LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN ...repository.ugm.ac.id/135493/1/GEO95 LINGKUNGAN...

12
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage 15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA 582 LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI ORGANIK DI DAERAH PARINGIN, CEKUNGAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN D. A. P. Pratama * , D. H. Amijaya Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika 2, Yogyakarta 55283 * corresponding author: [email protected] ABSTRAK Formasi Warukin merupakan salah satu formasi pembawa batubara yang penting di Indonesia. Formasi ini tersingkap dengan baik pada daerah Paringin, Cekungan Barito, Kalimantan Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi maseral dan mineral serta tipe paleomire dan lingkungan pengendapan batubara pada daerah penelitian. Berdasarkan hasil analisis petrografi organik, komposisi maseral daerah penelitian didominasi oleh kelompok maseral huminit (52,2-79,8%) dengan kandungan paling banyak berupa subkelompok maseral humotelinit (43,4-72,6%). Kelompok maseral inertinit dan liptinit memiliki kandungan yang rendah berkisar 2,8-18,8% dan 9,8-43,6%. Kandungan mineral pada batubara di daerah penelitian didominasi oleh mineral pirit (0,2-2,2%). Interpretasi lingkungan pengendapan batubara dilakukan berdasar atas analisis petrografi organik dan didukung dengan data analisis stratigrafi yang ada. Hasil analisis ini menunjukkan batubara di daerah penelitian terendapkan pada lingkungan telmatik dengan fasies lingkungan pengendapan berupa lingkungan transisi lower delta plain dan upper delta plain. Hal ini ditunjukkan dengan nilai TPI dan GI yang relatif tinggi serta kesesuaian pola dan komposisi stratigrafi dengan karakteristik lingkungan pengendapan. Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest swamp. Gambut pembentuk batubara daerah penelitian bersifat ombrotropik dengan kondisi relatif basah atau lembab. Komposisi vegetasi lahan gambut didominasi oleh tumbuhan kayu atau forest dan terdapat kandungan tumbuhan herbaceous atau marginal aquatic yang rendah. I. PENDAHULUAN Indonesia memiliki banyak kekayaan alam, salah satunya berupa kekayaan alam dalam bidang energi yaitu batubara. Batubara merupakan batuan sedimen yang mudah terbakar, berasal dari tumbuhan, dan mengalami proses kimia serta fisika sejak terendapkan yang menyebabkan terjadinya penambahan kandungan karbon (Sukandarrumidi, 1995). Persebaran batubara di Indonesia paling banyak dijumpai di pulau Sumatera dan Kalimantan. Formasi Warukin merupakan salah satu formasi pembawa batubara yang penting di Indonesia. Formasi ini memiliki potensi batubara yang besar, hal ini telah terbukti dari proses penambangan yang telah dilakukan oleh PT. Adaro Indonesia terhitung sejak penambangan 1992 hingga per 31 Desember 2013 telah menghasilkan 4.932 juta ton batubara. Namun, potensi batubara yang tinggi pada Formasi Warukin tidak sebanding dengan penelitian mengenai batubara yang ada. Jumlah penelitian yang membahas mengenai Formasi Warukin khususnya pada kandungan batubaranya baik mengenai komposisi maseral, mineral, lingkungan pengendapan atau penelitian yang lainnya relatif sedikit. Berdasarkan hal tersebut diperlukan adanya penelitian-penelitian yang baru guna menambah pengetahuan mengenai formasi ini khususnya pada kandungan batubaranya. Pada penelitian ini akan dibahas mengenai mengetahui komposisi maseral dan mineral serta tipe paleomire dan lingkungan pengendapan batubara berdasarkan analisa petrografi organik. Daerah penelitian berada

Transcript of LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN ...repository.ugm.ac.id/135493/1/GEO95 LINGKUNGAN...

Page 1: LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN ...repository.ugm.ac.id/135493/1/GEO95 LINGKUNGAN PENGENDAPA… · lingkungan pengendapan. Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage

15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

582

LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN

BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI ORGANIK DI DAERAH PARINGIN,

CEKUNGAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN

D. A. P. Pratama*, D. H. Amijaya Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika 2, Yogyakarta 55283

* corresponding author: [email protected]

ABSTRAK Formasi Warukin merupakan salah satu formasi pembawa batubara yang penting di Indonesia.

Formasi ini tersingkap dengan baik pada daerah Paringin, Cekungan Barito, Kalimantan Selatan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi maseral dan mineral serta tipe paleomire dan

lingkungan pengendapan batubara pada daerah penelitian.

Berdasarkan hasil analisis petrografi organik, komposisi maseral daerah penelitian didominasi oleh

kelompok maseral huminit (52,2-79,8%) dengan kandungan paling banyak berupa subkelompok

maseral humotelinit (43,4-72,6%). Kelompok maseral inertinit dan liptinit memiliki kandungan yang

rendah berkisar 2,8-18,8% dan 9,8-43,6%. Kandungan mineral pada batubara di daerah penelitian

didominasi oleh mineral pirit (0,2-2,2%).

Interpretasi lingkungan pengendapan batubara dilakukan berdasar atas analisis petrografi organik

dan didukung dengan data analisis stratigrafi yang ada. Hasil analisis ini menunjukkan batubara di

daerah penelitian terendapkan pada lingkungan telmatik dengan fasies lingkungan pengendapan

berupa lingkungan transisi lower delta plain dan upper delta plain. Hal ini ditunjukkan dengan nilai

TPI dan GI yang relatif tinggi serta kesesuaian pola dan komposisi stratigrafi dengan karakteristik

lingkungan pengendapan. Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest swamp. Gambut pembentuk

batubara daerah penelitian bersifat ombrotropik dengan kondisi relatif basah atau lembab. Komposisi

vegetasi lahan gambut didominasi oleh tumbuhan kayu atau forest dan terdapat kandungan tumbuhan

herbaceous atau marginal aquatic yang rendah.

I. PENDAHULUAN

Indonesia memiliki banyak kekayaan alam,

salah satunya berupa kekayaan alam dalam

bidang energi yaitu batubara. Batubara

merupakan batuan sedimen yang mudah

terbakar, berasal dari tumbuhan, dan

mengalami proses kimia serta fisika sejak

terendapkan yang menyebabkan terjadinya

penambahan kandungan karbon

(Sukandarrumidi, 1995). Persebaran batubara

di Indonesia paling banyak dijumpai di pulau

Sumatera dan Kalimantan.

Formasi Warukin merupakan salah satu

formasi pembawa batubara yang penting di

Indonesia. Formasi ini memiliki potensi

batubara yang besar, hal ini telah terbukti dari

proses penambangan yang telah dilakukan

oleh PT. Adaro Indonesia terhitung sejak

penambangan 1992 hingga per 31 Desember

2013 telah menghasilkan 4.932 juta ton

batubara. Namun, potensi batubara yang

tinggi pada Formasi Warukin tidak sebanding

dengan penelitian mengenai batubara yang

ada. Jumlah penelitian yang membahas

mengenai Formasi Warukin khususnya pada

kandungan batubaranya baik mengenai

komposisi maseral, mineral, lingkungan

pengendapan atau penelitian yang lainnya

relatif sedikit. Berdasarkan hal tersebut

diperlukan adanya penelitian-penelitian yang

baru guna menambah pengetahuan mengenai

formasi ini khususnya pada kandungan

batubaranya.

Pada penelitian ini akan dibahas mengenai

mengetahui komposisi maseral dan mineral

serta tipe paleomire dan lingkungan

pengendapan batubara berdasarkan analisa

petrografi organik. Daerah penelitian berada

Page 2: LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN ...repository.ugm.ac.id/135493/1/GEO95 LINGKUNGAN PENGENDAPA… · lingkungan pengendapan. Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage

15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

583

pada Formasi Warukin, bagian Timur Laut dari

Cekungan Barito. Daerah ini termasuk ke

dalam wilayah penambangan batubara PT.

Adaro Indonesia, tepatnya pada Open Pit

(Tambang Terbuka) Tutupan Utara.

II. GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

Daerah penelitian terletak pada Cekungan

Barito yang berada di sebelah Tenggara

Kalimantan serta dibatasi oleh Pegunungan

Meratus pada bagian Timur dan Sundaland

pada bagian Barat. Pada bagian Utara terdapat

Sesar Andang atau Barito-Kutei Cross Fault

yang membatasi antara Cekungan Barito dan

Cekungan Kutai (Kusuma dan Darin, 1989).

Cekungan Barito memiliki bentuk yang

asimetri yang terdiri dari foredeep pada zona

frontal dari Pegunungan Meratus dan platform

yang berbatasan dengan kerak Sundaland

(Satyana dan Silitonga, 1994).

Secara umum struktur yang berkembang pada

Cekungan Barito dapat terbagi menjadi 2

rezim tektonik (Patra Nusa Data, 2006). Rezim

pertama berupa rezim transtensional yang

menghasilkan sesar geser sinistral yang

memiliki orientasi arah Barat Laut-Tenggara

dan rezim kedua berupa rezim transpresional

yang diikuti convergent up-lift, reaktivasi dan

pembalikan dari struktur yang telah ada

sebelumnya dan menghasilkan wrenching,

lipatan serta patahan.

Formasi Warukin berumur Miosen dengan

litologi penyusun berupa batulempung dengan

sisipan batupasir dan batubara (Kusuma dan

Darin, 1989). Lingkungan pengendapan

formasi ini berupa lingkungan prodelta hingga

upper delta plain. Formasi ini memiliki

karakteristik batubara berupa lapisan yang

tebal berkisar 0,5 m hingga >20 m, memiliki

struktur perlapisan yang baik, lunak dan

memiliki nilai kalori < 6000 kal/g (Darlan dkk,

1999).

III. DATA DAN METODE PENELITIAN

Pada penelitian ini menggunakan dua data

yaitu data primer berupa sampel batubara

dengan jumlah sampel sebanyak 11 sampel

dan data sekunder berupa hasil pengukuran

stratigrafi (Dearga, 2015).

Interpretasi lingkungan pengendapan

batubara dilakukan berdasar atas analisis

petrografi organik dan didukung dengan data

analisis stratigrafi yang ada. Analisis petrografi

organik terdiri atas analisis komposisi maseral

dan mineral, analisis TPI dan GI serta GWI dan

VI. Analisis stratigrafi dilakukan dengan

membagi hasil pengukuran stratigrafi menjadi

beberapa fasies berdasarkan atas geometri,

litologi, dan struktur sedimen.

IV. ANALISIS STRATIGRAFI

Berdasarkan atas ciri-ciri fisik yang teramati

stratigrafi daerah penelitian (Gambar 1) dapat

dibagi menjadi 9 fasies yaitu:

a. Fasies Batubara Serpihan; fasies ini

memiliki karakteristik berupa warna

hitam kecoklat-coklatan, pelapukan

sedang, kusam, ukuran butir lempung,

pecahan tidak rata, cerak coklat, struktur

laminasi, komposisi berupa material

karbon dan material sedimen berukuran

lempung. Ketebalan fasies ini berkisar

0,3-1 m.

b. Fasies Serpih Berlaminasi; fasies ini

memiliki karakteristik berupa warna abu-

abu, ukuran butir lanau-lempung, struktur

laminasi, komposisi berupa kuarsa,

material sedimen berukuran lanau-

lempung. Ketebalan fasies ini berkisar

antara 2,5-40 m.

c. Fasies Batulempung Karbonan Masif;

fasies ini memiliki karakteristik warna

abu-abu kehitam-hitaman, memiliki

ukuran butir lempung, struktur masif, dan

komposisi berupa material sedimen

berukuran lempung dan material karbon

serta terdapat konkresi oksida. Fasies ini

memiliki ketebalan 4 m.

Page 3: LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN ...repository.ugm.ac.id/135493/1/GEO95 LINGKUNGAN PENGENDAPA… · lingkungan pengendapan. Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage

15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

584

d. Fasies Batubara ; fasies batubara memiliki

ketebalan 0,5-13 m dengan karakteristik

berupa warna hitam, pelapukan sedang,

litotipe dull-banded dull, pecahan tidak

rata, cerat hitam, memiliki retakan (cleat)

yang intensif yang terkadang terisi oksida

dan pirit, komposisi tersusun atas

material karbon, sulfida, resin, batubara

tersilisifikasi dan oksida. Pada beberapa

lapisan (seam) batubara dijumpai

kandungan batubara serpihan (shaly coal)

dan sisipan (parting) batupasir.

e. Fasies Batupasir Bergradasi Normal; fasies

ini tersusun atas litologi berupa batupasir

dengan karakteristik berupa warna putih

ke coklat-coklatan, pelapukan sedang,

ukuran butir pasir halus hingga pasir

sedang, subangular, high sphericity, grain

supported, sortasi baik, struktur sedimen

berupa trough cross bed pada bagian

bawah dan tangential cross bed pada

bagian atas serta terdapat struktur

berupa ripple dan gradasi normal,

perlapisan bergelombang. Komposisi

berupa kuarsa, feldspar, litik, dan karbon.

Fasies ini memiliki ketebalan berkisar 5,5-

27 m.

f. Fasies Perselingan Serpih dan Batupasir;

fasies ini tersusun atas litologi berupa

perselingan serpih dan batupasir. Litologi

serpih memiliki karakteristik warna abu-

abu, ukuran butir lanau-lempung, struktur

laminasi, komposisi berupa kuarsa,

material sedimen berukuran lanau-

lempung. Batupasir dicirikan warna abu-

abu, ukuran butir pasir halus, struktur

laminasi, komposisi berupa material

sedimen berukuran pasir halus. Fasies ini

memiliki ketebalan berkisar 9-16 m.

g. Fasies Batulanau Masif; fasies ini memiliki

karakteristik berupa warna abu-abu

kehitam-hitaman, memiliki ukuran butir

lanau, struktur masif, dan komposisi

berupa material sedimen berukuran lanau.

Fasies ini memiliki ketebalan 2,5 m.

h. Fasies Batupasir Berlaminasi; fasies

batupasir masif memiliki ketebalan 1-1,5

m dengan karakteristik berupa warna

putih kecoklat-coklatan dengan ukuran

butir medium hingga pasir halus, sub

angular, high sphericity, grain supported,

sortasi baik, struktur sedimen berupa

laminasi dan flaser, komposisi berupa

kuarsa, feldspar, litik, karbon, batulanau.

i. Fasies Batupasir Bergradasi Terbalik;

fasies ini tersusun atas litologi berupa

batupasir dengan ketebalan berkisar 0,8-

1,3 m. Litologi batupasir memiliki

karakterstik berwarna putih kecoklat-

coklatan, memiliki ukuran butir medium

hingga pasir halus, grain supported,

sortasi baik, struktur sedimen gradasi

terbalik dan laminasi, komposisi berupa

kuarsa, plagioklas, dan material karbonat

pada bagian atas.

Interpretasi lingkungan pengendapan

berdasarkan analisis stratigrafi dilakukan

dengan membandingkan fasies-fasies batuan

yang telah dibuat dengan fasies model yang

telah ada sebelumnya. Model pembanding

yang digunakan adalah model lingkungan

pengendapan menurut Horne dkk (1978).

Secara keseluruhan apabila diamati terdapat 2

pola pengendapan, yaitu pola menghalus ke

atas atau gradasi normal (Gambar 2a) dan pola

mengkasar ke atas atau gradasi terbalik

(Gambar 2b). Hasil pembandingan

menunjukkan lingkungan pengendapan fasies

batuan pada daerah penelitian terdiri dari

lingkungan transisi lower delta plain dan upper

delta plain (pada sublingkungan channel, levee,

rawa gambut, interdistributary bay, dan

crevasse splay).

V. KOMPOSISI MASERAL DAN MINERAL BATUBARA

Komposisi maseral batubara pada daerah

penelitian terdiri atas maseral huminit 52,2-

79,8%, kandungan inertinit 2,8-18,8%, dan

kandungan liptinit 9,8-43,6% (Tabel 1). Hasil

analisis maseral sampel batubara daerah

penelitian menunjukkan kandungan kelompok

maseral huminit yang tinggi dengan komposisi

subkelompok maseral humotelinit yang

Page 4: LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN ...repository.ugm.ac.id/135493/1/GEO95 LINGKUNGAN PENGENDAPA… · lingkungan pengendapan. Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage

15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

585

dominan. Kandungan humotelinit yang tinggi

menunjukkan bahwa batubara di daerah

penelitian dominan terbentuk dari jenis

tumbuhan kayu. Hal ini didukung dengan

kandungan kelompok maseral liptinit yang

rendah yang menandakan kandungan

tumbuhan perdu yang rendah atau tingginya

kandungan tumbuhan kayu. Menurut Diessel

(1992) kandungan humotelinit yang tinggi

dapat juga sebagai indikasi tingginya derajat

pengawetan dari jaringan sel dalam kondisi

basah, pH rendah pada forested peatland atau

forested wet raised bogs. Kondisi lingkungan

yang basah atau lembab didukung dengan

kandungan kelompok maseral inertinit yang

relatif rendah.

Kandungan kelompok maseral inertinit yang

relatif rendah menunjukkan lingkungan

pengendapan gambut yang relatif basah

dengan tingkat oksidasi yang rendah sehingga

dapat diperkirakan tingkat kelembaban

gambut pada saat terbentuk di daerah

penelitian relatif terjaga dengan baik.

Kandungan maseral huminit yang tinggi juga

menunjukkan batubara berasal dari

lingkungan gambut wet forest swamp

(Teichmuller and Teichmuller, 1982) dan

mengindikasikan lingkungan pengendapan

berupa upper delta plain (Diessel, 1992).

Komposisi mineral batubara daerah penelitian

terdiri dari mineral pirit singenetik atau

framboidal, pirit epigenetik, mineral lempung,

agregat mineral, dan kalsit. Pirit singenetik

atau pirit framboidal merupakan mineral yang

penting untuk interpretasi lingkungan

pengendapan. Mineral ini mencirikan adanya

pengaruh air laut selama proses pembentukan

gambut berlangsung. Kandungan pirit

singenetik atau framboidal ini dijumpai pada

setiap sampel batubara hal ini menunjukkan

bahwa lingkungan pembentukan gambut pada

setiap sampel berada pada daerah yang

terpengaruh oleh transgresi air laut.

VI. ANALISIS TPI DAN GI

Perhitungan nilai TPI dan GI setiap sampel

batubara pada daerah penelitian dilakukan

dengan menggunakan persamaan perhitungan

nilai TPI dan GI untuk batubara peringkat

rendah (brown coal) yang dibuat oleh Amijaya

dan Littke (2005). Persamaan ini dipilih

mengingat peringkat batubara pada daerah

penelitian termasuk batubara peringkat

rendah.

Hasil perhitungan nilai TPI dan GI setiap

sampel batubara tersaji pada Tabel 2.

Berdasarkan hasil perhitungan nilai TPI setiap

sampel batubara memiliki nilai yang bervariasi

berkisar antara 3,5-14. Setiap sampel batubara

yang ada secara keseluruhan mempunyai nilai

TPI>1, nilai ini menunjukkan secara

keseluruhan material pembentuk batubara

dominan berasal dari tumbuhan kayu

dibandingkan dengan tumbuhan perdu,

sehingga struktur jaringan lebih banyak

terawetkan dengan baik. Hal ini didukung

dengan kandungan subkelompok humotelinit

yang lebih besar dibandingkan dengan

subkelompok maseral humodetrinit dan

humokolinit serta kandungan kelompok

maseral liptinit yang rendah yang

menunjukkan kandungan tumbuhan kayu yang

lebih dominan sebagai pembentuk batubara.

Untuk nilai GI berdasarkan hasil perhitungan

menunjukkan nilai yang bervariasi berkisar

antara 3,56-18,64. Nilai GI yang cukup tinggi

mengindikasikan proses oksidasi pada lahan

gambut tidak dominan. Lahan gambut relatif

basah atau lembab ditunjukkan dengan

kandungan kelompok maseral inertinit yang

rendah.

Interpretasi lingkungan pengendapan setiap

sampel batubara dilakukan dengan

memplotkan nilai TPI dan GI pada diagram

Lamberson dkk (1991, dengan modifikasi).

Diagram ini digunakan karena lebih sesuai

untuk batubara dengan berbagai peringkat.

Hasil pengeplotan dapat dilihat pada Gambar

3.

Page 5: LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN ...repository.ugm.ac.id/135493/1/GEO95 LINGKUNGAN PENGENDAPA… · lingkungan pengendapan. Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage

15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

586

Hasil plot nilai TPI dan GI menunjukkan

lingkungan pengendapan batubara daerah

penelitian relatif seragam berada pada

lingkungan atau zona telmatik dengan tipe

mire berupa wet forest swamp. Zona telmatik

menurut Diessel (1992) merupakan zona atau

lingkungan dengan level air pada lahan

gambut atau mire dikontrol oleh sea level atau

variasi permukaan air. Pada zona ini akan

menghasilkan gambut yang tidak terganggu

dan tumbuh insitu ditunjukkan dengan nilai

TPI dan GI yang relatif tinggi. Pada zona ini

tingkat kerapatan pepohonan bertambah. Hal

ini didukung dengan kandungan subkelompok

maseral humotelinit yang tinggi berdasarkan

analisis kandungan maseral.

Wet forest swamp dicirikan dengan

pengendapan batubara yang relatif lembab

atau basah atau selalu tergenang oleh air

dengan kondisi pembentukan batubara yang

berkembang dengan baik. Pada lingkungan ini

tumbuhan pengisi gambut didominasi oleh

tumbuhan kayu. Lingkungan gambut wet

forest swamp dicirikan dengan kandungan

kelompok maseral huminit yang tinggi

(Teichmuller and Teichmuller, 1982) dan

memiliki kandungan huminit atau vitrinit

berstruktur yang lebih besar dibandingkan

dengan huminit atau vitrinit tidak berstruktur

dan kandungan huminit atau vitrinit lebih

besar dari inertinit (Lamberson, 1991).

VII. ANALISIS GWI DAN VI

Analisis groundwater index (GWI) dan

vegetation index (VI) merupakan metode yang

digunakan untuk mengetahui evolusi

lingkungan pengendapan batubara dan

digunakan untuk menunjukkan karakteristik

lahan gambut atau mire pembentukan

batubara. Perhitungan nilai GWI dan VI

menggunakan persamaan yang dibuat oleh

Amijaya dan Littke (2005) untuk batubara

peringkat rendah.

Hasil perhitungan nilai GWI dan VI tersaji pada

Tabel 3. Hasil perhitungan ini selanjutnya

diplot pada diagram GWI dan VI menurut

Calder, dkk (1991, dengan modifikasi).

Berdasarkan hasil perhitungan sampel

batubara daerah penelitian memiliki nilai GWI

yang rendah dan nilai VI yang rendah sampai

tinggi. Nilai GWI setiap sampel batubara

menunjukkan nilai < 0,5. Menurut Calder, dkk

(1991) nilai GWI kurang dari 0,5

mengindikasikan lingkungan purba didominasi

oleh kondisi telmatik. Nilai GWI yang rendah

ini juga menunjukkan kondisi lingkungan bog

dan bog forest ombrotropik (Gambar 4).

Lingkungan ini dicirikan dengan level air yang

berada di bawah permukaan gambut dan

gambut memperoleh nutrisi atau makanan

dari air hujan. Gambut yang terbentuk pada

lingkungan ini memiliki suplai makanan yang

rendah (oligotropik) dan terbentuk dalam

kondisi asam.

Nilai VI sampel batubara daerah penelitian

menunjukkan nilai yang relatif beragam yaitu

berkisar 1,595-6,413 (Tabel 3). Nilai VI

merupakan suatu nilai perbandingan yang

menunjukkan tipe mire dari suatu tipe

vegetasi tertentu, yang merupakan hasil dari

perbedaan maseral pada suatu afinitas hutan.

Menurut Calder, dkk (1991) nilai VI kurang dari

3 menunjukkan tumbuhan atau vegetasi

pengisi lahan gambut berasal dari herbaceous

atau marginal aquatic, sedangkan untuk nilai

VI lebih besar dari 3 menunjukkan vegetasi

pengisi lahan gambut cenderung berupa

tumbuhan kayu atau forest. Kandungan

tumbuhan kayu ini dicirikan dengan

kandungan subkelompok maseral humotelinit

yang tinggi. Berdasarkan hal tersebut sampel

batubara pada daerah penelitian terbagi

menjadi dua kelompok yaitu kelompok

pertama berupa kelompok yang memiliki nilai

VI kurang dari 3. Kelompok ini terdiri dari

sampel P5 Coal, P10 Coal, dan P11 Coal yang

memiliki kisaran nilai VI antara 1,595-2,651.

Rendahnya kandungan VI ini menunjukkan

tumbuhan atau vegetasi pengisi lahan gambut

pada sampel P5 coal, P10 Coal dan P11 Coal

dominan berasal dari herbaceous atau

marginal aquatic.

Page 6: LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN ...repository.ugm.ac.id/135493/1/GEO95 LINGKUNGAN PENGENDAPA… · lingkungan pengendapan. Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage

15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

587

Kelompok kedua terdiri dari sampel P1 Coal,

P4 Coal, P6 1/1 Coal, P6 1/2 Coal, P6 2/1 Coal,

P6 2/2 Coal, P6 2/3 Coal, dan P9 Coal.

Kelompok kedua ini dicirikan dengan nilai VI

yang lebih besar dari 3. Hal ini menunjukkan

bahwa tumbuhan atau vegetasi pada sampel

kelompok ini dominan berupa vegetasi hutan

atau tumbuhan kayu. Hal ini didukung dengan

kandungan subkelompok maseral humotelinit

yang tinggi berdasarkan hasil analisis

kandungan maseral yang telah dilakukan. Nilai

VI yang tinggi menunjukkan bahwa proses

pengambutan berlangsung cepat sehingga

proses humifikasi berlangsung tidak sempurna

dan menghasilkan pengawetan jaringan

tumbuhan yang baik.

VIII. INTERPRETASI PALEOMIRE & LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan

diinterpretasikan batubara di daerah

penelitian terendapkan pada lingkungan

telmatik dengan fasies lingkungan

pengendapan berupa lingkungan transisi lower

delta plain dan upper delta plain. Hal ini

ditunjukkan dengan karakteristik nilai TPI dan

GI relatif tinggi didukung dengan pola dan

komposisi stratigrafi yang sesuai dengan

karakteristik lingkungan transisi lower delta

plain dan upper delta plain. Nilai TPI yang

tinggi (>1) menunjukkan komposisi penyusun

batubara didominasi oleh tumbuhan kayu, hal

ini didukung oleh kandungan subkelompok

maseral humotelinit yang tinggi. Nilai GI yang

cukup tinggi mengindikasikan proses oksidasi

pada lahan gambut tidak dominan. Lahan

gambut relatif basah atau lembab ditunjukkan

dengan kandungan kelompok maseral inertinit

yang rendah. Selain itu lingkungan ini dicirikan

dengan adanya pengaruh transgresi air laut

yang ditunjukkan oleh adanya kandungan

mineral pirit singenetik atau framboidal pada

komposisi batubara.

Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest

swamp. Wet forest swamp dicirikan dengan

kondisi pengendapan batubara yang relatif

lembab atau basah atau selalu tergenang oleh

air dengan kondisi pembentukan batubara

yang berkembang dengan baik. Pada

lingkungan ini tumbuhan pengisi gambut

didominasi oleh tumbuhan kayu. Selain itu

gambut pembentuk batubara bersifat

ombrotropik yaitu suatu keadaan level air

berada di bawah permukaan gambut dan

gambut memperoleh nutrisi atau makanan

dari air hujan. Kondisi lahan gambut relatif

basah atau lembab yang ditunjukkan

rendahnya kandungan kelompok mineral

inertinit. Komposisi vegetasi lahan gambut

didominasi oleh tumbuhan kayu atau forest

dan terdapat kandungan tumbuhan

herbaceous atau marginal aquatic yang

rendah.

IX. KESIMPULAN

Berdasarkan atas hasil penelitian yang telah

dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan,

antara lain:

1. Komposisi maseral pada daerah

penelitian didominasi oleh kelompok

maseral huminit (52,2-79,8%) dengan

kandungan paling banyak berupa

subkelompok maseral humotelinit (43,4-

72,6%). Untuk kelompok maseral inertinit

dan liptinit pada daerah penelitian

memiliki kandungan berkisar 2,8-18,8%

dan 9,8-43,6%.

2. Komposisi mineral berupa mineral pirit

(pirit singenetik atau framboidal dan pirit

epigenetik) serta terdapat kandungan

mineral lempung, agregat mineral, dan

kalsit dalam jumlah yang rendah.

3. Batubara di daerah penelitian

terendapkan pada lingkungan telmatik

dengan fasies lingkungan pengendapan

berupa lingkungan transisi lower delta

plain dan upper delta plain. Tipe atau

jenis paleomire berupa wet forest swamp.

Gambut pembentuk batubara daerah

penelitian bersifat ombrotropik dengan

kondisi relatif basah atau lembab.

Komposisi vegetasi lahan gambut

didominasi oleh tumbuhan kayu atau

Page 7: LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN ...repository.ugm.ac.id/135493/1/GEO95 LINGKUNGAN PENGENDAPA… · lingkungan pengendapan. Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage

15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

588

forest dan terdapat kandungan tumbuhan

herbaceous atau marginal aquatic yang

rendah.

DAFTAR PUSTAKA Amijaya, H., Littke, R., 2005. Microfasies and Depositional Environment of Tertiary Tanjung Enim Low Rank Coal, South Sumatra Basin, Indonesia. International Journal of Coal Geology 61, p. 197-221.

Calder, J.H., Gibling, M.R., Mukopadhyay, P.K., 1991. Peat formation in a Westphalian B piedmont setting, Cumberland Basin, Nova Scotia: implications for the maceral-based interpretation of rheotrohic and raised paleo-mires: Bulletin de la Socie´te´ Ge´ologique de France 162/2, p. 283-298.

Darlan, D., Zuraida, R., Purwanto, C., Sulistyani, R., Setyabudhi, A., Masduki, A., 1999. Studi Regional Cekungan Batubara Wilayah Pesisir Tanah Laut-Kotabaru Kalimantan Selatan. Bandung; Pusat Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL). p. (20-1) – (20-10).

Dearga, A., 2015, Lingkungan Pengendapan Formasi Warukin Bagian Atas Daerah Tutupan Utara & Paringin, Kabupaten Tabalong & Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan (Skripsi: in prep), Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Diessel, C.F.K., 1992. Coal-bearing Depositional Systems. Springer Verlag. Berlin. 721 p.

Horne, J.C., Ferm, J.C., Caruccio, F.T., Baganz, B.P., 1978. Depositional Models in Coal Exploration and Mine Planning in Appalachian Region; In American Association of Petroleum Geologists Bulletin, 62 (12). p. 2379-2411.

Kusuma, I., Darin, T., 1989. The Hydrocarbon Potential of the Lower Tanjung Formation, Barito Basin, Kalimantan Selatan, in Proceedings of IPA 18th, Annual Convention, p. 107-138.

Lamberson, M.N., Bustin, R.M., Kalkreuth, W. 1991. Lithotype (maceral) composition and variation as correlated with paleowetland environments, Gates Formations, Northeastern British Columbia. Canada; International Journal of Coal Geology 18. p. 87–124.

Patra Nusa Data, 2006. Indonesia Basins Summaries, Jakarta: PT. Patra Nusa Data, The Gateway to Petroleum Invesment In Indonesia. 466 p.

Satyana, A.H., Silitonga, P.D., 1994. Tectonic reversal in East Barito Basin, South Kalimantan: consideration of the types of inversion structures and petroleum system significance: in Proceedings of the IPA 23rd Annual Convention. p. 57-74.

Sukandarrumidi., 1995. Batubara dan Gambu. Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 150 p.

Teichmüller, M., Teichmüller, R., 1982. Fundamental of coal petrology. In:Stach E, Mackowsky, M-T., Teichmüller, M., Taylor, G.H., Chandra, D., Teichmüller, R., (eds) Stach’s textbook of coal petrology, 3rd edition. Gebrüder Borntraeger. Berlin, 535p.

Page 8: LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN ...repository.ugm.ac.id/135493/1/GEO95 LINGKUNGAN PENGENDAPA… · lingkungan pengendapan. Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage

15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

589

TABEL Tabel 1. Komposisi petrografi sampel batubara daerah penelitian

Tabel 2. Hasil perhitungan nilai GWI dan VI sampel batubara daerah penelitian

No. Nomor Sampel Nilai TPI Nilai GI

1.

2.

3.

4.

P1 Coal

P4 Coal

P5 Coal

P6 1/1 Coal

8,87

8,92

3,5

14

3,56

4,03

4,66

4,6

Page 9: LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN ...repository.ugm.ac.id/135493/1/GEO95 LINGKUNGAN PENGENDAPA… · lingkungan pengendapan. Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage

15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

590

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

P6 1/2 Coal

P6 2/1 Coal

P6 2/2 Coal

P6 2/3 Coal

P9 Coal

P10 Coal

P11 Coal

10,32

5,82

3,72

8,78

3,63

-

3,79

10,55

3,74

4,42

3,77

5,45

18,64

4,38

Tabel 3. Hasil perhitungan nilai GWI dan VI sampel batubara daerah penelitian

No. Nomor Sampel Nilai GWI Nilai VI

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

P1 Coal

P4 Coal

P5 Coal

P6 1/1 Coal

P6 1/2 Coal

P6 2/1 Coal

P6 2/2 Coal

P6 2/3 Coal

P9 Coal

P10 Coal

P11 Coal

0,033

0,042

0,032

0,050

0,013

0,027

0,141

0,063

0,003

0,027

0,028

3,160

6,413

2,537

6,367

4,691

4,477

3,815

5,739

3,232

1,595

2,651

Page 10: LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN ...repository.ugm.ac.id/135493/1/GEO95 LINGKUNGAN PENGENDAPA… · lingkungan pengendapan. Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage

15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

591

GAMBAR

Gambar 1. Kolom stratigrafi daerah penelitian (Dearga, 2015 dengan modifikasi).

Page 11: LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN ...repository.ugm.ac.id/135493/1/GEO95 LINGKUNGAN PENGENDAPA… · lingkungan pengendapan. Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage

15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

592

Gambar 2. Perbandingan model lingkungan pengendapan transisi lower delta plain dan upper delta

plain menurut Horne dkk (1978) dengan stratigrafi daerah penelitian. (A) Pola menghalus ke atas; (B)

Pola mengkasar ke atas.

Page 12: LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN ...repository.ugm.ac.id/135493/1/GEO95 LINGKUNGAN PENGENDAPA… · lingkungan pengendapan. Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage

15-16 OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

593

Gambar 3. Hasil plot nilai TPI dan GI sampel batubara daerah penelitian (Lamberson dkk, 1991

dengan modifikasi)

Gambar 4. Hasil plot nilai GWI dan VI sampel batubara daerah penelitian (Calder dkk, 1991 dengan

modifikasi)