lindi

20
Bantuan Teknis Perencanaan TPA Regional MAMMINASATA (Makassar,Maros,Sungguminasa, dan Takalar) LAMPIRAN - G LAMPIRAN - G PERHITUNGAN PENANGANAN LINDI PERHITUNGAN PENANGANAN LINDI G.1 Pendahuluan a). Mekanisme Pembentukan Lindi Lindi adalah limbah cair sebagai akibat masuknya air eksternal ke dalam timbunan limbah/sampah kemudian membilas dan melarutkan materi yang ada dalam timbunan tersebut, sehingga memiliki variasi kandungan polutan organik dan anorganik. Saat air hujan kontak dengan lahan sampah, sebagian air hilang menjadi limpasan dan mengalami evapotranspirasi. Sisa dari air tersebut masuk (infiltrasi) ke dalam timbunan sampah. Lindi akan timbul ketika kemampuan maksimum sampah menyerap air (field capacity) terlampaui (Gambar G-1). Lindi sangat potensial menjadi masalah, karena aliran lindi bergerak secara lateral maupun vertikal bergantung pada karakteristik dari material yang berada di sekitarnya. Air permukaan yang telah tercemar oleh lindi dapat menyebabkan matinya ikan, hilangnya nilai estetik dan perubahan keseimbangan hidup flora dan fauna di dalam air. Pada kasus pencemaran air tanah, kontaminasi akan berjalan terus menerus dalam periode yang lama. Untuk menanggulangi dan mencegah pencemaran ini tentunya akan meghabiskan dana yang sangat besar dan khusus untuk kasus pencemaran air tanah, untuk mengembalikan kondisi air ke keadaan semula (tidak tercemar) dibutuhkan waktu puluhan atau bahkan ratusan tahun. Lampiran G – Lindi PT. IRAYA G-1

Transcript of lindi

PERHITUNGAN SALURAN PENGUMPUL LINDI

Bantuan Teknis Perencanaan TPA Regional MAMMINASATA

(Makassar,Maros,Sungguminasa, dan Takalar)

LAMPIRAN - GPERHITUNGAN PENANGANAN LINDI

G.1Pendahuluan

a). Mekanisme Pembentukan Lindi

Lindi adalah limbah cair sebagai akibat masuknya air eksternal ke dalam timbunan limbah/sampah kemudian membilas dan melarutkan materi yang ada dalam timbunan tersebut, sehingga memiliki variasi kandungan polutan organik dan anorganik. Saat air hujan kontak dengan lahan sampah, sebagian air hilang menjadi limpasan dan mengalami evapotranspirasi. Sisa dari air tersebut masuk (infiltrasi) ke dalam timbunan sampah. Lindi akan timbul ketika kemampuan maksimum sampah menyerap air (field capacity) terlampaui (Gambar G-1).Lindi sangat potensial menjadi masalah, karena aliran lindi bergerak secara lateral maupun vertikal bergantung pada karakteristik dari material yang berada di sekitarnya.

Air permukaan yang telah tercemar oleh lindi dapat menyebabkan matinya ikan, hilangnya nilai estetik dan perubahan keseimbangan hidup flora dan fauna di dalam air. Pada kasus pencemaran air tanah, kontaminasi akan berjalan terus menerus dalam periode yang lama. Untuk menanggulangi dan mencegah pencemaran ini tentunya akan meghabiskan dana yang sangat besar dan khusus untuk kasus pencemaran air tanah, untuk mengembalikan kondisi air ke keadaan semula (tidak tercemar) dibutuhkan waktu puluhan atau bahkan ratusan tahun.

Gambar G-1 : Mekanisme Terbentuknya Lindi

b). Komposisi Lindi

Komposisi lindi sangat bervariasi dari waktu ke waktu bergantung pada aktivitas secara fisik, kimia dan biologis yang terjadi dalam sampah. Sangat sulit untuk menyimpulkan atau mendefinisikan karakteristik lindi di TPA. Variasi penggambaran kontaminan dari lindi telah ada dalam berbagai macam literatur untuk beberapa kondisi di lokasi yang berbeda. Rentang jumlah kontaminan yang cukup jauh manunjukkan sulitnya mendefinisikan atau memprediksikan komposisi tipikal dari berbagai macam kontaminan yang ada dalam lindi. Variasi komposisi lindi ini disebabkan oleh berbagai macam sebab antara lain interaksi antara komposisi sampah, umur dari sampah, kondisi hidrogeologi dari lahan, iklim, musim dan air yang melalui timbunan. Selain itu penentuan tinggi setiap sel, kedalaman keseluruhan timbunan, tanah penutup dan kompaksi sampah juga turut berpengaruh. Setelah lindi keluar dari timbunan sampah, komposisi lindi dipengaruhi oleh jenis tanah dan pengenceran oleh air tanah.

Salah satu contoh komposisi tipikal lindi menurut usia sampahnya digambarkan pada Tabel G-1 dan Tabel G-2.

Tabel G-1 : Komposisi Kimia pada Lindi dari Sampah Muda

NoParameterKonsentrasi

1COD20.000-40.000

2BOD510.000-20.000

3TOC9.000-15.000

4Asam lemak volatil (asam asetat)9.000-15.000

5NH3-N1.000-2.000

6Org-N500-1.000

7NO30

Tabel G-2 : Komposisi Kimia pada Lindi dari Sampah Tua

NoParameterKonsentrasi

1COD500-3.000

2BOD550-100

3TOC100-1.000

4Asam lemak volatil (asam asetat)50-100

Perubahan tingkat biodegradabilitas dari lindi ditunjukkan pada nilai rasio antara BOD5/COD. Jika rasio BOD5/COD lindi mendekati 0.5 maka lindi tersebut diperkirakan relatif biodegradabel. Apabila rasio ini menurun sampai 0.1, maka polutan pada lindi dapat dioksidasi secara kimiawi. Lindi dari sampah yang stabil mengandung materi yang kurang biodegradabel seperti asam humus, sehingga menyebabkan rasio BOD5/COD menjadi kurang dari 0.1.

c). Minimasi Lindi

1. Pelapis Dasar (Liner)Pada sebuah lahan urug yang baik biasanya dibutuhkan sistem pelapis dasar, yang bersasaran mengurangi mobilitas lindi ke dalam air tanah. Sebuah liner yang efektif akan mencegah migrasi cemaran ke lingkungan, khususnya ke dalam air tanah. Namun pada kenyataannya belum didapat sistem liner yang efektif 100%. Karena timbulan lindi tidak terelakkan, maka di samping sistem liner dibutuhkan sistem pengumpulan lindi. Oleh karenanya, dasar sebuah lahan urug akan terdiri dari :

Lapisan-lapisan bahan liner untuk mencegah migrasi cemaran ke luar lahan urug

Sistem pengumpulan lindi.

Sistem pelapis tersebut dapat berupa bahan alami (seperti : tanah liat, bentonite) maupun sintetis. Penggunaan bahan liner tersebut bisa secara tunggal maupun kombinasi antara keduanya yang dikenal sebagai geokomposit, tergantung fungsi yang dibutuhkan. Formasi lapisan dan jenis bahan liner ini bermacam-macam tergantung pada karakteristik buangan padat yang ditimbun. Untuk jenis sampah kota, Bagchi merekomendasikan cukup mengaplikasikan sistem singled liner dengan jenis bahan liner berupa clay.Pelapis dasar yang dianjurkan adalah dengan geosintetis atau dikenal sebagai flexible membrane liner (FML). Jenis geosintetis yang biasa digunakan sebagai pelapis dasar adalah :

Geotextile sebagai filter

Geonet sebagai sarana drainase

Geomembrane dan geokomposit sebagai lapisan penghalang.Untuk landfill sampah kota di Indonesia perlu dipertimbangkan hal-hal seperti :

Lahan urug biasanya terletak di luar kota, dan kadangkala berdekatan dengan perumahan penduduk yang belum terjangkau oleh sistem pelayanan air minum yang layak (seperti PDAM), sehingga masalah pencemaran lindi perlu dipertimbangkan Intensitas hujan di Indonesia cukup tinggi.

Pada dasarnya tanah mempunyai kemampuan untuk mengadsorpsi dan mendegradasi pencemar, namun adanya lapisan liner tambahan akan menjamin hal tersebut. Disarankan juga bahwa kemiringan dasar TPA mengarah ke titik-titik tertentu yaitu tempat lindi terkumpul untuk ditangani lebih lanjut.

2. Saluran Pengumpul Lindi

Sistem pengumpul lindi yang umum digunakan adalah :

Menggunakan pipa berlubang yang ditempatkan dalam saluran, kemudian diselubungi batuan. Cara ini paling banyak digunakan pada landfill Membuat saluran kemudian saluran tersebut diberi pelapis dan di dalamnya disusun batu kali kosong.Fasilitas-fasilitas pengumpulan lindi dengan menggunakan pipa secara umum adalah sebagai berikut :

Slope teras

Untuk mencegah akumulasi lindi di dasar suatu lahan urug, dasar lahan urug ditata menjadi susunan teras-teras dengan kemiringan tertentu (1-5%) sehingga lindi akan mengalir ke saluran pengumpul (0,5-1%). Untuk mengalirkan lindi ke unit pengolahan atau resirkulasi setiap saluran pengumpul dilengkapi dengan pipa berlubang. Kemiringan dan panjang maksimum saluran pengumpul dirancang berdasarkan kapasitas fasilitas saluran pengumpul. Untuk memperkirakan kapasitas fasilitas saluran pengumpul dipergunakan persamaan Manning.

Piped Bottom

Dasar lahan urug dibagi menjadi beberapa persegi panjang yang dipisahkan oleh pemisah tanah liat. Lebar pemisah tersebut tergantung dari lebar sel. Pipa-pipa pengumpul lindi ditempatkan sejajar dengan panjang sel dan diletakkan langsung pada geomembrane.

3. Penutup AkhirBeberapa fungsi dari sistem penutup akhir tersebut adalah :

Meminimasi infiltrasi air hujan ke dalam tumpukan sampah setelah lahan urug selesai dipakai Mengontrol emisi gas dari lahan urug ke lingkungan Mengontrol binatang dan vektor-vektor penyakit yang dapat menyebabkan penyakit pada ekosistem Mengurangi resiko kebakaran Menyediakan permukaan yang cocok untuk berbagai kegunaan setelah lahan urug selesai digunakan, seperti untuk taman rekreasi dan lain-lain Elemen utama dalam reklamasi lahan Mencegah kemungkinan erosi Memperbaiki tampilan lahan urug dari segi estetika.

Sistem penutup akhir lahan urug terdiri dari beberapa bagian. Bagian atas biasanya beberapa tanah yang berfungsi sebagai pelindung dan media pendukung tanaman (top soil). Apabila tanah yang terdapat di lokasi tidak memenuhi persyaratan maka diperlukan perbaikan. Perbaikan ini dilakukan dengan cara mencampur atau mengganti tanah tersebut dengan tanah dari lokasi lain. Tebal lapisan top soil ini adalah 60 cm.

Lapisan di bawah top soil berfungsi sebagai sistem drainase. Lapisan ini menyalurkan sebanyak mungkin presipitasi yang masuk sehingga tidak mengalir ke lapisan di bawahnya. Materi yang biasa digunakan berupa materi berpori, seperti: pasir, kerikil, dan bahan sintetis, seperti geonet. Tebal lapisan ini sekitar 30 cm.

Berikutnya adalah lapisan penahan. Materi yang biasa digunakan adalah geokomposit (geomembrane dan tanah liat yang dipadatkan). Ketebalan geomembrane yang dianjurkan adalah lebih besar dari 2,5 mm, sedangkan untuk tanah liat adalah lebih besar dari 50 cm.

Di bawah lapisan penahan terdapat lapisan sistem ventilasi gas. Sistem ini mutlak diperlukan untuk sampah kota, karena sebagian besar sampah tersebut merupakan bahan organik yang dapat diuraikan secara biologis. Dalam kondisi aerob, gas yang dihasilkan sebagian besar berupa karbon dioksida dan methan; oleh karena itu pemanfaatan gas bio tersebut dapat dijadikan suatu alternatif sumber energi. Lapisan sistem ventilasi gas terdiri dari media berpori seperti pasir/kerikil atau berupa sistem perpipaan. Lapisan terbawah dari sistem penutup akhir adalah lapisan subgrade. Lapisan ini dibutuhkan untuk meningkatkan kestabilan permukaan lahan urug. Selain itu lapisan ini membantu pembentukan kemiringan yang diinginkan guna mempercepat drainase lateral dan mengurangi tinggi hidrolis. Ketebalan lapisan ini biasanya 30 cm.

Selain sistem penutup akhir tersebut, untuk mengurangi limpasan air yang masuk ke dalam lahan urug, dilakukan pengaturan kemiringan, juga dilengkapi dengan drainase permukaan dan penanaman tanaman.

d). Pengolahan Lindi

Dari segi komponen, kandungan pada lindi tidak berbeda dengan air buangan domestik. Namun zat organik yang terkandung pada lindi dari timbunan sampah domestik sangat tinggi konsentrasinya. Hal ini ditunjukkan dari sangat tingginya kadar BOD5 pada lindi yaitu sekitar 2000-30.000. Sistem pengolahan lindi dibagi menjadi dua tingkat, yaitu pengolahan sekunder dan pengolahan tersier. Untuk pengolahan sekunder akan diuraikan gambaran singkat tentang unit kolam stabilisasi (fakultatif dan anaerob) dan kolam aerasi. Adapun pengolahan tersier akan diuraikan gambaran singkat tentang land treatment dan intermitten sand filter.

1. Kolam Stabilisasi

Kolam stabilisasi atau kolam oksidasi merupakan suatu kolam yang terdiri atas tanggul dengan aliran air buangan (influen) yang laminer sehingga menyebabkan terjadinya aktivitas mikroorganisme. Pengaplikasian kolam ini jika luas area terpenuhi dan tempat di lokasi memungkinkan adanya sinar matahari masuk ke dalam kolam untuk proses fotosintesis akan sangat menguntungkan. Hal ini disebabkan konstruksi yang dibutuhkan kolam ini relatif sederhana dan biaya operasi relatif lebih murah. Berdasarkan penggunaan oksigen, jenis-jenis kolam stabilisasi adalah :

Aerob

Anaerob

Fakultatif (aerob-anaerob).Kolam stabilisasi ini selain dapat menurunkan kadar BOD dan COD juga dapat menurunkan jumlah fecal coli yang ada dalam leachate. Namun untuk pengolahan lindi sebaiknya menggunakan kolam anaerobik/fakultatif karena sangat tingginya kadar BOD.

Kolam fakultatif merupakan kolan stabilisasi yang memiliki zona aerobik, fakultatif (transisi antara aerobik dan anaerobik), dan zona anaerobik sebagai zona paling dalam. Zona aerob merupakan zona permukaan yang mana akan terjadi dekomposisi buangan organik yang diangkut bakteri fakultatif. Zona anaerobik merupakan zona yang paling dalam yang menjadi tempat akumulasi endapan yang didekomposisi bakteri anaerob. Untuk mendesain agar terjadinya ketiga zona tersebut, maka setidaknya kolam fakultatif dikonstruksi dengan kedalaman antara 1-2 m.

Kolam anaerobik digunakan untuk mengolah air buangan dengan kadar organik tinggi yang juga mengandung konsentrasi solid yang tinggi. Secara tipikal, kolam anaerobik merupakan kolam oksidasi yang paling dalam. Untuk mencegah masuknya energi panas terutama dari sinar matahari dan mempertahankan kondisi anaerobik, kolam anaerobik dikonstruksi dengan kedalaman antara 1,5-5m.

Terdapat beberapa keuntungan yang akan didapat dengan pengaplikasian kolam stabilisasi, yaitu :

Biaya investasi lebih kecil

Biaya operasi, pemeliharaan, dan perlengkapan paling murah

Kebutuhan energi kolam kecil.

Adapun kelemahan yang akan diderita dengan pengaplikasian kolam stabilisasi adalah :

Tidak toleran terhadap Suspended Solids dan logam

Memerlukan lahan luas

Kemapuan sangat dipengaruhi oleh temperatur (cuaca dan iklim), sehingga metode ini tidak akan berfungsi efektif pada temperatur di musim dingin

Fleksibilitas sistem terbatas

Gas-gas volatil sangat mungkin dilepaskan dari proses dekomposisi yang akan mengakibatkan bau dan lalat.

2. Kolam Aerasi

Kolam aerasi merupakan kolam yang berfungsi mengoksidasi air buangan yang mana kebutuhan oksigennya dipenuhi dengan proses aerasi. Pada prinsipnya, fungsi pengolahan ini adalah mengkonvensi air buangan menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana dengan cara oksidasi.

Untuk memenuhi kebutuhan oksigen, kolam aerasi dilengkapi dengan aerator yang mempunyai fungsi mensuplai oksigen yang diperlukan untuk menurunkan kadar BOD/COD. Tipe aerator yang biasanya dipilih dalam aplikasi kolam ini adalah surface aerator / diffused air aerator. Selain untuk mensuplai oksigen, aerator berfungsi pula untuk menjaga kondisi cairan selalu dalam keadaan tersuspensi.

Pada prinsipnya, proses pengolahan kolam aerasi sama dengan kolam stabilisasi, yang membedakannya adalah kolam aerasi dilengkapi dengan aerator. Dengan dilengkapi aerator, maka biaya operasi dan pemeliharaan aerasi lebih mahal karena membutuhkan energi listrik untuk pengoperasian aerator. Namun dari segi kebutuhan lahan, unit ini membutuhkan lahan yang relatif kecil.

3. Land Treatment (Rapid-Infiltrated Plant)

Matoda Rapid Infiltrated Plant adalah metoda pengolahan lindi dengan cara meresapkan cairan lindi pada suatu lahan yang ditanami tumbuhan tertentu. Tumbuhan yang dipilih adalah tumbuhan yang memiliki kriteria sebagai berikut :

Tumbuhan berbuluh, tumbuhan ini lebih efektif meresap air dan kemudian mengevapotranspirasikannya lebih besar.

Memiliki nilai ekonomis atau murah dalam pengadaannya karena tumbuhan tersebut akan menjadi media yang dikorbankan.

Dalam sistem infiltrasi cepat, air buangan yang telah menerima beberapa perlakuan pengolahan dialirkan secara intermitten oleh saluran infiltrasi atau kolam distribusi. Namun biasanya tanaman tidak ditanam di kolam infiltrasi.

Kecepatan loading dalam metoda ini relatif tinggi, sehingga kehilangan akibat evaporasi kecil. Dengan kecepatan loading yang tinggi ini, maka air yang mengalami perkolasi langsung melalui profil tanah, merupakan fraksi terbesar ketika pengolahan terjadi.

Media tanah yang digunakan dalam metode ini agar infiltrasi berlangsung cepat adalah tanah yang setidaknya mempunyai permeabilitas 25 mm/hari atau lebih. Metoda ini memberikan biaya investasi , operasi, pemeliharaan, dan pengawasan yang lebih murah.

4. Intermitten Sand Filter

Metoda ini merupakan metoda pengolahan yang menggunakan kolam bermedia pasir atau media berbutir lainnya, yang mana influen dialirkan secara intermitten, dan effluen dialirkan melalui saluran di bawah kolam. Pada prinsipnya, metoda pengolahan ini sama dengan metode saringan pasir lainnya, yang membedakan adalah cara pengaliran influen menuju permukaan kolam dilakukan secara intermitten dengan maksud agar air buangan terdistribusi baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Secara fisik metoda ini menggunakan kolam dangkal dengan media pasir setebal 24-30 inchi (0,6-0,76 m) yang dilengkapi sistem distribusi influen dan sistem saluran bawah kolam. Influen dialirkan secara periodik ke permukaan kolam lalu filtrat dikumpulkan di sistem saluran bawah kolam. Setelah itu efluen dari unit ini dialirkan menuju fasilitas penanganan akhir, seperti desinfeksi, atau langsung dibuang ke badan air.

G.2Perkiraan Timbulan LindiLindi yang timbul akan diperkirakan dengan menggunakan suatu program yang disebut HELP versi 3 (Hydrologic Evaluation of Landfill Performance). Metode HELP adalah program pemodelan hidrologi 2 dimensi untuk pergerakan air baik secara vertikal, lateral, melalui maupun yang keluar dari landfill (TPA). Model ini mengakomodasi data-data cuaca, jemis tanah, desain TPA dan memperhitungkan solusi teknik untuk efek dari aliran permukaan (run off), infiltrasi, evapotranspirasi, adanya tumbuhan, kemampuan tanah menyerap air, drainase lindi, resirkulasi lindi, dan adanya lapisan geomembran dan komposit.

Sistem dalam TPA mencakup adanya variasi kombinasi tumbuhan, tanah penutup, sel sampah, lapisan drainase dan lapisan geomembran sintetik juga dapat dimodelkan pada program ini. Program ini dibangun untuk melihat dan menganalisa neraca air di TPA dengan adanya pengaruh sistem penutupan dan fasilitas lainnya. Tujuan utama dari model ini adalah untuk membandingkan alternatif desain dari segi neraca airnya. Model ini dapat digunakan untuk TPA yang sedang beroperasi, ditutup sebagian ataupun telah ditutup sepenuhnya.

Data cuaca yang digunakan dalam perhitungan, adalah data cuaca 10 tahun terakhir di wilayah Regional Mamminasata, khususnya daerah Kabupaten Gowa (1995-2005). Data tersebut diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika di Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan kompilasi data stasiun pengamatan cuaca yang terdekat dengan calon lokasi TPA (Kabupaten Gowa).

Produksi lindi bervariasi tergantung pada kondisi tahapan pengoperasian sanitary landfill, yaitu :

Setelah pengoperasian selesai (tertutup seluruhnya) :Dalam kondisi ini sampah telah dilapisi tanah penutup akhir. Tanah penutup akhir berfungsi untuk mengurangi infiltrasi air hujan, sehingga produksi juga akan berkurang Dalam tahap pengoperasian (terbuka sebagian) : dalam tahapan ini, bagian-bagian yang belum ditutup tanah penutup akhir, baik lahan yang sudah dipersiapkan maupun sampah yang hanya ditutup tanah penutup harian, akan meresapkan sejumlah air hujan yang lebih besar.

Dari keterangan di atas terlihat betapa pentingnya suatu tanah penutup akhir dan metoda penimbunan yang baik dalam usaha meminimumkan produksi lindi. Perkiraan produksi lindi diperlukan untuk :

Menentukan dimensi bangunan pengolah lindi, dan

Menentukan dimensi jaringan pengumpul.

a). Timbulan Lindi pada Awal Operasi

Timbulan lindi minimum diprediksikan terjadi pada awal pengoperasian TPA Regional Mamminasata, yaitu ketika Blok 1 (9,12 ha) TPA terisi 1 lift sampah setinggi 5 m. Lapisan dasar yang digunakan sesuai dengan standar SNI.

Gambar G-2 : Lapisan Dasar TPA

Hasil perhitungan lindi selengkapnya dapat dilihat pada lampiran setelah bagian ini. Dari hasil perhitungan dengan metode HELP, timbulan lindi puncak mencapai 605,31 m3/hari atau 7,005 l/detik.b). Timbulan Lindi pada Akhir Operasi

Timbulan lindi akhir operasi yaitu timbulan lindi yang terjadi ketika seluruh Blok (Blok 1,2,3, dan 4) seluas 36,71 ha TPA Regional Mamminasata telah penuh atau dengan kata lain TPA Regional Mamminasata tidak lagi menerima pasokan sampah. TPA ditutup menyesuaikan aturan penutupan akhir TPA yang terdapat dalam SNI.Hasil perhitungan dengan metode HELP diperoleh timbulan lindi puncak 928,98 m3/hari = 10,75 l/detik.Bila dibandingkan dengan pengoperasian dengan open dumping, artinya sampah tidak ditutup daengan menggunakan lapisan penutup akhir, maka timbulan lindinya akan mencapai 2.106,16 m3/hari = 24,38 l/detik (perhitungan terlampir pada bagian belakang laporan ini).

Gambar G-3 : Lapisan Penutup Akhir TPA

G.3Penentuan Saluran Lindi Primer

Perhitungan ini didasarkan kepada asumsi-asumsi sumber lindi hanya dari resapan air hujan. Curah hujan akan tertampung dalam lahan dan akan disalurkan keluar oleh saluran secara kontinyu atau dapat dianalogkan lahan sebagai suatu reservoir air hujan.Metoda perhitungan saluran pengumpul lindi adalah sesuai dengan perhitungan saluran terbuka, yang mengalirkan lindi secara gravitasi. Beberapa keterangan tentang saluran ini adalah :

Subzona : merupakan nomor subzona sesuai dengan perencanaan lahan Nomor titik : penomoran titik awal atau titik akhir dari suatu bentang saluran Koordinat saluran : lokasi titik pada sistem koordinat lokal perencanaan lahan Luas daerah tangkapan : data dalam satuan hektar

Rumus yang digunakan :

(luas subzona tangkapan) x (tinggi hujan/bulan)/(30x24x60) dalam satuan liter/menit

Nomor bak kontrol : merupakan penanaman suatu bak kontrol yang menunjukkan titik awal dan titik akhir bentang pipa tersebut.

Elevasi gali-urug : berasal dari perencanaan muka gali-urug (hasil grading) pada titik yang bersangkutan. Elevasi dasar galian saluran : elevasi dari dasar galian saluran di mana akan diletakkan lapisan geomembran.

Rumus yang digunakan : (elevasi gali-urug) - 0,1

Elevasi muka saluran (lapisan kedap): elevasi dari dasar galian saluran dimana akan diletakkan lapisan geomembran

Elevasi dasar pipa : menunjukkan elevasi dasar titik awal dan titik akhir bentang saluran atau elevasi pipa inlet dan outlet pada bak kontrol sekunder. Angka yang ditunjukkan adalah kedalaman relatifnya terhadap elevasi 0,0.

Elevasi awal dasar saluran : elevasi perletakan saluran pengumpul pada titik awal bentang saluran. Perhitungannya adalah :

(elevasi awal muka saluran) + (dimensi saluran disain/1000)

Panjang pipa : menunjukkan panjang (dalam satuan meter) antara titik awal dan titik akhir suatu bentang pipa

Slope pipa : menunjukkan kemiringan rata-rata saluran primer, yaitu antara titik awal dan titik akhir saluran primer tersebut. Hasil ditunjukkan dalam satuan prosen. Rumus perhitungannya adalah :

Elevasi awal muka saluran - elevasi akhir muka saluran x 100%

panjang saluran

Slope muka saluran : kemiringan rata-rata muka saluran, yaitu antara titik awal dan titik akhir bentang saluran. Hasil ditunjukkan dalam satuan prosen.

Rumus perhitungannya adalah :

(Elevasi awal muka saluran - elevasi akhir muka saluran)/panjang saluran x 100%

Debit kumulatif : hasil perhitungan penambahan kuantitas lindi dari subzona tangkapannya dan juga yang berasal dari subzona sebelumnya. Ditunjukkan dalam satuan liter/menit.

Debit tambahan : kuantitas lindi yang diterima oleh suatu bentang pipa dan berasal dari saluran sekunder. Merupakan angka kumulatif dari suatu lajur saluran sekunder.

Diameter 40% : menunjukkan diameter pipa yang harus digunakan jika menginginkan tinggi aliran dalam pipa sama dengan 40% diameter pipa, dalam satuan inchi.

Diameter 60% : menunjukkan diameter pipa yang harus digunakan jika menginginkan tinggi aliran dalam pipa sama dengan 60% diameter pipa, dalam satuan inchi.

Diameter pipa yang akan digunakan sebagai hasil kompromi dengan syarat yang harus diikuti. Diameter pipa tampak jauh lebih besar dari 40% atau 60%, karena adanya persyaratan bahwa pipa saluran lindi minimal berdiameter 6 inchi (150 mm). Dimensi saluran minimal : hasil perhitungan dimensi saluran minimal yang dibutuhkan untuk mengalirkan lindi dengan kuantitas tercantum pada kolom debit kumulatif. Hasil dinyatakan dalam satuan mm.

Persamaan yang digunakan = (debit kumulatif/60)/(0,017 x (S/100)0,5) Dimensi saluran disain : dimensi terkecil dalam spesifikasi teknis, tetapi masih lebih besar dari dimensi minimal hasil perhitungan pada kolom sebelumnya.

Debit saluran maksimum : angka hasil perhitungan debit maksimal yang mampu dialirkan oleh saluran dengan dimensi pada kolom sebelumnya. Angka pada kolom ini harus lebih besar dari angka pada kolom dimensi saluran minimal.

Rumus yang digunakan = (dimensi saluran disain) x (60x0,017) x (S/100)0,5G.4Penentuan Kapasitas dan Dimensi Unit Instalasi Pengolahan Lindi

Pada TPA Regional Mamminasata, Instalasi Pengolah Lindi (IPL) utama yang diusulkan adalah kolam stabilisasi secara alamiah, dilanjutkan dengan kolam aerasi secara mekanis dan lahan sanitasi berupa kolam filtrasi sorpsi.

Sistem perpipaan pengumpulan lindi juga berfungsi sebagai pengumpul aliran air hujan pada saat lahan belum beroperasi (masih kosong) untuk kemudian dialirkan menuju sungai. Sedangkan bila lahan sudah dioperasikan, saluran pipa pembuangan ke sungai ditutup, kemudian lindi dialirkan menuju instalasi pengolahan lindi.

Beberapa catatan :

Pada perhitungan rancangan efisiensi sistem dalam menurunkan beban organik ditumpukan pada kolam stabilisasi sebab menurut penelitian efisiensi itu tidak banyak bertambah dengan adanya penambahan waktu kontak pada kolam.

Lahan sanitasi diharapkan dapat menurunkan beban organik tersisa serta logam berat yang ada, baik secara biologis maupun secara adsorbsi serta penukaran ion, disamping pengurangan lindi dengan jalan evapotranspirasi. Secara praktis sulit menentukan besarnya efisiensi yang terjadi, karena akan tergantung susunan tanahnya.

Namun secara keseluruhan diprakirakan bahwa beban efluen (organik maupun anorganik) yang dikeluarkan akan sesuai dengan baku mutu.

Asumsi BOD influen rata-rata adalah 4000 mg/lt, sedang asumsi efluen final adalah sesuai dengan baku mutu efluen golongan III, yaitu 150 mg/lt.

Gambar G-4 : Skema Instalasi Pengolah Lindi

Instalasi pengolah lindi (IPL) akan melayani daerah dengan luas total 36,71 ha dengan produksi puncak lindi yang bervariasi sesuai dengan tahapan operasi dan pembangunan sarana TPA. Oleh karena itu kapasitas pengolahan lindi harus mengakomodasi perubahan-perubahan kondisi tersebut. Prediksi debit lindi yang terjadi dari hasil perhitungan metode HELP berada pada kisaran 2-25 l/det.

Pembangunan Pengolah lindi di TPA Regional Mamminasata akan dibagi menjadi 2 (dua) tahapan pembangunan, yaitu :

Gambar G-5 : Skema Tahapan Pembangunan Instalasi Pengolah Lindi (IPL)Tahap I :(a) Kolam Stabilisasi

Kolam stabilisasi yang diusulkan adalah dari jenis fakultatif. Dimensi kolam ditetapkan dengan rumus : V = Q . t

dimana :

V= volume kolam (m3)

Q = debit lindi (m3/hari)

t= waktu detensi atau waktu kontak (hari)

Kriteria desain kolam stabilisasi adalah :

- Waktu detensi 12 - 33 hari

- Kedalaman kolam 2,5 - 4,0 m

- Efisiensi pengolahan (60 -80%)

- Asumsi BOD 4.000 5.000 mg/l

- Asumsi COD 8.000 10.000 mg/l.Asumsi :

- BOD in (So) = 4.000 mg/l atau beban BOD 20.000 mg/det (1.738) kg/hari

- Waktu kontak (t) = 20 hari

- Konstanta laju penyisihan k' diambil = 0,1 hari.Debit timbulan lindi Q 12,5 l/det, dengan waktu detensi td 2o hari maka volume kolam V = 21.600 m3. Jika kedalaman kolam 2,5 meter maka luas kolam total A = 8.640 m2. Bentuk kolam direncanakan akan menyesuaikan dengan topografi dan ketersediaan lahan.BOD yang dikeluarkan adalah :

S = (So) / (l + k' . t)

= 4.000/(1 + 0,1 x 20) = 1.333,3 mg/liter

Atau mempunyai efisiensi = 66,67 % (biasanya antara 50 - 85%).(b) Kolam Aerasi Secara Mekanis

Kolam aerasi mekanis yang diusulkan adalah dari jenis fakultatif, dengan pertimbangan :

Tidak dibutuhkan unit pengendap dan pengolah lumpur

Power yang dibutuhkan lebih rendah.Beberapa besaran yang biasa digunakan :

- Kedalaman 2 - 5 meter

- Waktu detensi 3 - 12 hari

- Efisiensi konversi BOD : 75 - 90%.Asumsi :

- BOD in (So) = 1.333,3 mg/liter atau beban BOD = 16.666,67 mg/det (360kg/hari)

- Efisiensi diambil 80% sehingga BOD out (S) = 266,6 mg/l (287,928 kg/hari)

- Konsentrasi solid mikrobial X = 50 mg/l

- Konstanta laju penyisihan k = 0,017 0,3 (mg/l.hari)-1; diambil 0,018.Dengan demikian waktu kontak = (So-S)/(k.X.S)

= (1.333,3-266,6)/(0,018x50x138,8) = 8,5 hari.Dengan debit rancangan 2,5 liter/detik, maka dibutuhkan volume kolam = 9.180 m3. Untuk kedalaman kolam 1,5 meter maka luas lahan yang dibutuhkan = 6.120 m2. Perbandingan panjang dan lebar (dimensi) disesuaikan dengan kondisi topografi lahan yang tersedia.

Kebutuhan oksigen untuk efisiensi pengolahan 80% removal BOD dengan aerasi secara mekanis :

Oksigen per jam=0,9 (0,8 x 1.440 kg/hari) x 1hari/24jam

=43,2 kg/jam.Bila kebutuhan power adalah 1,75 kg oksigen per HP per jam, maka dibutuhkan tenaga sebesar 24,69 HP (= 18,75 kw). Bila efisiensi penangkapan oksigen di lapangan dianggap 75%, maka power yang dibutuhkan adalah 25 kw.

Untuk itu dibutuhkan minimal 16 (enam belas) unit surface aerator dengan spesifikasi :

- Tenaga bersih per unit 1,50 kw

- Motor shaft : one-piece 17-4 stainless steel

- Propeller : 316 stainless steel, dynamically balance- Diffuser head : gray iron atau stainless steel- Dilengkapi dengan float- Versi : dual speed guna mengantisipasi perubahan beban.(c) Kolam Maturasi

Kolam maturasi yang diusulkan adalah dari jenis aerobik. Dimensi kolam ditetapkan dengan rumus : V = Q . t

dimana :

V= volume kolam (m3)

Q = debit lindi (m3/hari)

T= waktu detensi, diambil = 2 hari.Penurunan BOD yang diharapkan paling tidak bisa mencapai 50%. Debit timbulan lindi Q 12,5 l/det, dengan waktu detensi td 2 hari maka volume kolam V = 2.160 m3. Jika kedalaman kolam 1,5 meter maka luas kolam total A = 1.440 m2. (c). Lahan Sanitasi (Kolam Filtrasi-Sorpsi)

Guna menyisihkan logam berat yang kurang dapat tersisihkan di pengolahan sebelumnya, maka diusulkan pengolahan tambahan dengan lahan sanitasi. Lahan sanitasi ini dapat memanfaatkan sifat-sifat tanah dalam mengadsorbsi substansi (termasuk sifat-sifat penukar ion), dikombinasikan dengan penyerapan logam berat oleh tanaman tertentu seperti rumput gajah dan sebagainya. sebagai pengolah pelengkap, dan dirancang tidak hanya sebagai lahan sanitasi, tetapi juga sebagai bio-filter.

Asumsi yang diambil adalah :

Debit lindi yang diperhitungkan = 12,5 liter/det

Efisiensi penyisihan organik paling tidak 50%

Kelulusan Filter = 1 x 10-3 cm/detik sampai 1 x 10-4 cm/det, atau mempunyai kecepatan filtrasi = 0,01 l/det per m2 sampai 0,001 l/det per m2.Dengan demikian kebutuhan lahan berkisar antara 1.250 m2 sampai 12.500 m2. Dalam hal ini disediakan lahan seluas minimal 2.500 m2 bila akan dibangun sekaligus. Kecepatan filtrasi disesuaikan dengan kelulusan tanah yang diaplikasikan.Susunan lahan sanitasi adalah :

0,50 meter top soil dengan rumput gajah atau tanaman yang tahan genangan air limbah

0,50 meter batu marmer (batu kapur)

0,50 meter tanah dengan kelulusan 1x10-2 sampai 1 x 10-3 cm/detik.Konstruksi kolam dapat dibuat dari konstruksi beton atau batu kali. Setelah penggalian, seluruh dasar dan dinding kolam dilapisi beton dengan ketebalan tertentu. Jenis ini memiliki resiko kebocoran kecil, namun memerlukan biaya cukup tinggi.

(d). Resirkulasi Lindi

Di samping itu, guna mengurangi beban pengolah serta menambah efisiensi, maka diusulkan sistem sirkulasi :

Resirkulasi setelah melalui kolam stabilisasi dan filter (land treatment) guna menambah efisiensi penurunan beban organik Resirkulasi ke dalam timbunan sampah; diusulkan dilakukan dengan cara pemompaan langsung pada masa sampah yang tidak dioperasikan, atau pada susunan kerikil pada pipa biogas.

Untuk resirkulasi digunakan pompa submersible dengan data :

Model : pompa submersible

Debit, Q = 30 l/menit

H = 50 m kolom air

Tenaga motor = 0,5 kw (efisiensi 65%).

Tahap II :

Pembangunan Tahap II dilakukan ketika Blok-3 disiapkan, karena menurut hasil perhitungan debit lindi akan naik secara signifikan ketika Blok-3 mulai beroperasi. Besar kapasitas pengolahan mengikuti Tahap I hanya saja tidak lagi diperlukan pembangunan lahan sanitasi karena sudah dibangun sekaligus pada Tahap I.

Kebutuhan luas lahan minimal untuk Instalasi Pengolah Lindi (IPL) yang direncanakan untuk mengolah lindi yang dihasilkan dari pengurugan sampah (landfill) di TPA Regional Mamminasata dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel G-3 : Kebutuhan Luas Lahan Minimum untuk Instalasi Pengolah Lindi (IPL) TPA Regional MamminasataNoUnit PengolahTahap I (m2)Tahap II (m2)Luas Total (m2)

1.Kolam Stabilisasi 8.6408.64017.280

2.Kolam Aerasi 6.1206.12012.240

3.Kolam Maturasi1.4401.4402.880

4.Lahan Sanitasi2.50002.500

Luas Total (m2)18.70016.20034.900

G.5Lampiran Perhitungan Lindi dengan Metode HELP

Lindi dari TPA

Tahap I

Area

Kontrol

Tahap II

Lahan

Sanitasi

Tahap I

Lahan

Sanitasi

Tahap II

Kolam

Aerasi

Tahap I

Kolam

Aerasi

Tahap II

Kolam Stabilisasi

Tahap I

Kolam Stabilisasi

Tanah Biasa, 30 cm

Tanah Asli Dipadatkan, k = 10-5cm/det

Tanah Liat, 25 cm

Tanah Liat, 25 cm

Tanah Asli Dipadatkan, 15 cm, k = 10-7cm/det

Kerikil, 15 cm

Geotekstil

Tanah Biasa, 30 cm, k = 10-4cm/det

Sampah

LINDI / PERKOLASI

SAMPAH

INFILTRASI AIR TANAH

RUN OFF

INFILTRASI

PROSES

BIOKIMIA

EVAPORASI

TRASPIRASI

PRESIPITASI

Lampiran G Lindi PT. IRAYA G-2

_1240436332.vsdKOLAM STABILISASI

KOLAM AERASI

KOLAM MATURASI

AREA FILTRASI/ LAHAN SANITASI

ke Sungai

dari TPA

Resirkulasi

memenuhi baku mutu