LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus...

26
LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: RUMAH, PEKARANGAN DAN KEBUN CATATAN TAHUNAN TENTANG KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2005 JAKARTA, 8 MARET 2005 KOMISI NASIONAL ANTI KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

Transcript of LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus...

Page 1: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: RUMAH, PEKARANGAN DAN KEBUN

CATATAN TAHUNAN TENTANG KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2005

JAKARTA, 8 MARET 2005

K O M I S I N A S I O N A L

A N T I K E K E R A S A N T E R H A D A P P E R E M P U A N

Page 2: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

2

Lokus Kekerasan terhadap Perempuan 2004: Rumah, Pekarangan dan Kebun

’The Personal is Polit ical’

RINGKAS AN E KS E KUTIF

Catatan Tahunan tentang kekerasan terhadap perempuan kali ini merupakan upaya Komnas Perempuan

mengumpulkan data dari berbagai lembaga yang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) guna

menghasilkan gambaran utuh di tingkat nasional tentang persoalan ini. Diharapkan melalui pendataan yang

berkesinambungan dari tahun ke tahun, kita dapat terus memantau seberapa besar dan kompleks masalah KTP sebagai

persoalan kita bersama sekaligus menilai sebagai bangsa sejauhmana telah maju (atau mundur) dalam menangani dan

mengatasi bentuk pelanggaran HAM perempuan yang meluas ini

Temuan pertama, angka KTP terus meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun. Ketika pertama kali Komnas

Perempuan melakukan kompilasi data KTP pada tahun 2001, tercatat kasus 3.160, tahun 2002 meningkat menjadi

5.163, tahun 2003 menjadi 7.787, dan tahun 2004 lalu tercatat 13.968 kasus. Dari jumlah 13.968 ini, 4.310 kasus terjadi

di dalam rumah, 2.160 kasus terjadi dalam komunitas, 6.634 kasus terjadi di dalam rumah atau komunitas (data tak

memungkinkan penilaian yang jelas), 562 merupakan kasus trafiking, dan 302 kasus yang pelakunya aparat negara.

Secara keseluruhan, trend yang terjadi sepanjang tahun 2004 menunjukkan lokus dan konteks KTP terjadi: dalam

rumah, dalam proses migrasi, dalam pengelolaan sumber alam, dalam konflik bersenjata, dan dalam keterkaitannya

dengan politisasi agama. Secara kuantitatif, KTP paling banyak terjadi di dalam rumah. Kendati demikian, KTP juga

terjadi pada konteks lain sebagai bagian dari suatu proses peminggiran secara sistemik dalam sebuah tataran ekonomi,

politik dan sosial yang lebih luas.

Pada bulan Maret 2004, empat petani perempuan di Manggarai (Flores), NTT ditangkap oleh aparat pemerintah

kabupaten bersama tiga petani laki-laki lain dengan tuduhan menjarah hutan ketika sedang menggali ubi dan keladi

untuk makan keluarganya. Kemarahan warga akibat penangkapan ini berkembang menjadi peristiwa Ruteng Berdarah

pada tanggal 10 Maret yang memakan banyak korban. Akibatnya, jumlah perempuan yang tiba-tiba menjadi kepala

keluarga semakin besar dan membuat keluarga rentan proses kemiskinan karena perempuan janda tidak mempunyai

hak atas tanah. Nasib yang sama dialami oleh perempuan Bojong, Bogor, yang ditinggalkan suaminya karena ditahan

atau lari menghindari penangkapan. Warga perempuan di Buyat Pante yang mengalami gangguan kesehatan akut dan

kehilangan sumber penghidupan akibat pencemaran perairan di sekeliling teluk hingga kini masih belum mendapat

bantuan kesehatan yang berkesinambungan.

Jadi, tahun 2004 lalu ketika publik diramaikan oleh proses kampanye dan pemilihan umum yang panjang,

perempuan Indonesia menjalani hidup di rumah, pekarangan dan kebunnya penuh dengan kekerasan. Pada tahun ini

juga perempuan Indonesia – sebagai pemilih, sebagai calon yang akan dipilih oleh rakyat maupun sebagai wakil rakyat

di parlemen nasional – mempersoalkan penegakan HAM di rumah-rumah pribadi dimana kekerasan terus

menghantuinya. Perempuan Indonesia berjuang melahirkan perangkat perundangan yang menyatakan bahwa

kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah kita semua, dan merupakan tindak kriminal yang tidak ditoleransi oleh

siapapun, termasuk negara. Sementara itu, pembahasan naskah tandingan Kompilasi Hukum Islam yang berisi

pemikiran progresif tentang hak-hak perempuan dalam perkawinan dihalang-halangi, bahkan kemudian ’dibatalkan’ oleh

Menteri Agama. Penolakan yang dilegitimasi oleh institusi negara merupakan pengingkaran atas hak warga untuk

berpendapat dan hak publik untuk berdialog tentang ide-ide baru. Pada tahun 2004, perempuan Indoensia membuktikan

bahwa the personal is political.

Selain pengesahan UU Penghapusan KDRT, terobosan lain yang berhasil dicapai tahun 2004 adalah munculnya

pemikiran progresif tentang perempuan dalam perkawinan melalui naskah tandingan Kompilasi Hukum Islam,

pengorganisasian di antara perempuan kepala keluarga yang hidup di daerah konflik dan desa-desa miskin, dan

penandatanganan Konvensi Internasional tentang perlindungan buruh migran. Penanganan kasus-kasus KTP juga

semakin meningkat oleh lembaga-lembaga pemberi layanan (organisasi perempuan dan rumah sakit), maupun

lembaga-lembaga penegak hukum, khususnya RPK di lingkungan kepolisian, meskipun kerja sama di antara lembaga-

lembaga ini masih bersifat insidental dan hanya sedikit sekali yang sudah membangun kerja sama secara kelembagaan.

Page 3: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

3

P E NGANTAR

Tahun 2004 merupakan tahun penting bagi perjuangan demokrasi di Indonesia dimana untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilihan anggota DPR/MPR dan pemilihan presiden secara langsung oleh masing-masing pemilih Indonesia. Ternyata, ketika publik diramaikan oleh proses kampanye dan pemilihan umum yang panjang ini, perempuan Indonesia menjalani hidup di rumah, pekarangan dan kebunnya penuh dengan kekerasan. Pada tahun ini pula, perempuan Indonesia – baik sebagai pemilih, sebagai calon yang akan dipilih oleh rakyat, maupun sebagai wakil rakyat di parlemen nasional – mempersoalkan penegakan HAM di rumah-rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan perangkat perundangan yang menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah masalah kita semua, dan merupakan tindak kriminal yang tidak ditoleransi oleh siapapun, termasuk negara. Pada tahun ini, perempuan Indonesia membuktikan bahwa the personal is political.

Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan kali ini merupakan upaya keempat Komnas Perempuan untuk mengumpulkan data dari berbagai lembaga yang mengangani kasus kekerasan terhadap perempuan guna menghasilkan gambaran utuh di tingkat nasional tentang persoalan ini. Diharapkan melalui pendataan yang berkesinambungan dari tahun ke tahun, kita akan dapat terus memantau seberapa besar dan kompleks masalah kekerasan terhadap perempuan sebagai persoalan bersama dan sekaligus menilai sejauhmana kita sebagai bangsa telah maju (atau mundur) dalam menangani dan mengatasi bentuk pelanggaran HAM perempuan yang meluas ini.

ME TODOLOGI

PENGUMPULAN DATA dilakukan dengan menggunakan metode yang sama seperti dilakukan pada tahun-tahun yang lalu, yaitu dengan menyebarkan kuesioner kepada sejumlah lembaga yang menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Lembaga-lembaga ini termasuk organisasi pemberi layanan maupun lembaga penegak hukum: organisasi perempuan (OP), pengadilan negeri (PN), pengadilan agama (PA), ruang pelayanan khusus yang disediakan polres/polda (RPK), kejaksanaan, rumah sakit (RS), dan data yang masuk langsung ke Komnas Perempuan (KP). Kuesioner pada intinya memuat pertanyaan berkaitan dengan jumlah dan jenis kekerasan, serta pengalaman dan kendala lembaga bersangkutan dalam memberikan layanan kepada korban kekerasan.

PEROLEHAN DATA bergantung pada masing-masing lembaga yang mengirimkan kembali data/informasi sesuai permintaan dalam kuesioner. Komnas Perempuan biasanya mulai mengirimkan kuesioner kepada lembaga-lembaga terkait pada bulan November untuk menjaring data/informasi secara lebih lengkap selama tahun bersangkutan. Berdasarkan pengalaman penulisan catatan tentang kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun disadari bahwa tidak mudah menyatukan semua data yang berasal dari berbagai lembaga dengan ciri khas masing-masing pelayanan yang diberikan oleh lembaga, termasuk cara pencatatan

dan kategorisasi kasus KTP yang berbeda sesuai dengan kebutuhan lembaga bersangkutan.

SUMBER DATA Catatan Tahunan untuk 2005 ini berasal dari 43 organisasi perempuan di 14 provinsi, 70 pengadilan negeri di 20 provinsi, 2 pengadilan agama di 2 provinsi, 28 Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Kepolisian di 28 propinsi, 11 rumah sakit di 9 provinsi, serta dari Kejaksaan Agung (kompilasi data dari 15 Kejaksaan Tinggi) dan Komnas Perempuan sendiri. Dibandingkan dengan sumber data tahun 2003 yang lalu, terlihat ada peningkatan respons dari lembaga-lembaga yang menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Keadaan ini merupakan kemajuan karena menunjukkan semakin banyak lembaga yang melakukan pendataan dan bersedia membaginya untuk

35

43

14

70

12

11

28

3

11

0

10

20

30

40

50

60

70

OP PN PA RPK RS

Sumber Data

th 2003 th 2004

Page 4: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

4

membangun sebuah database yang komprehensif dengan cakupan nasional.

GAM BARAN UM UM

Gambaran kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada tahun 2004 menunjukkan bahwa rumah tempat perempuan tinggal, lahan kebun tempat perempuan menanam bahan pangan, perairan laut tempat perempuan mencari ikan, serta pekarangan dan perkampungan tempat tinggal perempuan kota ternyata merupakan tempat terjadinya berbagai bentuk diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh perempuan.

Dari seluruh data yang diolah oleh Komnas Perempuan, tercatat sebanyak 13.968 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada tahun 2004. Jumlah ini meningkat secara konsisten dan dalam jumlah yang signifikan dari tahun-tahun terdahulu. Grafik di samping menunjukkan perbandingan besaran kasus yang dicatat oleh lembaga-lembaga penyedia layanan pada tahun 2001 hingga 2004.

Peningkatan ini di satu sisi menggembirakan karena menunjukkan berbagai pihak sudah mencapai kesadaran khusus untuk melaporkan kasus-kasus KTP, baik kepada organisasi-organisasi perempuan (OP) yang memberikan pendampingan maupun kepada institusi kesehatan (RS) dan lembaga penegak hukum (RPK, Kejaksaan, PN dan PA) yang menangani kasus-kasus. Di sisi lain, peningkatan jumlah KTP ini merupakan keprihatinan tersendiri karena menunjukkan banyaknya kasus KTP yang terjadi di tengah kehidupan bangsa.

Data yang diterima Komnas Perempuan dikategorikan ke dalam 4 jenis KTP menurut lokus terjadinya: kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan dalam komunitas (Komunitas), kekerasan yang dilakukan oleh aparat negara (Negara), dan kategori rumah tangga/komunitas (RT/KOM). Kategori terakhir (RT/KOM) merupakan kumpulan dari kasus-kasus KTP yang tidak cukup informasi untuk ditelusuri lokus kejadiannya.

Secara umum, semua lembaga yang menangani kasus kekerasan terhadap permpuan, kecuali Kejaksaan, menghadapi peningkaran jumlah kasus yang masuk. Walaupun belum bisa dipastikan benar, ada indikasi bahwa menurunnya kasus dari Kejaksaan kemungkinan disebabkan oleh masalah teknis dalam proses pengumpulan data daripada pengurangan nyata kasus-kasus yang ditangani. Peningkatan yang paling mencolok dialami oleh RPK-RPK di Kepolisian, yaitu sebanyak lebih dari tiga kali lipat, dari 1.007 kasus pada tahun 2003 menjadi 4.456 kasus pada tahun 2004. Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Agama (PA) juga mencatat penambahan kasus yang cukup signifikan: dari 162 kasus menjadi 1.424 kasus.

Secara keseluruhan, trend kekerasan terhadap perempuan (KTP) yang terjadi sepanjang tahun 2004 menunjukkan tempat lokus dan konteks KTP terjadi:

Jumlah Kasus KTP

th 2001:

3.169

th 2002:

5.163

th 2003:

7.787

th 2004:

13.968

Jumlah Kasus per Kategori

Trafiking

562 (4.0%)

Negara

302

(2.1%)

Komunitas

2160

(17.6%)

KDRT

4310

(30.7%)

RT/KOM

6634

(47.3%)

Jumlah Kasus Menurut Lembaga

19211

1007

1853

1013

162

3733

467

1661

4456

5749

1424

OP/LSM

PN+PA

RPK

RS

Kejaksaan

KP

th 2003 th 2004

Page 5: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

5

dalam rumah, dalam proses migrasi, dalam pengelolaan sumber daya alam, dalam konflik bersenjata dan dalam keterkaitannya dengan politisasi identitas agama. Secara kuantitatif, KTP paling banyak terjadi di dalam rumah. Kendati demikian, KTP yang terjadi pada konteks-konteks lainnya sebagai bagian dari suatu proses peminggirian yang terjadi secara sistemik dalam seluruh tataran ekonomi, politik dan sosial yang lebih luas.

Rumah dan Kekerasan terhadap Perempuan

Rumah merupakan tempat yang diharapkan dapat memberikan rasa aman. Akan tetapi data menunjukkan pada tahun 2004, sebanyak 4.310 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di dalam rumah. Jika diketahui bahwa sebagian dari kasus-kasus dalam kategori RT/Kom (lihat diagram di atas) mencakup insiden kekerasan yang terjadi di dalam rumah, maka bisa dikatakan bahwa inilah bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol secara kuantitatif untuk seluruh tahun 2004.

Kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di dalam rumah berlangsung sebagai bagian dari suatu pola hubungan personal yang kompleks antara suami dan istri, orang tua dan anak, majikan dan pekerja serta antar dua orang yang sedang berpacaran. Data tentang KTP jenis ini umumnya lebih sering tercatat melalui

lembaga-lembaga perempuan yang memberikan layanan dan pendampingan bagi para perempuan korban. Data di samping merupakan kompilasi data lima jenis kekerasan – yang juga memberi indikasi tentang siapa pelaku dan siapa korban serta relasi di antara mereka – yang dicatat dan ditangani oleh 43 organisasi perempuan (OP) sepanjang tahun 2004 ini.

Pekerja rumah tangga (PRT) mempunyai kerentanan tersendiri terhadap tindak kekerasan. Menurut pengamatan pendamping1, kerentanan mereka disebabkan oleh kondisi kamar PRT yang tak bisa dikunci, rumah yang terkunci di mana kunci disimpan majikan, ancaman dari pelaku yang juga majikannya

untuk tidak melapor, sementara PRT sendiri tak mengenal peta kota sehingga sulit mencari bantuan di luar rumah. Salah satu kasus kekerasan terhadap pekerja rumah tangga yang ditangani oleh organisasi perempuan pada tahun ini – menyangkut tindak perkosaan oleh majikan yang juga merupakan pejabat publik – menunjukkan betapa rentannya PRT bahkan dalam mencari perlindungan hukum. Walaupun korban telah melaporkan perkosaan ini ke polisi, pihak penegak hukum tidak segera mempercayai kesaksian korban dan mengambil tindakan terhadap pelaku. Tuntutan yang dibuat pun pada awalnya difokuskan pada pasal perzinahan, dan baru diubah dengan pasal perkosaan atas desakan dari organisasi-organisasi masyarakat yang mengikuti kasus ini.

Di rumah-rumah di luar negeri, perempuan Indonesia juga menjadi korban kekerasan, sebagai bagian akhir dari rangkaian perilaku yang diskriminatif dan penuh penganiayaan oleh pihak majikan. Sebagaimana sudah semakin dipahami oleh publik dan negara, bagian terbesar dari buruh migran Indonesia yang mencari kerja di luar negeri adalah perempuan yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Sementara mereka menjadi penopang utama bagi kesejahteraan keluarganya di tanah air, di tempat kerja mereka mengalami berbagai bentuk kekerasan psikologis, fisik dan seksual. Pada tahun 2004 Human Rights Watch, sebuah NGO internasional menerbitkan laporan khusus tentang PRT migran untuk meningkatkan perhatian komunitas internasional pada persoalan ini. Berdasarkan pengamatan di Malaysia terhadap PRT migran dari Indonesia, laporan ini menunjukkan kekerasan psikis, fisik dan seksual yang dialami: kerja 16-18 jam per hari, 7 hari seminggu, tanpa libur; kerja paksa, dipukuli dan disirami air panas; perkosaan oleh majikan atau anak majikan.2

Sebagai pekerja rumah tangga (PRT), baik di dalam maupun di luar negeri, perempuan berada dalam kondisi kerentanan tersendiri. Dalam berhadapan dengan majikan, posisi tawar mereka untuk memperbaiki

1 Yayasan Tjoet Njak Dien, Yogyakarta.�2 Laporan Human Rights Watch, Vol. 16, No. 9(C), 2004.�

JML JENIS KDRT

1.782 Kerasan terhadap istri

321 Kekerasan dalam pacaran

251 Kekerasan terhadap anak perempuan

71 Kekerasan terhadap pekerja rumah

tangga (PRT)

28 Kekerasan ekonomi

Page 6: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

6

situasinya sangat lemah, terutama karena jenis kerjanya tidak mendapatkan pengakuan, apalagi perlindungan hukum. Sementara itu, seringkali para PRT dikunci di dalam rumah tempat kerjanya, atau dilarang keluar rumah melalui cara lain, sehingga mereka sepenuhnya terisolasi dari masyarakat dan tidak bisa mencari pertolongan jika berada dalam situasi sulit, bahkan yang membahayakan keselamatannya. Terisolasinya kehidupan para PRT yang dikombinasikan dengan kondisi kerja tidak manusiawi membuat banyak perempuan hidup dalam situasi sangat tertekan. Situasi menjadi semakin eksplosif bagi PRT yang bekerja di negara yang jauh dari tanah air dan harus berhadapan sendiri dengan situasi sulit di tengah perbedaan budaya serta bahasa. Pada tahun 2004, 8 perempuan migran PRT Indonesia berada di bawah ancaman hukuman mati karena terdakwa membunuh majikan dan/atau anggota keluarganya. Lima perempuan terkena ancaman hukuman mati di Singapura, dua di Arab Saudi dan satu di Malaysia. Dari kedelapan perempuan ini, Mariana telah menjalani vonis hukuman mati di Malaysia3, Purwanti dan Sundarti mendapat putusan penjara seumur hidup oleh pengadilan Singapura, Sumiyati menjalankan hukuman penjara selama 4 tahun 2 bulan di Singapura, sedangkan Juminem dan Siti Aminah masih menjalani proses persidangan di Singapura.

Migrasi dan Kejahatan terhadap Perempuan

Dalam memenuhi kebutuhan untuk bekerja mencari nafkah, banyak perempuan melakukan migrasi dalam situasi penuh kebohongan dan pemaksaan. Data trafiking tahun 2002-2004 menunjukkan terjadinya 562 kasus semacam ini. Modus operandi trafiking erat berhubungan dengan pemalsuan identitas, bisa melibatkan organisasi kejahatan lintas batas maupun organisasi resmi, perseorangan bahkan masyarakat. Banyak perempuan yang mencari kerja di luar negeri tidak mengetahui akan bekerja dimana dan sebagai apa, yang jelas agen pemberangkatan tenaga kerja menjanjikan gaji besar yang tidak mungkin diperoleh jika tinggal di kampung halaman atau bekerja di tanah air.

Laporan Human Rights Watch menunjukkan bagaimana buruh migran yang akan bekerja sebagai pekerja rumah tangga mengalami diskriminasi dan kekerasan dalam seluruh proses migrasi: dipaksa bayar suap, disekap, diperlambat waktu keberangkatan dengan alasan wajah yang jelek dan bentuk tubuh yang gemuk, dilecehkan secara seksual dan dimaki.4 Tidak jarang pula, menurut pengakuan para korban, mereka tidak berdaya karena diancam atau dipaksa untuk menjadi perempuan penghibur atau pekerja seks yang sama sekali tidak terbayangkan sebelumnya. Satu kasus trafiking di Malaysia telah mengakibatkan kematian seorang perempuan asal Blitar, Jawa Timur. Korban diberangkatkan oleh agen dengan tujuan untuk dipekerjakan sebagai PRT (Pekerja Rumah Tangga) di Taiwan, tetapi ia dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial di Malaysia. Visa yang dibawa korban adalah visa turis dan terbukti bahwa identitasnya pun telah dipalsukan. Pada tanggal 12 Agustus 2004, korban dilaporkan meninggal dunia terjun dari lantai 155.

Data trafiking yang tercatat sejumlah 562 kasus, yang dilaporkan oleh 9 lembaga mencakup: 5 LSM (nasional dan internasional) dan OP, kepolisian (Reskrim dan RPK), Kejaksaan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. Organisasi internasional ICMC yang secara khusus memperhatikan permasalahan trafiking sejak tahun 2002 mencatat kasus trafiking yang terjadi sejumlah 295 kasus, sedangkan International Organization on Migration (IOM) mendokumentasikan sejumlah 52 kasus trafiking dalam tahun 2004. Dua LSM, yaitu Yayasan Panca Karsa di NTB dan Kopbumi di Jakarta, bersama dengan OP (Organisasi Perempuan) dalam tahun yang sama mencatat 163 kasus trafiking. Sedangkan

3 “PRT Asal Indonesia Dijatuhi Hukuman Mati”, KOMPAS, 6 Oktober 2004.�4 Laporan Human Rights Watch, Vol. 16, No. 9(C), 2004.�5 ”Lilis Ika jadi Korban Perdagangan Perempuan”, REPUBLIKA, 8 September 2004.�

PN

5

Kejati

9

Kepolisian

38

OP/LSM

163

LSM

Internasional

347

Jumlah Kasus Trafiking

Page 7: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

7

Pengadilan Negeri mencatat kasus trafiking sebanyak 5 kasus, Kejaksaan Tinggi 9 kasus dan kepolisian mencatat 38 kasus (masing-masing Reskrim 13 kasus, RPK 25 kasus).

Praktik-praktik eksploitatif dalam proses perempuan bermigrasi untuk mencari kerja terjadi bahkan belum ia sampai melintasi perbatasan negara. Media massa semakin marak dengan pemberitaan tentang penyekapan terhadap para calon pekerja ke luar negeri. Pada satu kasus, ratusan calon pekerja migran perempuan di Tangerang dipaksa oleh agen untuk menetap di ruangan belakang Balai Latihan Kerja dan dilarang keluar kompleks gedung, termasuk untuk membeli makanan. Bagi calon pekerja yang mengundurkan diri diwajibkan membayar sejumlah uang dengan dalih ganti uang makan, pendidikan, administrasi dan pemeriksaan kesehatan6.

Pada tahun 2004, salah satu negara penerima terbesar buruh migran Indonesia, yaitu Malaysia, kembali lagi melakukan deportasi besar-besaran terhadap para pekerja asing yang tidak memegang dokumen-dokumen resmi. Media Center Menko Kesra mencatat jumlah tenaga kerja migran yang dideportasi mencapai 261.789 orang pada tahun ini. Sayangnya, walaupun jelas ada perempuan diantara para korban deportasi, pemerintah tidak membuat pendataan yang dapat menggambarkan komposisi akurat antara korban yang perempuan dan laki-laki.

Konflik Bersenjata dan Kekerasan terhadap Perempuan

Pada tahun 2004, daerah-daerah utama di mana berlangsung konflik bersenjata yang berkepanjangan adalah Aceh dan Sulawesi Tengah.

Laporan dari Aceh7 menunjukkan adanya 14 perempuan yang mengalami berbagai bentuk kekerasanfisik, psikologis dan seksual pada tahun 2004. Pelaku kekerasan umumnya berasal dari aparat keamanan (13), kecuali pada satu kasus yang pelakunya adalah anggota masyarakat biasa (tetangga korban). Sementara itu, Kontras mencatat terjadinya 27 kasus, perkosaan (19) dan pelecehan seksual (8) pada tahun 2004. Pengalaman kekerasan yang dialami perempuan Aceh seperti ini merupakan pola yang berlanjut dari tahun ke tahun. Data tahun 2003 dari berbagai lembaga8 dan media menunjukkan sebanyak 135 perempuan menjadi sasaran berbagai bentuk kekerasan dan perlakuan tidak adil: 33 orang dituduh subversif, 22 orang pernah ditahan di pos militer, kantor polisi atau kantor pimpinan GAM; 77 orang mengalami kekerasan selama proses penangkapan atau operasi dari pihak lawan. Satu orang dilaporkan mengalami kekerasan ketika sedang berjalan melalui lokasi pos militer dan dua lainnya mengalami kekerasan oleh pasukan GAM ketika sedang melakukan perjalanan di kendaraan umum.

Perempuan korban, khususnya korban kekerasan seksual, adalah para istri, anak atau saudara dari yang sedang berkonflik, baik dari pihak GAM maupun TNI. Bentuk kekerasan yang mereka alami mencakup: 17

orang mengalami kekerasan seksual, 23 orang diperkosa, 4 orang mengalami kekerasan seksual, 7 orang mati ditembak, 11 perempuan diculik dan hilang, 22 perempuan diintimidasi, 50 perempuan mengalami kekerasan fisik. Umur para korban berkisar antara 12 hingga 76 tahun.

Di Sulawesi Tengah, konflik bersenjata berlangsung sejak tahun 1998, khususnya di Poso dan sekitarnya. Walaupun konflik besar-besaran sudah tidak lagi terjadi pada tahun 2004, tetapi berbagai tindak kekerasan masih merajalela. Antara bulan Januari dan Mei 2004, sebanyak 3 perempuan

6 “Penyekapan TKW masih berlangsung, Kepala Polri didesak untuk membebaskan”, KOMPAS, 27 Desember 2004. �7 LBH Banda Aceh, 2004.�8 “Violence Against Women and Achieving Justice in Nanggroe Aceh Darussalam”, laporan yang disampaikan oleh aktivis perempuan Aceh pada Konsultasi Regional Organisasi Perempuan se-Asia Pasifik dengan Pelapor Khusus PBB

tentang Kekerasan terhadap Perempuan, Jakarta, 29 July 2004. �

Korban KTP Menurut Kelompok Usia

(ACEH)

26-40 thn,

52 18-25 thn,

51

12-17 thn,

8 56-76 thn,

12

41-55 thn,

8

Page 8: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

8

menjadi korban penembakan9. Dan pada tanggal 18 Juli 2004, seorang pendeta perempuan yang sedang memberikan khotbah di Gereja Effatha di Palu meninggal akibat tembakan. Pada peristiwa penembakan ini, seorang anak perempuan juga luka terkena serpihan peluru di bagian kepala dan wajah. Pada saat pelepasan jenazah, terjadi teror bom di gereja yang sama10.

Pengelolaan Alam dan Pelanggaran HAM Perempuan

Perairan laut, lahan kebun dan pekarangan kampung yang merupakan tempat perempuan memperjuangkan kelangsungan hidup bagi diri dan keluarganya ternyata merupakan lokasi kekerasan bagi mereka dan komunitasnya. Pemenuhan hak untuk hidup bagi perempuan sangat terkait dengan kondisi lingkungan hidup dan alam tempat mereka tinggal. Kekerasan yang dialami perempuan berwujud pengingkaran hak dan peminggiran yang terjadi secara sistemik, melalui tindakan pelanggaran yang dilakukan secara langsung, pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang bias terhadap masyarakat dan perempuan, maupun sebagai akibat kelalaian dan pembiaran oleh aparat negara.

Pencemaran lingkungan hidup di perairan Buyat Pante, Minahasa, Sulawesi Utara telah mengakibatkan nelayan perempuan kehilangan sumber hidup dan kesehatan dirinya. Menurut hasil penelitian Tim Terpadu yang dibentuk oleh Presiden RI pada tahun 2004, pencemaran lingkungan yang terjadi di wilayah Buyat Pante meliputi polusi air laut, air sungai dan air sumur11. Penghasilan warga Buyat Pante mengalami penurunan kualitas secara drastis karena ikan semakin berkurang, dan setelah kasus ini menjadi sorotan besar di media nasional, ikan tangkapan dari Teluk Buyat tidak laku lagi di pasar. Dari segi kesehatan, berbagai gangguan dan penyakit muncul dalam bentuk benjolan pada tubuh, kepala pusing kronis, kulit gatal, gangguan pada menstruasi dan kelahiran anak. Sebuah lembaga kemanusiaan yang memberikan bantuan darurat kesehatan melaporkan bahwa 99% warga Buyat Pante mengalami gangguan serupa12. Laporan terakhir dari warga menyatakan bahwa kondisi kesehatan mereka makin memburuk, 17 orang diantaranya 9 orang perempuan, mengalami perdarahan terus menerus tanpa mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai. Karena alasan takut pada kasus yang dianggap ’politis’, sejumlah petugas kesehatan dan lembaga pelayanan kesehatan tidak bersedia memberi pelayanan kesehatan secara wajar. Salah satu korban meninggal adalah ibu Puyang disebabkan benjolan pada payudaranya pecah.

Lahan kebun dimana perempuan Manggarai bercocok tanam untuk memelihara persediaan pangan juga merupakan lokus kekerasan dan peminggiran terhadap perempuan. Kasus ’Ruteng Berdarah’ pada tanggal 10 Maret 2004 terjadi sebagai bagian dari konflik tanah antara petani kopi dan pemerintah daerah setempat yang tak kunjung selesai. Pemicu kasus tersebut adalah ditangkapnya 7 orang petani – empat diantaranya perempuan – oleh Bupati Manggarai dan aparat negara lain. Dalam rangkat sebuah Operasi Penertiban dan Pengamanan Hutan di Gealarang Colol Kecamatan Poco Ranaka, terjadi pembabatan dan pemusnahan pohon kopi milik rakyat. Pemerintah Kabupaten mengklaim bahwa tanah bekas tanaman kopi tidak boleh lagi dikerjakan oleh rakyat. Ketika 3 orang ibu dan 1 orang anak perempuan sedang menggali ubi dan keladi untuk makan keluarganya, mereka ditangkap oleh aparat pemerintah kabupaten dengan tuduhan menjarah hutan. Mereka dijatuhi hukuman 4 bulan penjara dipotong masa tahanan dan anak perempuan dihukum 2 bulan penjara dipotong masa tahanan karena pertimbangan umur. Mereka dinyatakan melanggar pasal 50 (3) huruf a jo pasal 78 (2) UU No. 41 tahun 1999 jo pasal 55 (1) – KUHP dan dinyatakan merambah kawasan hutan13. Pengalaman serupa, dihukum karena merambah hutan, dialami pula oleh 4 orang perempuan petani di wilayah Sampar Meler Kuwus, Kabupaten Manggarai. Perempuan petani Manggarai mengalami kekerasan psikis yang terwujud suami mati tertembak dan cacad seumur hidup, sehingga mereka kehilangan tempat

9 Laporan tentang gambaran situasi umum perempuan korban Konflik Poso oleh Kelompok Perjuangan Kesetaraan

Perempuan Sulawesi tengah (KPKPST).�10 Radar Sulteng, 2004.�11 Penjelasan Ketua Tim Penelitian Terpadu, Kementerian KLH kepada Komnas Perempuan, 10 November 2004�12 Wawancara dengan anggota tim medis dari Medical Emergency Rescue Committee (MER-C), Jakarta, 27 September

2004�13 Surat Dakwaan, No. Reg.Perkara : pdm – 11/ruteng/04/2004, Kejaksaan Negeri Ruteng dan Kesaksian perempuan

yang diadili kepada Komnas Perempuan�

Page 9: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

9

bergantung. Mereka kehilangan sumber pokok kehidupan sehingga kelangsungan hidup tidak menentu. Situasi ini berdampak pada kehidupan dan pendidikan anak-anak, mereka terpaksa berhenti sekolah.

Perempuan warga Bojong Kabupaten Bogor terusik hidupnya ketika di tengah kampung dimana mereka tinggal dibangun sebuah Tempat Pembuangan Sampah Terakhir (TPST). Atas dasar pengetahuannya tentang kasus serupa di TPST Bantar Gebang, Bekasi, mereka memutuskan untuk menolak keberadaan TPS Bojong. Mereka bermaksud mempertahankan hak untuk hidup dalam lingkungan yang tak terkontaminasi oleh sampah warga kota metropolitan. Mereka tahu bahwa dampak dari pengolahan sampah dapat menyebabkan gangguan kesehatan, terutama penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas)14. Penolakan keberadaan TPST Bojong oleh masyarakat menimbulkan konflik dengan aparat keamanan yang mengakibatkan 7 orang laki-laki mengalami luka tembak, 37 perempuan kehilangan suami dan anak karena ditahan, dan 133 perempuan ditinggalkan suami karena takut ditangkap polisi15. Kasus Bojong merupakan konflik sosial bermula dari warga perempuan yang berupaya menegakkan hak atas lingkungan hidup sehat yang kemudian berkembang menjadi konflik bersenjata yang mengakibatkan korban luka.

Perkampungan tempat masyarakat miskin kota tinggal merupakan faktor krusial dalam mempetahankan hak untuk hidup. Tetapi hak ini juga belum dilindungi dan justru merupakan sasaran kekerasan. Urban Poor Consortium (UPC) melaporkan sebanyak 9.879 Kepala Keluarga dan 6.091 jiwa mengalami penggusuran paksa dari tahun 2003 hingga 2004. Walaupun belum terdapat data khusus tentang jumlah perempuan yang menjadi korban penggusuran paksa, tetapi sudah terdapat indikasi jelas bahwa mereka menanggung dampak penggusuran paksa, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Menurut pengalaman Komnas Perempuan, di antara 250 warga miskin kota yang tergusur dari Cengkareng dan Tanjung Duren dan mengungsi di halaman kantor Komnas Perempuan dan Komnas HAM selama 9 bulan, jumlah terbesar yang mengungsi adalah perempuan.

Politisasi Identitas Agama dan Pembatasan Perempuan

Pada tahun 2004, terbit sebuah naskah tandingan, atau counter legal draft, terhadap sebuah dokumen yang bernama Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Departemen Agama dalam rangka standardisasi penggunaan hukum-hukum Islam di Pengadilan Agama. Menyambut rencana pembahasan ulang KHI oleh pemerintah dan sebagai tindak lanjut dari Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (RAN – PKTP) yang dicanangkan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan, sebuah Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender di lingkungan Departemen Agama, di bawah pimpinan Siti Musdah Mulia, memfasilitasi perumusan sebuah naskah tandingan untuk dipertimbangkan dalam proses perbaikan KHI.

Naskah ini memunculkan reaksi besar dari publik karena pemikiran-pemikiran progresif tentang hak perempuan dalam perkawinan (lihat bagian tentang Terobosan pada laporan ini) yang terkandung di dalamnya. Naskah tandingan KHI tersebut dinilai memuat rumusan yang bertentangan dengan arus utama pemikiran Islam dan dianggap menyebabkan keresahan antara umat Islam di Indonesia. Penolakan terhadap naskah ini semula disuarakan paling gencar oleh kelompok-kelompok yang juga mendorong penerapan syariat Islam oleh institusi negara, tetapi kemudian mendapatkan dukungan dari pimpinan lembaga-lembaga negara, seperti MUI dan Departemen Agama itu sendiri. Pada acara ulang tahun ke-5 Majelis Internasional Ilmuwan Muslimah di Jakarta, Menteri Agama dikutip berkata, ’Sekali lagi saya tegaskan, draft yang memuat revisi KHI yang disiapkan Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama ini bukan hanya saya tunda, tetapi saya batalkan’ (Kompas, 15 Februari 2005).

Penolakan yang dilegitimasikan oleh institusi negara merupakan pengingkaran atas hak warga untuk berpendapat dan hak publik untuk berdialog tentang ide-ide baru. Bahwa ide baru yang diajukan oleh naskah tandingan KHI ini bersifat menegakkan hak-hak perempuan dalam perkawinan menunjukkan bagaimana penolakan, pembungkaman dan bahkan ’pembatalan’ terhadap dialog tentang naskah tandingan ini secara langsung merugikan perempuan.

14 Kronologi Kasus TPST Bojong oleh Seknas WALHI, Desember 2004�15 Catatan pemantauan Komnas Perempuan terhadap perempuan warga Bojong, 3 Februari 2005�

Page 10: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

10

Nasib naskah tandingan KHI sejalan dengan perkembangan di beberapa daerah pada tahun-tahun terdahulu di mana berbagai pembatasan terhadap perempuan dilakukan atas nama penerapan agama. Hasil kajian sebuah organisasi perempuan Islam menunjukkan adanya sejumlah produk kebijakan pemerintah daerah yang diarahkan secara khusus pada perempuan, berupa pengaturan cara berpakaian, khususnya bagi pegawai negeri (Tasikmalaya); pembatasan terhadap mobilitas perempuan di malam hari (Sumatera Barat); dan pemisahan akses perempuan pada sarana rekreasi umum, dalam hal ini kolam renang (Tasikmalaya).16 Di tengah suasana ini, tak jarang muncul kelompok-kelompok militan yang melancarkan kampanye sepihak yang penuh simbol dan aksi kekerasan (sering disebut sweeping) terhadap perempuan yang dianggap tidak cocok dengan gambaran ’perempuan baik’. Umumnya korban pertama adalah perempuan pekerja seks komersial yang hidup dari pelanggan laki-laki.

Produk-produk kebijakan lokal yang membatasi hak-hak perempuan tidak terpisah dari perkembangan yang lebih luas di berbagai daerah, seperti Garut, Banten, Cianjur, Sulawesi Selatan, untuk memformalkan pelaksanaan Syariat Islam melalui intervensi negara. Hal ini merupakan bagian dari kecenderungan yang menggunakan agama sebagai cara menggalang dukungan publik bagi politisi yang mencari kekuasaan. Simbol-simbol agama dijadikan sarana mobilisasi politik. Keberagaman, kekayaan dan kedalaman interpretasi nilai-nilai agama ditinggalkan dan digantikan dengan pemaknaan tunggal yang hitam-putih. Korban pertama dari politisasi identitas agama seperti ini adalah perempuan.

P E NANGANAN

Jumlah lembaga pemberi layanan maupun lembaga penegak hukum yang memberikan data untuk Catatan ini tentang kasus kekerasan terhadap perempuan (KTP) yang ditangani tahun ini sebanyak 179 lembaga, terdiri dari organisasi perempuan (OP) dan rumah sakit (RS) sebanyak 64 lembaga, dan lembaga penegak hukum (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan) sebanyak 115 instansi.

Organisasi Perempuan

Organisasi Perempuan (OP) yang berpartisipasi dalam rangka pengumpulan data untuk Catatan Tahunan 2005 berjumlah 43 lembaga dari 14 provinsi. Banyak di antara OP tersebut yang sudah merupakan mitra Komnas Perempuan sejak pertama didirikan (tahun 1998) dan turut serta dalam proses pemetaan KTP di Indonesia. Oleh karena itu, pencatatan kasus KTP yang dilakukan oleh OP ini juga relatif sama dengan kategorisasi yang dilakukan oleh Komnas Perempuan. Keadaan seperti ini mempermudah dan mempercepat rekapitulasi data.

Mempelajari data lebih lanjut dapat diketahui bahwa OP masih merupakan lembaga yang paling banyak menjadi tujuan para korban mengadukan masalah KTP yang dialaminya, atau karena memang perhatiannya terhadap isu KTP ini maka lembaga bersangkutan sudah mempunyai strategi promosi yang dapat mencapai sasaran dengan lebih efektif. Selama tahun 2004, 43 organisasi perempuan di 14 provinsi menangani kasus KTP sebanyak 5.749 yang dikelompokkan menjadi: KDRT sejumlah 2.520 kasus, kekerasan dalam komunitas 1.850 kasus, kekerasan oleh negara 280 kasus, kategori RT/KOM sebanyak 589 kasus dan trafiking 510 kasus.

16 Hasil kajian Rahima menyebutkan Perda No. 4/2002 pasal 23 ayat (1) dan (2) tentang pakaian dinas perempuan, Surat

Edaran Bupati No. 451/SE/04/Sos/2001 tentang upaya peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan dnegan

mengenakan pakaian seragam yang menutup aurat, serta Surat Edaran Bupati No. 556.3/03/Sos/2001 tentang himbauan

untuk menetapkan jadwal penggunaan kolam renang yang berbeda bagi perempuan dan laki-laki. Kajian ini juga menyebutkan adanya Perda Pekat di Sumatera Barat yang melarang perempuan keluar antara jam 22.00 malam hingga

jam 5.00 pagi.�

Jumlah Kasus per Kategori

(Sumber Data: OP)

RT/KOM

589

KDRT

2520

Komunitas

1850

Negara

280

Trafiking

510

Page 11: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

11

Dari kelima kategori kasus KTP, ternyata KDRT merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan ke OP. Kasus-kasus KDRT ini mencakup: kekerasan terhadap istri, kekerasan terhadap anak perempuan, kekerasan dalam pacaran, pekerja rumah tangga, kekerasan ekonomi. Kasus kekerasan dalam komunias diterima dalam jumlah terbanyak kedua setelah KDRT, kasus-kasus ini meliputi: perkosaan, kekerasan seksual, pencabulan, pelecehan seksual, KTP pekerja migran, pekerja seks komersial, kekerasan di tempat kerja, dan kekerasan politik. Sedangkan kasus-kasus yang dikategorisasikan ke dalam kelompok RT/KOM mencakup: kekerasan fisik, penganiayaan, kekerasan psikis, penghamilan, pembunuhan, dan pemaksaan kehendak. Kasus-kasus yang dicatat sebagai ’kekerasan negara’ oleh OP terdiri dari kekerasan yang diidentifikasikan pelakunya aparat militer, dan kekerasan yang dialami perempuan karena proses peradilan yang tidak fair.

Kasus KTP yang Ditangani OP

KDRT (2.520)

KOMUNITAS (1850)

RT/KOM (589)

NEGARA (280)

Kekerasan terhadap Istri (1.782)

Kekerasan dalam Pacaran (321)

Kekerasan terhadap Anak Perempuan (251)

Pekerja Rumah Tangga (71)

Kekerasan Ekonomi (28)

Kasus BM (67)

Perkosaan (711)

Kekerasan Seksual (546)

Pencabulan (165)

Pelecehan Seksual (109)

Pekerja Migran (86)

Pekerja Seks Komersial (74)

Kekerasan di Tempat Kerja (7)

Politik17 (1)

Trafiking (510)

Kekerasan fisik (255)

Penganiayaan (195 )

Kekerasan psikis (90)

Penghamilan (43)

Pembunuhan (5)

Pemaksaan kehendak (1)

Kekerasan oleh aparat

negara18 (23)

Kasus BM (257)

Menurut informasi yang diperoleh dari masing-masing OP, ada sebelas macam pelayanan yang disediakan oleh lembaga bersangkutan bagi perempuan korban kekerasan yang menghubungi mereka untuk mencari bantuan, yaitu berupa: layanan konseling, support group, pendampingan hukum, rujukan ke lembaga lain, penyelesaian adat, penyediaan rumah aman atau shelter, terapi psikologi, pendampingan berkelanjutan, layanan hotline, pelayanan medis, dan penguatan ekonomi.

Dalam memberikan pelayanannya, OP juga membangun kerjasama dengan berbagai pihak lain, seperti: perangkat desa, LSM lain, tenaga profesional, institusi agama, pemda/pemkot, kejaksaan, tokoh adat/tokoh masyarakat, PKK, puskesmas, akademisi, dan media. Beberapa OP menanangi kasus KTP lewat pendekatan adat atau sesuai dengan keadaan lokal. Misalnya, di Jawa Tengah, pada penyelesaian kasus perkosaan terhadap anak, selain diselesaikan melalui pengadilan, warga desa mengadakan musyawarah yang dihadiri oleh pemerintah desa, tokoh masyarakat, yang kemudian memutuskan agar pelaku memberikan batu sekian riat untuk pembangunan jalan sebagai sangsi sosial. Di NTT, pelaku perkosaan diadili oleh lembaga adat yang dihadiri oleh tokoh adat, masyarakat, pemerintah desa, korban dan keluarga korban. Proses penuntutan

17 Penolakan partai kepada Calon Legislatif (caleg) perempuan untuk ditempatkan pada nomor urut 1, dengan alasan

caleg berjenis kelamin perempuan & pertukaran jumlah suara yang didapat caleg perempuan dengan caleg laki-laki,

sehingga caleg perempuan mengalami kerugian. Kasus ini terjadi di Bone, dilaporkan oleh Forum Pemerhati Masalah

Perempuan (FPMP), Sulsel. �18 Kekerasan yang dilakukan aparat hukum: JPU memanggil korban perkosaan untuk didamaikan dengan pelaku, JPU

meminta uang kepada tersangka perempuan & menyuruh menjual diri apabila tidak punya uang, di Menado, dilaporkan

oleh LBH Apik Menado; Kasus penangkapan sewenang-wenang terhadap petani perempuan pada konflik SDA di

Manggarai, dilaporkan oleh Perempuan Manggarai Anti Kekerasan (Pemantik); aparat polisi membiarkan perempuan

pedagang kaki lima dipukul oleh pihak swasta pada saat terjadi konflik di Bone, dilaporkan oleh Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP), Sulsel; Kekerasan aparat keamanan terhadap perempuan yang diduga keluarganya terkait

GAM & kekerasan terhadap tahanan perempuan yang dituduh makar, di Aceh dilaporkan oleh LBH Banda Aceh. �

Page 12: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

12

ganti rugi dilakukan oleh korban dan keluarga korban yang kemudian disetujui oleh tokoh adat untuk memberikan denda adat kepada pelaku, baik dalam bentuk uang ataupun ternak.

Ada 13 OP telah mulai mengembangkan sistem pemberian layanan terpadu bersama LSM lain, rumah sakit, kepolisian dan pemerintah daerah setempat. Layanan terpadu semacam ini ditengarai dapat membantu penanganan kasus-kasus KTP dengan lebih baik, dan dapat mengurangi kemungkinan korban mengalami reviktimisasi dalam proses penanganan kasusnya. Kerjasama lintas institusi antar lembaga-lembaga penyedia layanan dan penegak hukum umumnya masih dilakukan atas dasar ‘pertemanan individu’ dan belum terlembagakan, sebagaimana dialami oleh 20 organisasi perempuan. Kendati demikian, perlu dicatat bahwa ada empat OP yang secara formal telah mengembangkan kerjasama yang melembaga dengan PPT dan RPK. Keempat OP ini berada di dua propinsi, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Rumah Sakit (RS)

Kasus KTP yang ditangani oleh rumah sakit selama tahun 2004 dilaporkan sejumlah 1.661, yang dikelompokkan menjadi: kasus KDRT (365), komunitas (260), dan RT/KOM (1.036). Kasus-kasus KTP yang ditangani rumah sakit tentu berbeda dengan kasus yang ditangani oleh lembaga lain, dimana korban yang datang ke rumah sakit rata-rata mempunyai tanda kekerasan yang dapat dilihat atau diperiksa secara medis. Oleh karena itu, rumah sakit dapat melakukan dokumentasi jenis kekerasan pertama-tama berdasarkan pada ‘tanda’ atau luka yang ada pada korban, contohnya: perkosaan, pemukulan, penganiayaan dengan benda tajam atau tumpul, penderaan anak, kekerasan seksual, dsb. Semua kasus tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam 3 kategori kekerasan (KDRT, Komunitas, atau RT/KOM).

Data yang masuk dari 11 rumah sakit di 9 provinsi memberikan gambaran tentang berbagai fasilitas yang disediakan oleh rumah sakit dalam menangani kasus KTP, yaitu sebagai berikut: 9 RS mempunyai ruang khusus yang disediakan untuk korban KTP, 4 RS menyiapkan tim medis khusus untuk korban KTP. Sedangkan mengenai sumber dana, masing-masing rumah sakit menyebutkan sejumlah sumber dana yang

dapat digunakan untuk membiayai pasien korban KTP, yaitu: swadana rumah sakit, PJTKI untuk pasien yang merupakan buruh migran, pemerintah, APBD (Jawa Timur), Kementrian Pemberdayaan Perempuan, koordinasi dengan Polda, lembaga yang menanggung (LSM/OP), individu/pihak-pihak yang peduli terhadap KTP/donatur, keluarga korban.

Sejumlah rumah sakit juga telah membangun kerjasama dengan berbagai pihak, seperti: 7 RS bekerja sama dengan Women’s Crisis

Center (WCC) dan 4 di antaranya secara formal sudah melembagakan kerja sama ini, yaitu RS. Mappa Oudang Makassar, RS Panti Rapih Yogyakarta, PPT Provinsi Jatim, RS. Bhayangkara Mataram. Selain kerja sama dengan WCC, 9 rumah sakit juga membangun kerjasama dengan RPK dimana 5 di antaranya mempunyai pola kerjasama secara formal (RSU Prof. Dr. R.D Kandau Manado – bagian Obstetri Ginekologi, RS. Bhayangkara Tk. IV Kalimantan Tengah, RS. Bhayangkara Mappa Oudang Makassar, PPT Provinsi Jatim, RS. Bhayangkara Mataram).

JML OP BENTUK PELAYANAN

20 Konseling psikologis

10 Pengembangan support group

20 Pendampingan hukum

15 Rujukan ke lembaga lain

6 Rumah aman

3 Penguatan ekonomi

3 Penyelesaian adat

1 Terapi psikologi

1 Pendampingan berkelanjutan

1 Layanan hotline

1 Pengobatan medis

JML RS FASILITAS RS UNTUK KTP

9 Ruang khusus

4 Tim medis khusus

10 Pedanaan

10 Kerja sama antar lembaga

Jumlah Kasus per Kategori

(Sumber Data: RS)

KDRT 365

Komunitas

260RT/KOM

1036

Page 13: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

13

Dukungan dari pemerintah (daerah dan pusat) diwujudkan dalam pengalokasian dana khusus untuk menangani pasien KTP dan kebijakan yang mendukung kerja/pelayanan khusus. Ada tiga rumah sakit yang menyatakan mendapat dukungan dana berupa fasilitas keringangan biaya perawatan dan pengobatan bagi korban KTP, baik dari rumah sakit bersangkutan atau yang dibebankan kepada pemerintah daerah setempat. Sebanyak 8 rumah sakit mengakui adanya dukungan kebijakan pemerintah berupa SKB 3 Menteri dan Kapolri (PPT RS. POLRI Sukamto – Kramat Jati Jakarta), dan acuan dari Mabes Polri (RS. Bhayangkara Tk. IV Polda Kalimantan Tengah).

Fasilitas dan pelayanan rumah sakit serta dukungan dari pemerintah maupun dari pihak lain tidak menjamin lancarnya penanganan kasus KTP di rumah sakit. Sejumlah hambatan diidentifikasi oleh pihak rumah sakit, yaitu: keterbatasan dana, ruang dan tenaga khusus yang dialokasikan untuk kasus ini, kerja sama dengan lembaga lain yang tidak dilakukan secara formal, dan kurang aktifnya RPK sehingga tidak/kurang membantu korban mengakses rumah sakit (untuk mendapatkan visum). Ditengarai pula sejumlah kendala yang bersumber dari pihak korban sendiri, misalnya: keterlambatan datang ke rumah sakit sehingga tanda-tanda fisik sudah sulit diperiksa secara medis, orang tua (ibu) korban pelecehan seksual tidak menyetujui anak perempuannya diperiksa oleh dokter, korban tidak mau melanjutkan penanganan medis sampai tuntas. Permasalahan yang dihadapi rumah sakit dalam menangani kasus KTP ini tidak mungkin diselesaikan oleh pihak rumah sakit itu sendiri. Selain perlu diupayakannya keterpaduan penanganan masalah KTP, kesadaran masyarakat akan pentingnya untuk segera melapor dan membawa korban KTP ke rumah sakit juga perlu dibangun.

Lembaga Penegak Hukum

Pada tahun 2004, lembaga-lembaga penegak hukum – dalam hal ini kepolisian, kejaksaan dan pengadilan – tampak semakin tanggap terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Hal ini tidak terlepas dari besarnya kesadaran publik tentang isu KTP sebagai sebuah tindak kriminal, dan juga desakan dari organisasi-organisasi perempuan yang memberikan pendampingan hukum bagi perempuan korban.

��Kepolisian: Ruang Pelayanan Khusus (RPK)

Pada tahun 2004, tercatat sebanyak 260 Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang telah didirikan di kantor-kantor polisi berbagai daerah, termasuk Polda Metro Jaya di ibukota Jakarta. Layanan RPK yang menyebarluas secara cepat ini menunjukkan kekuatan upaya bottom-up. Sepanjang tahun 2004, RPK mencatat kasus KTP sejumlah 4.456 yang mencakup: kasus KDRT (719) , RT/KOM (3.699) dan trafiking (38). Secara rinci kategori KDRT dan RT/KOM ini mencatat kasus-kasus KTP seperti: kawin lagi (5), perzinahan (231), melarikan perempuan di bawah umur (178), penelantaran (1), pelecehan seksual (301), pemaksaan

aborsi (3), dan perkosaan (1.633), penganiayaan (1.977), pembunuhan (89) dan trafiking (38).

Penanganan kasus di kepolisian dilakukan secara beragam: ada kasus yang diteruskan ke kejaksaan (99), atau perkaranya dihentikan – oleh pihak korban (55), atau diteruskan untuk disidik (1.867), ada pula yang berakhir ‘damai’ (88). Dari semua jenis penanganan kasus ini ternyata kasus yang diteruskan perkaranya tercatat paling tinggi.

Menyangkut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, 12 polda menyatakan sudah mengetahui tentang adanya UU No. 23 Tahun 2004, tetapi hanya 6 polda

di antaranya yang sudah melakukan sosialisasi undang-undang tersebut. Polda yang sama juga menyatakan sudah mengetahui adanya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan menggunakan undang-undang tersebut sebagai acuan dalam menangani masalah kekerasan terhadap anak serta kasus-kasus perdagangan anak. Namun demikian, hanya 9 polda yang mengakui sudah memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak korban KTP yang kasusnya sedang ditangani. Perlindungan khusus ini di antaranya dilakukan bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Anak (LPA), LSM, Dinas Sosial, Pusat Pelayanan

Penanganan Kasus Kepolisian

damai

88

kejaksaan

99dihentikan

55

diteruskan

1867

Page 14: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

14

Kasus KDRT Pengadilan Negeri

43

26

48

35

3

35

63

3

53

34

41

3

zinah

larikan bw h usia

pelecehan

aborsi paksa

diterima diproses diputuskan

Terpadu (PPT), ditampung oleh anggota PRK, dan bekerja sama dengan Pemda Tk I mendirikan shelter atau rumah aman.

Pada pertengahan tahun 2004, Komnas Perempuan bekerja sama dengan LBPP Derap Warapsari melakukan kajian terhadap keberadaan dan fungsi RPK. Tujuan utama kajian ini adalah melihat seberapa jauh unit yang dibentuk untuk menangani kasus-kasus KTP di Kepolisian ini telah menjalankan fungsinya, sekaligus mengidentifikasi kendala yang dihadapi dalam menyelenggarakan penanganan kasus KTP. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa RPK secara konkret memberikan kontribusi dalam menangani kasus KTP meskipun ada keterbatasan dana, yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan kasus yang dicatat dari tahun ke tahun. Dalam menangani kasus KTP, RPK aktif mengembangkan jaringan kerja berupa rujukan ke berbagai lembaga bagi kasus-kasus yang membutuhkan penanganan lebih lanjut (medis, hukum, atau pusat krisis).

Kendala utama yang membatasi gerak RPK adalah tidak adanya dukungan struktural. Sampai saat ini RPK hanya dianggap sebagai ‘satuan tugas’ yang tidak mempunyai posisi struktural dalam kelembagaan POLRI. Dengan kedudukan seperti ini RPK tidak mendapatkan dukungan yang semestinya: alokasi dana (anggaran), alokasi SDM, dan dasar hukum untuk kerja sama dengan lembaga lain. Dengan segala keterbatasan ini, RPK tetap menjalankan tugas dan fungsinya menangani kasus KTP.

��Kejaksaan Tinggi

Kejaksaan Tinggi (Kejati) untuk tahun 2004 dari 15 propinsi mencatat kasus KTP yang ditangani sebanyak 467, terdiri dari kasus KDRT (56) dan RT/KOM (402) dan trafficking (9). Yang termasuk dalam kategori RT/KOM adalah perkosaan (372 kasus), dan pelecehan seksual (30 kasus). Dalam pengumpulan data, Kejati belum dapat mengolah data dari 30 provinsi, hambatannya antara lain karena sebagian kejaksaan negeri belum dapat memberikan data karena kesulitan memahami pengkategorisasian data, terkait dengan upaya Kejati untuk terus memperbaiki sistem pendataan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.

��Pengadilan Negeri (PN)

Sepanjang tahun 2004, Pengadilan Negeri mencatat penerimaan kasus KTP sebanyak 1.057. Dari jumlah yang diterima ini, kasus yang sedang diproses sejumlah 984, dan kasus yang sudah diputuskan 911. Kasus-kasus KTP yang diterima oleh Pengadilan Negeri ini digolongkan ke dalam kategori KDRT – 144 kasus (perzinahan, melarikan wanita di bawah umur, pelecehan seksual, dan pemaksaan aborsi), RT/KOM – 908 kasus (perkosaan, penganiayaan, dan pembunuhan), dan trafficking—5 kasus.

Data di atas mengindikasikan bahwa kasus-kasus aborsi paksa dapat dengan cepat ditangani proses dan keputusan perkaranya karena jelas hukumnya. Kasus-kasus lain relatif lebih sulit diproses dan diputuskan menurut KUHAP. Kesenjangan ini disebabkan paling tidak oleh 2 faktor: hukum itu sendiri yang tidak memungkinkan menampung kasus yang masuk sehingga perkara tidak dapat diproses, dan kendala dari korban yang tidak lagi mau meneruskan perkaranya. Pengadilan Negeri sudah melakukan upaya agar siap menerima dan memroses kasus-kasus KTP. Ada 10 PN yang menyatakan sudah mengetahui adanya UU Penghapusan KDRT (UU No. 23 Tahun 2004) dan siap/bersedia melakukan sosialisasi baik kepada jajaran yang berkepentingan untuk menangani kasus-kasus KDRT. Empat PN mengakui sudah mengetahui tetapi belum melakukan sosialisasi dan 1 PN belum mengetahui adanya UU Penghapusan KDRT.

Page 15: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

15

Secara khusus 3 PN telah mempunyai kebijakan khusus dalam menangani kasus KTP dengan pertimbangan agar kasus cepat dapat diputuskan. Demikian pula, ada 5 PN yang secara khusus memberikan prioritas dalam pelaksanaan sidang kasus-kasus KTP. Dan 13 PN memperlakukan secara khusus korban (khususnya usia anak-anak) dengan memperbolehkan pendampingan kepada korban selama persidangan. Semua ini dilakukan demi mempertimbangkan agar korban tidak lebih menderita karena kasusnya lama diproses serta menanggung beban psikologis lebih lama karena menarik perhatian masyarakat luas. Seperti diketahui kasus-kasus KTP masih dianggap sebagai ‘aib’ keluarga bagi sebagian besar masyarakat kita, sehingga korban yang melaporkan kasus akan lebih merasa bersalah karena menganggap diri mencemarkan nama baik keluarga atau membuka aib keluarga.

Meskipun telah melakukan terobosan dan upaya dalam menangani kasus KTP, Pengadilan Negeri masih menjumpai sejumlah kendala yang berkaitan dengan: ‘hilang’nya saksi (karena sudah ke luar negeri), tidak konsistennya keterangan antar saksi (di BAP dan ketika dikonfirmasi ulang/dibacakan di sidang), kesulitan korban untuk bersaksi karena malu atau takut, adanya kemauan istri agar suaminya tidak dihukum, dan sebagainya. Sekali lagi, kendala yang dihadapi Pengadilan Negeri ini mengindikasikan masih perlunya dilakukan sosialisasi UU Penghapusan KDRT dan perlindungan saksi sehingga masyarakat luas menyadari pentingnya memroses kasus KTP, baik ke Pengadilan Negeri atau dengan cara lain yang bisa dilakukan untuk menolong korban.

��Pengadilan Agama (PA)

Kasus-kasus KTP yang masuk ke Pengadilan Agama Jakarta Utara dan Manado untuk tahun 2004 tercatat sejumlah 367 kasus, yang semuanya dikategorikan ke dalam KDRT. Semua kasus ini (367) diproses oleh Pengadilan Agama, dan yang mencapai keputusan 360 kasus.

Menarik ditelusuri jenis kasus KDRT yang diterima, diproses dan dicapai keputusan oleh Pengadilan Agama ini. Pengadilan Agama mengelompokkan jenis kasus KDRT menjadi: kekerasan ekonomi, tidak ada

tanggung jawab, cerai gugat, dan cerai talak. Seluruh kasus yang mencakup kekerasan ekonomi dan kasus tidak ada tanggung jawab diproses dan dapat diputuskan dengan tuntas. Sedangkan kasus cerai gugat dan cerai talak, meskipun semua kasus yang masuk diproses tetapi pengadilan agama diindikasikan ‘hati-hati’ dalam mengambil keputusan.

Pengadilan Agama Jakarta Utara mempunyai 3 orang hakim perempuan di antara 8 hakim laki-laki, sedangkan Pengadilan Agama Manado mencatatkan 1 orang hakim perempuan. Sepanjang tahun 2004, tercatat kasus perceraian sebanyak 560 di Pengadilan Agama Jakarta Utara dan hampir separuhnya (250 kasus) merupakan

kasus perceraian berbasis KTP, dan Pengadilan Agama Manado mencatat 117 kasus perceraian beralaskan KTP. Melihat banyaknya kasus perceraian berbasis KTP ini, Pengadilan Agama Jakarta Utara membuat prioritas persidangan khusus untuk kasus-kasus semacam. Diakui pula, pengadilan agama di Jakarta memberikan perlindungan bagi perempuan korban yang mengajukan gugatan cerai sejak mengajukan gugatan sampai dengan proses sidang diselesaikan walaupun tidak ada penjelasan terinci mengenai jenis perlindungan yang diberikan.

Kasus RT/KOM Pengadilan Negeri

68

443

308

48

349

491

62

466

325

perkosaan

aniay a

pembunuhan

diterima diproses diputuskan

Kasus KDRT Pengadilan Agama

77

73

37

40

93

40

77

157

ekonomi

tdk tg jw b

cerai gugat

cerai talak

diterima diproses diputuskan

Page 16: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

16

Sehubungan dengan keputusan perceraian, Pengadilan Agama Jakarta Utara mempertimbangkan usia anak ketika memutuskan hak perwalian (di pihak istri/ibu) dan mengenai harta gono-gini yang seringkali dipersoalkan ketika terjadi gugatan cerai.

Secara terpisah kedua pengadilan agama menyatakan adanya hambatan dalam menangani kasus KTP. Pengadilan Agama Jakarta Utara mengakui keterbatasan ruang tunggu di Pengadilan Agama sehingga tidak ada ruang khusus disediakan untuk pihak korban KTP (seringkali terjadi pihak korban dan pelaku disatukan dalam ruang yang sama selama menunggu persidangan). Sedangkan Pengadilan Agama Manado melihat ketidaktahuan masyarakat akan adanya peraturan perceraian sebagai kendala dalam kasus-kasus KTP.

Komnas Perempuan

Komnas Perempuan, atau Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, bukanlah lembaga pemberi layanan ataupun lembaga penegak hukum, melainkan sebuah komisi independen yang didirikan berdasarkan surat Keputusan Presiden untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan dan penegakan HAM perempuan. Komnas Perempuan tidak menangani kasus-kasus KTP yang terjadi perorangan, melainkan fokus pada permasalahan KTP yang terjadi secara sistemik, tersebar luas dan mencakup harkat perempuan sebagai suatu komunitas khusus.

Selama tahun 2004 tercatat sejumlah kasus 221 korban yang langsung mendatangi Komnas Perempuan dengan maksud mengadukan permsalahannya dan berharap agar kasusnya dapat diselesaikan oleh Komnas Perempuan. Dari jumlah total 221 kasus, sebanyak 211 kasus merupakan kasus KTP yang bersifat perorangan. Jumlah ini meningkat signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya (19 kasus). Karena

fungsi dan tugasnya, Komnas Perempuan tidak menangani kasus orang-perorangan secara langsung tetapi melakukan rujukan ke lembaga mitra yang berkompeten untuk menangani kasus yang bersangkutan. Untuk kasus-kasus KTP perorangan ini, tercatat bahwa korban berlatar belakang pendidikan SD, SLTA, Diploma, dan S1. Sedangkan pelaku kekerasan berlatarbelakang sedikit lebih tinggi: SLTA, Diploma, S1 dan S2. Paling banyak dijumpai, baik korban maupun pelaku dengan latar belakang pendidikan S1.

Komnas Perempuan juga menerima pengaduan dari masyarakat korban tentang kasus-kasus kekerasan sistemik yang berdampak signifikan pada HAM perempuan dan berkaitan dengan kebijakan negara. Tiga kasus yang diangkat secara langsung oleh warga perempuan dari komunitas Pante Buyat (Sulawesi Utara), Manggarai (NTT) dan Bojong (Bogor)

direspons dengan pengiriman tim pemantauan dari Komnas Perempuan ke lokasi.

Sebanyak 10 kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan tergolong kekerasan yang tidak secara khusus merupakan wujud ketimpangan relasi jender tapi juga mengakibatkan korban perempuan, seperti kasus pertanahan, penyerangan berbasis agama terhadap sekolah, ketidakmampuan membiayai sekolah anak, penahanan aktivis, pembebasan sandera Irak, dan permintaan untuk pengamanan sidang. Untuk kasus-kasus ini, Komnas Perempuan memainkan peran minimal

Komnas Perempuan menerima pengaduan berbagai cara: lewat telpon (157), datang langsung (14), dan lewat surat (50). Umumnya korban (138) sendiri yang paling banyak mengadukan sendiri kasusnya, ada juga yang melalui pendamping (37), anggota keluarga (26) atau teman (20). Sebanyak mungkin kasus yang masuk direspons oleh Komnas Perempuan, yaitu dengan memberikan dukungan lewat surat (14), merujuk ke lembaga terkait (61), melakukan pemantauan langsung ke lokasi terjadinya kekerasan sistemik (3).

Secara keseluruhan, pengaduan-pengaduan kasus yang masuk ke Komnas Perempuan direspon dalam dengan beberapa cara, sesuai kebutuhan dan mandat lembaga: memberikan surat dukungan (14); merujuk

Tingkat pendidikan

2

11

9

2

2

10

6

6

SD

SLTA

Diploma

S1

S2

korban pelaku

Page 17: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

17

ke lembaga mitra (157); melakukan pemantauan langsung (3); dan mencatat ke dalam database karena pengaduan bersifat pemberitahuan saja.

Secara umum, penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, baik yang terjadi di tingkat perorangan maupun yang merupakan bagian dari kekerasan sistemik yang berdampak luas, mengalami peningkatan dari segi jumlah kasus yang dilaporkan dan ditangani, maupun dari segi kesiapan lembaga-lembaga pemberi layanan (OP dan RS) dan lembaga-lembaga penegak hukum. Kenyataan ini ternyata sangat menentukan dalam upaya mendorong pengesahan Rancangan UU tentang kekerasan dalam rumah tangga, terutama ketika Presiden RI mensyaratkan dukungannya pada soal kesiapan masyarakat untuk menjalankan UU ini.

TE ROBOS AN

Tahun 2004 adalah tahun bersejarah bagi perempuan Indonesia – dan khususnya bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga – karena pada tahun inilah lahir UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, setelah diperjuangkan selama 8 tahun oleh berbagai organisasi perempuan.

Kebijakan-kebijakan Baru tentang Kekerasan terhadap Perempuan

Pada bulan September 2004, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disahkan. Ini merupakan sebuah puncak dari serangkaian upaya dari berbagai pihak, baik dari lingkungan pemerintah maupun masyarakat, yang telah mengambil sejumlah inisiatif untuk menyikapi persoalan kekerasan terhadap perempuan. Pada tahun 2001, Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (RAN-PKTP) dicanangkan oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan. Pada tahun 2002, ditandatangani sebuah Surat Kesepakatan Bersama antara Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, Menteri Kesehatan RI, Menteri Sosial RI dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kesepakatan ini menyangkut pelayanan terpadu bagi korban kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilaksanakan bersama dalam bentuk pengobatan dan perawatan fisik, psikis, pelayanan sosial dan hukum. Di tingkat daerah, Gubernur Provinsi Bengkulu mengeluarkan Surat Keputusan (SK) No. 751 Tahun 2003 tentang pembentukan tim penanganan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan. SK yang ditandatangani pada tanggal 10 Desember 2003 pada intinya membentuk Tim Penanganan Terpadu Bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan yang mempunyai cakupan kerja di bidang pencegahan, penanganan dan pemulihan, serta pendidikan dan advokasi. Tim ini beranggotakan wakil-wakil dari lingkungan pemerintah, LSM dan lembaga profesional setempat.

Di tingkat regional, Menteri Luar Negeri negara-negara ASEAN menandatangani Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, di Jakarta pada tanggal 13 Juni 2004. Deklarasi ini berisi dorongan kerjasama regional dalam mengumpulkan dan mendiseminasikan data untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan, promosi pendekatan holistik dan terintegrasi dalam mengeliminasi kekerasan terhadap perempuan, dorongan untuk melakukan pengarusutamaan gender, dan membuat serta mengubah undang-undang domestik untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan.

Pemikiran Progresif tentang Perempuan dalam Perkawinan

Dalam rangka melaksanakan RAN-PKTP pula, pada tahun 2004, Tim Pengarusutamaan Gender di Departemen Agama meluncurkan sebuah naskah tandingan bagi dokumen yang bernama ’Kompilasi Hukum Islam’ (KHI). Naskah tandingan ini memunculkan sejumlah pasal-pasal baru yang dirumuskan berdasarkan interpretasi terhadap ajaran Islam yang dijiwai oleh nilai keadilan dan kemanusiaan, termasuk keadilan gender. Pasal-pasal ini mencakup, antara lain: perempuan dapat menikah atas nama dirinya, tanpa diwakilkan oleh seorang wali; larangan untuk poligami; pengakuan terhadap perkawinan antar agama; kawin kontrak sebagai perkawinan yang sah; penetapan batas minimal usia perkawinan 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan; dan pemberian hak bagi perempuan janda untuk menikah kembali tanpa menunggu masa iddah berakhir.

Sayangnya, naskah tandingan ini tidak mendapatkan ruang untuk dibahas secara luas dan terbuka karena pemerintah, khususnya Departemen Agama dan MUI, membuat himbauan untuk tidak mengakui

Page 18: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

18

keberadaan naskah tersebut. Hal ini dilatarbelakangi oleh arus penolakan yang muncul di masyarakat, khususnya dari kelompok-kelompok yang memperjuangkan formalisasi syariat Islam.

Pengorganisasian Perempuan Kepala Keluarga

Pada pertengahan tahun 2004, sekitar 300 perempuan kepala keluarga dari 200 desa di 27 kecamatan, 14 kabupaten, 8 provinsi di Indonesia berkumpul untuk pertama kalinya guna membangun kebersamaan di antara mereka dan menunjukkan keberadaan mereka kepada publik dan pemerintah di tingkat nasional. Mereka mewakili 5.361 anggota lainnya yang sama-sama tergabung dalam sebuah program pemberdayaan perempuan kepala keluarga yang dikenal dengan nama ’Pekka’. Mereka menjadi anggota Pekka sebagai janda cerai, janda yang suaminya meninggal dunia, atau ditinggal suami, suami sakit/cacad, atau karena memang berstatus lajang (tidak menikah). Anggota Pekka tersebar dari Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, NTB, NTT, Sulawesi Utara, hingga Maluku Utara. Kebanyakan dari mereka berada pada usia produktif dan bekerja untuk menghidupi anak-anak tanggungannya sebagai buruh (18%), pedagang (25%), industri rumah tangga (9%), jasa dan guru (12%), petani dan peternak (33%). Hanya 3% dari mereka yang menyatakan dirinya tidak bekerja. Anggota Pekka umumnya berpendidikan SD (50%) atau tidak pernah sekolah samasekali (39%).

Pengorganisasian di antara para perempuan kepala keluarga ini merupakan suatu terobosan tersendiri karena merekalah warga yang paling terpinggirkan dari segala akses pada sumber daya, baik yang berbentuk aset ekonomi, informasi maupun pengambilan keputusan dalam kehidupan publik.

Melalui program Pekka, para perempuan kepala keluarga difasilitasi untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka. Di beberapa wilayah, para anggota Pekka mulai diajak dalam perencanaan proyek di desanya. Di Jawa Barat, pemerintah daerah diminta masukan mereka dalam menentukan alokasi anggaran untuk program pemberdayaan perempuan di wilayah ini. Pekka juga membangun jaringan Forum Wilayah di tiap kecamatan untuk membangun kesadaran kritis anggota terhadap posisi, kondisi, hak dan kewajiban mereka sebagai manusia dan warga negara. Program ini juga memfasilitasi anggotanya agar mampu mempunyai kontrol penuh terhadap kehidupan pribadi dan sosial politiknya. Misalnya, mereka belajar untuk menjadi pemimpin bagi diri, keluarga dan dalam kelompoknya. Mereka berlatih mengambil berbagai keputusan baik secara sendiri maupun kelompok. Mereka juga belajar berorganisasi dengan menerapkan berbagai prinsip demokrasi dalam pengambilan keputusan.

Program Pekka juga memfasilitasi berbagai upaya pemberdayaan lainnya, untuk mengorganisir dirinya maupun untuk mengakses berbagai sumber daya, melalui kegiatan simpan pinjam dan melalui pengelolaan dana bantuan pemerintah. Saat ini, mereka juga mulai menerima manfaat dari beberapa program lain, seperti program beras murah, khususnya di NTT. Para anggota Pekka juga dilatih untuk melakukan pendokumentasikan proses dan hasil kegiatan-kegiatan program-program mereka sebagai bagian dari upaya pemberdayaan mereka.

Upaya Khusus untuk Penegakan HAM Buruh Migran

Terobosan-terobosan dalam meningkatkan kapasitas negara untuk menjamin penegakan HAM buruh migran terjadi di tingkat internasional, kendati pun pada tahun 2004 ini DPR RI mengesahkan UU tentang pengelolaan tenaga kerja luar negeri. Undang-undang ini tidak mendapatkan dukungan masyarakat karena lebih banyak mengurus teknis pengiriman tenaga kerja daripada menegakan hak-hak asasi warga Indonesia yang bekerja ke luar negeri.

Setelah terus didesak oleh masyarakat, pada bulan September 2004, pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani (walaupun masih belum meratifikasi) Konvensi Internasional tentang Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarganya. Konvensi yang telah diadopsi dengan Resolusi PBB 45/158 pada tanggal 18 Desember 1990 mulai efektif berlaku 1 Juli 2003. Sejumlah 24 negara telah menandatangani Konvensi ini dan 27 negara telah meratifikasinya. Konvensi ini sangat penting bagi negara-negara yang mempunyai angka buruh migran yang tinggi karena merupakan wujud kesepakatan antar komunitas internasional yang memberi jaminan hak-hak buruh migran. Konvensi ini mengatur tentang kewajiban negara untuk tidak diskriminatif terhadap hak-hak pekerja migran, hak-hak pekerja migran dan keluarganya, hak lain pekerja migran dan anggota keluarganya dalam situasi normal, memajukan kondisi fisik yang baik, setara, manusiawi dan sah

Page 19: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

19

sehubungan dengan migrasi internasional pekerja migran dan anggota keluarganya, serta peraturan penerapan konvensi itu sendiri.

Pada tanggal 10 Mei 2004 Pemerintah Indonesia dan Malaysia menandatangi Memorandum of Understanding (MOU) tentang Rekrutmen Tenaga Kerja Indonesia. MOU ini memuat kesepakatan mengenai persyaratan rekrutmen tenaga kerja yang akan bekerja di Malaysia, tanggung jawab pengusaha (Malaysia), tanggung jawab agen pengirim tenaga kerja yang berlisensi di Indonesia, dan tanggung jawab pekerja. Dalam proses negosiasi MOU ini, pemerintah Malaysia dan Indonesia juga membuat komitmen untuk merumuskan kesepakatan khusus tentang pekerja rumah tangga (PRT) dari Indonesia yang umumnya adalah perempuan. Kesepakatan khusus ini masih belum dituntaskan hingga saat ini.

Dalam menghadapi lima kasus buruh migran PRT dari Indonesia yang terancam hukuman mati di pengadilan Singapura, KBRI Singapura mengambil inistiatif untuk berdialog dengan publik di Indonesia, khususnya dengan organisasi-organisasi yang berkecimpung dalam pembelaan hak-hak buruh migran. Pada bulan Juli 2004, Duta Besar RI untuk Singapura mendampingi pengacara yang direkrut untuk memberi pembelaan bagi perempuan Indonesia yang akan disidang. Ini merupakan langkah signifikan dalam meningkatkan pertanggungjawaban publik dari Perwakilan RI di luar negeri.

Di Sulawesi Utara, Pemerintah Daerah mengeluarkan Perda No. 1 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Manusia (Trafiking) terutama Perempuan dan Anak. Perumusan peraturan daerah ini melibatkan masyarakat, khususnya dalam pelaksanaan penelitian awal, dan mencakup upaya-upaya pencegahan selain menetapkan kewenangan pemerintah daerah dalam menyusun serta mengatur strategi melawan trafiking, dan memberlakukan proses hukum yang efektif bagi pihak-pihak yang terlibat dalam masalah trafiking ini.

TANTANGAN

Menyambut lahirnya UU tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kiranya semakin meningkat urgensi membangun database nasional yang mencakup tidak saja kasus-kasus KDRT tapi juga bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan lainnya. Tiga tahun pengalaman Komnas Perempuan mengumpulkan data dari lembaga-lembaga yang menangani kasus kekerasan guna menjalin sebuah gambaran nasional tentang KTP menunjukkan sejumlah tantangan yang tidak kecil.

Pendataan tentang kasus-kasus KTP dilakukan oleh lembaga-lembaga yang menangani kasus-kasus ini untuk kepentingan lembaga masing-masing, dan menggunakan cara pendataan yang khas pada masing-masing lembaga. Perbedaan yang tajam ditemukan antara sistem pendataan pihak kepolisian, organisasi perempuan dan rumah sakit. Pihak kepolisian menggunakan acuan yang berasal dari KUHAP dan KUHP, sedangkan organisasi perempuan mendata sesuai dengan kebutuhan untuk berperan sebagai pendamping bagi korban kekerasan. Sementara itu, pihak rumah sakit memfokuskan pencatatan pada kondisi fisik tubuh si korban untuk kepentingan pengobatan. Komnas Perempuan, sebagai pihak yang sedang memfasilitasi terbangunnya sebuah database nasional, menggunakan standar acuan dari perangkat penegakan hak-hak perempuan, seperti CEDAW dan Deklarasi Internasional tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.

Perbedaan cara pendataan, yang disebabkan oleh kepentingan dan acuan kerangka pemikiran yang berbeda, menimbulkan kesulitan dalam merangkum data menjadi suatu gambaran utuh. Misalnya, kepolisian dan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya mencatat kasus KTP yang ditanganinya berdasarkan kategori: ’penganiayaan biasa’ dan ’penganiayaan ringan’, atau ’perbuatan tidak menyenangkan’ dan ’merusak kesusilaan di depan umum’. Sistem kategorisasi semacam ini tidak memberikan informasi tentang jenis kelamin korban ataupun tentang hubungan antara korban dan pelaku. Di pihak lain, bagi organisasi-organisasi perempuan yang memberikan pelayanan dan pendampingan bagi korban, sistem kategorisasi yang dibuat menggambarkan secara langsung siapa korban dan hubungannya dengan pelaku, misalnya: ’kekerasan terhadap istri’, ’kekerasan terhadap anak’, ’kekerasan dalam pacaran’.

Page 20: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

20

Sebenarnya bukan hanya organisasi-organisasi yang khusus menangani permasalahan perempuan yang perlu memiliki sistem pendataan tentang KTP. Dalam kasus-kasus pelanggaran HAM umumnya ada korban perempuan yang mengalami dampak-dampak yang khas karena dinamika ketimpangan relasi gender. Contohnya, ketika deportasi besar-besaran dilakukan oleh pemerintah Malaysia terhadap buruh migran Indonesia, tidak ada pendataan yang memilah antara korban yang perempuan dan laki-laki. Demikian pula dalam peristiwa-peristiwa penggusuran paksa di lingkungan komunitas miskin kota, sangat jarang ada data yang memilah komunitas korban berdasarkan jenis kelamin.

Secara umum, pendataan dan proses dokumentasi merupakan suatu jenis kerja yang kurang mendapatkan perhatian dan sumber daya yang memadai di lembaga-lembaga sosial di Indonesia. Seringkali pendokumentasian dilakukan sebagai kegiatan tambahan di sela-sela pekerjaan lain, atau tugas ini dilimpahkan pada satu orang saja yang tidak diberi sumber daya dan sistem pendukung yang diperlukan.

Kendala lain berkaitan dengan upaya pengembangan database nasional adalah tidak adanya kebiasaan berbagi data antar lembaga, baik karena belum ada mekanisme pertukaran data yang memadai, karena adanya rasa takut atau curiga bahwa data akan digunakan untuk kepentingan yang merugikan lembaga, maupun karena belum ada keyakinan akan perlunya database nasional yang standar.

KE S IM P ULAN

Gambaran umum tentang kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2004 merupakan indikasi bahwa penegakan dan perlindungan hak-hak perempuan sebagai manusia masih membutuhkan perjalanan panjang. Merujuk pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, hak dasar manusia adalah hak untuk hidup, perlakuan tanpa diskriminasi, papan dan tempat tinggal, kesehatan, bekerja untuk mendapatkan nafkah, pendidikan dan memperoleh standard hidup yang layak. Namun terkait dengan realitas bahwa perempuan dan laki-laki berbeda dalam konstruksi sosial budaya, maka untuk menegakkan hak-hak asasi perempuan diperlukan instrumen penegakan HAM yang khusus. CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Duscrimination Against Women) merupakan standard yang digunakan untuk menegakkan hak-hak asasi perempuan dengan menggunakan prinsip-prinsip dasar kesetaraan dan non-diskriminasi serta kerangka kewajiban negara dalam menegakkan dan melindungi hak-hak asasi perempuan.

Sebagai rangkuman gambaran umum KTP pada tahun 2004, dapat dikatakan bahwa lokus kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol pada tahun ini terfokus pada wilayah rumah (KDRT, pekerja rumah tangga di dalam negeri dan di luar negeri), pekarangan (Buyat, Bojong, miskin kota) dan kebun (Manggarai). Sementara proses migrasi yang dijalankan oleh perempuan Indonesia dalam mencari kerja di luar negeri begitu penuh praktik-praktik diskriminatif, eksploitatif dan kekerasan, kaum perempuan masih harus menghadapi tambahan tekanan berupa pengaturan cara berpakaian dan ruang gerak perempuan ketika ia keluar rumah bahkan di tanah airnya sendiri. Kecenderungan umum tentang kekerasan terhadap perempuan seperti ini merupakan akibat dari situasi sosio kultural maupun kebijakan negara.

Angka kekerasan terhadap perempuan terus meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun. Sejak tahun 2001, ketika Komnas Perempuan pertama kali mencoba melakukan kompilasi data KTP dari berbagai lembaga, hingga tahun 2004, jumlah kasus KTP yang tercatat meningkat dari 3.160 pada tahun 2001, menjadi 5.163 pada tahun 2002, 7.787 pada tahun 2003, hingga 13.968 kasus pada tahun 2004.

Kekerasan dalam rumah terjadi karena posisi subordinat perempuan berlangsung secara turun-temurun sehingga kemudian dinyatakan sebagai kebenaran, sehingga terjadi relasi timpang yang sistemik dan berbasis pada kekuasaan. Pekerja Rumah Tangga (PRT) mengalami dominasi ganda, sebagai perempuan dan sebagai pekerja. Kerja domestik belum diakui secara resmi dalam hukum nasional sebagai jenis pekerjaan yang sah dan dibutuhkan oleh masyarakat. Buruh migran perempuan yang bekerja sebagai PRT masih tetap tidak terlindungi secara tuntas, karena berbagai kebijakan dari pemerintah, termasuk UU no 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, masih tidak memberikan pengakuan hukum, penghargaan profesi ataupun perlindungan HAM bagi mereka. Undang-

Page 21: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

21

Undang ini belum merealisasikan pemenuhan kewajiban negara terhadap buruh migran, yang kebanyakan adalah perempuan.

Realitas hidup yang dialami perempuan migran yang sebagai manusia diperdagangkan, disekap dan diperlakukan tidak manusiawi merupakan akibat dari proses panjang dari perjalanan mereka untuk mencari nafkah di luar negeri. Lapangan pekerjaan mereka di dalam negeri sudah berkurang karena kebijakan pembangunan yang menyebabkan pengurangan lahan persawahan dan peminggiran warga desa. Di lain pihak, perlu dicatat bahwa masyarakat sendiri pun aktif menuntut perempuan desa untuk ke luar negeri demi mencukupi kebutuhan keluarga. Setelah sebagai perempuan mengalami diskriminasi oleh keluarga dan budaya dalam mengakses pendidikan, mereka harus pergi mencari kerjaan di kota-kota besar maupun ke luar negeri hanya dengan modal pendidikan dan ketrampilan yang minim.

Konflik sumber daya alam terjadi ketika kekayaan alam dinyatakan menjadi hak negara yang pengelolaannya boleh diputuskan oleh negara saja. Kasus pencemaran lingkungan hidup di teluk Buyat Pante merupakan akibat dari keputusan pemerintah tentang investasi pertambangan yang tidak melibatkan masyarakat. Akibatnya masyarakat dirugikan. Ketika terjadi konflik sumber daya alam antara negara dan masyarakat, seperti di Kabupaten Manggarai, perempuan dan anak-anak menjadi korban karena hidup mereka tergantung pada suami dan ayah. Karena perempuan tidak mempunyai hak milik atas tanah sebagaimana laki-laki, keluarga yang tiba-tiba dikepalai oleh perempuan – akibat suami yang mati terbunuh, cacad atau ditahan – sulit menghindari proses pemiskinan. Tanah, air, dan lingkungan hidup bagi perempuan Buyat, Manggarai dan Bojong merupakan ruang hidup bagi perempuan, sehingga ketika ruang hidup tadi terganggu, maka kebutuhan hidup yang menjadi hak mereka juga tidak terlindungi.

Kehidupan perempuan di wilayah konflik bersenjata penuh dengan ketegangan lahir batin. Perempuan Aceh dan Poso mengalami hidup tidak tenang, selalu merasa terancam. Perempuan Aceh yang mengalami kekerasan ternyata bukan perempuan yang tidak ada hubungannya dengan pihak yang sedang konflik: mereka menjadi sasaran justru karena mereka adalah istri, anak atau saudara dari pihak lawan. Perlakuan keras terhadap perempuan sering menimbulkan kemarahan laki-laki. Mereka merasa ditantang dan dipermalukan ketika istri, anak, atau saudara perempuannya diperkakukan keras oleh lawannya. Peristiwa Ruteng berdarah 10 Maret 2004 dipicu oleh ditangkapnya 4 orang perempuan, satu diantaranya anak perempuan berumur 15 tahun. Empat perempuan tersebut merupakan ’milik’ suami dan ayahnya. Kemarahan suami dan ayah, mengundang kemarahan laki-laki lainnya. Maka terjadilah ’perang’ diantara kaum laki-laki.

Sementara itu, pada era reformasi politik ini, simbol-simbol agama semakin marak digunakan untuk melakukan mobilisasi politik dan pertarungan merebut kekuasaan. Korban pertama dari kecenderungan ini adalah perempuan yang gerak-gerik serta moblilitasnya ikut dijadikan simbol yang dipolitisasi. Sementara itu, pembahasan ide-ide progresif tentang hak-hak perempuan dalam perkawinan dibendung bahkan oleh aparat pemerintah sendiri.

Segala bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terdapat dalam Catatan tahunan 2005, berawal dari diskriminasi terhadap perempuan. Perempuan berbeda dengan laki-laki, baik dari aspek biologis maupun dari aspek konstruksi sosial budaya. Kekerasan yang dialami perempuan terjadi dalam keterkaitan dengan pandangan budaya yang diskriminatif, politisasi agama dan kebijakan negara yang belum memperhatikan kebutuhan dan masalah perempuan. Karenanya diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu hal yang berlangsung secara sistemik. Bentuk penanganan kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak perempuan, dengan demikian, memerlukan penanganan dan perlakuan yang berbeda pula.

Kinerja lembaga-lembaga pemberi layanan bagi perempuan korban kekerasan, baik dari lingkungan organisasi perempuan maupun rumah sakit, dan lembaga-lembaga penegak hukum, khususnya RPK di kantor-kantor kepolisian, mengingkat terus. Hal ini berlaku dari segi jumlah kasus yang dtangani, maupun dari segi kesiapan organisasi dalam melakukan penanganan. Perkembangan ini tidak terlepas dari lahirnya kebijakan-kebijakan baru yang mendukung penanganan soal kekerasan terhadap perempuan, khususnya UU Penghapusan KDRT dan produk-produk kebijakan lain yang terdahulu. Kendati demikian, kerjasama lintas

Page 22: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

22

institusi masih lebih banyak bersifat insidental dan ad hoc, bergantung dari ‘pertemanan’ dan masih sangat sedikit yang sudah mengembangkan bentuk kerjasama yang melembaga dan berjangka panjang.

Hanya ada satu terobosan signifikan dalam area kebijakan untuk tahun 2004, yaitu dalam hal penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Upaya negara untuk menghasilkan perangkat kebijakan dan perundangan nasional yang melindungi HAM buruh migran ternyata belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Langkah-langkah awal yang konstruktif justru terjadi di tingkat internasional, melalui penandatangani konvensi tentang perlindungan buruh migran, pembuatan perjanjian bilateral dan pertanggungjawaban publik Perwakilan RI di luar negeri.

RE KOM E NDAS I

Menyimak kecenderungan kasus-kasus KTP yang terjadi pada tahun 2004 dan mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik di Indonesia untuk tahun 2005 ini, Komnas Perempuan mencanangkan agenda kerja bersama sbb.:

1. Memastikan penerapan UU Penghapusan KDRT oleh seluruh jajaran kepolisian, kejaksaan dan pengadilan melalui pembuatan aturan-aturan pelaksanaan di masing-masing lembaga penegak hukum yang sesuai dengan semangat UU tersebut dalam menegakkan hak-hak asasi perempuan korban kekerasan.

2. Merumuskan ulang perangkat kebijakan di tingkat lokal, internasional dan nasional, termasuk peraturan-perundangannya, untuk menjamin penegakan hak-hak asasi buruh migran Indonesia dengan menggunakan pendekatan HAM dan menerapkan kepekaan gender (karena sebagian besar buruh migran Indonesia adalah perempuan).

3. Mengupayakan agar pekerja rumah tangga (PRT) yang bekerja di dalam negeri maupun di luar negeri diakui keberadaannya secara hukum sebagai pekerja, mendapatkan kesempatan terbuka untuk berkumpul dan berorganisasi, serta mendapatkan jaminan perlindungan hukum.

4. Membuka kembali pembahasan yang luas dan terbuka tentang isi dari naskah tandingan Kompilasi Hukum Islam yang dirumuskan oleh Tim Pengarusutamaan Gender di Departemen Agama sebagai wujud dari pemenuhan HAM, khususnya hak untuk bersuara dan berpendapat.

5. Melakukan pemantauan yang sistematis, komprehensif dan akuntabel pada publik tentang situasi HAM perempuan di daerah-daerah konflik bersenjata, termasuk daerah konflik yang tertimpa bencana alam, sebagai landasan advokasi untuk menjamin keadilan gender dalam seluruh proses penanganan konflik, perdamaian dan rekonstruksi.

6. Mengisi ruang-ruang politik di tingkat lokal, terutama tapi tidak terbatas pada masa pilkada tahun 2005, untuk memperjuangkan HAM perempuan dan mempertahankan kemandirian perempuan di tengah maraknya upaya pembatasan ruang gerak dan tubuh perempuan.

7. Mengembangkan database nasional tentang kekerasan terhadap perempuan dan HAM perempuan yang besifat standar dan mampu menjembatani kepentingan berbagai institusi serta tidak menghilangkan kekayaan dan keberagaman konteks lokal.

8. Meningkatkan kapasitas pemahaman tentang dimensi gender dan dampak ketidakadilan gender pada kasus-kasus konflik sumber daya alam dan mengintegrasikan kepentingan perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan manusiawi.

Page 23: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

23

T E R I M A K A S I H

Komnas Perempuan mengucapkan terima kasih kepada lembaga-lembaga di bawah ini atas kerja samanya dalam menyusun Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan – 2005.

1. Arikal Mahina, Maluku Utara 2. Cahaya Perempuan WCC, Bengkulu 3. Divisi Perempuan TRUK-F (Biara Susteran SSpS Maumere), Nusa Tenggara Timur 4. Forum Peduli Perempuan Atambua (FPPA), Nusa Tenggara Timur 5. Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP), Sulawesi Selatan 6. Gerakan Peduli Perempuan (GPP) Jember, Jawa Timur 7. ICMC, Jakarta 8. International Organization for Migration (IOM), Jakarta 9. Kontras, Jakarta 10. KPBH ATMA (Advokasi Transformasi Masyarakat), Jawa Tengah 11. LBH APIK Aceh, Nangroe Aceh Darussalam 12. LBH APIK Makasar, Sulawesi Selatan 13. LBH APIK Manado, Sulawesi Utara 14. LBH APIK Jakarta 15. LBH Banda Aceh, Nangroe Aceh Darussalam 16. LBH Jakarta 17. Lembaga Bantuan Hukum Pemberdayaan Perempuan Indonesia (LBH-P2i), Sulawesi Selatan 18. Lentera Perempuan, Jawa Tengah 19. Lembaga Kajian untuk Transformasi Sosial (LKTS), Jawa Timur 20. LPP Bone, Sulawesi Selatan 21. Legal Resource Center untuk Keadilan Jender & Hak Asasi Manusia (LRC KJAM), Jawa Tengah 22. Lembaga Studi Kesetaran Aksi dan Refleksi (LSKAR), Jawa Tengah 23. Mitra Perempuan, Jakarta 24. Nurani Perempuan WCC, Sumatera Barat 25. Perempuan Manggarai Anti Kekerasan (Pemantik), Nusa Tenggara Timur 26. Perkumpulan Sada Ahmo, Sumatera Utara 27. Puan Amal Hayati, Jakarta 28. Pusat Informasi dan Perlindungan Perempuan dan Anak (PIPPA_BKOW), Sulawesi Utara 29. Pusat Pelayanan & Pendampingan Perempuan (Crisis Center Moria GBKP), Sumatera Utara 30. Pusat Pelayanan Tenaga Kerja (PP Nakerwan), Batam 31. P3A Sidoarjo, Jawa Timur 32. Rahima, Jakarta 33. Rifka Anisa, Yogyakarta 34. Rumah Kita, Jakarta 35. Rumah Perempuan, Nusa Tenggara Timur 36. Rumpun Tjoet Nyak Dien, Yogyakarta 37. Sahabat Perempuan, Jawa Tengah 38. Savy Amira Surabaya Women’s Crisis Centre , Jawa Timur 39. Seknas JATAM 40. Seknas Kopbumi, Jakarta 41. Seknas Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA), Jakarta 42. Seknas Solidaritas Perempuan 43. Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM), Jawa Tengah 44. Suara Nurani Perempuan YABINKAS, Yogyakarta 45. Serikat Perempuan Independen (SPI) Labuhan Batu, Sumatera Utara 46. Swara Parangpuan, Sulawesi Utara 47. Urban Poor Consortium, Jakarta 48. WCC Jombang, Jawa Timur

Page 24: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

24

49. WCC Palembang, Sumatera Selatan 50. Yabiku, Nusa Tenggara Timur 51. Yayasan Ibunda, Jawa Timur 52. Yayasan Krida Paramita, Jawa Tengah 53. Yayasan Panca Karsa, Nusa Tenggara Barat 54. Rumkit Panti Rapih, Yogyakarta 55. Rumkit Polpus RS Sukanto, Jakarta 56. Rumkit Trijaya Polda Bali, Bali 57. RS Bhayangkara Tk IV Polda Kalimantan Tengah 58. RS Bhayangkara Mappa Ouddang, Sulawesi Selatan 59. RS Bhayangkara Kupang, Nusa Tenggara Timur 60. RS Bhayangkara Mataram, Nusa Tenggara Barat 61. RSU Prof dr RD Kandau, Sulawesi Utara 62. PKT Melati, Jakarta 63. PKT RSCM Jakarta 64. PPT Propinsi Jawa Timur 65. Kepala Badan Reserse Kriminal POLRI 66. RPK Polda Bangka Belitung 67. RPK Polda Bali 68. RPK Polda Bengkulu 69. RPK Polda Yogyakarta 70. RPK Polda Gorontalo 71. RPK Polda Jakarta 72. RPK Polda Jawa Tengah 73. RPK Polda Jawa Timur 74. RPK Polda Kalimantan Selatan 75. RPK Polda Kalimantan Tengah 76. RPK Polda Kalimantan Timur 77. RPK Polda Lampung 78. RPK Polda Maluku 79. RPK Polda Nangroe Aceh Darussalam 80. RPK Polda Nusa Tenggara Barat 81. RPK Polda Nusa Tenggara Timur 82. RPK Polda Papua 83. RPK Polda Riau 84. RPK Polda Sulawesi Selatan 85. RPK Polda Sulawesi Tengah 86. RPK Polda Sulawesi Tenggara 87. RPK Polda Sulawesi Utara 88. RPK Polda Sumatera Selatan 89. RPK Polda Sumatera Timur 90. RPK Polda Sumatera Utara 91. RPK Polda Tanggerang 92. Gender Focal Point Kejaksaan Agung 93. Kejaksaan Tinggi Gorontalo 94. Kejaksaan Tinggi Jawa Barat 95. Kejaksaan Tinggi Jambi 96. Kejaksaan Tinggi Yogjakarta 97. Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat 98. Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah 99. Kejaksaan Tinggi Kalimantan Timur 100. Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan 101. Kejaksaan Tinggi Maluku Utara 102. Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat 103. Kejaksaan Tinggi Papua

Page 25: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

25

104. Kejaksaan Tinggi Riau 105. Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan 106. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara 107. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah 108. Pengadilan Negeri Amlapura, Bali 109. Pengadilan Negeri Bajawa, Nusa Tenggara Timur 110. Pengadilan Negeri Barabai, Kalimantan Selatan 111. Pengadilan Negeri Batang, Jawa Tengah 112. Pengadilan Negeri Bengkalis 113. Pengadilan Negeri Blitar, Jawa Timur 114. Pengadilan Negeri Blora, Jawa Tengah 115. Pengadilan Negeri Bojonegoro, Jawa Tengah 116. Pengadilan Negeri Boyolali, Jawa Tengah 117. Pengadilan Negeri Brebes, Jawa Tengah 118. Pengadilan Negeri Buntok, Kalimantan Tengah 119. Pengadilan Negeri Ciamis, Jawa Barat 120. Pengadilan Negeri Cibadak, Jawa Barat 121. Pengadilan Negeri Cibinong, Jawa Barat 122. Pengadilan Negeri Cirebon, Jawa Barat 123. Pengadilan Negeri Enrekeng, Sulawesi Selatan 124. Pengadilan Negeri Gianjar, Bali 125. Pengadilan Negeri Gunung Sitoli, Sumatera Utara 126. Pengadilan Negeri IA Jambi 127. Pengadilan Negeri Jombang, Jawa Timur 128. Pengadilan Negeri Karanganyar, Jawa Tengah 129. Pengadilan Negeri Kayuagung, Sumatera Selatan 130. Pengadilan Negeri Payakumbuh, Sumatera Barat 131. Pengadilan Negeri Klas IB Bau-bau, Sulawesi Tenggara 132. Pengadilan Negeri Klas IB Kandangan, Kalimantan Selatan 133. Pengadilan Negeri Klas IB Purwokerto, Jawa Timur 134. Pengadilan Negeri Kota Baru, Kalimantan Selatan 135. Pengadilan Negeri Kuningan, Jawa Barat 136. Pengadilan Negeri Lhoksukon, Nangroe Aceh Darussalam 137. Pengadilan Negeri Limboto, Gorontalo 138. Pengadilan Negeri Lumajang, Jawa Timur 139. Pengadilan Negeri Madiun, Jawa Timur 140. Pengadilan Negeri Magetan, Jawa Tengah 141. Pengadilan Negeri Majalengka, Jawa Barat 142. Pengadilan Negeri Meulaboh, Nangroe Aceh Darussalam 143. Pengadilan Negeri Muara Bulian, Jambi 144. Pengadilan Negeri Pacitan, Jawa Timur 145. Pengadilan Negeri Painan, Sumatera Barat 146. Pengadilan Negeri Palembang, Sumatera Selatan 147. Pengadilan Negeri Pamekasan, Jawa Timur 148. Pengadilan Negeri Pandeglang, Banten 149. Pengadilan Negeri Pangkalpinang, Bangka-Belitung 150. Pengadilan Negeri Pariaman, Sumatera Barat 151. Pengadilan Negeri Pelaihari, Kalimantan Selatan 152. Pengadilan Negeri Purbalingga, Jawa Tengah 153. Pengadilan Negeri Purwakarta, Jawa Barat 154. Pengadilan Negeri Purwodadi, Jawa Tengah 155. Pengadilan Negeri Rangkas Bitung, Banten 156. Pengadilan Negeri Sampang, Jawa Timur 157. Pengadilan Negeri Selong, Nusa Tenggara Barat 158. Pengadilan Negeri IA Serang, Banten

Page 26: LOKUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN 2004: … Tahunan/3... · rumah pribadi di mana kekerasan terus menghantui perempuan. Pada tahun 2004, perempuan Indonesia bekerja keras untuk melahirkan

26

159. Pengadilan Negeri Semarang, Jawa Tengah 160. Pengadilan Negeri Sengkang, Sulawesi Selatan 161. Pengadilan Negeri Sidenreng Rappang, Suluawesi Selatan 162. Pengadilan Negeri Singkawang, Kalimantan Barat 163. Pengadilan Negeri Slawi, Jawa Tengah 164. Pengadilan Negeri Subang, Jawa Barat 165. Pengadilan Negeri Sukoharjo, Jawa Tengah 166. Pengadilan Negeri Tabanan, Bali 167. Pengadilan Negeri Tahuna, Sangihe, Sulawesi Utara 168. Pengadilan Negeri Takalar, Sulawesi Selatan 169. Pengadilan Negeri Takengon, Nangroe Aceh Darussalam 170. Pengadilan Negeri Tanjung, Tabalong 171. Pengadilan Negeri Tanjungpandan, Bangka-Belitung 172. Pengadilan Negeri Tuban, Jawa Timur 173. Pengadilan Negeri Waikabubak, Nusa Tenggara Timur 174. Pengadilan Negeri Waingapu, Nusa Tenggara Timur 175. Pengadilan Negeri Wamena, Papua 176. Pengadilan Negeri Wonogiri, Jawa Tengah 177. Pengadilan Negeri Wonosobo, Jawa Tengah 178. Pengadilan Agama Jakarta Utara 179. Pengadilan Agama Manado