Luka Akibat Jatuh Dari Motor

46
1 Skenario 2 Luka Akibat Jatuh dari Motor Seorang laki-laki 30 tahun dibawa ke klinik akibat terjatuh dari motor karena GOJEK yang ditumpanginya mengerem mendadak. Pasien terjatuh dari sepeda motornya dengan posisi menyamping sehingga tangan dan kaki sebelah kanan membentur jalan. Dari pemeriksaan fisik dapat didapatkan adanya jejas ekskoriasi pada siku sebelah kanan dan bengkak serta kemerahan pada lutut. Selain itu pada ujung jari kelingking kaki kanan terdapat laserasi yang cukup dalam dan kulit sekitarnya berwarna kehitaman. Dokter mengatakan bahwa jaringan kelingkingnya tersebut dapat mengalami nekrosis apabila tidak segera diambil tindakan. STEP I Jejas : Cidera yang dialami sel apabila sel tersebut mengalami perubahan morfologi dan fungsional Ekskoriasi : Luka lecet/gores pada epidermis bersentuhan dengan benda yang permukaan tajam dan tumpul sampai ujung stratum basal Laserasi : luka pada kulit yang dipotong/dirobek, robekannya tidak teratur Nekrosis : Kematian sel yang diakibatkan adanya kerusakan sel akut/trauma terjadinya tidak terkontrol karena adanya peradangan termasuk bagian dari jejas irreversible

description

PBL semester 3

Transcript of Luka Akibat Jatuh Dari Motor

1

Skenario 2

Luka Akibat Jatuh dari Motor

Seorang laki-laki 30 tahun dibawa ke klinik akibat terjatuh dari motor karena GOJEK yang

ditumpanginya mengerem mendadak. Pasien terjatuh dari sepeda motornya dengan posisi

menyamping sehingga tangan dan kaki sebelah kanan membentur jalan. Dari pemeriksaan fisik

dapat didapatkan adanya jejas ekskoriasi pada siku sebelah kanan dan bengkak serta kemerahan

pada lutut. Selain itu pada ujung jari kelingking kaki kanan terdapat laserasi yang cukup dalam

dan kulit sekitarnya berwarna kehitaman. Dokter mengatakan bahwa jaringan kelingkingnya

tersebut dapat mengalami nekrosis apabila tidak segera diambil tindakan.

STEP I

Jejas : Cidera yang dialami sel apabila sel tersebut mengalami perubahan morfologi

dan fungsional

Ekskoriasi : Luka lecet/gores pada epidermis bersentuhan dengan benda yang permukaan

tajam dan tumpul sampai ujung stratum basal

Laserasi : luka pada kulit yang dipotong/dirobek, robekannya tidak teratur

Nekrosis : Kematian sel yang diakibatkan adanya kerusakan sel akut/trauma terjadinya

tidak terkontrol karena adanya peradangan termasuk bagian dari jejas

irreversible

STEP II

1. Apa saja macam-macam jejas ?

2. Bagaimaa penyebab jejas ekskoriasi ?

3. Bagaimana pertahanan tubuh terhadap jejas ekskoriasi ?

4. Mengapa lutut kakinya bengkak dan kemerahan ?

5. Bagaimana mekanisme nekrosis ?

2

STEP III

1. Macam-macam jejas

a. Jejas reversible

b. Jejas irreversible

c. Jejas endogen

d. Jejas eksogen

e. Jejas mekanik

f. Jejas panas

g. jejas hipoksik

2. Penyebab jejas ekskoriasi

a. trauma fisik

b. kekurangan oksigen

c. agen infeksi

d. obat-obatan

e. bahan kimia

3. Pertahanan tubuh terhadap jejas ekskoriasi

a. reaksi inflamasi

b. sistem imun dalam jaringan

4. Penyebab bengkak dan kemerahan

merupakan tanda inflamasi

5. Sel mengalami pembengkakan digerti kromatin kerusakan membran plasma dan

organel hidrolisis DNA vakuolasi oleh RE menghancurkan organel lisis sel

3

STEP IV

1. sel normal jejas reversible

ringan

adaptasi jejas sel

berat

jejas irreversible

nekrosis apoptosis

a. Jejas reversible

bisa kembali normal, terjadi perubahan membran plasma pembengkakan, dilatasi

RE, perubahan mitokondria, perubahan nuklear

b. Jejas irrreversible

tidak bisa kembali normal, kehilangan progresif fosfolipid membran, disfungsi

mitokondria, gangguan fungsi membran abnormalitas sitoskeletal, kekurangan

continuitas protein membran plasma permeabel tidak dapat membentuk regulasi sel

c. Jejas endogen (faktor imun )

jejas bahan kimia, glukosa terlalu banyak mencederai/kelemahan

agen fisik trauma, radiasi temperatur ekstrim

agen infeksius jamur, bakteri, protozoa, virus

d. Jejas mekanik

trauma menyebabkan kerusakan

e. Jejas panas

kulit memerah, nekrosis berupa kulit melepuh

4

f. Jejas radiasi

pembelahan sel cepat terjadi secara mekanik

g. Jejas iskemik

pembuluh darah terhenti, tidak sampai ke sel pembentukan energi di jaringan

berkurang

h. Jejas hipoksik

glikolisis dan berlanjutnya namun tidak efektif

i. Jejas inflamasi akut : dari menit, polimernuklear

a) eksudasi

b) migrasi polinuklear

c) pertama kali terjadi

j. Jejas inflamasi kronik : bulan-bulan

a) limfosit dan makrofag

b) proliferasi pembuluh

c) pembentukan jaringan parut ( degenerasi sel )

2. Ketidakseimbangan nutrisi

3. Luka perubahan pembuluh darah mengeluarkan mediator inflamasi

4. Reaksi inflamasi

patogen reaksi fase akut trombosit adhesi vasokontriksi pembuluh darah

sitokin dilatasi vaskuler peningkatan vaskuler kemerahan aktivasi sistem

komplemen sistem fibrinolitik sistem kinin fagosit dan bahan-bahan asing

pembekuan darah

5. Mekanisme nekrosis

RE dan mitokondria dirusak oleh enzim tidak dada respirasi anaerob penurunan

ATP aliran darah membawa oksigen oksigen direduksi pembengkakan

kebocoran pengeluaran mitokondria radang

5

STEP V

1. Bagaimana mekanisme inflamasi akut dan kronis beserta tanda-tanda cardinalnya ?

2. Bagaimana pertahanan tubuh tingkat sellular dan jaringan ?

3. Bagaimana proses penyembuhan luka ?

STEP VI

BELAJAR MANDIRI

JEJAS

Mekanisme Macam / tipe

Penyembuhan luka

Pertahanan tubuh

Irreversible Reversible

Neksrosis ekskoriasi

Apoptosis

Inflamasi Sistem imuun

6

STEP VII

1. Inflamasi merupakan reaksi pertahanan organisme dan jaringannya terhadap rangsangan

yang merusak. Tujuannya adalah memperbaiki kerusakan atau paling tidak membatasinya

serta menghilangkan penyebab kerusakan seperti, bakteri atau benda asing. Penyebab

inflamasi dapat berupa :

a. Mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, atau parasit

b. Benda asing (protein asing, misalnya sebuk sari, Kristal abses atau silikat

c. Kerusakan jaringan dengan pembentukan debris jaringan, misalnya akibat

kerusakan mekanik seperti terpotong, gigitan, gesekan, atau benda asing, senyawa

kimia asam atau basa, pengaruh fisisk seperti dingin, panas , radiasi (UV, sinar-X,

radioaktif), serta penyebab endogen seperti sel tumor yang pecah, darah di

ekstravaskular, reaksi autoimun, atau Kristal dari zat yang mengendap di dalam

tubuh (asam urat, kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan kolesterol).

Sel-sel inflamasi

Sel-sel sistem imun nonspesifik seperti neutrofil, sel mast, basofil, eosinofil dan

jaringan makrofag yang berperan dalam inflamasi. Sel-sel tersebut di produksi dan di

simpan sebagai persediaan untuk sementara dalam sumsusm tulang,hisup tidak lama

dan jumlahnya yang diperlukan di tempat inflamasi dipertahankan oleh influx sel-sel

baru dari persediaan tersebut. Neutrofil merupakan sel utama pada inflamasi dini,

bermigrasi ke jaringan dan puncaknya terjadi pada 6 jam pertama. Untuk memenuhi

hal tersebut diperlukan peningkatan produksi neutrofil dalam sumsum tulang.

1) Sel endotel

Dalam fungsinya, baik leukosit maupun sel-sel lainnya memerlukan kontak

dengan sel lain atau matriks ekstraselular melalui molekul yng disebut molekul

adhesi. Beberapa molekul adhesi juga diperlukan dalam aktivitas sel T, CD2,

CD44, LFA-1. Protein V LA pada permukaan sel T membantu meyalurkan sinyak

aktivasi melalui reseftor pada sel T. Sel endotel merupakan pembatas antara darah

dan rongga ekstravaskular. Pda keadaan normal, SE merupakan permukaan ynag

tidal lengket sehingga dapat mencegah koagulasi, adhesi sel dan kebocoran cairan

rongga intravascular. SE juga berperan dalam pengaturan tonus vascular dan

7

perfusi jaringan melalui penglepasan komponen vasodilator (prostasiklin atau

PGI2, adenosine, dan EDRF) dan komponen vasokontriksi (endotelin). Bila sel

endotel rusak, sifat antikoagulasi akan hilang dan membran basal terpajan,

sehingga menimbulkan agregrasi trombosit dan leukosit.

2) Molekul adhesi-migrasi leukosit

Pada keadaan normal, leikosit hanya sedikit melekat pada SE, tetapi oleh

rangsangan inflamasi, adhesi antara leukosit dan SE sangat di tingkatkan.

Intereaksi adhesi di atur oleh ekspresi permukaan sel yaitu molekul adhesi serta

ligan atau resptor-reseptornya. Penglepasan mediator inflamasi meningkatan

molekul adhesi baik pada sel inflamasi (neutrofil, monosit) maupun pada SE. Hal

tersubut meningkatkan adhesi, perubahan arus darah, marginasi dan migrasi sel-

sel seperti neutrofil, monosit, dan eosinofil kepusat inflamasi. Migrasi sel-sel

inflamasi tersebut juga diarahkan oleh factor-faktor kemotaktik yang diproduksi

berbagai sel, mikroba, komplemen dan sel mast.

Sel-sel yang masuk ketempat lesi akan melepas produknya yang

meneruskan perjalanan proses inflamasi dan kanadang menimbulkan kerusakan

jaringan akibat penglepasan oksigen reaktif. IL-1, juga endoksin meningkatkan

ekspresi molekul adhesi ICAM-1 dan VCAM-1 pada permukaan SE yang

berinteraksi dengan ligannya pada permukaan leukosit (ICM-1 mengikat FLA-1,

VCAM-1 mengikat VLA-1). (Robbins, 2013)

3) Ekstravasasi leukosit

Segera setelah timbul respons inflamasi, berbagai sitokin dan mediator inflamasi

lainnya bekerja terhadap endotel pembuluh darah lokal berupa peningkatan

ekspresi CAM. Neutrofil merupakan sel pertama yang berkaitan endotel pada

inflamasi dan bergerak keluar vascular. Ditempat infeksi, makrofag yang

menemukan mikroba melepas sitokin (TNF dan IL-1) yang mengaktifkan sel

endotel sekitar venul untuk memproduksi selektin (ligan integrin dan kemokin).

Selektin berperan dalam pengguliran neutrofil di endotel. Integrin berperan dalam

adhesi neutrofil, kemokin mengaktifkan neutrofil dan merangsang migrasi melalui

endotel ketempat infeksi. Monosit darah dan sel T yang diaktifkan menggunakan

mekanisme yang sama untuk bermigrasi ketempat infeksi. (Robbins, 2013)

8

Gambar 1. Komponen respon tubuh terhadap jejas. (Robbin, Cotran & Mitchell, 2013)

Mediator inflamasi

Inflamasi akut disebabkan oleh penglepasan berbagai mediator yang berasal dari

jaringan rusak, sel mast, leukosit dan komplemen. Peran yang belum banyak

diketahui pada inflamasi akut ialah peran saraf yang berhubungan dengan SP yang

berperan pada migrasi sel T. NGF merupakan degranulator poten sel mast dan

nitrogen sel T dan NP-Y juga merupakan degranulator poten sel mast

A. Produksi sel mast

Produksi sel mast merupakan mediator penting dalam proses inflamasi.

Beberapa diantaranya menimbulkan vasodilatasi dan edema serta meningkatkan

adhesi neutrofil dan monosit ke endotel. Vasodilatasi meningkatkan persediaan

darah untuk mengalirkan lebih banyak molekul dan sel yang diperlukan untuk

memerangi antigen yang mencetuskan inflamasi. (Robbins, 2013)

Sel mast juga melepas mediator atas pengaruh penglepasan NP-Y atau

NGF. Jadi meskipun mediator inflamasi yang mengawali inflamasi akut berbeda,

jalur proses inflamasi akan melibatkan aktivitas sel mast. Kerusakan jaringan

yang yang langsung disebabkan cedera atau endotoksin asal mikroba melepas

9

mediator seperti prostaglandin dan leukotrin yang meningkatkan permebilitas

vascular. Sel mast dapat pula diaktifkan jaringan rusak dan mikroba melalui

komplemen (jalur alternative atau klasik) dan kompleks IgE-alergen atau

neuropeptida. Mediator inflamasi yang dilepas menimbulkan vasodilatasi.

(Robbins, 2013)

1. Mediator preformed

Pelepasan mediator preformed merupakan salah satu respons pertama

jaringan terhadap cedera. Agregrasi trombosit yang segera terjadi yang

menyertai kerusakan pembuluh darah berhubungan dengan penglepasan

serotin, yang memacu vasokontriksi, selanjutnya agregrasi trombosit dan

pembentukan sumbatan trombosit.

Mediator preformed lainnya yang dilepas adalah histamine, heparin, enzim

lisososm dan prostease, factor kemotaktik neutrofil dan eosinofil. Factor-

faktotr tersebut menginduksi vasodilatasi arus darah ketempat cedera dan

mengerahkan sel inflamasi spesifik ketempat lain.

2. Mediator asal lipid

Oleh membran sel yang rusak, posfolipid yang ditemukan pada berbagai

jenis sel (makrofag, monosit, neutrofil dan sel mast) dipecah menjadi asam

arakidonat dan LysoPAF. Yang akhirnya dipecah menjadi PAF yang

menimbulkan agregrasi trombosit dan berbagai inflamasi seperti kemotaksik,

aktivitas dan degranulasi eosinofil serta aktivitas neutrofil. PAF adalah

fosfilipid yang dibentuk oleh leukosit, makrofag, sel mast, dan sel endotel.

Efeknya serupa dengan perubahan yang terjadi melalui IgE pada anafilaksi

dan urtikaria dingin dan juga berperan dalam shock oleh endotoksin.

(Robbins, 2013)

1. Anafilatoksin produk komplemen

Aktivasi sistem komplemen baik lewat jalur klasik dan alternatif

menghasilkan sejumlah produk komplemen yang merupakan mediator

inflamasi penting. Ikatan anafilaktosin dan reseptornya pada membran sel

mast menginduksi degranulasi dengan pelepasan histamin dan mediator aktif

lainnya.

10

2. Mediator –aktivasi kaskade reaksi larut

Kerusakan sel endotel vascular meningkatkan factor pembekuan plasma

(faktor pembekuan XII, Hageman) yang mengaktifkan kaskade fibrin,

fibrinolitik, dan kinin. Sistem kinin yang diaktifkan oleh cedera jaringan.

Sistem kinin merupakan kaskade enzimatik yang dimulai bila plasma clotting

factor (faktor Hageman-XII) disktifkan oleh cedera jaringan. Faktor Hageman

tersebut mengaktifkan prekalikrein yang membentuk kalikrein yang mengikat

kininogen membentuk bradikinin. Peptide yang poten ini meningkatkan

permeabilitas vascular, menimbulkan vasodilatasi sakit dan memacu kontraksi

otot polos. Kalikrein juga bekerja dengan mengikat komplemen C5 secara

direk yang dijadikan C5a dan C5b. (Robbins, 2013)

3. Sistem pembekuan

Sistem pembekuan yang menghasilkan fibrin memacu penglepasan mediator

inflamasi. Kaskade enzimatik yang lain yang dipicu oleh kerusakan pembuluh

darah menimbulkan sejumlah besar thrombin. Inisisasi respons inflamasi juga

memacu didtem pembekuan melalui interaksi antara P-selektin dan PSGL-1

yang disertai dengan penglepasan faktor jaringan dari monosit yang

diaktifkan.

a) Sistem fibrinolitik

Pemindahan bekuan fibrin dari jaringan cedera dapat dilakukan melalui

sitem fibrinolitik. Produk akhir dari jalur ini dalah enzim plasmin bentuk

aktif dari plasminogen. Plasmin merupakan enzim proteolitik poten, dapat

memecah bekuan fibrin menjadi produk yang terdegredasi, yang

merupakan faktor kemotaktik untuk neutrofil. Plasmin juga berperan

dalam respons inflamasin dalam mengaktifkan jalur klasik komplemen.

(Robbins, 2013)

b) Sitokin

Sitokin diperlukan pada awal reaksi inflamasi dan untuk mempertahankan

respons inflamasi kronis. Makrofag memproduksi berbagai sitokin.

Endotoksin mikroba mengaktifkan makrofag untuk melepas IL-1 yang

memecu vasodilatasi, melonggarkan hubungan sel-sel endotel,

11

meningkatkan adhesi neutrofil dan migrasi sel-sel kejaringan sekitar untuk

memakan mikroba. (Robbins, 2013)

Inflamasi akut dan kronik

A. Inflamasi lokal (akut)

Inflamasi lokal memberikan proteksi diri terhadap infeksi atau cedera

jaringan. Inflamasi akut melibatkan baik respons lokal dan sistemik. Reaksi lokal

terdiri atas tumor (pembengkakan), rubor (merah), kalor (panas), dolor (nyeri),

dan functio laesa (gangguan fungsi). Bila darah keluar dari sirkulasi darah, kinin,

sistem pembekuan, dan fibrinolitik diaktifkan. Banyak perubahan vaskular yang

terjadi dini disebabkan oleh efek direk mediator enzim plasma seperti bradikinin

dan fibrinopepetidayang menginduksi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas

vaskular. Beberapa efek vaskular disebabkan oleh efek anafilatoksin(C3a dan

C5a) yang menginduksi degranulasi sel mast yang melepas histamin. Histamin

menimbulkan vasodilatasi dan kontraksi otot polos. PG juga berperan dalam

vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vascular. (Baratawidjaja, 2014).

Inflamasi akut merupakan respons segera dan dini terhadap jejas yang

dirancang untuk mengirimkan leukosit ke tempat jejas. Sesampainya ditempat

jejas, leukosit membersihkan setiap mikroba yang menginvasi dan memulai

proses penguraian jaringan nekrotik. Proses ini memiliki dua komponen utama;

perubahan vaskular dan berbagai kejadian yang terjadi pada sel, emigrasi leukosit

dari mikrosirkulasi dan akumulasinya di fokus jejas. (Robbins, 2013)

Perubahan vaskular ditandai dengan perubahan kaliber dan aliran

pembuluh darah. Perubahan ini dimulai relatif lebih cepat setelah jejas terjadi,

tetapi dapat berkembang dengan kecepatan yang beragam, bergantung pada sifat

dan keparahan jejas asalnya. (Robbins, 2013)

Setelah vasokontriksi sementara (beberapa detik), terjadi vasodilatasi

arteriol, yang mengakibatkan peningkatan aliran darah dan penyumbatan lokal

(hiperemia) pada aliran darah kapiler selanjutnya. Pelebaran pembuluh darah ini

merupakan penyebab timbulnya warna merah (eritema) dan hangat yang secara

khas terlihat pada inflamasi akut. (Robbins, 2013)

12

Selanjutnya, mikrovaskulatur menjadi lebih permeabel, mengakibatkan

masuknya cairan kaya protein ke dalam jaringan ekstravaskular. Hal ini

menyebabkan sel darah merah menjadi lebih terkonsentrasi dengan baik sehingga

meningkatkan viskositas darah dan memperlambat sirkulasi. Secara mikroskopik

perubahan ini digambarkan oleh dilatasi pada sejumlah pembuluh darah kecil

yang dipadati oleh eritrosit. Proses tersebut dinamakan stasis. (Robbins, 2013)

Saat terjadi stasis, leukosit (terutama neutrofil) mulai keluar dari aliran

darah dan berakumulasi di sepanjang permukaan endotel pembuluh darah. Proses

ini disebut dengan marginasi. Setelah melekat pada sel endotel, leukosit menyelip

diantara sel endotel tersebut dan bermigrasi melewati dinding pembuluh darah

menuju jaringan interstisial. (Robbins, 2013)

Perubahan permeabilitas vaskular, pada tahap paling awal inflamasi,

vasodilatasi arteriol dan aliran darah yang bertambah meningkatkan tekanan

hidrostatik intravaskular dan pergerakan cairan dari kapiler. Cairan ini, yang

dinamakan transudat, pada dasarnya merupakan ultrafiltrat plasma darah dan

mengandung sedikit protein. Namun demikian, transudasi segera menghilang

dengan meningkatnya permeabilitas vaskular yang memungkinkan pergerakan

cairan kaya protein, bahkan sel ke dalam interstisium (disebut eksudat).

Hilangnya cairan kaya protein ke dalam ruang perivaskular menurunkan tekanan

osmotik intravaskular dan meningkatkan tekanan osmotik cairan interstisial.

Hasilnya adalah mengalirnya air dan ion ke dalam jaringan ekstravaskular,

akumulasi cairan ini dinamakan edema. (Robbins, 2013)

Dalam beberapa jam setelahawitan perubahan vaskular, neutrofil

menempel pada sel endotel dan bermigrasi keluar pembuluh darah ke rongga

jaringan, memakan patogen dan melepas mediator yang berperan dalam respons

inflamasi. Makrofag jaringan yang diaktifkan melepas sitokin ( IL-1, IL-6, dan

TNF-∝ ) yang menginduksi perubahan lokal dan sistemik. Ketiga sitokin tersebut

menginduksi koagulasi dan IL-1 menginduksi ekspresi molekul adhesi pada sel

endotel seperti TNF-∝ yang meningkatkan ekspresi selektin-E, IL-1 menginduksi

peningkatan ekskresi ICAM-1 dan VICAM-1. Neutrofil, monosit, dan limfosit

13

mengenal molekul adhesi tersebut dan bergerak ke dinding pembuluh darah dan

selanjutnya ke jaringan. (Robbins, 2013)

IL-1 dan INF-∝ juga memacu makrofag dan sel endotel untuk

memproduksi kemokin yang berperan pada influks neutrofil melalui peningkatan

ekspresi molekul adhesi. IFN-γ dan TNF-∝ juga mengaktifkan makrofag dan

neutrofil, meningkatkan fagositosis dan pelepasan enzim ke rongga jaringan.

Lama dan intensitas inflamasi lokal akut perlu dikontrol agar tidak terjadi

kerusakan jaringan. TGF-β membatasi respons inflamasi dan memacu akumulasi

dan proliferasi fibroblas dan endapan matriks ekstraselular yang diperlukan untuk

perbaikan jaringan. Kegagalan dalam adhesi leukosit dapat menimbulkan

penyakit seperti terlihat pada defisiensi molekul adhesi.

Respons inflamasi lokaldisertai dengan respons fase akut sistemik.

Respons tersebut ditandai oleh induksi demam, peningkatan sintesis hormon

seperti ACTH dan hidrokortison, peningkatan produksi leukosit dan APP di hati.

Peningkatan suhu (demam) mencegah pertumbuhan kuman patogen dan

nampaknya meningkatkan respons imun terhadap patogen. CRP merupakan APP

yang kadarnya dalam serum meningkat 1000 kali selama respons fase akut

(Baratawidjaja, 2014).

B. Inflamasi kronik

Inflamasi kronik dapat dianggap sebagai inflamasi memanjang

(berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun), dan terjadi

inflamasi aktif, jejas jaringan, dan penyembuhan secara serentak. Berlawanan

dengan inflamasi akut, yang dibedakan dengan perubahan vaskular, edema, dan

infiltrat neutrofilik yang sangat banyak, inflamasi kronik ditandai dengan hal-hal

berikut :

a. Infiltrasi sel mononuklear (radang kronik), yang mencakup makrofag,

limfosit, dan sel plasma.

b. Destruksi jaringan, sebagian besar diatur oleh sel radang.

c. Repair (perbaikan), melibatkan proliferasi pembuluh darah (angiogenesis) dan

fibrosis.

14

Inflamasi kronik dapat berkembang jadi inflamasi akut. Perubahan ini

terjadi ketika respons akut tidak teratasi karena agen cedera yang menetap atau

karena gangguan proses penyembuhan normal. (Baratawidjaja, 2014)

Inflamsi kronik terjadi pada keadaan sebagai berikut:

a. Infeksi virus

Infeksi intrasel apa pun secara khusus memerlukan limfosit (dan makrofag)

untuk mengidentifikasi dan mengeradikasi sel yang terinfeksi.

b. Infeksi mikroba persisten

Sebagian besar ditandai dengan adanya serangkaian mikroorganisme terpilih,

termasuk mikrobakterium (basilus tuberkel), dan fungus tertentu. Organisme

ini memiliki patogenesis langsung yang lemah, tetapi secar khusus dapat

menimbulkan respons imun yang disebut hipersensitivitas lambat, yang bisa

berpuncak pada suatu reaksi granulomaltosa.

c. Pajanan yang lama terhadap gen yang berpotensi toksik.

d. Penyakit autoimun

Seseorang mengalami respons imun terhadap anti gen dan jaringan tubuh

sendiri. Karena anti gen yang bertanggung jawab sebagian besar diperbaharui

secara konstan, dan terjadi reaksi imun terhadap dirinya sendiri yang

berlangsung secara terus-menerus. (Robbins, 2013)

2. Jenis-jenis jejas menurut kemampuan pemulihan sel yang terkena jejas

A. Jejas reversible

Jejas reversible adalah perubahan patologis pada sel yang dapat kembali

normal.Perubahan ultrastruktur jejas reversible:

a. Perubahan membrane plasma (pembengkakan, penumpukan mikrovili,

longgarnya intra sel);

b. Perubahan mitokondria (pembengkakan dan munculnya densitas amorf kaya

fosfolipid);

c. Dilatasi RE (kerusakan ribosom);

d. Perubahan nuclear, dengan disagregasi unsur granular dan fibrilar.

15

Dua pola perubahan morfologik yang bekaitan dengan jejas reversible dapat

dikenali dengan mikroskop cahaya: pembengkakan sel dan degenerasi lemak

(perlemakan). (Robbins, 2013)

Contoh jejas reversible adalah degenerasi hidropik. Degenerasi ini

menunjukkan adanya edema intraselular, yaitu adanya peningkatan kandungan air

pada rongga-rongga sel selain peningkatan kandungan air pada mitokondria dan

retikulum endoplasma. Pada mola hidatidosa telihat banyak sekali gross

(gerombolan) mole yang berisi

cairan. Mekanisme yang mendasari

terjadinya generasi ini yaitu

kekurangan oksigen, karena adanya

toksik, dan karena pengaruh osmotik.

(Robbins, 2013)

Gambar 2. Contoh jejas reversibel: mola hidatidosa. (Sander, 2007)

B. Jejas irreversible

Perubahan patologis pada sel yang terjadi secara permanen (tidak dapat kembali

normal).Sistem sel yang paling mudah terkena jejas:

a. Integritas membran sel, yang penting bagi homeostatis ionik dan osmotik

seluler;

b. Pembentukan ATP, sebagian besar melalui respirasi aerobic mitokondria;

16

c. Sintesis protein;

d. Integritas apparatus genetic. (Robbins, 2013)

Penanda jejas irreversible paling diniadalah kehilangan kontinu protein,

koenzim esensial, asam ribonukleat dari membrane plasma hiperpermeabel,

dengan sel yang kekurangan metabolik vital untuk membentuk kembali ATP

dan mengosongkan fosfat berenergi tinggi intra sel. (Robbins, 2013)

Terdapat dua jenis jejas irreversible (kematian sel) yaitu apotosis dan

nekrosis.Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram.Sedangkan nekrosis

merupakan kematian sel/jaringan pada tubuh yang hidup di luar dari kendali. Sel

yang mati pada nekrosis akan membesar dan kemudian hancur dan lisis pada

suatu daerah yang merupakan respons terhadap inflamasi. Jadi, perbedaan

apoptosis dan nekrosis terletak pada terkendali atau tidaknya kematian sel

tersebut. (Robbins, 2013)

1. Jejas ringan-sedang, subletal

Reversible

Perubahan paling awal yang berkaitan dengan berbagai bentuk cedera

adalah berkurang pembentukan ATP, hilangnya integritas membran sel, gangguan

sintesa protein, kerusakan sitoskeleton dan DNA. Pada batas tertentu, sel dapat

mengkompensasi berbagai kerusakan akan kembali normal.

2. Jejas hebat, letal

Irreversible

Cedera yang menetap atau berlebihan melampaui ombang akan

menyebabkan irreversible dan nekrosis. Dua fenomena yang menandai suatu sel

irreversible:

a. Ketidakmampuan untuk memulihkan, disfungsi mitokondria, tidak adanya

fosforilasi oksidatif dan pembentukan ATP bahkan terjadinya penyebab

cedera mereda.

b. Terjadinya gangguan fungsi membrane yang signifikan, lisosom bocor ke

stiplasma hidrolase asam mengalami aktivasi oleh penurunan PH intrasel

17

dari sel yang mengalami iskemia dan hal ini menyebabkan penguraian

komponen sitoplasma dan nukleus.

18

Gambar 3.Perbedaan jejas reversibel dan jejas ireversibel. (Robbin, Cotran & Mitchell, 2013)

1. Respons Subselular terhadap Cedera

Sel sebagai suatu kesatuan.Namun, keadaan-keadaan tertentu dilaporkan

berkaitan dengan perubahan tersendiri di organel sel atau sitoskeleton. Sebagian

perubahan ini terjadi bersamaan dengan perubahan yang terjadi pada cedera letal

akut; sebagian lainnya mencerminkan bentuk-bentuk cedera sel yang kronik;

sementara yang lain lagi merupakan respons adaptif yang berfungsi untuk

mempertahankan homeostasis. Berikut reaksi yang umum dijumpai:

A. Katabolisme lisosom

Lisosom primer adalah organel intrasel terbungkus membran yang

mengandung beragam enzim hidrolitik, termasuk fosfatase asam, glukuronidase,

sulfatase, ribonnklease, dan kolagenase.Enzim-enzim ini disintesis di retikulum

endoplasma kasar dan kemudian dikemas menjadi vesikel-vesikel di aparatus

Golgi. Lisosom primer berfusi dengan vakuol terbungkus-membran yang

mengandung bahan yang akan dicerna, membentuk lisosom sekunder atau

fagolisosom. Lisosom berperan pada pemecahan bahan yang difagosit melalui

satu dari dua cara, yaitu heterofagi dan autofagi. (Robbins, 2013)

Heterofagi adalah proses pencernaan bahan yang ditelan dan Iingkungan

ekstrasel di lisosom. Bahan ekstrasel diserap oleh sel melalui proses umum

endositosis. Penyerapan bahan berbentuk partikel dikenal sebagai fagositosis;

penyerapan makromolekul yang lebih kecil dan.larut disebut pinositosis. Bahan

ekstrasel akan diendositosis ke dalam vakuol (endosom atau fagosom), yang

akhirnya berfusi dengan lisosom untuk membentuk fagolisosom. Di tempat inilah

bahan yang ditelan tersehut kemudian dicerna. Heterofagi sering dijumpai pada

fagosit “profesional”, seperti neutrofil dan makrofag, meskipun proses ini juga

dapat terjadi di sel lain. Contoh heterofagositosis antara lain adalah penyerapan

19

dan pencemaan bakteri oleh neutrofil serta pembersihan sel apoptotik oleh

makrofag. (Robbins, 2013)

Autofagi merujuk pada pencernaan komponen sel itu sendiri di lisosom. Pada

proses ini, organel intrasel dan sebagian dan sitosol mula-mula dipisahkan dan

sitoplasma di sebuah vakuol autofagik yang terbentuk dan regio-regio bebas-

ribosom di retikulum endoplasma kasar. Vakuola menyatu dengan lisosom atau

elemen Golgi untuk membentuk auto fagolisosom.Autofagi adalah fenomena

umum yang berperan pada pembersihan organel yang rusak selama cedera sel dan

remodeling sel saat diferensiasi, dan terutama mencolok pada sel-sel yang

mengalaini atrofi akibat kekurangan nutrien atau involusi hormonal. (Robbins,

2013)

Gambar 4.Skematis heterofagi dan autofagi (Robbins, 2013).

Enzim-enzim lisosom mampu menguraikan sebagian besar protein dan

karbohidrat, tetapi sebagian lemak tidak tercerna.Lisosom yang mengandung

debris tidak tercerna dapat menetap dalam sel sebagai badan residu atau mungkin

dikeluarkan.Granula pigmen 1ipofuksin mencerininkan bahan tidak-tercerna yang

berasal dan peroksidasi lemak intrasel. Pigmen tidak tercerna tertentu, seperti

20

partikel karbon yang terhirup dan udara atau pigmen yang ditanam pada

pembuatan tato, dapat menetap dalam fagolisosom makrofag selama berpuluh-

puluh tahun. (Robbins, 2013)

Lisosom merupakan gudang tempat sel memisahkan zat-zat abnormal yang

tidak dapat dimetabolisme dengan sempurna. Gangguan penimbunan lisosom

(lysosomal storage disorders) herediter, yang disebabkan oleh defisiensi enzim-

enzim yang memecah berbagai makromolekul, menyebabkan penimbunan

berlebihan senyawa-senyawa ini di lisosom sel di seluruh tubuh, terutama neuron,

dan menyebabkan kelainan yang berat.Beberapa obat dapat mengganggu fungsi

lisosom dan menyebabkan penyakit lisosom didapat atau diinduksi-obat

(iatrogenik).Obat-obat dalarn kelompok ini antara lain adalah klorokuin, yakni

obat antimalaria yang meningkatkan pH internal lisosom sehingga enzim-enzim

lisosom menjadi inaktif. Dengan menghambat enzim lisosom, klorokuin

mengurangi kerusakan jaringan pada reaksi peradangan, yang sebagian

diperantarai enzim-enzim yang dikeluarkan dan leukosit; efek ini merupakan

dasar pemakaian obat ini pada penyakit autoimun seperti artritis

reumatoid.Namun, inhibisi enzini tersebut dapat menyebabkan akumulasi

abnormal glikogen dan fosfolipid dalam lisosom, yang menyebabkan iniopati

toksik. (Robbins, 2013)

B. Induksi (hipertrofi) retikulum endoplasma halus

RE halus berperan pada metabolisme beragam zat kimia.Sel yang terpajan

oleh bahan-bahan kiinia tersebut memperlihatkan hipertrofi RE sebagai respons

adaptif yang dapat meiniliki konsekuensi fungsional penting.pemakaian barbiturat

yang berkepanjangan menyebabkan toleransi, disertai penurunan efek obat dan

perlunya peningkatan dosis. Pasien dikatakan telah “beradaptasi” terhadap

obatnya.Adaptasi ini disebabkan oleh peningkatan volume (hipertrofi) RE halus di

hepatosit, yang memetabolisme obat. (Robbins, 2013)

Barbiturat dimodifikasi di hati melalui demetilasi oksidatif, yang melibatkan

sistem oksidase P450 yang terdapat di RE halus.Peran modifikasi enzim ini untuk

meningkatkan kelarutan berbagai senyawa (inisal alkohol, steroid, eikosanoid,

dan karsinogen serta insektisida dan berbagai polutan lingkungan lainnya)

21

sehingga mempermudah sekresi zat-zat tersebut37.Banyak senyawa malah

menjadi lebih toksik akibat modifikasi P450 ini meskipun hal ini sering dianggap

sebagai “detoksifikasi”. Di samping itu, produk-produk yang terbentuk melalui

metabolisme oksidatif ini mencakup spesies oksigen reaktif, yang dapat

mencederai sel. Pada pemakaian jangka panjang, barbiturat (dan banyak bahan

lain) merangsang sintesis lebih banyak enzim, dan lebih banyak RE halus.

Dengan cara ini, sel lebih mampu memodifikasi obat dan beradaptasi terhadap

lingkungannya yang telah berubah. Sel-sel yang beradaptasi terhadap satu obat

meiniliki kapasitas lebih besar untuk memetabolisme senyawa lain yang ditangani

oleh sistem oksidase tersebut. Oleh karena itu, jika pasien yang mendapat

fenobarbital untuk epilepsi meningkatkan asupan alkoholnya, kadar obat anti

kejang dapat berkurang (subterapetik) akibat induksi RE halus sebagai respons

terhadap alkohol. (Robbins, 2013)

C. Perubahan Mitokondria

Disfungsi mitokondria berperan penting pada cedera sel dan apoptosis.Selain

itu, perubahan jumlah ukuran, dan bentuk initokondria terjadi pada sebagian

keadaan patologis.Contohnya, pada hipertrofi dan atrofi sel, masing-masing

terjadi peningkatan dan penurunan jumlah initokondria di sel. Initokondria

mungkin menjadi sangat besar dan berbentuk abnormal (megainitokondria),

seperti yang terlihat di hati pada penyakit hati alkoholik dan pada defisiensi zat

nutrisi tertentu.Kelainan initokondna sekarang diketahui menjadi dasar pada

banyak penyakit genetik. Pada penyakit-penyakit metabolik otot rangka herediter

tertentu, yaitu iniopati initokondria, terjadi defek metabolisme initokondria

disertai peningkatan jumlah initokondria yang sering berukuran sangat besar,

meiniliki krista abnormal, dan mengandung kristaloid. Diamping itu, tumor jinak

tertentu yang terdapat di kelenjar liur, tiroid, paratiroid, dan ginjal terdiri atas sel-

sel yang mengandung banyak initokondria besar sehingga sel tampak sangat

eosinofilik. (Robbins, 2013)

D. Kelainan Sitoskleleton

Kelainan sitoskeleton mendasari beragam keadaan patologis.Sitoskeleton

terdiri atas mikrotubulus (garis tengal 20-25 nm), filamen aktin halus (6-8 nm),

22

filamen iniosin tebal (15 nm), dan berbagai kelas filamen intermediat (10 nm)

Juga terdapat beberapa bentuk protein kontraktil yang tidak mengalaini

polimerisasi dan tidak berbentuk filamen. Kelainan sitoskeleton dapat

menyebabkan: (1) kelainan fungsi sel, inisalnya pergerakan sel dan pergerakaran

organel intrasel, dan pada beberapa kasus, (2) akumulasi bahan fibrilar intrasel.

Filamen tipis.Filamen tipis terdiri atas aktin, iniosin, dan protein-protein

regulatorik terkait.Filamen tipis penting pada berbagai tahap pergerakan Ieukosit

atau kemampuan sel ini dalam melakukan fagositosis secara adekuat.Beberapa

obat dan toksin menyerang filamen aktin sehingga memengaruhi proses-proses

tersebut.Contohnya, sitokalasin B rnenghanibat polimerisasi filamen aktin, dan

phalloidin, suatu toksin jamur Amanita phalloides, juga mengikat filamen aktin.

Mikrotubulus defek pada susunan mikrotubulus dapat menghambat motilitas

sperma, menyebabkan sterilitas pada pria, dan dapat menyebabkan imobilisasi

silia epitel pernapasan.yang mengganggu kemampuan epitel ini untuk

membersihkan bakteri sehingga terjadi bronkiektasis (sindrom Kartagener, atau

sindroni silia imotil). Mikrotubulus, Seperti inikrofilamen, diperlukan untuk

inigrasi dan fagositosis leukosit.Obat-obatan, seperti kolkisin mengikat tubulin

dan menghambat pembentukan mikrotubulus. Obat ini digunakan pada serangan

akut gout untuk mencegah inigrasi dan fagositosis leukosit sebagai respons

terhadap pengendapan kristal urat. Mikrotubulus merupakan komponen esensial

gelendong initosis, yang diperlukan untuk pembetahan sel. Obat-obatan yang

menghambat mikrotubulus (inisalnya alkaloid vinka) dapat bersifat antiproliteratif

sehingga digunakan sebagai obat anti-tumor.

Filatnen intermediat.Komponen ini membentuk kerangka intrasel fleksibel

yang menyusun sitoplasma dan menahan gaya-gaya yang menimpa sel. Filamen

intermediat dibagi menjadi lima kelas, termasuk di dalanmnya adalah filamen

keratin (khas untuk sel epitel), neurofilamen (neuron), filamen desmin (sel otot),

fliamen vimentin (sel jaringan ikat), dan filamen glia (astrosit). Penimbunan

filamen keratin dan neurofllamen dilaporkan berkaitan dengan jenis tertentu

cedera sel. Contohnya, badan Mallory, atau “alkoholic hyalin”, merupakan suatu

badan inklusi eosinofilik intrasitoplasma di sel hati dan khas pada penyakit hati

23

akibat alkohol meskipun badan mi juga dapat ditemukan pada penvakit lain.

Badan inklusi sernacam mi terutama terdiri atas filamen intermediat keratin.Di

susunan saraf, neurofilamen terdapat di akson dan menjadi struktur

penunjang.Neuroflbrillari, tangle yang terdapat di otak penderita penyakit

Alzheimer mengandung protein-protein terkait mikrotubulus dan neurofilamen,

yang mencerminkan gangguan sitoskeleton neuron.Mutasi pada gen-gen filamen

intermediat menimbulkan beragam penyakit, termasuk miopati, penyakit

neurologis, dan penyakit kulit. (Robbins, 2013)

Selama ini, fungsi sitoskeleton banyak dikaitkan dengan peran mekanisnya,

dalam mempertahankan arsitektur sel serta dalam perlekatan dan pergerakan sel.

Akan tetapi, akhir-akkiir ini disadari bahwa protein sitoskeieton berhubungan

dengan banyak reseptor sel, misalnya reseptor limfosit untuk antigen, yang

merupakan peserta aktif pada transduksi sinyal oleh reseptor-reseptor ini. Oleh

karena itu, defek pada hubungan antara reseptor dan protein sitoskeleton dapat

memengaruhi banyak respons sel. Sindrorn Wiskott-Aldrich adalah suatu

penvakit herediter ditandai oleh eksim, kelainan trombosit, dan defisiensi imun.

Protein yang mengalami mutasi pada penyakit ini terlibat dalam penyambungan

reseptor antigen limfosit (dan mungkin juga reseptor lain) ke sitoskeleton, dan

gangguan pada protein ini mengganggu berbagai respons sel. (Robbins, 2013)

2. Pertahanan tubuh terhadap jejas

Inflamasi merupakan reaksi pertahanan organisme dan jaringannya terhadap

rangsangan yang merusak.Tujuannya adalah memperbaiki kerusakan atau paling

tidak membatasinya serta menghilangkan penyebab kerusakan seperti, bakteri atau

benda asing.Penyebab inflamasi dapat berupa :

d. Mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur, atau parasit

e. Benda asing (protein asing, misalnya sebuk sari, Kristal abses atau silikat

f. Kerusakan jaringan dengan pembentukan debris jaringan, misalnya akibat

kerusakan mekanik seperti terpotong, gigitan, gesekan, atau benda asing, senyawa

kimia asam atau basa, pengaruh fisisk seperti dingin, panas , radiasi (UV, sinar-X,

radioaktif), serta penyebab endogen seperti sel tumor yang pecah, darah di

24

ekstravaskular, reaksi autoimun, atau Kristal dari zat yang mengendap di dalam

tubuh (asam urat, kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan kolesterol).

3. Tinjauan Pemulihan Jaringan

Hal kritis pada ketahanan hidup suatu organisme ialah kemampuannya untuk dapat

memperbaiki kerusakan akibat pengaruh toksik dan radang. Respons radang terhadap

mikroba dan jaringan yang rusak tidak hanya untuk mengeliminasi bahaya ini, tetapi juga

memulai proses pemulihan. Pemulihan, disebut juga penyembuhan, merupakan upaya

restorasi arsitektur jaringan dan fungsi setelah suatu jejas. Terjadi melalui dua jenis reaksi:

regenerasi jaringan yang cedera dan pembentukan jaringan parut melalui pengendapan

jaringan ikat.

a. Regenerasi

Beberapa jaringan mampu mengganti sel yang rusak dan kembali menjadi normal,

proses ini disebut regenerasi. Regenerasi terjadi melalui proliferasi sel residu (tidak

kena jejas) yang tetap mempunyai kapasitas untuk membelah, dan pergantian

melalui sel punca. Hal ini merupakan respons khas terhadap jejas pada epitel yang

membelah dengan cepat di kulit dan usus, dan beberapa organ parenkim, yaitu hati.

b. Pembentukan jaringan parut

Apabila jaringan cedera tidak mampu melakukan regenerasi, atau jaringan

penunjang mengalami kerusakan berat, pemulihan jaringan terjadi dengan

pengendapan jaringan ikat (fibrotik), suatu proses yang menghasilkan jaringan

parut. Walaupun jaringan parut tidak dapat melakukan fungsi sel parenkim yang

telah hilang, tetapi dapat memberikan stabilitas struktur semula. (Robbins, 2007)

Penyembuhan luka merupakan suatu proses penggantian jaringan yang mati/rusak

dengan jaringan baru dan sehat oleh tubuh dengan jalan regenerasi. Luka dikatakan

sembuh apabila permukaannya dapat bersatu kembali dan didapatkan kekuatan jaringan

yang mencapai normal.

Penyembuhan luka dapat terjadi secara:

1. Per Primam yaitu penyembuhan yang terjadi setelah segera diusahakan bertautnya

tepi luka biasanya dengan jahitan.

25

2. Per Sekundem yaitu luka yang tidak mengalami penyembuhan per primam.

Proses penyembuhan terjadi lebih kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini biasanya

tetap terbuka. Biasanya dijumpai pada luka-luka dengan kehilangan jaringan,

terkontaminasi/terinfeksi. Penyembuhan dimulai dari lapisan dalam dengan

pembentukan jaringan granulasi.

3. Per Tertiam atau Per Primam tertunda yaitu luka yang dibiarkan terbuka selama

beberapa hari setelah tindakan debridemen setelah diyakini bersih, tetapi luka

dipertautkan (4-7 hari). (Robbins, 2013)

Setiap kejadian luka, mekanisme tubuh akan mengupayakan mengembalikan

komponen-komponen jaringan yang rusak tersebut dengan membentuk struktur baru dan

fungsional sama dengan keadaan sebelumnya. Proses penyembuhan tidak hanya terbatas

pada proses regenerasi yang bersifat lokal, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh faktor

endogen (seperti: umur, nutrisi, imunologi, pemakaian obat-obatan, kondisi metabolik).

Pada dasarnya proses penyembuhan ditandai dengan terjadinya proses pemecahan

atau katabolik dan proses pembentukan atau anabolik.Setiap proses penyembuhan luka akan

terjadi melalui 3 tahapan yang dinamis, saling terkait dan berkesinambungan serta

tergantung pada tipe/jenis dan derajat luka. Sehubungan dengan adanya perubahan

morfologik, tahapan penyembuhan luka terdiri dari:

A. Fase Inflamasi

Fase inflamasi adalah adanya respons vaskuler dan seluler yang terjadi akibat perlukaan

yang terjadi pada jaringan lunak. Tujuan yang hendak dicapai adalah menghentikan

perdarahan dan membersihkan area luka dari benda asing, sel-sel mati dan bakteri untuk

mempersiapkan dimulainya proses penyembuhan. Pada awal fase ini, kerusakan pembuluh

darah akan menyebabkan keluarnya platelet yang berfungsi hemostasis. Platelet akan

menutupi vaskuler yang terbuka (clot) dan juga mengeluarkan substansi “vasokonstriksi”

yang mengakibatkan pembuluh darah kapiler vasokonstriksi, selanjutnya terjadi penempelan

endotel yang akan menutup pembuluh darah. Komponen hemostasis ini akan melepaskan dan

mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth

Factor (IGF), Plateled-derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor

beta (TGF-β) yang berperan untuk terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel

26

endotelial dan fibroblas. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan akumulasi

lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan mengeluarkan mediator

inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF 1) yang juga dikeluarkan oleh

makrofag. Adanya TGF 1 akan mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen. (Guyton,

2014)

Periode ini hanya berlangsung 5-10 menit, dan setelah itu akan terjadi vasodilatasi kapiler

stimulasi saraf sensoris (local sensoris nerve ending), local reflex action, dan adanya

substansi vasodilator: histamin, serotonin dan sitokins. Histamin kecuali menyebabkan

vasodilatasi juga mengakibatkan meningkatnya permeabilitas vena, sehingga cairan plasma

darah keluar dari pembuluh darah dan masuk ke daerah luka dan secara klinis terjadi edema

jaringan dan keadaan lokal lingkungan tersebut asidosis. (Guyton, 2014)

Eksudasi ini jugamengakibatkan migrasi sel lekosit (terutama netrofil) ke ekstra vaskuler.

Fungsi netrofil adalah melakukan fagositosis benda asing dan bakteri di daerah luka selama 3

hari dan kemudian akan digantikan oleh sel makrofag yang berperan lebih besar jika

dibanding dengan netrofil pada proses penyembuhan luka.

Fungsi makrofag disamping fagositosis adalah:

a. Sintesa kolagen

b. Pembentukan jaringan granulasi bersama-sama dengan fibroblas

c. Memproduksi growth factor yang berperan pada re-epitelisasi

d. Pembentukan pembuluh kapiler baru atau angiogenesis

Dengan berhasilnya dicapai luka yang bersih, tidak terdapat infeksi atau kuman serta

terbentuknya makrofag dan fibroblas, keadaan ini dapat dipakai sebagai pedoman/parameter

bahwa fase inflamasi ditandai dengan adanya: eritema, hangat pada kulit, edema dan rasa

sakit yang berlangsung sampai hari ke-3 atau hari ke-4. (Guyton, 2014)

  B. Fase Proliferasi

Proses kegiatan seluler yang penting pada fase ini adalah memperbaiki dan

menyembuhkan luka dan ditandai dengan proliferasi sel. Peran fibroblas sangat besar pada

proses perbaikan, yaitu bertanggung jawab pada persiapan menghasilkan produk struktur

protein yang akan digunakan selama proses rekonstruksi jaringan. (Guyton, 2014)

Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat

jarang dan biasanya bersembunyi di matriks jaringan penunjang. Sesudah terjaid luka,

27

fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan

berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic

acid, fibronectin dan profeoglycans) yang berperan dalam membangun (rekonstruksi)

jaringan baru. (Guyton, 2014)

Fungsi kolagen yang lebih spesifik adalah membnetuk cikal bakal jaringan baru

(connective tissue matrix) dan dengan dikeluarkannnya subtrat oleh fibroblast, memberikan

tanda bahwa makrofag, pembuluh darah baru dan juga fibroblas sebagai satu kesatuan unit

dapat memasuki kawasan luka. (Guyton, 2014)

Sejumlah sel dan pembuluh darah baru yang tertanam di dalam jaringan baru tersebut

disebut sebagai jaringan granulasi, sedangkan proses proliferasi fibroblas dengan aktifitas

sintetiknya disebut fibroblasia. (Guyton, 2014)

Respons yang dilakukan fibroblas terhadap proses fibroplasia adalah:

a. Proliferasi

b. Migrasi

c. Deposit jaringan matriks

d. Kontraksi luka

Angiogenesis suatu proses pembentukan pembuluh kapiler baru didalam luka,

mempunyai arti penting pada tahap proleferaswi proses penyembuhan luka. Kegagalan

vaskuler akibat penyakit (diabetes), pengobatan (radiasi) atau obat (preparat steroid)

mengakibatkan lambatnya proses sembuh karena terbentuknya ulkus yang kronis. Jaringan

vaskuler yang melakukan invasi kedalam luka merupakan suatu respons untuk memberikan

oksigen dan nutrisi yang cukup di daerah luka karena biasanya pada daerah luka terdapat

keadaan hipoksik dan turunnya tekanan oksigen. Pada fase ini fibroplasia dan angiogenesis

merupakan proses terintegrasi dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet

dan makrofag (grwth factors). (Guyton, 2014)

Proses selanjutnya adalah epitelisasi, dimana fibroblas mengeluarkan “keratinocyte

growth factor (KGF) yang berperan dalam stimulasi mitosis sel epidermal. Keratinisasi akan

dimulai dari pinggir luka dan akhirnya membentuk barrier yang menutupi permukaan luka.

Dengan sintesa kolagen oleh fibroblas, pembentukan lapisan dermis ini akan disempurnakan

kualitasnya dengan mengatur keseimbangan jaringan granulasi dan dermis. Untuk membantu

jaringan baru tersebut menutup luka, fibroblas akan merubah strukturnya menjadi

28

myofibroblast yang mempunyai kapasitas melakukan kontraksi pada jaringan. Fungsi

kontraksi akan lebih menonjol pada luka dengan defek luas dibandingkan dengan defek luka

minimal. (Guyton, 2014)

Fase proliferasi akan berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk,

terlihat proses kontraksi dan akan dipercepat oleh berbagai growth factor yang dibentuk oleh

makrofag dan platelet. (Guyton, 2014)

C. Fase Maturasi

Fase ini dimulai pada minggu ke-3 setelah perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih

12 bulan. Tujuan dari fase maturasi adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru

menjadi jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblas sudah mulai meninggalkan

jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan mulai berkurang karena pembuluh mulai

regresi dan serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut.

Kekuatan dari ajringan parut akan mencapai puncaknya pada minggu ke-10 setelah

perlukaan. Sintesa kolagen yang telah dimulai sejak fase proliferasi akan dilanjutkan pada

fase maturasi. Kecuali pembentukan kolagen juga akan terjadi pemecahan kolagen oleh

enzim kolagenase. Kolagen muda (gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi

akan berubah menjadi kolagen yang lebih matang, yaitu lebih kuat dan struktur yang lebih

baik (proses re-modelling). (Guyton, 2014)

Untuk mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara kolagen

yang diproduksi dengan yang dipecahkan. Kolagen yang berlebihan akan terjadi penebalan

jaringan parut atau hypertrophic scar, sebaliknya produksi yang berkurang akan menurunkan

kekuatan jaringan parut dan luka akan selalu terbuka. (Guyton, 2014)

Luka dikatakan sembuh jika terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan ajringan kulit

mampu atau tidak mengganggu untuk melakukan aktivitas yang normal. Meskipun proses

penyembuhan luka sama bagi setiap penderita, namun outcome atau hasil yang dicapai

sangat tergantung dari kondisi biologik masing-masing individu, lokasi serta luasnya luka.

Penderita muda dan sehat akan mencapai proses yang cepat dibandingkan dengan kurang

gizi, disertai dengan penyakit sistemik (diabetes melitus). (Guyton, 2014)

29

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, Karnen G. 2014. Imunologi Dasar Edisi ke-11. Jakarta. Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Guyton, Arthur C dan Hall John. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.

Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2013. Buku Ajar Patologi Edisi ke-7 Volume 1. Jakarta. EGC.

Scanlon Valerie C, Sanders Tina, 2007. Buku Ajar Anatomi Dan Fisiologi (Essentials of

Anatomy and Physiology) Edisi III cetakan pertama. Jakarta. EGC.