lo4
-
Upload
kurnia-fitri-aprilliana -
Category
Documents
-
view
215 -
download
3
description
Transcript of lo4
VII . PENATALAKSANAAN
Tatalaksana cedera kepala :
Pada saat menangani pasien dengan cedera kepala maka tata laksana awal dilakukan survey
primer diantaranya dengan pemeriksaan ABCDE yakni :
1) Jalan napas (airway) dan stabilisasi servikal
Jalan napas diinspeksi segera untuk memastikan patensi dan segera
identifikasi segala penyebab obstruksi (benda asing, serpihan fraktur, gangguan
trakea-laring, cedera tulang servikal).Jika terdapat tanda-tanda obstruksi jalan
nafas yang umumnya sering terjadi pada penderita yang tidak sadar yang dapat
terjadi karena adanya benda asing, lendir atau darah, jatuhnya pangkal lidah, atau
akibat fraktur tulang wajah, maka jalan nafas harus segera dibersihkan.Usaha
untuk membebaskan jalan napas harus hati-hati, bila ada riwayat/dugaan trauma
sevikal harus melindungi vertebra servikalis (cervical spinecontrol), yaitu tidak
boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher.Chin lift
dan jaw thrust adalah metode awal menyokong patensi jalan napas yang secara
otomatis melindungi vertebra servikal. Maksimalkan oksigenasi dan ventilasi.
Imobilisasi servikal menggunakan stiffneck collar, head block, dan diikat pada
alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal.
2) Pernapasan (breathing) dan ventilasi
Menilai laju pernapasan, kesimetrisan gerakan dinding dada, penggunaan
otot bantu napas, dan auskultasi bunyi napas. Ketika patensi jalan napas telah
terjaga, kemampuan pasien bernapas segera dinilai. Dilakukan ventilasi dengan
oksigen 100% sampai diperoleh hasil analisis gas darah dan dapat dilakukan
penyesuaian yang tepat terhadap FiO2. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35
mmHg.11
3) Nadi dan tekanan darah (circulation) serta kontrol perdarahan
Resusitasi cairan intravena, yaitu cairan isotonic, seperti Ringer Laktat atau
Normal Salin (20 ml/kgBB) jika pasien syok, tranfusi darah 10-15 ml/kgBB harus
dipertimbangkan. Adanya hipotensi merupakan petunjuk bahwa telah terjadi
kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak jelas. Adanya
hipotensi merupakan petunjuk bahwa telah terjadi kehilangan darah yang cukup
berat, walaupun tidak selalu tampak jelas.Hipotensi memiliki efek berbahaya bagi
pasien cedera kepala karena membahayakan tekanan perfusi otak dan berperan
dalam timbulnya edema dan iskemia otak.Jarang hipotensi disebabkan oleh
kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa
hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai
tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah
menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah
yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah.
4) Defisit Neurologis
Dinilai GCS, ukuran dan reaksi pupil. Hiperventilasi menurunkan pCO2
dengan sasaran 35-40 mmHg, sehingga terjadi vasokonstriksi di otak dan
menurunkan tekanan intracranial.
5) Exposure / paparan
Semua pakaian harus dilepas sehingga semua luka dapat terlihat.
a. Konservatif
1) Manitol 20%
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal
melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler.Bila tidak terjadi
diuresis pemberiannya harus dihentikan. Cara pemberiannya : Bolus 0,5-1
gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama
24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm.2
2) Loop diuretic (Furosemid)
Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan
cairan serebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema
serebri.Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan
memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol.Dosis 40 mg/hari/IV. 2
3) Terapi barbiturate (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-kasus yang tidak responsif terhadap semua
jenis terapi yang tersebut diatas. Terapi ini bermanfaat untuk untuk menurunkan
TIK yang refrakter terhadap obat-obatan lain. Fenobarbital bekerja dengan cara
menekan metabolisme otak sehingga kebutuhan oksigen juga akan menurun;
karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan
kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang.Cara pemberiannya:
bolus 10 mg/kgBB/IV selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3
jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1
mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis
diturunkan bertahap selama 3 hari.2
4) Cairan Intravena
Prinsip manajemen trauma kapitis adalah mempertahankan perfusi serebral
yang adekuat dengan menjaga tekanan atau bahkan menaikkan tekanan
darah.Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap
dalam keadaan normovolemia, jangan beri cairan hipotonik.Penggunaan cairan
yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hipoglikemia yang berakibat
buruk pada otak yang cedera.Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah
larutan garam fisiologis atau ringer laktat.Kadar natrium serum juga harus
dipertahankan untuk mencegah terjadinya edema otak.Strategi terbaik adalah
mempertahankan volume intravaskular normal dan hindari hipoosmolalitas,
dengan cairan isotonik. Saline hipertonik bisa digunakan untuk mengatasi
hiponatremia yang bisa menyebabkan edema otak.3
5) Anti Konvulsan
Kejang pasca trauma terjadi pada sekitar 12% pasien trauma kepala tumpul
dan 50% trauma kepala penetrasi. Kejang pasca trauma bukan prediksi epilepsi
tetapi kejang dini bisa memperburuk secondary brain injury dengan menyebabkan
hipoksia, hiperkarbia, pelepasan neurotransmitter, dan peningkatan ICP.11
Tatalaksana :
a) Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
b) Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15 menit. Bila
cenderung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9% dengan tetesan <40
mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru oleh karena tidak stabil. Bila setelah
400 mg tidak berhasil, ganti obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian
Fenitoin, bolus 18 mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit.
Dilanjutkan dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral
c) Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan resiko kejang
tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom intrakranial dan penderita
dengan amnesia post traumatik panjang.
b. Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat:12
Volume epidural hematom > 30 ml tanpa memandang GCS pasien.
Keadaan pasien memburuk yang ditandai dengan penurunan GCS.
Pendorongan garis tengah (midline shift)>5 mm.
Basal Cistern (Fossa interpeduncularis) menghilang pada CT-Scan
kepala. Basal cistern merupakan suatu rongga yang terbentuk dari lipatan
arachnoid yang berisikan cairan cerebrospinal.
c. Penanganan darurat :
Dekompresi dengan trepanasi sederhana (boor hole)
Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
Penanganan darurat dengan dekompresi dengan trepanasi sederhana (burr hole).
Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi hematoma. Indikasi operasi di bidang
bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional saving. Jika untuk
keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi emergensi. Biasanya
keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak ruang. Indikasi untuk life saving
adalah jika lesi desak ruang bervolume: 12
1) > 25 cc desak ruang supra tentorial
2) > 10 cc desak ruang infratentorial
3) > 5 cc desak ruang thalamus
Indikasi evakuasilife saving adalah efek masa yang signifikan: 12
1) Penurunan klinis.
2) Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan
penurunan klinis yang progresif.
3) Tebal hematoma epidural > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan
klinis yang progresif.
Algoritma tatalaksana Cedera Kepalayakni :
1. Japardi, Iskandar. 2002. Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut. (online). Available at: library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi37%20.pdf. Diakses tanggal 3 November 2013.
2. Sjamsuhidajat R, Jong WD. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC3. American College Surgeon. 2004. Advanced Trauma Life Support Edisi Ketujuh. United
States of America.4. Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. In: Morris PJ, Wood WC, eds. Oxford Textbook of
Surgery. 2nd Ed. Oxford Press. 20005. Bendo AA, Kass IS, Hartung J, Cottrell JE. Anesthesia for Neurosurgery. In: Barash PG,
Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical Anesthesia. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2001