku (etnik) muncul akibat adanya kebiasaan
yang mereka lakukan dan dianggap merupakan hal yang baik dan benar, sehingga
kebiasaan tersebut menjadi kewajiban bagi masyarakat setempat.
Setiap suku dimanapun umumnya memiliki tradisi yang berbeda dengan
suku lainnya. Hal ini karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: geografis,
kepercayaan, pola pikir, peradaban, dan lain sebagainya. Tradisi biasanya
memiliki keunikan tersendiri, karena kebiasaan antar suku umumnya berbeda.
Keunikan inilah yang membuat tradisi itu menjadi sebuah budaya yang memiliki
nilai yang dianggap tinggi, oleh yang menggunakannya. Demikian pula tradisi
yang terdapat dalam suku Nias di Propinsi Sumatera Utara, Indonesia. Di dalam
tradisi mereka terdapat berbagai kegiatan upacara.
Dalam rangka menjalani kehidupannya, manusia melakukan berbagai
upacara yang berkaitan dengan siklus atau perputaran hidupnya. Di antaranya
adalah upacara menyambut hadirnya janin, seperti halnya tingkeban yaitu upacara
tujuh bulanan janin dalam budaya Jawa. Kemudian ketika lahir pun diadakan
upacara penyambutan kelahiran bayi sebagai penerus generasi terdahulu.
Kemudian dalam rangkaian ini dibuat juga upacara pemberian nama. Setelah itu
2
diadakan lagi upacara memijak tanahuntuk pertama kalinya ia dapat berjalan dan
akan menjalani kehidupannya kelak sebagai apa. Setelah itu, dalam beberapa
masyarakat di dunia ini ada juga tradisi berkhitan atau sunatan, termasuk dalam
kebudayaan Nias.
Selanjutnya dalam rangkaian siklus hidup ini ada pula upacara
perkawinan, yang konsep dan terapannya berbeda-beda antara setiap suku bangsa.
Namun jika dilihat lebih luas, fenomena perkawinan ini adalah yang universal
dalam kebudayaan manusia. Dalam rangkaian upacara perkawinan ini, bisa jadi
dibagi-bagi ke dalam beberapa tahapan, seperti: meminang, kenduri, menghantar
uang mahar, pengabsahan secara religi, persandingan, dan upacara pasca
perkawinan. Demikian pula yang terjadi dalam kebudayaan Nias. Mereka
memiliki upacara perkawinan yangdisebut dengan fangowalu.
Setelah membentuk rumah tangga, mereka akan memperoleh keturunan,
dan keturunannya ini mengalami dan menjalani berbagai upacara siklus hidup
yang dilatarbelakangi oleh budaya tersebut. Seterusnya dalam rangka
bermasyarakat, manusia juga melakukan upacara-upacara seperti menjamu para
tetangga dan kerabat, melakukan upacara religi di kediaman atau juga rumah
ibadah, dan juga kematian. Upacara kematian ini dalam kebudayaan manusia
dipandang sebagai perpindahan dari alam dunia ini ke alam dunia lain. Dalam
kebudayaan manusia dalam menuju alam akhirat atau alam berikutnya itu, ada
yang menyertakan harta benda di samping jenazah yang dikuburkan, ada pula
yang tidak. Namun yang paling umum adalah menyertainya dengan doa agar si
jenazah diterima di sisi Tuhan dengan keadaan yang sebaik-baiknya, terutama
3
menerima segala kebaikannya semasa hidup dan Tuhan dapat memaafkan segala
dosanya. Demikian juga yang terjadi dalam kebudayaan suku (etnik) Nias.
Suku Nias merupakan suku asli (masyarakat) yang hidup di Pulau Nias,
Sumatera Utara. Kepulauan Nias terdiri dari pulau Nias sebagai pulau utama dan
pulau-pulau kecil lain di sekitarnya. Kepulauan Nias terletak di lepas pantai
pesisir barat di Samudra Hindia dengan pusat pemerintahan yang terletak di
Gunung Sitoli. Kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Nias masih
dijunjung tinggi oleh masyarakatnya. Hal ini terbukti dengan berbagai acara atau
upacara yang masih menggunakan tradisi atau hukum adat yang berlaku di
masing-masing tempat. Umumnya, setiap wilayah pemukiman di Pulau Nias
memiliki tradisi yang berbeda.
Orang-orang Nias merupakan salah satu suku dari sekian banyak suku-
suku yang ada di Indonesia, yang berada di bagian paling barat Propinsi Sumatera
Utara, khususnya di Pulau Nias dan sekitarnya. Secara rasial atau fisik, etnik Nias
ini dapat dikelompokkan ke dalam ras Mongoloid. Masyarakat Nias pada masa
religi Sanömba Adu mempercayai sistem penggolongan derajat manusia yang
disebut bosi. Di dalam bosi ini diatur tentang kehidupan manusia dari lahir
sampai meninggal dunia.
Kegiatan seperti upacara penguburan, pernikahan, penyambutan tamu,
kelahiran bayi dan lain sebagainya memiliki nilai budaya. Masyarakat Nias
merupakan masyarakat yang menjunjung tinggi dan mengutamakan nilai-nilai
kesopanan, tata krama, dan penghormatan. Oleh karena itu, setiap upacara atau
kegiatan yang dilakukan harus memasukkan ketiga unsur tersebut.
4
Upacara-upacara yang dilakukan di dalam seluruh kehidupan manusia
Nias, disebut secara umum dengan bosi. Salah satu dari urutan bosi ini ialah
fangowalu atau pesta perkawinan. Di dalam pesta perkawinan ini ada tahap-tahap
yang harus ditempuh namun ketika dilangsungkannya pesta perkawinan ada
sebuah tarian yang dipertunjukan pada urutan perkawinan ini yaitu Maena.
Setiap acara yang diadakan masih mengikuti tradisi dan budaya setempat
sesuai dengan hukum adat Nias, yaitu fondrakõ. Hukum adat ini berfungsi untuk
mengatur tatanan hidup masyarakat pulau Nias dan kutuk merupakan sanksi bagi
yang melanggarnya. Istilah fondrakö berasal dari kata rakö, artinya: tetapkan
dengan sumpah dan sanksi kutuk. Fondrakö merupakan forum musyawarah,
penetapan, dan pengesahan adat dan hukum. Bagi orang Nias, mereka yang
mematuhi fondrakö dipercayai akan mendapat berkat dan yang melanggar akan
mendapat kutukan dan sanksi. Seperti halnya mitos tentang asal-usul orang Nias
yang konon diturunkan Nidada (Tuhan) dari langit (Tetehöli Ana’a), maka
fondrakö ini diturunkan bersama dengan Hia Walangi Sinada (raja) di daerah
Gomo (Bagian Selatan Nias). Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk
Nias, maka para raja dan tetua adat bermufakat untuk membaharui peraturan yang
ada sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing rakyatnya.
Pengesahan fondrakö ini melibatkan binatang atau benda yang
diumpamakan sebagai siksaan atau kutuk yang akan dialami oleh orang yang
melanggar hukum adat tersebut. Biasanya, fondrakö ini disaksikan oleh para
pengetua adat dan Raja yang dilaksanakan di sebuah tempat untuk
bermusyawarah yang dikenal dengan istilah Arö Gosali. Mereka menetapkan
5
fondrakö dengan menggunakan ayam, lidi, dan timah panas. Salah seorang tetua
adat akan mematah-matahkan lidi atau kaki dan sayap ayam serta menuangkan
timah panas ke dalam mulut ayam tersebut. Saat melakukan ritual tersebut, dia
akan mengucapkan kutuk “Barang siapa yang melanggar segala sesuatu yang
telah ditetapkan dalam fondrakö ini, maka dia akan segera mati (patah seperti
lidi), atau disiksa seperti ayam yang kaki dan tangannya patah serta segala yang
dimakannya akan terasa panas seperti timah panas yang dimasukkan ke mulut
ayam. Terkadang, mereka juga menggunakan kucing atau anjing dengan kutuk,
“Lö mowa’a ba danö ba lö molehe bambanua” yang artinya tidak akan memiliki
keturunan.
Pada masa itu (terutama sebelum masuknya ajaran agama Kristen ke Pulau
Nias). Fondrakö ini sangat dipercaya memiliki kekuatan dan banyak yang
mengalami kutuk seperti yang telah ditetapkan para tetua tersebut. Selain
fondrakö, adapula hukuman lainnya bagi individu yang melanggar peraturan,
mulai dari denda emas dan babi, hingga hukuman pancung (leher dipenggal).
Proses memancung leher dilakukan dengan menidurkan orang yang akan dihukum
di atas tanah dan lehernya diletakkan di atas batang pisang, barulah proses
eksekusi dilakukan (Gea, 2013). Hukum adat Nias, selain berupa proses
menetapkan sanksi seperti sesuai di atas, juga mengatur perkawinan (falõwa).
Dalam kebudayaan masyarakat manusia di seluruh dunia ini, dapat
dipastikan terdapat institusi perkawinan. Selain memiliki tujuan dan persamaan
universal, ada pula ciri-ciri khusus kegiatan perkawinan (pernikahan) di dalam
kebudayaan manusia.
6
Seorang pakar antropologi Eropa, Gough (1959) melihat perkawinan, di
sepanjang masa dan semua tempat di dunia ini, sebagai satu kontrak menurut adat-
istiadat, yang bertujuan untuk menetapkan pengabsahan anak yang baru dilahirkan
sebagai anggota yang dapat diterima masyarakat. Dalam usaha menemukan
definisi yang universal, Good enough memusatkan pemikirannya kepada hak atas
seksualitas wanita yang diperoleh berdasarkan kontrak sosial.
Perkawinan adalah satu transaksi yang menghasilkan satu kontrak, yaitu seorang (laki-laki atau perempuan, korporatif atau individual, secara pribadi atau melalui wakil, memiliki hak secara terus-menerus untuk menggauli seorang perempuan secara seksual – hak ini memiliki keutamaan atas hak menggauli secara seksual yang sedang dimiliki atau kemudian diperoleh oleh orang-orang lain terhadap perempuan tersebut, sampai hasil transaksi itu berakhir dan perempuan yang bersangkutan dianggap memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Goodenough, 1970:12-13).
Dalam berbagai kebudayaan manusia di dunia ini, terjadi beberapa
orientasi dalam perkawinan. Ada masyarakat yang mendasarkan kepada
perkawinan monogami, adapula yang memperbolehkan poligami, namun ada pula
yang membolehkan perkawinan dalam bentuk penyimpangan sosial umum dan
moralitas, yaitu perkawinan poliandri (satu perempuan kawin dengan lebih dari
satu suami). Dalam beberapa kelompok masyarakat, dua orang pria atau lebih
bisa bersama-sama menggauli wanita secara seksual, yang biasanya melibatkan
sekelompok saudara laki-laki (poliandri fraternal). Poliandri sering dihubungkan
dengan ketidak seimbangan penduduk, yang disebabkan oleh kebiasaan
membunuh bayi perempuan. Di Himalaya sebagai contoh, poliandri dilakukan
karena tujuannya mengurangi jumlah keluarga yang terlalu besar,sementara lahan
pertanian terbatas luasnya. Dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam praktik
demikian sangat dilarang. Begitu juga hubungan incest yaitu antara kerabat
7
kandung. Semua ini adalah aturan Tuhan untuk makhluk manusia ciptaan-Nya
agar manusia menjadi rahmat kepada alam, bukan merusak alam, atau generasi
keturunannya. Dalam kebudayaan Nias, perkawinan yang umum adalah
monogami, terutama bagi yang beragama Kristen. Namun demikian, di kalangan
orang Nias yang beragama Islam ada pula yang melakukan perkawinan poligami.
Berdasarkan pengalaman penulis, tidak ditemukan tradisi poliandri di dalam
kebudayaan Nias.
Tradisi pernikahan di pulau Nias merupakan suatu acara yang sangat
unik (khas) dan bernilai kebudayaan. Tetua adat memiliki peranan penting dalam
pernikahan serta dalam hal menentukan apakah seorang wanita menurut hukum
adat sudah boleh dikawinkan atau belum. Ketika seorang pria ingin meminang
wanita Nias, maka ada syarat yang harus dipenuhi oleh pria tersebut. Hal ini lebih
dikenal dengan istilah Böwö yang artinya mahar. Mahar atau mas kawin dalam
tradisi adat Nias cukup tinggi. Pria yang ingin menikahi wanita harus memberikan
sejumlah uang, perhiasan (emas), beberapa karung beras dan babi dewasa.
Apabila dirupiahkan, maka semuanya akan mencapai puluhan bahkan bisa ratusan
juta rupiah.
Adat perkawinan pada masyarakat Nias dilakukan sejak masa
pertunangan. Pada masa ini, pria harus memberi emas kepada keluarga wanita,
beberapa ekor babi, ayam, serta sejumlah uang. Acara pertunangan yang
dilakukan biasanya dipestakan secara besar-besaran dan meriah. Sanak keluarga,
tetangga, dan sitenga bö’ö (kerabat) akan diundang untuk menyaksikan acara
pesta pertunangan.
8
Ada beberapa rangkaian acara yang biasanya dilakukan dalam pesta
pernikahan suku Nias, terutama di Õri Laraga yaitu: a. Fame’e Laeduru
(memberikan cincin), b. Fanunu Manu ( membakar ayam) yaitu istilah untuk
pesta kecil, c. Famalua Li (menyampaikan hasrat), d. Fame’e fakhe toho
(membawa padi jujuran), e. Fangandrõ li nina (memohon waktu dari ibu gadis), f.
Fame’e (menasehati calon pengantin), g. Famaola ba nuwu (memberitahukan ke
paman calon pengantin perempuan), h. Famaigi mbawi walõwa (menengok babi
jujuran adat), i. Folau bawi (membawa babi jujuran), j. Falõwa (upacara
pernikahan), k. Fame’e gõ (memberi makan penganten), dan l. Famuli nukha
(pengembalian pakaian).
Awalnya dalam kebudayaan Nias seluruh rangkaian acara ini dilakukan
tahap demi tahap, sehingga membutuhkan waktu yang sangat panjang. Seiring
dengan prinsip efisiensi waktu dalam pelaksanaan tahapan-tahapan ini, maka
akhir-akhir ini telah diadakan penggabungan yaitu poin a sampai e dalam satu
kesempatan, kemudian poin f sampai dengan poin i diwaktu yang lain, dan poin j
adalah hari pelaksanaan secara keseluruhan. Sedangkan poin k dan l, adalah anti-
klimaks dari seluruh rangkaian acara.
Dalam tesis ini, penulis mencoba menguraikan makna dan nilai luhur
yang juga merupakan rangkain dari adat pernikahan dan pesta lainnya. Termasuk
di dalamnya penyambutan tamu terhormat yaitu melalui lagu Maena yang
dilantunkan pada acara tersebut di atas.
Maena adalah suatu kegiatan budaya yang dilakukan secara turun
temurun oleh masyarakat Nias, baik yang masyarakat yang masih berada di
9
Kepulauan Nias, maupun kelompok masyarakat Nias yang berada di luar
Kepulauan Nias.Untuk memeriahkan suatu acara tertentu di Kepulauan Nias,
selain acara adat yang wajib dilaksanakan, tari dan lagu Maena yang merupakan
satu rangkaian yang tidak terpisahkan dengan acara adat sepertiterurai
sebelumnya. Maena menggunakan media gerak, teks, dan melodi yang dilakukan
secara dinamis oleh sekelompok orang. Masyarakat yang datang di dalam
kegiatan upacara di Nias, tidak terbatas hanya sebatas pada pesta pernikahan,
tetapi dilakukan juga pada acara lainnya seperti: peresmian organisasi adat,
agama, gedung baru, seminar, atau apapun kegiatan lain. Para pelaku tarian
Maena juga tidak dibatasi oleh gender (jenis kelamin), usia dan trah (bosi).
Mereka memainkan gerakan dalam tarian ini juga tidak dibutuhkan keahlian
khusus atau latihan yang memakan waktu lama, karena gerakannya tidak rumit,
cenderung sebagai perulangan yang sederhana dari sudut estetik, dan terjadi
pengulangan terus selama pelantun syairnya masih tetap menuturkan syair-
syairnya.
Maena merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional Nias, yang di
dalamnya mengandung seni tari dan nyanyian (musik vokal). Tariannya
dipolakan dengan gerakan yang membentuk segi empat. Dalam pertunjukannya
bermakna kegembiraan dan kemeriahan suatu acara yang dilangsungkan. Musik
vokal adalah musik yang dihasilkan oleh suara manusia, musik tersebut diiringi
alat musik atau tidak dan penyajiannya dapat dinyanyikan oleh satu orang (solo),
maupun dengan banyak orang (kelompok).
10
Maena tidak terlepas dari saling mempengaruhi antara nyanyian dengan
tari. Didalam tari ada gerakan, yang membentuk segi empat (öfa sagi) dan kaki
membentuk segi tiga (tölu sagi), kedua lengan diayunkan ke depan dan ke
belakang sehingga selama pertunjukan Maena, gerakan inilah yang terus diulang-
ulang dari awal hingga berakhirnya pertunjukan. Gerakan pada Maena tidak
terlalu banyak dan sangat mudah untuk dipelajari, tetapi pada pertunjukannya
harus memiliki kekompakkan gerakan tersebut walaupun dikatakan mudah,
namun dari sekian banyaknya jumlah penyaji Maena ini, yang harus diperlukan
ialah kekompakan, selain itu gerakan Maena berputar ke arah kiri.
Musik vokal pada Maena berupa susunan pantun yang dinyanyikan atau
disuarakan oleh sanutunö1maena (pemimpin Maena) yang dipimpin oleh satu atau
dua orang. Sanutunö maena juga dapat dipimpin oleh satu orang saja namun yang
menjadi pimpinannya ialah seorang perempuan. Apabila sanutunö maena dua
orang, maka yang satu perempuan dan satu lagi laki-laki dan terkadang juga dua-
duanya dipimpin oleh perempuan. Dengan demikian, dalam tradisi Maena ini,
pihak laki-laki dan perempuan memiliki peran bersama, dan itu merupakan
ekspresi kerjasama gender dalam budaya Nias yang lebih luas.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam melihat Maena ini, yakni
tempat atau lokasi sanutunö maena (pemimpin) dengan sanehe maena atau ono
maena (peserta Maena) pada saat pertunjukan. Sanutunö maena berpisah
tempatnya ataupun terkadang juga bisa gabung dengan sanehe atau ono maena
1Dalam pengucapan serta penulisan atau pronounsiasi dalam bahasa Nias, seperti dilakukan
oleh masyarakat Nias, ö dibaca e sama dengan pengucapan huruf e pada kata menganalisis. Penulisan kata-kata dalam bahasa Nias dengan huruf Latin seperti itu, awalnya diperkenalkan oleh para misionaris Kristen, yang dimulai dengan zending Jerman dibawah pimpinan Deninger 1850-an.
11
tetapi pada umumnya selalu berpisah. Sanehe (ono maena) merupakan orang yang
menyanyikan syair maena yang bersifat tetap, dan terus diulang-ulang oleh
peserta maena setelah sanutunö maena menyanyikan syair yang berupa susunan
pantun-pantun sampai berakhirnya maena tersebut (strophic). Dengan demikian,
maka Maena ini secara musikal dapat dikelompokkan ke dalam musik logogenik,
yaitu lebih mengutamakan syair ketimbang bentuk melodinya.2
Fanutunö maena (syair maena) yaitu suatu lirik yang disajikan dalam
bentuk bernyanyi oleh sanutunö maena (orang yang membacakan syair maena).
Syair maena berisi tentang kegiatan dalam hal ini pesta perkawinan. Syair
maena disuarakan oleh orang banyak yang ikut dalam maena yang disebut
dengan ono maena atau fanehe maena (peserta maena). Pada maena tidak dibatasi
siapa-siapa saja yang ikut dalam pertunjukannya laki-laki dan perempuan dapat
melakukan tari3maena ini. Sanutunö maena dengan sanehe maena saling
2Pertunjukan musik yang diklasifikasikan sebagai logogenik adalah satu kebudayaan
musik etnik atau musik dunia dengan ciri khas utamanya adalah menggunakan dan menumpukan teks yang dikomunikasikan secara verbal. Biasanya menggunakan salah satu atau perpaduan unsur-unsur ritme, melodi, atau harmoni. Dalam kebudayaan musik logogenik ini, unsur sastra dan folklor mendapat peranan penting. Namun agak berbeda dengan bahasa sehari-hari, teks dipertunjukan melalui lagu bukan bahasa sehari-hari. Dengan demikian nyanyian jenis ini selalu menggunakan bahasa yang digayakan dan mengandung unsur-unsur perlambangan. Ada kalanya bersifat rahasia seperti pada mantra. Seterusnya, jika sebuah kebudayaan musik mengutamakan aspek melodi atau ritme saja, bukan menekankan kepada teks, maka musik seperti ini dapat dikategorikan sebagai budaya musik melogenik. Musik seperti ini, lebih menumpukan pertunjukan pada aspek komunikasi bukan lisan terutama menggunakan dimensi waktu dan ruang. Untuk mengkaji makna yang diungkapkan melalui ritme, melodi, atau bunyi-bunyian lainnya, diperlukan pemahaman dan penafsiran dengan cara menelitinya, terutama apa yang ingin dikomunikasikan pencipta musik atau senimannya, yang bisa dijejaki melalui pemikiran mereka (lihat Malm, 1977). Selain dari musik logogenik terdapat juga musik yang diklasisifikasikan sebagai melogenik. Pertunjukan musik melogenik ini, bertumpu kepada komunikasi bukan verbal, dan sepenuhnya menggunakan aspek bunyi baik itu berupa nada-nada maupun ritme. Contoh pertunjukan musik melogenik adalah gordang sambilan di Mandailing.
3Menurut Kamus Dewan Edisi Ketiga (2002:1378) tari ialah gerakan badan serta tangan dan kaki berirama mengikuti rentak musik. Dalam kebudayaan masyarakat di dunia ini, berbagai macam penyebutan untuk tari ini. Dalam kebudayaan Batak Toba, Mandailing, dan Angkola disebut dengan tortor. Dalam kebudayaan Karo disebut dengan landek. Kemudian dalam
12
bersahut-sahutan (call and respons) dimana ada yang memimpin dan ada koor
yang dinyanyikan secara bersamaan oleh penyaji maena. Teknik penyajian musik
yang sedemikian rupa selalu diistilahkan dalam ilmu-ilmu musik sebagai
responsorial.4
Apabila kita melihat bahwa setiap suku bangsa biasanya memiliki
istilah tertentu dalam menyebut musik vokal itu sendiri, sama halnya juga dengan
masyarakat Nias bahwa musik vokal atau nyanyian disebut juga sinunö. Dalam
kesenian tradisional, baik yang tumbuh dari rakyat itu sendiri atau pengaruh dari
budaya lain, sehingga masyarakat itu telah mewarisinya secara turun-temurun dari
nenek moyang mereka, dapat disebut kesenian tradisional. Predikat tradisional
bisa diartikan segala sesuatu yang sesuai tradisi, sesuai dengan kerangka, pola-
pola bentuk maupun penerapan yang selalu berulang-ulang (Sedyawati, 1981:48).
Pesta perkawinan pada masyarakat Nias memiliki beberapa musik vokal
(sinunö) seperti: bolihae, fangowai, dan hendri-hendri. Ketiga jenis sinunö ini
murni tidak menggunakan alat musik pengiring, hanya disuarakan oleh suara
manusia. Namun dalam tesis ini, penulis menitik beratkan musik vokal pada
maena, bahwa maena dahulunya juga tidak menggunakan alat musik pengiring
tetapi karena perubahan zaman atau karena dalam pertunjukannya bermakna suatu
kegembiraan dan sukacita sehingga digunakan ensambel pengiring yang terdiri
kebudayaan Pakpak disebut dengan tatak. Dalam kebudayaan dunia ada yang menyebutnya dance atau juga dansa.
4Responsorial atau call and response, adalah bentuk penyajian musik secara bersama, yaitu satu orang pemimpin vokal disahuti oleh sekelompok penyanyi lainnya. Jadi ada konsep memimpin dan dipimpin di dalam teknik ini. Contoh pertunjukan musik seperti itu adalah pada pertunjukan tari saman di Gayo, antara pemipin nyanyian syekh dan kelompok vokal. Selain itu, terdapat pula teknik sahut-sahutan antara dua kelompok penyanyi. Teknik yang seperti ini selalu disebut dengan litany.
13
dari gong, gondra, faritia, dan ukulele. Tetapi karena dilihat bahwa dengan
menggunakan alat-alat tersebut sangat sulit dalam penyediaannya, maka berubah
pula dan kebanyakan dengan menggunakan keyboard.
Pada pesta perkawinan ada beberapa bagian musik vokal yang
dinyanyikan oleh sanutunö maena yaitu, (1) fanehe maena wangowai dome
(syair yang berisi sapaan atau ucapan selamat datang). Dalam menyajikannya
berisi tentang sapaan karena para tamu-tamu dari pihak laki-laki sudah datang
sehingga disapa lewat sebuah tarian. Tarian tersebut ialah tarian maena wangowai
dome. Pada syair ini yang melakukan atau melaksanakannya ialah pihak
perempuan, (2) fanehe maena zowatö (syair yang berisi sapaan kepada sowatö).
Dalam syair ini keluarga laki-laki menyapa keluarga mempelai perempuan dengan
cara menyajikan tarian. Pada syair ini pihak laki-laki yang melaksanakannya, (3)
fanehe maena wangandrö sokona(syair meminta sokongan dari pihak laki-laki).
Pada syair ini keluarga pihak laki-laki khususnya pengantin laki-laki wajib
memberikan uang, rokok, atau sejenis minuman kepada para ono maena (peserta
maena). Fanutunö maena ini yang melakukannya atau melaksanakannya ialah
pihak perempuan.
Ketiga syair fanehe maena di atas sanutunö maena selalu berpisah
dengan para sanehe maena tetapi terkadang juga sanutunö maena bergabung
bersama dengan sanehe maena. Setiap gerakan yang dilakukan oleh para sanehe
maena tidak diikuti oleh sanutunö maena, namun pada umumnya sanutunö maena
ikut juga menyanyikan syair zanehe maena (syair yang dinyanyikan oleh peserta
maena).
14
Pantun maena dibawakan oleh orang yang fasih bertutur bahasa Nias
(amaedola atauduma-duma), karena syair-syair semuanya memakai bahasa Nias.
Namun seiring oleh perkembangan peradaban yang canggih dan modern, pantun-
pantun maena yang khas li nono Niha (bahasa Nias) sudah banyak menghilang,
bahkan banyak tercampur oleh bahasa Indonesia dalam penuturannya.
Sanutunö maena merupakan orang yang sangat penting dalam
pertunjukan maena karena tanpa sanutunö maena tarian maena tidak bisa berjalan
apabila hanya sanehe maena (peserta maena) saja yang ada. Itulah menjadi
pertanyaan dan yang dijawab dalam tulisan ini yaitu seberapa pentingkah
sanutunö maena itu pada pertunjukan maena? Bagaimanakah tata cara sanutunö
maena menyanyikan syair wanutunõ maena tesebut?
Kesenian masyarakat Nias sangat banyak dan sangat menarik jika kita
teliti lebih dalam. Namun pada kenyataannya masyarakat pendukungnya tidak
begitu memprioritaskan tentang kesenian tersebut disebabkan kurangnya
kepedulian generasi muda orang Nias yang terhadap kebudayaannya. Selain itu
juga minat masyarakat Nias terutama para generasi muda lebih tinggi terhadap
lagu-lagu populer (pop) dibanding dengan lagu-lagu tradisional. Hal ini dapat
dilihat dari lagu-lagu populer Nias semakin lama semakin beredar lewat kaset
rekaman.
Melihat situasi dan kondisi eksistensi kebudayaan (musik) Nias sekarang
ini, maka kecenderungan hilang tanpa didokumentasikan memang dapat terjadi
kapan saja karena kurangnya antusias dan pengetahuan generasi muda masyarakat
Nias terhadap budaya-budaya yang sebelumnya ada. Oleh karenanya perlu
15
dilakukan upaya-upaya dokumentasi terhadap budaya di seluruh dunia. Hal inilah
akhirnya dapat mengaburkan bentuk asli dari tradisi Nias itu sendiri, karena
semakin disederhanakan atau dipersingkat menurut pelaksanaan suatu acara adat,
(Elisian Waruwu, 1994:11).
Dalam kutipan ini muncul dibenak penulis, bahwa kesenian masyarakat
Nias tidak banyak yang melestarikan keseniannya, hanya sekedar mengetahuinya
saja tetapi tidak dituangkan dalam satu tulisan. Dengan adanya tulisan tentang
kesenian masyarakat Nias, setiap orang yang melihat dan membaca tulisan
tersebut dapat memberi inspirasi bahwa kesenian masyarakat Nias sangat banyak
dan ada rasa ingin tahu lebih dalam karena pernyataan tersebut, penulis memiliki
alasan tersendiri mengapa musik vokal pada maena ditulis dalam satu tulisan
yaitu karena kurangnya masyarakat Nias yang memiliki pengetahuan tentang
kesenian masyarakat Nias, walaupun tahu tetapi tidak di tulis dalam satu tulisan
sehingga penulis merasa sebagai seorang pengkaji seni maka kewajiban penulis
untuk menulis tentang salah satu kesenian tradisional Nias yaitu musik vokal pada
maena apalagi penulis merupakan salah satu orang yang akan melestarikan
kesenian tradisional Nias sehingga penting untuk dikaji dan dituangkan dalam
satu tulisan berupa tesis yang berjudul: Maena Pada Upacara Falõwa di Ori
Laraga Kota Gunungsitoli : Analisis Tekstual, Musik dan Tari.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan tiga masalah
penelitian sebagai berikut.
16
1. Bagaimana makna-makna teks (syair) dalam lagu pada pertunjukan
budaya Maena?
2. Bagaimana struktur musikal lagu pada pertunjukan Maena di
Gunung Sitoli?
3. Bagaimana struktur tari Maena di Gunung Sitoli?
Ketiga pokok masalah penelitian di atas akan dibantu pula oleh beberapa
permasalahan yang mendukung, di antaranya adalah:
a. Bagaimana proses upacara falõwa (perkawinan) di Gunung Sitoli
Nias?
b. Sejauh apa penggunaan dan fungsi maena pada upacara tersebut?
c. Bagaimana persepsi orang Nias pada umumnya melihat
keberadaan maena pada masa sekarang ini?
d. Nilai-nilai budaya kearifan yang seperti apa yang terkandung di
dalam pertunjukan maena dalam konteks upacara perkawinan di
Gunung Sitoli?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui, memahami, melalui analisis tentang makna teks
(syair) dalam lagu-lagu pada pertunjukan budaya maena.
2. Untuk mengetahui, memahami, melalui analisis terhadap bagaimana
struktur musikal lagu pada pertunjukan maena di Gunung Sitoli.
17
3. Untuk mengetahui, memahami, memaparkan, bagaimana struktur
tari maena di Gunung Sitoli.
1.3.2 Manfaat penelitian
Penelitian ini, diharapkan dapat memberi sumbangsih bagi
perkembangan seni budaya yang mulai memudar, terutama:
1.3.2.1 Bagi mahasiswa
a) Dapat memberi pengalaman tentang pengaplikasian ilmu yang telah
diperoleh dari bangku perkuliahan.
b) Dapat menambah wawasan dan cara pandang mahasiswa untuk
berpikir kritis dan sistematis terhadap sebuah seni yang ada di
lingkungan sekitar.
c) Sebagai bahan masukan bagi pembaca khususnya mahasiswa seni
tari dan musik, agara dapat mengetahui penyajian tari dan musik
maena sesungguhnya, termasuk pada konteks hiburan di pesta
perkawinan.
1.3.2.2 Bagi lembaga pendidikan
a) Menambah referensi tentang kesenian (khususnya Maena) bagi
lembaga-lembaga pendidikan (Fakultas) sehingga dapat digunakan
oleh para dosen kesenian sebagai bahan pembelajaran
b) Sebagai bahan masukan bagi tim pengajar sendratasik (seni, drama,
tari dan musik) untuk menambah wawasan seni dan kemudian
mengajarakannya kepada generasi muda Indonesia
18
c) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi, bahan
pertimbangan dan bahan kajian dalam penulisan karya ilmiah
mengenai kesenian.
d) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana untuk memperluas
wawasan dan pengetahuan pembaca tentang kesenian dalam sebuah
daerah.
1.3.2.3 Bagi masyarakat
a) Dapat menjaga dan melestarikan tradisi daerah setempat khususnya
suku Nias.
b) Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan atau masukan untuk
mengelola kesenian/tradisi khususnya suku Nias.
c) Memberikan manfaat bagi masyarakat nias maupun masyarakat
luas mengenai bagaimana lagu maena dinyanyikan di dalam acara
pernikahan adat masyarakat nias.
1.3.2.4 Bagi peneliti
a. Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain,
baik mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian tari
maena
b. Menjadi bahan masukan bagi penulis untuk melakukan penelitian
penelitian selanjutnya mengenai tarian maena.
19
1.4 Konsep dan Teori Yang Digunakan
1.4.1 Konsep
Musik vokal ialah bunyi yang dihasilkan oleh alat ujar manusia seperti
mulut, bibir, lidah, dan kerongkongan yang memiliki irama, nada, ritem, dinamik,
melodi dan mempunyai pola-pola serta aturan untuk menghasilkan bunyi tersebut.
Musik vokal dapat juga dikatakan nyanyian, kita dapat berpedoman pada pendapat
yang dikemukakan oleh Poerwadarminta (1985:680), bahwa nyanyian adalah
sesuatu yang berhubungan dengan suara atau bunyi yang berirama yang
merupakan alat atau media untuk menyampaikan maksud seseorang tanpa iringan
musik.
Musik vokal atau nyanyian seperti yang kemukakan oleh
Poerwadarminta (1985:680) sesuatu yang berhubungan dengan suara atau bunyi.
Musik vokal dalam masyarakat Nias sama dengan sinunö [sinun∑]. Apabila
dikatakaan sinunö (ks) berarti nyanyian yang keluar dari alat ujar manusia tanpa
ada iringan musik. Apabila dikatakan sanunö (kb) berarti orang yang menyanyi.
Sedangkan manunö berarti menyanyi (kk).
Maena pada masyarakat pendukungnya mempunyai arti sebagai sebuah
tarian yang memiliki gerak segi empat. Sifamaena (kb) berati orang yang menari
maena. Famaena (kk) berarti menari maena. Famaena menyiratkan makna
masyarakat hadir dan berkumpul disuatu tempat melakukan kegiatan budaya yaitu
maena. Padanan dari kata maena yaitu fanehe maena berarti syair maena.
Sehingga apabila kita gabungkan kedua kata tersebut di atas maka dapat
dikatakan sinunö maena yang berarti musik vokal atau nyanyian pada tarian
20
maena. Nyanyian tersebut dalam pembahasan ini dibagi atas tiga bagian yaitu, (1)
Fanehe maena wangowai dome, (2) Fanehe maena wangowai zowatö, dan (3)
Fanehe maena wangandrö sokona.
Maena wangowai dome bagi masyarakat Nias bermakna bahwa ada
orang yang menyambut tamu yang dinamakan sowatö (keluarga perempuan)
mengucapkan selamat datang kepada keluarga pihak mempelai laki-laki, lalu
menyapa mereka dengan tarian wangowai dome. Maena wangowai berarti
penghormatan, tome berarti tamu sehingga musik vokal pada tari ini dapat
dikatakan sekelompok orang, keluarga pihak perempuan menyapa hormat para
tamu pihak laki-laki karena sudah tiba di lokasi tempat dimana pesta perkawinan
itu berlangsung.
Demikian juga halnya dengan fanutunö maena wangowai zowatö
kebalikan dari fanutunö maena wangowai dome yaitu sekelompok orang dari
pihak laki-laki menyapa hormat atau memberi penghormatan kepada para sowatö
(pihak perempuan). Berbeda halnya dengan fanutunö maena wangandrö sokona
yaitu fanutunö maena dalam masyarakat Nias berarti syair yang akan dinyanyikan
oleh sanutunö maena. Wangandrö berarti permintaan. Sedangkan sokona ialah
dapat dikatakan memberikan sesuatu berdasarkan kemampuannya yang
diberikannya kepada peserta maena. Jadi fanutunö maena wangandrö sokona
berarti keluarga pihak perempuan meminta dukungan, atau pemberian sukarela
dari pihak laki-laki dengan dipertunjukannya tarian ini.
Perkawinan pada masyaraakat Nias merupakan pembentukan suatu
keluarga baru yang bernilai sakral untuk melahirkan keturunan (regenerasi). Kata
21
perkawinan bagi masyarakat Nias mengandung arti yaiu falöwa atau fangowalu.
Apabila dikatakan mangowalu (kk) berarti seorang laki-laki yang dikatakan
marafule melamar satu orang wanita yang dikatakan ono nihalö dan melakukan
suatu pesta yang dikatakan pesta adat perkawinan. Selanjutnya apabila dikatakan
sangowalu (ks) berarti orang yang melangsungkan pesta perkawinan. Dalam
melaksanakan satu pesta adat perkawinan ada beberapa tahap-tahap yang akan
dilakukan sebelumnya sehingga dapat terlaksana satu upacara dari awal sampai di
acara puncaknya yaitu fangowalu.
1.4.2 Teori
Sesuai dengan tiga pokok masalah dalam penelitian ini, yaitu: (1) makna
teks lagu maena, (2) struktur musik maena, dan (3) struktur tari maena, maka
dalam mengkajinya penulis menggunakan tiga teori utama. Untuk mengkaji teks
maena digunakan teori semiotik, khususnya dari Halliday yang memandang teks
atau syair nyanyian melalui makna denotatif dan makna konotatif. Namun
demikian pada bab ini diuraikan agak panjang apa itu teori semiotik, sebagai latar
belakang keilmuan dalam konteks mengkaji teks maena.
Selanjutnya untuk mengkaji struktur musik maena, yang terkonsentrasi
pada melodi, penulis menggunakan teori bobot tangga nada (weighted scale)
seperti yang ditawarkan oleh Malm dalam bukunya Music Culture of Pacific, near
East, and Asia, diterbitkan oleh Prentice Hall, di Englewood Cliffs, New Jersey,
Amerika Serikat. Teori ini secara khusus bertumpu pada bagaimana struktur
22
melodi, yang terdiori dari delapan besaran umum itu disusun dalam kebudayaan
musik di seluruh dunia ini.
Seterusnya untuk mengkaji struktur tari maena, digunakan teori struktur
tari maena digunakan teori koreografi tari. Teori ini awalnya ditawarkan oleh
Djelantik. Pada dasarnya teori ini mengkaji tari dari dimensi ruang, waktu, dan
tenaga yang terdapat dalam tari.
1.4.2.1 Teori semiotik
Dalam mengkaji makna tekstual dalam pertunjukan tarian naena, penulis
lebih fokus dengan menggunakan teori semiotik. Selanjutnya teori ini digunakan
dalam usaha untuk memahami bagaimana makna tari maena diciptakan dan
dikomunikasikan. Dua tokoh perintis semiotik adalah Ferdinand de Saussure
seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Peirce, seorang filosof dari
Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang
bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang
berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi
tersendiri.
Peirce juga menginterprestasikan bagasa sebagai lambang, tetapi terdiri
dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat
(interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus
memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari
lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses
penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon,
indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti
23
foto, maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu
sepertu timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak
menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara
Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol.
Semiotik atau semiologi adalah kajian terhadap tanda-tanda (sign) serta
tanda tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Defenisi yang sama pula
dikemukakan oleh salah satu seorang pendiri teori semiotik, yaitu pakar linguistik
dari Swiss Ferdinand De Sausurre. Menurutnya semiotik adalah kajian mengenai
“kehidupan tanda-tanda mengenai kehidupan masyarakat yang menggunakan
tanda-tanda itu.“ Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh filosof Inggris
abad ke-17 yaitu John Locke, gagasan semiotik sebagai modus interdisplin ilmu,
dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam bebagai lapangan studi,
baru muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika
munculnya karya-karya Sausurre dan karya-karya seorang filosof Amerika
Serikat, Charles Sanders Peirce .
Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotik ini, ia menumpukan
perhatian ini kepada pragmatisme dan logika. Ia mendefenisikan tanda sebagai
“sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain”. Salah satu
sumbangannya yang besar bagi semiotik adalah pengkategoriannya mengenai
tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: (a) ikon, yang disejajarkan dengan
referennya (misalnya jalan raya adalah tanda untuk jatuhnya bebatuan); (b) indeks,
yang disamakan dengan referennya (asap adalah tandanya api) dan (c) simbol,
yang berkaitan dengan referennya dengan cara penemuan seperti dengan kata-
24
kata atau signal trafik). Ketiga aspek tanda ini penulis pergunakan untuk mengkaji
syair maena.
Untuk membantu kajian makna dalam penelitian ini juga penulis mengkaji
fungsi tari saman, dengan menggunakan teori fungsionalisme. Teori
fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosial, yang
menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi dan kebiasaan-
kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana
susunan sosial didukung oleh fungsi. Institusi-institusi dan kebiasaan-kebiasaan
pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan-
susunan sosial didukung oleh fungsi. Institusi-institusi seperti negara, agama,
keluarga, aliran dan pasar terwujud. Sebagai contoh, pada masyarakat yang
kompleks seperti Amerika Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai
yang difungsikan untuk mendukung aktivitas politik demokrasi dan ekonomi
pasar. Dalam masyarakat yang lebih sederhana, masyarakat tribal, partisipasi
dalam upacara keagamaan berfungsi untuk berhubungan kekerabatannya.
1.4.2.2 Semiotik Charles Sanders Peirce
Peirce dalam buku Interprestasi dan Semiotika (Panuti Sudjiman & Art
Van Zoest) menuliskan bahwa semiotika dapat dipecahkan dengan baik yang
disebabkan oleh masalah inferensi (pemikiran logis), akan tetapi semiotika juga
membahas masalah-masalah signifikasi dan komunikasi. Salah satu gagasan
beliau dalam teori semiotika adalah mengenai tanda-tanda yang dibagi dalam tiga
kategori adalah: a. ikon, b. Indeks, dan c. simbol.
25
OBJEK
REPRESENTAMEN INTERPRETAN
Bahasa sebagai lambang semiotika terdiri dari tiga bagian yang saling
berkaitan: (1). Representatum, (2). Interpretant (pengamat) dan (3.) Sebagai
Objek. Semiotika membicarakan hal ini sedemikian rupa sehingga batas antara
semiotika dan teori komunikasi tidak selelu jelas. Teori komunikasi menaruh
perhatian pada kondisi penyampaian signifikasi, yaitu pada saluran komunikasi.
Berkat saluran komunikasi inilah pesan dapat disampaikan.
Peirce mengemukakan teori segi tiga makna atau triangel meaning yang
terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object dan interpretant. Tanda
adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indra
manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain diluar
tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol (tanda yang muncul
dari kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik), dan indeks
(tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini
disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi
referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda (Santosa, 1993: 10) dan
(Pudentia, 2008:323).
Bagan 1.1 Segitiga Makna
26
Menurut Peirce (Santosa, 1993:10) pemahaman akan struktur semiosis
menjadi dasar yang tidak dapat ditiadakan bagi penafsir dalam upaya
mengembangkan pragmatisme. Seorang penafsir adalah yang berkedudukan
sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang dipahaminya. Dalam
mengkaji objek yang dipahaminya, seorang penafsir yang jeli dan cermat, segala
sesuatunya akan dilihat dari tiga jalur logika, yaitu hubungan penalaran dengan
jenis penandanya, hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya dan hubungan
pikiran dengan jenis pertandanya seperti yang tertera dalam bagan 1.2.
Ground/Representamen: Tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum
Objek/Referent: yaitu yang diacu
Interpretant: Tanda tanda baru yang terjadi dalam batin penerima
Qualisign: terbentuk oleh suatu kualitas yang merupakan suatu tanda, misalnya: “keras” suara sebagai tanda, warna hijau
Icon: Tanda yang penanda dan pertandanya ada kemiripan. Misalnya: foto, peta
Rheme: Tanda suatu kemungkinan atau konsep, yaitu yang memungkinkan menafsirkan berasarkan pilihan. Misalnya “mata merah” bisa baru menangis, tapi bisa juga yang lain
insign/ tokens: terbentuk melalui realistis fisik. Misalnya rambu lalu lintas
Indeks: hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Misalnya: asap dan api.
Dicent Sign: tanda sebagai fakta/ pernyataan deskriptif eksistensi aktual suatu obyek, misalnya: tanda larangan parkir adalah kenyataan tidak boleh parkir.
Legisign: Hukum atau kaidah yang berupa tanda. Setiap tanda konvensional adalah legisign, misalnya : Suara wasit dalam pelanggaran.
Symbol: Hubungan tanda dan objek karena kesepakatan/ suatu tan da yang penanda atau pertanda arbiter konveksional. Misalnya bendera, kata-kata.
Argument: tanda suatu aturan yang langsung memberikan alasan. Misalnya : gelang akar bahan dengan alasan kesehatan.
Tabel 1.1
Pembagian Tanda. Sumber: Emi Yunita (2011)
27
1.4.2.3 Semiotik Ferdinand de Saussure
Teori Semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913).
Dalam teorinya Saussure membagi dua bagian (dikotomi), yaitu penanda
(signifier) dan pertanda (signified). Penanda adalah wujud fisik yang dapat dikenal
melalui wujud karya arsitektur atau seni rupa. Sedang pertanda yang dilihat
sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nilai yang
terkandung di dalam karya arsitektur. Eksistensi semiotik Saussure adalah relasi
antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, bisa disebut engan signifikasi.
Semiotik signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda
dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan
sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut (culler, 1996:7). Bagan
berikut tentang tanda (sign) yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure
(dalam Djajasudarma, 1993:23).
Hubungan antara significant dan signifie bersifat arbitrer atau sembarang
saja. Dengan kata lain, tanda bahasa (signe lingusistique atau signe) bersifat
arbitrer. Significant bersifat linear, unsur unsurnya membentuk satu rangkaian (
unsur yang satu mengikuti unsur lainnya).
Bagan 1.2
Tentang Hubungan Tanda
28
Menurut Saussure (Chaer, 2003:348) tanda terdiri dari (a) bunyi-bunyian
dan gambar, yang disebut signifier atau penanda, dan (b) konsep-konsep dari
bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang
menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang obyek dan orang lain akan
meninterprestasikan tanda tersebut. Obyek bagi Saussure disebut referent. Hampir
serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object
untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan
menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh,
ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpatkan maka
hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure,
“signifier dan Signified” merupakan kesatuan, tidak dapat dipisahkan, seperti dua
sisi dari sehelai kertas.
Bahasa merupakan sistem tanda, dimana setiap tanda yang ada terdiri dari
dua bagian yaitu signifier dan signified. Signifier merupakan konsep, ide, atau
gagasan. Sementara signified adalah kata-kata atau tulisan yang menyampaikan
konsep, ide atau gagasan tersebut. Kedua unsur ini tidak apat dipisahkan, suatu
signified tanpa signifier tidak memiliki arti apa-apa, sebaliknya suatu signifier
tanpa signified tidak mungkin dapat disampaikan. Contohnya manusia yang masih
sangat muda yang belum bisa berbicara dan berjalan merupakan sebuah signifier.
Untuk menyampaikan gagasan dalam signifier tersebut maka digunakan signified
“bayi”.
29
1.4.2.4 Semiotik Halliday
Halliday mengembangkan semiotik terutama dalam bidang bahasa
(linguistic). Pembagian semiotik bahasa menurut beliau dibagi dua yaitu semiotik
denotatif yang mengkaji tanda-tanda bahasa dalam makna sesungguhnya, dan
yang kedua adalah semiotik konotatif yang mengkaji bahasa dalam makna di luar
makna yang sesungguhnya.
Dalam pemakaian bahasa, sistem semiotik konotatif terdapat dalam
hubungan bahasa dengan konteks sosial yang teriri atas ideologi, konteks budaya
dan faktor situasi sebagai semiotik konotatif, pemakaian bahasa menunjukkan
bahwa ideologi tidak memiliki bentuk. Oleh karena itu, semiotik meminjamkan
budaya sebagai bentuk sehingga ideologi direalisasikan oleh budaya, budaya
direalisasikan oleh konteks situasi. Selanjtunya konteks situasi meminjamkan
semiotik yang berada di bawahnya yaitu bahasa. Jadi konteks situasi
direalisasikan oleh bahan yang mencakup semantik, tata bahasa dan fonologi
Bahasa dalam pandangan semitoik sosial menandai jenis pendekatan yang
dilakukan oleh Halliday. Dalam pengertian ini bahwa sebagai semiotik, bahasa
terjadi dari dua unsur yaitu arti dan ekspres, berbeda dengan semiotik biasa sebai
semiotik sosial bahasa memiliki unsur lain yaitu bentuk. Dengan demikian bahasa
dalam interaksi sosial terdiri dari tiga unsur yaitu arti, bentuk dan ekspresi. Arti
semantic atau discourse semantic direalisasikan pada bentuk gambar (grammar
atau expression) dan bentuk ini seterusnya dikodekan oleh ekspresi atau
phonology/graphology (Saragih, 2000:11).
30
1.4.2.5 Semiotik Roland Barthes
Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya
tersebut Barthes lebih konsentrasi pada dua pertandaan, yaitu: tingkat denotasi
yang menandakan dan menjelaskan hubungan penanda dan penanda pada realistis,
ini menghasilkan makna eksplisit, langsung. Sedangkan yang kedua adalah
tingkat konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda
dan penanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak
langsung dan tidak pasti (Barthes, 2007:82).
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure, yang tertarik pada
cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan
makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja
menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Menurut Saussure (Aminuddin, 1995:168) hubungan antara simbol dan yang
disimbolkan tiak bersifat satu arah. Kata bunga misalnya, bukan hanya memiliki
hubungan yang timbal balik dengan gambaran yang disebut bunga, tetapi secara
asosiatif juga dapat ihubungkan dengan keindahan, kelembutan dan sebagainya.
Konsep mental ini kemudian menjadi bahan perhatian Barthes yang
mengembangkan konsep tanda Saussure dengan menambahkan konsep “relasi.”
Reasi yang dimaksud adalah penghubung penanda (expression) ungkapan
dilambangkan dengan E dan pertanda (contenu)/isi dilambangkan dengan C.
Penanda dan petanda dihubungkan dengan relasi R. Gabungan atau kesatuan
tingakatan-tingkatan tersebut dan relasinya itu membentuk satu sistem ERC.
Sistem ini terdapat alam bentuknya sendiri, dan menjadi unsur sederhana dan
31
sistem atau bentuk kedua yang membina bentuk yang lebih luas. Oleh Barthes
sistem ini dapat dipilah menjadi dua sudut artikulasi. Konotasi dan denotasi satu
sudut, meta bahasa dan obyek bahasa di sudut lain.
1.4.2.6 Fungsionalisme Malinowski
Pada awal menulis karangannya tentang pelbagai aspek masyarakat orang
Trobiand sebagai kesatuan, Malinowski tidak sengaja mengenalkan pandangan
yang baru dalam ilmu antropologi. Namun reaksi dari kalangan ilmuwan
memberinya dorongan untuk mengembangkan suatu teori tentang fungsi dari
unsur-unsur kebudayaan manusia. Dengan demikian, dengan menggunakan
leaming theory sebagai dasarnya, Malinowski mengembangkan teori
fungsionalismenya, yang baru terbit selepas ia meninggal dunia. Bukunya bertajuk
A Scientific Theory of Culture and Other Essays (1944). Dalam buku ini
Malinowski mengembangkan teori tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan yang
sangat kompleks. Namun inti dari teori itu adalah pendirian bahwa segala
kegiatan kebudayaan itu sebenamya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari
sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh
kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu usur kebudayaan, terjadi
karena awalnya manusia ingin memuaskan keperluan nalurinya akan keindahan;
ilmu pengetahuan juga timbul karena keperluan naluri manusia untuk ingin tahu.
Namun banyak juga kegiatan kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa
macam human needs itu. Dengan faham ini, kata Malinowski, seseorang peneliti
boleh mengkaji dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat
dan kebudayaan manusia.
32
Menurut penjelasan Ihromi (1987:59-61) Malinowski mengajukan sebuah
orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang ditulis Malinowski dalam
artikel bertajuk “The Group and the Individual in Functional Analysis”, dalam
jumal American Joumal of Sociology, jilid 44 (1939), hal. 938-964. Dalam artikel
ini Malinowski beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan
bermanfaat bagi masyarakat dimana unsur itu terdapat. Dengan kata lain,
pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan menyatakan bahwa setiap pola
kelakuan yang telah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang
merupakan bahagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, yang memenuhi
beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan. Menurut Malinowski,
fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa
keperluan dasar atau beberapa keperluan yang timbul dari keperluan dasar yaitu
keperluan sekunder dari para warga suatu masyarakat. Keperluan pokok atau asas
adalah seperti makanan, reproduksi (melahirkan keturunan), merasa enak badan
(bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak, dan pertumbuhan. Beberapa aspek
dari kebudayaan memenuhi keinginan-keinginan dasar itu. Untuk memenuhi
keinginan dasar ini, muncul keinginan jenis kedua (derived needs), keinginan
sekunder yang juga harus dipenuhi oleh kebudayaan. Misalnya unsur kebudayaan
yang memenuhi keinginan akan makanan menimbulkan keinginan sekunder yaitu
keinginan untuk kerja sama dalam mengumpulkan makanan atau yang untuk
diproduksi. Untuk ini masyarakat mengadakan bentuk-bentuk organisasi politik
dan pengawasan sosial yang akan menjamin kelangsungan kewajiban kerjasama
itu. Sehingga menurut pandangan Malinowski mengenai kebudayaan, semua
33
unsur kebudayaan akhimya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi
keinginan dasar para warga masyarakat.
Malinowski percaya bahwa pendekatan fungsional mempunyai sebuah
nilai praktis yang penting. Pengertian nilai praktis ini dapat dimanfaatkan oleh
mereka yang bergaul dengan masyarakat primitif. Ia menjelaskan sebagai berikut:
“nilai yang praktis dari teori fungsionalisme ini adalah bahwa teori ini mengajar
kita tentang kepentingan relatif dari berbagai kebiasaan yang beraneka ragam;
bagaimana kebiasaan-kebiasaan itu tergantung satu dengan yang lainnya,
bagaimana harus dihadapi oleh para penyiar agama, oleh penguasa kolonial, dan
oleh mereka yang secara ekonomi mengekploitasi perdagangan dan tenaga orang-
orang masyarakat primitif” (Malinowski 1927:40-41).5
Tarian Maena pada upacara falõwa (pernikahan) di Nias pada umumnya,
dan Õri Laraga pada khususnya, merupakan pertanda ada suka cita dari kedua
belah pihak, baik dari pihak pengantin pria, maupun pengantin wanita. Terlebih
makna yang terdalam jika kedua keluarga (baik pengantin pria dan pengantin
wanita) mempersiapkan tarian, syair, lagu dan gerakan jauh hari sebelum hari
pelaksanaan pernikahan.
Latihan yang dilakukan beberapa kali di rumah masing masing pengantin
hingga terjadi perpaduan antara gerak, syair dan lagu, latihan ini menunjukkan
keberadaan masing masing keluarga pengantin di kampung dan daerah sekitarnya.
5Keberatan utama terhadap teori fungsionalismenya Malinowski adalah bahwa teori ini
tidak dapat memberi penjelasan mengenai adanya aneka ragam kebudayaan manusia. Keinginan-keinginan yang diidentifikasikannya, sedikit banyak bersifat universal, seperti keinginan akan makanan yang semua masyarakat harus memikirkannya kalau ingin hidup terus. Jadi teori fungsionalisme memang dapat menerangkan kepada kita bahwa semua masyarakat menginginkan pengurusan soal mendapatkan makanan, namun teori ini tak dapat menjelaskan kepada kita mengapa setiap mesyarakat berbeda pengurusannya mengenai pengadaan makanan mereka.
34
Biasanya setiap latihan maena ini, keluarga yang pelaksanakan hajatan, wajib
memberi makan, minum dan tuak kepada seluruh ono maena (pelaku maena)
yang terdiri dari 20 hingga 50 orang.
Menurut Eliyaman Zebua, latihan Maena biasanya dimulai sejak acara
Famõzi Aramba (memulai menabuh alat musik tradisional Nias yaitu: aramba,
gõndara dan faritia), yang maknanya kedua belah pihak sudah siap dalam waktu
dekat melaksanakan hajatan besar-besaran. Selain poin di atas, Famõzi Aramba
juga menunjukkan di kampung sekitarnya akan ada pesta di kampung ini. Famõzi
Aramba dapat dilakukan kapan saja, pagi, siang, sore ataupun malam sepanjang
masih dalam tenggang waktu yang sudah disepakati. Acara Famõzi Aramba
biasanya berlangsung seminggu sebelum hari H, dan acara ini bisa dijadikan pula
ajang pertemuan muda-mudi setempat. Famõzi Aramba berakhir pada saat
pengantin perempuan sudah sampai di rumah pengantin Laki-laki.
1.4.2.7. Teori semantik
Kata semantik berasal dari bahasa Yunani sema, yang artinya tanda atau
lambang (sign). “Semantik” pertama kali digunakan oleh seorang filosof Perancis
bernama Michael Breal pada tahun 1883. Kata semantik kemudian disepakati
sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari tentang
tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh karena itu, kata
semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah
satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik (Chaer,
1994:2).
35
Semantik adalah telah makna. Semantik menelaah lambang-lambang atau
tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang
lain, dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. Oleh karena itu,
semantik mencakup makna-makna kata, perkembangannya dan perubahannya.
(Tarigan, 1985:7). Semantik adalah adalah ilmu yang mempelajari tentang makna
sebuah kata. bahwa semantik itu adalah bidang studi dalam linguistik yang
mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat
diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga
tataran analisis bahasa: fonologi, gramatikal, dan semantik (Chaer, 1990:2).
Semantik mengandung pengertian “studi tentang makna.”
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori semantik dalam
menganalisis makna tekstual lagu Maena pada upacara falõwa di Õrilaga Kota
Gunung Sitoli. Penulis berusaha mengungkapkan makna lagu maena berdasarkan
makna denotatif dan konotatif dari lagu tersebut. Makna denotatif merupakan
makna dasar suatu kata atau satuan bahasa yang bebas dari nilai rasa. Makna
konotatif adalah makna kata atau satuan lingualyang merupakan makna tambahan
yang berupa nilai rasa (Hardiyanto, 2008:22). Makna konotatif mempunyai nilai
rasa yang bersifat negatif dan positif. Maksudnya dalam kata kowe ‘kamu’ dan
panjenengan ‘kamu’ kedua kata itu sama-sama menujukkan kata kamu akan tetapi
kata kowe ‘kamu’ lebih kasar dibandingkan kata panjenengan ‘kamu’ lebih
terkesan halus dan hormat. Contoh lainnya seperti kata babaran ‘melahirkan’ dan
manak ‘melahirkan’. Denotatif kedua kata tersebut itu adalah sama-sama
melahirkan atau mengeluarkan sesuatu dari rahim yaitu anak, sedangkan makna
36
konotatifnya adalah kata babaran ‘melahirkan’ mempunyai konotasi positif atau
halus, sedangkan manak ‘melahirkan’ mempunyai konotasi kasar karena makna
‘melahirkan’ untuk sebutan hewan yang sedang melahirkan.
1.4.2.8 Teori Weighted Scale
Untuk mengkaji struktur musik iringan tari maena ini, penulis
menggunakan teori bobot tangga nada (weighted scale) yang ditawarkan oleh
Malm (1977). Unsur yang dikaji adalah mencakup struktur melodi maena yang
disajikan dengan teknik-teknik melodi etnik Nias, seperti menggunakan nada-nada
tinggi, kontur yang yang menaik, dan kemudian disahuti dengan kata-kata yang
bermelodi relaksasi.
Seperti yang ditawarkan oleh Malm, bahwa ada delapan parameter melodi
yang dapat dianalisis untuk berbagai melodi musik di eluruh dunia. Kedelapan
parameter itu adalah: (1) tangga nada, (2) wilayah nada, (3) nada dasar, (4)
interval, (5) jumlah nada-nada yang digunakan, (6) formula melodi, (7) pola-pola
kadensa, dan (8) kontur (garis melodi).
Tangga nada atau dalam bahasa Inggris scale dapat dikonsepkan sebagai
nada-nada yang digunakan dalam sebuah lagu atau nyanyian, yang di dalamnya
mengandung unsur-unsur modal atau tonal. Nada-nada inilah yang menjadi unsur
utama pembentuk melodi. Adakalanya nada-nada hias lainnya diselipkan di antara
melodi-melodi yang telah dikomposisikan, namun ada pula melodi yang mesti
disajikan secara akurat dalam pertunjukan musik. Melodi pun biasanya berkaitan
dengan struktur bahasa masyarakat yang menghasilkan kebudayaan musik
37
tersebut. Dengan demikian, mengkaji tangga nada pastilah akan kompleks, karena
berkait dengan berbagai unsur kebudayaan manusianya.
Selanjutnya wilayah nada dapat didefenisikan sebagai jarak antara nada
terendah ke nada tertinggi dalam sebuah nyanyian. Jarak ini dapat diukur dengan
satuan langkah atau laras. Namun dapat pula diukur dengan satuan cent, seperti
yang ditawarkan oleh para pakar etnomusikologi terutama Alexander J. Ellis.
Atau jarak ini pun dapat diukur pula dengan istilah-istilah interval seperti oktaf,
prima murni, sekta mayor, dua oktaf, dan seterusnya.
Nada dasar pula dapat dikonsepkan adalah sebagai nada yang menjadi acuan
dasar dalam mengkomposisikan melodi. Berbagai kecederungan musikal di
seluruh dunia biasanya mengandung nada dasar (tone center). Kecenderungan itu
dapat dilihat dalam berbagai karakternya seperti selalu digunakan dalam awal atau
akhir lagu. Demikian pula nada dasar ini menjadi tumpuan di setiap frase lagu,
atau juga menjadi nada akhir setiap kadensa lagu. Bisa pula berada pada nada
tertinggi atau nada terenda, dan seterusnya. Namun demikian, untuk melihat nada
dasar ini biasanya, patokan yang paling sahih adalah dengan mengkajinya
berdasarkan kebiasaan musikal yang terjadi di dalam kebudayaan musik tersebut.
Interval atau selang nada adalah jarak-jarak yang digunakan dari satu nada
ke nada berikutnya dalam sebuah komposisi lagu. Interval ini biasanya diukur
berdasarkan sistem cent atau juga menurut interval-interval yang umum
digunakan dalam musikologi barat, seperti sekunde mayor, sekunde minor, ters
mayor, ters minor, kuart murni, kuint murni, dan seterusnya. Dalam sebuah
38
melodi lagu umumnya dijumpai interval yang melangkah atau melompat, yang
diatur oleh penciptanya sedemikian rupa.
Unsur melodi lainnya adalah jumlah nada-nada yang digunakan. Ini dapat
dimaknai secara kuantitatif bagaimana masing-masing nada anggota dalam sebuah
tangga nada didistribusikan dalam sebuah lagu atau nyanyian. Biasanya dapat
dihitung berdasarkan kemunculannya berapa kali. Namun ada pula yang
menghitungnya berdasarkan seberapa besar nilai durasi masing-masing nada itu
membentuk bangunan nyanyian. Jumlah nada-nada ini secara kuantitatif dapat
didekati dengan metode statistik. Gunanya adalah untuk melihat sejauh apa
peranan musikal masing-masing nada dalam sebuah komposisi.
Unsur melodi lainnya adalah formula melodi. Sebagai sebuah komposisi,
maka setiap nyanyian atau lagu pastilah disusunoleh bentuk-bentuk melodi, yang
biasa saja diulang-ulang, adakalanya tidak diulang dan dikembangkan terus secara
berbeda. Formula-formula melodi ini, biasanya dikaji berdasarkan bentuknya
apakah binari, ternari, tunggal, dan seterusnya. Setelah itu, setiap bentuk melodi
pastilah disusun oleh frase-frase melodi. Kemudian setiap frase melodi umumnya
dibentuk oleh motif-motif, sebagai kesatuan terkecil dalam bangunan melodi lagu.
Pola-pola kadensa dapat diartikan sebagai beberapa nada akhir setiap frase
dalam nyanyian. Beberapa nada ini bisa saja dua, tiga, empat, atau lebih, namun
letaknya adalah di ujung frase-frase melodi. Biasanya diulang-ulang, dan memiliki
struktur yang saling terkait dengan kadensa lainnya. Dengan demikian, kadensa
ini dapat dimaknai sebagai kecenderungan melodis dalam ujung-ujung frase.
39
Unsur melodi yang kedelapan adalah kontur yang dapat dikonsepkan
sebagai garis perjalanan melodi baik itu bentuk secara keseluruhan, frase-
frasenya, atau hanya motif-motifnya. Kontur ini dapat pula dideskripsikan dengan
menggunakan kata-kata seperti garis lurus, berayun ke atas, berayun ke bawah,
berjenjang, melengkung, kurva, melesat ke atas, jatuh ke bawah, dan seterusnya.
Kontur juga selalu digunakan dalam mendeskripsikan kata-kata atau kalimat
dalam bahasa. Demikian kira-kira delapan parameter melodi yang ditawarkan oleh
Malm, menurut tafsiran dan uraian penulis.
1.4.2.9 Teori koreografi tari
Untuk mengkaji struktur tari maena, penulis menggunakan tari koreografi
tari. Penyusunan gerak dalam seni tari, gerak dari masing-masing penari, maupun
dari kelompok penari bersama, ditambah dengan penyesuaiannya dengan ruang,
sinar, warna, dan seni sastranya, kesemuanya merupakan suatu pengorganisasian
seni tari yang disebut koreografi (Djelantik, 1990:23). Dalam hal ini, yang
dimaksud koreografi adalah gerakan-gerakan yang dilakukan para penari (peserta)
pada upacara perkawinan masyarakat Nias. Memiliki ciri-ciri khas tertentu dari
bentuk tarian etnik lain yang dapat dilihat dan dinikmati oleh pelakunya dan
penontonnya. Gerakan-gerakannya terpola didalam aturan-aturan adat dan nilai
keindahan setempat yang dilakukan secara simbolis serta memiliki makna-makna
tersendiri.
Musik dan tarian merupakan fenomena yang berbeda, tetapi dapat
bergabung apabila terdapat aspek yang sama mengkoordinasikannya. Menurut
Pringgobroto, musik adalah rangkaian ritmis nada, sedangkan tarian adalah
40
rangkaian ritmis dan pola gerak tubuh (dalam Wimbrayardi, 1988:13-14). Musik
merupakan fenomena audio (bunyi) yang tidak terlihat, dan tari merupakan
fenomena audio (bunyi) yang tidak terdengar. Baik musik dan tari bergerak di
dalam ruang dan waktu (Sachs 1993:1-4 dan Blacking 1985:64-74) serta dapat
dirasakan melalui getaran yang dihasilkannya. Aspek dasar yang menghubungkan
keduanya adalah waktu, yaitu gerak ritmis (musik dan tari) dan tempo.
1.5 Metode Penelitian
1.5.1 Jenis penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
yaitu dengan menggambarkan atau mengamati fakta-fakta yang sedang
berlangsung dan pengujiannya tidak menggunakan statistik serta peneliti ikut
terjun dalam penelitian. Teknik pengumpulan data dan penelitian ini adalah
observasi dan wawancara. Teknik pengolahan dan analisa data menggunakan
metode deskripsi kualitatif yaitu menguraikan bagaimana makna lagu Maena pada
upacara falõwa di Õri Laraga Kota Gunung Sitoli. Sesuai dengan masalah yang
diajukan, maka penulis memakai metode deskriptif, untuk mengumpulkan
informasi mengenai lagu Maena yang sebenarnya. Ini sesuai dengan yang
dikatakan Arikunto, (2003:309-310) yaitu penelitian deskriptif merupakan
penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status,
atau gejala yang ada yaitu gejala menurut apa adanya pada saat penelitian
dilakukan. Adapun pengertian deskriptif menurut Sukardi (2003:15) adalah
metode yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang diteliti sesuai
41
dengan apa adanya. Tujuannya adalah menggambarkan secara sistematis fakta dan
karakteristik objek yang diteliti secara tepat.
Menurut Merriam dalam etnomusikologi, dikenal istilah teknik lapangan
dan metode lapangan. Tekhnik mengandung arti pengumpulan data-data secara
rinci di lapangan. Metode lapangan sebaliknya mempunyai cakupan yang lebih
luas, yang meliputi dasar dasar teoritis yang menjadi acuan bagi teknik penelitian
lapangan. Teknik menunjukkan pemecahan masalah pegumpulan data hari demi
hari, sedangkan metode mencakupi teknik-teknik dan juga berbagai pemecahan
masalah sebagai bingkisan kerja dalam penelitian lapangan (Merriam, 1964:39-
40)
Selain itu dalam penelitian seni dikenal metode penelitian kualitatif dan
kuantitaif. Penelitian kualitatif pada hakekatnya bertujuan untuk mencari makna
makna yang terkandung daripada kegiatan atau artefak tertentu. Selanjutnya
penelitian kuantitatif biasanya bertujuan untuk mengukur fenomena yang ada
berdasarkan rentangan-rentangan kuantiti tertentu. Sejauh pengamatan penulis,
kajian seni lebih banyak menggunakan metode kualitatif. Namun tidak menjadi
alasan metode kuantitatif tidak diperlukan dalam pengkajian seni. Kedua metode
tersebut digunakan sesuai dengan permasalahan yang dianalisis. Misalnya untuk
mengkaji seberapa banyak degrasi jumlah ronggeng Melayu di Sumatera Utara,
tentu metode yang sesuai adalah metode kuantitaif. Sebaliknya untuk mengetahui
sejauh mana makna semiotik yang ingin dikomunikasikan seniman dalam
pertunjukkan guro-guro aron, tentulah lebih sesuai didekati dengan metode
kualitatif. Dalam konteks peneliti tertentu, bahkan kedua-dua metode diperlukan.
42
Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang penelitian
kualitatif sebagai berikut:
Qualitative [sic] research has a long and distinguished history in human disiplines. In sociiology the work of the “Chicago Scholl” inthe 1920s and 1930s established the importance of qualitiative research for teh study of human group life. In Anthropology, during the same period, charted the outlines of the field work method, where in tthe observer went to a foreign setting to study customs and habits of another society and culture... Qualitatif research is a field of inquiry in its own right . Its crosscuts disiplines, fieldsm], and subject matter. A complex, Interconnected, family of terms, concepts, and assumtions suurond the term qualitative research (Denzim and Lincoln, 1995 :1)
Lebih jauh Nelson mentafsirkan mengenai penelitian kualitatif itu
mengikuti keberadaannya dalam dunia ilmu pengetahuan sebagai berikut:
Qualitative research is an interdisiplinary, transdisiplinary, and somteimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at the same time. It is multiparadigmatic in focu. Its practinioners are sensitve to the value of the multimethod approch. They are commited ti thenaturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political positions (Nelson and Grossberg, 1992:4).
Dari kedua kutipan di atas secara garis besar dapat dinyatakan bahwa
penelitian kualitatif umumnya ditunjukkan untuk mempelajari kehidupan
kelompok manusia. Biasanya manusia di luar kumpulan peneliti. Peneliti ini
melibatkan berbagai jenis disiplin, baik dari ilmu kemanusiaan, sosial ataupun
ilmu alam. Para peneliti percaya kepada perpektif naturalistik, serta
penginterprestasikan untuk mengetahui pengalaman manusia, yang oleh karena itu
biasanya inheren dan dibentuk oleh berbagai nilai etika posisi politik.
Namun demikian, penelitian seni dengan metode kualitatif juga sellau
melibatkan data-data yang bersifat kuantitaif dengan melihat kepada pernyataan S.
Nasution bahwa setiap peneliti (kualitatif dan kuantitaif) harus direncanakan.
Desain penelitian merupakan rencana tentang cara pengumpulan data menganalisa
43
data agar dapat dilaksanakan secara ekonomis serta serasi dengan tujuan
penelitian itu. Dalam desain pelitian antara lain harus dipikirkan: (a). Populasi
sasaran, (b) Metode Sampling, (c) Besar Sampling, (d) Prosedur pengumpulan
data, (e) Cara-cara menganalisis data setelah terkumpul, (f) Perlu tidaknya
menggunakan statistik, (g) Cara mengambil kesimpulan, dan sebagainya
(Nasution, 1982:31).
Edi Sedyawati juga mengungkapkan perlunya tahapan-tahapan dalam
meneliti seni tari. Peneliti seni tari juga dapat kita bagi ke dalam tiga macam atau
tahap, yakni (1) Pengumpulan, (2) Penggolongan, dan (3) Penganalisasian dan
Penulisan dan terakhir yakni pengolahan atau persembahan (Sedyawati,
1984:116).
1.5.2 Penelitian lapangan
Penelitian lapangan (field work) adalah menjadi fokus utama kegiatan
penulis melakukan penelitian mengenai analisis syair lagu maena pada acara adat
pernikahan masyarakat Laraga. Hal ini dilakukan mengacu kepada disiplin
etnomusikologi dan antropologi yang sangat mementingkan penelitian lapangan.
Hal ini selaras dengan yang dikemukakan Barden dalam konteks kegiatan
ilmuwan entomusikologi di dunia ini. Menurut I Made Bande, entomusikologi
merupakan sebuah bidang keilmuwan yang topiknya menantang dan
menyenangkan untuk diwacanakan. Sebagai disiplin ilmu musik yang unik,
entnomusikologi mempelajari musik dari sudut pandangan sosial dan budaya.
Sebagai disiplin yang amat populer saat ini, etnomusikologi merupakan ilmu
pengetahuan yang relatif muda umurnya.
44
Setting atau lingkungan riset pada penelitian ini adalah lingkungan
noncontrived setting atau lingkungan riil (field setting). Kerja lapangan yang
dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah observasi dan wawancara.
Observasi adalah pengamatan dengan cara mengamati dan menjadi pengamat
yang terlibat dalam kegiatan seni secara langsung guna untuk mendapatkan
informasi lebih teraktual, serta wawancara dilakukan kepada informan informan
khususnya key people (narasumber) guna mengetahui makna makna syair dan
tarian maena yang ditampilkan di pesta adat pernikahan Ori Laraga.
1.5.3 Fokus penelitian
Adapun fokus penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut, pada
Tari Maena, fokus terhadap syair dan lagu tari, runtutan mulai dari:
1. Penyambutan tamu (maena dari tuan rumah/sipangkalan) so omo,
2. Penyerahan sekapur sirih (maena dari tamu) tome,
3. Mendaulat pengantin laki-laki untuk menyerahkan rokok dan minuman
bagi penari maena/ono maena (maena dari tuan rumah),
4. Penyerahan pengantin perempuan ke keluarga pengantin laki-laki.
1.5.4 Teknik pengumpulan data
Strategi pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik
observasi dan wawancara. Sumber data yang digunakan pada merupakan data
primer dan sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari
hasil observasi dan wawancara, sedangkan data sekunder merupakan data yang
45
diperoleh dari pustaka atau teori-teori yang sudah dikemukakan (data tidak
langsung).
1.5.4.1 Observasi
Observasi merupakan teknik atau pendekatan untuk mendapatkan data
primer dengan cara mengamati langsung objek datanya. Observasi yang
dilakukan merupakan observasi sederhana yang tidak mempunyai pertanyaan-
pertanyaan riset. Observasi sederhana digunakan pada penelitian exploratory
(kualitatif) yang belum diketahui dengan jelas variabel-variabel yang akan
digunakan. Pentingnya melakukan observasi ini adalah untuk melihat langsung
pertunjukkan dan kemudian melakukan wawancara. Selepas itu, penulis akan
menganalisisnya dan melakukan penafsiran-penafsiran kultural beradasarkan ilmu
dan pengalaman yang penulis peroleh selama ini.
1.5.4.2 Wawancara
Wawancara merupakan komunikasi dua arah untuk mendapatkan data dari
responden. Wawancara (interview) pada penelitian ini menggunakan wawancara
personal yaitu wawancara yang dilakukan dengan cara tatap muka langsung
dengan responden (ketua adat suku Nias), baik yang berada di Gunung Sitoli Nias,
maupun pengetua adat y Nias yang ada di Medan. Wawancara dilakukan dengan
para Dinas Pariwisata, Pendidikan serta tetua adat yang mengetahui maena secara
keseluruhan serta beberapa masyarakat Nias yang mengetahui mengenai maena.
Wawancara dilakukan sesuai dengan format yang telah penulis siapkan dengan
tujuan data-data yang diinginkan akan diuraikan, sehingga mendukung hasil
46
penelitian. Hal-hal yang diwawancarai berkaitan dengan makna tarian maena,
susunan acara adat pernikahan adat masyarakat Nias, serta struktur analisis maena
lebih mendalam.
1.5.5 Teknik analisis data
Teknik analisis data merupakan aktivitas mempersiapkan semua data yang
sudah dikumpulkan untuk diproses lebih lanjut. Teknik analisis data digunakan
untuk mengetahui apakah yang data telah dikumpulkan telah menjawab
pertanyaan penelitian. Analisis data pada tradisi pernikahan masyarakat Nias
dengan tahapan:
1. Mengumpulkan data fisik yang berhubungan dengan infomasi
tentang Nias.
2. Mengumpulkan data terkait tradisi pernikahan masyarakat suku
Nias.
3. Melakukan analisis terhadap setiap gerakan kaki, tangan, syair dan
lagu pada tarian maena.
1.6 Studi Kepustakaan
Untuk lebih mendukung penelitian ini, maka peneliti merangkum beberapa
sumber kepustakaan, baik berupa buku, artikel (ilmiah dan semi ilmiah), laporan
penelitian, tulisan di koran, tulisan dalam laman-laman web, dan lain-lainnya.
Tulisan-tulisan ini menjadi sumber keilmuan dalam konteks penelitian yang
penulis lakukan. Sumber-sumber kepustakaan itu mencakup: a. tulisan-tulisan
terdahulu, b. kebudayaan Nias, upacara perkawinan, seni pertunjukan, dalam
47
kebudayaan Nias, c. dasar-dasar teori, d. metode dan teknik penelitian, e. tulisan-
tulisan terkait.
Tulisan-tulisan terdahulu tentang maena dalam upacara perkawinan adat
Nias (falowa) telah dilakukan oleh para peneliti baik di peringkat strata satu atau
lanjutan, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Seorang etnomusikolog asal Nias, Elisian Waruwu, yang melakukan studi
etnomusikologinya di Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas
Sumatera Utara, menulis skripsi sarjana yang berjudul, Sinunõ falõwa
Nyanyian Perkawinan pada Masyarakat Nias Utara di Desa Sifaoroasi:
Deskripsi Musikologis dan tekstual, tahun 1994. Di dalam skripsi ini Elisian
Waruwu mendeskripsikan dengan lugas upacara perkawinan Nias di Desa
Sifaoroasi dan mengkaji teks serta melodi nyanyiannya. Skripsi ini memiliki
kesamaan dengan tesisi yang penulis kerjakan ini. Namun ada juga perbedaan
mendasar, yaitu wilayah penelitian ini di Kota Gunungsitoli, yang tentunya
agak berbeda dengan kebudayaan Nias di pedesaan. Selain itu, skripsi Elisian
ditulis tahun 1994, yang telah berusia 20 tahun sampai kini, tentu saja telah
terjadi perkembangan-perkembangan baik itu upacara perkawinan itu sendiri
maupun maena yang di sajikan. Bagaimana pun skripsi ini menarik untuk
penulis jadikan acuan dalam penelitian.
2. Seorang etnomusikolog asal Nias lainnya yaitu Augusman Tafönaö, menulis
skripsi sarjana yang berjudul Analisis Musik Vokal pada Pertunjukan Maena
dalam Pesta Adat Falöwa (Perkawinan) Masyarakat Nias di Kota Medan,
tahun 2012. Dalam skripsi ini Augusman Tafönaö mengkaji musik vokal
48
Maena baik dari segi musikal (melodis) maupun tekstualnya (lirik). Penelitian
yang dilakukan Augusman Tafönaö adalah yang terjadi di Kota Medan, yang
telah mengalami berbagai adaptasi dan perubahan. Sementara di Gunung
Sitoli sendiri memiliki struktur yang “berbeda” dengan yang ada di Kota
Medan.
Selanjutnya buku-buku atau tulisan lainnya yang menjadi masukan keilmuan
bagi penulis, terutama dalam konteks penelitian ini adalah seperti diuraiakan
berikut ini.
3. Buku yang berjudul Pusaka Nias Dalam Media Warisan (Kumpulan Artikel
dan Opini) yang ditulis oleh Nuryanto, Eko Sri Haryanto, Jan Weetjens
Natsha Haywar, dan Sentot Surya Satria, tahun 2010. Buku ini secara ringkas
membahas semua fenomena kebudayaan yang terjadi di Nias. Di antaranya
adalah asal-usul masyarakat Nias, sejarah kebudayaan Nias, kehidupan
sehari-hari orang Nias, dan upacara-upacara orang Nias. Dari buku ini,
peneliti mendapatkan inspirasi mengenai Nias secara lebih luas.
4. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara pada tahun
1984 mengeluarkan Buku yang berjudul Adat dan Upacara Perkawinan
Daerah Nias, yang diterbitkan oleh Depdikbud Sumut di Medan. Buku ini
ditulis oleh Rosthina R. Sirait, Jasudin Siregar, H.S.A. Idaman Zebua,
F.A.Yana Zebua. Secara umum buku ini memuat deskripsi mengenai
langkah-langkah dan persiapan yang dilakukan sebelum melangsungkan acara
pernikahan dalam kebudayaan Nias. Di dalamnya juga dideskripsikan
berbagai upacara di dalam rangkaian upacara perkawinan adat Nias. Buku ini
49
memberikan dasar-dasar pemahaman penulis terhadap tata cara dan tahapan
upacara perkawinan dalam kebudayaan Nias.
5. Selanjutnya Pemerintah Daerah Kabupaten Nias, pada tahun 1984, di Gunung
Sitoli, menerbitkan sebuah buku yang bertajuk Menelusuri Sejarah
Kebudayaan Ono Niha. Secara umum, buku ini mendeskripsikan tentang asal
usul Ono Niha (orang Nias). Pendekatan yang dilakukan adalah melalui
disiplin ilmu sejarah, mitologi, cerita rakyat (folklor), antropologis, dan
sosiologis. Buku ini menjadi sumber rujukan dalam mengkaji aspek
etnografis orang Nias dalam tesis penulis ini.
6. Sumber pustaka lainnya adalah buku yang bertajuk Indikator Ekonomi
Daerah Kabupaten Nias. Buku ini diterbitkan atas kerjasama Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal Kabupaten Nias
dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias, pada tahun 2010. Secara
umum buku ini berisikan data-data statistik penduduk Nias, seperti jenis
kelamin, agama, rumah-rumah ibadah, jumlah desa, kuantitatif ekonomi, jalan
raya, dan lain-lainnya. Buku ini menjadi dasar penulis dalam melihat
masyarakat dan daerah Nias dalam konteks data-data kuantitatif.
7. Buku lainnya adalah bertajuk Statistik Daerah Kota Gunung Sitoli, yang
diterbitkan oleh Badan Statistik Kabupaten Nias, tahun 2011 di Kota Gunung
Sitoli. Buku ini juga berisikan data-data statistik mengenai aspek humaniora,
sosial, lingkungan, dan fisik Kota Gunung Sitoli. Bagaimanapun, buku ini
menjadi rujukan penulis dalam melihat aspek kuantitatif Kota Gunung Sitoli
dan kaitannya dengan penelitian maena ini.
50
8. Penulis lainnya yang tulisannya menjadi rujukan dalam tesis ini adalah
Yafaowolo’o Gea. Beliau menulis di laman web koran Kompas yang bertajuk
“Fondrakö: Peraturan dan Hukum Adat Nias yang Menghukum.” Tulisan ini
diunggah pada tanggal 19 Februari 2013. Kemudian penulis mengunduh dan
mengaksesnya pada tanggal 4 Desember 2013 yang lalu. Adapun alamat
lengkap web ini adalah pada http://sosbud.kompasiana.com/2013/02/19/
fondrak-peraturan-dan-hukum-adat-nias-yang-mengutuk-536424.html. Secara
umum tulisan Yafaowolo’o Gea ini berisikan tentang hukum-hukum adat
yang terjadi di Nias, termasuk di antaranya adalah hukum adat pertanahan,
hukum adat mendirikan desa (banua), hukum adat perkawinan dengan segala
detilnya, hukum adat sirkumsisi, hukum adat kematian, dan lain-lain. Tulisan
ini menjadi sumber bagi penulis dalam melihat hukum adat Nias pada
umumnya, dan hukum adat perkawinan Nias secara khusus.
9. Tulisan di dunia maya lainnya adalah oleh Agus Gea. 2013. Tulisan ini
bertajuk “Asesoris Adat Perkawinan Nias” (dimuat di: http://www.
NiasIsland.com, 29 Januari 2009, dimuat kembali di website TOZ dengan
penyempurnaan oleh Tim Sekretariat tanpa merubah isi). Tulisan ini secara
umum berisi tentang deskripsi upacara perkawinan adat Nias.
10. Tulisan yang memberikan suasana teoritis, adalah tulisan Muhammad Takari,
yang bertajuk “Mengenal Teori Fungsionalisme,” pada Jurnal Studia Kultura,
2009. Tulisan ini berisikan mengenai teori-teori fungsi serta menguraikan
berbagai contoh teori fungsi dalam ilmu linguistik, komunikasi, antropologi,
sosiologi, dan etnomusikologi yang memiliki berbagai kesamaan, namun
51
cukup baik diwarisi oleh para pakar teori di bidang-bidang kajian ilmiah
tersebut. Teori ini menjadi salah satu sarana analisis terhadap fungsi maena
dalam konteks upacara perkawinan dalam kebudayaan Nias.
11. Tulisan lainnya yang memberikan dasar-dasar teoritis dalam konteks
penelitian ini adalah apa yang ditulis oleh dua pengarang yaitu Cristomy dan
Untung Yuwono. Mereka menulis buku yang berjudul Semiotik Budaya.
Buku ini diterbitkan oleh Penerbit di Jakarta pada tahun 2004. Secara umum
buku ini membahas langkah-langkah bagaimana seorang ilmuwan mengkaji
makna-makna semiotik dalam konteks budaya di dunia ini.
12. Buku lainnya yang juga memberikan arahan teoritis dalam konteks penelitian
maena ini adalah pada yang ditulis oleh etnomusikolog Amerika Serikat,
Alan P. Merriam. Ia menulis buku yang berjudul The Anthropology of Music.
Buku ini diterbitkan oleh North Western University Press di Kota Chicago,
Amerika Serikat. Secara umum, buku ini berisikan materi keilmuan mengenai
ilmu antropologi musik atau yang kemudian dikenal sebagai etnomusikologi.
Di dalam buku ini juga dibahas secara mendalam bagaimana guna dan fungsi
musik di dalam kebudayaan manusia di dunia ini.
13. Tulisan yang bersuasana pembedahan dan aplikasi teoritis adalah oleh
Malinowski. Beliau menulis sebuah artikel singkat yang bertajuk “Teori
Fungsional dan Struktural”. Tulisan ini berisikan tentang teori-teori
fungsionalisme dan struktural dalam disiplin antropologi. Tulisan ini dimuat
dalam buku teori Antropologi I, dengan editor Koentjaratninggrat 1991.
52
14. Sumber kepustakaan lainnya, yang menjadi orientasi keilmuan mengenai
cerita rakyat, adalah tulisan oleh James Dananjaya, yang dikenal sebagai ahli
folklor Indonesia. Ia menulis buku yang bertajuk Folklor Indonesia: Ilmu
Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Buku ini diterbitkan di Jakarta oleh Grafiti
Pers, tahun 1986. Di dalam buku ini dijelaskan tentang apa itu folklor,
kemudian ada pula nyanyian rakyat, termasuk di dalamnya nyanyian anak,
nyanyian untuk upacara perkawinan, dan lain-lain.
15. Untuk mengarahkan penelitian lapangan terhadap keberadaan maena di
Gunung Sitoli, penulis membaca dan menerapkan tulisan pada buku yang
dikarang oleh Burhan Bungin, berjudul Penelitian Kualitatif. Cetakan I, yang
diterbitkan oleh Prenada Media Group, Jakarta tahun 2007. Buku ini
berisikan kajian mendalam tentang apa itu penelitian kualitatif, bagaimana
metode dan teknik dalam penelitian kualitatif, sampai bagaimana melaporkan
hasil-hasil penelitiannya. Buku ini sangat relevan dalam penelitian maena
yang penulis lakukan. Maena dalam upacara perkawinan adat Nias, memiliki
makna-makna kultural yang dapat diteliti dengan pendekatan kualitatif, baik
data yang berasal dari informan kunci atau informan pangkal.
16. Tulisan mengenai adat Nias dan hubungannya dengan agama Kristen
(Protestan), adalah ditulis oleh W. Gulö, tahun 1997. Tulisan ini berjudul
Nias: Injili–Budaya–SDM. Tulisan ini diterbitkan oleh Universitas Kristen
Satya Wacana Salatiga. Tulisan ini memberikan gambaran yang lugas tentang
bagaimana Kristen diterima dan diinternasilsasikan di dalam kebudayaan
53
Nias. Nilai-nilai Kristen dan kebudayaan setempat dapat menyatu dalam
kerangka membentuk dan memberdayakan kebudayaan Nias.
17. Sumber kepustakaan lainnya adalah berupa kamus dalam bahasa Melayu,
yaitu Kamus Dewan, yang diterbitkan pada tahun 2002, di Kuala Lumpur
oleh Dewan Bahasa dan Pustaka. Melalui kamus ini penulis ingin melihat
apa makna tari di dalam perspektif bahasa Melayu. Bagaimanapun bahasa
Melayu adalah menjadi linguafranca di Asia Tenggara. Makna tari ini
kemudian penulis bandingkan dengan makna maena sebagai sebuah tarian
juga, di samping maknanya juga sebagai lagu, puisi, pertunjukan, upacara,
dan lain-lain.
18. Masih dalam bentuk kamus, penulis membaca dan menggunakan beberapa
pengertian seperti tari, upacara, perkawinan, dan sejenisnya melalui kamus
yang disunting oleh Perwadarminta (ed.), tahun 1985. Kamus ini berjudul
Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang diterbitkan di Jakarta, oleh Balai
Pustaka. Bagaimanapun, kamus ini membantu memahami arti dari beberapa
konsep yang berkaitan dengan penelitian penulis.
19. Buku yang bersifat dasar-dasar antropologis, yang menjadi sumber rujukan
dalam mengkaji budaya Nias adalah yang ditulis oleh Koentjaraningrat,
diterbitkan tahun 1986, yang berjudul Pengantar Ilmu Antropologi,
diterbitkan di Jakarta oleh Gramedia. Secara umum, buku ini mengenalkan
kepada para pembacanya apa itu antropologi, bidang-bidang antropologi, arti
dan definisi kebudayaan, aneka ras dan kebudayaan, peta kebudayaan, dan
lain-lainnya.
54
20. Untuk memperkaya wawasan penulis tentang studi tari, maka penulis
membaca tulisan Soedarsono, yang bertajuk Tari-tari di Indonesia,
diterbitkan di Jakarta, oleh Proyek Pengembangan Media dan Kebudayaan,
tahun 1977. Dalam buku ini dideskripsikan mengenai tari-tari yang terdapat
di indonesia, termasuk yang terdapat di Nias.
21. Bamböwö Laia, pada tahun 1983, menulis buku yang berjudul Solidaritas
Kekeluargaan Dalam Salah Satu Masyarakat Desa di Nias. Buku ini
diterbitkan di Yogyakarta oleh Gadjah Mada University Press. Secara umum,
buku ini membahas khusus mengenai aspek solidaritas yaitu penerapan nilai-
nilai kebersamaan dan kegotongroyongan etnik Nias dalam keluarga, baik itu
keluarga inti maupun keluarga luas.
22. Tulisan yang bersifat etnomusikologis adalah oleh William P. Malm tahun
1977, yang berjudul Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia,
diterbitkan di New Jersey, Englewood Cliffs, oleh penerbit Prentice Hall. Di
dalam buku ini, khusus di bagian awalnya berisikan metode dan teori dalam
etnomusikologi untuk mengkaji kebudayaan musik dunia. Buku ini menjadi
dasar penulis dalam mengkaji musikal maena dalam upacara perkawinan adat
Nias.
23. Buku yang juga bersifat etnomusikologis adalah yang ditulis oleh Bruno
Nettl, tahun 1964, yang bertajuk Theory and Method in Ethnomusicology,
diterbitkan di New York, oleh Prentice Hall. Buku ini secara umum berisi
tentang berbagai teori yang lazim digunakan di dalam etnomusikologi dan
55
juga berbagai metode yang digunakan dalam penelitian lapangan
etnomusikologi.
24. Sedyawati, Edy, 1981. Tari: Tinjauan dari Berbagai Segi. Jakarta: Pustaka
Jaya.
25. Buku yang menjadi salah satu sumber dari metode terhadap penelitian maena
dalam kebudayaan Nias di Gunung Sitoli adalah tulisan Soehartono, tahun
1995, yang bertajuk Metode Penelitian. Buku ini diterbitkan di Jakarta oleh
Gramedia. Secara umum buku ini mebahas tentang apa itu metode penelitian,
teknik rekaman data, teknik mengumpulkan data, menganalisis data, data
primer dan sekunder, dokumenter, dan lain-lainnya.
26. Buku lainnya yang menjadi rujukan dalam penelitian ini adalah yang ditulis
oleh para dosen di Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Sastra,
Universitas Sumatera Utara, yaitu: Muhammad Takari, Frida Deliana, Fadlin,
Torang Naiborhu, Arifni Netriroza, dan Heristina Dewi, yang diterbitkan
pada tahun 2008. Buku tersebut bertajuk Masyarakat Kesenian di Indonesia,
yang diterbitkan di Medan oleh Studi Kultura, Fakultas Sastra, Universitas
Sumatera Utara. Secara umum, buku ini mengkaji keberadaan kesenian yang
ada di Indonesia seperti Aceh, Sumatera Utara, Jawa, Sunda, kalimantan,
Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Kesenian Nias dikaji dalam kesenian
Sumatera Utara.
27. Buku lainnya yang menjadi rujukan penulis tentang upacara perkawinan adat
Nias adalah yang ditulis oleh H.S. Zebua, tahun 1985. Buku ini bertajuk
Kumpulan Catatan Upacara Perkawinan Daerah Nias, diterbitkan di
56
Gunungsitloli oleh Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan kabupaten Nias Sumatera Utara. Secara umum buku ini
mendeskripsikan upacara perkawinan dalam kebudayaan etnik Nias, baik itu
tahapan-tahapan, pelaku, benda upacara, waktu, tempat upacara, dan hal-hal
sejenis.
28. Tulisan lainnya yang menjadi rujukan penulis untuk melihat maena sebagai
nyanyian, adalah yang ditulis oleh Thomas Markus Manhart, tahun 2005,
yang berjudul, A Song for Lowalangi: The Interculturation of Catholic
Mission and Nias Traditional Arts with Spesial Respect to Music, diterbitkan
di Singapura oleh National University of Singapore. Tulisan ini mengkaji
interkulturasi antara agama Katholik dengan kesenian Nias pada umumnya
yang tergambar dalam nyanyian Lowalangi.
1.7 Sistematika Penulisan
Tesis ini ditulis dalam bentuk bab demi bab yang keseluruhannya terdiri
dari tujuh bab. Setiap bab secara saintifik dianggap memiliki isi yang dekat,
dengan perincian sebagai berikut:
BAB I, PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang
peneliti mengambil penelitian ini, pokok masalah yang peneliti akan teliti, tujuan,
manfaat dan fokus peneliti, kerangka teori yang peneliti gunakan, metode
penelitian, teknik analisis data, studi kepustakaan yang peneliti gunakan serta
sistem penulisan yang peneliti gunakan.
57
BAB II, ETNOGRAFI ETNIK NIAS, yang menjelaskan mengenai suku
Nias, Õri Laraga, wilayah dan warga Laraga pada mulanya, perkawinan nias,
Sistem Kekerabatan dan tarian maena.
BAB III, DESKRIPSI UPACARA PERKAWINAN ADAT NIAS
Menjelaskan mengenai proses berjalannya upacara perkawinan di Nias
seperti Fanunu manu, Fangowai dan Fame’e Afo, Famõzi aramba, Fame’e,
kemudian adanya acara pemberkatan pernikahan, Folau Bawi, falõwa, pemberian
Bola nafo, pemufakatan antara raja-raja adat kedua belah pihak, adanya Tarian
maena, Fangaetu golola serta yangbterakhir ialah Fame,e Tou Ono Nihalo.
BAB IV, ANALISIS SYAIR MAENA, yang membahas mengenai
analisis syair maena di dalam pesta pernikahan adat yang dilakukan oleh
masyarakat Nias, baik makna denotatif maupun konotatif.
BAB V, ANALISIS STRUKTUR MELODI MAENA, yang membahas
tentang tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula melodi, pola-pola
kadensa, distribusi nada-nada, interval, dan kontur.
BAB VI, ANALISIS STRUKTUR TARI MAENA, yang mengkaji tari
mena baik itu pola lantai, teknik gerak, hitungan gerak, busana, dan lainya.
BAB VII, KESIMPULAN DAN SARAN. Bab ini berisikan mengenai
kesimpulan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Selain itu, bab ini
juga diisi oleh beberapa saran penulis sebagai peneliti terhadap eksisten maena di
Gunung Sitoli ini.
58
BAB II ETNOGRAFI ETNIK MASYARAKAT NIAS
2.1 Nias
Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam
bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono artinya
anak/keturunan; Nihaa rtinya manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha"
(Tanö artinya tanah).
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan
kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö
yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian.
Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik. Hal ini dibuktikan dengan
adanya peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih
ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini bahkan sampai sekarang.
Suku Nias mengenal sistem kasta (12 tingkatan kasta). Dimana tingkatan
kasta yang tertinggi adalah Balugu. Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus
mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan
menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari.
Menurut masyarakat Nias, salah satu mitos asal-usul suku Nias berasal dari
sebuah pohon kehidupan yang disebut Sigaru Tora`a yang terletak di sebuah
tempat yang bernama Tetehöli Ana'a. Menurut mitos tersebut di atas mengatakan
kedatangan manusia pertama ke Pulau Nias dimulai pada zaman Raja Sirao yang
memiliki 9 orang putra yang disuruh keluar dari Tetehöli Ana'a karena
59
memperebutkan Takhta Sirao. Ke-9 Putra itulah yang dianggap menjadi orang-
orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.
Penelitian arkeologi telah dilakukan di Pulau Nias sejak tahun 1999.
Penelitian ini menemukan bahwa sudah ada manusia di Pulau Nias sejak 12.000
tahun silam yang bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa Paleolitik,
bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau (wawancara dengan Harry
Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta).
Pada masa itu hanya budaya Hoabinh, Vietnam yang sama dengan budaya
yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal-usul suku Nias berasal dari
daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara yang disebut
Vietnam.Penelitian genetika terbaru menemukan, masyarakat Nias, Sumatera
Utara, berasal dari rumpun bangsa Austronesia. Nenek moyang orang Nias
diperkirakan datang dari Taiwan melalui jalur Filipina sekitar 4.000 sampai 5.000
tahun lalu.
Budaya Ono Niha (Nias) terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama
yang tersirat dalam salam Ya’ahowu (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia
semoga diberkati). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung makna:
memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih
Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian,
tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian,
berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain,
tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain
(yang diucapkan: Selamat, Ya’ahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta
60
menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang
terkandung dalam Ya’ahowu tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang
sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk
pengembangan hidup bersama. Salam ini juga dapat diucapkan oleh orang lain
selain orang Nias sendiri dan lintas budaya, serta agama
Eliyaman Zebua, mendeskripsikan, penggunaan bahasa di Kepulauan Nias
juga terdapat perbedaan di beberapa Õri. Bahasa Nias masih dapat dibedakan
dengan Aksen/penekanan setiap kata yang diucapkan.
a. Di õri Laraga aksen dan frasa setiap kata yang diucapkan dapat dikatakan
netral
b. Di õri Lafau, aksen atau penekanan kata demi kata lebih cenderung berirama
dan terkesan lebih lembut
c. Di õri Moro’õ dan Lahõmi, melafalkan kata demi kata lebih mendayu-dayu
d. Di õri Mazingõ, setiap kata demi kata yang diucapkan cenderung lebih keras
dan sangat kaku.
Penulisan kata-kata dalam bahasa Nias, lebih banyak dipengaruhi oleh ejaan
dari Jerman, seperti penulisan “Õ”, dimana penulisan bahasa ditandai dengan
masuknya missionaris di Nias. Kalau kita perhatikan lebih seksama lagi, setiap
kata yang ditulis/diucapkan dalam bahasa Nias, pasti diakhiri oleh huruf vokal
(a,e,i,u,o dan õ).
61
2.2 Keadaan Geografis Nias
Kota Gunungsitoli adalah salah satu kota di propinsi Sumatera Utara yang
berada di Kepulauan Nias. Luas wilayah Kota Gunungsitoli adalah 469,36 km2
atau sebesar 64 persen dari total 0,64 persen dari total luas Sumatera Utara.
Luas Wilayahnya adalah 5.625 Km2 yang berbatasan dengan kawasan-
kawasan sebagai berikut:
(i) Sebelah utara berbatas dengan Pulau-pulau Banyak (Aceh),
(ii) Sebelah barat berbatas dengan Lautan Indonesia (Samudera Hindia),
(iii) Sebelah timur berbatas dengan Pulau Mursala Sibolga,
(iv) Sebelah selatan berbatas dengan Kepulauan Mentawai.
Tinggi daerahnya dari permukaan laut bervariasi antara 0 sampai 800 m.
Dataran rendahnya terdapat di sepanjang pantai sebelah timur. Seterusnya, arah
ke tengah atau pedalaman tanahnya berdaratan rendah dan daratan tinggi.
Daratan rendah yang luas terdapat di sebelah timur daerah kecamatan Gido,
Kecamatan Idano Gawo menuju arah selatan dan di kecamatan Alasa, Mandrehe,
Sirombu. Daratan tinggi pertama terdapat di daerah kecamatan Gunungsitoli,
Lõlõwa’u, Gomo dan kecamatan Teluk Dalam, dan Tuhemberua.
Keadaan temperatur pertahun rata-rata antara 25 -̊26˚ dan terpanas pada
bulan juni 33̊-34˚ dan terendah bulan November sampai Desember ±19° C. Curah
hujan rata rata ±87mm. Dan kelembaban udara rata-rata 99 (3,45). Gunung yang
tertinggi ialah gunung Lolomatua yaitu 860 m. Sungai yang besar dan panjang
ialah Sungai Oyo, Sungai Muzõi, dan Sungai Susua.
62
Dahulunya pulau Nias ditumbuhi oleh hutan belantara. Menurut pendataan
pada tahun 1983, 97% dari luas daerah Pulau Nias itu telah menjadi kota, sawah,
ladang, tegalan dan kebun kebun milik rakyat.
Daerah Pulau Nias terbagi menjadi 13 kecamatan, yaitu:
1. Kecamatan Gunungsitoli ibukotanya Gunungsitoli,
2. Kecamatan Tuhemberua ibukotanya Tuhemberua,
3. Kecamatan Lahewa ibukotanya Lahewa,
4. Kecamatan Alasa ibukotanya Ombolata Alasa,
5. Kecamatan Gido ibukotanya Hiliweto Gido,
6. Kecamatan Idano Gawo ibukotanya Tetehosi,
7. Kecamatan Lahusa ibukotanya Helexalulu,
8. Kecamatan Gomo ibukotanya Sifaoro Asi,
9. Kecamatan Teluk Dalam ibukotanya Teluk Dalam,
10. Kecamatan Lolowa’u ibukotanya Lolowa’u,
11. Kecamatan Mandrehe ibukotanya Mandrehe,
12. Kecamatan Sirombu ibukotanya Tetesua,
13. Kecamatan Pulau-pulau Batu ibukotanya Tello
Suhu udara rata-rata di Kota Gunung Sitoli berkisar antara 18,1 ˚C sampai
dengan 31,3˚c. Tempat-tempat yang letaknya berdekatan dengan pantai
mempunyai suhu udara rata-rata relatif tinggi. Curah hujan tertinggi tercatat 662,5
mm dari hujan sebanyak 240 hari. 34 persen desanya beraa di pesisir. Luas
wilayah Kota Gunungsitoli sebesar 0,64 persen dari total luas daratan Provinsi
63
Sumatera Utara dan juga memiliki daerah pesisir sebanyak 34 persen dari 101
desa.
Kondisi alam atau topografi wilayah Kabupaten Nias Utara, yaitu berbukit-
bukit sempit dan terjal serta pegunungan. Dari kondisi alam yang demikian,
terdapat 20 sungai kecil, sedang, atau besar di hampir seluruh
kecamatan.Kecamatan Gunungsitoli merupakan daerah ibukota, sementara
Gunungsitoli Alo’oa kecamatan terjauh dengan jarak sekitar 19 km dari Kantor
Camat ke ibukota Gunung Sitoli (Kantor Walikota).
64
Gambar 2.1 Peta Nias Sumber: BPS Kabupaten Nias
65
Luas 459,36 Km2
Kecepatan Angin 69 Kelembaban 91 Hari Hujan 240 Rata-rata curah hujan 221,9 Jumlah Desa 98 Jumlah Kelurahan 3 Desa di pesisir 34 Desa Bukan Pesisir 67 Desa di Lembah - Desa di Lereng punggung bukit
54
Daratan 13
Tabel 2.1 Statistik Geografi dan Iklim Gunung Sitoli Sumber: Gunung Sitoli Dalam Angka, 2010
Dari total luas wilayah Kota Gunung Sitoli, 57 persen merupakan lahan
pertanian baik sawah maupun bukan sawah. Kecamatan Gunung Sitoli terdiri dari
99 buah desa. Gunung Sitoli merupakan ibu kota dari daerah Pulau Nias, sebagai
kota pelabuhan dan pusat perdagangan dan pemerintahan.
Luas wilayah daerah kecamatan Gunung Sitoli ±45.245 km2 (4,04 % dari
luas daerah kabupaten Nias). Keadaan tanahnya tidak memungkinkan untuk
pertanian bersawah karena lebih banyak dataran tinggi/ bukit daripada dataran
rendahnya. Dataran rendahnya hanya terdapat dekat pantai yang ditumbuhi oleh
pohon kelapa. Kelapa merupakan hasil pulai nias yang terutama disamping karet
dan babi. Ke arah pedalaman di daerah perbukitan terdapat tanaman karet yang
diusahakan secara tradisional. Peremajaan karet dan kelapa kurang diperhatikan
oleh penduduk, sehingga hasilnya semakin menurun.
66
2.3 Penduduk
2.3.1 Suku bangsa
Penduduk pulau Nias sebahagian besar adalah disebut “Ono Niha” (etnis
Nias). Penduduk pendatang adalah seperti etnis Aceh, Minangkabau, Batak,
Bugis, dan Cina sebagian besar mereka yang pendatang tinggal di Kota. Di ibu
kota kecamatan yang ada pelabuhan seperti di Lahewa, Sirombu, Teluk Dalam,
lahusa di Pulau-pulau Batu dan Tello.
Etnis Aceh yang paling banyak sesudah itu etnis Minangkabau, sehingga
mereka telah mempunyai kampung sendiri. Oleh penduduk aslinya Nias menyebut
mereka itu Dawa Sowanua (orang pendatang yang telah mempunyai tanah atau
kampung sendiri) mereka semuanya beragama Islam, nama desa mereka ialah
disebut “mudik,” ± 1 km dari kota Gunungsitoli. Disamping desa mudik, masih
ada desa lainnya yang didiami mereka yaitu; desa Saombo, Ilir, dan desa Miga.
Sebagian besar mata pencahariannya adalah berdagang dan nelayan. Sebagian
besar mereka telah berasimilasi dengan penduduk asli baik dalam bahasa maupun
dalam adat perkawinan, sehingga mereka seakan-akan penduduk asli Nias.
Keadaan ini telah berlangsung dalam jangka waktu beratus-ratus tahun
lamanya. Akibat perkawinan mereka dengan penduduk asli, maka terdapat
hubungan kekerabatan. Sehingga dalam upacara perkawinan tergabung unsur-
unsur agama, hukum adat, dari daerah asal mereka dan dipengaruhi oleh hukum
adat penduduk adat yang asli, terutama yang berkaitan dengan “jujuran atau
mahar.” Di dalam perkawinan penduduk asli, pembayaran jujuran/mahar itu tidak
terlepas dari hubungan sistem kekerabatan. Dalam sistem kekerabatan, mereka
67
telah mengikuti kekerabatan penduduk asli, terutama dalam hal garis keturunan.
Kalau suku Aceh sebenarnya adalah penganut parental, tetapi karena telah terjadi
pencampuran darah dengan penduduk asli, maka mereka mengikuti garis
keturunan yang disebutpatrilinial . Sebaliknya di pihak penduduk asli pengaruh
unsur-unsur budaya pendatang itu dapat dilihat, misalnya dalam perhiasan
pengantin perempuan yaitu: “gelang tangan dan kaki, hiasan sanggul dan kalung.“
Disamping etnis Aceh, suku bangsa lain yang telah lama tinggal di Pulau
Nias adalah etnis Minangkabau. Etnis ini telah banyak berasimilasi dengan
penduduk asli melalui bahasa dan perkawinan.
Sangat sulit untuk membedakan penduduk asli dan pendatang, pengaruh
etnis Minangkabau terdapat dalam bahasa, perhiasan dan pakaian pengantin yaitu
tata konde, kain sarung, kebaya pengantin perempuan. Sehingga mempengaruhi
tata hias dan warna dari pakaian penganten penduduk asli .
Disamping kedua etnis di atas, etnis Batak yang datang ke Nias
belakangan ini tidak mempengaruhi hukum dan adat penduduk aslinya. Mereka
datang sebagai petugas pemerintah dan berdagang . Penduduk lainnya adalah etnis
Cina. Mereka telah beratus tahun berada dan tinggal menetap di pulau Nias,
sehingga mereka mempunyai lokasi di gunung Sitoli yang disebut “kampung
Cina”. Pengaruh kebudayaan Cina terhadap penduduk asli di dalam peralatan
rumah tangga seperti: piring, mangkok dan lainnya. Dalam upacara perkawinan
yaitu pemakaian figa lame (pinggan atau piring) tempat suguhan adat yaitu daging
dan rahang babi yang disuguhkan kepada tamu .
68
Di desa tempat penelitian, penduduknya adalah Ono Niha terdiri dari
Mado (marga di suku Batak atau juga disebut fam, di suku Minahasa). Mado yang
mendominasi di Kota Gunung Sitoli adalah Zebua, Harefa dan Telaumbanua
atau disebut juga sitölu tua sedangkan. Yang terbanyak penduduknya adalah di
kota pelabuhan sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan seperti kota gunung
Sitoli. Sifat dan falsafah suku bangsa Nias adalah mementingkan anak laki-laki
daripada anak perempuan karena anak laki-laki adalah pewaris dan pelangsung
garis keturunan .
Perceraian setelah perkawinan di suku bangsa Nias yang penduduk aslinya
“ jarang terjadi”, karena telah ditetapkan dalam perkawinan atau sumpah di dalam
hukum fondrakõ perceraian baru terjadi apabila si istri telah berbuat zinah. Itupun
istilah cerai tidak dipakai, tetapi apabila si istri terdapat berzinah maka langsung “
dipancung”. Oleh karena itu suku Nias tidak mengenal istilah cerai, terlebih lagi
bila dirinya penganut agama kristen. Dapat dikatakan bahwa perceraian dalam
suku Nias “tidak terjadi“.
Menurut mitos bahwa asal usul etnis Nias adalah dari langit. Nenek
moyangnya diturunkan dari langit di suatu tempat di atas bumi yaitu lapisan kedua
di atas bumi. Menurut kepercayaan mereka, di atas bumi ini ada 8 lapisan lagi.
Pada lapisan kedua , di situlah nenek moyang mereka berada. Di atas itu pada
mulanya dewa sihai yaitu dewa yang tidak diketahui asal usulnya, tetapi maha
sakti membentuk manusia pertama yang dibantu oleh Sitahu (Manusia yang
dibentuknya juga , yang bertugas untuk membantunya juga dalam pekerjaannya).
Manusia pertama itu seorang laki-laki yang bernama Tuha Sangeha-Ngehao.
69
Setelah itu dia membentuk seorang istri bernama Buruti Sangaönga-Zökhi.
Kemudian manusia itu dikawinkannya, lalu mereka beranak cucu, makin lama
makin banyak . Kepada kedua manusia itu diserahkannya seluruh isi alam semesta
menjadi wali semuanya itu. Karena mereka menjadi wali atas alam semesta
beserta isinya itu, maka kepada mereka sihai memberi amanat yang akan menjadi
pedoman mereka dengan keturunannya sepanjang masa. Amanat itu diberikannya
melalui sitahu. Sitahu menyampaikan amanat itu dengan cara mematerinya ke
dalam hati tuha sangeha-ngehao. Amanat yang diberikannya itu disebut fondrakö.
Isi dari fondrakõ yang diamanatkan oleh dewa sihai itu adalah
berhubungan dengan hal-hal berikut ini:
a. Pemujaan dan pengabdian kepada dewa dan dewi.
b. Cara memberi nafkah dan harta, yaitu: bertani, beternak, dan hutang-
piutang.
c. Budi pekerti.
d. Mendirikan negeri dan kampung.
e. Kemanusiaan.
2.3.2 Jumlah penduduk
Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 (SP2010) diperoleh data
jumlah penduduk Gunungsitoli yaitu 125.566 orang. Jumlah ini dapat dirinci lagi
menjadi, terdiri dari 61.658 laki laki dan 63.915 perempuan.
Hasil sensus tersebut memperlihatkan bahwa penyebaran penduduk Gunung
Sitoli terbesar ada di Kecamatan Gunung Sitoli yakni sebesar 48 persen,
70
kemudian diikuti oleh kecamatan Gunung Sitoli Idanoi sebesar 17 persen,
sedangkan kecamatan lainnya dibawah 15 persen. Kecamatan Gunung Sitoli dan
Kecamatan Idanoi adalah dua kecamatan dengan urutsn teratas yang memiliki
jumlah penduduk terbanyak yaitu masing-masing berjumlah 60.169 jiwa dan
21.374 jiwa.
Bagan 2.1 Persentase Distribusi Penduduk Gunung Sitoli 2010
Sumber: BPS Kabupaten Nias
Dengan luas 469,36 km2 yang didiami oleh 125.566 orang. Kepadatan
penduduk Kota Gunung Sitoli adalah sebesar 268 orang per km2, sedangkan yang
paling rendah adalah Kecamatan Gunung Sitoli Alo’oa, yakni 111 orang per km2.
17%; 11%
11%; 7%6%; 4%
1,2; 75%
5%; 3%
Gunungsitoli Idano'i
Gunungsitoli Selatan
Gunungsitoli Barat
Gunungsitoli 48%
Gunungsitoli Alo'oa
71
Bagan 2.2
Kepadatan Penduduk Gunung Sitoli (Jiwa/Km2) Sumber: BPS Kabupaten Nias
2.4 Pola Perkampungan
Pola perkampungan di daerah Nias ada 2 (dua) jenis, yaitu yang berbentuk
gang, dan yang berbentuk huruf U. Pola perkampungan yang berbentuk gang
adalah pola perkampungan penduduk di Nias bagian utara. Pola yang berbentuk
huruf U adalah pola perkampungan yang terdapat di Nias bagian selatan.
Bagan 2.3 Pola Perkampungan Berbentuk Gang
0
100
200
300
400
500
600
Gunungsitoli Idano'i
Gunungsitoli Selatan
Gunungsitoli Barat
Gunungsitoli Gunungsitoli Alo'oa
Gunungsitoli Utara
72
Bagan 2.4 Pola Perkampungan Berbentuk huruf U
Kampung di daerah Nias tidak sama pengertiannya dengan kampung atau
desa yang kita kenal sekarang ini. Banua ( kampung) mempunyai pengertian yaitu
sebagai berikut.
a. Banua artinya Langit, ini dihubungkan dengan daerah asal datangnya nenek
moyang atau leluhur, yang berarti religius.
b. Susunan masyarakat yang terdiri seorang pimpinan yang disebut “ Salawa”
(yang tinggi) dan ono mbanua artinya warga. Salawa didampingi oleh
pembantu-pembantunya yaitu tambalina (orang kedua), fahandrona (orang
ketiga), Sidaõfa (orang yang ke empat) dan seterusnya sampai paling tidak ke
delapan atau sampai ke dua belas orang (menurut kebutuhan Salawa). Pesta
tersebut dinamakan pesta adat (owasa). Pembantu-pembantunya itu
merupakan satu kelompok yang disebut ono zalawa artinya anak salawa. Jadi
dalam satu banua saja terdapat beberapa orang Salawa. Pembantu Salawa
bisa saja menjadi Salawa juga, apabila dua membuka satu banua atau telah
mengadakan pesta-pesta adat dan telah mendapat gelar. Gelar Salawa-salawa
itu ia Balugu. Hubungan pengertian banua pertama dan yang kedua ialah:
73
banua yang merupakan refleksi dari kerjaan Tetehõli Ana’a dan pengertian
banua yang kedua adalah refleksi dari keadaan nenek moyangnya di
TeteholiAna’a sebelum diturunkan ke Bumi. Jadi ada Salawa dan ada
Onombanua. Salawa-salawa adalah orang-orang yang dihormati dalam banua
karena mereka adalah penguasa dalam banua. Dalam segala pranata sosial,
para salawa-salawa mendapat bagian-bagian yang tertentu dan diutamakan.
Pembantu-pembantunya adalah orang kedua yang dihormati dalam banua.
c. Desa atau kampung seperti yang kita kenal sekarang, dalam hal ini banua
dikepalai oleh salawa juga, tetapi salawa dalam pengertian kepala kampung.
Jadi salawa sebagai kepala kampung adalah orang yang bertanggung jawab
demi kelancaran roda pemerintahan, yang dipilih oleh warga desa. Dengan
demikian bisa saya saja seseorang merangkap sebagai salawa yang menjadi
pemimpin banua dan sebagai kepala Desa. Untuk membedakan salawa
sebagai pemimpin banua dan salawa sebagai Kepala Desa maka yang
pertama disebut Salawa Hada dan yang kedua disebut SalawaWamareta.
2.5 Asal Usul Masyarakat Nias
Pada dasarnya orang Nias yang tinggal di Kota Medan ini tidak terlepas dari
asalnya darimana dan tidak terlepas dari para leluhurnya yaitu asal usul ono Niha
(orang Nias). Ono Niha termasuk ke dalam rumpun melayu yang berasal dari ras
Mongoloid dari daratan Asia di wilayah Hassir, Provinsi Yunan (Hunan), yang
diperkirakan meninggalkan negerinya sekitar 3000 tahun yang lalu. Bermukim
disuatu tempat yang disebut dengan nalawö sia’a mbanua yang kemudian
74
membangun pemukiman baru di sekitar Gomo, hingga disebut oleh orang Nias
sebagai tempat pertama manusia diturunkan yaitu mbanua niha (Bas
Telaumbanua dalam Joni K. Manalu, 2000:17). Menurut S. Zebua (1984) suku
Nias berasal dari wilayah Timur Tengah yang kemudian berpindah ke arah timur
melalui Semenanjung India dan Birma terus ke pulau Nias.
Menurut Bas Telaumbanua (2000:18) kedatangan orang Nias terjadi dua
tahap, yaitu pada abad ketiga Masehi dan awal abad keempat Masehi. Dimulai
dengan perjalanan Rahib Fa Hien dengan rombongannya yang berawal dari
Mongolia menuju India untuk menuntut ilmu agama. Setelah itu meneruskan
pelayaran menuju Jawa Dwipa (diperkirakan bisa saja Sumatera, Jawa, atau
pulau-pulau lain di Asia Tenggara).
Saat mereka kembali ke negeri asalnya, perahu yang mereka tumpangi
diterpa ombak kemudian hancur dan karama. Akan tetapi sebagian penumpangnya
selamat mencapai daratan, menelusuri sungai yang diduga adalah sungai nalawö
yang bermuara di pantai Nias sebelah timur.
Menurut masyarakat Nias, yang dipercayai melalui foklor yang diwariskan
secara turun-temurun melalui tradisi hoho, leluhur orang Nias berasal dari langit.
Awalnya diturunkan tiga orang masing-masing bernama Daeli, Hulu, dan Gösö.
Ketiga orang tersebut turun dalam disebuah tempat yang bernama Gomo dan dari
ketiga orang inilah terlahir orang Nias (ono Niha).
Menurut cerita tradisional, leluhur orang Nias berasal dari langit dan
merupakan keturunan Dewa yang disebut dengan Lowalangi yang berarti diatas
langit. Menurut mite tersebut asal-usul orang Nias adalah dari tempat yang disebut
75
Sirao, di lapis langit ke tujuh. Ditempat tersebut tingggallah seorang pria yang
memiliki sembilan orang anak dan seorang kemenakan yang bernama
Luomewöna. Ketika itu timbul niat dalam diri raja untuk mewariskan kerajaan
kepada salah seorang anak ataupun keponakannya. Raja meminta untuk
menunjukkan kebolehan masing-masing menari di atas tombak. Ternyata ilmu
kesaktian yang dimiliki keponakannya lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu
kesaktian yang dimiliki oleh Sembilan orang anaknya. Takhta diserahkan kepada
Luomewöna dan Sembilan anaknya diturunkan ke bumi.
Nias yang dikenal sekarang ini sebenarnya bukanlah merupakan bahasa asli
ono Niha (orang Nias). Dalam bahasa Nias, orang Nias menyebutnya ono Niha
(anak manusia) dan tempat mereka berada sebagai Tanö Niha (tanah manusia).
Istilah Nias kemungkinan merupakan istilah yang ditimbulkan semasa penguasa
bangsa Barat, yang karena faktor bahasa menyebutkan istilah niha dengan nihas
(Nias). Perubahan nama ini juga terjadi dalam menyebutkan nama-nama berbagai
tempat di Nias, seperti Kota Gunung Sitoli yang dalam bahasa dahulu kala disebut
Luaha. Nama Gunung Sitoli kemungkinan berasal dari kata Onozitoli yang
merupakan nama suatu daerah di dekat Gunung Sitoli sekarang ini. Suku Nias
menganut sistem patrilineal dalam garis keturunannya. Dalam perkembangannya
mereka membentuk marga (fam) yang sampai sekarang masih tetap dipakai yang
diwarisi oleh oleh laki-laki.
76
2.6 Sistem Religi dan Agama
Zaman dahulu sebelum agama Kristen dan Islam masuk di tanah Nias,
masyarakat Nias menganut kepercayaan yang disebut sanömba adu. Yang secara
harafiah dapat diterjemahkan sanömba berarti menyembah, adu berarti patung
ukiran yang terbuat dari kayu atau batu. Jadi, sanömba adu berarti kepercayaan
kepada patung-patung buatan manusia baik berupa kayu maupun batu-batu besar
(owe). Adu ditempatkan di osali börönadu yaitu bangunan sebagai tempat ibadah
religi sanömba adu.
Dewa Si’ai ialah dewa yang paling tinggi yang diyakini oleh para leluhur
orang Nias dan semua alam semesta ini di kuasai oleh dewa itu. Pada waktu
tertentu orang Nias memberikan sesajian sebagai tanda penghormatan kepada
dewa yang orang Nias yakini itu. Untuk menghormati dewa itu mereka
berkumpul dan mengadakan sambua alahoita atau berkumpul di bawah kayu
besar (pohon fosi atau eho). Di bawah pohon itu mereka melakukan upacara
dengan cara mengelilingi pohon besar itu kemudian menyampaikan apa yang
mereka inginkan. Selain dewa Si’ai orang Nias juga mempercayai adanya dewa-
dewa lain diantaranya, Luo Walangi sebagai dewa pencipta alam semesta, Lature
Sobawi Sihönö sebagai dewa pemilik dan penguasa babi, Uwu Gere sebagai dewa
pelindung, dan penguasa para ere (pemimpin religi sanömba adu), Uwu Wakhe
sebagai dewa penguasa tanam-tanaman, Gözö Tuha Zangaröfa sebagai dewa
penguasa air.
Masyarakat Nias sejak menghuni pulau Nias (Tanö Niha) memiliki
kepercayaan bahwa arwah-arwah para leluhur orang Nias memiliki kekuatan yang
77
dapat melindung serta menolong mereka, sehingga mereka menyediakan tempat
atau medium untuk para leluhur itu dengan membuat patung-patung dari batu.
Masyarakat Nias juga percaya akan tempat-tempat tertentu adalah tempat yang
keramat, dimana terdapat roh-roh yang bisa berbuat sesuatu terhadap kehidupan
mereka. Sebagai ungkapan rasa hormat mereka terhadap hal tersebut, mereka
melakukan sembahyang pada waktu-waktu tertentu dengan memberikan
persembahan-persembahan atau sesajian. Demikianlah kepercayaan masyarakat
Nias sebelum agama Kristen masuk di tanah Nias mulai abad ke-19.
Masuknya agama Kristen di Nias yang dibawakan oleh Denninger pada
tahun 1865, tepatnya di Kota Gunung Sitoli dimana sebelumnya ia telah belajar
banyak tentang Nias juga termasuk bahasa Nias dengan masyarakat Nias perantau
di Padang sehingga ketika dia sampai di Nias, ia tidak asing lagi dan semua telah
mengetahui tentang Nias termasuk bahasanya. Dari merekalah Denninger
mempelajari kebiasaan-kebiasan, adat-istiadat, dan kebudayaan Nias hingga
Denninger tertarik untuk datang ke Nias, mengajarkan agama Kristen ternyata
berhasil dan kemudian dilanjutkan oleh Thomas yang datang tahun 1873. Masa
penting dalam pengembangan agama Kristen adalah antara tahun 1815-1930,
antara tahun ini disebut sebagai masa pertobatan total (fangesa dödö sebua). Pada
masa inilah mulai terjadi perubahan sikap, patung-patung mulai dibakar dan
dihancurkan, poligami, sangsi-sangsi hukum adat dengan hukuman badan,
penyembahan patung, penyembahan penyakit melalui fo’ere (dukun) dan
sejenisnya sudah makin berkurang. Hingga kini sebagian besar orang Nias
memeluk agama Kristen, (S. Zebua, 1984:62). Setelah penyebaran injili oleh
78
misionaris ke Tanö Niha, umat Kristen tumbuh dan berkembang. Khususnya di
Kota Medan, masyarakat Nias diperkirakan berjumlah 25.000 jiwa dihimpun
berdasarkan data yang diperoleh dari berbagai gereja-gereja yang ada di Kota
Medan.
Selain agama Kristen, orang Nias juga memeluk agama Islam, mereka
mengikuti ajaran-ajaran Islam dan mereka tidak meneruskan tradisi sanömba adu,
fo’ere, mengadakan sesajian untuk roh-roh leluhur. Masyarakat muslim Nias,
umumnya berintegrasi dengan pemukiman-pemukiman enkapulsari umat Islam,
namun demikian mereka tetap memelihara hubungan budaya dengan masyarakat
Nias pada umumnya. Masyarakat muslim Nias ini juga giat melakukan kegiatan
ibadah Islam seperti Shalat, zakat, puasa, wirid yasin, memeperingati isra mi’raj
Nabi Muhammad.
2.7 Sistem Kekerabatan
2.7.1 Garis keturunan
Di dalam mengurai sistem kekerabatan pada etnis Nias, terlebih dahulu
diuraikan data-data menurut ancertor oriented atau lineal. Etnis ini mengikuti
garis keturunan patrinial yaitu mengikuti hitungan hubungan kekerabatan melalui
laki-laki. Anak laki-laki maupun perempuan mengikut garis keturunan ayah.
Apabila anak laki-laki ini kawin, mereka harus atau biasanya tinggal di rumah
orang tuanya dalam waktu satu, dua, tiga tahun sampai lahir anak pertama, malah
ada yang sampai tua, sama dengan orang tuanya. Tetapi anak anak perempuan
yang sudah kawin harus keluar dari rumah itu untuk mengikuti suaminya. Yang
79
belum kawin tetap tinggal disamping orang tua atau saudaranya laki-laki. Orang-
orang yang berasal dari satu garis keturunan itu disebut “ Sisambua Mado” ( Satu
Mado). Mereka diikat oleh hubungan darah yang dihitung melalui laki-laki.
Pergaulan yang lebih sering dan erat adalah disekitar kaum kerabat ayah,
sehingga kaum kerabat dari ibu sudah dianggap diluar batas pergaulannya.
Keharusan anak laki-laki yang sudah kawin, tinggal di rumah orang tuanya
disebabkan:
a. Orang tua belum berani melepaskan anaknya itu untuk berdiri sendiri
karena dianggap belum sanggup,
b. Supaya si anak belajar bagaimana berperan didalam masyarakat dengan
jalan tetap ikut bersama orang tuanya dalam segala pranata-pranata
sosial, baik di dalam keluarga maupun di lingkungan banua, dan
c. Supaya bersama-sama membayar utang jujuran yang belum lunas
semuanya.
Apabila ketiga faktor di atas sudah dapat diatasi maka si anak tadi sudah
boleh memisahkan diri. Tetapi pada umumnya tidak jauh dari lingkungan tempat
tinggal orang tuanya. Tentu mereka ini makin lama makin berkembang di lokasi
itu sehingga menjadi satu kelompok atau menjadi satu banua. Dengan demikian
mereka itu apat kita sebutkan klen kecil patkrilineal.
Kalau tempat itu dirasak an sudah padat mereka mencari lokasi lain yang
belum berpenghuni dan menetap disitu menjadi satu banua. Setiap nenek moyang
dan keluarga keturunannya memiliki satu atia nadu (susunan adu satua). Sampai
generasinya yang kesembilan perkawinan di antara keturunannya dilarang.
80
Apabila sesudah generasi tersebut terjadi pekawinan di antara keturunannya, tidak
menjadi masalah lagi. Hanya saja persyaratan harus dipenuhi yaitu memisahkan
atia nadu keturunan tersebut dari kumpulan atia nadu nenek moyang dan
membayar pemisahan itu dengan memotong babi sebesar 4 alisi. Babi itu
diberikan oleh pihak laki-laki. Jadi dengan terjadinya perkawinan ini berarti kawin
dalam lingkungan mado yang sama. Itulah sebabnya di daerah Nias kita jumpa
suami/istri yang mado nya sama.
2.7.2 Kelompok kekerabatan
Akibat terjadi pekawinan tersebut kelompok kekerabatan yang disebut
ngambatõ” (suami dan istri). Dari hasil perkawinan ini akan lahir anak-anak,
maka menjadi lengkaplah ngambatõ ini menjadi suatu kelompok kekerabatan
yang terkecil yang biasa disebut keluarga batih.
Dengan terbentuknya ngambatõ ini, keluarga-keluarga dari pihak suami dan
istri menjadi berfungsi, terutama dalam upacara-upacara adat dalam lingkungan
lingkaran hidup mereka, yang biasa disebut dalam ilmu antropologi, upacara
peralihan (crisisrite).
Fungsi kelompok keluarga dari kedua belah pihak ini, paling menonjol
dalam upacara peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga.
Jadi apabila anak ngambatõ tadi terutama anak perempuan kawin maka yang
banyak memegang peranan ialah keluarga dari pihak suami. Mulai dari awal
upacara sampai berakhir.
81
Merekalah yang menjadi penghubung anatara pihak laki-laki dan orang tua
perempuan serta yang menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan
upacara tersebut. Mereka ini merupakan kelompok kekerabatan yang disebut
menurut dekatnya dengan ngambatö tadi. Kelompok keluarga yang paling dekat
yaitu yang sekandung dan sepupu dihitung dari garis keturunan pihak laki-laki,
disebut iwa.
Saudara sepupu tingkat kedua disebut huwa dan saudara-saudara tingkat
seterusnya disebut banua. Dari kelompok-kekerabatan banua yang menerima hak
dalam upacara-upacara adat itu ialah Salawa dan pembantu-pembantunya. Selain
dari kelompok kekerabatan di atas, masih ada satu kelompok kekerabatan dari
pihak suami yaitu kelompok-kelompok saudara-saudaranya perempuan, pihak
suami yaitu kelompok-kelompok saudara-saudaranya perempuan, yang sudah
kawin beserta keluarga mereka masing-masing, yang disebut fadono atau ono
alawe, termasuk keluarga yang mengawini anaknya yang perempuan.
Fungsi dari fadono berbeda dengan iwa, huwa dan banua. Kelompok
kekerabatan ini merupakan pekerja dalam upacara yang dilaksanakan oleh
ngambatõ. Itulah sebabnya dalam pembagian urakha (Jambar/makanan yang
diberikan dalam hal ini daging babi) yang menjadi bagian mereka adalah
tangan/kedua kaki disebelah muka, sebagai lambang kecekatan.
Keluarga dari pihak isteri merupakan suatu kelompok kekerabatan yang
disebut “uwu” (sumber). Jadi dari merekalah sumber hidup anak anak ngambato
itu. Itu yang menyebabkan uwu merupakan kelompok kekerabatan yang paling
82
tinggi kedudukannya dari semua kelompok kekerabatan tadi dan selalu mendapat
penghormatan yang tertinggi dari ngambatõ tersebut.
Selain dari pada itu, keluarga yang memberi isteri bagi anak laki-laki
ngambato tadi merupakan satu kelompok kekerabatan pula yang disebut sitenga
bõ’õ. Kelompok ini diundang hanya apabila ngambatõ tersebut mengawinkan
anak, membuat pesta kematian atau pesta adat besar lainnya
2.7.3 Sistem istilah kekerabatan
Istilah kekerabatan yang diuraikan di bawah ini ialah istilah menyebut
(terms of addres) dan istilah menyapa (terms of reference). Untuk mengetahui
kedua istilah tersebut mari kita lihat skema di bawah ini. Tetapi sebelumnya untuk
memudahkan penguraiannya, disini diturunkan tanda-tanda yang dipergunakan:
= Untuk Anak Laki-laki
= Untuk Anak perempuan
= Untuk Keturunan
= Untuk Saudara Kandung
= Untuk kawin
Gambar 2.2. Lambang istilah kekerabatan
A = Terms of address
R = Terms of Reference
83
Bagan 2.5
Sistem Istilah Kekerabatan Nias
Keterangan :
01
A A B = Fo’omo ( donga)
02
B A A = Fo’omo, donga
03
A A E F = La’o atau uwu ndraono ( Paman anak- anak)
04
A A C D = Talifuso
05
A A M = Fo’omo dalifuso atau fo’omo ga’a ma fo’omo nakhi
06
B A C = Lakha
07
B A D Ono alawe
08
B A M Kala’edo
0 A A G Ina matua
84
9 1
0 A A H Ama matua
11
I J A B Umono
12
G A A A Umono
13
B A J Ina matua, ina sowoli
14
B A I Ama matua, ama sowoli
15
A B A E F Sibaya
16
A B A C D Talifuso ama
17
A B A M Fo’omo dalifuso namagu
18
A B A J Awegu kho namagu, ina namagu
19
A B A I Tuagu kho namagu, ama namagu
20
E F A A1 B1 Ono mbene’o
21
C A A1 B1 Tana nono
22
I J G H A A1 B1
Ma’uwu
23
A1 B1 A L Talifuso nina
24
L A A1 B1 Tana nono
25
G H A I J Mbambato ( sebaliknya)
26
A B A A1 B2
Ono ( anak)
27
A1 B1 A A B
Satua
28
A A K Fo’omo la’o
29
A A L Akhi wo’omogu
30
A A N Gabalõ
Terms of Reference : 1 A R B = gelar waktu kawin atau ina . . . (nama
85
anaknya) 2 B R A = ga’a atau ama . . . ( nama anaknya) 3 B R C M = ga’a atau akhi atau ama, ina . .(mama
anak akalau mereka adik 4 B R D =ga’a atau akhi atau namanya di panggil,
kalau dia adik dan belum kawin. 5 A R E = ga’a atau akhi atau namanya (kalau dia
adik). 6 A R F = ga’a atau akhi atau ama . . (nama anak
kalau dia adik) 7 A R L = ga’a atau akhi atau dipanggil namanya
kalau dia adik dan belum kawin. 8 A R G H = Ina dan ama 9 B R J I = Ina dan ama 1
0 A1 B1 R A = ama
11
A1 B1 R B = Ina
12
A1 B1 R E F = sibaya
13
A1 B1 R L = lawe
14
A1 B1 R C = Za’a (kalau lebih tua dari bapak), dalu, zakhi (kalau lebih muda dari bapak)
15
A1 B1 R M = Za’a, dalu atau zakhi
16
A1 B1 R D = Za’a
17
A1 B1 R I1 H = dua (tua)
18
I J R A1 B1 = Ma’uwu atau namanya kalau mereka belum kawin.
19
G H R A1 B1 = Ma’uwugu atau namanya kalau ia belum kawin
1 AI B1 R O P = Ga’a atau akhi
2.7.4 Sopan santun kekerabatan
Semua aggota keluarga dan kerabat boleh saling menyapa, hanya saja cara
menyapa dibedakan kepada yang lebih tua harus lebih hormat daripada yang lebih
muda. Kepada yang lebih tua harus lebih hormat daripada yang lebih muda
umurnya dari yang menyapa. Antara mertua dengan menantunya perempuan dan
86
antara mertua dengan menantunya laki-laki mempunyai hubungan yang eratnya
sama dengan menantunya. Laki-laki mempunyai hubungan yang eratnya sama
dengan hubungan anak dengan orang tua. Sehingga di antara menantu dan mertua
tidak ada kesungkanan. Demikian juga di antara yang beripar yaitu suami dengan
isteri saudara laki-laki isterinya atau isteri dengan suami saudara perempuan
suaminya dianggap seperti saudara kandung. Tak ada garis pemisah antara
mereka, boleh bebas berbicara, hanya saja yang muda harus menghormati yang
lebih tua. Kelakar di antara kedua diatas, boleh tetapi harus dalam batas-batas
kesopanan. Yang tidak bebas berkelakar ialah antara suami dengan saudara
perempuan-perempuannya isterinya.
Kelompok keluarga pihak isteri lebih-lebih orang tua atau saudara laki-laki
isteri mendapat penghormatan yang lebih tinggi dari kelompok keluarga lainnya.
Kalau mereka ini baru pertama kali datang/berkunjung ke rumah saudara
perempuannya, mereka harus dijamui dengan memotong seekor anak babi
minimal 1 (satu) alisi. Tak ada alasan tidak ada persediaan, harus dicari biarpun
berutang. Dan disamping yang dimakan ini, harus ada yang diberikan satu ekor
yang babi hidup sebagai oleh-oleh/bawaannya. Kalau tidak ada oleh-
oleh/bawaanya ini, dia akan merasa malu terhadap tetangga dan orang
sekampungnya, apalagi kalau mereka telah mengetahui kepergian itu. Itu
sebabnya pihak keluarga isteri jarang datang ke rumah anaknya perempuan, kalau
dilihatnya anak itu masih diperkirakan belum baik jalan hidup mereka/masih
sengsara hidup.
87
Perlu juga diketahui bahwa babi yang disuguhkan sebagai lauk kawan nasi
waktu makannya memotongnya tidak sembarangan, karena yang disuguhkan dari
babi itu ialah rahangnya, beserta daging yang senyawa dengan rahang itu, jeroan
(alakhao) dan beberapa potong daging pahanya, rusuknya. Inilah makanan
penghormatan yang paling tertinggi, karena simbi (rahang) itu adalah lambang
sangkutan (tempat bergantung). Cara memasak daging babi itu menurut adat
hanya direbus saja bersama garam sedikit.
Sebaliknya kalau fadono atau ono alawe yang datang dan baru pertama kali
atau lama tak datang atau dia datang karena daianya sudah panen, dengan
membawa olõwõta/molõwõ (membawa bingkisan makanan) anak babi yang sudah
direbus dan nasi serta membawa afo (sirih) selengkapnya. Dia juga dijamu dengan
memotong seekor anak babi, tetapi yang ditonjolkan untuk disuguhkan adalah
terutama kaki babi depan (tangan babi) bersama simbinya. Tangan melambangkan
kecekatan, jadi yang disuruh-suruh. Kalau mereka juga pulang harus diserahkan
manu (ayam), dan satu ekor anak babi hidup bersama dengan oleh-oleh atau
bingkisan makanan juga.
Dalam setiap perjumpaan di antara anggota kerabat dan orang-orang lain
atau tamu, penghormatan pertama ialah memberi salam, disusul dengan
penyungguhan afo, disusul lagi dengan yang lainnya. Apakah itu minuman atau
makanan.
88
2.8 Gender
2.8.1 Pengertian gender
Berbicara mengenai gender maka kita akan membahas tentang laki-laki dan
perempuan. Apa itu gender? Mengapa gender dibicarakan? Dan apa maksudnya
ketidakadilan gender? Bila mendengar kata gender di daerah Nias, khususnya di
desa-desa yang agak jauh dari kota, mungkin agak asing didengar. Tetapi bagi
kalangan masyarakat yang sudah memiliki pengetahuan luas, hal ini sudah biasa.
Yang dimaksud dengan gender ialah perbedaan antara laki-laki dan perempuan
dalam peran, fungsi, hak, tanggung jawab dan perilaku yang dibentuk oleh tata
nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat
berubah menurut waktu serta kondisi setempat. Maka kesetaraan dan keadilan
adalah proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan.
Rupanya, tanpa disadari di daerah dan di lingkungan kita saat ini, telah
terjadi ketidaksetaraan dan ketidak-adilan gender. Mengapa? Bila kita bertolak
dari pengertian gender di atas maka dari segi tata nilai sosial budaya dan adat
istiadat di Nias, sudah jelas bahwa semua peran, fungsi, hak dan tanggung jawab
telah didominasi oleh laki-laki.
Bila kita menoleh sejenak ke belakang di bawah tahun delapan puluhan,
perempuan di Nias pada umumnya hanya diberi peran sebagai pengurus rumah
tangga, pengasuh anak, memasak untuk keluarga, bertindak atas keputusan suami
dan berpendidikan sangat rendah. Pada zaman ini perempuan hanya mau
mengikuti saja apa yang telah diputuskan oleh ayah/suami. Kesempatan untuk
mengungkapkan pendapat tidak diberikan sama sekali. Namun demikian, oleh
89
karena kemajuan pendididikan dan pengalaman, ada juga keluarga yang tidak
hanya didominasi oleh laki-laki atau suami/ayah, tapi jumlahnya masih sedikit.
2.8.2 Pembicaraan gender
Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama ciptaan Allah, perempuan
adalah mitra laki-laki. Tetapi kenyataan di lapangan, laki-laki yang lebih banyak
berperan dan mendapat kesempatan pada setiap aspek kegiatan baik politik,
hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan lain-lain. Terlebih-lebih di daeah
nias yang masih terkait adat dan budaya serta menjunjung tinggi ideologi
Patriarkat yang memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada kaum lelaki.
Bukanlah hal semacan ini merupakan diskriminasi terhadap perempuan? Tidak
ada kesetaraan dan keadilan dalam peran dan hak-haknya.
Beberapa contoh kasus yang dihadapi oleh perempuan di Nias terutama di
desa-desa antara lain:
1. Berpendidikan rendah. Anak perempuan jarang bersekolah tinggi misalnya
melanjutkan sekolah di SMP/SMU apalagi ke perguruan Tinggi. Mereka
hanya tamat Sekolah Dasar, setelah itu tinggal di rumah membantu orang tua
membanting tulang mencari nafkah dan biaya pendidikan untuk saudara laki-
laki. Salah satu penunjang biaya pendidikan anak laki-laki biasanya dalam
keluarga menurut kebiasaan mereka adalah memelihara babi. Dalam hal ini
yang ditugaskan untk itu adalah anak perempuan. Mereka harus mengurus
dan memelihara sampai besar dan setelah besar, lalu dijual. Hasilnya akan
diserahkan untuk biaya sekolah anak laki-laki. Hal ini paling menyakitkan,
karena perempuan tidak menikmati hasil jerih payahnya. Akibat dari
90
pendidikan yang rendah ini, perempuan semakin terpinggirkan dan tingal
dalam kebodohan atau jodohnya sendiri.
2. Tidak boleh menentukan pasangan hidup atau jodoh sendiri. Peranan
orangtua dalam menentukan jodoh anaknya sangatlah besar, terutama kepada
anak perempuan. Ada juga orangtua yang tidak mau kalau anaknya
perempuan belum kawin sebelum berumur 20 tahun. Mengapa? Mereka
memandang bahwa perempuan yang sudah melewati umur tersebut sudah
menyandang sebutan perawan tua. Umur yang menurut mereka baik untuk
berkeluarga adalah mulai dari 14 ke sampai tahun. Banyak perempuan yang
sudah kawin sejak umur 14 tahun, bahkan ada juga yang berumur
dibawahnya. Dalam hal ini kesehatan, ini sangat mempengaruhi angka
kematian ibu, sebab umur tersebut masih terlalu muda untuk
memproduksi/melahirkan. Akibat dari perkawinan ini, maka lahirlah keluarga
baru yang tidak didasari cinta atau suka sama suka. Dan tidak sediktinya
banyak suami yang pergi merantau meninggalkan istri bahkan ada juga yang
tidak mau pulang. Hal ini terjadi akibat kurang matangnya pemikiran dan rasa
bertanggung jawab dalam berumah tangga.
3. Kawin paksa juga sudah menjadi tradisi. Banyak alasan mengapa terjadi
kawin paksa. Umpamanya, orangtua perempuan memaksa anaknya untuk
kawin supaya ia mendapat penghormatan dari orang lain, segera mendapat
cucu, merasa berutang budi kepada pihak laki-laki, meringankan beban
keluarga, calon menantu kebetulan orang kaya sehingga derajatnya di tengah
masyarakat akan meningkat, dan masih banyak alasan lainnya.
91
4. Tidak berhak mengemukakan pendapat. Sesuai dengan kebiasaan di Nias,
perempuan tidak boleh angkat bicara, sekalipun keputusan itu merugikan
dirinya sendiri. Dalam hal suami-istri, seandainya suami tidak ada di rumah
sementara ada satu hal penting yang harus diputuskan saai itu juga, maka istri
tidak boleh mengambil keputusan sendiri, melainkan harus menunggu suami
pulang atau bila ada ayah mertuanya, maka itulah yang bisa membantu
memberi keputusan. Dalam musyawarah adat, perempuan tidak dilibatkan.
Mereka hanya menunggu apa yang tidak membawa rejeki.
5. Anak perempuan tidak membawa rejeki. Bila seorang ibu melahirkan anak
pertama yaitu perempuan, maka keluarga tersebut akan sangat kecewa, sebab
yang paling diharapkan lahir adalah anak laki-laki yang dianggap sebagai
pembawa rejeki dan generasi penerus. Perempuan dianggap kurang penting,
inferior, dan tidak berkompeten memegang satu jabatan.
6. Peminggiran terhadap janda dan perawan tua. Bagi perempuan yang sudah
menyandang status janda dan perawan tua sudah barang tentu mereka kurang
diperhitungkan dan difungsikan dengan alasan kurang mampu apalagi bila
kondisi sosial ekonomi yang tidak memadai. Begitu juga dengan perawan tua,
dalam setiap pesta aat misalnya pesta perkawinan, maka pada saat pembagian
jatah makanan “urakha”, nama mereka tidak pernah disebutkan.
7. Pemuas kaum lelaki. Suami menjadi pencari nafka utama, karena itu, suami
merasa berkuasa terhadap isti. Istri diberi tugas melayani suami, mengasuh
anak, memasak, berusaha supaya selalu terjadi keharmonisan dalam keluarga,
tetapi suami tidak pernah memperdulikan kalau istri memberi nasehat supaya
92
jangan sering pulang malam dalam kondisi mabuk, jangan sering nongkrong
di warung tuak, dll. Bila istri bertahan, maka suami sering kali melakukan
tindakan kekerasan terhadap istri.
8. Tidak diberi kesempatan untuk mengikuti kegiatan ekstra di luar rumah.
9. Mengalami kekerasan. Perempuan sering menjadi korban pelecehan seksual.
Bila seorang perempuan hamil di luar nikah, maka orangtuanya akan
mengkawinkannya dengan lelaki yang lain, bukan kepada lekaki yang sudah
menodainya. Pada persoalan ini kepada laki-laki yang telah berbuat jahat
terhadap si perempuan, seakan-akan diberi dispensasi untuk tidak
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Masih banyak contoh lain.
Berdasarkan kenyaatan di atas, maka telah terjadi ketidak-adilan gender.
Telah terjadi ketidak-setaraan laki-laki dan perempuan. Secara garis besar,
ada 5 (lima) bentuk ketidakadilan gender:
1. Marginalisasi,yaitu : Pemiskinan atau peminggiran peran perempuan dalam
bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Hal ini bisa disebabkan oleh :
a. Miskin karena di miskinkan
b. Timbul karena ideologi patriarkat, yang selalu memberi kedudukan yang
telah tinggi kepada laki-laki.
c. Menyudutkan perempuan ke posisi yang menyudutkan
d. Mempersempit peluang atau kesempatan kepada perempuan
2. Subordinasi, yaitu adanya anggapan bahwa perempuan itu tidak penting,
tidak perlu memegang jabatan yang terlalu tinggi.
93
3. Stereotipe (citra baku), artinya ciri perempuan yang sudah
dikonstruksi/dibentuk oleh manusia, dan timbul pandangan untuk
membakukannya. Contohnya, merawat anak, memasak, dan menjaga
keutuhan keluarga.
4. Beban ganda, maksudnya: perempuan mempunyai beban pekerjaan di luar
rumah dan sekaligus beban tanggung jawab diri sendiri, keluarga dan
masyarakat.
5. Kekerasan, maksudnya: perempuan adalah korban tindak kekerasan yang
berupa fisik misalnya : pemerkosaan, pelecehan seksual, penyiksaan terhadap
istri.
Kelima bentuk ketidakadilan di atas hampir sudah merasuki kehidupan kita
akan perempuan. Maka patutlah kita sebagai perempuan mulai dari sekarang
menyadari bahwa,
a. Kaum laki-laki hendaknya menghormati dan menghargai peran perempuan
yang pada zaman ini sama pentingnya dengan laki-laki.
b. Kaum perempuan harus terus berjuang memikirkan dan berusaha
menggunakan peluang dan kesempatan untuk terpanggil dalam dunia publik
c. Kaum perempuan harus mendukung semua gerakan dan program yang
memberi kesempatan kepada perempuan untuk mendapat tempat/kedudukan
yang wajar.
d. Kaum perempuan perlu mengorganisasikan diri. Untuk organisasi perempuan
yang sudah ada diharapkan untuk meningkatkan mutunya supaya dapat
94
menjadi tempat untuk melatih diri kaum perempuan secara profesional, yang
tidak memandang golongan, jenis kelamin, suku dan agama.
Ketidakadilan gender ini seharunsya secara perlahan –lahan dihapuskan.
Bagaimana caranya? Hal ini tidak mungkin instan, butuh waktu, perjuangan dan
proses.
2.8.3 Perwujudan kesetaraan dan keadilan gender
Hendaklah hal ini dimulai dari skop kecil yaitu dalam keluarga kita seniri.
Mulai dari hal kecil bagaimana menempatkan hak anak baik laki-laki maupun
perempuan, memberi pemahaman yang sama kepada seluruh anggota keluarga
akan peran dan tugas secara adil dari setiap aspek kehidupan keluarga.
Menanamkan perasaan kesamaan hak dan kewajiban, kesempatan dan kedudukan
dalam diri anak. Menciptakan suasana kelurga yang saling menghargai sikap dan
perilaku serta saling mengerti akan tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Seluruh anggota keluarga harus ikut berperan dalam setiap proses pengambilan
keputusan.
2.9 Organisasi Sosial
Organisasi sosial sangat penting dalam kehidupan sehari-sehari, kekerabatan
dan kerja sama sangat menonjol meskipun terpolarisasi dalam paham keagamaan
yang saling berbeda. Orang Nias memakai satu bahasa tunggal, akan tetapi
dialeknya agak berbeda di setiap wilayah namun yang cukup khas dari bahasa
Nias adalah huruf vokal yang mayoritas dalam setiap kata atau kalimat, dan selalu
95
ditandai dengan akhiran huruf vokal. Ini juga secara tak langsung mempengaruhi
adaptasi sosial antara sesama orang Nias dengan daerah budaya yang berbeda.
Meskipun orang Nias telah berpindah di berbagai tempat akan tetapi secara
individual atau kelompok berusaha untuk tetap mempertahankan warisan budaya
para leluhurnya namun kebudayaan tersebut tidak seutuhnya dipertahankan, akan
tetapi terjadi perubahan, perkembangan sesuai dengan situaai lingkungan dimana
kebudayaan itu dilaksanakan atau tempat dimana ia tinggal.
Kebudayaan Nias dapat dilihat melalui organisasi-organisasi atau
perkumpulan-perkumpulan masyarakat Nias yang ada di Kota Medan. Ada yang
membentuk perkumpulan berdasarkan wilayah dimana asal mereka di pulau Nias
seperti Persatuan Masyarakat Gomo (Permasgom), Lahewa, Sirombu, Gidö, Pulau
Batu, Teluk Dalam. Ada juga berdasarkan marga (mado) seperti Persatuan Marga
Harefa, Persatuan Marga Mendröfa, Persatuan Marga Lase, Persatuan Marga
Telaumbanua, Persatuan Marga Zalukhu, Persatuan Marga Larosa, Persatuan
Marga Nazara. Selain itu juga masyarakat Nias juga membentuk perkumpulan
berdasarkan dimana mereka tinggal di Kota Medan berupa Serikat Tolong
Menolong (STM), seperti STM Fa’omasi ( Mado Zebua, Fala’osa, Ono Alawe
dan Ono mbene’õ nia) dan STM Sehati, STM Faomakhöda, STM Kasih Karunia,
STM Saradödö. Ada juga organisasi lain yang bersifat kepemudaan, gerejawi,
pendidikan dan pembanguan juga berdiri di Kota Medan, seperti Gerakan
Mahasiswa Nias (GMN), Forum Mahasiswa Nias Peduli Nias (Formanispe),
KMN, FORMAN, Komisi pemuda BNKP Hilisawatö.
96
2.10 Bosi atau Kasta
Masyarakat Adat laraga terdiri dari 4 Bosi/Kasta, yang dapat dijabarkan
sebagai berikut:
a. Bosi Zalawa atau Kasta Raja: ada yang derajat 12,10 dan 9,
b. Bosi Zatua Mbanua atau Kasta Pendamping Raja: derajat 8,
c. Bosi Nono Mbanua atau Kasta Warga Biasa: derajat 7,
d. Bosi Duha Gundru atau Kasta Budak: derajat 6.
Bosi seseorang ditentukan oleh famagõlõ atau musyawarah mbanua,
berdasarkan:
a. Keturunan dan asal-usulnya (nga’õtõ),
b. Jasanya dalam banua atauÕri (bua halõwaõnia),
c. Kedudukan atau jabatannya dalam banua atau Õri (fetaro/ halõwõ),
d. Owasa dan jenjang-jenjang Acara adat menaikan dan mengokohkan bosi.
Hanyalah golongan sotanõ yang punya tanah yang boleh menjadi salawa.
Golongan lain, seperti nifatanõ yang diberitanah, pantang jadi salawa. Betapapun
besar jasa dan hartanya, golongan itu ; paling tinggi bosi-nya sebagai Satua
mbanua/ pendamping Raja, derajat 8. Sawuyu atau budak yang terdiri dari:
Tawanan perang, hõlitõ, yang ditembus dari hukuman mati, dan fondrara,
pembayar hutang, mereka selamanya di bawah kuasa tuannya, selamanya adalah
derajat 6.
Sotanõ bosi nono mbanua dapat meningkatkan bosi-nya berdasarkan
keturunan, jasa, kedudukan yang dikokohkan dengan jenjang-jenjang Acara adat
atau owasa yang telah ia lakukan. Fa’atoru hakhi wino, lõmõi Famanõi Laga-
97
laga. Pengertiannya, kira-kira begini. Pengorbanan meningkatkan derajat atau
martabat seseorang. Berdasarkan bosi atau kasta seseorang atau orang tua
pengantin, nilai dan besarnya material bõwõ wangai niha ditetapkan. So tu’a-sua
sinado artinya sesuatu itu, ada dasar pertimbangan dan ketentuannya /atau
ukurannya.
Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan
kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö
yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian.
Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan
sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah
pedalaman pulau ini sampai sekarang. Suku Nias mengenal sistem kasta (12
tingkatan kasta), dan tingkatan kasta yang tertinggi adalah Balugu. Untuk
mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan
mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama
berhari-hari.
Pada masa awal religi sanömbaadu, masyarakat Nias mempercayai sistem
penggolongan derajat manusia yang disebut bosi. Sistem penggolongan derajat
manusia berdasarkan tingkat-tingkat kehidupan, dimulai dari janin sampai
kehidupan akhirat.pengertian bosi ini mencakup dua belas tingkat kehidupan.
Dalam konteks ini bosi ini nanti mengarahkan manusia untuk berusaha mencapai
tingkat tertinggi, agar setelah ia mati, akan memperoleh kebahagiaan di dalam
tetehöli ana’a (surga).
98
Adapun keduabelas tingkat derajat manusia atau bosi itu yaitu, (1)
fangaruwusi(memperlihatkan kandungan), (2) tumbu (lahir), (3) famatörö döi
(memberi nama), (4) famoto (sirkumsisi), (5) falöwa (menikah), (6) famedadao
omo (mendirikan rumah), (7) fa’aniha mbanua (memasuki persekutuan desa), (8)
famaõli (menjadi anggota adat), (9) fangaitöi (mengambil gelar ), (10) fa’amokhö
(kekayaan), (11) meme’e gö mbanua (menjamu orang sedesa) dan (12) mame’e gö
nöri (menjamu orang satu öri), beberapa desa (Dasa Manaö, 1998:195-196).
2.11 Kesenian
Dalam masyarakat Nias memilki beberapa kesenian daerah yang merupakan
ciri khas dari daerah Nias yaitu seni musik. Adapun alat-alat musik Nias sebagai
berikut.
a) Göndra alat musik membranofon yang dipukul dengan alat pemukul dari
rotan. Alat pemukul ini disebut famo göndra. Alat musik ini selalu digunakan
dalam pesta pernikahan dan juga dipakai sebagai alat musik mengiringi tarian
atau lagu.
b) Aramba (gong), alat musik jenis gong berpencu, teridiri dari dua gong yaitu
aramba dan faritia. Aramba lebih besar dari faritia, fungsi sosialnya adalah
untuk memberi berita yang terjadi di Medan perang, misalnya ada yang
meninggal.
c) Tamburu, gendang yang ukurannya lebih kecil dari göndra dan bagian
luarnya tidak diikat oleh rotan tetapi luarnya dipakukan saja. Tamburu
dipukul untuk menyambut atau mengiringi prosesi pengantin, lagu dan tarian.
99
d) Doli-doli adalah xilophon kayu laore berupa bilahan-bilahan yang diletakkan
di atas kaki pemainnya dan dipukul dengan pemukul terbuat dari kayu. Alat
musik ini kadang juga dikatakan gambang.
e) Suling adalah alat musik tiup terbuat dari bambu (lewuö mbanua).
f) Ndruri dana adalah alat musik jew’s harp, memiliki satu lidah yang disebut
lela.
Selain dari seni musik, masyarakat Nias juga memiliki tari-tarian yaitu,
a) Tari maena yaitu tari yang biasa dipertunjukkan dalam acara pesta
pernikahan, pesta owasa, dan juga dilakukan untuk menyambut tetamu
terhormat. Tari maena biasanya dilaksanakan dilapangan terbuka, sejumlah
orang bisa saja ikut karena gerakannya tidak sulit untuk diikuti. Variasi
gerakan yang umum dilakukan yaitu kaki membentuk segi tiga (tölu sagi)
dan gerakan kaki membentuk segi empat (öfa sagi).
b) Tari moyo adalah tarian yang menirukan gerakan burung elang yang sedang
terbang. Biasanya ditarikan oleh wanita. Tari ini difungsikan untuk acara
terpenting misalnya penobatan seseorang menjadi bangsawan.
c) Tari faluaya dan maluaya. Maluaya merupakan tari persatuan sebagai tanda
solidaritas sosial dalam rangka menaklukan musuh. Aksinya menggambarkan
sekelompok tentara yang sedang berperang. Properti tariannya adalah pedang
(balatu/ekhe), tombak (toho), dan tameng (baluse).
d) Tari Hombo batu atau lompat batu merupakan tari yang berunsur olah raga
latihan perang melompati batu sebagai simbol budaya megalitikum. Sapaan
Ya'ahowu.
100
Dalam budaya Ono Niha (Nias) terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup
bersama yang termakna dalam salam,“Ya’ahowu” (dalam terjemahan bebas
bahasa Indonesia “semoga diberkati”). Dari arti Ya’ahowu tersebut terkandung
makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh
Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Ya’ahowu menampilkan sikap-sikap:
perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap
demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan
orang lain: tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggung jawab akan
kebutuhan orang lain (yang diucapkan: Selamat – Ya’ahowu), termasuk yang
tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana
adanya. Jadi makna yang terkandung dalam “Ya’ahowu” tidak lain adalah
persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana
kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama.
101
BAB III DESKRIPSI FALÕWA DAN PENGGUNAAN MAENA
3.1 Falõwa / Pesta Perkawinan
Falõwa merupakan pesta perkawinan adat masyarakat Suku Nias di Gunung
Sitoli, propinsi Sumatera Utara. Dalam hal ini, peneliti akan menjelaskan urutan
falõwa/pesta perkawinan adat masyarakat Nias Gunung Sitoli. Hal ini dimaksudkan
untuk menjelaskan rangkaian urutan acara falõwa. Adapun rangkaian falõwa/pesta
perkawinan adat masyarakat Nias sebagai berikut :
3.1.1 Fanunu manu
Arti fanunu manu secara harafiahnya memiliki arti ialah, fanunu berarti
membakar; manu artinya ayam. Upacara ini berfungsi sebagai pemberitahuan kepada
semua sanak keluarga antar keluarga kedua belah pihak. Sehingga upacara tersebut
sering dinamakan juga sebagai famarongogõ ba zifalazi omo yang artinya
memberitahukan kepada tetangga atau famili terdekat bahwa pesta perkawinan sebentar
lagi akan dilaksanakan.
Pelaksanaan upacara fanunu manu ini adalah salah satu upacara adat resmi yang
sangat menentukan pelaksanaan peralatan upacara pesta perkawinan kelak, karena pada
saat ini dapat ditentukan berapa besar jujuran yang harus disediakan oeh pihak sese
(laki-laki). Upacara fanunu manu ini dilaksanakan oleh si’o dari pihak laki-laki dan oleh
samatörö dari pihak barasi. Upacara ini dilaksanakan di rumah barasi yang dihadiri
oleh masyarakat kedua belah pihak, tokoh adat, uwu (paman), ibu-ibu isteri tokoh-tokoh
adat.
Tujuan upacara fanunu manu adalah sebagai berikut:
1. Untuk memperkenalkan si sese (lelaki) kepada seluruh keluarga barasi (gadis)
102 2. Untuk memperkenalkan si sese (laki-laki) kepada seluruh penduduk desa si barasi
baik anak-anak, orang tua dan pemuda-pemudinya serta dengan tokoh-tokoh adat,
3. Untuk memperkenalkan si sese kepada paman barasi,
4. Mengesahkan bahwa si sese dan si barasi telah bertunangan dan orang tua sese dan
barasi telah berbesan sah,
5. Membicarakan besarnya jujuran yang harus dibayar oleh pihak sese kelak menurut
tingkat bosi orang tua barasi dalam masyarakat,
6. Menentukan waktu pelaksanaan pesta perkawinan kelak, disebut “bongi zalawa”.
Keperluan-keperluan yang diperlukan pada upacara fanunu manu adalah:
1. Yang disediakan oleh pihak sese (laki-laki),
2. Afo yang dibawa oleh pihak sese beberapa kembut sirih (bola nafo) yang disebut
bola nafo mböwö artinya bola nafo yang diberi berkatan bola nafo ni diserahkan
sese melalui ibu barasi yang selanjutnya diserahkan kepada:
a. bola nafo untuk nina (soboto, ibu) diterima oleh Ibu barasi,
b. Bola nafo untuk uwu (paman) barasi diterima oleh barasi,
c. Bola nafo untuk iwa (diterima oleh saudara ayah barasi),
d. Bola nafo untuk awe (diterima oleh nenek barasi),
e. Bola nafo untuk huwa (diterima oleh saudara kakak barasi),
f. Bola nafo untuk si’o / sameli (diterima oleh pengantar dan telangkai baik
dari pihak sese maupun barasi),
g. Bola nafo untuk banua (diterima oleh isteri tokoh adapt di desa si barasi)
h. Satu bungkusan besar himpunan jenis afo yang diserahkan ditengah-tengah
ibu-ibu untuk dimasak sebagai afo biasa,
3. Satu ekor babi hidup 4 alisi (±40 kg) untuk keperluan adat fanunu manu
(diserahkan satu hari sebelum hari fanunu manu),
103 4. Emas disediakan sara balaki atau sara siwalu ini ditentukan dengan tingkat
derajat (bosi) kedudukan orang tua barasi pada masyarakat, emas jujuran ini
disebut lambae daroma, emas penghormatan pendahuluan dari pada jujuran.
Emas ini diterima oleh soboto, orang tua barasi,
5. Olöwöta (bungkusan daging anak babi) yang sudah dimasak. Bungkusannya
mowawino (seludang pelepah pinang) yang diisi dengan simbi dan daging
rusuk, daging paha anak alakhaö selengkapnya. Daging babi olöwöta ini
disebut föfö wangandrö dome (pihak sese) waktu berangkat dari rumahnya
kadangkala juga daging ini diletakkan dalam so’u-so’u (keranjang yang dibuat
dari susulur/tutura).
Fanunu Manu ini merupakan tahapan awal dari rangkaian acara pernikahan adat
yang akan dilaksanakan di masyarakat Nias. Dalam upacara ini sanak keluarga, banua
dari kedua belah pihak diundang. Jadi bukan lagi hanya dari kedua belah pihak yang
mengetahui bahwa kedua keluarga itu telah mengikat suatu hubungan kekeluargaan
(fambambatõ, berbesan), namun lingkungan tempat tinggal tersebut mengetahuinya
juga.
Adapun tahapan-tahapan pelaksanaan upacara fanunu manu tersebut sebagai
berikut :
Pertama Fanumbo adu, dilakukan oleh keluarga pihak laki-laki sebelum
mereka berangkat menuju kampung orang tua perempuan.
Kedua Acara fangowai, (upacara penyambutan selamat datang) dari
pihak keluarga perempuan yang disebut sowatõ kepada tamu
yang datang dari pihak laki-laki yang lazim disebutkan tome
Ketiga Fame’e afo, (penyuguhan/ memberikan sirih penghormatan)
dengan cara berbasa-basi dan berbalasan hendri-hendri berbalas
104
pantun prosa liris.
Keempat Fanou’õ olõwõta (penyerahan bungkusan/bingkisan daging babi
yang sudah masak yang lengkap berisi simbi dan lain-lain)
kepada pihak sowatõ yang dibawa oleh pihak Tome.
Kelima Fame’e tahõ ( Tahõ, suguhan daging penghormatan ) kepada
tamu yang diserahkan oleh pihak sowatõ.
Keenam Fanaba olola zumange ( sepatah kata penyerahan suguhan
penghormatan atau jamuan) kepada tome.
Ketujuh Fame’e bola nafo numõnõ (penyerahan kembut sirih oleh
menantu atau penyerahan tempat sirih menantu) oleh calon
menantu kepada mertua.
Kedepalan Olola huhuo ( pembicaraan mengenai adat oleh para salawa dari
kedua belah pihak).
Kesembilan Femanga (acara makan minum).
Kesepuluh Fanumba adu (penyembahan pada patung) oleh pihak sowatõ
untuk memohon kepada arwah leluhur dan arwah orang tua
yang sudah meninggal merestui pertunangan keduanya, anak
manusia itu.
Kesebelas Tome pulang dengan membawa bola nafo ( kembut sirih/tempat
sirih) ni odõra yaitu oleh-oleh berupa daging dan ta’io mbawi =
tangan babi sebelah kiri.
Perlu dijelaskan dalam konteks ini bahwa:
(a) Dalam upacara perkawinan ini pihak laki-laki disebut tome (tamu); dan pihak
perempuan disebut sowatõ (sipangkalan).
105 (b) Merupakan suatu adat kebiasaan dalam upacara perkawinan pada etnis Nias, kalau
dijamu dengan memotong seekor babi, maka terlebih dahulu diberitahukan kepada
tamu yang dijamu dengan tata cara berbasa-basi. Kalau tidak diberitahukan terlebih
dahulu, tamu bisa marah atau tidak mau makan, karena suguhan babi tersebut
adalah babi yang sudah bangkai.
(c) Menurut kebiasaan pada etnis Nias, kalau seseorang tamu yang dijamu dengan
memotong seekor babi sebagai suguhan penghormatan yang tertinggi, maka daging
yang tidak habis dimakan tamu atau sisa suguhan dibungkuskan dan diberikan
kepada tamu tersebut sewaktu ia berangkat pulang. Inilah yang disebut ‘ni’odõra’ =
bingkisan/oleh-oleh. Bisa juga dengan makanan yang lainnya seperti itu.
3.1.2 Fangowai dan fame’e afo
Fangowai dan fame’e afo merupakan acara penyambutan selamat datang dari
pihak perempuan yang kerap kali disebut “sowatõ”. Tamu laki laki biasanya disebut
sebagai “Tome”. Fangowai dan fame’e afo ini merupakan acara memberikan salam baik
dari pihak perempuan maupun pihak laki laki. Acara ini juga menyuguhkan sekapur
sirih kepada para tamu sebagai bentuk penghormatan kepada pihak tamu oleh pihak
tuan rumah.
Mangowai dan mame’e afo dipimpin oleh Salawa Sowatõ di pihak pria dan
juga dipimpin oleh nyonya/ibu Salawa di pihak wanita. Arti pemimpin dalam
Fangowai ini adalah untuk memberitahukan kepada semua orang , siapa-siapa sajakah
tamu yang telah hadir di dalam pernikahan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk
menghargai tamu-tamu siapa saja yang telah datang. Hal ini dilakukan baik dari pihak
laki-laki maupun pihak perempuan. Fangowai dan Fame’e afo ini dimeriahkan dengan
hendri-hendri di pihak pria dan wanita. Yang lebih meriah kalau para ibu-ibu bergairah
106 untuk melakukan maola-maola /tutur bersastra: sungguh mengasyikan saling bersahut-
sahutan antara pihak si pangkalan dengan pihak tamu.
Setelah acara Fangowai, maka fame’e afo dilakukan, acara tersebut berupa
penyuguhan/pemberian sirih penghormatan oleh pengantin pria kepada pihak
perempuan dengan cara berbasa-basi dan berbalas-balasan “hendri-hendri”: berbalas
pantun prosa liris. Hal ini dilakukan sebagai bentuk wujud penghormatan kepada pihak
perempuan
3.1.3 Famözi aramba
Merupakan acara pemukulan alat musik tradisional yaitu aramba göndra dan
faritia sebagai tanda awal pelaksanaan rangkaian acara pesta adat pernikahan dimulai.
Tujuan Famözi aramba dilakukan juga agar lingkungan tempat tinggal pengantin wanita
mengetahui bahwa akan ada acara perkawinan yang akan dilakukan di rumah tersebut
sehingga dimaksudkan agar sekiranya menghadiri acara pernikahan tersebut dan sama-
sama ikut merayakan acara pernikahan tersebut.
Setelah pulang sese, dan ibunya dari rumah barasi mendengarkan fame’e oleh
orang tua dan keluarga serta warga desa, sese berkumpul untuk melaksanakan
pertemuan dan permufakatan yang biasa disebut famözi göndra atau fangandrö ba
wawöwökha atau siraha wamailo. Tujuan fangandrö yaitu:
1. Bahwa waktu hari pesta perkawinan tidak berubah,
2. Mengadakan musyawarah di antara saudara kandung ayah sese dan warga
yang disebut famagölö,
3. Memberitahu saudara ibu sese (uwu) bahwa pesta kawin kemanakannya
berlangsung,
4. Memusyawarahkan apa nama gelar penganten wanita yang akan datang itu
tersebut famatörö döi mbene’ö,
107
5. Melaksanakan famözi aramba dengan alat musik seperti
göndra,aramba,faritia. Famözi aramba ini dilaksanakan setiap hari
sampai selesai pesta perkawinan berlangsung.
3.1.4 Fame’e
Fame’e ini merupakan saat dimana keluarga perempuan memberikan nasehat
atau wejangan kepada calon pengantin perempuan dalam membentuk mahligai rumah
tangga. Hal ini dimaksudkan agar calon pengantin perempuan mengetahui hal apa yang
seharusnya perlu dipersiapkan sebelum menjadi istri. Nasehat-nasehat ini juga bertujuan
agara calon pengantin perempuan lebih mengetahui peran yang seharusnya
dilakukanserta apa tugas dan kewajiban yang harus dilakukan oleh istri kepada suami
ketika sudah berumah-tangga.
Untuk meresapkan nasehat-nasehat tersebut maka hal itu disampaikan dalam
bentuk senandung dan bentuk tangisan. Keluarga akan menangisi kepergian wanita. Hal
ini dimaksudkan untuk mengenang merupakan bentuk penghormatan perempuan kepada
keluarga yang selama ini sudah mendidik dan membantu pihak calon perempuan
sampai pada kesudahan pengantin perempuan menikah. Ini merupakan bentuk ucapan
terimakasih kepada keluarga bahwa pengantin perempuan sudah mampu mandiri
bersama dengan calon suaminya.
Fame’e ialah pemberian nasehat kepada barasi calon pengantin dengan cara
bernalan sambil menangis. Pelaksanaan ini kira-kira satu minggu sebelum hari pesta
berlangsung. Yang hadir pada saat fame’e ialah dari pihak sese (laki-laki) calon
pengantin yaitu, (1) si sese (laki – laki) calon pengantin, (2) ibu sese tersebut, (3) isteri
abang kandung si sese tersebut, (4) isteri dari saudara kandung ayah si sese. Mereka
inilah datang mendengarkan nasehat yang dituturkan pada barasi calon pengantin. Yang
dibawa pihak sese ialah (1) afo selengkapnya, (2) seekor anak babi sebesar 3 s/d 4 alisi
108 untuk jamuan para ibu-ibu agar memberi nasehat, (3) segala utang/jujuran yang telah
dijanji oleh sese sebelumnya. Yang hadir pada pihak barasi ialah (1) ibu dari barasi itu
sendiri, (2) ibu-ibu isteri dari saudara ayah barasi, (3) istri-istri salawa dan tokoh adat,
(4) ibu-ibu/isteri penduduk desa barasi.
3.1.4.1 Cara pelaksanaan fame’e
Barasi (gadis) calon pengantin yang diberi nasehat oeh ibu-ibu didudukkan
ditengah-tengah pertemuan, lalu satu persatu ibu-ibu memberi nasehat kepadanya.
Selama berlangsungnya acara fame’e ini, gong, gendang dan canang dibunyikan.
Upacara fame’e ini juga disebut juga fangandrö ba dekhemböwö artinya
memberitahukan dan memohon kepada arwah leluhur doa restu melalui dewa jujuran
tekhemböwö dan kepada adu zatua (patung leluhur). Namun sekarang ini jarang
dilakukan karena pengaruh agama. Setelah nasehat disampaikan kepada barasi maka
barasi calon pengantin diajak menembangkan syair lagu dengan cucuran air mata dan
kata-kata yang memilukan hati.
Contoh:
Hu... ina!
(Oh... mama)
Hana wa mifawu’a ndra’o ba ngaimi!
(Sampai hati memindahkan aku)
Hadia gamuatagu silõfaudu he, inagu!
(Apakah ada tingkah lakuku yang tidak senonoh oh, mama)
Hu … ina!
(Oh … mama )
Lönisawögu möli-mölimi
(Aku tidak pernah mengalihkan pertuahku)
109
Lö nilalöigu si no mifakhoi he, inagu
(Aku tidak pernah mengabaikan nasehatmu oh, mama.)
Hu... ina!
(Oh... mama )
Ebua sa dödöu bagana’a moroi khögu
(Ibu mementingkan emas daripada anakmu)
Teno ösöndra wangaligu solului halöwöu sa he, inagu!
(Ibu telah mendapatkan pembantu yang lebih dari anakmu ya, mama...)
3.1.4.2 Acara pemberkatan pernikahan
Acara pernikahan akan dianggap sah apabila memenuhi terdiri 3 (tiga) syarat
yakni dipemerintahan dengan adanya akta catatan sipil pernikahan, kemudian acara
agama dengan adanya pemberkatan pernikahan dan yang terakhir mengadakan pesta
adat dengan adanya acara pernikahan adat. Apabila dari ketiga unsur ini sudah
dilaksanakan, maka pernikahan tersebut dianggap sah oleh masyarakat.
Acara pemberkatan pernikahan biasanya dilakukan di gereja dan diberkati
digereja. Ini dilakukan untuk menyatakan janji iman kepada Tuhan untuk berkomitmen
dalam membangun bahtera rumah tangga yang baik. Hal ini ditandai dengan pertukaran
cincin antara kedua belah pihak.
3.1.5 Folau bawi
Folau bawi merupakan acara menghantarkan dua ekor babi berukuran besar oleh
pihak pengantin laki-laki kepada pihak pengantin perempuan yang merupakan bagian
dari mahar/jujuran adat.
Arti harafiahnya ialah, folau adalah membuat; bawi artinya babi. Jadi artinya
ialah bermaksud untuk membawa babi perkawinan yang biasa disebut “bawi walõwa.
Babi yang dibawa ini dihias dengan baik sedemikian rupa. Babi ini adalah babi yang
110 telah dilihat pada waktu mereka datang melihat pada waktu yang lalu. Itulah sebabnya
babi itu harus besar, agar tidak malu mereka dari pihak laki-laki yang membawa karena
menjadi tontonan orang banyak, maka Kedua ekor babi ini dihias (diberi baju) yang
terbuat dari pilitan kulit kayu tertentu ( eholu). Berbeda dengan babi-babi yang lainnya
kalau dibawa.
Dalam proses perarakan menghantarkan babi ini, para tome melantunkan
nyanyian pantun-pantun yang memiliki arti bahwa para tome menghantarkan babi yang
terakhir dalam upacara perkawinan adat. Setelah tiba di halaman rumah pihak pengantin
perempuan, maka diserahkanlah babi ini kepada pengantin pihak perempuan melalui
pantun-pantun yang dilakukan secara berbalas-balasan antara pihak rumah dengan pihak
tome.
Upacara membawa babi adat (bawi walöwa) ini dilaksanakan dengan tata cara
sebagai berikut yaitu: (1) fesu (tali pengikat) kaki dan alogo ditali dulu yang terdiri dari
bahan ono goholu (kulit kayu), (2) seluruh warga desa sese berkumpul di rumah sese.
Baik salawa, tokoh adat dan ono matua dipilih untuk membawa babi adat tersebut, (3)
sebelum berangkat maka oleh tokoh adat, salawa mendoakan pada arwah leluhur agar
memberkati babi tersebut dan menjauhkan segala mara bahaya di jalan dan selamat
sampai di desa Barasi.
Dalam acara folau bawi tetap juga dilaksanakan acara fangowai dan fame’e Afo.
Hal ini dimaksudkan oleh tuan rumah menghormati para tamu yang telah hadir dalam
bentuk nyanyian. Dalam fangowai tersebut, tuan rumah akan menyebutkan nama-nama
tamu terutama raja-raja adat atau tetua-tetua adat dan juga menyuguhkan sirih sebagai
bentuk penghormatan simbol adat tertinggi di suku Nias.
111 3.1.6 Falõwa
Acara falõwa ini merupakan acara pesta pernikahan dengan rangkaian acara
yang diawali dengan prosesi dari pihak pengantin laki-laki/tamu dengan melaksanakan
bÕlihae, dan disambut oleh pihak pengantin perempuan/tuan rumah dengan memukul
alat musik tradisional.
Pihak tamu atau pihak pengantin laki laki mengadakan perarakan/prosesi menuju
tempat pesta sambil melakukan bÕlihae (pantun yang dilagukan secara beramai ramai)
dan pihak tuan rumah atau penganti perempuan juga menyambut pihak tamu dengan
memukul alat-alat musik tradisional adat Nias.
Dalam acara falõwa, juga dilaksanakan acara fangowai dan fame’e afo. Hal ini
selalu dilakukan dalam setiap pembukaan acara. Hal ini dimaksudkan untuk
menghormati para tamu khususnya raja raja adat atau tetua tetua adat yang menghadiri
upacara pernikahan adat ini. Acara ini juga disertai dengan pemberian kapur sirih.
3.1.7 Pemberian bola nafo
Acara pemberian bola nafo merupakan acara pemberian sekapur sirih oleh pihak
laki-laki terhadap pada pihak ibu mertua dan keluarga dengan diiringi tarian
persembahan. Fame’e bola nafo numõnõ ini berupa penyerahan kembut sirih oleh
menantu atau penyerahan tempat sirih menantu oleh calon menantu kepada mertua. Hal
ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada pihak pengantin perempuan.
Pemberian bola nafo ini pun diiringi oleh tarian-tarian persembahan yang memegang
kapur sirih. Sebelum pemberian sekapur sirih, maka calon menantu juga memberikan
fangandrõ roko kepada pihak pengantin perempuan, kemudian calon menantu
memberikan tempat kapur sirih kepada pihak perempuan tersebut. Pemberian kapur
sirih merupakan bentuk penghargaan tertinggi, sehingga hal tersebut harus dilakukan
oleh calon menantu di dalam menghargai pihak perempuan. Disamping pemberian
112 tempat sirih kepada pihak perempuan, calon menantu juga memberikan kapur sirih
kepada para kepala-kepala adat yang menghadiri upacara adat tersebut, disamping
maknanya ialah untuk menghargai para kepala adat tersebut, juga memiliki arti ucapan
terimakasih telah menghadiri dan mengikuti acara perkawinan yang diselenggarakan.
3.1.8 Pemufakatan
Acara ini merupakan acara pemufakatan antara raja-raja adat kedua belah pihak
membahas mengenai pemutusan dan penyelesaian acara adat pernikahan yang
diselenggarakan. Sehingga susunan atau tatanan adat pernikahan sudah selesai.
3.1.9 Acara tarian maena
Tarian maena merupakan acara tarian hiburan yang selalu ada di setiap acara
pesta pernikahan masyarakat Nias. Tujuan dari tarian maena ini ialah untuk
menciptakan kekompakkan dan keakraban di dalam keluarga besar kedua belah pihak
dan semua tamu yang telah hadir pada acara tersebut.
3.1.10 Fangaetu Golola
Fangaetu golola merupakan puncak pembicaraan dan kesepakatan pengetua-
pengetua adat yang menyatakan bahwa pesta pernikahan yang dilaksanakan secara adat
sudah sah. Pada acara ini kedua belah pihak sudah menyepakati bahwa calon pengantin
perempuan sudah sah menjadi istri dari suami pengantin laki-laki.
3.1.11 Fame tou ono nihalõ
Fame Tou Ono Nihalõ merupakan acara penyerahan pengantin perempuan
kepada pihak keluarga pengantin laki-laki. Atas persetujuan kedua belah pihak (tamu si
pangkalan) , tamu memberi gelar kepada pengantin. Ada banyak tingkat gelar untuk ono
nihalõ hal itu bergantung pada bosi dan kedudukan si mempelai dalam masyarakat adat.
113
Setelah pemberian gelar, maka tamu akan berpamitan kepada si pangkalan
dengan mengucapkan: mõiga sowatõ he (si pangkalan, kami permisi pulang, ya) para si
pangkalan menyahut: “Lau..” (silahkan).
Dengan diiringi suara aramba, gõndra dan faritia mulai berangkat: pengantin
diusung di atas kursi dengan diiringi bunyi faritia dari belakang, sementara itu
mempelai pamitan dan menyalam ibu mertua sambil menyerahkan penghormatan yang
disebut fondra’u danga nina (pamitan kepada ibu).
Pengantin perempuan diterima oleh pihak keluarga penganten laki-laki dengan
diangkat atau ditandu sebagai simbol penghargaan terhadap derajat kaum wanita di
Nias. Yang menandu pengantin perempuan ialah pihak laki laki sebagai bentuk bahwa
pihak perempuan sudah menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada pihak laki-
laki.
Setelah tiba di rumah, akan ada penyambutan dari pihak pengantin laki laki. Hal
ini bertujuan untuk menyambut selamat datang kepada pengantin perempuan dan
menunjukkan bahwa kini pengantin perempuan sudah menjadi bagian dari keluarga
pihak pengantin laki-laki.
3.2 Orang Yang Terlibat Pada Upacara
Dalam hal ini akan ada orang-orang yang terlibat pada upacara pesta pernikahan
adat masyarakat Nias Gunung Sitoli. Adapaun orang orang tersebut ialah :
3.2.1 Upacara tahõdõdõ
Pada upacara ini, orang –orang yang terlibat ialah sebagai berikut:
1. Orang tua pengantin laki-laki dan sekeluarga mereka sebagai pelaksanan
kegiatan upacara tersebut.
114
2. Selain itu terlibat juga: iwa, fadono, uwu, sitenga bõ’õ, si’o dan seluruh
warga desa (banua) mereka
3. Dari pihak penganten perempuan yang harus hadir ialah: soboto (mertua) :
uwu, iwa, dan sanema li dan undangan lainnya sebagai awõ fao.
3.2.2 Upacara fame’e gõ
Yang langsung terlibat yaitu pihak-pihak kerabat sebagai berikut.
1. Terutama ibu dari pada penganten perempuan,
2. Kala’edo dari ibu panganten perempuan satu sampai 2 orang,
3. Umõnõ atau isteri dari anak. Ibu penganten perempuan laki-laki (yang sudah
kawin),
4. Saudara kandung pengantin perempuan yang kecil baik laki-laki atau
perempuan, atau kakaknya yang belum kawin juga,
5. Sanema li dan beberapa orang anak-anak laki-laki/perempuan/ gadis-gadis dari
tetangga pihak orang tua penganten perempuan tersebut,
6. Beberapa orang utusan dari warga banua,
7. Yang terlibat pada pihak orang tua laki-laki ialah: seluruh keluarga mereka,
iwa dan tetangga dekat serta ibu-ibu dari keluarga dekatnya, seperti iwa, dan
lain-lainnya.
3.2.3 Upacara famuli nukha
Pada tahapan upacara ini pihak-pihak kerabat yang yang terlibat ialah sebagai
berikut.
1. Pengantin keduanya,
2. Ibu pengantin laki-laki,
3. Beberapa orang saudara perempuan dari pengantin laki-laki,
4. Si’o kala’edo ibu pengantin laki-laki.
115
5. Di pihak pengantin perempuan terlibat ialah orang tuanya dan seluruh
keluarga,iwa, sanema li, samatõrõ dan utusan dari pada warga banua.
3.3 Pelaku Upacara pada Upacara Pernikahan
Dalam hal ini, peneliti memaparkan orang orang yang terlibat dalam perayaan
upacara perkawinan masyarakat Nias di Gunung Sitoli.
3.3.1 Fame’e li
Orang-orang yang langsung terlibat di dalam pelaksanaan ini adalah orang tua
pihak laki-laki, Samatõfa I dan samatõfa II yang berfungsi sebagai telangkai dan orang
tua si perempuan.
3.3.2 Fame’e laeduru
Orang yang terlibat ialah Samatõfa I, Samatõfa II, Samatõrõ, keluarga pihak si
gadis, Iwa, dari pihak si gadis. Laki-laki calon menantu, orang tua si laki-laki (khusus
ibu laki-laki) dan beberapa orang temannya ibu dan anak anak gadisnya. Saudara-
saudara dari pihak si gadis, baik yang laki-laki maupun yan perempuan.
3.3.3 Fanunu manu
Karena upacara ini adalah untuk mengesahkan pertunangan antara laki-laki/
pemuda dan si gadis yang dilaksanakan menurut adat, maka yang terlibat adalah sebagai
berikut:
1. Si’o yang bertindak sebagai pimpinan rombongan, bersama dengan sanema Li
(penyambung lidah) dari kedua belah pihak.
2. Salawa mbanua yaitu tokoh adat dari kedua belah pihak.
3. Warga desa, yaitu kampung dari kedua belah pihak.
4. Uwu (paman si gadis dan si laki-laki)
5. Iwa dari kedua belah pihak.
116
6. Huwa dari kedua belah pihak.
7. Ono alawe (fadono) atau ono mbene’õ dari kedua belah pihak.
8. Pemuda, yaitu laki-laki yang dipertunangankan.
9. Ere sebagai pembaca acara fangandrõ, dan lain-lain.
3.3.4 Famalua Li
Dalam upacara ini orang-orang yang terlibat ialah Si’o yang berfungsi untuk
menyampaikan hasil musyawarah dari pihak keluarga laki-laki kepada keluarga pihak
perempuan. Sanema li, sebagai juru bicara dari pihak keluarga perempuan. Salawa, dari
kedua belah pihak. Laki-laki atau pemuda calon menantu, samatõrõ, dan iwa.
Setelah ketentuan bongi zalawa atau bongi nama berangsung beberapa minggu
atau bulan maka oleh orang tua pihak sese memperkirakan kemampuan pembiayaan
sudah ada dan cukup maka si’o dari pihaknya disuruh mengadakan kontak bicara
dengan sanemali dipihak gadis meminta persetujuan dan menanyakan perkiraan
besarnya jujuran yang harus dibawa dan bagaimana rencana selanjutnya mengenai
waktu dan persiapan mereka. Ini disebut famangelama (mengingatkan). Pada waktu si’o
sese pergi menanyakan ini ia ditemani oleh menantu laki-laki dengan membawa bola
nafo dan olöwöta yang disebut bungkusan daging anak babi mengingatkan. Pada
pembicaraan pertemuan ini dihadiri oleh keluarga dari ayah gadis yang berhak
menerima bagian dari jujuran. Pada wakktu inilah si’o dari pihak laki-laki dengan gigih
berbicara meminta belas kasihan penurunan dari jumlah jujuran yang sewajarnya
kepada yang berhak menerima yang akhirnya diminta berapa besar jujuran keperluan
saekhu bazimaökhö (jujuran yang harus dibayar sampai pada peralatan pesta
perkawinan ) yaitu böwö soguna maökhö (dalam hal ini besar jujuran menurut bosi
tidak terlepas yang tetap sebagai jujuran, yaituböwö nisaetagö yawa) yang kemudian
dibayar. Setelah sepakat dengan keperluan saekhu bazimaökhö / böwö soguna maökhö
117 maka beberapa hari kemudian oleh salawa hada ( pengetua adat ) dan si’o dari pihak
sese datang sebanyak ± 5 orang tanpa wanita atau ibu-ibu mengadakan upacara famua
li di pihak gadis dihadiri oleh keluarga gadis, dan salawa hada dan ibu-ibu keluarga.
Untuk mengesahkan besarnya jujuran yang diminta untuk pesta sehari. Keperluan –
keperluan yang disediakan oleh pihak laki-laki, (1) afo selengkapnya, (2) babi untuk
famangelama yaitu daging babi mentah ( yang sudah di asini ) sebanyak dua hie s/d öfa
hie,guna suguhan pada para salawa sebagai ganti famangelama terdahulu, (3) seekor
babi hidup sebesar öfa alisi, (4) Emas jujuran ( sebagai angsuran ) besarnya diserahkan
pada kesanggupan pihak laki-laki yang nantinya dikurangi dari jumlah keseluruhan
jujuran.
Pihak gadis menyediakan: (a) Seekor anak babi sebesar sara alisi untuk dibawa
tome atau pihak laki-laki, (b) Beras secukupnya untuk dipergunakan hari itu. Dalam
pelaksanaan ini dapat juga berlaku acara fangowai dan untuk mempersingkat waktubisa
saja dimulai dengan acara biasa yang mulai oleh si’o dan seterusnya dengan penyerahan
daging babi famangelama tersebut di atas sambil menyatakan apa maksud dan tujuan
mereka. Setelah berselang pembicaraan kedua belah pihak maka oleh salawa kedua
belah pihak pertama-tama salawa dari pihak gadis mengambil daun kelapa muda
mengeja besarnya jujuran yang harus dibayar menurut bosi ayah si gadis, perhitungan
ini disebut era-era mbulu nohi safusi.
3.3.5 Fame’e fakhe toho
Orang-orang yang terlibat dalam upacara fame’e fakhe Toho adalah beberapa
orang pemuda dari warga banua pihak laki-laki yang membawa fakhe toho tersebut
untuk kebutuhan upacara pesta perkawinan yang akan berlangsung. Si’o sebagai
pimpinan rombongan.
118 3.3.6 Fangandrõ li nina
Dalam upacara ini terlibat yang disebut si’o. Beberapa orang dari keluarga pihak
laki-laki untuk mendampingi si’o. Keluarga dari pihak perempuan, salawa mbanua
pihak perempuan Sanema Li, dan para isteri-isteri Salawa dan kedua orang tua si
perempuan.
3.3.7 Fangandrõ ba dekhembõwõ
Upacara ini disebut jugafame’e, dalam upacara ini orang yang terlibat dipihak
laki-laki adalah pemuda atau laki-lakicalon penganten, ibunya yang didampingioleh
seorang isteri saudara laki-laki (umõnõ) yang disebut kala’edo. Dari pihak perempuan
yang hadir adalah sanema li, salawa, dan isterinya, kala’edo, kala’edo si perempuan
dan beberapa orang ibu-ibu warga banua yang akan memberikan nasihat kepada calon
penganten perempuan dan ibunya sendiri, dan ere.
3.3.8 Fangandrõ ba wawõwõkha
Orang-orang yang terlibat adalah keluarga dari pihak laki-laki semuanya (orang
tuanya), Ere, Salawa bersama isterinya. Upacara ini berlangsung di rumah pihak laki-
laki. Tidak terlihat orang-orang dari pihak perempuan.
3.3.9 Famaola ba Nuwu
Yang melaksanakan upacara famaola ba Nuwu dan fanaba li ba nuwu adalah
keluarga pihak si perempuan dan bersama keluarga laki-laki (boleh juga tidak ada), dan
seluruh keluarga pihak Uwu tersebut. Orang-orang yang terlibat, dari pihak keluarga si
perempuan/gadis adalah : Ibu si gadis dan anak-anak gadis yang membawa bingkisan
persembahan kepada Uwu.
Dari pihak laki-laki atau pemuda adalah: ibunya si laki-laki, laki-laki calon
penganten, seorang kala’edo ibu laki-laki, Si’o, satu orang Iwa, seseorang anak-anak
gadis pembawa perlengkapan. Di pihak uwu yang terlibat adalah uwu si gadis bersama
119 keluarga seluruh Uwu dan sebagian orang-orang warga banua dan beberapa orang
tetangga yang dekat untuk membantu mempersiapkan segala jamuan-jamuan upacara
tersebut.
3.3.10 Famaigi Bawi
Orang-orang yang terlihat dalam upacara ini adalah sanema li, beberapa orang
warga banua dipihak si gadis. Dari pihak keluarga pemuda yang terlihat ialah : orang
tua si pemuda, si’o, iwa, salawa, pengetua adat dan anak gadis dan pemuda-pemuda
yang ikut menyelenggarakan upacara dan fadono.
3.3.11 Folau Bawi
Dalam upacara folau bawi ini yang terlibat ada tiga kelompok, yaitu:
1. Pihak keluarga pemuda / laki-laki calon penganten
2. Pihak keluarga paman / laki-laki calon penganten
3. Pihak keluarga si gadis calon penganten.
a. Dari pihak keluarga si pemuda atau calon penganten adalah ere yang
bertindak memimpin persembahan kepada arwah leluhur. Si’o seorang atau
dua orang yang ahli dalam olola mbawi (ahli dalam pantun penyerahan babi),
Salawa, dan beberapa orang warga banua, iwa dan beberapa orang pemuda-
pemuda yang mengantarkan babi tersebut yang bertubuh kekar dan kuat-kuat.
b. Dari pihak Uwu, yang terlibat adalah : uwu dan keluarganya, laki-laki dan
perempuan, keluarga dekat mereka atau tetangga dan beberapa orang warga
desanya.
c. Dari keluarga si gadis yang terlibat adalah : orang tua si gadis, iwa, samatõrõ,
dan ere yang memimpin upacara penyembahan kepada arwah leluhur,
kala’edo ibu si gadis, ibu-ibu warga banua, isteri tokoh adat. Yang dianggap
120
terlibat dan mempunyai fungsi dalam upacara tersebut, serta penyelenggara
jamuan makan pada sipangkalan (sowatõ) dan warga banua si gadis.
3.4 Waktu Upacara
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa untuk melaksanakan sesuatu
pekerjaan atau upacara, etnis Nias selalu berpedoman pada keadaan “bulan langit”.
Dimana kalau bulan dalam keadaan gelap atau baru terbit dan sampai bulan yang
ketujug, dianggap kurang baik untuk melaksanakan upacara atau mengerjakan sesuatu/
Demikian juga untuk melaksanakan upacara-upacara perkawinan selalu berpedoman
pada ketentukan di atas. Selain dari pada itu yang dperlu diperhatikan ialah bahwa
segala upacara yang mereka laksanakan tidak dilakukan bersamaan dengan hari
kematian keluarganya. Oleh sebab itu untuk menjelaskan waktu pelaksanaan tiap
upacara selalu diadakan pada keadaan siang dan malam.
a. Fame’e Li Untuk melaksanakan upacara ini biasanya pada waktu siang hari
b. Fame’e laeduru Untuk ini dilaksanakan pada siang hari. Tidak lama setelah fame’e li
c. Fanunu Manu Jarak antara fame’e laeduru dengan fanunu manu kadang-kadang berselang lama. Kadang bertahun, bergantung kepada persediaan keperluan dari pihak laki-laki. Waktu pelaksanaannya siang hari.
d. Famalua Li Dilaksanakan waktu siang hari e. Fame’e Folohe Fakhe Toho Waktu sore hari f. Fangandrõ Li Nina Dilaksanakan waktu malam hari g. Fangandrõ ba Dekhemmbõwõ Dilaksanakan waktu malam hari. Biasanya
disebut juga Fame’e atau famotu ono nihalõ h. Fangandrõ ba wawõwõkha Dilaksanakan malam hari i. Famaola ba Nuwu Dilaksanakan mulai siang hari sampai malam
hari j. Famaigi Bawi Dilaksanakan waktu siang sampai pada sore
hari atau malam hari k. Folau Bawi Dilaksanakan sore hari sampai selesai
121 3.5 Benda-benda Upacara
Di dalam menjalankan pesta adat pernikahan masyarakat Nias, ada beberapa alat
alat perlengkapan upacara yang perlu dipersiapkan. Adapun alat-alat perlengkapan
upacara yang dipergunakan sebagai berikut.
3.5.1 Fame’e li
Perlengkapan dalam upacara fame’e li ini hanyalah “afo”, baik dari pihak yang
tamupun lebih-lebih bagi yang sipangkalan. Dimana sudah harus tersedia disetiap
rumah tangga. Pemberian “afo” pada upacara ini tidak dengan basa-basi upacara atau
langsung disuguhkan saja.
3.5.2 Fame’e laeduru
Alat-alat perlengkapan yang harus disediakan dalam upacara ini, dari pihak
keluarga si pemuda ialah “bola nafo” yang diisi lengkap. Sebentuk cincin dari emas
yang beratnya “sara siwalu” = 10 gram emas kerkadar 18 karat atau dari perak dan kola
(kuningan). Sebagai lampirannya cincin tersebut atau “sekhe-sekhe laeduru” sebesar
tambali siwalu (5 gram), untuk samatõrõ,tambali si walu untuk sanema Li, bola nafo
yang berisi lengkap untuk diserahkan kepada ibu si gadis dan olõwõta
Dari pihak keluarga si gadis (sowatõ), alat perlengkapan ialah : 2 (dua) ekor
anak babi gunanya = satu ekor untuk lauk/ suguhan waktu makan dan satu lagi untuk
manu laeduru.
Afo untuk disuguhkan kepada tamu-tamu, 1 (satu) ekor ayam jantan sebagai
manu laeduru, daun pisang untuk membungkus nasi, pinggan dan piring-piring, nyiru-
nyiru untuk tempat daging babi yang masak yang disuguhkan kepada tome (tamu) dan
lainnnya.
122 3.5.3 Fanunu manu
Dalam upacara fanunu manu, pihak keluarga pemuda menyediakan beberapa
buah bola nafo yang berisi lengkap yang akan diserahkan kepada:
1. Soboto (ibu si gadis)
2. Uwu (paman si gadis)
3. Iwa (saudara-saudara bapak si gadis)
4. Awe (nenek si gadis)
5. Huwa (keluarga terdekat dengan bapak si gadis atau saudara sepupunya)
6. Sanema li
7. Samantõrõ
8. Si’o
9. Banua
10. Satu buah untuk tamu keseluruhannya.
Setelah selesai penyerahan bola nafo maka mereka yang telah menerima bola
nafo tersebut menunjukkan kegembiraannya dengan memperdengarkan beberapa
bait“hendri-hendri” atau maola untuk memuji-muji kembut sirih beserta dengan isinya
yang telah diterima itu. Contoh hendri-hendri tersebut sebagai berikut:
Ae Bano ta te ma nafo
(Kita sudah terima sirih)
Moroi ba danga numõnõ
(Sirih pemberian menantu)
Tawuo Sini, tawuo Lanõ
(Sirih pendingi, sirih penenang)
Nifailo Faedronga Tanõ
(Yang diturunkan bersama bumi)
123
Kemudian salawa, si’o, sanema li dan beberapa orang keluarga dari kedua belah
pihak mengadakan olola huhuo, yaitu disediakan 1 (satu) ekor babi sebesar 4 (empat)
alisi = 48 kg, gunanya untuk bawi wanunu manu yaitu babi untuk upacara. Satu ekor
lagi babi sebesar 5 ( lima) alisi ± 60 kg, untuk dijadikan lauk. Satu ekor anak babi untuk
olõwõta. Emas 1 (sara) balaki = 10 gr emas yang berkadar 18 karat, untuk lambae
daroma, panjar jujuran. Fa’ilasa ba nuwu sebesar sara siwalu (emas 10 gr berkadar 16
karat). Dan emas lagi tambali siwalu , untuk fangaro huhuo (memperkokoh janji atau
disebut ana’a zazi, yang diberikan kepada para salawa-salawa kedua belah pihak.
Dari pihak keluarga si gadis, alat perlengkapannya ada tufo= tikar, guna tempat
duduk tamu. Selengkapnya afo, untuk disuguhkan kepada tamu. Emas seberat yambali
siwalu, gunanya fangaro huhuo untuk para salawa-salawa kedua belah pihak. Satu ekor
ayam, guna untuk dibakar oleh Ere dan salawa.
3.5.4 Famalua Li
Alat perlengkapan pada upacara famalua li dari pihak pemuda adalah: 1 buah
bola nafo yang berisi lengkap. Olõwõta Fangelama 1 bungkusan (bingkisan peringatan)
yang berisi daging anak babi yang sudah masak. Bola nafo dan olõwõtõ itu diberikan
kepada orang tua si gadis sebagai syarat bagi mereka, bahwa keluarga si pemuda akan
datang menanyakan jumlah jujuran yang dibayar. Disamping itu pihak keluarga pemuda
menyediakan 1 (satu) ekor babi sepihak keluarga pemuda menyediakan 1 (satu) ekor
babi sebesar ±4 alisi sebagai bawi wamalua li (babi untuk upacara famalua li); emas
seberapa yang ada sebagai tanda bentuk sinulo ondronita mbõwõ yaitu angsuran jujuran,
emas tambali siwalu untukfawu’usa li (tanda perjanjian yang diberikan kepada para
salawa kedua belah pihak) 1 ( satu) ekor babi sebesar 6 (enam) alisi (±70 kg) sebagai
diwo untuk lauk para tamu.
124
Dari keluarga si gadis disediakan alat perlengkapannya ialah: beras,afo
selengkapnya, tufo sebagai tempat duduk , bulu gae = daun pisang sebagai pembungkus
nasi, figa yaitu pinggan tempat nasi, niru (nyiru) sebagai tempat daging babi,
penghormatan dan aramba(gong), gõndra (gendrang), dan sarainaatau faritia (canang).
3.5.5 Fame’e fakhe toho
Untuk upacara fame’e fakhe toho oleh pihak pemuda menyediakan ulitõ (padi),
Emas untuk su’a wakhe(menakar padi),folosi mbawa lauru (meratakan mulut kulak
padi),famanaere lauru(memiringkan kulak), masing-masing diberikan untuk: fanu’a
wakhe atau tambali siwalu, folosi mbawa laurusama dengan dua saga tambali siwalu
(2,5 gram) dan untuk famanaere lauru sama dengan tambali siwalu.
Dari pihak keluarga si gadis adalah lauru ( kulak) ; bawi ni o’wuru = daging
babi yang sudah diasin sebagai lauk tamu yang membawa padi tersebut.
3.5.6 Fangandrõ li nina
Untuk upacara ini pihak keluarga pemuda menyediakan 2 ekor babi yang
besarnya masing masing 2 alisi dan 3 alisi emas sara balaki untuk persembahan kepada
ibu sigadis. Dari pihak si gadis menyediakan 1 (satu) ekor anak babi muda sebesar 4
atau 5 tu’e sebagai lauk suguhan kepada tamu beras dan pinggan, dan lain-lainnya.
3.5.7 Fangandrõ ba dekhembõwõ
Dalam upacara ini alat perlengkapan yang disediakan oleh pihak sigadis adalah : 1
( satu) ekor anak babi muda guna sebagai sajian pada dewa jujuran. 1 (Satu) ekor babi
sebesar ± 4 alisi sebagai lauk untuk jamuan adat bagi pihak laki-laki yang disebut “bawi
wamagõlõ yaitu babi untuk permufakatan, emas sara siwalu untuk fangandrõ ba
Dekhembõwõ dan seekor babi sebesar 2 alisi untuk upacara fame’e yang diberikan
khusus kepada kaum ibu-ibu.
125 3.5.8 Fangandrõ ba wawõwõkha
Alat perlengkapan untuk upacara fangandrõ ba wawõwõkha, disediakan oleh
keluarga si pemuda yaitu: 1 ekor anak babi untuk sajikan pada sang dewa siraha
wamailo, 1 ekor babi sebesar 4 alisi untuk famagõlõ (pemufakatan) yang diberikan
kepada kelompok laki laki, 1 ekor lagi babi sebesar 4 alisi untuk famatõrõdõimbene’õ =
memberi gelar penganten perempuan, yang diberikan kepada kelompok ibu-ibu dan
emas tambali siwalu untuk para salawa.
3.5.9 Famaola ba nuwu
Alat perlengkapan dalam upacara famaola ba Nuwu dan Fanaba Li baNuwu,
yaitu : dari pihak keluarga si gadis. Yang disediakan adalah:
1. Olõwõta, satu ekor babi sebesar 4 alisi yang disebut bawi famaola
2. Emas sebesar sara siwalu yang disebut ana’a famaola
3. Emas sebesar sara baliki yang disebut õmõ ndraono”yaitu utang anak
4. Emas sebesar sara siwalu yang disebut tefe-tefe nidanõ
5. Afo selengkapnya
Yang disediakan oleh pihak laki-laki ialah:
1. Olõwõta, sebesar 1 alisi
2. Emas sebesar sara baliki yang disebut aya Nuwu = jujuran untuk
penghormatan pada paman si gadis
3. Afo selengkapnya.
Yang disediakan oleh pihak Uwu yang ditemui ialah:
1. Beras secukupnya untuk keperluan upacara
2. Seekor anak babi sebesar 4 alisi untuk lauk tamunya.
3. Seekor anak babi yang “betina” yang diserahkan kepada ibu si gadis
yang disebut “manu Ndraono”
126
4. Afo secukupnya dan selengkapnya
5. Tufo sebagai tempat duduk.
3.5.9 Famaigi Bawi
Untuk upacara famaigi bawi, peralatan yang dibutuhkan oleh keluarga si gadis
ialah: Su’asu’a mbawi yang disebut “fanu’a mbawi terdiri dari daun kelapa muda yang
spesial, berwarna putih (daun kelapa muda yang putih) dan Afore = sejenis alat
pengukur besarnya babi.
Dari pihak keluarga si pemuda, alat perlengkapan yang harus disediakan adalah:
1. 2 (dua) ekor babi walõwa yang besar-besar,
2. 1 (satu) ekor babi sebesar 4 (empat) alisi guna fonõnõ mbawi zo’onoyaitu
tambahan besarnya babi untuk orang tua si gadis,
3. 1 (satu) ekor babi sebesar 2 (dua) alisi guna fonõnõ mbawi mbanuayaitu
tambahan besarnya babi untuk banua.
4. Emas sebesar tambali siwalu untuk guna famaigi mbawi zo’ono (tambahan
melihat babi untuk orang tua si gadis).
5. Emas sebesar tambali siwalu untuk melihat besarnya babi untuk banua
6. Emas sebesar tambali siwalu, guna untuk “famatõfa ba gafore yaitu
mengukur dengan afore,
7. Emas sebesar sara siwalu, guna untuk famatõfa ba mbulu nohi safusi
mengukur dengan daun kelapa putih yang muda.
3.5.10 Folau bawi
Alat perlengkapan untuk upacara folau bawi dari pihak pemuda, adalah:
1. 1 (satu) ekor anak babi guna untuk sajian kepada arwah leluhur sebesar 4
(empat) tu’e = 12 kilogram,
127
2. 1 (satu) ekor babi sebesar 4 (empat) alisi, guna untuk lauk suguhan untuk
zolau bawi (yang membawa babi),
3. 3 (Tiga) ekor anak babi muda sebesar masing-masing 4 tu’e, guna untuk :
suru duo sasoso (sejenis bingkisan untuk kawannya tuak yang diminum),
dan juga bersama dengan suru duo sataha,6
4. Olõwõta daging babi yang baru dimasak untuk disuguhkan kepada
pengetua-pengetua adat dalam banua tersebut,
5. 1 (satu) ekor babi sebesar 1 (sara) alisi, guna untuk i’o mbawi, tambahan
untuk ekor babi walõwa,
6. Emas sebesar tambali siwalu, guna sebagai tabo mbawi, imbalan karena
telah menerima tahõ.
7. Afo selengkapnya dan faritia atau saraina, yaitu canang yang dipukul
sepanjang perjalanan waktu membawa babi walõwa itu.
3.6 Tempat Upacara
Di bawah ini menjelaskan mengenai tempat-tempat acara rangkaian rangkaian
acara falõwa dilakukan. Adapun tempat-tempat tersebut sebagai berikut:
a. Fame’e Li : Dilaksanakan di rumah samatõfa II
b. Fame’e Laeduru : Dilaksanakan di rumah si perempuan
c. Fanunu Manu : Dilaksanakan di rumah si perempuan
d. Famalua Li : Dilaksanakan di rumah si perempuan
e. Fame’e fakhe toho : Dilaksanakan di rumah si perempuan
f. Fangandrõ Li Nina : Dilaksanakan di rumah si perempuan
g. Fangandrõ ba Dekhembõwõ : Dilaksanakan di ruman orang-tua si
6Yang disebut suru duo adalah suguhan daging bersama tuak mentah kepada sowatõ, agar tamu
mendapat balasan juga seperti itu. Suru tuo ada dua macamnya ialah: suru tuo sasoso dan suru duosataha. Dari pihak si gadis, Afo fao tahõ sebagai suguhan
128
perempuan, yaitu di dalam rumah
h. Fangandrõ ba wawõwõkha : Dilaksanakan di rumah laki-laki oleh
sekeluarga mereka.
i. Famaola ba nuwu : Upacara ini dilaksanakan di rumah
paman si perempuan. Dua kegiatan yang
dilaksanakan pada saat ini yaitu, yang
pihak perempuan an juga pihak laki-laki
kepada pamannya. Maksud mereka untuk
mengundang paman mereka kedua belah
pihak untuk menghadiri upacara
perkawinan mereka itu.
j. Famaigi bawi : Dilaksanakan di rumah pihak laki-laki
k. Folau bawi : Dilaksanakan di halaman rumah pihak si
perempuan dengan suatu acara yang
khusus untuk penyerahan babi
perkawinan tersebut yang pada esoknya
berlangsung upacara/pesta perkawinan.
3.8. Maena
3.8.1 Tari Maena
Suku Nias merupakan kelompok masyarakat yang tinggal di Pulau Nias,
Propinsi Sumatera Utara. Mereka memiliki sebuah tarian tradisional yang sejak dulu
hingga kini tetap ditarikan yakni tari Maena. Maena atau sering disebut dengan tarian
maena merupakan suatu bentuk tarian yang dinyanyikan oleh sekelompok orang yang
dimana setiap syair dan kata-kata yang diucapkan memiliki makna. Suku Nias
menjadikan tari maena sebagai tarian kolosal yang penuh sukacita
129
Tarian maena merupakan suatu bentuk sarana hiburan dalam suatu upacara
upacara yang dilakukan di Gunung Sitoli. Dikarenakan maena merupakan sarana
hiburan, hal itulah yang membuat semua orang dapat menyatu dan menjadi akrab antara
satu satu keluarga dengan keluarga lain tanpa membedakan latar belakang dan status
sosial orang-orang yang mengikutinya.
Dikarenakan maena merupakan suatu bentuk tradisi tarian yang sudah dijunjung
tinggi oleh masyarakat Nias, sehingga tarian maena tersebut sudah menjadi hal yang
akan ditampilkan di dalam setiap acara pesta tersebut. Tradisi yang sudah menjadi turun
temurun dan sudah menjadi pelengkap dalam setiap upacara upacara adat masyarakat
Nias khususnya dalam upacara pesta perkawinan, maka sepertinya ada yang kurang
lengkap dan kurang sempurna acara tersebut tanpa adanya tarian maena.
Tarian maena sebenarnya tidak menjadi suatu keharusan bahwa dengan tidak
adanya maena maka upacara tidak dapat berlangsung, hanya saja tanpa adanya tarian
maena sepertinya ada sesuatu hal yang hilang dari makna upacara adat tersebut.
Dalam memimpin dan membawakan tarian maena ada 2 bagian yang harus
diketahui sebelum maena dimulai, yakni penutup syair atau sering dikenal dengan
Sanutunõ Maena dimana syair tersebut terdiri dari 1 (satu) atau 2 (dua) orang dan yang
lainnya atau peserta tarian disebut sanehe maena.
Tarian maena di Nias merupakan suatu bentuk tarian yang menjadi warisan
budaya dan sudah menjadi turun temurun dijunjung tinggi masyaralat Nias. Bahkan di
dalam setiap acara yang ada di Nias, Tarian maena inipun alangkah baiknya dilakukan.
Sehingga bagi masyarakat Nias sendiri mempelajarinya tarian maena tersebut
merupakan hal yang lumrah dan berlangsung secara alamiah dari generasi ke generasi
selanjutnya.
130
Tarian ini dilakukan oleh orang banyak dengan 5 macam gerakan dasar. Lagu
pengiring pada tarian ini biasanya berisi nasehat, dengan diiringi musik tradisional Nias.
(alat musik tabuh, seperti Aramba, Gõndra dan Faritia). Tari maena seringkali menjadi
pertunjukan hiburan ketika suku Nias menyelenggarakan pesta pernikahan adat. Tari
maena melambangkan kebersamaan/kekeluargaan pada masyarakat Nias dan Tamu
yang disambut dalam upacara pernikahan adat, pertunjukan tari maena diselenggarakan
ketika mempelai lelaki tiba di rumah mempelai wanita. Tarian ini ditarikan oleh
keluarga dari pihak mempelai lelaki untuk memuji kecantikan mempelai wanita dan
kebaikan keluarga pihak wanita. Setelah mempelai lelaki, keluarga dari mempelai
wanita pun menyambut kedatangan keluarga pihak lelaki dengan menyelenggarakan tari
Maena yang bertutur memuji keluarga mempelai pria dan ketampanan mempelai pria
serta keluarganya yang datang dari keluarga terhormat.
Tarian ini menjadi simbol untuk memuji mempelai lelaki beserta keluarganya.
Sesekali tari maena menjadi tari penyambutan tamu kehormatan yang berkunjung ke
Pulau Nias. Dalam sebuah pertunjukan, tari Maena ditarikan oleh beberapa pasang
penari lelaki dan wanita. Dari awal hingga pertunjukan usai, gerakan tari Maena
didominasi dengan perpaduan gerak tangan dan kaki. Gerakannya terlihat sederhana
namun tetap penuh semangat dan dinamis. Kesederhanaan gerak itulah yang membuat
siapa saja termasuk anda dapat menjadi penari tari Maena. Tidak ada batasan berapa
jumlah penari Maena. Semakin banyak peserta tari Maena, gerakan tari Maena semakin
terlihat semangat. Daya tarik utama dari tari Maena yakni lantunan beberapa rangkaian
pantun Maena. Pantun maena disampaikan oleh satu atau dua orang penyair yang
dalam bahasa Nias disebut sanutunõ maena. Tidak semua orang dapat menjadi
Sanutuno Maena. Seorang sanutunõ maena harus fasih berbahasa Nias. Biasanya, yang
menjadi Sanutunõ Maena yakni tetua adat atau sesepuh suku Nias. Isi pantun
131 disesuaikan dengan waktu pertunjukan tari Maena dipertunjukkan. Ketika tari Maena
diselenggarakan pada pesta pernikahan, pantun biasanya berisi kegembiraan dan doa
untuk kedua mempelai. Namun ketika tari Maena dijadikan tari penyambutan tamu
kehormatan, pantun Maena menggambarkan rasa hormat warga Nias kepada tamu.
Pantun maena biasanya disampaikan pada awal pertunjukan. Setelah sanutunõ maena
menyampaikan beberapa bait pantun, pertunjukan tari Maena dilanjutkan dengan
nyanyian berbahasa Nias. Dengan lantang, para penari Maena menyanyikan beberapa
syair lagu yang isinya disesuaikan dengan tema acara. Mulai dari awal penyampaian,
lirik lagu dalam pertunjukan tari Maena tetaplah sama dan disampaikan secara berulang.
Syair lagu itulah yang mengiringi gerakan para penari Maena hingga pertunjukan tari
maena usai (Sugiono, 2013).
Pada awalnya Tarian Maena ini, hanya mengandalkan vokal saja, kemudian
pada beberapa saat kemudian diiringi oleh seperangkat musik tradisional seperti:
Gõndra, Aramba dan Faritia. Dengan adanya teknologi terbaru, maka keberadaan
Seperangkat alat musik tradisional tadi, sering digantikan oleh Intrumen dari keyboard.
3.8.2 Vokal maena
Maena merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional Nias, yang di
dalamnya mengandung seni tari dan nyanyian (musik vokal). Musik vokal adalah musik
yang dihasilkan oleh suara manusi, musik tersebut diiringi alat musik atau tidak dan
penyajiannya dapat dinyanyikan oleh satu orang (solo), maupun dengan banyak orang
(kelompok).
Apabila kita melihat bahwa setiap suku bangsa biasanya memiliki istilah tertentu
dalam menyebut musik vokal itu sendiri, sama halnya juga dengan masyarakat Nias
bahwa musik vokal atau nyanyian disebut juga sinunö. Dalam kesenian tradisional, baik
yang tumbuh dari rakyat itu sendiri atau pengaruh dari budaya lain, sehingga
132 masyarakat itu telah mewarisinya secara turun-temurun dari nenek moyang mereka
yang sering disebut kesenian tradisional. Predikat tradisional bisa diartikan segala
sesuatu yang sesuai tradisi, sesuai dengan kerangka, pola-pola bentuk maupun
penerapan yang selalu berulang-ulang (Sedyawati, 1981:48).
Pesta perkawinan pada masyarakat Nias memiliki beberapa musik vocal (sinunö)
seperti bõlihae, fangowai, dan hendri-hendri. Ketiga jenis sinunö ini murni tidak
menggunakan alat musik pengiring--hanya disuarakan oleh suara manusia. Namun
dalam skripsi ini penulis menitik-beratkan musik vokal pada maena, dimana maena
dahulunya juga tidak menggunakan alat musik pengiring tetapi karena perubahan zaman
atau karena dalam pertunjukannya bermakna suatu kegembiraan dan sukacita sehingga
digunakan ensambel pengiring yang terdiri dari gong, gõndra, faritia, dan ukulele.
Tetapi karena dilihat bahwa dengan menggunakan alat-alat tersebut sangat sulit dalam
penyediaannya, maka berubah dan kebanyakan dengan menggunakan keyboard.
3.9. Perkawinan Adat Menurut Böwö Laraga
Dahulunya wilayah adat suku Nias hanya terdiri dari dua bagian, yakni Nias
selatan dan Nias Utara. Namun sekarang dengan terbaginya beberapa kabupaten di
pulau Nias maka semakin nampaklah bagian-bagian budaya pada masing-masing
kabupaten. Tetapi secara umum yang menjadi patokan dalam pelaksanaan upacara
perkawinan baik masyarakat Nias yang ada di Kota Medan maupun masyarakat di Nias
itu sendiri.
Böwö laraga ini merupakan acuan yang mempunyai pengaruh yang paling luas
dalam pelaksanaan upacara adat masyarakat Nias. Sedangkan bagi masyarakat yang
tinggal di Kota Medan, dengan berbaurnya masyarakat dari daerah teritorial dan budaya
yang berlainan sistem atau tata cara menurut böwö laraga ini menjadi acuan yang
133 kemudian disesuaikan lagi dengan situasi dan kondisi oleh pihak yang melangsungkan
upacara perkawinan. Sama halnya dalam mencari pasangan hidup, dahulunya
perkawinan masyarakat Nias adalah kemauan dari kedua belah pihak atau di jodohkan
dan sebagai anak harus tunduk dan taat kepada orang tuanya. Dalam penentuan mahar
perkawinan seluruhnya diatur oleh orang tua..
134
BAB IV
MAKNA TEKS LAGU MAENA
4.1 Struktur Teks
Secara umum, struktur teks atau lirik dari nyanyian Maena adalah
merupakan teks baku. Jika kita melihat arti dari teks, teks adalah suatu naskah
yang berisi kata-kata asli dari pengarang (KBBI 2011:1159). Di dalam teks lagu
pada tarian Maena ini berisi sambutan atau ajakan dari mempelai perempuan
kepada mempelai pria yang telah hadir pada acara pernikahan adat Nias. Secara
umum struktur teks lagu yang dibawakan pada saat tarian Maena tersusun atas
teks yang berstruktur yang terdiri dari bagian pembuka, bagian isi dan bagian
penutup. Berikut ini penulis akan memberikan contoh dari bagian-bagian struktur
teks lagu yang dibawakan pada saat tarian maena.
4.1.1 Teks pembuka
Pada umumnya teks lagu yang dibawakan pada saat tarian Maena diawali
dengan kata pembukaan. Sebelum memasuki bagian pembukaan ini, tamu akan
mengucapkan kata hõli hõli wanguhugõ sihasara tõdõ lalu dijawab oleh ono
maena Huuuu. Setelah itu dimulai teks pembukaaan tersebut, yang biasanya berisi
sapaan. Berikut ini adalah contoh dari bagan teks pembuka pada nyayian di dalam
tarian Ma’o waisa’ami (Kami sambut kedatangan para tamu).
Dari sampel lagu di atas dapat terlihat bahwa bagian awal atau pembuka teks lagu
Maena berisi sapaan atau sambutan kepada tamu sebagai bukti penghormatan
kepada tamu yang telah datang. Kalimat atau teks pembuka ini merupakan bagian
yang penting di dalam Maena karena dimulai dari teks pembukaan inilah
rangkaian atau teks maena selanjutnya dapat dilanjutkan pelaksanaannya.
135 4.1.2 Isi teks
Teks isi berisi maksud dan tujuan dari lagu atau tarian Maena ini. Pada
bagian teks ini berisi pula sanjungan, sambutan dan penghormatan tuan rumah
kepada tamu. Hal ini dapat kita lihat pada teks lagu yang dibawakan pada saat
tarian maena. Berikut ini adalah contoh dari bagan teks isi pada nyayian di dalam
tarian maena.
Badõi maena Badõi laria
(Di dalam syair maena dan laria)
Fefu dome salua baolayama
(Semua pihak tamu yang telah datang di pesta ini)
Bada’udunõ dunõ dõi maena
(Biarlah kami menuturkan syair maena ini).
Dari sampel teks lagu di atas dapat dilihat bahwa bagian isi berisi sebenarnya
hampir sama dengan bagian pembuka. Hanya saja bagian isi merupakan
penegasan terhadap penghormatan dan penghargaan terhadap tamu yang telah
hadir, juga berisi sambutan.
4.1.3 Teks penutup
Bagian teks penutup merupakan sapaan terakhir dari nyanyian yang
dibawakan pada saat tarian Maena dilakukan. Selain itu, pada bagian penutup ini
berisi mengenai penutupan untuk mengakhiri tarian Maena yang sedang
dilangsungkan. Hal ini dapat kita lihat pada contoh lagu di bawah ini.
Bada’u waõ zambua helõ oya
(Sepatah dua kata yang bisa kami ungkapkan)
136 Dari sampel lagu di atas dapat terlihat jelas bahwa pada bagian penutup berisi teks
untuk mengakhiri tarian Maena yang ditandai dengan maksud pemberian sepatah
dua kata dari tuan rumah yang telah hadir pada acara adat tersebut.
4.2.Makna Teks
4.2.1 Makna konotatif
Makna konotatif atau yang biasa disebut dengan makna kiasan merupakan
makna yang timbul sebagai akibat dari sikap sosial, sikap pribadi dan kriteria
tambahan yang dikenakan pada sebuah makna konseptual. Kata-kata yang
bermakna konotasi biasanya digunakan dalam karangan non ilmiah seperti:
berbalas pantun, puisi, peribahasa dan lain sebagainya.
Makna konotatif berbeda dari zaman ke zaman, ia tidak tetap. Contoh dari
kata yang memiliki makna konotatif misalnya besar kepala. Besar kepala yang
dimaksud disini bukanlah seseorang yang memiliki kepala yang besar. Namun,
besar kepala yang dimaksudkan ialah orang yang bangga kepada diri sendiri. Oleh
karena itu, dalam memaknai kata, kita harus benar-benar memperhatikan
penggunaan kata konotatif tersebut dalam sebuah kalimat utuh.
Makna konotatif merupakan makna yang bersifat pribadi dan khusus.
Makna konotatif adalah makna kata yang mempunyai tautan pikiran, perasaan,
dan lain-lain yang menimbulkan rasa tertentu.
4.2.2 Makna denotatif
Makna denotatif merupakan kebalikan dari makna konotatif. Makna
denotatif secara singkat dapat didefinisikan sebagai makna yang sebenarnya atau
makna yang sesuai dengan apa adanya. Berbeda halnya dengan makna konotatif
137 yang biasanya digunakan pada karangan non ilmiah, makna denotatif biasanya
digunakan pada pada karangan-karangan ilmiah seperti: skripsi, karya tulis,
laporan atau paper dan lain sebagainya.
Sebagai contoh yang sebelumnya telah dijelaskan pada makna konotatif,
kata ‘besar kepala’ pada makna denotatif dapat diartikan kepada seseorang yang
benar-benar memiliki kepala yang besar dalam arti yang sebenarnya. Jika makna
konotatif bersifat pribadi dan khusus, maka sebaliknya, makna denotatif bersifat
umum dan menyatakan arti kata yang sebenarnya tanpa perlu pendalaman dan
pemahaman makna yang lebih jauh dan khusus lagi.
Dari kedua definisi di atas makna konotatif dan denotatif, maka kita dapat
menganalisa makna konotatif dan denotatif dari lagu maena.
a. Ma’o wai sa’ami,
makna denotasinya ialah ‘kami sambut kedatangan para tamu’. Sedangkan untuk
makna konotasi dari kalimat di atas ialah bermakna menyapa dan menyuruh tamu
yang telah datang dan telah berkumpul di tempat pelaksanaan acara tersebut
sebagai suatu penghormatan yang tinggi kepada seluruh hadirin yang telah datang
pada acara tersebut.
b. Ba dõi maena ba dõi laria
makna denotasinya ialah ‘di dalam syair maena’, sedangkan untuk makna
konotasinya ialah tamu disambut dengan istimewa seta riang dan gembira yang
tercermin di dalam syair dan gerakan maena yang indah.
c. Fefu dome salua ba olayama,
makna denotasinya ialah ‘semua pihak tamu yang telah datang di pesta ini’.
Sedangkan makna konotasinya ialah menandakan penegasan kembali
138 penghormatan terhadap tamu yang telah hadir yang telah meringankan langkahnya
untuk menghadiri pesta yang dilaksanakan.
d. Bada’udunõ dunõ dõi Maena,
Makna denotasinya ialah ‘biarlah kami menuturkan syair maena ini’. Sedangkan
untuk makna konotasinya ialah hampir sama dengan syair badõi Maena. Hanya
saja pada bagian ini merupakan penegasan kembali bahwa tamu undangan
disambut dengan riang gembira dan penuh suka cita seperti halnya lirik maena
yang indah.
e. Bada’u waõ zambua helõ oya,
Makna denotasinya ialah ‘sepatah, dua kata yang bisa kami ungkapkan’. Bagian
ini memiliki makna konotasi bahwa tuan rumah ingin memberikan penghargaan
kepada tamu undangan yang datang melalui ungkapan-ungkapan yang memiliki
makna dan maksud tertentu dalam upacara adat yang akan dilangsungkan.
4.3 Diksi dan Gaya Bahasa
Di dalam tradisi perkawinan masyarakat suku nias, maena akan selalu
dinyanyikan. Cara pembawaannya juga memiliki makna serta berbeda pula.
Terutama dalam membawakan maena, gaya bahasa juga berbeda beda. Gaya
bahasa yang digunakan di dalam syair maena tersebut menggunakan majas
hiperbola, bahwa kedua belah pihak saling merendahkan diri dan salah satu pihak
disanjung sanjung begitu tinggi. Misalnya si tome (tamu) mendatangi pihak si
gadis. Maka pihak lelaki selalu merendahkan diri mereka yang mengatakan
sebagai berikut,
‘Hei pihak gadis, kami orang miskin yang bertempat tinggal dibelakang gunung yang sangat jauh. Kami orang miskin ini datang untuk menikahkan anak kami kepada wanita yang sangat cantik, pintar dan sangat kaya ini. Sebenarnya anak kami tidak pantas buat anak kalian’.
139 Biasanya pihak si gadis juga menjawab kepada pihak laki laki sebagai berikut.
‘Hei para tamu, maafkan kami menyambut kalian dengan biasa-
biasa saja. Maafkan kami juga atas waktu kalian yang berkunjung di
gubuk kami. Buat apa kalian yang keluarga kerajaan mau datang ke
gubuk kami ini. Maafkan kami yang membuat keturunan kerajaan
datang hanya untuk menikahkan anak kami yang biasa-biasa saja.
Anak kalian sangat tampan, masa depannya bagus dan keturunan
kerajaan, tapi mau menikahi anak kami yang biasa-biasa saja. Kami
begitu bersyukur anak kalian mau menikah dengan anak kami’.
Gaya bahasa seperti ini yang ada di syair maena, yaitu kedua belah pihak
saling merendahkan diri dan menyanjung setinggi-tingginya salah satu pihak. Hal
itu sudah menjadi kebiasaan dan tradisi di dalam maena.
Maena adalah jenis lagu rakyat yang disertai tarian. Pada mulanya maena
ditarikan oleh kaum wanita, sedangkan untuk kaum pria adalah jenis musik lain,
ialah folaya. Kini maena telah berkembang dalam arti bahwa yang menarikan
tidak hanya kaum wanita saja tetapi juga kaum pria. Maena atau sering disebut
dengan tarian maena merupakan suatu bentuk tarian yang dinyanyikan oleh
sekelompok orang yang setiap syair dan kata-kata yang diucapkan memiliki
makna. Maena merupakan sebuah tarian yang sangat mudah dan sederhana, tetapi
mengandung makna kebersamaan, kegembiraan, kemeriahan, yang tak kalah
menariknya dengan tarian-tarian yang ada di Nusantara.
Tarian maena merupakan suatu bentuk sarana hiburan dalam suatu upacara
upacara yang dilakukan tidak hanya di Gunung Sitoli. Oleh karena maena
merupakan sarana hiburan, hal itulah yang membuat semua orang dapat menyatu
dan menjadi akrab antara satu keluarga dengan keluarga lain tanpa membedakan
latar belakang dan status sosial orang-orang yang mengikutinya.
140
Maena merupakan suatu bentuk tradisi tarian yang sudah dijunjung tinggi
oleh masyarakat Nias, sehingga tarian maena tersebut sudah menjadi hal yang
akan ditampilkan di dalam setiap acara pesta tersebut. Tradisi yang sudah menjadi
turun-temurun dan sudah menjadi pelengkap dalam setiap upacara upacara adat
masyarakat Nias khususnya dalam upacara pesta perkawinan, maka sepertinya ada
yang kurang lengkap dan kurang sempurna acara tersebut jika tanpa tarian maena.
Mereka memiliki sebuah tarian tradisional yang sejak dulu hingga kini tetap
ditarikan yakni tari Maena. Suku Nias menjadikan tari Maena sebagai tarian
kolosal yang penuh sukacita. Tari Maena seringkali menjadi pertunjukan hiburan
ketika suku Nias menyelenggarakan pesta pernikahan adat. Dalam upacara
pernikahan adat, pertunjukan tari Maena diselenggarakan ketika mempelai lelaki
tiba di rumah mempelai wanita. Tarian ini ditarikan oleh keluarga dari pihak
mempelai lelaki untuk memuji kecantikan mempelai wanita dan kebaikan
keluarga pihak wanita. Setelah mempelai lelaki, keluarga dari mempelai wanita
pun menyambut kedatangan keluarga pihak lelaki dengan menyelenggarakan tari
Maena.
Tarian ini menjadi simbol untuk memuji mempelai lelaki beserta
keluarganya. Sesekali, tari Maena menjadi tari penyambutan tamu kehormatan
yang berkunjung ke Pulau Nias. Dalam sebuah pertunjukan, tari Maena ditarikan
oleh beberapa pasang penari lelaki dan wanita. Dari awal hingga akhir
pertunjukan, gerakan tari Maena didominasi dengan perpaduan gerak tangan dan
kaki. Gerakannya terlihat sederhana namun tetap penuh semangat dan dinamis.
Kesederhanaan gerakan itulah yang membuat siapa saja termasuk anda dapat
menjadi penari tari Maena. Tidak ada batasan berapa jumlah penari Maena.
Semakin banyak peserta tari Maena, maka gerakan tari Maena semakin terlihat
141 semangat. Daya tarik utama dari tari Maena yakni lantunan beberapa rangkaian
pantun maena. Pantun Maena disampaikan oleh satu atau dua orang pemain yang
dalam bahasa Nias disebut Sanutunõ Maena. Tidak semua orang dapat menjadi
Sanutunõ Maena. Seorang Sanutunõ Maena harus fasih berbahasa Nias.
Biasanya, yang menjadi Sanutunõ Maena adalah tetua adat atau sesepuh
suku Nias. Isi pantun disesuaikan dengan waktu pertunjukan tari Maena
dipertunjukkan. Ketika tari Maena diselenggarakan pada pesta pernikahan, pantun
biasanya berisi kegembiraan dan doa untuk kedua mempelai. Namun ketika tari
Maena dijadikan tari penyambutan tamu kehormatan, pantun Maena
menggambarkan rasa hormat warga Nias kepada tamu. Pantun Maena biasanya
disampaikan pada awal pertunjukan.
Setelah Sanutunõ Maena menyampaikan beberapa bait pantun, pertunjukan
tari Maena dilanjutkan dengan nyanyian berbahasa Nias. Dengan lantang, para
penari Maena menyanyikan beberapa syair lagu yang isinya disesuaikan dengan
tema acara. Mulai dari awal penyampaian, lirik lagu dalam pertunjukan tari
Maena tetaplah sama dan disampaikan secara berulang. Syair lagu itulah yang
mengiringi gerakan para penari Maena hingga pertunjukan tari Maena usai.
Tarian maena sebenarnya tidak menjadi suatu keharusan, bahwa dengan
tidak adanya maena maka upacara tidak dapat berlangsung, hanya saja tanpa
adanya tarian maena sepertinya ada sesuatu hal yang hilang dari makna upacara
adat tersebut.
Dalam memimpin dan membawakan tarian maena ada 2 bagian yang harus
diketahui sebelum maena di mulai yakni penutup syair atau sering dikenal dengan
Sanutunõ Maena, syair tersebut terdiri dari 1 (satu) atau 2 (dua) orang dan yang
lainnya atau peserta tarian disebut Sanehe Maena.
142
Tarian maena di Nias merupakan suatu bentuk tarian yang menjadi warisan
budaya dan sudah menjadi turun temurun dan dijunjung tinggi oleh masyarakat
Nias. Bahkan di dalam setiap acara yang ada di Nias, Tarian maena inipun
alangkah sangat baik jika diadakan. Sehingga bagi masyarakat Nias sendiri
mempelajari tarian maena tersebut merupakan hal yang lumrah dan berlangsung
secara alamiah dari generasi ke generasi selanjutnya.
Di masyarakat Nias sendiri, lagu-lagu maena terdapat beberapa maena atau
jenis-jenis lagu yang mempunyai tema lagu yang berbeda-beda juga. Contohnya
ada lagu maena yang digunakan untuk menyambut tamu, lagu maena yang
dipakai pada saat menyuguhkan sekapur sirih dan lagu maena yang berisikan
pantun-pantun yang bersifat menyindir tentang kehidupan sosial di tengah-tengah
masyarakat dan lain-lain.
Adapun syair-syair maena yang digunakan di dalam proses pernikahan adat
Nias sebagai berikut :
Syair-syair maena
Dalam acara pernikahan adat masyarakat nias, terdapat beberapa lagu lagu
yang dinyanyikan ketika maena akan dipertunjukkan. Beberapa contoh lagu yang
akan dinyanyikan di hari pernikahan masyarakat Nias adalah sebagai berikut :
1. Maena Fanema’ö Tome (Penerimaan tamu)
2. Maena Fangandrõ Roko (Meminta rokok dari pengantin pria)
3. Maena Famalega Afo (Maena pengantar penganten pria menyerahkan sirih)
143
1. He tome khõma ba hadi ba hada /Hai tamu kami yang telah hadir disini
He tome khõma zalua baolayama /Hai tamu yang telah datang di halaman rumah
2. Hawaso ami ae sihulõ mbala /Kenapa kalian datang seperti kilat
Hawaso ami wa tola alua /Kenapa kalian datang, apa gerangan
3. Hana wamigamõ-gamõ moroisa /Apa tujuan kalian datang ke sini
Hana wa fulõi dodo rõga-rõga /Kenapa kalian datang tergesa-gesa
4. Ba mi sõsõ hili sihai zumbila /Kalian datang menempuh gunung yang tinggi
Ba misui hili sihai gatawaena /Kalian datang menempuh lembah yang terjal
5. Wa mi’õtõ mbalõ molõ sotu’a /Kalian menyeberangi banjir yang keruh
Ba mituhi dalu namõ sabakha /Kalian datang mengarungi danau yang dalam
6. Oi abõlõ khõmi zakela-kela /Yang pincang pun serta merta menjadi kuat
Oi alio khõmi zani’o tugala /Yang bertongkat pun menjadi cepat
7. Wamisawõ sa’ae duhe si dõfa/Kalian lalui penghalang yang tinggi
Wa misui sa’ae duhe silalu’a /Kalian lalui penghalang yang terjal
8. Wamihulõ wa’atumbu zibaya /Kalian berangkat sebelum matahari terbit
Wami sui wia solo moroi raya/Kalian berangkat membawa obor
9. Wa’oi fao khõmi ngawawa Zalawa/Bersama kalian para tetua adat
144
Wa’oi fao khõmi sa ngawawa Duh /Bersama kalian semua orang penting
10. Wa’oi fao khõmi zi lito talinga /Bersama kalian, yang bertelinga panjang
Wa’oi fakhõmi za gabõlõ tõla /Bersama kalian, orang berbadan tegap
11. He tome khõma salua baolayama /Hai tamu yang telah datang
He tome khõma salua sitolata /Hai tamu yang datang di halaman
12. Wa’õ ae naso dodo na alua /Katakan lah maksud kedatangannya
Wa’õ ae naso dodo era-era /Katakanlah apa kata hati anda
13. Be’e wehedeU khõma sisambua /Katakanlah sepatah kata
Be’e liU khõma fao wangona-ngona / Berikanlah sebuah pesan
14. Da’ubato ua khõda maena da’a /Saya akhiri dulu maena ini
Akha ifatohu tana ga’ada /Biarlah diteruskan oleh yang lain
15. Datafalali tabe zi sambua /Mari kita ganti dengan maena lain
Maena sisambua fondrara dõdõda / Maena yang menghibur hati
Fanema’õ Tome merupakan upacara penyambutan selamat datang kepada
dari pihak keluarga perempuan kepada pihak tamu laki-laki. Ucapan penyambutan
ini bermaksud untuk menghargai pihak laki-laki yang telah hadir. Didalam
penyambutan ini, pemimpin maena akan melantunkan kata-kata penyambutan
yang bersifat menyambut dan berbalas pantun. Hal ini dilakukan oleh kedua-belah
pihak agar terjalin hubungan yang akrab antara satu dengan yang lain.
145
Terjemahan bebasnya:
Massa : Berikan jalan untuk ipar kita (mempelai Pria) untuk memberikan
rokok ke kita, rokok yang harganya seribu perbatang, kami tidak
menghisap kalau piace (merokok murah) hanya Surya, tapi rokok
Gudang Garam itu rokok yang kami suka
Penyair : Lihatlah ipar kita datang, dia datang menyerahkan rokok ke kita dan
seterusnya hingga beberapa bait berikutnya
Hal ini dilakukan di dalam setiap upacara pernikahan adat. Hal ini berupa
kebiasaan adat yang sudah menjadi turun temurun. Tujuan fangandrõ roko ini
ialah untuk menghormati para tamu yang telah hadir. Fangandrõ roko ini
biasanya seiring dengan pemberian sekapur sirih kepada para tamu. Sebelum
melakukan fangandrõ roko, biasanya pemimpin di antara kedua pihak antara
pengantin laki-laki dan pengantin perempuan berbalas pantun. Setelah itu
fangandrõ roko dilaksanakan sambil diiringi dengan lagu-lagu maena seperti di
atas.
146
1. Ba yae mbola numõnõ simõi molemba /ini nampan sirih menantu
Habola fa’anumana-habola fa’anumana / hanya nampan seadanya
Ha bulu mbagoa /hanya sekapur sirih
2. Ya’ami ira Ama, ya’ami ira Ina /Bapak Ibu
147 Lõhadõi sumangemi-lõhadõi sumangemi /tidak ada penghormatan
Sumangemi moroi khõma / penghormatan dari kami
3. Mibologõ dõdõmi nalõ hadõi sumangemi /maafkan, kalau tidak ada penghormatan
4.Meno arõrõ ndra’aga-meno arõrõ ndra’aga /karena kami sibuk
Ba wangalui soguna / mencari keperluan pesta
5. Ba awai nõsi mbola õsi mbola numõnõmi/tidak ada isi kantong sirih menantu ini
6. Ha si’ai afosili-hasia’ai afosili /hanya sekapur sirih
Afo silima endronga / dibuat bersamaan (daun sirih, pinang, tembakau, gambir,
dan kapur sirih)
Hatambai dawuo, ha tambai wino / hanya separuh daun sirih, hanya separuh
pinang
Hasagõrõ mbulu gambe sataha /hanya sehelai gambir mentah
Ba sara femanga bago betua /hanya seikat tembakau
Awai nõsi mbola menumana /hanya itu isi kantong sirih, karena kami miskin
Ba mibologõ dõdõmi me lõ oi dozi farugi maafkan kami karena tidak kebagian
semua
Nõsi mbola numõnõmi me no niha sibasaki/isi kantong sirih, karena kami
orang susah
1. Ae he ya’ugõ umõnõ ae be mbolaU ba khõ Ninau Matuamõ
Hai menantu, berikan sekapur sirih ke Ibu Mertuamu
2. Ae he ya’ugõ umõnõ ae be mbola ba khõ Nina Fahuwusa
Hai Menantu, berikan sekapur sirih untuk Istri Pamanmu
3. Ae he ya’ugõ umõnõ ae be mbola ba khõ Nina Fa’iwasa
Hai Menantu, berikan sekapur sirih ke Istri Bapak Tuamu
4. Ae he ya’ugõ umõnõ ae be mbola ba khõ Ga’au Fadonosa
148
Hai Menantu, berikan sekapur sirih ke Istri Abang Sulungmu
5. Ae he ya’ugõ umõnõ ae be mbola ba khõ Gaweu Fahuwusa
Hai Menantu, berikan sekapur sirih ke Nenek (ibu dari ibu mertua)
6. Ae he ya’ugõ umõnõ ae be mbola khõ zibayau sisagõtõ
Hai Menantu, berikan sekapur sirih ke Pamanmu
7. Ae he ya’ugõ umõnõ ae be mbola ba khõ Ninau Samatõfa
Hai Menantu, berikan sekapur sirih ke Istri perantara pernikahanmu
8. Ae he ya’ugõ umõnõ ae be mbola khõ zohalõwõ ba Agama
Hai Menantu, berikan sekapur sirih ke pekerja Agama
9. Ae he ya’ugõ umõnõ ae be mbola khõ Namada Salawa Hada
Hai Menantu, berikan sekapur sirih ke Pengetua Adat
149
BAB V
STRUKTUR MUSIKAL
5.1 Transkripsi Teks dan Melodi Lagu
Notasi musik tradisional yang terdapat pada masyarakat Õri Laraga,
hingga saat ini notasinya belum pernah ditetapkan ada yang membuatnya dalam
dokumen. Mungkin untuk masa-masa yang akan datang dapat diciptakan oleh
para musisi-musisi, seniman atau para komponis. Selama ini para seniman lokal
masih menggunakan notasi musik internasional yaitu not balok dan atau not angka
sesuai dengan yang dilakukan oleh seniman-seniman lainnya.
Langkah-langkah yang ditempuh oleh penulis untuk mentranskripsi teks
lagu Fanema’o Tome yaitu dilakukan dengan cara menggunakan videografi. Pada
saat pelaksanaan upacara penyambutan tamu adat terhormat di Gunung Sitoli Bias
Utara. Selanjutnya memindahkannya ke dalam bentuk sistem notasi balok
(preskriptif), yaitu pencatatan bunyi musikal ke dalam lambang notasi. Hal ini
dilakukan untuk mempermudah melakukanan validasi musik. Pada umumnya
notasi seperti ini digunakan sebagai petunjuk untuk membantu para pemusik atau
penyaji supaya ia dapat mengingat pada garis paranada atau dari not angka
(deskriptif), yaitu bunyi musikal ke dalam lambang notasi (konvensional barat)
secara detail menurut apa yang dapat ditangkap oleh indera pendengaran.
Musik vokal pada maena berupa susunan pantun yang dinyanyikan atau
disuarakan oleh sanutunö maena (pemimpin maena) yang dipimpin oleh satu atau
dua orang. Sanutunö maena juga dapat dipimpin oleh satu orang saja namun yang
menjadi pimpinannya ialah seorang perempuan. Apabila sanutunö maena dua
150 orang, maka yang satu perempuan dan satu lagi laki-laki dan terkadang juga dua-
duanya dipimpin oleh perempuan
Ada dua hal yang perlu diperhatikan oleh penulis dalam tulisan ini yakni
antara sanutunö maena (pemimpin) dengan sanehe atau ono maena (peserta
maena), sanutunö maena berpisah tempatnya ataupun terkadang juga bisa gabung
dengan sanehe atau ono maena tetapi pada umumnya selalu berpisah. Sanehe (ono
maena) merupakan orang yang menyanyikan syair maena yang bersifat tetap dan
terus diulang-ulang oleh peserta maena setelah sanutunö maena menyanyikan
syair yang berupa susunan pantun-pantun sampai berakhirnya maena tersebut
(strophic). Fanutunö maena (syair maena) yaitu suatu lirik yang dibacakan oleh
sanutunö maena (orang yang membacakan syair maena). Syair maena berisi
tentang kegiatan dalam hal ini pesta perkawinan dan syair maena disuarakan oleh
orang banyak yang ikut dalam maena yang disebut dengan ono maena atau
fanehe maena (peserta maena). Pada maena, tidak dibatasi siapa-siapa saja yang
ikut dalam pertunjukannya, laki-laki dan perempuan dapat melakukan tari maena
ini. Sanutunö maena dengan sanehe maena saling bersahut-sahutan (call and
response), ada yang memimpin dan ada koor yang dinyanyikan secara bersamaan
oleh penyaji maena.
Hasil transkripsi musikal dari lagu maena ini selengkapnya dapat dilihat
pada notasi berikut ini.
151
Fanema’o Tome
Cipt : NN Transkriptor: Erizon dan Eliyaman Zebua
Moderato =100
Berdasarkan transkripsi lagu di atas maka penulis membagi setiap bagian
melodi menjadi beberapa frase dalam rangka mengkaji formula-formula
melodinya. Frase tersebut di gambarkan sebagai berikut:
Frase A1
Frase A2
Frase B1
Frase B2
152
5.2. Analisis Melodi Maena 5.2.1 Tangga nada
Berdasarkan notasi di atas dapat diketahui bahwa tanga nada maena adalah tangga
nada yang dekat kepada diatonik, atau dalam satu tangga nada terdiri dari tujuh
nada (heptatonik). Nada-nada anggotanya adalah: g, a, b, C, D, E, F, dan G.
Dalam musik barat, tangga nada yang seperti ini lazim disebut dengan tangga
nada C mayor. Pola jarak nadanya dari C sampai ke C adalah 1-1-1/2-1-1-1-1/2
laras atau kalau dalam sistem cent adalah 200-200-100-200-200-200-200-100
cent. Dekatnya struktur tangga nada maena ini dengan C mayor barat,
kemungkinan besar, berakulturasi dengan budaya barat, dan masuknya Kristen ke
Nias yang dibawa oleh Denninger 1850.
5.2.2 Nada dasar
Dengan menggunakan kriteria tangga nada yang lazim digunakan dalam
etnomusikologi, maka nada dasar nyanyian maena ini, dapat ditentukan sebagai
berikut.
1. Nada yang sering dipakai dan nada yang jarang dipakai dalam satu
komposisi. Berdasarkan analisa penulis bahwa nada yang sering dipakai
adalah nada E, D dan C serta nada yang jarang dipakai adalah nada b
2. Terkadang nada-nada yang harga ritmisnya besar dianggap nada dasar,
biarpun jarang dipakai. Nada yang harga ritmisnya besar adalah nada C.
153
3. Nada yang dipakai pada awal komposisi, atau pada akhir bagian-bagian
komposisi, dianggap memiliki fungsi penting dalam tonalitas tersebut.
Dari hasil transkripsi terlihat nada E muncul pada awal komposisi, nada F
muncul pada akhir komposisi.
4. Nada yang menduduki posisi yang paling rendah dalam tangga nada
ataupun posisi pas di tengah-tengah dapat dianggap penting. Nada tersebut
adalah nada g, nada tersebut berada pada posisi yang paling rendah dan
bila dilihat dari keseluruhan nada bahwa nada C juga berada pada posisi di
tengah dari keseluruhan urutan nada.
5. Interval-interval yang terdapat antara nada, kadang-kadang dipakai sebagai
patokan. Misalnya, bila ada satu nada dalam tangga nada seluruh
komposisi yang digunakan bersama oktafnya, sedangkan nada lain tidak
memakai oktaf. Berdasarkan analisa bahwa nada nada seperti G sering
muncul bersama dengan oktafnya.
Berikut ini adalah deskripsi nada pada lagu Fanema’o Tome.
1. Nada awal adalah E,
2. Nada akhir adalah F,
3. Nada terendah dalam komposisi adalah g,
4. Nada tertinggi dalam komposisi adalah G
5. Nada terbesar adalah C dengan nilai 3 ketuk,
6. Nada terkecil adalah D, E, F dan G yaitu ½ ketuk.
5.2.3 Wilayah nada
Wilayah nada adalah daerah (ambitus) dari nada yang frekuensinya
paling rendah sampai pada frekuensi nada yang paling tinggi. Dari hasil
transkripsi di atas, maka diperoleh ambitus suara dariFanema’o Tome, sebagai
154 berikut:
Jarak wilayah nada nya adalah satu oktaf atau 1200 cent atau 6 laras (langkah).
5.2.4 Jumlah nada
Untuk menentukan jumlah nada pada teks lagu Fanema’o Tome, penulis
menghitung jumlah terbanyak kemunculan setiap nada dan menghitung jumlah
durasi komulatif. Jumlah nada yang terdapat pada teks lagu Fanema’o Tome,
sebagaimana terlihat di bawah ini.
Nada Jumlah
C 10
D 14
E 15
F 5
G 11
B 1
G 1
Tabel 5.1 Jumlah Nada
Dari tabel di atas terlihat bahwa nada yang paling sering muncul adalah E,
kemudian disusul oleh nada D, G, C, F, dan yang paling jarang adalah b dan g
yang hanya satu kali saja muncul dalam lagu ini.
155 5.2.5 Interval
Interval yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah jarak antara nada
yang satu dengan nada yang lainnya dalam satu komposisi musik. Sistem
pengukuran pada interval disebut “laras” dengan alat ukur cent.
Ada dua jenis interval pada teks lagu Fanema’o Tome, yaitu melangkah
(conjunct) dan melompat (disjunct). Analisis interval penulis lakukan dengan
menghitung setiap interval dari bawah ke atas atau yang naik maupun yang turun.
Seperti di bawah ini.
Interval Jumlah
Prime 13
Sekunda Mayor 20
Sekunda Minor 6
Ters Mayor 5
Ters Minor 5
Kuart Prime 2
Kuint Prime 3
Sekt Mayor 1
Tabel 5.2 Interval
Interval yang paling sering muncul adalah sekunda mayor, disusul oleh prime,
sekunda minor, ters mayor, ters minor, kuint prime dan kuart prime, dan yang
hanya muncul sekali saja adalah sekt mayor.
5.2.6 Kontur
Menurut William P.Malm yang diterjemahkan oleh Muhammad Takari,
(1993:8-10), bahwa kontur adalah garis suatu lintasan melodi dalam sebuah lagu
yang dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis, sebagai berikut:
156 1. Ascending (menaik),yaitu garis melodi yang bergerak naik dari nada yang
rendah ke nada yang tinggi.
2. Descending (menurun), yaitu garis melodi yang bergerak turun dari nada
yang tinggi ke nada yang rendah.
3. Pendulous, yaitu garis melodi yang bergerak dengan membentuk
lengkungan.
4. Terraced, yaitu garis melodi yang membentuk gerakan berjenjang seperti
anak tangga.
5. Statis, melodi yang gerakan-gerakan intervalnya terbatas atau garis melodi
yang bergerak datar atau statis.
Dari kelima jenis kontur di atas, maka kontur pada sampel lagu maena adalah
kontur ascending, Descending, Pendulous, dan Terraced.
Pada transkripsi teks lagu Fanema’o Tome, terlukis kontur, descending,
pendulous, statis. Seperti di bawah ini:
X G F E D C Y
Tabel 5.3 Kontur Lagu Fanema’o Tome
Keterangan: - Garis x menujukkan nama nada - Garis y menunjukkan nilai nada
157
- Tiap kotak mewakili nilai not ½ ketuk - Perbedaan warna kotak menunjukkan perbedaan nada
5.2.7 Formula
Bentuk (form) adalah bentuk komposisi musik yang hanya dikaitkan
dengan jalur utama melodi atau bunyi. Menurut Malm (1977), bentuk (form)
dapat dibagi dalam beberapa jenis yaitu:
1. Repetitive, yaitu bentuk nyanyian atau lagu yang diulang-ulang
2. Literative, yaitu bentuk nyanyian atau lagu yang memakai formula melodi
yang kecil dengan kecenderungan pengulangan-pengulangan dalam
keseluruhan nyanyian.
3. Reverting, yaitu bentuk nyanyian atau lagu yang terjadi pengulangan pada
frase pertama setelah terjadi penyimpangan melodis
4. Progressive, yaitu bentuk nyanyian atau lagu yang terus berubah-ubah
dengan menggunakan materi melodi yang selalu baru
5. Strophic, yaitu bentuk nyanyian atau lagu yang diulang dengan formalitas
yang sama tetapi teks nyanyian yang selalu baru.
Jika dilihat dari perjalanan melodi yang terdapat pada lagu diatas, maka jenis
formula melodi yang terdapat adalah jenis melodi Repetitive karena setelah
didengar dan dianalisis lagu yang dimainkan, terjadi pengulangan melodi yang
sama tetapi ada yang berubah di dalam pengualngan tersebut yaitu pengulangan
melodi tersebut disertai dengan nada harmoni tiap melodi. Bentuk dari formula
melodi dapat dilihat sebagai berikut.
Frase A1 – A1 – B1 – B2
kemudian diulang lagi dengan bentuk yang sama
Frase A1 – A1 – B1 – B2
158 5.2.8 Kadensa
Menurut Malm (1977:8), kadensa adalah penggarapan nada-nada akhir
setiap bentuk melodi. Penulis menggunakan 3 atau 4 nada terakhir dari tiap frase
untuk menunjukkan pola-pola kadensa. Adapun pola kadensa yang terdapat dalam
lagu Fanema’o Tome adalah sebagai berikut
Frase A1
Frase 1B
Frase 2A
Frase 2B
159
BAB VI STRUKTUR TARI MAENA
6.1 Maena
Seandainya kita melihat ke belakang mengenai sejarah tarian maena ini, entah
sejak kapan maena ini dikenal oleh masyarakat Nias. Banyak para arkeolog juga
menyatakan bahwa mereka belum pernah baca literatur atau laporan hasil
penelitian mengenai asal muasal budaya yang masyarakat Nias banggakan ini.
Namun yang pasti, bahwa hanya suku Nias yang memiliki produk budaya tarian
yang dikenal orang dengan sebutan maena dan tarian ini tidak ditemukan pada
etnis manapun di dunia ini. Oleh sebab itu selayaknya kita bangga untuk
mempertunjukkan maena kapanpun dan dimanapun.
Satu hal yang patut kita kagumi adalah kearifan para leluhur kita ketika
melahirkan sebuah karya budaya bernilai tinggi yaitu maena. Para leluhur
mencipta tanpa meniru atau mereduksi produk budaya suku lain, karena memang
pada masa lampau Nias sangat terisolir, tidak ada alat telekomunikasi dan
informasi seperti sekarang ini. Interaksi dengan dunia luar Nias sangat terbatas,
hanya bisa menggunakan sampan sebagai alat transpotasi untuk mengharungi
lautan luas ketika ingin merantau. Kalaupun ada yang berhasil merantau, maka
maena-pun tidak ditemukan di daerah lain. Jadi, kita sangat yakin bahwa maena
adalah hasil daya cipta leluhur Nias yang diwariskan kepada kita secara turun-
temurun.
Apabila maena dilaksanakan sesuai dengan aslinya, maka maena menjadi seni
dan sastra bernilai tinggi serta memuat pendidikan karakter manusia Nias. Metode
pendidikan karakter yang diperadapkan leluhur melalui maena adalah khas,
karena maena mengandung berbagai makna, antara lain:
160
1. Maena membangun kebersamaan, bukan maena namanya jika hanya
dinyanyikan atau ditarikan oleh satu orang saja. Maena hanya terlihat dan
terdengar indah jika dilakukan secara bersama-sama. Semakin banyak orang
yang menari bersama dengan gerak yang sama pula, serta menyanyikan
syair secara serentak maka maena itu semakin indah. Dalam tarian maena
dapat membaur laki-laki dan perempuan, tua, muda atau anak-anak bahkan
tamu dapat diajak sebagai sarana adaptasi dan keakraban. Jadi, maena
adalah sarana mendidik jiwa orang Nias untuk hidup dalam kebersamaan,
persaudaraan, kegotongroyongan. Out come dari tradisi maena pada
akhirnya adalah terciptanya rasa damai dan ketenteraman di tengah-tengah
masyarakat. Manfaat itu mungkin tak pernah kita sadari, bahkan juga oleh
pemerintah kita sampai sekarang.
2. Maena adalah sebuah tarian. Tarian Gangnam Style yang mendunia
sebenarnya adalah tarian biasa dan sederhana. Gangnam Style digemari tua
dan muda karena dikemas dengan gerakan sederhana tapi kocak, diiringi
music yang ceria serta ditarikan oleh artis-artis cantik dan sexy, disajikan
pula dengan seni klip yang menggugah. Tarian seperti ini bisa berumur
pendek di hati para penggemarnya, cepat pudar diingatan kemudian lenyap
karena membosankan. Tidak demikian halnya dengan maena, gerak aslinya
yang lunglai menggambarkan kelemahlembutan manusia Nias, manusia
Nias tidak hidup dalam kekerasan tetapi hidup dengan sikap yang tegas
tetapi santun. Beragam gerak maena dapat dilakukan secara otomatis
berkesinambungan, misalnya gerak kaki segi-4 ke gerak segi-3, kemudian
membentuk lingkaran dan selang seling atar barisan yang satu dengan
barisan yang lain. Gerak maena yang dapat dilakukan dengan berbagai
161
variasi dan konfigurasi itu menggambarkan betapa manusia Nias hidup
dinamis dan kreatif, tidak pasif tetapi aktif meraih sebuah kesuksesan,
menggapai sebuah cita-cita. Sungguh luar biasa daya cipta leluhur kita
untuk mendidik kaum keturunannya dengan cara yang tak pernah kita
sadari.
3. Maena adalah nyanyian. Menyanyi adalah mengungkapkan isi hati disertai
dengan expresi yang menggambarkan kandungan arti dari nyanyian itu.
Lagu Maena (Fanehe Maena) yang dinyanyikan bersama-sama itu adalah
ungkapan jiwa secara bersama-sama untuk disampaikan kepada pihak lain
(pendengar) dan pihak lain meresponsnya sesuai dengan makna syair yang
dinyanyikan. Menyanyi bersama ini juga menggambarkan
kebersamaan/kekompakan, keagungan dan hidup seia-sekata manusia Nias,
dalam arti kebaikan. Misalnya, syair maena “Ma’owai sa ami ba dōi maena
ba dōi laria fefu dome salua ba olayama” (maena fangowai). Syair ini
menggambarkan betapa orang Nias sangat menghargai orang lain atau
tamunya. Manusia Nias itu ramah dan suka menyapa serta menghormati
tamunya layaknya seorang raja. Sang tamupun merasa terhormat, memiliki
harga diri dan kebanggaan. Masih adakah jiwa saling menghormati di antara
manusia Nias saat ini?
Lain lagi dengan syair berikut “Lumana-lumana mbanuama ba da’a mobōhō
mbalō mbanua mo õtõ ae golayama” (maena mbanua zowatō na tohare dome
banua bō’ō). Lagu ini merendahkan diri di hadapan tamu mereka, walaupun
sesungguhnya tidak demikian kenyataannya.Ini juga mendidik manusia Nias
untuk menjauhi keangkuhan, baik pribadi maupun kelompok. Manusia Nias harus
162 menghindari pamer kekayaan dan kepintaran karena hal itu akan mencerai
beraikan kesatuan dan persaudaraan kita.
Jika hal-hal negatif seperti tidak saling menghormati, ada keangkuhan,
pamer harta dan lain-lain telah muncul di tengah-tengah masyarakat kita sekarang,
maka para tokoh masyarakat Nias, tokoh adat, tokoh agama dan pemerintah
daerah segeralah didik masyarakat kita dengan metode nenek moyang kita.
Gelorakan Maena sebagai budaya yang benar-benar hidup di rumah kelahirannya
sendiri, bangkitkan kebanggaaan anak-anak Nias atas budayanya sendiri dan
paling penting adalah sarana pendidikan karakter anak bangsa yang diwariskan
kepada kita harus kita lestarikan.
4. Bertutur maena adalah bersastra. Seorang penutur Maena menyanyikan
syair-syair maena yang dikarangnya sendiri ataupun yang dikarang oleh orang
lain, selalu menggunakan peribahasa, perumpamaan, kata-kata bersajak
sebagaimana sebuah karya seni sastra. Seorang ahli mengarang syair maena
sekaligus mampu menjadi penutur maena biasa disebut Guru Maena, sedangkan
penutur pada waktu maena sedang berlangsung kita sebut Sanunō Maena.
Menjadi seorang guru maena yang mampu menciptakan dan menuturkan
syair, hanya dimungkinkan oleh orang-orang yang berjiwa seni, berpikiran jernih
dan sederhana. Ia mampu jadi teladan dalam hidup keseharian dan menjadi idola
bagi orang lain karena kelebihan yang dimilikinya. Karena guru maena adalah
idola dan teladan, maka tidak semua orang dapat menjadi guru maena, mereka
terseleksi secara alami.
Syair-syair maena yang dituturkan boleh berarti macam-macam sesuai
dengan konteks atau momentum yang sedang berlangsung. Boleh memuji-muji
pihak lain seraya merendahkan diri, mungkin juga menyampaikan permohonan,
163 nasehat, pesan-pesan atau pernyataan keceriaan bersama. Semua dapat
disesuaikan secara arif oleh para guru maena, sesuai dengan kebutuhan. Simak
syair berikut:
He ōbe’e mbawi ba kefe Ba lō ube’e khōu
nono wune Awai zowōlō-ōlō ba hele Awai
zalio-lio na so dome
Syair di atas adalah pernyataan sayang melepaskan seorang anak gadis
untuk dinikahi oleh seorang laki-laki, kendatipun diberikan jujuran berupa babi
dan uang. Cara menyampaikannya halus, santun dan bersastra. Sang gadis
digambarkan sebagai burung nuri yang cantik, pintar dan rajin. Tentu saja
karena disayangi dan berat untuk dilepas dari lingkungan keluarga. Syair ini
juga menasehatkan gadis Nias agar rajin membantu orangtua, jadikanlah
dirimu sebagai anak yang berharga laksana burung nuri dan disayangi oleh
siapapun karena kebaikan budimu.
Masih adakah guru maena di kampung-kampung sekarang di Nias?
Jika sudah langka, maka betapa malangnya kita sebagai orang Nias jika suatu saat
nanti benar-benar kita kehilangan total. Sebelum terlambat hendaknya berbagai
elemen masyarakat mencari terobosan-terobosan baru untuk menghidupkan
budaya maena yang mulai redup di hati pemiliknya sendiri, yakni manusia Nias.
Kepada kaum cendekiawan muda sangat dianjurkan untuk melakukan
penelitian tentang maena, baik asal mulanya, atau manfaat maena dalam
kehidupan bermasyarakat di Nias, maupun upaya terbaik yang harus dilakukan
untuk menghidupkannya di hati kita sebagaimana hidup di hati leluhur kita.
164 6.2 Tari maena
Tariannya dipolakan dengan gerakan yang membentuk segi empat dan
dalam pertunjukannya bermakna kegembiraan dan kemeriahan suatu acara yang
dilangsungkan. Maena tidak terlepas dari tari yang saling mempengaruhi antara
nyanyian dengan tari. Di dalam tari ada gerakan, yang gerakannya membentuk
segi empat (öfasagi) dan kaki membentuk segi tiga (tölu sagi), kedua lengan
diayunkan ke depan dan ke belakang sehingga selama pertunjukan maena gerakan
inilah yang terus diulang-ulang dari awal hingga berakhirnya pertunjukan.
Gerakan pada maena tidak terlalu banyak dan sangat mudah untuk dipelajari,
tetapi pada pertunjukannya harus memiliki kekompakan gerakkan tersebut
walaupun dikatakan mudah namun dari sekian banyaknya jumlah penyaji maena
ini yang diperlukan ialah kekompakan, selain itu gerakan maena berputar ke arah
kiri.
6.3. Gerakan Tarian Maena
Tari merupakan suatu gerak sekelompok manusia secara bersama-sama
dalam irama yang sama, hampir di seluruh daerah memiliki bermacam-macam
tari. Seperti halnya Kepulauan Nias mempunyai ciri khas budaya yang sangat unik
yakni Tari yang disebut dengan Maena.
165
Gambar 6.1 Tarian Maena dalam Pola Lantai Garis Lurus Sumber dari: Google
Maena atau tari maena adalah merupakan jenis tari kolosal yang di
praktekan secara bersama-sama oleh sekelompok Ono Niha (Orang Nias) yang di
pertunjukkan di acara seperti Pesta Pernikahan dimana hal ini bertujuan sebagai
pertanda kebersamaan dan sarana juga untuk memuji pihak mempelai perempuan
ataupun pihak laki-laki yang sedang melakukan pesta.
Dalam memperagakan tari yang melambangkan kebersamaan dan
kegembiraan ini, tidak ada batasan jumlah orang yang berperan sebagai peserta
tari, bahkan tidak jarang tamu di ajak untuk ikut bersama melakukan tarian ini
secara bersama-sama.
Sementara itu, seiring dengan kemajuan zaman, tari maena bukan hanya
di pertunjukkan pada acara pesta pernikahan saja, tapi dijadikan sebagai sarana
hiburan menari bersama, dimana selain gerakan gerak kaki yang sangat mudah
juga syair-syair yang akan dilantunkan sangat singkat dan mudah sehingga setiap
orang dalam beberapa menit dapat memperagakannya.
Bagi para pembaca yang belum pernah melihat tarian khas Nias tari
maena, tari ini dapat di jumpai pada acara pesta pernikahan di Suku Nias (khusus
166 yang beragama Nasrani) karena suku Nias yang beragama muslim acara pesta
pernikahannya lebih mendekati budaya melayu. (Marlius).
Gambar 6.2 Gerakan Tarian Maena dalam Pola Lantai Lingkaran Sumber : Google
Tari Maena merupakan tarian yang sangat simpel dan sederhana, tetapi
mengandung makna kebersamaan, kegembiraan, kemeriahan, yang tak kalah
menariknya dengan tarian-tarian yang ada di Nusantara. Tari maena tidak
memerlukan keahlian khusus. Gerakannya yang sederhana telah membuat hampir
semua orang bisa melakukannya. Kendala atau kesulitan satu-satunya adalah
terletak pada rangkaian pantun-pantun maena (fanutunõ maena), supaya bisa
sesuai dengan event bahwa maena itu dilakukan. Pantun maena biasanya
dibawakan oleh satu orang atau dua orang dan disebut sebagai sanutunõ maena,
sedangkan syair maena (fanehe maena) disuarakan oleh orang banyak yang ikut
dalam tarian maena dan disebut sebagai sanehe maena/ono maena.
Syair maena bersifat tetap dan terus diulang-ulang/disuarakan oleh
peserta maena setelah selesai dilantunkannya pantun-pantun maena, sampai
berakhirnya sebuah tarian maena. Pantun maena dibawakan oleh orang yang fasih
bertuntun bahasa Nias (amaedola/duma-duma), namun seiring oleh
perkembangan peradaban yang canggih dan modern, pantun-pantun maena yang
167 khas li nono niha sudah banyak menghilang, bahkan banyak tercampur oleh
bahasa Indonesia dalam penuturannya, ini bisa kita dengarkan kalau ada acara-
acara maena di kota-kota besar. Maena boleh dibilang sebuah tarian seremonial
dan kolosal dari Suku Nias, karena tidak ada batasan jumlah yang boleh ikut
dalam tarian ini. Semakin banyak peserta tari maena, semakin semangat pula
tarian dan goyangan (fataelusa) maenanya. Maena biasanya dilakukan dalam
acara perkawinan (falõwa/fangowalu) dan pesta (owasa/folau õri).
Maena adalah tarian sukacita yang dikenal oleh seluruh masyarakat Nias.
Maena dapat dilakukan dengan formasi lingkaran atau formasi persegi dengan
jumlah peserta yang tidak terbatas. Dalam formasi lingkaran para peserta maena
saling berpegangan tangan, sementara dalam formasi persegi, tidak (Manhart,
2005).
Penutur dan pemimpin Maena disebut Sanutunö maena. Mereka biasanya
terdiri dari satu atau dua orang. Sementara mereka yang menyanyikan chorus
(ulangan lagu) disebut Sanehe Maena atau Ono Maena. Jumlah Sanehe Maena
tidak dibatasi, bahkan dibolehkan bergabung saat tarian Maena sedang dilakukan.
Semakin banyak jumlah Ono Maena maka akan semakin meriah pula gerakan dan
goyang (Fataelusa) tarian ini.
Sanutunö Maena biasanya memiliki kemampuan olah vokal yang baik
disertai dengan kemampuan menuturkan pantun-pantun Nias (Amaedola atau
Duma-duma). Bagian chorus dinyanyikan oleh Ono Maena sebagai balasan dari
syair pantun yang dilagukan oleh Sanutunö Maena. Hal ini dilakukan berulang-
ulang sampai Sanutunö Maena mengakhirinya.
168
Maena dulunya dilakukan tanpa alat musik, seiring dengan perkembangan
zaman, saat ini maena sering kali diiringi dengan keyboard dikombinasikan
dengan alat musik tradisional Nias lainnya seperti faritia, aramba dan göndra.
169
BAB VII
P E N U T U P 7.1 Kesimpulan
Dari uraian-uraian yang telah penulis lakukan dari BAB I-IV dalam
menganalisis tekstual musikal, dan tari Maena pada upacara falõwa di Õri Laraga kota
Gunung Sitoli, maka dalam BAB VII ini, penulis akan menarik kesimpulan, terutama
mengenai hal hal yang berkaitan (a) Rangkaian upacara pernikahan adat (falõwa)
masyarakat Õri Laraga kota Gunung Sitoli, (b) Makna lagu Maena, (c) Syair-syair
maena tersebut. Kesimpulan ini juga menjadi dasar hasil penelitian yang penulis
lakukan dalam mengkaji maena dalam kebudayaan masyarakat Õri Laraga kota Gunung
Sitoli.
a. Falõwa merupakan pesta perkawinan adat masyarakat Suku Nias di Gunung
Sitoli, Provinsi Sumatera Utara.
b. Mengenai makna lagu maena bagi masyarakat Õri Laraga kota Gunung Sitoli.
Lagu maena merupakan suatu bentuk sarana hiburan dalam suatu upacara-
upacara yang dilakukan di Gunung Sitoli. Oleh karena maena merupakan
sarana hiburan, hal itulah yang membuat semua orang dapat menyatu dan
menjadi akrab antara satu satu keluarga dengan keluarga lain tanpa
membedakan latar belakang dan status sosial orang-orang yang mengikutinya.
c. Syair maena ini menggambarkan betapa orang Nias sangat menghargai orang
lain atau tamunya layaknya seorang raja dan merasa terhormat dan memiliki
harga diri dan kebanggaan. Contohnya maena fangowai .
170 5.2 Saran
Dari sepanjang penelitian yang penulis lakukan di masyarakat Õri Laraga kota
Gunung Sitoli, penulis melihat bahwa ada beberapa harapan yang ingin penulis
sampaikan mengenai tarian maena di masyarakat Nias. Penulis mencoba
memberikan beberapa saran kepada berbagai pihak misalnya kepada:
a) Instansi Pemerintahan. Penulis berharap kedepannya pemerintah lebih
memberikan perhatian khusus kepada para masyarakat dengan membuat buku
kebudayaan mengenai tarian Maena secara khusus dikarenakan kurangnya
referensi yang membicarakan tarian maena secara spesifik. Penulis berharap
terhadap pemerintah agar dapat bersinergis dengan Dinas pariwisata di dalam
memfasilitasi dinas pariwisata dalam memperkenalkan tarian maena ke
berbagai daerah maupun negara. Misalnya dengan mengadakan penampilan
maena di luar Nias. Penulis berharap agar pemerintah lebih mendukung akses
dalam mendukung kemajuan tarian maena di mata nasional.
b. Instansi Pendidikan. Penulis berharap kepada instansi pendidikan agar dapat
bekerjasama dengan dinas pariwisata di dalam memperkenalkan tarian maena
ke ranah pendidikan. Penulis berharap kepada sekolah sekolah, maupun
universitas yang ada di Nias agar lebih membudidayakan tarian maena di
lembaga pendidikan. Penulis berharap terhadap pihak Universitas agar dapat
mengambil bagian dalam membudidayakan tarian maena. Misalnya
mengadakan seminar mengenai tarian maena, mengikuti berbagai festival
tarian untuk mempromosikan tarian maena, serta membudidayakan kepada
masyarakat mengenai tarian maena tersebut
c. Masyarakat. Penulis berharap kepada masyarakat agar lebih membudidayakan
tarian maena kepada generasi selanjutnya. Masyarakat lebih mempertahankan
171
kebudayaan dan adat yang sudah menjadi tradisi di dalam tarian maena. Penulis
berharap kepada masyarakat agar menjadikan tarian maena sebagai suatu aset
masyarakat Nias yang menjadi suatu aset yang tidak luntur oleh perkembangan
jaman saat ini.
172
DAFTAR PUSTAKA Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Cetakan I. Jakarta: Prenada Media
Group. Cristomy dan Untung Yuwono. Semiotik budaya. Penerbit : 2004 Collins English Dictionary–Complete and Unabridged © HarperCollins
Publishers, 2003. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. Dananjaya, James. 1986. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain.
Jakarta: Grafiti Pers, 1986. Furnivall, J.S. 1939. Netherlands Indie: A Study of Plural Economy. Cambridge:
Cambridge Univ. Press. Gea, Yafaowoloo. Fondrakö, Peraturan dan Hukum Adat Nias yang Menghukum.
19 Februari 2013. Diakses 4 Desember 2013. <http://sosbud.kompasiana.com/2013/02/19/fondrak-peraturan-dan-hukum-adat-nias-yang-mengutuk-536424.html>
Gea, Agus. 2013. Asesoris Adat Perkawinan Nias. (Pernah dimuat di Nias
Island.com 29 Januari 2009, dimuat kembali di website TOZ dengan penyempurnaan oleh Tim Sekretariat tanpa merubah isi).
Gulö, W. 1997. Nias : Injili–Budaya– SDM. Salatiga: Universitas Kristen
Salatiga. “Indikator Ekonomi Daerah Kabupaten Nias, bekerjasama dengan Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Moodal Kabupaten Nias dengan Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias tahun 2010, yang berisikan data-data statistik penduduk Nias.”
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Gramedia, Laia, Bamböwö.1983. Solidaritas Kekeluargaan Dalam Salah Satu Masyarakat
Desa di Nias:Jakarta. Gadjah Mada University Press. Malinowski. Teori Fungsional dan Struktural. Editor Koentjaratninggrat (1991). Malm, William P. 1977. Music Cultures of the Pacific, Near East, and Asia.
New Jersey, Englewood Cliffs: Prentice Hall.
173
Manhart, Thomas Markus. 2005. "A Song for Lowalangi - The Interculturation of Catholic Mission and Nias Traditional Arts with spesial respect to Music". National University of
“Menelusuri Sejarah Kebudayaan Ono Niha.” Diterbitkan internal oleh Pemda
Nias padan tahun 1984, yang berisi tentang Asal usul Ono niha, baik mitos, maupun penelitian ilmiah.
Merriam, Alan P. 1964. The Anthropologi of Music. Chicago: Northwestern
University Press. Nettl, Bruno. 1964. Theory and method in ethnomusicology. New York. Nuryanto, et al. 2010. “Pusaka Nias Dalam Media Warisan” (Kumpulan Artikel
dan Opini). Perwadarminta (ed.), 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. Risthina, R. Sirait, et al. “Adat dan Upacara PEerkawinan Daerah Nias.”
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Utara.1984. Soedarsono. R.M., 1977. “Tari-tari di Indonesia.” Jakarta, Proyek pengembangan
Media dan Kebudayaan. Sedyawati, Edy, 1981. Tari: Tinjauan dari Berbagai Segi. Jakarta: Pustaka Jaya. Soehartono, 1995. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia. Statistik Daerah Kota Gunungsitoli yang diterbitkan oleh Badan Statistik
Kabupaten Nias, tahun 2011, yang berisikan statistik Kota Gunung Sitoli. Takari, Muhammad. Dkk. 2008. Masyarakat Kesenian di Indonesia. Medan: Studi
Kultura, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Zebua, HS.1985. Kumpulan Catatan Upacara Perkawinan Daerah Nias. Gunung
Sitoli: Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten Nias Sumatera Utara.
174
GLOSARIUM
Afo : Sirih. Aro Gosali : Sebuah proses musyawarah yang dihadiri ketua
adat. Aramba : Alat musik yang menyerupai gong. Barasi : Gelar kebangsawanan untuk penganten putri Bola Nafo : Pemberian sekapur sirih. Bongi Zalawa : Menentukan waktu pelaksanaan pesta perkawinan
kelak. Bosi : Sistem penggolongan derajat manusia dalam adat
Nias. Bowo : Mahar. Dawa Sowanua : Orang pendatang yang telah mempunyai tanah
sendiri. Famatoro Töi : Memberi nama. Fame’e : Saat dimana keluarga perempuan memberi nasihat
kepada pengantin perempuan. Fame’e Alfo : Memberikan sirih penghormatan. Fame tou ono nihalo : Penyerahan pengantin perempuan kepada pihak
keluarga pengantin laki-laki. Falowa : Sebutan upacara adat pernikahan dalam adat Nias. Fanaba olola zumange : Sepatah kata penyerahan suguhan penghormatan . Fangowalu : Upacara perkawinan dalam adat Nias. Fanema’o tome : Penerimaan tamu. Fangaetu golola : Puncak pembicaraan pengetua-pengetua adat yang
menyatakan pernikahan telah sah. Fangandro rook : Meminta rokok dari pengantin pria. Fangaruwusi : Memperlihatkan kandungan. Fame’e laeduru : Memberikan cincin pernikahan. Fanunu manu : Membakar ayam. Famalua li : Menyampaikan hasrat. Fame’e fakhe toho : Membawa padi jujuran. Fangandro li nina : Memohon waktu dari ibu si gadis (mempelai
wanita). Fame’e : Menasihati calon pengantin. Famaola ba nuwu : Memberitahukan ke paman calon pengantin
perempuan. Famaigi mbawi walowa: Melihat babi adat jujuran. Folau mbawi : Membawa babi jujuran. Fame’e go : Memberi makan pengantin. Famuli nukha : Pengambilan pakaian . Fangowalu : Upacara perkawinan dalam adat Nias. Fantuno Maena : Syair maena.
175
Fenehe maena wangowai dome : Syair berisi sapaan. Fanou’ö olöwöta : Penyerahan bingkisan daging babi. Femanga : Acara makan dan minum. Folau bawi : Menghantarkan dua ekor babi. Fondrako : Hukum adat Nias. Fo’ere : Dukun. Gondra : Alat musik yang dimainkan dengan cara
dipukul dengan alat pemukul yang terbuat dari rotan.
Hia walangi sinada ina : Sebutan raja di salah satu daerah Nias. Interval : Jarak antara nada yang satu dengan nada lainnya. Kadensa : Penggarapan nada-nada akhir setiap bentuk melodi. Kontur : Garis suatu lintasan melodi dalam sebuah lagu. Lowalangi : Di atas langit. Maena : Tarian yang dipertunjukkan dalam upacara
Perkawinan dalam adat Nias. Maknan denotasi : Makna yang sebenarnya. Makna konotasi : Makna kiasan. Ngambato : Suami dan istri. Nidada : Tuhan. Olola huhuo : Pembicaraan adat pernikahan oleh kedua belah
pihak. Ono niha : Orang Nias. Ono maena : Peserta maena. Ofa sagi : Gerakan yang membentuk segi empat. Poliandri : Seorang perempuan yang kawin dengan lebih dari
satu orang lelaki. Salawa : Orang yang dihormati. Sanomba adu : Kepercayaan kepada patung-patung buatan
manusia baik berupa kayu maupun batu besar. Sambua alahoita : Berkumpul di bawah kayu besar. Sanatunu maena : Pemimpin gerakan maena. Sese : Lelaki. Sitenga bo’o : Kerabat. Tamburu : Alat musik yang ukurannya lebih kecil dari
gondra. Teori fungsionalisme : Teori yang menekankan pada saling
ketergantungan pada institusi-institusi pada masyarakat tertentu.
Tingkeban : Upacara tujuh bulanan dalam budaya Jawa. Tolu sagi : Gerakan yang membentuk segitiga. Tumbu : Lahir. Wilayah nada : Daerah dari nada yang frekuensinya paling rendah
176
sampai frekuensi yang paling tinggi. Ya’ahowu : Semoga diberkati.
177
LAMPIRAN 1 : DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Benyamin Harefa Pekerjaan : Ketua Lembaga Budaya Nias Kota Gunung Sitoli Umur : 66 Tahun Alamat : Kota Gunung Sitoli, Nias
2. Nama : Arozato Harefa Pekerjaan : Budayawan
Umur : 53 Tahun Alamat : Kota Gunungsitoli, Nias 3. Nama : Arosokhi Waruwu
Pekerjaan : Kepala Bagian Bidang kebudayaan Nias Umur : 48 Tahun Alamat : Kota Gunung Sitoli, Nias
4. Nama : Eliyaman Zebua, S.Si Pekerjaan : Pengurus Ikatan Keluarga Fa’omasi (IKF Mado Zebua) Medan Umur : 45 Tahun Alamat : Medan
5. Nama : Pintar Zebua, S.Pd Pekerjaan : Kepala Dinas Pariwisata Gunung Sitoli Umur : 58 Tahun Alamat : Kota Gunung Sitoli, Nias
178
LAMPIRAN FOTO-FOTO:
Nomor Inventaris : 03-0373 Nama / Name Nias : Göndra Indonesia : Gendang English : Drum Asal / Origin : Orahili-Ulunoyo, Nias Tengah Keaslian / Originality : Original Deskripsi / Description : This is bitten in a big party such as wedding party, etc. Terbuat dari batang pohon besar yang bulat yang telah dikeruk bagian dalamnya, hingga tembus sampai ke ujung sebelah. Kemudian, kedua sisinya ditutup dengan kulit kambing, diikat dengan rotan di sekeliling pinggirnya. Dipergunakan pada upacara besar (Owasa), pesta pernikahan dsb.
179
Nomor Inventaris : 03-0436 Nama / Name Nias : Aramba Indonesia : Gong English : Gong Asal / Origin : Hilimbuasi, Nias Tengah Keaslian / Originality : Original Deskripsi / Description : This is bitten in a big party such as wedding party, etc. Terbuat dari bahan kuningan. Dipergunakan pada saat ada upacara besar (Owasa), pesta pernikahan dsb. Tinggi 13,5 cm, tebal 0,5 cm dengan diameter 44 cm.
180
Nomor Inventaris : 03-0557 Nama / Name Nias : Faritia Indonesia : Canang English : Gong Asal / Origin : Telukdalam Keaslian / Originality : Original Deskripsi / Description : This is bitten in a big party such as wedding party, etc. Terbuat dari bahan kuningan. Dipergunakan pada saat ada upacara besar (Owasa), pesta pernikahan dsb. Tinggi 8,5, cm, tebal 0,4 cm dengan diameter 26 cm.
181
Foto 1. Famõzi Aramba (Dokumen Pribadi)
182
Foto 2. Foto Pengantin Nias di Õri Laraga (Dokumen Keluarga)
183
Foto 3. Baju adat Penganten :
Nias Selatan ( Õri Mazingõ) dan Nias ( Õri Laraga ) (Dokumen Keluarga)
184
Foto 4. Acara Fame’e/Famotu Ono Nihalõ (Menasehati Pengantin Putri ) (Dokumen Keluarga)
185
Foto 5. Babi Adat sedang diberi makan oleh Ibu kandung Penganten Laki-laki sebelum di antar kerumah penganten perempuan dengan ‘baju’ yang sudah
dipasangkan yang terbuat dari pilinan kulit kayu eholu (Dokumen Keluarga)
186
Foto 6. Keluarga Pengantin Pria, mengantarkan 2 ekor babi adat ke kediaman pengantin Putri dengan acara adat
(Dokumen Keluarga)
187
Foto 7. Bola Nafo ( Nampan Sirih ) ni’ohulayo
(Dokumen Keluarga)
188
Foto 8. Prosesi Mengusung/Menandu Pengantin Perempuan hinggga ke rumah Pengantin Pria, dengan payung pemberian paman dan disusul kasur dan sebuah
koper pakaian pengantin perempuan dengan latar belakang penulis (Dokumen Keluarga)
189
.
Foto 9. Prosesi mengusung/menandu pengantin perempuan ke rumah pengantin pria
(Dokumen Keluarga)
190
Foto 10. Gerakan kaki pada tarian Maena (Dokumen Keluarga)
191
Foto 11. Gerakan tangan pada tarian Maena (Dokumen Keluarga)
192
Foto 12. Foto Penulis dengan Pengantin setelah acara Pemberkatan Pernikahan di Gereja
(Dokumen Keluarga)
193
Foto 13. Penulis berfoto bersama Kepala Dinas Pariwisata Kota Gunung Sitoli, Bapak Pintar Zebua, S.Pd dan Wakil
(Dokumen Pribadi)
194
Foto 14. Penulis sedang mewawancarai Kepala Dinas Pariwisata Kota Gunung Sitoli, Bapak Pintar Zebua, S.Pd
(Dokumen Pribadi)
195
Foto 15. Wawancara dengan KADIS Pariwisata Kota Gunung Sitoli di Kantor Dinas Pariwisata Kota Gunung Sitoli
(Dokumen Pribadi)
196
Foto 16. Penulis mewawancarai Bpk. Eliyaman Zebua, S.Si (Ama Dela) (Pengurus IKF/Mado Zebua Medan)
(Dokumen Pribadi)
197
Foto 17. Penulis mewawancarai Bpk. Benyamin Harefa, Ketua LBN (Lembaga Budaya Nias) Kota Gunung Sitoli yang membantu penulis dalam menghubungkan
beberapa informan yang mengetahui kebudayaan Nias. (Dokumen Pribadi)
198
Foto 18. Penulis bersama Pegawai Museum Kota Gunung Sitoli yang membantu penulis dalam informasi mengenai Maena
(Dokumen Pribadi)
199
Foto 19. Penulis berfoto di depan Museum Pusaka Nias di Jl. Magiao Gunung Sitoli
(Dokumen Pribadi)