lhmt05-4

9
  Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak 25 PELUANG DAN KENDALA DALAM PENGUSAHAAN TANAMAN PENUTUP TANAH DI PERKEBUNAN KARET K ARYUDI dan  NURHAWATY SIAGIAN  Balai Penelitia n Karet Sungei Puti h,   P.O. Box 1415, Medan 20001, Sumatera Utara Telp: (061)7980045 E-mail:[email protected] d ABSTRAK Penanaman tanaman penutup tanah dari golongan leguminosa yang merambat (LCC) di perkebunan karet sudah merupakan baku te knis, terutama di perkebunan b esar. Hal ini didasarkan karena LCC mampu mencegah erosi, memperbaiki sifat fisik dan struktur tanah, meningkatkan kandungan bahan organik dan hara tanah, memperbaiki tata lengas tanah, menekan pertumbuhan gulma, mengurangi tingkat serangan penyakit JAP dan akhirnya memperpendek masa tanaman belum menghasilkan dan meningkatkan produksi karet. Kendala yang dihadapi dalam pembangunan LCC di perkebunan karet antara lain adalah tingginya harga  benih LCC, mutunya rendah, tidak tersedia dalam jumlah dan waktu yang tepat, tidak ada jaminan mutu  benih yang dipakai, si stim produksi, panen, penyimpanan, dan pemasaran yang belum terorganisir. Kesemua faktor tersebut menyebabkan penanaman LCC di pe rkebunan karet semakin berkurang. Salah satu alternatif untuk mengurangi ketergantungan benih LCC pada negara lain, disamping upaya peningkatan produksi benih dalan negeri, juga dapat dilakukan dengan diversifikasi penutup tanah dengan tanaman pakan. Penggantian kacangan penutup tanah dengan tanaman pakan ternak sebagai tanaman sela mempunyai harapan yang baik terutama sebagai kegiatan produktif dalam mengisi masa tanaman karet belum menghasilkan. Tulisan ini menguraikan peluang dan kendala dalam pengusahaan tanaman penutup tanah serta manfaatnya di  perkebunan karet. Kata Kunci : Tanaman karet, legum penutup tanah, peluang, kendala PENDAHULUAN Di perkebunan karet, pada umumnya selama masa tanaman belum menghasilkan atau sebelum tajuk saling menutup, gawangan ditanami dengan tanaman penutup tanah leguminosa yang merambat atau legume cover crop (LCC). Dalam budidaya t anaman ka ret,  pengelolaan LCC selama periode belum menghasilkan sudah merupakan standar baku teknis. Walaupun sudah terbukti berdampak  positif, penanaman LCC pada perkebunan rakyat kurang berkembang. Hal ini disebabkan karena pekebun tidak dapat merasakan keuntungannya secara langsung dari tanaman  penutup tanah. Meskipun secara umum karet memiliki kemampuan tumbuh yang lebih baik  pada tanah-tanah bermasalah dari pada tanaman pangan, ternyata perlu juga diperhatikan lingkungan tumbuhnya. Ekosistem tanaman karet tanpa adanya penutup tanah sangat membahayakan kestabilan lingkungan dibanding dengan hutan belukar (SIREGAR , 1984). Jenis LCC yang umum ditanami sampai dengan sekarang adalah campuran dari  Pueraria javanica (Pj), Calopogonium mucunoides (Cm), Centrosema pubercens (Cp) atau kacangan Calopogonium caeruleum(Cc). Tiga jenis LCC yang disebut pertama sering disebut dengan LCC konvensional, sementara  jenis Cc relatif lebih baru. Campuran kacangan lebih dianjurkan penggunaannya untuk mengurangi akibat kondisi yang kurang menguntungkan dari perubahan lingkungan seperti kekeringan, hama dan penyakit. LCC yang ideal seharusnya mempunyai keseluruhan dari sifat sifat berikut: Laju pertumbuhan cepat, pertumbuhan biomassa cukup tinggi, tahan terhadap kekeringan/naungan, kapasitas memfiksasi nitrogen cukup tinggi, tidak menjadi saingan terhadap tanaman utama karet, tidak disukai ternak, toleran terhadap serangan hama dan penyakit, mampu berkompetisi dengan gulma melalui adanya zat allelopati yang dihasilkan dan pengendali erosi tanah secara baik. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa LCC diatas masih mempunyai kelemahan–kelemahan. LCC tersebut, tidak mutlak menang berkompetisi dengan gulma terutama Mikania, Asyst isia dan rumput lainnya, kecuali dilakukan weeding  secara manual pada tahun pertama  pembangunan. Pada saat tajuk tanaman karet mulai menutup, pertumbuhan LCC (kecuali C. caeruleum) mulai tertekan, s ehingga penutupan

Transcript of lhmt05-4

Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak

PELUANG DAN KENDALA DALAM PENGUSAHAAN TANAMAN PENUTUP TANAH DI PERKEBUNAN KARETKARYUDI dan NURHAWATY SIAGIANBalai Penelitian Karet Sungei Putih, P.O. Box 1415, Medan 20001, Sumatera Utara Telp: (061)7980045 E-mail:[email protected]

ABSTRAK Penanaman tanaman penutup tanah dari golongan leguminosa yang merambat (LCC) di perkebunan karet sudah merupakan baku teknis, terutama di perkebunan besar. Hal ini didasarkan karena LCC mampu mencegah erosi, memperbaiki sifat fisik dan struktur tanah, meningkatkan kandungan bahan organik dan hara tanah, memperbaiki tata lengas tanah, menekan pertumbuhan gulma, mengurangi tingkat serangan penyakit JAP dan akhirnya memperpendek masa tanaman belum menghasilkan dan meningkatkan produksi karet. Kendala yang dihadapi dalam pembangunan LCC di perkebunan karet antara lain adalah tingginya harga benih LCC, mutunya rendah, tidak tersedia dalam jumlah dan waktu yang tepat, tidak ada jaminan mutu benih yang dipakai, sistim produksi, panen, penyimpanan, dan pemasaran yang belum terorganisir. Kesemua faktor tersebut menyebabkan penanaman LCC di perkebunan karet semakin berkurang. Salah satu alternatif untuk mengurangi ketergantungan benih LCC pada negara lain, disamping upaya peningkatan produksi benih dalan negeri, juga dapat dilakukan dengan diversifikasi penutup tanah dengan tanaman pakan. Penggantian kacangan penutup tanah dengan tanaman pakan ternak sebagai tanaman sela mempunyai harapan yang baik terutama sebagai kegiatan produktif dalam mengisi masa tanaman karet belum menghasilkan. Tulisan ini menguraikan peluang dan kendala dalam pengusahaan tanaman penutup tanah serta manfaatnya di perkebunan karet. Kata Kunci : Tanaman karet, legum penutup tanah, peluang, kendala

PENDAHULUAN Di perkebunan karet, pada umumnya selama masa tanaman belum menghasilkan atau sebelum tajuk saling menutup, gawangan ditanami dengan tanaman penutup tanah leguminosa yang merambat atau legume cover crop (LCC). Dalam budidaya tanaman karet, pengelolaan LCC selama periode belum menghasilkan sudah merupakan standar baku teknis. Walaupun sudah terbukti berdampak positif, penanaman LCC pada perkebunan rakyat kurang berkembang. Hal ini disebabkan karena pekebun tidak dapat merasakan keuntungannya secara langsung dari tanaman penutup tanah. Meskipun secara umum karet memiliki kemampuan tumbuh yang lebih baik pada tanah-tanah bermasalah dari pada tanaman pangan, ternyata perlu juga diperhatikan lingkungan tumbuhnya. Ekosistem tanaman karet tanpa adanya penutup tanah sangat membahayakan kestabilan lingkungan dibanding dengan hutan belukar (SIREGAR, 1984). Jenis LCC yang umum ditanami sampai dengan sekarang adalah campuran dari Pueraria javanica (Pj), Calopogonium mucunoides (Cm), Centrosema pubercens (Cp)

atau kacangan Calopogonium caeruleum(Cc). Tiga jenis LCC yang disebut pertama sering disebut dengan LCC konvensional, sementara jenis Cc relatif lebih baru. Campuran kacangan lebih dianjurkan penggunaannya untuk mengurangi akibat kondisi yang kurang menguntungkan dari perubahan lingkungan seperti kekeringan, hama dan penyakit. LCC yang ideal seharusnya mempunyai keseluruhan dari sifat sifat berikut: Laju pertumbuhan cepat, pertumbuhan biomassa cukup tinggi, tahan terhadap kekeringan/naungan, kapasitas memfiksasi nitrogen cukup tinggi, tidak menjadi saingan terhadap tanaman utama karet, tidak disukai ternak, toleran terhadap serangan hama dan penyakit, mampu berkompetisi dengan gulma melalui adanya zat allelopati yang dihasilkan dan pengendali erosi tanah secara baik. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa LCC diatas masih mempunyai kelemahankelemahan. LCC tersebut, tidak mutlak menang berkompetisi dengan gulma terutama Mikania, Asystisia dan rumput lainnya, kecuali dilakukan weeding secara manual pada tahun pertama pembangunan. Pada saat tajuk tanaman karet mulai menutup, pertumbuhan LCC (kecuali C. caeruleum) mulai tertekan, sehingga penutupan

25

Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak

tanah oleh LCC menjadi berkurang dan akhirnya gulma yang toleran naungan akan mendominasi areal. Pada umumnya LCC konvensional disukai ternak, tidak tahan terhadap kekeringan dan naungan serta tidak toleran terhadap serangan hama dan penyakit (DARMANDONO, 1975). Problem sosial yang sering dihadapi para pekebun dalam mengelola LCC konvensional adalah adanya gangguan ternak. Hal ini terjadi karena pada umumnya LCC konvensional dapat dikonsumsi atau disukai oleh ternak. Oleh karena itu, areal pertanaman karet yang ditanami dengan LCC konvensional juga memberikan peluang bagi pengembangan ternak selama ternaknya tidak mengganggu tanaman karet. Pada saat ini, LCC yang relatif baru diperkenalkan di Indonesia adalah Mucuna bracteata. LCC ini ditemukan pertama kali di areal hutan negara bagian Tripura, India Utara, dan sudah ditanam secara luas sebagai penutup tanah di perkebunan karet di Kerala, India Selatan. CHERIACHANGEL MATHEWS (1998) mengungkapkan bahwa Mucuna bracteata memiliki hampir keseluruhan syarat LCC ideal yang disebutkan diatas dan nyata lebih unggul dibandingkan dengan LCC konvensional. Akan tetapi salah satu sifat yang dimiliki LCC ini adalah tidak disukai oleh ternak. Adanya kandungan senyawa 3-(3.4-dihydroxyphenyl)L-alanine (dikenal sebagai L-Dopa) yang tinggi pada LCC ini menyebabkan tidak disukai oleh ternak (VISSOH et al., 2005). Melihat keunggulan Mucuna bracteata sebagai LCC, sejak tiga tahun terakhir ini penanaman LCC di perkebunan besar terutama di Sumatera Utara cukup pesat. Salah satu kendala yang dihadapi para pekebun karet dalam perbanyakan LCC adalah kesulitan mendapatkan bahan tanam untuk penanaman dalam skala besar. Direktorat Jenderal Bina Produksi dalam SUMARMADJI (2005) memperkirakan bahwa di Indonesia kebutuhan benih Pj saja mencapai 1.600 ton per tahun, sedangkan produksi dalam negeri masih relatif terbatas. Kelangkaan bahan tanaman juga ditemui pada LCC konvensional lainnya dan demikian juga Cc dan Mucuna bracteata. Oleh karena produksi benih LCC dalam negeri tidak mencukupi, sehingga perlu mengimpor dari negara lain, misalnya Thailand, India dan Filipina. Salah satu alternatif untuk mengurangi ketergantungan

benih LCC pada negara lain, disamping upaya peningkatan produksi benih dalan negeri, juga dapat dilakukan dengan diversifikasi penutup tanah dengan tanaman pakan. Tulisan ini menguraikan peluang dan kendala dalam pengusahaan tanaman penutup tanah serta manfaatnya di perkebunan karet. MANFAAT PENUTUP TANAH KACANGAN Pananaman LCC merupakan kultur teknis baku pada perkebunan karet. Secara garis besar, manfaat LCC dalam pengusahaan tanaman karet adalah sebagai berikut: a. Mengurangi aliran permukaan dan erosi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kebun karet dengan kondisi curah hujan 2.300 mm/tahun, jenis tanah Podsolik Merah Kuning, tekstur liat berpasir dan kemiringan lereng 20%, aliran permukaan yang terjadi pada keadaan gundul adalah 5,9%, sedangkan dengan penutup tanah LCC konvensional + Cc, hanya 0,4%. Erosi tanah pada keadaan gundul mencapai 80 ton/ha/th, bila penutup tanahnya rumput-rumputan erosi tanah 13 ton, sedangkan dengan LCC hanya 3,0 ton/ha/th (P4TM, 1981). b. Menambah unsur hara tanah Keunggulan LCC yang tidak dipunyai oleh tanaman lainnya adalah kemampuannya membentuk bintil akar hasil simbiose dengan Rhizobium untuk menambat N2 dari udara. Kurang lebih 66% dari hara nitrogen pada tumbuhan kacangan berasal dari gas N2 atmosfer. Penambatan N2 hasil simbiose kacangan Rhizobium, selain digunakan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri juga bermanfaat bagi tanaman lain yang tumbuh bersama atau setelahnya. Pada umur 3 tahun, C.caeruleum mengembalikan N ke dalam tanah sebanyak 57,75 kg ( 125 kg urea), sedangkan kacangan campuran konvensional mengembalikan ke dalam tanah sebanyak 35,13 kg ( 75 kg urea) per hektar per tahun. M. bracteata memberikan nitrogen kedalam tanah sebesar 219,74 kg/ha efektif, dua kali lebih besar dibandingkan dengan kontribusi P .javanica (MATHEWS, 1998). Pengembalian N pada areal bergulma (Paspalum conjugatum) sebesar 11 kg/ha/th, sedangkan dengan LCC sebesar 35-38 kg/ha/th (NASUTION, 1984).

26

Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak

Disamping unsur N, LCC dapat juga memberikan tambahan unsur P.K dan Mg ke dalam tanah (Tabel 1). c. Menambah bahan organik ke dalam tanah dan memperbaiki struktur tanah. Dalam jangka waktu 10 bulan, LCC mampu menghasilkan bahan organik 4 ton/ha (DIJKMAN, 1951). Sementara di Sumatera Utara, C. caeruleum yang berumur 3 tahun menyumbangkan bahan organik dalam bentuk daun kering sebanyak 1,5 ton/ha dan kacangan konvensional 1,0 ton/ha/tahun. Bahan organik dari penutup tanah kacangan dapat memperbaiki kesuburan tanah, baik kimia, fisika maupun biologi tanah. Dari segi penutupannya pada permukaan tanah, LCC membentuk jalinan tanaman yang sedemikian rapatnya, sehingga permukaan tanah terlindung dari hempasan air hujan yang deras secara langsung. Hal ini akan mencegah proses pemampatan/pemadatan tanah. Disamping itu, akar tanaman penutup tanah mengikat partikel-partikel tanah, sehingga tanah akan menjadi lebih gembur (PRESTON SULLIVAN, 2003). d. Memperbaiki tata lengas tanah LCC mampu menghasilkan serasah lebih banyak dibandingkan dengan penutup tanah lainnya. Serasah inilah yang mengurangi penguapan air (evaporasi) dan meningkatkan infiltrasi air. Penguapan air ternyata lebih tinggi pada tanah yang terbuka daripada yang ada penutup tanahnya. Retensi air pada tanah yang berpenutup tanah mempunyai keuntungan yang signifikan antara lain tanaman utama tidak mengalami stres air pada musim kering yang singkat (BLEVINS, COOK dan PHILLIPS, 1971). e. Menekan pertumbuhan gulma LCC dapat menutup permukaan lahan dalam waktu yang relatif cepat (menguasai ruang dan cahaya), sehingga menaungi tanah dan mengurangi kesempatan gulma untuk

tumbuh dan mampu menyaingi pertumbuhan gulma. MATHEWS (1998) mengamati pertumbuhan M. bracteata. Pada awal tahun kedua sudah mampu menutup seluruh areal, dengan ketebalan 39 s/d 90 cm. Hasil pengamatan di salah satu kebun menunjukkan bahwa dalam jangka waktu 6-8 bulan sejak ditanam di lapangan, tanaman ini sudah dapat menutup hampir 100% lapangan dengan ketebalan sekitar 50 cm. Dengan pola pertumbuhan yang demikian, M. bracteata akan mampu menekan pertumbuhan gulma, mengurangi erosi dan suhu tanah. Penekanan pertumbuhan gulma oleh M. bracteata juga berlasung melalui produksi senyawa 3-(3.4dihydroxyphenyl)-L-alanine (dikenal sebagai L-Dopa) oleh LCC ini. Senyawa ini diproduksi ke lingkungan sekitarnya dan meracuni tumbuhan di dekatnya. f. Mengurangi serangan penyakit Jamur Akar Putih LCC berperan dalam mendorong perkembangan mikro-organisme yang antagonis dengan Jamur Akar Putih dan mendorong perkembangan organisme pembusuk kayu di dalam tanah. Dengan pertumbuhan biomassa dan serasah yang cukup tinggi, akan menurunkan suhu tanah dan meningkatkan populasi mikroorganisma tanah. g. Memperbaiki sifat-sifat tanah akibat pembakaran Pembakaran vegetasi baik berupa hutan maupun padang alang-alang pada waktu pembukaan lahan baru, menyebabkan hilangnya atau berkurangnya unsur hara tanah, hilangnya mikro dan makro-organisme tanah dan terbentuknya lapisan abu di permukaan tanah. Dengan adanya LCC, akibat negatif dari pembakaran dapat diperbaiki kembali secara berangsur-angsur. Hal tersebut disebabkan karena LCC memberikan bahan organik, memperbaiki struktur tanah seperti yang sudah diuraikan diatas.

Tabel 1. Nilai ekivalen pupuk yang dihasilkan oleh penutup tanah kacangan dan rerumputan (kg/ha) Penutup tanah LCC konvensional Cc Rumputan Umur (tahun) 1-5 3-5 1-5 Ekivalen pupuk yang dikembalikan ke dalam tanah (kg/ha) Urea 640 1200 23 RP 145 181 4 MoP 214 450 39 Kies 134 262 2

Sumber : SIREGAR (1984).

27

Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak

h. Mempercepat pertumbuhan tanaman karet dan meningkatkan produksi karet kering. PUSHPARAJAH dan CHELLAPAH (1969) mengatakan bahwa LCC secara kumulatif dapat mempercepat tercapainya masa tanaman menghasilkan selama 12 bulan dibandingkan dengan penutup tanah rumput alami. Di samping itu, selama 10 tahun semenjak awal masa penyadapan, produksi karet kering lebih tinggi 20% pada tanaman karet bernutup tanah LCC dibandingkan dengan yang berpenutup tanah rumput alamiah (MAINSTONE, 1969). Hasil penelitian PUSHPARAJAH (1974) juga menunjukkan bahwa LCC sangat nyata mempersingkat masa TBM sampai dengan 19 bulan terutama pada tanah yang kurang subur. Sementara pada tanah yang subur LCC hanya dapat menekan masa TBM selama sampai dengan 11 bulan. PELUANG DAN KENDALA DALAM PENGUSAHAAN LCC Ditinjau dari segi luasan areal, peluang pngusahaan tanaman penutup tanah di perkebunan karet baik di perkebunan rakyat maupun perkebunan besar adalah cukup besar. Dari total 3.344.650 ha tanaman karet di Indonesia (DIRJENBUN, 1998), seluas 2.828.269 ha adalah tanaman karet rakyat. Perkebunan karet rakyat biasanya tidak menggunakan LCC sebagai penutup tanah, karena manfaatnya kurang dirasakan secara langsung serta membutuhkan biaya investasi yang cukup tinggi dalam pembangunannya. Biaya yang diperlukan untuk membangun LCC sampai penyiangan keenam (penutupan hampir 100%) adalah sebesar Rp 1.650.000,- (Tabel 2). Menurut GUNAWAN (2005), pada tahun 2005 sampai dengan 2010, setiap tahun seluas 56.000 hektar areal karet rakyat akan diremajakan. Pada tahun pertama penanaman karet, sebanyak 70% dari luasan areal adalah gawangan yang dapat ditanami dengan tanaman penutup tanah. Sejalan dengan bertambahnya penutupan tanah oleh tajuk, areal tersebut berkurang hingga 50% pada tahun ketiga. Hal ini berarti bahwa sampai dengan tahun ketiga, seluas 50-70% dari luasan yang akan diremajakan tersebut dapat ditanami dengan penutup tanah.

Tabel 2. Biaya membangun LCC per hektar hingga penyiangan ke-enam. Uraian Tenaga Penyiangan lahan Menanam LCC Menyiang pertama Menyaing kedua Memupuk Menyiang ketiga Menyiang keempat Menyiang kelima Menyiang keenam Bahan Pj Cm Cp Jumlah HOK 12 8 10 10 2 8 8 5 5 4 kg 6 kg 4 kg Rp 180.000 120.000 150.000 150.000 30.000 120.000 120.000 75.000 75.000 200.000 270.000 160.000 1.650.000,-

Pada umumnya perkebunan besar baik swasta maupun negara sudah menyadari akan pentingnya menanam tanaman penutup tanah, tetapi meskipun demikian tidak semuanya pekebun mampu membangun LCC karena menghadapi masalah dalam pembangunannya. Pada perkebunan rakyat karena tidak ditanam LCC, maka biasanya yang mendominasi gawangan adalah gulma. Sampai saat ini, tanaman penutup tanah yang lazim digunakan adalah dari jenis legum yang merambat seperti Cm, Cp, Pj, Cc dan Mucuna bracteata. Peluang pengusahaan / perbanyakan berbagai jenis tanaman penutup tanah di perkebunan karet, selain yang disebutkan diatas adalah cukup besar. Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan jenis tanaman penutup tanah tersebut adalah sebagai berikut: sebaiknya penutup tanah berasal dari jenis leguminosa yang merambat; fikasasi N tinggi, berumur panjang/tahunan; tahan terhadap naungan/kekeringan; produksi bahan organik tinggi dan perakaran dalam; tidak merupakan inang/tidak mendorong pertumbuhan jamur akar putih dan penyakit lain; cepat menutup tanah sehingga gulma liar tertekan dan akhirnya mengurangi biaya weeding; tidak menjadi pesaing terhadap tanaman karet dalam hal air, hara dan ruang; membutuhkan pemeliharaan yang tidak

28

Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak

intensif; mempercepat pertumbuhan tanaman karet dan meningkatkan produksi karet kering serta jika memungkinkan memberikan nilai tambah/pendapatan secara langsung. Akhir-akhir ini, penanaman LCC konvensional di perkebunan besar sudah semakin berkurang. Hal ini terutama disebabkan kesulitan memperoleh benih yang bermutu dalam jumlah dan waktu yang tepat. Disamping itu, kalaupun ada, jumlahnya tidak mencukupi dan harganya sangat mahal. Sebagai contoh, harga benih Pj di Sumatera Utara pada bulan Desember 2004 adalah berkisar dari Rp. 50.000-Rp. 60.000 per kg. Sementara harga benih Cc mencapai Rp. 100.000 per kg. Disamping itu, tidak ada jaminan akan mutu benih yang dibeli dan pada umumnya daya kecambah sangat rendah (dibawah 40%). Jika per hektar tanaman karet diperlukan sebanyak 10 kg (dengan daya kecambah 75%) benih kacangan, maka biaya yang dikeluarkan hanya untuk membeli benih mencapai Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 600.000,- per hektar tanaman. Tanaman penutup tanah Pueraria javanica, Calopogonium caeruleum, Calopogonium mucunoides, Centrosema pubescens dan Mucuna bracteata dapat diperbanyak melalui biji. Di Indonesia pengadaan benih Pj terbatas pada musim panen. Di Sumatera musim panen biji Pj jatuh pada bulan Juli-September, sedangkan di Jawa pada bulan Mei-Juli. Produksi benih Pj terbatas pada beberapa daerah saja, yaitu yang mempunyai periode kering yang tegas antara lain Jawa Tengah dan Jawa Timur (ANGKAPRADIPTA, 1984). Periode kering yang tegas diperlukan dalam inisiasi bunga dan pemasakan benih Pj (JEWTRAGOON dan TOPARK-NGARM, 1985). Di Sumatera Utara dan sentra-sentra perkebunan di daerah lain jenis penutup tanah Pj, Cc, Cp dan Cm sulit menghasilkan biji meskipun umumnya dapat berbunga (kecuali Cc). Secara umum, Cc dan Pj memerlukan waktu lebih dari satu tahun setelah tanam di lapangan untuk mulai berbunga, sementara Cm dan Cp mulai berbunga dari umur 3 s.d 5 bulan setelah tanam. Upaya untuk mengumpulkan biji di lapangan nampaknya kurang ekonomis karena biji yang dihasilkan tanaman sangat sedikit. Akibat dari kacangan tidak mampu menghasilkan biji ini, maka benih harus didatangkan dari daerah lain atau impor,

misalnya dari Thailand, India dan Filipina, sehingga harganya mahal sedang mutunya tidak ada jaminan. Peneliti terdahulu menduga bahwa penyebab rendahnya produksi biji LCC di Indonesia adalah karena iklim yang terlalu basah sehingga persarian tidak dapat terjadi dan juga diduga ada hubungannya dengan panjang hari (fotoperiod) (NASUTION, 1977). Setelah penanaman biji kacangan, pemeliharaan pertumbuhan sangat penting untuk mencapai penutupan tanah yang cepat. Pekerjaaan pemeliharaan yang paling penting adalah pengendalian pertumbuhan gulma pada awal penanaman LCC (sebelum menutup), sehingga tidak menyaingi pertumbuhan LCC. Keluhan para pekebun yang sering dilontarkan adalah benih LCC yang ditanam di lapangan sangat rendah daya kecambahnya. Benih ini jika digunakan akan menghasilkan pertumbuhan yang tidak cepat menutup tanah, sehingga gulma liar akhirnya mendominasi areal. Jika hal ini terjadi, maka biaya pemurnian kacangan atau weeding terhadap gulma liar akan membengkak terutama pada tahun pertama penanaman. Pada perkebunan rakyat tentunya tidak tersedia dana untuk kegiatan pemurnian kacangan tersebut. Upaya yang perlu dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan cara menguji daya kecambah benih kacangan sebelum penanaman, sehingga jumlah benih per hektar yang akan dipakai dapat diketahui. Hal ini akan menjamin bahwa LCC akan segera menutup tanah. Rendahnya daya kecambah LCC dapat disebabkan karena mutunya kurang baik, disimpan oleh suplier terlalu lama dan adanya infeksi penyakit dan hama (YEOH CHONG HOE, 1979). Dengan semakin meningkatnya harga benih kacangan, maka sangat dianjurkan untuk menguji kemurnian dan kualitas benih serta adanya perlakuan sebelum tanam untuk memecahkan dormansi. Benih LCC dikatakan baik bila 1) kemurniannya tinggi, 2) daya kecambah dan daya tumbuh tingi, 3) kadar air rendah serta 4) bebas dari penyakit dan hama. Upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari kerugian akibat rendahnya mutu benih LCC dan dengan semakin meningkatnya harga, maka program sertifikasi benih LCC sudah selayaknya mendapat perhatian. Disamping itu, kegiatan penelitian untuk meningkatkan produksi benih LCC perlu digalakkan.

29

Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak

Keterbatasan benih LCC konvensional di Indonesia juga disebabkan oleh semakin menurunnya areal perkebunan yang menanam. Disamping itu juga karena penanganan dalam hal produksi benih belum terorganisir dengan baik. Kebijakan agribisnis perkebunan melalui tanaman sela juga turut mempengaruhi luasnya areal LCC di perkebunan di Indonesia. SUMARMADJI (1986) mengidentifikasi masalah perbenihan penutup tanah di Indonesia, antara lain adalah 1) Sistem produksi benih yang masih bersifat sambilan, 2) Sistem sertifikasi benih belum terorganisir dengan jelas, 3) Sistem penyaluran benih melalui rantai yang panjang dan 4) Sistem penanganan simpanan benih masih kurang memadai. Di Indonesia, pada umumnya Cc dan Mucuna bracteata hampir tidak menghasilkan biji. Walaupun kadang-kadang dapat menghasilkan biji, kemampuan tumbuhnya rendah. Untuk mengatasi masalah biji, maka pembiakannya dilakukan melalui stek batang. Perbanyakan Cm dan Pj dengan cara stek memberikan hasil yang sangat rendah. Walaupun stek menumbuhkan tunas pada umur 2 dan 4 minggu setelah stek, tetapi kemudian pada umur 8 minggu hampir seluruhnya mengalami kematian (YEOH CHONG HOE. 1979). Perbanyakan Mucuna bracteata dengan stek secara ringkas diuraikan sebagai berikut : Bahan stek diambil dari tanaman di lapangan yang telah berumur 8-12 bulan, dari bagian tengah sulur tanaman, sehingga tidak terlalu tua/muda. Panjang stek cukup 2 ruas dan pada salah satu ruasnya sudah tumbuh bakal akar. Stek dipotong dengan menggunakan pisau tajam, sehingga ujung stek tidak pecah. Stek yang salah satu ruasnya telah mengandung bakal akar, selanjutnya ditanam di polibeg kecil berisi top-soil yang telah dipersiapkan sebelumnya, daun dipotong sebagian dan kemudian disungkup menggunakan plastik putih. Kondisi polibeg diusahakan lembab dengan cara menyiram jenuh pada saat sebelum ditanam stek. Bibitan polibeg ditempatkan di areal yang teduh (70% naungan), seperti pada areal tanaman karet menghasilkan. Pembukaan sungkup dilakukan 21 hari setelah penanaman stek ke polibeg. Kondisi tanaman yang berhasil tumbuh ditunjukkan oleh kondisi daun yang masih tetap segar pada umur satu bulan setelah stek ditanam. Dengan cara demikian, keberhasilan

stek mencapai 80-90%. Perbanyakan Calopogonium caeruleum dengan stek hampir sama dengan cara diatas. Menanam stek langsung di lapangan tanpa melalui pembibitan polibeg umumnya memberikan persentase hidup yang sangat rendah, sehingga tidak dilakukan. Dilihat dari segi luasan areal tanaman karet, peluang dalam perbanyakan tanaman penutup tanah terutama dari jenis LCC di perkebunan karet di Indonesia untuk mendekati kebutuhan adalah cukup besar, tetapi mungkin persoalan yang akan ditemui untuk mewujudkan hal tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan mengimpor. Sampai dengan sekarang, benih LCC di Indonesia diperoleh dengan cara mengumpulkan biji dari areal pertanaman karet yang berumur 2-3 tahun yang ditanami LCC. Areal tersebut terutama terdapat di areal PT Perkebunan Negara serta perkebunan swasta besar asing dan nasional. Biasanya, benih dikumpulkan oleh karyawan atau penduduk sekitar kebun, kemudian dijual langsung kepada perkebunan yang memerlukan atau kepada penyalur. Produksi biji LCC di areal gawangan seperti itu tentunya lebih rendah dibandingkan dengan produksi biji di areal terbuka. Hasil pengamatan di Balai Penelitian Sungei Putih pada tahun 2005 menunjukkan bahwa potensi produksi benih Pj dari satu hektar areal tanaman karet adalah sekitar 10 kg/tahun. LCC pada gawangan ini dipelihara dengan baik. Pada umur 6 bulan setelah tanam Pj sudah mulai berbunga dan biji dapat dipanen satu bulan setelah pembungaan. Musim biji adalah pada bulan Desember, Januari dan Februari. YEOH CHONG HOE (1979) melaporkan bahwa pada awal pembungaan, produksi biji per hektar tanaman dari Cm, Pj dan Cp masing-masing adalah 9,2 kg, 1,4 kg dan 4,3 kg. Sejalan dengan bertambahnya umur tanaman karet, tingkat penaungan juga meningkat dan pertumbuhan serta produksi biji LCCnya akan semakin menurun. Dengan pola produksi seperti itu, maka areal perburuan biji LCC selalu berpindah-pindah. Sampai saat ini, belum ada lembaga khusus produsen benih LCC, dengan lahan produksi khusus. Iklim di Indonesia yang tropis basah juga sebagai faktor pembatas LCC menghasilkan benih. Contohnya Cc dan Mucuna bracteata hampir tidak dapat

30

Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak

menghasilkan biji di Indonesia. Produsen benih baru bersifat sebagai pengumpul dari satu areal ke areal lain dalam wilayah perkebunan. Dalam satu hari kerja dan pada areal yang relatif rata, biasanya hanya dapat dikumpulkan sebanyak 0,5-0,75 kg benih LCC. Pada areal yang bergelombang dan berbukit, jumlah benih yang dapat dikumpulkan sangat sedikit. Pengakuan para pekebun karet mengatakan bahwa mengumpul benih untuk memenuhi kebutuhan adalah kurang ekonomis, sehingga membeli/impor masih diperlukan. Berapa potensi produksi benih LCC di Indonesia sekarang sulit dijawab karena data luasan kebun yang menanam LCC, baik di perkebunan karet maupun di perkebunan sawit/lainnya tidak pernah tercatat dengan baik. Yang jelas akhir-akhir ini ada kecenderungan para pekebun untuk tidak menggunakan LCC konvensional karena alasan sulit mendapatkan benih serta memerlukan biaya yang cukup besar dalam pembangunannya. Pengaturan terhadap sistem penyaluran benih LCC belum jelas, tidak seperti pada tanaman pangan. Adanya masalah dalam penyaluran secara langsung berpengaruh terhadap penurunan mutu benih. Suplier biasanya adalah pihak swasta yang juga bergerak dalam berbagai usaha sarana pertanian. Penyalur memperoleh benih dari para pengumpul yang telah dipesan jauh sebelum musim panen tiba. Faktor yang menimbulkan masalah dalam penyaluran adalah 1) musim panen yang sempit, 2) lambatnya pesanan dari pemakai dan 3) keterpencilan lokasi penanamannya. Kenyataan yang selalu ditemui ialah datangnya benih dengan mutu yang sudah sangat merosot. Penyaluran benih LCC di Indonesia masih merupakan rantai yang panjang (SUMARMADJI, 1986). TANAMAN PAKAN TERNAK SEBAGAI TANAMAN SELA DI PERKEBUNAN KARET Dengan penggunaan sistim tanam yang berlaku sekarang, pada awal penanaman, tanaman karet hanya menempati seperlima dari total areal yang ditanami. Seiring dengan bertambahnya umur tanaman karet, tajuk akan

berkembang dan penutupan tajuk dicapai dalam waktu 3,5 sampai dengan 4 tahun (tergantung dari jenis bahan tanam atau klon yang digunakan). Pada saat tanaman berumur kurang dari 2 tahun, tingkat transmisi cahaya adalah 92% PAR (photo synthetically active radiation), dan akhirnya berkurang mencapai 10% saat tanaman berumur 6 tahun (CHEE dan AHMAD Faiz, 1990). Hal ini berarti bahwa selama periode sebelum tajuk tanaman karet menutup (selama 3,5 tahun) terdapat areal seluas 75% (KARYUDI dan SUNARWIDI, 1986) dari total areal karet, yang dapat ditanami dengan tanaman lain selain tanaman karet. Jika lahan di antara pohon karet tidak dimanfaatkan terutama pada awal pertumbuhan, maka banyak energi matahari yang tidak dapat dipanen ataupun akan dimanfaatkan oleh gulma liar untuk pertumbuhannya. Penanaman tanaman penutup tanah merupakan salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi tersebut. Upaya peningkatan produktivitas lahan perkebunan karet secara terus-menerus digalakkan. Melalui pengusahaan tanaman sela, gawangan karet dapat ditanami untuk memperoleh manfaat ganda yaitu sebagai pengganti kacangan penutup tanah dan memberi hasil langsung kepada petani. Pengusahaan tanaman sela dapat memberikan dampak positif maupun negatif tergantung pada cara pengelolaannya. Pengelolaan tanaman sela melalui pengelolaan ekologi yang tepat dengan memanfaatkan mekanisme faktor pembatas, kompetisi dan adaptasi akan memberikan hasil yang optimum dan mencegah terjadinya dampak negatif. Peggunaan tanaman pakan ternak sebagai tanaman sela mempunyai harapan yang baik terutama sebagai kegiatan dalam mengisi masa tanaman karet belum menghasilkan. BAAS (1983) melaporlan bahwa penanaman berselang gawangan antara Stylosanthes guianensis dan Brachiaria decumbens diantara karet yang belum menghasilkan tidak mengganggu pertumbuhan lilit batang karet dan bila dipelihara seperlunya bahkan meningkatkan pertumbuhan lilit batang. Dengan sistim potong angkut setiap 45 hari dari kombinasi tersebut dapat dihasilkan hijauan yang dapat mendukung kehidupan 5 unit ternak sampai tanaman karet berumur 6 tahun. Hasil penelitian SIAGIAN dan SUMARMADJI (1989) di Balai Penelitian Sungei

31

Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak

Putih menunjukkan bahwa produksi kering hijauan kumulatif selama 12 bulan dari rumput gajah, rumput australia dan rumput benggala berturut-turut adalah 43, 48 dan 25 ton/ha. Pertumbuhan karet yang meliputi lilit batang, tebal kulit, jumlah pembuluh lateks dan diameter pembuluh lateks tidak tertekan oleh adanya rumput makanan ternak dibandingkan dengan kacangan konvensional Pj. Salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian dengan penggunaan tanaman pakan ternak dari golongan rumput adalah agar penanamannya di gawangan karet diusahakan sedemikian rupa sehingga tidak menjadi pesaing dalam hal air, unsur hara maupun ruang bagi tanaman utama karet. Biasanya jarak 1,5 m dari barisan karet bebas dari tanaman pakan ternak tersebut. Disamping itu, karena rumput tidak memberikan kontribusi hara terutama N pada tanaman karet, sebagamana layaknya terjadi pada LCC, maka pemupukan yang tepat terhadap tanaman karet sangat diperlukan. KESIMPULAN Dalam rangka meningkatkan daya saing komoditas karet, baik antar produsen maupun antar komoditi perkebunan, upaya peningkatan produktivitas lahan perkebunan karet terus menerus digalakkan. Hal ini sangat memungkinkan dan berpeluang besar karena pada masa tanaman belum menghasilkan (TBM) sekitar 60-70% dari luas lahan (disebut gawangan) belum dimanfaatkan secara efektif. Pada perkebunan besar, lazimnya gawangan ditanami dengan tanaman kacangan penutup tanah (LCC), sementara pada perkebunan rakyat, gawangan belum dimanfaatkan secara optimal. Penanaman LCC pada perkebunan rakyat kurang berkembang karena tidak dirasakan secara langsung manfaatnya serta membutuhkan biaya yang cukup besar dalam pembangunannya. Peluang pemanfaatan gawangan tanaman karet dengan berbagai tanaman penutup tanah selain LCC cukup besar mengingat bahwa setiap tahun luas areal peremajaan karet yang dicanangkan pemerintah dari tahun 2005 sampai dengan 2010 cukup luas yaitu mencapai 56.000 hektar. Optimalisasi pemanfaatan gawangan tanaman karet dengan penanaman tanaman pakan ternak merupakan salah satu alternatif. Dalam

memilih jenis tanaman pakan hendaknya mempertimbangkan kelayakan teknis, sosial dan ekonomis. Jenis tanaman yang dipilih sebaiknya secara nyata lebih unggul dibandingkan dengan LCC dan memberikan hasil langsung kepada pekebun.DAFTAR PUSTAKA ANGKAPRADIPTA, P. 1984. Tanaman penutup tanah di perkebunan. Makalah disampaikan pada Seminar Satu Hari Tentang Tanaman Penutup Tanah di BPP Bogor 10 September 1984. 14p. BLEVINS, R.C., D. COOK, and S.H. PHILLIPS. 1971. Influence of no-tillage on soil moisture. Agronomy Journal. Volume 63.p.593-596. CHERIACHANGEL MATHEWS. 1998. The Introduction and Establishment of a New Leguminous Cover Crop, Mucuna bracteata under Oil Palm in Malaysia. The Planter, Kuala Lumpur, 74(868):359-368. CHEE. Y. K., LIU SIN and CHIN THEN VOON. 1983. Establishment of legume cover crop on flat land. Planters bulletin 177 :119-123. CHEE, Y.K. and F. AHMAD. 1990. Forage resources in Malaysian rubber estates. Proc. ACIAR Workshop on Forages for Plantation Crops. Bali, No.32:32-35. CHEE YAN KUAN. 1985. Vegetative propagation of Calopogonium caeruleum. Proc.Int. Rubb. Conf. 1985. Kuala Lumpur. DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN. 1998. Statistik Perkebunan Indonesia 1997-1999. Karet. Departemen Kehutanan Dan Perkebunan .Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta. 54 hal. GUNAWAN, A. 2005. Rubber Wood Marketing in Indonesia. Paper presented at Second Workshop on Rubber Wood, Cropping and Research, 25-27 May 2005, Bangkok, Thailand. JEWTRAGOON, P. and TOPARK-NGARM. 1985. Factors affecting growth and seed production of Calopogonium caeruleum. Int. Rubb Conf. 1983. Kuala Lumpur. KARYUDI dan SUNARWIDI. 1986. Pengusahaan Tanaman Sela Pada Gawangan Tanaman Karet. Warta Perkaretan 5(1) :16-20. KUSTIYANTI, T. 1989. Penanaman penutup tanah di perkebunan. Balai Penelitian Perkebunan Sungei Putih. Dok. 8946.32p.

32

Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak

MAINSTONE, B.J. 1969. Residual effects of ground cover and nitrogen fertilization of Hevea prior to tapping. J. Rubb. Res. Inst. Malaysia, 21(2):113-125. NASUTION, U. 1984. Pengamatan berbagai jenis tumbuhan penutup tanah di perkebunan karet. Prosiding Lokakarya Karet 1984. P4T.M PRESTON SULLIVAN. 2003. Overview of cover crops and green manures. Fundamentals of Sustainable Agriculture. ATTRA-National Sustainable Agriculture Information Service. 22p. P4TM. 1981. Laporan tahunan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Tanjung Morawa, Medan. PUSHPARAJAH, E. 1974. Covers and weeds. The management and control. In lecture notes RRIM refresher course on rubber plantings. Kuala Lumpur, September 1974. Pusat Penyelidikan Getah Malaysia.

SIAGIAN, N dan SUMARMADJI. 1989. Rumput makanan ternak sebagai alternatif penutup tanah pada tanaman karet muda. Buletin Perkaretan, 7(3):75-79. SIREGAR, M. 1984. Peranan tanaman penutup tanah terhadap konservasi tanah dan pengaruhnya terhadap tanaman karet. Makalah disampaikan pada Seminar Satu Hari tentang Tanaman Penutup Tanah di BPP Bogor 10 September 1984. 28p. SUMARMADJI. 1986. Kebutuhan dan masalah pengadaan benih penutup tanah kacangan di perkebunan. Balai Penelitian Perkebunan Sungei Putih. Dok.8661. 23p. VISSOH, P., V.M. MANYONG, J.R. CARSKY, P. OSEIBONSU, and M. GALIBA. 2005. Experiences with Mucuna in west Africa. International Development Research Centre. 36p YEOH CHONG HOE. 1979. Propagation of legume cover crops in rubber plantations. Plantersbulletin.159:54-64.

33