LP Fraktur Femur

37
BAB I LANDASAN TEORI A. KONSEP MEDIS 1. Pengertian a. Fraktur adalah terputusnya kontiunitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenisnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang dapat di absorbsinya (Smeltzer & Bare, 2002 : 2357). b. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang. (Price, 2006 : 1365). c. Fraktur adalah terputusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan. Patah tulang dapat terjadi dalam keadaan normal atau patologis. Pada keadaan

description

fratur femur

Transcript of LP Fraktur Femur

BAB I

LANDASAN TEORI

A. KONSEP MEDIS

1. Pengertian

a. Fraktur adalah terputusnya kontiunitas tulang dan ditentukan sesuai

dengan jenisnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar

dari yang dapat di absorbsinya (Smeltzer & Bare, 2002 : 2357).

b. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga

fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan

jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang

terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila

seluruh tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak

melibatkan seluruh ketebalan tulang. (Price, 2006 : 1365).

c. Fraktur adalah terputusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang

rawan yang disebabkan oleh kekerasan. Patah tulang dapat terjadi dalam

keadaan normal atau patologis. Pada keadaan patologis, misalnya kanker

tulang atau osteoporosis, tulang menjadi lebih lemah. Dalam keadaan ini,

kekerasan sedikit saja akan menyebabkan patah tulang. (Oswari , 2005 :

144).

d. Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontiunitas jaringan tulang

dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa

(Sjamsuhidayat, 2005 : 840).

e. Fraktur femur adalah terputusnya kontiunitas batang femur yang bisa

terjadi akibat truma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari

ketinggian). Patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang

cukup banyak, mengakibatkan penderita jatuh dalam syok (FKUI dalam

Jitowiyono, 2010 : 15).

f. Pasien datang dengan paha yang membesar, mengalami deformitas dan

nyeri sekali dan tidak dapat menggerakan pinggul maupun lututnya.

Fraktur dapat transversal, oblik, spiral maupun kominutif. Sering pasien

mengalami syok, karena kehilangan darah 2 sampai 3 unit kedalam

jaringan, sering terjadi pada faktur ini (Smeltzer & Bare, 2002:2379).

2. Anatomi Fisiologi

Tulang paha / femur terdiri dari

ujung atas, corpus dan ujung bawah,

ujung atas terdiri dari :

a. Kaput adalah masa yang

membuat dan mengarah ke

dalam dan ke atas tulang

tersebut halus dan dilapisi

dengan kartilago kembali fovea,

lubang kecil tempat melekatnya

ligamen pendek yang menghubungkan kaput ke area yang besar pada

asetabulum os coxal.

b. Trochanten mayor sebelah lateral dan trochanter minor sebelah medial,

merupakan melekatnya otot-otot.

c. Carpus adalah tulang panjang agak mendatar ke arah medial, sebagian

besar permukaannya halus dan tempat melekatnya otot-otot. Pada bagian

posterior linea aspera adalah tulang yang berbentuk hubungan ganda,

membentang ke bawah dari trochanter atas dan melebar keluar bawah

untuk menutup area yang halus. Ujung bawah terdiri dari kondik medial

dan lateral yang besar dan suatu area tulang diantaranya kondile

mempunyai permukaan artikulur untuk fibia dibawah dan patela di depan.

Fraktur collum dan kaput merupakan fraktur femur yang umum, fraktur

tersebut lebih mudah terjadi pada orang tua sebagai akibat karena jatuh.

Fraktur tidak dapat segera sembuh karena pada fraktur tersebut memotong

banyak suplay darah ke kaput femoris. Fraktur ini biasanya ditangani dengan

memasang pembaja melalui trochanter mayor ke dalam kaput femuris.

Dengan demikian pasien mampu untuk turun dari tempat tidur dan mulai

untuk berjalan (John Gibson, 1995 : 44).

3. Klasifikasi

a. Fraktur terbuka

Terdapat luka yang menghubungkan tulang fraktur dengan permukaan

kulit

b. Fraktur tertutup

Bilamana tidak ada luka yang menghubungkan tulang fraktur dengan

permukaan kulit

c. Fraktur komplit

1) Garis patah melalui seluruh penampang tulang

2) Garis patah melalui kedua korteks tulang

d. Fraktur inkomplit

Garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti Greenstick

fraktur mengenai satu korteks dengan anguilisasi korteks lainnya atau

pecahnya pada samping tulang.

e. Buckle Fraktur / Torus Otot

Terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi spongtosa di bawahnya.

4. Etiologi

Menurut Sachdeva dalam Jitowiyono dkk (2010: 16), penyebab fraktur dapat

dibagi menjadi tiga yaitu :

a. Cedera traumatik

Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :

1) Cedera langsung berarti pukulan/kekerasan langsung terhadap tulang

sehingga tulang patah secara spontan ditempat itu. Pemukulan

biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit

diatasnya.

2) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi

benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan

fraktur klavikula.

3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot

yang kuat.

b. Fraktur patologik

Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan

trauma minor dapat mengakibatkan fraktur, dapat juga terjadi pada

berbagai keadaan berikut :

1) Tumor tulang (jinak atau ganas), pertumbuhan jaringan baru yang

tidak terkendali dan progresif.

2) Infeksi seperti osteomielitis, dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut

atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan

sakit nyeri.

3) Rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh difisiensi

vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya

disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat

disebabkan kegagalan absorbsi vitamin D atau oleh karena asupan

kalsium atau fosfat yang rendah.

c. Secara spontan

Disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit

polio dan orang yang bertugas di kemiliteran (Jitowiyono dkk, 2010:16).

5. Patofisiologi

Patofisiologi fraktur adalah jika tulang mengalami fraktur, maka periosteum,

pembuluh darah di korteks, marrow dan jaringan disekitarnya rusak. Terjadi

pendarahan dan kerusakan jaringan di ujung tulang. Terbentuklah hematoma

di canal medulla. Pembuluh-pembuluh kapiler dan jaringan ikat tumbuh ke

dalamnya., menyerap hematoma tersebut, dan menggantikannya. Jaringan ikat

berisi sel-sel tulang (osteoblast) yang berasal dari periosteum. Sel ini

menghasilkan endapan garam kalsium dalam jaringan ikat yang di sebut

callus. Callus kemudian secara bertahap dibentuk menjadi profil tulang

melalui pengeluaran kelebihannya oleh osteoclast yaitu sel yang melarutkan

tulang (Smelter & Bare, 2001).

Pada permulaan akan terjadi pendarahan disekitar patah tulang, yang

disebabkan oleh terputusnya pembuluh darah pada tulang dan periost, fase ini

disebut fase hematoma. Hematoma ini kemudian akan menjadi medium

pertumbuhan sel jaringan fibrosis dengan kapiler didalamnya. Jaringan ini

yang menyebabkan fragmen tulang-tulang saling menempel, fase ini disebut

fase jaringan fibrosis dan jaringan yang menempelkan fragmen patah tulang

tersebut dinamakan kalus fibrosa. Kedalam hematoma dan jaringan fibrosis

ini kemudianjuga tumbuh sel jaringan mesenkin yang bersifat osteogenik. Sel

ini akan berubah menjadi sel kondroblast yang membentuk kondroid yang

merupakan bahan dasar tulang rawan. Kondroid dan osteoid ini mula-mula

tidak mengandung kalsium hingga tidak terlihat foto rontgen. Pada tahap

selanjutnya terjadi penulangan atau osifikasi. Kesemuanya ini menyebabkan

kalus fibrosa berubah menjadi kalus tulang.

6. Tanda dan gejala

Adapun tanda dan gejala dari fraktur menurut Smeltzer & Bare (2001) antara

lain:

a. Deformitas

Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari

tempatnya perubahan keseimbangan dan kontur terjadi seperti :

1) Rotasi pemendekan tulang

2) Penekanan tulang

b. Bengkak

Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam

jaringan yang berdekatan dengan fraktur

c. Ekimosis dari perdarahan subculaneous

d. Spasme otot, spasme involunters dekat fraktur

e. Tenderness

f. Nyeri mungkin disebabkan oleh spame otot berpindah tulang dari

tempatnya dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan.

g. Kehilangan sensani (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/

perdarahan).

h. Shock hipovolemik hasil dari hilangnya darah

i. Krepitasi

7. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi/luasnya fraktur/trauma

b. Skan tulang, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan

untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.

d. Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau

menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur) perdarahan bermakna

pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel.

e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.

f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi

multipel, atau cidera hati ( Doenges dalam Jitowiyono, 2010:21).

8. Penatalaksanaan Medis

a. Penatalaksanaan kedaruratan

Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak

menyadari adanya fraktur, dan berusaha berjalan dengan tungkai yang

patah. Maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi

bagian tubuh segera sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang

mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum dapat

dilakukan pembidaian, ektremitas harus disangga diatas dan dibawah

tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi dan angulasi. Gerakan

angulasi patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan

lunak, dan perdarahan lebih lanjut.

Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara

dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang.

Pada cedera ekstremitas atas lengan dapat dibebat dengan dada, atau

lengan yang cedera dibebat dengan sling. Pada fraktur terbuka, luka

ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk mencegah kontaminasi

jaringan yang lebih dalam.

b. Prinsip penanganan fraktur

Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengambilan

fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi

1) Reduksi fraktur

Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragmen tulang

pada kesejajarannya dan rotasi anatomis

a) Reduksi tertutup : pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup

dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya

( ujung-ujungnya saling berhubungan ) dengan manipulasi atau

traksi manual.

b) Traksi : dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan

imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang

terjadi.

c) Redusi terbuka : pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka.

Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi

interna dapat berupa pin, kawat, skrup, plat, paku atau batangan

logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang

dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.

2) Imobilisasi fraktur

Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau

dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi

penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna dan

interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai,

traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna.

3) Mempertahankan dan mengembalikan fungsi : segala upaya diarahkan

pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi

harus dipertahankan sesuai kebutuhan.

Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur: diperlukan

berminggu-minggu sampai berbulan–bulan untuk kebanyakan fraktur

untuk mengalami penyembuhan. Adapun faktor yang mempercepat

penyembuhan fraktur adalah:

a) Imobilisasi fragmen tulang

b) Kontak fragmen tulang maksimal

c) Asupan darah yang memadai

d) Nutrisi yang baik

e) Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang

f) Hormon– hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D,

steroid anabolik

g) Potensial listrik pada patahan tulang

Faktor – faktor yang memperhambat penyembuhan tulang

a) Trauma lokal ekstensif

b) Kehilangan tulang

c) Imobilisasi tak memadai

d) Rongga atau jaringan diantara fragmen tulang

e) Infeksi

f) Penyakit tulang metabolik

g) Nekrosis avaskuler

h) Usia (lansia sembuh lebih lama) (Smeltzer & Bare, 2002 : 2359)

9. Komplikasi

Komplikasi fraktur yang terpenting adalah :

a. Komplikasi awal

1) Syok, dapat berakibat fatal dalam beberapa jam setelah edema

2) Emboli lemak, dapat terjadi 24-72 jam

3) Sindrom kompartemen, perfusi jaringan dalam otot kurang dari

kebutuhan

4) Infeksi dan tromboemboli

5) Koagulopati intravaskular diseminata

b. Komplikasi lanjutan

1) Mal-union/ non union

2) Nekrosis avaskular tulang

3) Reaksi terhadap alat fiksasi interna ( Suratun, 2008: 151).

B. KONSEP KEPERAWATAN

1. Pengkajian

Kaji kronologi dari mekanisme trauma pada paha. Sering didapatkan keluhan

nyeri pada luka terbuka.

a. Look : pada fraktur femur terbuka terlihat adanya luka terbuka pada paha

dengan deformitas yang jelas. Kaji seberapa luas kerusakan jaringan lunak

yang terlibat. Kaji apakah pada luka terbuka ada fragmen tulang yang

keluar dan apakah terdapatnya kerusakan pada jaringan beresiko

meningkat respon syok hipovolemik. Pada fase awal trauma kecelakaan

lalu lintas darat yang mengantarkan pada resiko tinggi infeks.

Pada fraktur femur tertutup sering ditemukan kehilangan

fungsi,deformitas, pemendekan ekstremitas atas karena kontraksi otot,

kripitasi, pembengkakan, dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi

akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini dapat

terjadi setelah beberapa jam atau beberapa setelah cedera.

b. Feel : adanya keluhan nyeri tekan dan adanya kripitasi

c. Move : daerah tungkai yang patah tidak boleh digerakan, karena akan

memberika respon trauma pada jaringan lunak disekitar ujung fragmen

tulang yang patah (Muttaqin, 2009: 303)

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang jelas, singkat dan pasti tentang

masalah pasien dan perkembangannya yang dapat dipecahkan atau diubah

melalui tindakan keperawatan (Zaidin, 2001).

Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan fraktur menurut

Doenges et al (1999) meliputi :

a. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan, gerakan fragmen tulang,

edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/imobilisasi, stress  ansietas.

b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, kerusakan

sirkulasi, penurunan sensasi di buktikan oleh terdapatnya luka/ulserasi,

turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotis.

c. Gangguan musculoskeletal, terapi pembatasan aktivitas  dan penurunan

kekuatan

d. Resiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respon inflamasi

tekanan, prosedur invasive dan jalur penusukan, luka/kerusakan kulit,

insisi pembedahan.

e. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan

pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/

mengingat, salah interpretasi informasi.

f. Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan itegritas

tulang (fraktur)

g. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan

dengan penurunan aliran darah, cedera vaskuler langsung, edema

berlebihan, pembentukan thrombus.

h. Resiko tinggi terhadap kerusakan gas berhubungan dengan perubahan

aliran darah/emboli lemak

3. Rencana Keperawatan

Perencanaan adalah penyusunan rencana tindakan keperawatan yang di

laksanakan untuk mengatasi masalah sesuai dengan diagnose keperawatan

yang telah di tentukan dengan tujuan terpenuhi kebutuhan klien (Zaidin,

2001).

Intervensi keperawatan yang muncul pada pasien dengan fraktur menurut

Doenges et al (1999) meliputi :

a. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan, gerakan fragmen tulang,

edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/imobilisasi, stress ansietas.

Tujuan : Nyeri dapat berkurang atau hilang

Kriteria hasil :

1) Pasien tampak tenang

2) Pasien melaporkan nyeri berkurang atau hilang

Intervensi

1) Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga

Rasional: hubungan yang baik membuat klien dan keluarga kooperatif.

2) Kaji tingkat intesitas, skala nyeri (0-10) dan frekuensi nyeri

menunjukkan skala nyeri.

3) Pertahahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring.

Rasional: menghilangkan nyeri dan mengurangi kesalahan posisi

tulang jaringan yang cedera.

4) Jelaskan prosedur sebelum memulai setiap tindakan.

Rasional : memungkinkan pasien  untuk siap secara mental untuk

setiap aktifitas, juga berpartisipasi dalam mengontrol tingkat

ketidaknyamanan.

5) Dorong pasien untuk mendiskusikan masalah sehubungan dengan

cedera.

Rasional : membantu untuk menghilangkan ansietas.

6) Lakukan dan awasi dalam latihan gerak aktif atau pasif.

Rasional : mempertahankan kekuatan otot yang sakit dan

mempermudahkan dalam  resolusi inflamasi pada jaringan  yang 

cedera.

7) Berikan tindakan nyaman seperti pijatan punggung, perubahan posisi.

Rasional : meningkatkan sirkulasi umum, menurunkan area tekanan

local dan kelelahan otot.

8) Dorong pasien dalam menggunakan teknik manajemen stress, seperti

relaksasi napas dalam, imajinasi visualisasidan sentuhan terapeutik.

Rasioanal : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa

control dan dapat meningkatkan kempuan koping dalam mananjemen

nyeri.

9) Kolaborasi pemberian analgesik sesuai indikasi.

Rasional : merupakan tindakan dependent perawatan, dimana

analgesic berfungsi untuk memblok stimulus nyeri.

b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, kerusakan

sirkulasi, penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapatnyaluka/ulserasi,

turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotis.

Tujuan : Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai.

Kriteria hasil :

1) Menyatakan ketidaknyaman hilang

2) Menunjukkan prilaku untuk mencegah kerusakan kulit dan

memudahkan penyembuhansesuai indikasi.

Intervensi

1) Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan dan

perubahan warna.

Rasioanal : memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan  masalah

yang mungkin disebabkan oleh alat.

2) Kaji kulit dan identifikasi pada tahap perkembangan luka.

Rasional : mengetahui sejauh mana perkembangan luka

mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.

3) Pantau peningkatan suhu tubuh

Rasional : suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasikan sebagai

adanya proses peradangan

4) Berikan perawatan luka dengan  teknik aseptic, balut luka dengan kasa

yang kering dan gunakan plester kertas.

Rasional : teknik aseptic membantu dalam penyembuhan luka dan 

menncegah terjadinya infeksi.

5) Jika pemulihan tidak terjadi  kolaborasi tindak lanjut misalnya

debridement

Rasional : agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi tidak

menyebar pada area kulit yang normal lainnya.

c. Gangguann mobilitas fisik nyeri/ketidaknyamanan kerusakan

musculoskeletal, terapi pembatasan aktivitas dan penurunan kekuatan.

Tujuan : Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal

Kriteria hasil

1) Mempertahankan mobilitas optimal yang dapat ditoleransi

2) Meningkatkan fungsi yang sakit

3) Melakukan  pergerakan dan perpindahan

Intervensi

1) Kaji kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan kebutuhan akan

peralatan

Rasional : mengidentifikasi masalah dan mempermudahkan intervensi

2) Ubah posisi secara periodic dan dorong untuk latihan nafas dalam

Rasional : mencegah insiden komplikasi kulit atau pernafasan.

3) Ajarkan dan pantau pasien dalam penggunaan alat bantu

Rasional : menilai batasan kemampuan klien dalam melakukan

aktivitas optimal.

4) Ajarkan dan dukung pasien dalam latihan ROM aktif dan pasif.

Rasional : mempertahankan kekuatan dan ketahanann otot.

5) Kolaborasi dengan ahli terapi

Rasional : sebagai suatu sumber untuk mengembangkan perencanaan

dan mempertahankan mobilitas pasien.

d. Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan perifer,

perubahan sirkulasi, prosedur invasif dan kerusakan kulit.

Tujuan : Resiko infeksi tidak menjadi actual

Kriteria hasil

1) Tidak ada tanda-tanda infeksi seperti pus, kemerahan, bengkak,

demam dan nyeri.

2) Luka bersih, tidak lembab dan tidak kotor

3) Tanda-tanda vital dalam batas normal atau dapat ditoleran.

Intervensi

1) Pantau tanda-tanda vital

Rasional : mengidentifikasi tanda-tanda peradangan terutama bila suhu

meningkat.

2) Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptic

Rasional : mencegah kontaminasi silang

3) Lakukan perawatan terhadap prosedur invasif seperti infuse, kateter

dan drainase luka.

Rasional : untuk mengurangi resiko infeksi nasokomial.

4) Infeksi kulit untuk adanya iritasi atau robekan

Rasional : untuk mengetahui adanya infeksi

5) Kaji tonus otot, reflex tendon dalam dan kemampuan untuk berbicara

Rasional : kekauan otot, spasme tonik otot rahang dan difagia

menunjukkan terjadinya tetanus.

6) Observasi luka untuk pembentukan krepitasi dan perubahan warna

kulit.

Rasional : tanda perkiraan infeksi

e. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan

pengobatan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan

atau mengingat dan salah interpretasi informasi.

Tujuan : Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur

dan proses pengobatan.

Kriteria hasil :

1) Melakukan prosedur yang dilakukan dan menjelaskan alasan dari

suatu tindakan.

2) Memulai perubahan gaya hidup yang di perlukan dan ikut serta dalam

perawatan.

Intervensi :

1) Kaji tingkat kemampuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.

Rasional : mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan

klien dan keluarga tentang penyakitnya.

2) Berikan penjelasan pada pada pasien tentang penyakitnya dan

kondisinya sekarang

Rasional : dengan mengetahui penyakitnya dan kondisinya sekarang

klien dan keluarganya merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.

3) Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanannya.

Rasional : diet dan pola makan yang tepat membantu proses

penyembuhan.

4) Berikan penjelasan pada pasien tentang perawatan luka

Rasional : menambah pengetahuan dan pembelajaran pasien tentang

perawatan luka.

5) Minta keluarga kembali mengulangi materi yang telah diberikan.

Rasional : menambah pengetahuan dan pembelajaran bagi pasien

tentang perawatan luka.

f. Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan integritas

tulang (fraktur)

Tujuan : Resiko tinggi trauma tidak menjadi actual

Kriteria hasil :

1) Mempertahankan stabilisasi dari posisi fraktur

2) Menunjukkan mekanika tubuh yang meningkatkan stabilisasi pada

farktur

3) Menunjukkan pembentukan kalus mulai penyatuan fraktur dengan

tepat

Intervensi

1) Pertahankan tirah baring /ekstermitas sesuai indikasi.

Rasional : meningkatkan stabilitas, menurunkan kemungkinan

gangguan posisi.

2) Letakkan papan di bawah tempat tidur atau tempatkan pasien pada

tempat tidur ortopedik.

Rasional : tempat tidur lembut atau lentur dapat membuat deformasi

gips yang masih basah.

3) Sokong fraktur dengan bantal/gulungan selimut, pertahankan tahanan

posisi netral pada bagian yang sakit dengan bantal pasir, pembebat,

gulungan trokanter dan papan kaki

Rasional : mencegah gerakan yang tak perlu dan perubahan posisi.

Posisi yang tepat dari bantal juga dapat mencegah tekanan deformitas

pada gips yang kering.

4) Tugaskan petugas yang cukup untuk membalik pasien hindari

penggunaan papan abduksi untuk membalik pasien dengan gips

Rasional : gips panggul atau multiple dapat membuat berat dan tidak

praktis secara ekstrem. Kegagalan untuk menyokong ektremitas yang

di gips dapat menyebabkan gips patah.

5) Evaluasi pembebat ekstermitas terhadap resolusi edema.

Rasional : pembebat koaptasi (contoh jepitan jones sugar) mungkin

diberikan untuk memberikan imobilisasi fraktur dimana

pembengkakan jaringan berlebihan. Seiring dengan berkurangnya

edema, penilaian kembali pembebat atau penggunaan gips plaster

mungkin diperlukan untuk mempertahankan kesejajaran fraktur

6) Pertahankan posisi atau integritas traksi

Rasional : traksi memungkinkan tarikan pada aksis panjang fraktur

tulang dan mengatasi tegangan otot/pemendekan untuk memudahkan

posisi/penyatuan. Traksi tulang memungkinkan penggunaan berat

lebih besar untuk pemeriksaan traksi daripada digunakan untuk

jaringan kulit.

7) Yakinkan bahwa semua klem berfungsi. Minyaki control dan periksa

tali terhadap tegangan. Amankan dan tutup ikatan dengan plester

perekat.

Rasional : yakinkan bahwa susunan traksi berfungsi dengan tepat

untuk menghindari  interupsi penyambungan traksi.

8) Kaji ulang tahanan yang mungkin timbul karena terapi.

Rasional : mempertahankan integritas tarikan traksi.

9) Kolaborasi untuk kaji ulang foto/evaluasi

Rasional : memberikan bukti visual mulainya pembentukan

kalus/proses penyembuhan untuk menentukan tingkat aktivitas dan

kebutuhan perubahan/tambahan terapi.

g. Resiko tinggi terhadap neurovaskuler perifer berhubungan dengan

peniruan aliran darah, cedera vaskuler langsung, edema berlebihan dan

pembentukan thrombus.

Tujuan : Resiko tinggi terhadap neurovaskuler tidak menjadi actual

Kriteria hasil : Mempertahankan perfusi jaringan di buktikan oleh

terabanya nadi, kulit hangat/kering, sensasi biasa, sensasi normal, tanda-

tanda vital stabildan haluaran urin adekuat untuk situasi individu.

Intervensi

1) Lepaskan perhiasaan dari ekstremitass yang sakit

Rasional : dapat membendung sirkulasi bila terjadi edema.

2) Evaluasi  adanya/kualitas nadi periver distal terhadap cedera melalui

palpasi. Bandingkan dengan ekstremitas yang sakit.

Rasional : penurunan/tak adanya nadi dapat menggambarkan cedera

vaskulerdan perlunya evaluasi medic segera terhadap status sirkulasi.

3) Kaji aliran kapiler, warna kulit dan pada fraktur

Rasional : kembalinya warna harus cepat (3-5 detik), warna kulit putih

menunjukkan  gangguan arterial sianosis diduga ada gangguan vena.

4) Lakukan pengkajian neuromuskuler, perhatikan adanya perubahan

fungsi motor/sensori. Minta pasien untuk melokalisasi

nyeri/ketidaknyaman.

Rasional : gangguan perasaan kebas, kesemutan,

peningkatan/penyebaran nyeri terjadi bila sirkulasi pada syaraf tidak

adekuat/syaraf rusak.

5) Tes sensasi syaraf perifer dengan menusuk pada kedua selaput antara

ibu jari pertama dan kedua, dan kaji kemampuan untuk dorsofleksi ibu

jari bila diindikasikan.

Rasional : panjang dan posisi syaraf perineal meningkatkan resiko

cedera pada fraktur kaki, edema atau sindrom kompartemen atau

malposisi alat traksi

6) Kaji jaringan sekitar akhir gips untuk titik yang kasar atau tertekan.

Sedikit keluhan “rasa terbakar” dibawah gips.

Rasional : factor ini di sebabkan atau mengindikasikan tekanan

jaringan  atau iskemia, menimbulkan kerusakan atau nekrotik

7) Pertahankan peningkatkan ekstremitas yang cedera kecuali di

kontraidikasikan dengan menyakinkan adanya sindrom kompartemen

Rasional : meningkatkan drainese vena/menurunkan edema

8) Selidiki tanda iskemia ekstremitas tiba-tiba

Rasional : dislokasi fraktur sendi (terutama lutut) dapat merusak arteri

yang berdekatan, dengan akibat hilangnya aliran darah kedistal.

9) Awasi tanda-tanda vital, perhatikan tanda-tanda pucat/sianosis umum,

kulit dingin, perubahan mental.

Rasional : ketidakadekuatan volume sirkulasi akan mempengaruhi

system perfusi jaringan

10) Kolaborasi berikan kompres es di sekitar fraktur sesuai indikasi

Rasional : menurunkan edema/pembentukan hematoma, yang dapat

mengganggu sirkulasi

h. Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan

perubahan aliran darah emboli lemak

Tujuan : Tidak terjadi/menjadi actual terhadap kerusakan pertukaran gas.

Kriteria hasil : Mempertahankan pernafasan adekuat, dibuktikan oleh

tidak adanya dispnea/sianosis, frekuensi pernafasan dan GDA dalam batas

normal

Intervensi

1) Awasi frekuensi pernafasan dan upanya. Perhatikan stridor dan

penggunaan otot bantu serta terjadinya sianosis sentral.

Rasional : takipnea, dispnea dan perubahan dan mungkin hanya

indicator terjadinya emboli paru pada tahap awal. Masih adanya

tanda/gejala menunjukkan distress pernafasan luas/cenderung

kegagalan.

2) Auskultrasi bunyi nafas perhatikan terjadinya ketidaksamaan.

Rasional : perubahan dalam bunyi advestisius menunjukkan terjadinya

komplikasi pernafasan.

3) Atasi jaringan cedera/tulang dengan lembut, khususnya dalam

beberapa hari pertama.

Rasional : ini dapat mencegah terjadinya emboli lemak yang erat

berhubungan dengan fraktur

4) Instruksikan dan bantu dalam latihan nafas dalam dan batuk, reposisi

dengan sering.

Rasional : meningkatkan drainase secret dan menurunkan kongesti

pada paru.

5) Perhatikan peningkatan kegelisahan, letargi, stupor dan  kacau.

Rasional : gangguan pertukaran gas/ adanya emboli  pada paru dapat

menyebabkan penyimpangan pada tingkat kesadaran pasien seperti

terjadinya hipoksemia/asidosis.

6) Observasi sputum untuk tanda adanya darah

Rasional : hemodialisa dapat terjadi dengan emboli paru

7) Inspeksi kulit untuk adanya petekie diatas garis putting pada aksila,

meluas pada  abdomen/tubuh dan mukosa mulut.

Rasional : ini adalah karakteristik paling sering dari tanda emboli

lemak yang tampak dalm 2-3 hari setelah cedera

8) Kolaborasi bantu dalam spirometri insertif

Rasional : memaksimalkan ventilasi/oksigen dan meminimalkan

atelektasis.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Z. H. (2001). Dasar-dasar keperawatan professional. Jakarta : Widya

Medika.

Doenges. M.E; Moorhouse. M.F; Geissler. A.C. (1999). Rencana Asuhan

Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian

Perawatan Pasien edisi 3. Jakarta: EGC.

Harnawatiaj. (2008). Format Dokumentasi Keperawatan

(http://harnawatiaj.wordpress.com//) di akses 16 Juli 2010.

Hidayat, A. A. (2002). Pengantar Dokumentasi Proses Keperawatan. Jakarta :

EGC.

Mansjoer, Arif (et. al). (2000). Kapita Selekta Kedokteran. (edisi 3). Jakarta :

Media Aesculapius.

Nanda. (2005-2006). Panduan Diagnosa Keperawatan. Prima medika.

Potter & Perry. (2005). Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan

Praktik Edisi 4 vol 1. Jakarta: EGC

Smeltzer, Susanne C. (2001). Brunner & suddarth’s Textbook of Medical

Surgical Nursing. 8/E. Agung waluyo (et. al) (penerjemah)

(http://dokterkecil.wordpress.com/2009/08/07/fraktur-terbuka-femur-

suprakondiler-dan-interkondiler-intraartikuler) di akses tanggal 16 juli 2010

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA BP.S

DENGAN POST OP ORIF FEMUR DI RUANG D

RS BETHESDA YOGYAKARTA

DISUSUN OLEH :

RATNA PUSPITA ADIYASA (1002084)

IVO YUNITA SARI (1002060)

STIKES BETHESDA YAKKUM YOGYAKARTA

PRODI S-1 ILMU KEPERAWATAN

T.A 2012/2013