LP Fraktur Kollum Femur

download LP Fraktur Kollum Femur

of 31

Transcript of LP Fraktur Kollum Femur

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR COLLUM FEMURA. AnatomiKaput femur mendapat aliran darah dari tiga sumber utama, yaitu arteri sirkumfleksia femoralis medialis, arteri sirkumfleksa femoralis lateralis, dan arteri abturator. Pada usia dewasa, arteri abturator menyuplai sedikit aliran darah ke kaput femur melalui ligamentum teres. Arteri sirkumfleksa femoralis lateralis menghidupi arteri metafisis inferior melalui cabang ascendens dan menyuplai sebagian besar aspek inferoanterior kaput femur (FKUI-RSCM, 2008).

Gambar 1. Tulang femur

Konstributor terbesar aliran darah ke kaput femur, khususnya di aspek superolateral adalah arteri sirkumfleksa femoralis medialis. Kompleks arteri epifiseal lateralis berasal dari arteri sirkumfleksa femoralis medialis dan berjalan sepanjang aspek posteorosuperior kolum femur sebelum menyuplai kaput femur. Cabang cabang terminal ini terletak intrakapsuler sehingga disrupsi atau distorsinya akibat pergeseran fraktur kolum femur berperan terhadap terjadinya osteonekrosis (FKUI-RSCM, 2008 ).

Gambar 2. Tulang kolum femurB. PengertianFraktur kolum femur adalah fraktur intrakapsuler yang terjadi di femur proksimal pada daerah yang berawal dari distal permukaan artikuler caput femur hingga berakhir di proksimal daerah intertrokanter (FKUI-RSCM, 2008).

Gambar 3. Fraktur kolum femur

C. Epidimiologi Berdasarkan survei pada tahun 1994 insiden fraktur kolum femur berdasarkan usia di Amerika Serikat adalah 63, 3 per 100.000 orang per tahun pada wanita dan 27, 7 pada laki laki. Namun fraktur ini pada dewasa muda relatif jarang terjadi. Sedangkan insidennya tahun 2007 di RSCM pada wanita di atas 50 tahun adalah 0,13 % atau 127 per 100.000 orang dan laki laki 0,21 % atau per 100.000 orang. Frekuensi terjadinya fraktur kolum femur setara dengan fraktur intertrokanter (FKUI-RSCM, 2008).

D. Mekanisme cederaFraktur kolum femur dapat disebabkan baik karena energi rendah maupun energi tinggi. Fraktur ini pada umumnya terjadi pada pasien usia lanut akibat trauma energi rendah, seperti jatuh pada saat berdiri. Menurut frankel, fraktur kolum femur terjadi akibat gaya asial melebihi gaya bending. Gangguan dinamika otot dapat meningkatkan risiko fraktur kolum femur pada usia lanut. Energi akibat jatuh akan terserap oleh otot pada pasien usia muda, namun tidak adapat diserap dengan baik oleh otot yang lemah pada psien usia lanjut. Mekanisme lainnya adalah akibat gaya yang berlebihan kontraksi otot pada tulang saat upaya mendapatkan kestabilan setelah jatuh. Mekanisme lain yang juga bisa menyebabkan fraktur adalah akibat jatuh mengenai panggul sehingga gaya langsung mengenai trokanter mayor menimbulkan gaya aksial sepanjang kolum femur dan menyebabkan fraktur impaksi (FKUI-RSCM, 2008 )Beberapa peneliti menduga bahwa ekstremitas bawah dalam posisi rotasi eksterna saat jatuh. Saat rotasi eksterna yang ekstrim kolum femur menekan bibir acetabulum posterior, dan berlaku seperti fulcrum sehingga konsentrasi tekanan terjadi pada daerah ini. Kombinasi gaya aksial dan rotasi menimbulkan fraktur. Mekanisme ini dapat menerangkan bahwa kominusi kolum femur posterior pada fraktur ini (Swiontkowski, 2008 ).

E. Klasifikasi Klasifikasi kolum femur menurut anatomis dapat dibagi tiga. Fraktur kolum femur terbagi menjadi tiga tipe yaitu subkapital, trans atau mid-servikal, dan basicervikal. Tipe yang paling sering adalah subkapital pada pasien lanjut usia dan basicervikal pada pasien dewasa muda (Greenspan, 2000).Klasifikasi fraktur femur menurut Garden berdasarkan pengerasan fraktur dapat dibagi menjadi empat derajat yaitu (Greenspan, 2000) : Derajat 1 : Fraktur inkomplit impaksi kolum femur. Derajat 2 : Fraktur komplit tidak bergeser. Derajat 3 : Fraktur komplit dengan pergeseran moderat. Derajat 4 : Fraktur bergeser total.Staging Garden fraktur kolum femur subkapital adalah :1. Stage I : imkomplit (abduksi atau impaksi). Sudut trabekula medial antara kaput femur dan kolum femur > 180 derajat.2. Stage II : komplit tampa pergeseran. Sudut trabekula medial antara kaput femur dan kolum femur 180 derajat.3. Stage III: komplit dengan pergeseran parsial. Trabekula medial kaput femur tidak segaris dengan trabekula pelvis.4. Stage IV : komplit, pergeseran total. Trabekula medial kaput segaris dengan trabekula pelvis.Meskipun klasifikasi ini memiliki keterbatasan, namun sering dipakai untuk fraktur kolum femur pada pasien lanut usia.

F. Pemeriksaan klinisStatus umum pada pasien fraktur kolum femur bisanya tidak dapat berdiri atau berjalan pada saat bari cidera. Pada pasien usia lanjut yang hidup sendiri, mungkin sudah menderita frakturnya beberapa jam atau beberapa hari sebelum mereka mendapat evaluasi medis, sehingga dapat jatuh pada kondisi dehidrasi, kekurangan nutrisi, dan kesadaran yang menurun (Koval et. All, 2004 ).Status lokalis pada spek inspeksi (look) tergantung pada derajat pergeseran dan kominusi fraktur. Fraktur yang tidak bergeser secara klinis tidak menunjukkan deformitas. Sebaliknya, fraktur yang kominutif dan bergeser menunjukkan ekstremitas bawah memendek dan rotasi eksterna. Bila pasienny alnjut usia, penilaian adanya dekubitus pada sakrum atau tumit. Aspek raba (feel) biasanya jarang terjadi cidera neorovaskular. Namun evalusi menyeluruh harus dilakukan. Sebagai contoh, bila pasien menderita penyakit vaskuler perifer atau neoropati perifer, maka memerlukan pemntauan kulit dan menghindari tekanan yang berlebihan pada saat melakukan reduksi. Aspek pemeriksaan gerak (move) menunjukan limitasi gerakan pada sendi panggul (Koval et. All, 2004).

G. Pemeriksaan Penunjang.Pemeriksaan sinar X yang diminta adalah pelvis dan panggul AP dan femur proksimal cross-table lateral. Jika fraktur tidak terlihat jelas, proyeksi panggul AP dilakukan dengan traksi aksial dan internal rotasi panggul. Jika penilaian dengan sinar X tidak menunjukkan abnormalitas, namun terdapat kecurigaan fraktur kolum femur (nyeri panggul pada saat pergerakan atau diberi gaya aksial), maka dapat dimintakan pemeriksaan MRI. Pemeriksaan ini untuk mengetahui adanya fraktur kolum femur yang occult. Pemeriksaan sinar X lain juga perlu dilakukan pada derah yang ekimosis, nyeri atau bengkak untuk menyingkirkan cidera penyerta. Radigrafi dada diminta bila terapi pembedahan direncanakan (Koval et. all, 2004).Evalusi diagnostik lainnya meliputi elektrokardiogram, urinalisis dan pemeriksaan darah, seperti darah lengkap, kadar elektrolit, dan profil koagulasi (masa protrombin dan tromboplastin parsial). Pemeriksaan skrining juga sebagai antisipasi tindakan operasi. Adanya dehidrasi dan anemia akibat perdarahan fraktur intrakapsuler atau asupan nutrisi tidak adekuat dapat dikomfirmasi dengan pemeriksaan darah tersebut. Pada pasien dengan penyakit kardiopulmoner, debilitasi fungsional atau demensia, analisi gas darah perlu dilakukan,. Pada pasien usia lanjut, penyakit kardiopulmoner merupakan determinan utama apakah pasien mampu tirah baring lama, menjalani operasi dan mengikuti program rehabilitasi (Koval et. all, 2004).

H. Hemiarthroplasti Berdasarkan kesepakatan umum, terapi terbaik fraktur kolum femur adalah pembedahan diikuti dengan mobilisasi dini. Pada kondisi tertentu, pendekatan konservatif dipilih karena pembedahan tidak dapat dilakukan karena beresiko meninggal akibat pembiusan dan pembedahan (pasien baru dapat infark miokard) dan pasien sedang mendapat terapi antikoagulan yang belum aman dalam waktu 72 jam priode perioperatif. Tatalaksana nonoperatif juga lebih teapat untuk pasien usia lanut yang sudah dimensia dan non-ambulator sebelum fraktur dan pasien yang hanya mengalami sedikit ketidaknyamanan akibat cedera tersebut (Miyamoto et. all, 2008).

Gambar 4. Hemiarthroplasti Pilhan terapi operatif beragam antara lain fiksasi perkutaneus, reduksi tertutup dan internal fiksasi, reduksi terbuka dan internal fiksasi (ORIF), dan arthroplasti. Fraktur yang nondisplaced seharusnya diterapi dengan pin atau skrup multipel. Fraktur displaced terapi berdasarkan umur dan tingkatan aktivitas pasien. Pasien dewasa muda diterapi dengan reduksi tertutup dan internal fiksasi (ORIF). Pad apsien lanjut usia diterapi dengan hemiarthroplasti, baik uncemented atau cemented ataupun total hip arthroplasty (Miyamoto, 2008).

I. Proses Penyembuhan FrakturUntuk penyembuhan fraktur diperlukan immobilisasi. Imobilisasi dilaksanakan dengan cara:1. Pembidaian PhysiologikPembidaian semacam ini terjadi secara alami karena menjaga pemakaian dan spasmus otot karena rasa sakit pada waktu digerakkan.2. Pembidaian secara orthopedi eksternalIni digunakan dengan gips dan traksi.3. Fiksasi internalPada metode ini, kedua ujung tulang yang patah dikembalikan kepada posisi asalnya dan difiksasi dengan pelat dan skrup atau diikat dengan kawat.

Setelah immobilisasi dilaksanakan, tulang akan beradaptasi pada kondisi tersebut, yaitu mengalami proses penyembuhan dan perbaikan tulang. Faktor tersebut dapat diperbaiki tetapi prosesnya agak lambat, karena melibatkan pembentukan tulang baru. Proses tersebut terjadi empat tahap yaitu:1. Pembentukan prokallus/HematomaHematoma akan terbentuk pada 42 jam sampai 72 jam pertama pada daerah fraktur yang disebabkan karena adanya perdarahan yang terkumpul di sekitar fraktur yaitu darah dan eksudat, kemudian akan diserbu oleh kapiler dan sel darah putih terutama netrofil, kemudian diikat oleh makrofag, sehingga akan terbentuk jaringan granulasi. Pada saat ini masuk juga fibroblast dan osteoblast yang berasal dari lapisan dalam periosteum dan endosteum.2. Pembentukkan KallusSelama 4 5 hari osteoblas menyusun trabekula di sekitar ruang-ruangan yang kelak menjadi saluran harvest. Jaringan itulah yang dinamakan kallus yang berfungsi sebagai bidai yang terbentuk pada akhir minggu kedua.3. OsifikasiDimulai pada dua sampai tiga meinggu setelah fraktur jaringan kallus akhirnya akan diendapi oleh garam-garam mineral dan akan terbentuk tulang yang akan menghubungkan kedua sisi yang patah.4. Kallus Formationa. Osteoblast terus membuat jala untuk membangun tulang.b. Osteoblast merusakkan tulang mati dan membantu mensintesa tulang baru.c. Collagen menjadi kuat dan terus menyatu dengan deposit kalsium.5. RemodelingCallus yang berlebihan diabsorbsi dan tulang trabecular terbentuk pada garis cedera.Faktor-faktor yang menghambat pertumbuhan callus:1. Penyambungan yang lambatBila patah tulang tidak sembuh dalam periode penyembuhan.Penyebab:1) Callus putus atau remuk karena aktifitas berlebihan.2) Edema pada lokasi fraktur, menahan penyaluran nutrisi ke lokasi.3) Immobilisasi yang tidak efisien.4) Infeksi terjadi pada lokasi.5) Kondisi gizi pasien buruk.2. Non unionPenyembuhan tulang tidak terjadi walaupun telah memakan waktu lama. Penyebab antara lain :1) Terlalu banyak tulang yang rusak pada cedera sehingga tidak ada yang menjembatani fragmen.2) Terjadi nekrosa tulang karena tidak ada aliran darah.3) Anemi endoceime imbalance (ketidakseimbangan endokrim atau penyebab sitemik yang lain).Faktor yang mempengaruhi penyembuhan tulang yaitu:1. Faktor lokala. Sifat luka atau berat utamaDerajat pembentukan formasi selama penyembuhan.b. Jumlah tulang yang hilangc. Tipe tulang yang cederad. Derajat imobilisasi yang terkenae. Infeksi lokal yang dapat memperlambat penyembuhan.f. Nekrosis tulang yang menghalangi aliran darah ke daerah fraktur.2. Faktor kliena. Usia klienb. Pengobatan yang sedang dijalani.c. Sistem sirkulasi.d. Gizie. Riwayat penyakit.

J. Spinal anestesi1. AnatomiTulang punggung (kolumna vertebralis) terdiri dari 7 Vertebra servikal, 12 vertebra torakal, 5 vertebra lumbal, 5 vertebra sakral menyatu pada deawasa dan 4 5 vertebra koksigeal menyatu pada dewasa. Prosesus spinosus C2 teraba langsung di bawah oksipital. Prosesus spinosus C7 menonjol dan disebut sebagai vertebra prominens. Garis lurus yang menghubungkan kedua krista iliaka tertinggi akan memotong prosesus spinosus vertebra L4-L5. Perdarahan pada medula spinalais diperdarahi oleh arteri spinalis anterior dan arteri spinalis posterior. Untuk mencapai cairan serebro spinalis, maka jarum suntik akan menembus kulit, subkutis, ligamen supraspinosum, ligamen interspinosusm, ligamen flavum, ruang epdural, durameter dan ruang subarakhnoid (Latief, 2002).

Gambar 5. Spinal cord

Medula spinalis berada dalam kanalis spinalis yang dikelilingi oleh cairan serebrospinalis dan dibungkus meningen (durameter, lemak dan pleksus venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3 dan sakus duralis berakhir setinggi S2. Cairan serebrospinalis merupakan ultrafiltrasi dari plasma yang berasal dari pleksus arteria koroidalis yang terletak di ventrikel 3-4 dan lateral. Cairan ini jernih dan tak bewarna mengisi ruang subarakhnoid dengan jumlah total 100 150 ml, sedangkan nyeri punggung sekitar 25-24 ml (Latief, 2002).

Gambar 6. Anatomi tulang belakang

2. Ketinggian segmental anatomik C3-C4Klavikula T2ruang interkostal kedua T4-5garis puting susu T7-9arkus subkostalis T10umbilikus

L1daerah inguinal S1-4 perineum

3. Ketinggian segmental refleks spinal T7-8epigastrik T9-12abdominal L1-2kremaster L2-4lutut (knee jerk) S1-2plantar, pergelangan kaki (ankle jerk) S4-5sfingter anus, refleks kejut (wink refleks)

4. Ketinggian kulit pada pembedahan Tungkai bawah T12 PanggulT10 Uterus-vaginaT10 Buli-buli prostatT10 Tungkai bawah dengan mansetT8 Testis ovariumT8 Intra abdomen bawahT6 Intra abomen lainT4

5. Pengertian spinal anestesiAnalgesia spinal (intratekal, intradural, subdural, subarakhnoid) ialah pemberian obat anastetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid. Anasthesia spina diperoleh dengan cara menyuntikan anestetik lokal ke dalam ruang subarakhnoid. Tekhnik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan (Latief, 2002).

Gambar 7. Spinal anestesi

Blok subarakhnoid adalah blok regional yang dilakukan dengan jalan menyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang sub arakhnoid melalui tindakan fungsi lumbal (Mangku, 2010).

6. Indikasi Indikasi untuk dilakukan spinal anestesi pada pasien yang akan dianestesi adalah (Latief, 2002) :a. Bedah ekstremitas bawahb. Bedah panggul.c. Tindakan sekitar rektum-perineum.d. Bedah obstetri-ginekologi.e. Bedah urologi.f. Bedah abdomen bawah.g. Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatri biasanya dikombinasikan dengan anestesia umum ringan.

7. Kontra indikasi Kontra indikasi pada pasien dengan spinal anestesi dapat diabagi menjadi 2 bagian yaitu kontra indikasi yang absolut dan kontra indikasi relatif (Latief, 2002) :a. Kontra indikasi absolut Pasien menolak. Infeksi pada tempat penusukan. Hipovolemia berat, syok. Koagulapati atau mendapat terapi antikoagulan. Tekanan intrakranial meninggi. Fasilitas resusitasi minimal. Kurang pengalaman/ tanpa didampingi konsultan anestesia.b. Kontra indikasi relatif Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi). Infeksi sekitar tempat penyuntikan. Kelainan neurologis. Kelainan psikis. Bedah lama. Penyakit jantung. Hipovelimia ringan. Nyeri punggung kronis.8. Persiapan spinal anetesia.Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anestesia umum. Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan antomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal hal di bawah ini (Latief, 2002) :a. Informed consent (izin dari pasien), dimana kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anestesia spinal.b. Pemeriksaan fisik, dimana tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung dan lain lainnya.c. Pemeriksaan laboratorium anjuran seperti hemoglobin, hematokrit, PT(prothrombine time) dan PTT (partial thromboplastine time ).

9. Peralatan spinal anestesia.Menurut Mangku (2010), persiapan yang dilakukan pada pasien yang akan dilakukan tindakan spinal anestesi adalalah :a. Persiapan rutin.b. Alat pantau yang diperlukan.c. Kit emergency.d. Obat anestetik lokal hiperbarik lidokain 5 % atau bupivakain 0,5%.e. Berikan infus tetesan cepat (hidrasi akut) sebanyak 500 100 ml dengan kristaloid atau koloid.f. Jarum khusus fungsi lumbal.g. Larutan efedrin yang mengandung 5mg/ ml.

Gambar 8. Spinal needleMenurut Latief (2002), peralatan spinal anestesi yang perlu disiapkan pada pasien yang akan dilakukan tindakan spinalanestesia adalah :a. Peralatan monitor seperti tekanan darah, nadi, pulse oxymetri dan EKG.b. Peralatan resusitasi dan anestesi umum.c. Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing, Quincke-Babcock) atau jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point, whitecare) dengan ukuran jarum yang biasa dipakai 25 atau 27.

10. Tekhnik spinal anastesiPosisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tususkan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat (Latief, 2002).a. Setelah dimonitor , tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral. Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maksimal agar prosesus spinosus mudah teraba. Posisi lain ialah duduk.

Gambar 9. Posisi miring spinal anestesi

b. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung ialah L4-5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3, L3-4 atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau dia atasnya beresiko trauma terhadap medula spinalis.

Gambar 10. Letak penyuntikan spinal anestesi

c. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.d. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.e. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jrum spinal besar 22 G, 23 G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau 29 G, dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum suntik biasa semprit 10 cc. Tsukan introducer sedalam kira kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian masukan jarum spinal beserta mandrinnya kelubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat durameter, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah ke atas tau ke bawah, untuk menghindari kebocoran liuor yang dapat berakibat timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang, madrin jarum spinal dicabut dan keluar liquor, pasang spuit yang berisi obat.

Gambar 11. Penusukan spinal anestesi

Kemudian di aspirasi sedikit sebelum obat dimasukan. Jika liquor positif dan ringan jika di aspirasi baru obat dimasukan secara perlahan lahan (0,5 ml/ dtk) dan sebelum obat habis disarankan untuk dilakukan aspirasi kembali hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar arah jarum 90 derajad biasanya liquor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.f. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hamoroid dengan anestetik hiperbarik yang biasa disebut dengan Sadle Block.

11. Jenis anestetik lokal untuk spinal anastesiBerat enis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37o ialah 1.003-1.008. anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut dengan isobarik. Anestetik lokal denganberat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik (Latief, 2002).Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan mancampur anestetik lokal dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi. Penyebaran anestetik lokal biasanya tergantung pada faktor utama dan faktor tambahan. Faktor faktor tersebut antara lain (Latief, 2002) :a. Faktor utama Berat enis anestetika lokal (barisistas). Posisi pasien (kecuali isobarik). Dosis dan volum anestetika lokal (kecuali isobarik ).b. Faktor tambahan Ketinggian suntikan./ Kecepatan suntikan/ barbotase. Ukuran jarum. Keadaan fisik pasien. Tekanan intraabdominal.Lama kerja anestetik lokal tergantung dari jenis anesteti lokal, besarnya dosis, ada tidaknya vasokonstriktor, dan besarnya penyebaran anestetika lokal.12. Komplikasi spinal anastesi.Omplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan tindakan spinal anestesi adalah :a. Hipotensi berat dapat terjadi akibat blok simpatis, terjadi venous pooling. Pada dewasa dicegah dengan memberikan infus cairan elektrolit 1000 ml atau koloid 500 ml sebelum tindakan.b. Bradikardi, hal ini dapat terjadi tanpa disertai hipotensi atau hipoksia, terjadi akibat blok asampai T-2.c. Hipoventilasi akibat terjadinya paralisi saraf frenikus atau hipoferfusi pusat kendali nafas.d. Trauma pembuluh darah.e. Trauma saraf.f. Mual-muntah.g. Gangguan pendengaran.h. Blok spinal tinggi, atau spinal total.Sedangkan komplikasi yang sering terjadi setelah tindakan spinal anestesi adalah :a. Nyeri tempat suntikan.b. Nyeri punggung.c. Nyeri kepala karena kebocoran likuor.d. Retensio urin.e. Meingitis.

K. Asuhan Keperawatan Pre Intra Post Anestesi.Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada tindakan pembedahan muskuloskeletal menurut Wilkimson (2007), meliputi tetapi tidak terbatas pada amputasi , artrotomi, bunio-nektomi, gips, plat pinggul, prostesis pinggul, reduksi teruka atau fiksasi internal untuk fraktur, perbaikan bahu, penggantian pergelangan kaki total, penggantian pinggul total, penggantian lutut total, dan traksi.

DIAGNOSA KEPERAWATANPre Operasi1. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder terhadap fraktur.2. Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah.3. Resiko tinggi terhadap disfungi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan aliran darah (cedera vaskuler langsung, edema berlebihan, pembentukan trombus)4. Cemas berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan operasi5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan informasi mengenai pengobatan.Post Operasi1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik2. resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan (prosedur invasif).3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (nyeri)4. resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik

B. INTERVENSIPre Operasi1. DX INyeri akut b.d. spasme otot dan kerusakan sekunder terhadap fraktur.Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang atau hilang.NOC:a. NOC 1: Level NyeriKriteria Hasil:a. Laporkan frekuensi nyerib. Kaji frekuensi nyeric. Lamanya nyeri berlangsungd. Ekspresi wajah terhadap nyerie. Kegelisahanf. Perubahan TTVb. NOC 2: Kontrol NyeriKriteri Hasil:a. Mengenal faktor penyebabb. Gunakan tindakan pencegahanc. Gunakan tindakan non analgetikd. Gunakan analgetik yang tepatKet Skala:1 = Tidak pernah menunjukkan2 = Jarang menunjukkan3 = Kadang menunjukkan4 = Sering menunjukkan5 = Selalu menunjukkanNIC: Manajemen Nyeri1) Kaji secara menyeluruh tentang nyeri termasuk lokasi, durasi, frekuensi, intensitas, dan faktor penyebab.2) Observasi isyarat non verbal dari ketidaknyamanan terutama jika tidak dapat berkomunikasi secara efektif.3) Berikan analgetik dengan tepat.4) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berakhir dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur.5) Ajarkan teknik non farmakologi (misalnya: relaksasi, guide, imagery,terapi musik,distraksi)

2. DX IIResiko tinggi trauma b.d. kehilangan integritas tulang (fraktur)Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi trauma.NOC: Risk ControlKriteria Hasil:a. Memonitor faktor resiko lingkunganb. Memonitor faktor resiko perilaku pasienc. Menggunakan pelayanan kesehatan kongruen dengan kebutuhand. Memonitor perubahan status kesehatane. Partisipasi dalam perawatan untuk identifikasiresikoKet Skala:1 = Tidak pernah menunjukkan2 = Jarang menunjukkan3 = Kadang menunjukkan4 = Sering menunjukkan5 = Selalu menunjukkanNIC: Enviromental Manaement: Safety1) Identifikasi keamanan yang dibutuhkan pasien, pada tingkat fungsi fisik dan kognitif dan perilaku yang lalu2) Identifikasi keselamatan pasien terhadap bahaya dalam lingkungan (fisik, biologi, kimia)3) Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan resiko bahaya.4) Monitor perubahan lingkungan dalam kondisi keamanan dan keselamatan pasien.

3. DX IIIResiko disfungsi neurovaskuler b.d. penurunan aliran darahTujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan neurovaskuler perifer berfungsi kembali.NOC: Circulation StatusKriteria Hasil:a. Nadi normalb. Tekanan vena sentral normalc. Perbedaan arteriol-venous oksigen normald. Peripheral pulse kuate. Tidak terjadi cedera peripheralf. Tidak terjadi kelemahan yang berlebihanKet Skala:1 = Sangat kompromi2 = Kompromi baik3 = Cukup Kompromi4 = Jarang Kompromi5 = Tidak KompromiNIC: a. NIC 1: Exercise Therapy1) Tentukan batasan pergerakan sendi dan efek dari fungsi2) Monitor lokasi ketidaknyamanan selama pergerakan3) Dukung ambulasib. NIC 2: Circulatory Care1) Evaluasi terhadap edema dan nadi2) Inspeksi kulit terhadap ulser3) Dukung pasien untuk latihan sesuai toleransi4) Kajiderajat ketidaknyamanan/nyeri5) Turunkan ekstremitas untuk memperbaiki sirkulasi arterial

4. DX IVResiko Kerusakan integritas kulit b.d. imobilisasi fisikTujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien dan keluarga tidak mengalami kecemasan.NOC: Control CemasKriteria Hasil:a. Monitor Intensitas kecemasanb. Menurunkanstimulasi lingkungan ketika cemasc. Menggunakan strategi koping efektifd. Mencari informasi untuk menurunkan cemase. Menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan cemasKet Skala:1 = Tidak pernah dilakukan2 = Jarang dilakukan3 = Kadang dilakukan4 = Sering dilakukan5 = Selalu dilakukanNIC: Penurunan Kecemasan1) Tenangkan Klien2) Jelaskan seluruh prosedur tindakan kepada klien dan perasaan yang mungkin muncul pada saat melakukan tindakan3) Berikan informasi tentang diagnosa, prognosis, dan tindakan.4) Temani pasien untuk mendukung keamanan dan menurunkan rasa sakit.5) Instruksikan pasien untuk menggunakan metode/ teknik relaksasi.

5. DX VKurang pengetahuan b.d. keterbatasan informasi mengenai pengobatanTujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pengetahuan pasien dan keluarga bertambah.NOC: Pengetahuan: proses penyakit.Kriteria Hasil:a. Mengenal tentang penyakitb. Menjelaskan proses penyakitc. Menjelaskan penyebab/faktor yang berhubungand. Menjelaskan faktor resikoe. Menjelaskan komplikasi dari penyakitf. Menjelaskan tanda dan gejala dari penyakitKet Skala:1 = Tidak pernah menunjukkan2 = Jarang menunjukkan3 = Kadang menunjukkan4 = Sering menunjukkan5 = Selalu menunjukkanNIC:a. NIC 1: Health Care Information exchange1) Identifikasi pemberi pelayanan keperawatan yang lain2) Identifikasi kemampuan pasien dan keluarga dalam mengimplementasikan keperawatan setelah penjelasan3) Jelaskan peran keluarga dalam perawatan yang berkesinambungan4) Jelaskan program perawatan medik meliputi; diet, pengobatan, dan latihan.5) Jelaskan rencana tindakan keperawatan sebelum mengimplementasikanb. NIC 2: Health Education1) Jelaskan faktor internal dan eksternal yang dapat menambah atau mengurangi dalam perilaku kesehatan.2) Jelaskan pengaruh kesehatan danperilaku gaya hidup individu,keluarga/lingkungan.3) Identifikasi lingkungan yang dibutuhkan dalam program perawatan.4) Anjurkan pemberian dukungan dari keluarga dan keluarga untuk membuat perilaku kondusif.

Post Operasi1. DX INyeri akut b.d. agen cidera fisikTujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri berkurang atau hilang.NOC:a. NOC 1: Level NyeriKriteria Hasil:a. Laporkan frekuensi nyerib. Kaji frekuensi nyeric. Lamanya nyeri berlangsungd. Ekspresi wajah terhadap nyerie. Kegelisahanf. Perubahan TTVb. NOC 2: Kontrol NyeriKriteri Hasil:a. Mengenal faktor penyebabb. Gunakan tindakan pencegahanc. Gunakan tindakan non analgetikd. Gunakan analgetik yang tepatKet Skala:1 = Tidak pernah menunjukkan2 = Jarang menunjukkan3 = Kadang menunjukkan4 = Sering menunjukkan5 = Selalu menunjukkanNIC: Manajemen Nyeri1) Kaji secara menyeluruh tentang nyeri termasuk lokasi, durasi, frekuensi, intensitas, dan faktor penyebab.2) Observasi isyarat non verbal dari ketidaknyamanan terutama jika tidak dapat berkomunikasi secara efektif.3) Berikan analgetik dengan tepat.4) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berakhir dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur.5) Ajarkan teknik non farmakologi (misalnya: relaksasi, guide, imagery,terapi musik,distraksi)

2. DX IIResiko tinggi infeksi b.d. trauma jaringan (prosedur invasif)Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan infeksitidak terjadi.NOC: a. NOC 1: Deteksi InfeksiKriteria Hasil:a. Mengukur tanda dan gejala yang mengindikasikan infeksib. Berpartisipasi dalam perawatan kesehatanc. Mampu mengidentifikasi potensial resikob. NOC 2: Pengendalian InfeksiKriteria Hasil:a. Pengetahuan tentang adanya resiko infeksib. Mampu memonitor faktor resiko dari lingkunganc. Membuat strategi untuk mengendalikan resiko infeksid. Mengatur gaya hidup untuk mengurangi resikoe. Penggunaan pelayanan kesehatan yang sesuaiKet Skala:1 = Selalu2 = Sering3 = Kadang4 = Jarang5 = Tidak pernahNIC: Teaching diases proses1) Deskripsikan proses penyakit dengan tepat2) Sediakan informasi tentang kondisi pasien3) Diskusikan perawatan yang akan dilakukan4) Gambaran tanda dan gejala penyakit5) Instruksikan pasien untuk melaporkan kepada perawat untuk melaporkan tentang tanda dan gejala yang dirasakan.

3. DX IIIKerusakan mobilitas fisik b.d. kerusakan meurovaskuler (nyeri)Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien dapat meningkatkan mobilisasi pada tingkat yang paling tinggiNOC: Mobility levelKriteria Hasil:a. Keseimbangan penampilanb. Memposisikan tubuhc. Gerakan ototd. Gerakan sendie. Ambulansi jalanf. Ambulansi kursi rodaKet Skala:1 = Dibantu total2 = Memerlukan bantuan orang lain dan alat3 = Memerlukan orang lain4 = Dapat melakukan sendiri dengan bantuan alat5 = MandiriNIC: Exercise Therapy: Ambulation1) Bantu pasien untuk menggunakan fasilitas alat bantu jalan dan cegah kecelakaan atau jatuh2) Tempatkan tempat tidur pada posisi yang mudah dijangkau/diraih pasien.3) Konsultasikan dengan fisioterapi tentang rencana ambulansi sesuai kebutuhan4) Monitor pasien dalam menggunakan alatbantujalan yang lain5) Instruksikan pasien/pemberi pelayanan ambulansi tentang teknik ambulansi.

4. DX IVResiko kerusakan integritas kulit b.d. imobilisasi fisik.Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kerusakan integritas kulit tidak terjadi.NOC: Integritas Jaringan: kulit dan membran mukosa

Kriteria Hasil:a. Sensasi normalb. Elastisitas normalc. Warnad. Teksture. Jaringan bebas lesif. Adanya pertumbuhan rambut dikulitg. Kulit utuhKet Skala:1 = Kompromi luar biasa2 = Kompromi baik3 = Kompromi kadang-kadang4 = Jarang kompromi 5 = Tidak pernah kompromiNIC: Scin Surveilance1) Observation ekstremitas oedema, ulserasi, kelembaban2) Monitor warna kulit3) Monitor temperatur kulit4) Inspeksi kulit dan membran mukosa5) Inspeksi kondisi insisi bedah6) Monitor kulit pada daerah kerusakan dan kemerahan7) Monitor infeksi dan oedema

C. EVALUASIPre OperasiDXKriteria HasilKet Skala

INOC 1: Level Nyeria. Laporkan frekuensi nyerib. Kaji frekuensi nyeric. Lamanya nyeri berlangsungd. Ekspresi wajah terhadap nyerie. Kegelisahanf. Perubahan TTVNOC 2: Kontrol Nyeria. Mengenal faktor penyebabb. Gunakan tindakan pencegahanc. Gunakan tindakan non analgetikd. Gunakan analgetik yang tepat1 = Tidak pernah menunjukkan2 = Jarang menunjukkan3 = Kadang menunjukkan4 = Sering menunjukkan5 = Selalu menunjukkan

IIa. Memonitor faktor resiko lingkunganb. Memonitor faktor resiko perilaku pasienc. Menggunakan pelayanan kesehatan kongruen dengan kebutuhand. Memonitor perubahan status kesehatane. Partisipasi dalam perawatan untuk identifikasiresiko

1 = Tidak pernah menunjukkan2 = Jarang menunjukkan3 = Kadang menunjukkan4 = Sering menunjukkan5 = Selalu menunjukkan

IIIa. Nadi normalb. Tekanan vena sentral normalc. Perbedaan arteriol-venous oksigen normald. Peripheral pulse kuate. Tidak terjadi cedera peripheralf. Tidak terjadi kelemahan yang berlebihan1 = Sangat kompromi2 = Kompromi baik3 = Cukup Kompromi4 = Jarang Kompromi5 = Tidak Kompromi

IVa. Monitor Intensitas kecemasanb. Menurunkanstimulasi lingkungan ketika cemasc. Menggunakan strategi koping efektifd. Mencari informasi untuk menurunkan cemase. Menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan cemas1 = Tidak pernah dilakukan2 = Jarang dilakukan3 = Kadang dilakukan4 = Sering dilakukan5 = Selalu dilakukan

Va. Mengenal tentang penyakitb. Menjelaskan proses penyakitc. Menjelaskan penyebab/faktor yang berhubungand. Menjelaskan faktor resikoe. Menjelaskan komplikasi dari penyakitf. Menjelaskan tanda dan gejala dari penyakit1 = Tidak pernah menunjukkan2 = Jarang menunjukkan3 = Kadang menunjukkan4 = Sering menunjukkan5 = Selalu menunjukkan

Post OperasiDXKriteria HasilKet Skala

INOC 1: Level Nyeria. Laporkan frekuensi nyerib. Kaji frekuensi nyeric. Lamanya nyeri berlangsungd. Ekspresi wajah terhadap nyerie. Kegelisahanf. Perubahan TTV

NOC 2: Kontrol Nyeria. Mengenal faktor penyebabb. Gunakan tindakan pencegahanc. Gunakan tindakan non analgetikd. Gunakan analgetik yang tepat1 = Tidak pernah menunjukkan2 = Jarang menunjukkan3 = Kadang menunjukkan4 = Sering menunjukkan5 = Selalu menunjukkan

IINOC 1: Deteksi Infeksia. Mengukur tanda dan gejala yang mengindikasikan infeksib. Berpartisipasi dalam perawatan kesehatanc. Mampu mengidentifikasi potensial resikoNOC 2: Pengendalian Infeksia. Pengetahuan tentang adanya resiko infeksib. Mampu memonitor faktor resiko dari lingkunganc. Membuat strategi untuk mengendalikan resiko infeksid. Mengatur gaya hidup untuk mengurangi resikoe. Penggunaan pelayanan kesehatan yang sesuai

1 = Selalu2 = Sering3 = Kadang4 = Jarang5 = Tidak pernah

IIIa. Keseimbangan penampilanb. Memposisikan tubuhc. Gerakan ototd. Gerakan sendie. Ambulansi jalanf. Ambulansi kursi roda1 = Dibantu total2 = Bantuan orang lain dan alat3 = Memerlukan orang lain4 = Dengan bantuan alat5 = Mandiri

IVa. Sensasi normalb. Elastisitas normalc. Warnad. Teksture. Jaringan bebas lesif. Adanya pertumbuhan rambut dikulitg. Kulit utuh

1 = Kompromi luar biasa2 = Kompromi baik3 = Kompromi kadang-kadang4 = Jarang kompromi 5 = Tidak pernah kompromi

DAFTAR PUSTAKA

Apley, A.C & Solomon, L. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan fraktur Sistem Apley, ed 7. Jakarta: Widya Medika.Capernito, Linda Juall. 1993. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, ed 6. Jakarta: EGC.Doengoes, M.E, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, ed 3. Jakarta: EGC.Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, vol 2. Jakarta: EGC.Harnowo, S. 2001. Keperawatan Medikal Bedah untuk Akademi Keperawatan. Jakarta: Widya Medika.Hidayat, Aziz.A. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika.Long, B.C. 1988. Perawatan Medikal Bedah Suatu Pendekatan Proses Keperawatan. Bandung: Yayasan IAPK Padjajaran.Price, S A & Wilson, L M. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, jilid 2. Jakarta: EGCMansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, ed 3, jilid 2. Jakarta: Aesculapius.http://www.google.com.