Lengkap Proposal IDA
Click here to load reader
-
Upload
amran-yahya -
Category
Documents
-
view
253 -
download
2
description
Transcript of Lengkap Proposal IDA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Matematika merupakan dasar dari ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu,
matematika merupakan salah satu pelajaran yang penting untuk dipelajari. Hal ini
ditegaskan oleh Suherman dkk, (2003:61) bahwa: “Matematika yang dipelajari
melalui pendidikan formal (matematika sekolah) mempunyai peranan penting bagi
siswa sebagai bekal pengetahuan untuk membentuk sikap serta pola pikirnya”. Oleh
karena itu, matematika dipelajari disetiap jenjang pendidikan, dari jenjang sekolah
dasar hingga perguruan tinggi.
Dalam pendidikan formal di Indonesia matematika menjadi salah satu materi
yang diajarkan sesuai kurikulum. Pendidikan matematika merupakan bagian integral
dari pendidikan, sehingga untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi dalam
dunia pendidikan saat ini sudah tentu pendidikan matematika ikut berperan. Hal
tersebut dapat disimak dalam tujuan umum diberikannya matematika pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah, yaitu:
a. Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, jujur, efisien dan efektif.
b. Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan (Depdikbud, 1996: 1)
1
2
Pada hakekatnya belajar merupakan salah satu bentuk kegiatan individu dalam
usahanya untuk memenuhi kebutuhan. Tujuan dari setiap belajar mengajar adalah
untuk memperoleh hasil yang optimal. Kegiatan ini akan tercapai jika siswa sebagai
subyek terlibat secara aktif baik fisik maupun emosinya dalam proses belajar
mengajar.
Dalam pembelajaran aktif siswa dipandang sebagai subyek bukan obyek dan
belajar lebih dipentingkan daripada mengajar. Di samping itu, siswa ikut
berpartisipasi ikut mencoba dan melakukan sendiri yang sedang dipelajari, sedangkan
dalam pembelajaran yang mengacu pada pembelajaran aktif, fungsi guru adalah
menciptakan suatu kondisi belajar yang memungkinkan siswa berkembang secara
optimal.
Hasil belajar dapat tercapai apabila guru dalam menyampaikan pelajaran tidak
menjadikan siswa hanya sebagai obyek belajar, tetapi siswa dijadikan sebagai subyek,
sehingga siswa bisa terlibat langgsung dalam proses pembelajaran. Selain itu juga,
guru tidak hanya menggunakan model pembelajaran yang monoton, tetapi guru harus
bisa mengembangkan model pembelajaran yang bervariasi dan menyenangkan agar
siswa senang dalam mengikuti pelajaran dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Proses pembelajaran selama ini guru dalam menyampaikan materi hanya
menoton saja, sehingga membuat siswa bosan dan mengantuk. Matematika juga
sering dianggap siswa sebagai pelajaran yang sulit serta kurang diminati, hal ini
disebabkan karena guru masih kurang dalam menerapkan model pembelajaran yang
3
menarik, serta pendekatan yang sesuai sehingga siswa kurang terkesan dengan
pembelajaran.
Kebanyakan guru masih menggunakan metode Terangkan Catat Latihan
(TCL) yang mengakibatkan pembelajaran dikelas berlangsung hanya satu arah.
Model pembelajaran ini menyebabkan pembelajaran hanya berpusat pada guru dan
siswa menjadi objek belajar bukan subjek belajar sehingga cenderung meminimalkan
keterlibatan siswa sehingga guru nampak lebih aktif. Kebiasaan bersikap pasif dalam
pembelajaran dapat mengakibatkan sebagian besar siswa takut dan malu bertanya
pada guru mengenai materi yang kurang dipahami. Suasana belajar di kelas menjadi
sangat monoton dan kurang menarik.
Pada umumnya anak dalam proses belajar mengajar memiliki tingkat hasil
belajar yang rendah. Hal ini bukan sebuah indikasi bahwa anak mempunyai
kompetensi belajar yang lemah, tetapi hal ini disebabkan oleh kurangnya inovasi dan
kreatifitas pendidik dalam mendidik siswa. Dalam rangka mengatasi masalah
tersebut, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi, pendekatan, metode
dan teknik yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik
maupun sosial. Dalam pembelajaran matematika hendaknya siswa dibawa ke arah
mengamati, menebak, berbuat, mencoba, mampu menjawab pertanyaan, dan kalau
mungkin mendebat. Prinsip belajar aktif inilah yang diharapkan dapat
menumbuhkan sasaran pembelajaran matematika yang kreatif dan kritis.
Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan menerapkan pembelajaran
model kooperatif tipe STAD. Menurut Suherman dkk (2003), inti dari STAD adalah
4
guru menyampaikan suatu materi, kemudian para siswa bergabung dalam
kelompoknya yang terdiri atas empat atau lima orang untuk menyelesaikan soal-soal
yang diberikan oleh guru. Setelah selesai mereka menyerahkan pekerjaannya secara
tunggal untuk setiap kelompok kepada guru.
Pada pembelajaran kooperatif tipe STAD siswa dalam kelas dibagi menjadi
beberapa kelompok, dimana masing-masing kelompok beranggotakan 4-5 siswa
untuk bekerja sama dalam menyelesaikan tugas. STAD mengarahkan siswa belajar
dengan cara mengkonstruksi berbagai pengetahuan yang diperoleh dari belajar sendiri
dan sharing dengan teman sekelompoknya. Siswa dapat memperoleh pengetahuan
dari bertanya, pemodelan dan berbagai sumber informasi yang lain. STAD ini juga
sebagai salah satu cara membentuk masyarakat belajar.
Perkembangan intelektual siswa pada umumnya bergerak dari konkret ke
abstrak maka pendekatan pembelajaran matematika seharusnya diawali dengan hal-
hal yang konkret. Salah satu topik matematika yang sering digunakan dalam
kehidupan sehari-hari dan merupakan bagian yang mendasar dalam belajar
matematika adalah aritmetika sosial. Materi aritmetika sosial membahas
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk matematika.
Pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan hal tersebut serta dapat
digunakan dalam model kooperatif tipe STAD adalah pendekatan Realistic
Mathematics Education (RME). Dimana dalam pendekatan RME ini siswa diarahkan
untuk belajar secara realistik serta siswa berperan secara aktif di kelas. sehingga dapat
5
meningkatkan aktifitas siswa dalam pembelajaran yang menggunakan model
kooperatif tipe STAD.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengangkat permasalahan dengan
judul, “Penerapan Model Kooperatif Tipe STAD dengan pendekatan RME dalam
pembelajaran Matematika”.
B. Pemecahan masalah.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, peneliti merancang pemecahan masalah
melalui tindakan perbaikan pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD
dengan pendekatan RME yang didesain dalam siklus belajar. Dimana setiap siklus
terdiri atas 4 tahapan kegiatan yaitu: perencanaan, pelaksanaan tindakan,
observasi/evaluasi dan refleksi. Pada langkah pelaksanaan tindakan pembelajaran di
kelas, diterapkan langkah-langkah model kooperatif tipe STAD berbasis RME.
C. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana Penerapan model kooperatif tipe STAD dengan pendekatan RME
dalam pembelajaran Matematika pada siswa kelas VIIA MTS Negeri Pare-pare?
2. Apakah hasil belajar matematika siswa kelas VIIA MTS Negeri Pare-pare
meningkat dengan penerapan model kooperatif tipe STAD dengan pendekatan
RME?
6
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, ada dua tujuan penelitian, yaitu :
1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian yang diharapkan dari penelitian ini menjadi masukan bagi guru
dalam menggunakan pendekatan atau metode pembelajaran yang sesuai.
2. Tujuan Khusus
Adapaun tujuan khusus dari penelitian ini :
Untuk meningkatkan hasil belajar matematika melalui penerapan model
kooperatif tipe STAD dengan pendekatan RME pada siswa kelas VIIA MTs Negeri
Pare-pare?
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis
Diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan peneliti lain dan pembaca
tentang strategi dan model pembelajaran terhadap hasil belajar siswa kelas VIIA
MTS Negeri Pare-pare.
2. Manfaat praktis
a) Bagi peneliti secara umum, berguna untuk memperoleh pengetahuan baru
tentang strategi pembelajaran menggunakan model kooperatif tipe STAD dengan
pendekatan RME.
7
b) Bagi Siswa
Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis RME
memberikan pengalaman belajar secara berkelompok dan dapat meningkatkan
aktifitas belajar siswa khususnya pada pelajaran Matematika dan mata pelajaran
lain pada umumnya.
c) Bagi Guru
Dengan dilaksanakannya PTK ini, guru dapat mengetahui strategi serta metode
yang bervariasi untuk memperbaiki sistem pembelajaran di kelas sehingga
permasalahan-permasalahan yang dihadapi guru dan siswa di kelas dapat segera
diatasi
d) Bagi sekolah, diharapkan dapat menjadi acuan untuk menetapkan kebijakan
dalam menunjang pelaksanaan kegiatan pembelajaran.
F. Batasan Istilah
Untuk memberikan arahan yang jelas, maka perlu diberikan penjelasan dan
batasan terhadap istilah-istilah yang dipergunakan. Istilah-istilah tersebut sebagai
berikut.
1. Matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan
konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya yang tersusun secara
hierarkhis dan dapat membantu manusia dalam memahami dan menguasai
permasalahan sosial, ekonomi, dan alam.
8
2. Belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa dan raga untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi
dengan lingkungan yang menyangkut kognitif, afektif dan psikomotor.
3. Pembelajaran matematika adalah suatu upaya atau proses usaha yang dilakukan
individu melalui interaksi dengan lingkungannya untuk mengetahui, mengingat,
dan memahami objek-objek matematika baik itu objek langsung maupun objek
tidak langsung.
4. Model pembelajaran adalah sebuah rencana atau pola yang mengorganisasi
pembelajaran dalam kelas dan menunjukan cara penggunaan materi
pembelajaran.
5. STAD (Student Teams Achievement Division) adalah salah satu tipe model
pembelajaran kooperatif yang terdiri dari kelompok belajar heterogen
beranggotakan 4-5 orang siswa dan setiap siswa saling bekerja sama, berdiskusi
dalam menyelesaikan tugas dan memahami bahan pelajaran yang diberikan.
6. RME (Realistic Mathematics Education) adalah suatu pendekatan yang
memandang matematika sebagai suatu kegiatan manusia (human activities) dan
belajar matematika sebagai suatu kegiatan matematika (doing of mathematics).
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN
A. Kajian Pustaka
1. Hakikat Matematika
Matematika berasal dari bahasa latin manthanein atau methema yang berarti
belajar atau hal yang dipelajari. Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif,
yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis
kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antar konsep atau pernyataan dalam
matematika bersifat konsisten.
Menurut Hudojo (1990: 4) matematika sebagai ilmu mengenai struktur dan
hubungan-hubungannya, simbol-simbol diperlukan. Matematika berkenaan dengan
ide-ide atau konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hierarkhis dan penalarannya
deduktif. Jadi matematika lebih luas dari sekedar rumus-rumus dan perhitungan yang
rumit, yang dianggap oleh kebanyakan peserta didik sebagai mata pelajaran yang
tidak menarik.
Menurut James dan James yang dikutip oleh Suherman, dkk (2003: 16)
mengatakan bahwa matematika adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk,
susunan, besaran, dan konsep-konsep yang berhubungan satu dengan yang lainnya
dengan jumlah yang banyak yang terbagi ke dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis
dan geometri.
9
10
Sedangkan menurut Kline yang dikutip oleh Suherman, dkk (2003: 17)
mengatakan bahwa matematika itu bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat
sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk
membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi,
dan alam.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika
adalah ilmu tentang logika mengenai bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep
yang berhubungan satu dengan yang lainnya yang tersusun secara hierarkhis dan
dapat membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial,
ekonomi, dan alam.
2. Pembelajaran Matematika
Menurut Santrock dan Yussen (Sugihartono, 2007: 74), belajar merupakan suatu
proses perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Cronbach (Suryabrata, 2010: 231)
berpendapat bahwa learning is shown by change in behavior as a result of
experience. Belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukan oleh perubahan tingkah
laku sebagai hasil dari pengalaman.
Sedangkan menurut Burton (Usman, 2013: 5), learning is a change in the
individual due to instruction of that individual and his environment, which fell a need
an makes him more capable for dealing adequately with his environment. Dalam
pengertian itu terdapat kata change atau perubahan yang berarti bahwa seseorang
telah mengalami proses belajar, akan mengalami perubahan tingkah laku, baik aspek
11
pengetahuannya, ketrampilannya, maupun sikapnya. Jadi belajar adalah suatu proses
perubahan tingkah laku, menemukan, dan membangun pemahaman yang bermakna
bagi diri sendiri, yang berasal dari informasi maupun pengalaman.
Dari berbagai pendapat para ahli tentang pengertian belajar, dapat disimpulkan
bahwa belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa dan raga untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi
dengan lingkungan yang menyangkut kognitif, afektif dan psikomotor.
Adapun tingkah laku yang dikategorikan sebagai perilaku belajar memiliki ciri-
ciri (1) perubahan tingkah laku terjadi secara sadar, (2) perubahan bersifat kontinu
dan fungsional, (3) perubahan bersifat positif dan aktif, (4) perubahan bersifat
permanen, (5) perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah, serta (6) perubahan
mencakup seluruh aspek tingkah laku (Sugihartono, 2007: 74-76).
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam proses belajar seperti yang
diungkapkan Slameto (2010: 54), dapat dibedakan antara faktor dari dalam dan faktor
dari luar.
1. Faktor dari dalam (Internal)
a. Faktor jasmaniah, meliputi faktor kesehatan dan cacat tubuh.
b. Faktor psikologis, meliputi intelegensi, minat, bakat, motif, kematangan, dan
kelelahan.
2. Faktor dari luar (Eksternal)
a. Faktor keluarga, dapat meliputi cara orangtua mendidik, relasi antar anggota
keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orangtua, dan
12
latar belakang kebudayaan.
b. Faktor sekolah, meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi pendidik dengan
peserta didik , relasi antar peserta didik , disiplin sekolah, pelajaran dan waktu
sekolah, standar pelajaran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah.
c. Faktor masyarakat, dapat berupa kegiatan peserta didik dalam masyarakat,
teman bergaul, bentuk kehidupan dalam masyarakat, dan media massa.
Proses belajar mengajar dengan segala interaksi di dalamnya disebut
pembelajaran. Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-
unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling
mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran (Hamalik, 2005: 57).
Pembelajaran menurut Sudjana (Sugihartono, 2007: 80) merupakan setiap upaya yang
dilakukan dengan sengaja oleh pendidik yang dapat menyebabkan peserta didik
melakukan kegiatan belajar. Gulo (dalam Sugihartono, 2007: 80) mendefinisikan
pembelajaran sebagai usaha untuk menciptakan sistem lingkungan yang
mengoptimalkan kegiatan belajar.
Menurut Gagne ada dua objek yang dapat diperoleh peserta didik yaitu objek-
objek langsung dan objek-objek tak langsung. Objek-objek langsung dalam pelajaran
matematika meliputi fakta, keterampilan, konsep, dan aturan. Sedangkan objek-objek
tak langsung dalam pelajaran matematika berupa kemampuan menyelidiki dan
memecahkan masalah, belajar mandiri, bersikap positif terhadap matematika, serta
tahu bagaimana seharusnya belajar (Suherman, dkk. 2003: 33).
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
13
matematika adalah suatu upaya atau proses usaha yang dilakukan individu melalui
interaksi dengan lingkungannya untuk mengetahui, mengingat, dan memahami objek-
objek matematika baik itu objek langsung maupun objek tidak langsung.
Suherman, dkk (2003: 6) mengemukakan bahwa dalam menyajikan konsep
matematika melalui konsep matematika lain yang telah dimiliki peserta didik,
misalnya mempelajari konsep B yang mendasarkan pada konsep A, agar peserta didik
lebih mudah memahami konsep B maka peserta didik perlu memahami lebih dahulu
konsep A. Ini bararti mempelajari matematika haruslah bertahap dan berurutan serta
mendasarkan pada pengalaman belajar sebelumnya.
3. Aktivitas Belajar
Aktivitas merupakan prinsip atau asas yang sangat penting didalam interaksi
belajar-mengajar. Menurut Djamarah (2008: 38) aktivitas artinya kegiatan atau
keaktifan. Jadi segala sesuatu yang dilakukan atau kegiatan-kegiatan yang terjadi baik
fisik maupun non-fisik, merupakan suatu aktivitas. Aktivitas siswa selama proses
belajar mengajar merupakan salah satu indikator adanya keinginan siswa untuk
belajar.
Sagala (2011: 124) menyebutkan bahwa mempelajari psikologi berarti
mempelajari tingkah laku manusia, baik yang teramati maupun yang tidak teramati.
Segenap tingkah laku manusia mempunyai latar belakang psikologis, karena itu
secara umum aktivitas-aktivitas manusia itu dapat dicari hukum psokologis yang
mendasarinya. Menurut Sardiman (2011: 22) belajar adalah merupakan suatu proses
interaksi antara diri manusia dengan lingkungannya yang mungkin berwujud pribadi,
14
fakta, konsep ataupun teori. Dapat di jelaskan bahwa belajar adalah serangkaian
kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari
pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut
kognitif, afektif, dan psikomotor.
Dalam aktivitas belajar ada beberapa prinsip yang berorientasi pada pandangan
ilmu jiwa, yakni menurut pandangan ilmu jiwa lama dan ilmu jiwa modern. Menurut
pandangan ilmu jiwa lama aktivitas didominasi oleh guru sedang menurut padangan
ilmu jiwa modern, aktivitas didominasi oleh siswa. Aktivitas belajar merupakan hal
yang sangat penting bagi siswa, karena memberikan kesempatan kepada siswa untuk
bersentuhan dengan obyek yang sedang dipelajari seluas mungkin, karena dengan
demikian proses konstruksi pengetahuan yang terjadi akan lebih baik. Belajar
diperlukan aktivitas, sebab pada prinsipnya belajar adalah berbuat mengubah tingkah
laku, jadi melakukan kegiatan. Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas.
Dari uraian diatas dapat diambil pengertian aktivitas belajar adalah keterlibatan
siswa dalam bentuk sikap, pikiran, perhatian dalam kegiatan belajar guna menunjang
keberhasilan proses belajar mengajar dan memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut.
Jenis-jenis Aktivitas Belajar.
Adapun jenis-jenis aktivitas dalam belajar yang digolongkan oleh Paul B. Diedric
(Sardiman, 2011: 101) adalah sebagai berikut:
1) Visual activities, yang termasuk di dalamnya misalnya membaca, memperhatikan
gambar demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain.
15
2) Oral Activities, seperti menyatakan merumuskan, bertanya, memberi saran,
berpendapat, diskusi, interupsi.
3) Listening Activities, sebagai contoh mendengarkan: uraian, percakapan, diskusi,
musik, pidato.
4) Writing Activities, seperti misalnya menulis cerita, karangan, laporan, menyalin.
5) Drawing Activities, menggambar, membuat grafik, peta, diagram.
6) Motor Activities, yang termasuk di dalamnya antara lain: melakukan percobaan,
membuat konstruksi, model, mereparasi, berkebun, beternak.
7) Mental Activities, sebagai contoh misalnya: menanggapi, mengingat,
memecahkan soal, menganalisis, mengambil keputusan.
8) Emotional Activities, seperti misalnya, merasa bosan, gugup, melamun, berani,
tenang.
Berdasarkan berbagai pengertian jenis aktivitas di atas, penulis berpendapat
bahwa dalam belajar sangat dituntut keaktifan siswa. Siswa yang lebih banyak
melakukan kegiatan sedangkan guru lebih banyak membimbing dan mengarahkan.
Tujuan pembelajaran tidak mungkin tercapai tanpa adanya aktivitas siswa.
4. Respon Siswa
Menurut Thorndike (Sardiman, 2011: 33), belajar adalah proses interaksi antara
stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan
belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat
indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika
belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan.
16
Sedangkan, Skinner (Dimyati dan Mudjiono,2013: 9) berpandangan bahwa
belajar merupakan suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka responnya menjadi
lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar maka responnya menurun. Respon
terbentuk dari proses pemberian rangsangan atau sebab yang berujung pada hasil dan
akibat dari proses rangsangan.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia edisi ketiga dijelaskan definisi respon
adalah berupa tanggapan, reaksi, dan jawaban. Respon adalah Setiap tingkah laku
pada hakekatnya merupakan tanggapan atau balasan (respon) terhadap rangsangan
atau stimulus (Sarlito, 2010). Menurut Gulo (2002), respon adalah suatu reaksi atau
jawaban yang bergantung pada stimulus atau merupakan hasil stimulus tersebut.
Interaksi antara beberapa faktor dari luar berupa objek, orang-orang dan dalam
berupa sikap, mati dan emosi pengaruh masa lampau dan sebagiannya akhirnya
menentukan bentuk perilaku yang ditampilkan seseorang. Respon seseorang dapat
dalam bentuk baik atau buruk, positif atau negatif (Azwar, 2011). Apabila respon
positif maka orang yang bersangkutan cenderung untuk menyukai atau mendekati
objek, sedangkan respon negatif cenderung untuk menjauhi objek tersebut. Respons
terdiri dari tiga komponen yaitu komponen kognisi (pengetahuan), komponen afeksi
(sikap) dan komponen psikomotorik (tindakan).
Dari beberapa definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa respons
merupakan suatu reaksi atas stimulus yang menjadi dalam berinteraksi antara
pelakunya dengan mendapatkan rangsangan dari suatu perilaku yang memicu
individu atau kelompok untuk bersikap baik itu dengan tindakan atau tanpa tindakan.
17
5. Hasil Belajar
Dalam proses pembelajaran hasil belajar merupakan kriteria keberhasilan yang
sangat penting. Oleh karena itu, tugas utama guru dalam kegiatan ini adalah
merancang instrumen (tes) yang dapat mengumpulkan data tentang keberhasilan
siswa guna mencapai tujuan pembelajaran. Berdasarkan data tersebut guru dapat
mengembangkan dan memperbaiki program pembelajaran sehingga dapat
meningkatkan hasil belajar.
Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah terjadi proses
belajar mengajar yang dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri siswa, dari luar diri
siswa dan faktor lingkungan. Menurut Slameto (2003: 2) Hasil belajar adalah
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya
sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Sedangkan, Menurut Nana Sudjana
(1989: 25): Hasil belajar adalah perubahan pada diri seseorang dalam berbagai bentuk
seperti perubahan pengetahuan, sikap, dan tingkah laku, keterampilan, kecakapan,
kecakapan, kebiasaan serta perubahan asek-aspek lain yang ada pada individu yang
belajar.
Howard Kingsley dalam Sudjana (2010:22) membagi hasil belajar menjadi tiga
macam yaitu (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c)
sikap dan cita-cita. Lebih lanjut, Wingkel dalam Purwanto (2009:39) menyatakan
hasil belajar merupakan proses dalam diri individu yang berinteraksi dengan
lingkungan untuk mendapatkan perubahan dalam perilakunya. Menurut Gagne
(Purwanto, 2009:42) hasil belajar adalah terbentuknya konsep, yaitu kategori yang
18
kita berikan pada stimulus yang ada di lingkungan yang menyediakan skema yang
terorganisasi untuk asimilasi stimulus- stimulus baru dan menentukan hubungan di
dalam dan diantara kategori-kategori. Kemudian lima kategori hasil belajar menurut
Gagne (Sudjana, 2010:22) yaitu: (a) informasi verbal, (b) keterampilan intelektual, (c)
strategi kognitif, (d) sikap, dan (e) keterampila motoris.
Berdasarkan pendapat yang disampaikan dapat dibuat definisi bahwa hasil
belajar adalah hasil penilaian terhadap kemampuan siswa dalam bentuk angka
maupun perubahan setelah menjalani proses pembelajaran yang berguna untuk
memberikan informasi hasil belajar siswa kepada orang tua atau siswa maupun
kepada komponen-komponen pengajaran untuk melanjutkan program pengajaran
selanjutnya.
Secara garis besar pembelajaran Matematika harus mengacu pada standar
kompetensi maupun kompetensi dasar Matematika. Standar kompetensi Matematika
merupakan kompetensi Matematika yang dibakukan dan harus ditunjukkan siswa
pada hasil belajarnya dalam pelajaran Matematika. (Materi Pelatihan Terintegrasi
Matematika Buku 3, 2005: 7).
Dengan demikian, Hasil belajar matematika merupakan hasil kegiatan dari
belajar matematika dalam bentuk pengetahuan sebagai akibat dari perlakuan atau
pembelajaran yang dilakukan oleh siswa, atau dengan kata lain adalah apa yang
diperoleh siswa dari proses belajar matematika (Hamalik, 2007: 23). Hamalik juga
mengatakan bahwa hasil belajar matematika adalah perubahan yang terjadi pada anak
didik setelah melakukan pembelajaran matematika.
19
Perubahan anak didik tersebut merupakan perubahan tingkahlaku yang
mencakup seluruh aspek yaitu, kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik (Uno,
2006: 139). Jadi hasil belajar matematika adalah hasil belajar yang diperoleh setelah
terjadi proses pembelajaran matematika.
6. Hakikat Model Pembelajaran
Pakar pendidikan sains menyakini bahwa ketakjuban, antusiasme, dan
keingintahuan harus mendominasi pembelajaran sains. Untuk membangkitkan hal
tersebut dalam matematika, berbagai model pembelajaran dapat diterapkan. Menurut
Dahar (1996: 5), model ialah suatu struktur konseptual yang telah berhasil
dikembangkan dalam suatu bidang, dan sekarang diterapkan, terutama untuk
membimbing penelitian dan berfikir dalam bidang lain, biasanya dalam bidang yang
belum begitu berkembang. Sebuah model pembelajaran adalah sebuah rencana atau
pola yang mengorganisasi pembelajaran dalam kelas dan menunjukan cara
penggunaan materi pembelajaran.
Ada 22 model pembelajaran yang dikelompokan dalam empat hal, yaitu (1)
modifikasi tingkah laku, (2) proses informasi, (3) interaksi sosial, dan (4)
perkembangan pribadi (Koes, 2003: 60). Model-model ini dapat dicapai dalam tujuan
umum pembelajaran sains. Model-model yang dipilih adalah model pembelajaran
yang dapat dilaksanakan dan mempunyai dampak yang jelas pada peserta didik .
Berdasarkan bukti-bukti penelitian yang relevan.
Model-model pembelajaran yang termasuk kedalam kelompok modifikasi
tingkah laku adalah (1) model pembelajaran langsung, (2) model manajemen
20
kontigensi, (3) model pengendalian diri, dan (4) model simulasi. Model-model
pembelajaran yang termasuk kedalam kelompok proses informasi adalah (1) model
berfikir kritis, (2) model inquiri, (3) perolehan konsep, (4) model memori, (5) model
advance organizer, (6) model pelatihan inquiri, serta (7) model sinektiks. Model
pembelajaran yang dikembangkan oleh kelompok interaksi sosial yaitu : (1) model
STAD, (2) model Jigsaw, (3) model investigasi kelompok, (4) model bermain peran,
serta (5) model simulasi. Sedangkan yang termasuk kelompok model pembelajaran
perkembangan pribadi adalah pembelajaran Nondirectif.
Model-model pembelajaran ini sesungguhnya untuk membantu peserta didik
menggali informasi, ide-ide, keterampilan, nilai-nilai, cara berfikir, dan cara
mengekspresikan diri mereka sendiri. Proses informasi dalam pembelajaran lebih
menekankan pada struktur kognitif peserta didik dalam menangkap informasi yang
berasal dari pendidik, lingkungan, pemahaman konsep serta kemampuan dalam
menemukan cara pemecahan dari suatu masalah. Melalui proses informasi yang
produktif dalam struktur kognitif peserta didik untuk menghasilkan suatu kesimpulan
yang merupakan suatu konsep yang dapat digunakan untuk pemecahan terhadap suatu
masalah.
7. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengutamakan
adanya kerja sama, yakni kerjasama antar peserta didik dalam kelompok untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, peserta didik bekerja
bersama-sama untuk mempelajari dan menyelesaikan suatu masalah. Keberhasilan
21
kelompokakan tercapai hanya jika setiap anggota kelompok berhasil memahami
konsep atau materi yang diajarkan. Dengan demikian, tugas para peserta didik
bukanlah melakukan sesuatu tetapi mempelajari sesuatu sebagai sebuah kelompok,
dimana kerja kelompok dilakukan sampai semua anggota kelompok menguasai
materi yang sedang dipelajari.
Model pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar dalam
kelompok. Roger dan David Johnson dalam Lie (2008: 31-35) mengatakan bahwa
tidak semua kerja kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Untuk mencapai
hasil yang maksimal, lima unsur dalam model pembelajaran kooperatif harus
diterapkan. Kelima unsur tersebut yaitu :
a. Saling ketergantungan positif
Ketergantungan positif terjadi jika anggota-anggota kelompok merasakan bahwa
mereka berhubungan satu sama lain dalam suatu cara dimana seseorang tidak dapat
mengerjakannya kecuali bekerja bersama. Menyadari hal tersebut peran pendidik
adalah merancang dan mengkomunikasikan tujuan dan tugas kelompok dalam cara-
cara yang membantu anggota-anggota kelompok untuk mencapai pemahaman
tersebut.
b. Tanggungjawab perseorangan
Unsur ini merupakan akibat langsung dari unsur yang pertama dimana peserta
didik akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik bagi
kelompoknya. Kunci keberhasilan unsur ini adalah persiapan pendidik dalam
penyusunan tugasnya sehingga masing-masing anggota kelompok harus
22
melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar tugas selanjutnya dalam kelompok
bisa dilaksanakan.
c. Tatap muka
Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap muka dan
berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan kesempatan peserta didik untuk
membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota karena hasil pemikiran
beberapa peserta didik akan lebih kaya daripada hasil pemikiran satu peserta didik.
d. Komunikasi antar anggota
Keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan anggotanya untuk
berkomunikasi yaitu mengungkapkan pendapat mereka sekaligus menghargai
pendapat peserta didik yang lain. Proses ini merupakan proses yang sangat
bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya pengalaman belajar dan melatih
perkembangan mental dan emosional peserta didik.
e. Evaluasi proses kelompok.
Pendidik perlu mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka
agar selanjutnya peserta didik bisa bekerja sama dengan lebih efektif.
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan
pembelajaran seperti yang dikatakan Ibrahim (2000: 7), yaitu :
a. Hasil belajar akademik
Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga
memperbaiki hasil belajar peserta didik atau tugas-tugas akademis penting lainnya.
b. Penerimaan terhadap keberagaman
23
Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penenrimaan secara luas dari
orang-orang yang berbeda ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan
ketidakmampuannya.
c. Pengembangan keterampilan sosial
Tujuan penting lainnya adalah mengajarkan kepada peserta didik dalam
keterampilan bekerja sama dan berkolaborasi.
Terdapat enam langkah utama atau tahapan dalam pembelajaran kooperatif.
Pembelajaran dimulai dengan pendidik menyampaikan tujuan pelajaran dan
memotivasi peserta didik untuk belajar. Tahap ini diikuti oleh penyajian informasi.
Selanjutnya peserta didik dikelompokkan ke dalam kelompok belajar. Tahap ini
diikuti bimbingan pendidik pada saat peserta didik bekerja bersama untuk
menyelesaikan tugas bersama mereka. Tahap terakhir dari pembelajaran kooperatif
adalah presentasi hasil akhir kerja kelompok atau evaluasi tentang apa yang telah
dipelajari dan memberi penghargaan terhadap kelompok maupun individu. Enam
langkah tersebut dapat disajikan seperti dalam tabel di bawah ini :
24
Tabel 1. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif
Fase Aktivitas Pendidik Aktivitas Peserta Didik
Fase 1:Menyampaikan tujuan dan Memotivasi peserta didik
Pendidik menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi peserta didik belajar.
Peserta didik memperhatikan tujuan pembelajaran yang disampaikan oleh pendidik supaya peserta didik benar-benar mengetahui tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
Fase 2:Menyajikan Informasi
Pendidik menyajikan informasi kepada peserta didik dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
Peserta didik memperhatikan informasi yang disampaikan oleh pendidik supaya bias menyelesaikan permasalahan dalam belajar kelompok.
Fase 3:Mengorganisasikan peserta didik ke dalam kelompok belajar.
Pendidik menjelaskan kepada peserta didik bagaimana cara membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.
Peserta didik belajar kelompok sesuai dengan kelompok yang ditentukan dan saling berinteraksi untuk menyelesaikan permasalahan yang diberikan.
Fase 4:Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Pendidik membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas.
Peserta didik mendiskusikan permasalahn yang diberikan dan menentukan strategi pemecahannya,
Fase 5 : Evaluasi
Pendidik mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
Perwakilan dari kelompok mempresentasikan hasil kerja mereka dan kelompok lain menanggapi.
Fase 6 :Memberikan penghargaan
Pendidik mencari cara untuk menghargai hasil belajar individu dan kelompok.
Peserta didik mendapatkan penghargaan dari pendidik baik berupa pujian atau hadiah.
25
8. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams–Achievement Divisions
(STAD)
Student Teams–Achievement Divisions (STAD) merupakan salah satu tipe model
pembelajaran kooperatif yang paling banyak diteliti (Slavin, 2011: 143). Metode ini
juga sangat mudah untuk diterapkan dalam pembelajaran sains, dan pada tingkat
sekolah menengah sampai perguruan tinggi. Selain itu STAD adalah yang paling tepat
untuk mengajarkan pelajaran-pelajaran ilmu pasti seperti perhitungan dan penerapan
matematika, serta konsep sains. STAD didasarkan pada prinsip bahwa para peserta
didik bekerja bersama-sama dalam belajar dan bertanggung jawab terhadap belajar
teman-temannya dalam tim dan juga dirinya sendiri.
Dalam STAD, kelompok terdiri atas empat atau lima peserta didik yang mewakili
keseimbangan kelas dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, dan ras. Kelompok
merupakan tampilan yang paling penting dalam STAD, dan penting pula bagi
pendidik untuk mengarahkan anggota masing-masing kelompok. Slavin menyarankan
peringkat para peserta didik dalam kemampuan akademik dibuat terlebih dahulu.
Masing-masing kelompok akan terdiri atas seorang peserta didik dan kelompok atas,
seorang peserta didik dan kelompok bawah, dan dua orang peserta didik dengan
kemampuan rata-rata.
Pembentukan kelompok dengan cara semacam ini bertujuan agar diperoleh
kesetaraan di antara kelompok-kelompok tersebut. Keseimbangan dalam jenis
kelamin dan ras juga harus menjadi pertimbangan. Dengan demikian, masing-masing
kelompok kurang lebih sama dalam berbagai aspek. pendidik emperesentasikan
26
pelajaran dan kemudian peserta didik bekerjasama tim untuk memastikan seluruh
anggota tim telah menuntaskan pelajaran dengan baik. Akhirnya, semua peserta didik
menjalani kuis perseorangan tentang pelajaran tersebut, dan pada saat itu mereka
tidak boleh saling membantu. Adapun penghargaan yang diberikan adalah
penghargaan kelompok. Karena skor kelompok didasarkan pada kemajuan yang
diperoleh peserta didik atas nilai sebelumnya, siapapun bisa menja minggu itu.
Gagasan utama dibelakang STAD adalah memacu peserta didik agar saling
mendorong dan membantu satu sama lain untuk menguasai konsep atau materi yang
diajarkan. Jika peserta didik menginginkan kelompok mereka memperoleh hadiah,
mereka harus membantu teman sekelompok mereka dalam mempelajari materi.
Meskipun semua peserta didik belajar bersama dalam kelompok mereka, mereka
tidak boleh saling membantu dalam mengerjakan kuis yang merupakan tanggung
jawab individual. Metode ini mengaharuskan setiap peserta didik menguasai materi
sehingga dengan kemampuan. dasar yang berbeda setiap peserta didik memperoleh
kesempatan yang sama untuk berhasil.
Lima komponen utama atau tahapan dalam model pembelajaran kooperatif tipe
STAD adalah presentasi kelas, kerja kelompok, kuis, peningkatan skor kuis individu,
dan penghargaan kelompok. Adapun penjabaranya adalah sebagai berikut :
a. Presentasi Kelas
Pada tahap pertama pendidik menyajikan materi pelajaran secara garis besar.
Pada tahap ini penyajian dapat berupa ceramah atau presentasi menggunakan
audiovisual. Peserta didik harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh agar
27
memahami uraian pendidik , karena dengan begitu akan membantu mereka dalam
diskusi kelompok, sehingga mampu menjalani kuis dengan baik, dan nilai kuis itu
menentukan nilai kelompok mareka.
b. Belajar Kelompok
Setiap kelompok terdiri dari 4 atau 5 anggota yang bersifat heterogen dalam hal
kemampuan akademik, jenis kelamin, dan ras. Fungsi utama dari kelompok adalah
memastikan bahwa setiap anggota kelompok memahami masalah yang didiskusikan
oleh kelompok tersebut, sehingga saat diadakan kuis, setiap anggota kelompok
mampu meraih skor maksimal. Setelah pendidik menjelaskan materi pokok,
kelompok berdiskusi untuk membahas masalah yang diberikan. Para peserta didik
harus mengatur kursinya sehingga mereka dapat saling berhadapan dalam
kelompoknya.
Pendidik perlu mendorong para peserta didik dalam kelompok untuk
bekerjasama. Selama sesi kelompok kecil inilah para peserta didik akan saling
mengajari, dan belajar dengan temannya. Satu cara untuk mendorong kearah
pemahaman yang mendalam adalah tiap peserta didik diminta menjelaskan
jawabannya kepada teman sekelompoknya.
Kelompok merupakan yang paling penting dalam STAD. Dalam setiap langkah,
yang ditekankan adalah apa yang dilakukan anggota kelompok untuk kelompok
mereka, dan apa yang dilakukan kelompok untuk membantu anggotanya. Kelompok
menyediakan dukungan sesama teman untuk memperoleh kemajuan akademik yang
penting sebagai pengaruh pembelajaran, tetapi juga saling perhatian dan penghargaan
28
yang penting bagi hubungan antar kelompok, penghargaan diri, dan penerimaan
peserta didik yang tersingkirkan. Salah satu cara membagi peserta didik dalam
kelompok-kelompok yang disarankan oleh Slavin (2011: 152) adalah :
Kategori Akademik Rangking Nama Kelompok1 A2 B3 C
Peserta didik dengan 4 Dnilai tertinggi 5 E
5 F5 G5 H9 H10 G11 F12 E13 D14 C
Peserta didik dengan 15 Bnilai rata-rata 16 A
17 -18 -19 A20 B21 C22 D23 E24 F25 G26 H27 H28 G29 F
Peserta didik dengan 30 Enilai rendah 31 D
32 C33 B34 A
Tabel 2. Pembagian Kelompok Peserta didik
29
c. Kuis
Setelah satu atau dua kali pendidik menyampaikan materi dan dilakukan diskusi
kelompok, kemudian diadakan kuis secara individual. Setiap anggota kelompok harus
mengerjakan sendiri, tanpa bantuan anggota kelompok lainnya. Jadi setiap peserta
didik bertanggung jawab untuk memahami materi yang diajarkan.
d. Peningkatan Skor Kuis Individu
Setelah diberikan kuis, sesegera mungkin pendidik menentukan peningkatan skor
individu dan skor kelompok. Gagasan utama yang mendasari bentuk skor
peningkatan ini adalah untuk memberikan dorongan pada peserta didik agar berupaya
mencapai perolehan hasil belajar yang maksimal. Hal ini dapat dicapai jika peserta
didik tersebut bekerja lebih baik dan diharapkan memperoleh hasil belajar yang lebih
baik daripada perolehan hasil belajar yang didapat sebelumnya. Setiap peserta didik
bisa menyumbang skor maksimal untuk kelompok mereka. Setiap peserta didik akan
diberikan skor “awal”, dan kemudian akan dibanding mereka. Adapun aturan
pemberian skor peningkatan individu menurut Slavin (2011: 159) adalah sebagai
berikut:
Tabel 3. Konversi Skor Perkembangan
Kriteria Skor Peningkatan
Lebih dari 10 poin di bawah skor awal 510 poin di bawah sampai 1 poin di bawah skor awal 10Skor dasar sampai 10 poin di atas skor awal 20Lebih dari 10 poin di atas skor awal 30Pekerjaan sempurna (tanpa memperhatikan skor awal) 30
30
e. Penghargaan Kelompok
Sebuah kelompok akan memperoleh suatu penghargaan jika skor rata-rata
kelompok tersebut sesuai dengan kriteria. Skor kelompok menurut Slavin (2011: 160)
dihitung dari rata-rata skor perkembangan anggota kelompok. Predikat yang
diberikan kepada kelompok disajikan dalam tabel berikut :
Kriteria (Rata-rata Kelompok) Penghargaan5 ≤ x < 1515 ≤ x < 2525 ≤ x ≤ 30
Kelompok BaikKelompok Sangat Baik
Kelompok SuperTabel 4. Penghargaan Kelompok
Model pembelajaran kooperatif tipe STAD ini memiliki dua dampak sekaligus
pada diri para peserta didik , yakni dampak instruksional (instructional effecs) dan
dampak sertaan (nuturance effects). Dampak instruksional dilambangkan oleh anak
panah, sedangkan dampak sertaan dilambangkan oleh anak panah garis putus-putus
sebagai berikut :
Gambar 1. Dampak model pembelajaran kooperatif tipe STAD terhadap peserta didik
31
9. Pendekatan Realistic Mathematics Educations (RME)
a. Landasan Filosofi RME
Sejak tahun 1971, Institut Freudental mengembangkan suatu pendekatan teoretis
terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan Realistic Mathematics
Education (RME). Teori ini berlandaskan pada filosofi matematika sebagai aktivitas
manusia (mathematics as human activity) yang dicetuskan oleh Hans Freudental.
(Wijaya, 2012: 20) Pernyataan “matematika merupakan suatu bentuk aktivitas
manusia” menunjukkan bahwa Fruedenthal tidak menempatkan matematika sebagai
suatu produk jadi, melainkan sebagai bentuk aktivitas atau proses. Menurut
Freudenthal matematika sebaiknya tidak diberikan kepada siswa sebagai suatu produk
jadi yang siap pakai, melainkan sebagai suatu bentuk kegiatan dalam mengkontruksi
konsep matematika.
RME merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika di Belanda.
Kata “realistik” sering disalahartikan sebagai sebagai “real-world”, yaitu dunia nyata.
banyak pihak yang menganggap bahwa RME adalah suatu pendekatan pembelajaran
yang harus selalu menggunakan masalah sehari-hari. Penggunaan kata “realistik”
sebenarnya berasal dari bahasa Belanda “zich realiseren” yang berarti “untuk
dibayangkan” atau “to imagine” Van den Heuvel- Panhuizen, (Wijaya, 2012: 20)
Penggunaan kata “realistik” tersebut tidak sekedar menunjukkan adanya suatu
koneksi dengan dunia nyata (real-world) tetapi lebih mengacu pada fokus Pendidikan
Matematika Realistik dalam menempatkan penekanan penggunaan suatu situasi yang
bisa dibayangkan (imagineable) oleh siswa.
32
Kebermaknaan konsep matematika merupakan konsep utama dari RME. Proses
belajar siswa hanya akan terjadi jika pengetahuan (knowledge) yang dipelajari
bermakna bagi siswa (Freudenthal dalam Wijaya, 2012: 20) Suatu pengetahuan akan
menjadi bermakna bagi siswa jika proses pembelajaran dilaksanakan dalam suatu
konteks atau pembelajaran menggunakan permasalahan realistik. Suatu permasalahan
realistik tidak harus selalu berupa masalah yang ada di dunia nyata (real-world
problem) dan bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari siswa. Suatu masalah
disebut “realistik” jika masalah tersebut dapat dibayangkan (imagineable) atau nyata
(real) dalam pikiran siswa. Suatu cerita rekaan, permainan atau bahkan bentuk formal
matematika bisa digunakan sebagai masalah realistik.
RME menggabungkan pandangan tentang “apa itu matematika, bagaimana siswa
belajar dan bagaimana matematika harus diajarkan ”Freudenthal berkeyakinan bahwa
siswa tidak boleh dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi.
Pendidikan matematika harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai
situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka
sendiri. Siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman matematika ke
tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas matematik siswa
dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah pada level berpikir
matematik yang lebih tinggi. Selama proses pembelajaran, siswa perlu
mengembangkan ide-ide mereka dan dengan cara menghubungkannya dengan apa
yang ada disekeliling mereka sehingga siswa dapat terlibat dalam proses
pembelajaran secara bermakna.
33
b. Definisi dan karakteristik RME
Realistic Mathematics Education adalah suatu pendekatan yang memandang
matematika sebagai suatu kegiatan manusia (human activities) dan belajar
matematika sebagai suatu kegiatan matematika (doing of mathematics). RME
merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk
matematika. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa RME adalah
pendekatan pembelajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang riil bagi siswa.
Treffers dalam Wijaya (2012: 21-23) merumuskan lima karakteristik Pendidikan
Matematika Realistik, yaitu:
1) Penggunaan konteks
Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal pembelajaran
matematika. Konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata namun bisa dalam
bentuk permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut
bermakna dan bisa dibayangkan dalam pikiran siswa. Melalui penggunaan konteks,
siswa dilibatkan secara aktif untuk melakukan kegiatan eksplorasi permasalahan.
Hasil eksplorasi siswa tidak hanya bertujuan untuk menemukan jawaban akhir
dari permasalahan yang diberikan, tetapi juga diarahkan untuk mengembangkan
berbagai strategi penyelesaian masalah yang bisa digunakan. Manfaat lain
penggunaan konteks di awal pembelajaran adalah untuk meningkatkan motivasi dan
ketertarikan siswa dalam belajar matematika. Pembelajaran yang langsung diawali
dengan penggunaan matematika formal cendrung akan menimbulkan kecemasan
matematika (mathematic anxiety).
34
2) Penggunaan model untuk matematisasi progresif
Dalam RME, model digunakan dalam melakukan matematisasi secara progresif.
Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan (bridge) dari pengetahuan dan
matematika tingkat konkrit menuju pengetahuan matematika tingkat formal.
3) Pemanfaatan hasil konstruksi siswa
Mengacu pada pendapat Freudenthal bahwa matematika tidak diberikan kepada
siswa sebagai suatu produk yang siap pakai tetapi sebagai konsep yang dibangun oleh
siswa maka dalam RME siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Karakteristik ke
tiga dari RME ini tidak hanya bermanfaat dalam membantu siswa memahami konsep
matematika, tetapi juga sekaligus mengembangkan aktivitas dan kreativitas siswa.
4) Interaktivitas
Proses belajar seseorang bukan hanya suatu proses individu melainkan juga
secara bersamaan merupakan suatu proses sosial. Proses belajar siswa akan menjadi
lebih singkat dan bermakna ketika siswa saling mengkomunikasikan hasil kerja dan
gagasan mereka.
Pemanfaatan interaksi dalam pembelajaran matematika bermanfaat dalam
mengembangkan kemampuan kognitif dan afektif siswa secara simultan. Kata
“pendidikan” memiliki implikasi bahwa proses yang berlangsung tidak hanya
mengajarkan pengetahuan yang bersifat kognitif, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai
untuk mengembangkan potensi alamiah afektif siswa.
5) Keterkaitan
35
Konsep-konsep dalam matematika tidak bersifat parsial, namun banyak konsep
matematika yang memilki keterkaitan. Oleh karena itu, konsep-konsep matematika
tidak dikenalkan kepada siswa secara terpisah atau terisolasi satu sama lain. RME
menempatkan keterkaitan (intertwinement) antar konsep matematika sebagai hal yang
harus dipertimbangkan dalam proses pembelajaran. Melalui keterkaitan ini, satu
pembelajaran matematika diharapkan bisa mengenalkan dan membangun lebih dari
satu konsep matematika secara bersamaan (walau ada konsep yag dominan).
Berdasarkan karakteristik RME tersebut dapat disimpulkan bahwa konteks
permasalahan realistik pada RME tidak harus selalu berupa masalah yang ada di
dunia nyata dan bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari siswa, namun bisa
dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut
bermakna dan bisa dibayangkan dalam pikiran siswa.
10. Penerapan model Kooperatif Tipe STAD berbasis RME.
Pembelajaran kooperatif tipe STAD yang didasari pada kerja kelompok/ diskusi
memang dapat menumbuhkan kemampuan siswa dalam kerja sama. Tetapi
pembelajaran dengan model STAD cenderung akan membuat siswa bingung dan
susah dalam menjalani pembelajaran tersebut. Hal ini terjadi karena pengemasan
model pembelajaran yang masih bersifat kaku dan umum. Maka model ini dapat
dikembangkan agar pembelajaran menjadi lebih optimal dan menyenangkan bagi
siswa.
Model pembelajaran ini dapat dikembangkan dengan pendekatan Realistic
Mathematic Education (RME) yang mengutamakan pembelajaran menggunakan
36
benda konkrit sebagai medianya. Dengan menggunakan benda konkrit, siswa dapat
lebih mudah memahami suatu keadaan atau materi yang dipelajari. Hal ini sesuai
dengan pendapat Piaget (Aisyah: 2007) bahwa siswa pada sekolah dasar (7-12 tahun)
dalam tahap periode operasional konkrit. Pada tahap ini siswa pekerjaan yang
menggunakan logika dapat dilakukan dengan berorientasi ke obyek-obyek atau
peristiwa-peristiwa yang langsung dialami siswa, dan berfikir logikanya didasarkan
atas manipulasi fisik dari obyek-obyek. Maka tepat bila pembelajaran kooperatif tipe
STAD dikembangkan dengan pendekatan RME agar lebih optimal dan
menyenangkan bagi siswa.
Pengembangan yang dilakukan dilakukan pada proses pembelajaran STAD itu
sendiri. Terutama pada tahapan materi dan diskusi. Pada tahap materi, guru dapat
menjelaskan materi pembelajaran dengan menggunakan benda konkrit sebagai media
pembelajarannya. Sehingga sebelum melakukan suatu diskusi mandiri siswa sudah
memahami dan mempunyai bekal yang cukup untuk menjalankan tugas nantinya.
Selain pada tahap materi, pengembangan dengan pendekatan Realistic
Mathematic Education (RME) juga dapat dilakukan pada tahap diskusi. Pada tahap
ini dapat dilakukan dengan mendesain diskusi menggunakan media yang menarik dan
nyata. Tentu dengan menggunakan media yang membatasi agar siswa tetap pada
lingkup STAD yang mengutamakan kerjasama kelompok. Dengan penggunaan media
nyata dalam diskusi diharapkan dapat meningkatkan minat siswa untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan.
37
Dengan penggunaan pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) melalui
pembelajaran kooperatif tipe STAD, diharapkan pembelajaran dapat berlangsung
dengan optimal. Pembelajaran yang dilakukan dengan benda konkrit dan desain
permainan dapat menimbulkan minat dan keinginan siswa untuk mengikuti dan
memahami materi pembelajaran.
11. Syntax Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD berbasis
RME
Slavin dkk dalam Widyantini (2008:7) menerangkan syntak penerapan
pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah sebagai berikut.
a. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dalam pembelajaran
dan memotivasi siswa untuk belajar.
b. Guru menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa sesuai kompetensi dasar
yang akan dicapai. Guru dapat menggunakan berbagai pilihan dalam
menyampaikan materi pembelajaran ini kepada siswa. Misal, menggunakan
media melalui pendekatan Realistic Mathematic Education (RME). Langkah ini
tidak harus dilakukan dalam satu kali pertemuan, tetapi dapat lebih dari satu.
c. Guru membentuk beberapa kelompok dan memberikan permasalahan dengan
bantuan media yang sehari-hari ditemui siswa. Setiap kelompok terdiri dari 4 – 5
anggota, dimana anggota kelompok mempunyai kemampuan akademik yang
berbeda-beda (tinggi, sedang, dan rendah). Jika mungkin, anggota kelompok
38
berasal dari budaya atau suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan
gender.
d. Guru memberikan tugas kepada kelompok berkaitan dengan materi yang telah
diberikan, mendiskusikannya secara bersama-sama, saling membantu
antaranggota lain, serta membahas jawaban tugas yang diberikan guru. Tujuan
utamanya adalah memastikan bahwa setiap kelompok dapat menguasai konsep
dan materi. Bahan tugas untuk kelompok dipersiapkan oleh guru agar kompetensi
dasar yang diharapkan dapat dicapai.
e. Guru memberikan tes kepada setiap siswa secara individu
f. Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman (kesimpulan),
mengarahkan, dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah
dipelajari.
g. Guru memberi penghargaan kepada kelompok berdasarkan perolehan nilai baik
hasil kegiatan diskusi maupun hasil belajar individual.
7. Kerangka Berpikir
Banyak cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan hasil belajar siswa,
diantaranya adalah memilih strategi, pendekatan dan model belajar serta penggunaan
media dan sumber belajar, agar tujuan pembelajaran yang diterapkan guru kepada
siswanya dapat dicapai dengan baik. Salah satu pendekatan dan model belajar yang
memadukan antara kekompakan dalam kerjasama dan pengalaman nyata pada
kegiatan pembelajaran adalah pendekatan Realistic Mathematic Education (RME)
39
melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD. Alasannya pendekatan Realistic
Mathematic Education (RME) digunakan untuk mengajak siswa mengenali materi
pembelajaran dengan pengalaman nyata. Sehingga siswa dalam memahami materi
pembelajaran akan lebih bermakna dan tidak mudah lupa. Sedangkan pembelajaran
kooperatif tipe STAD menginginkan kegiatan pembelajaran dilakukan dengan cara
berkelompok. Sesuai dengan karakteristik dari pendekatan realistis yaitu interaktif
dimana terjadi hubungan antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa. Hal
ini yang dapat memadukan antara pendekatan Realistic Mathematic Education
(RME) melalui pembelajaran kooperatif tipe STAD.
Pendekatan Realistic Mathematic Education (RME) melalui pembelajaran
kooperatif tipe STAD diharapkan memberikan pengalaman baru baik bagi guru
maupun siswa dalam proses belajar dan menambah pengetahuannya tentang
pembelajaran matematika. Selain itu pembelajaran akan lebih mudah dipahami
dibandingkan dengan pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran
konvensional. Dari pembelajaran yang baik diharapkan melalui model pembelajaran
yang baru dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VIIA MTS NEGERI PARE-
PARE khususnya dalam pembelajaran matematika.
8. Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe Student Teams–Achievement Divisions (STAD ) dengan pendekatan
40
Realistic Mathematics Education (RME) dapat meningkatkan hasil belajar siswa
kelas VIIA SMP Negeri
41
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau
Classroom Action Research (CAR). Penelitian ini merupakan penelitian yang sifatnya
kolaboratif karena adanya kerjasama antara peneliti dengan pendidik mata pelajaran
matematika kelas VIIA MTS NEGERI PARE-PARE Negeri.
Penelitian ini adalah penilaian praktis yang bertujuan untuk memperbaiki kekurangan-
kekurangan dalam pembelajaran dikelas, dengan cara melakukan tindakan-tindakan agar
dapat memperbaiki atau meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran, mengatasi
masalah pembelajaran, dan menumbuhkan budaya akademik (Arikunto, 2006: 61). Tindakan
yang direncanakan berupa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD guna
meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas VIIA MTS NEGERI PARE-PARE
Negeri.
2. Model Penelitian
Tujuan utama PTK adalah untuk peningkatan dan perbaikan layanan
profesionalisme guru dalam menangani proses belajar mengajar (PBM). Model
penelitian tindakan kelas ini menggunakan model Kemmis dan Mc Taggart (2010:
53) yang setiap siklus/penelitiannya terdiri atas tiga langkah, yaitu perencanaan,
40
42
tindakan dan pengamatan, serta refleksi. Secara rinci ditunjukkan dalam gambar
berikut ini :
Gambar 3.1Model Proses menurut Kemmis dan Taggart
3. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas VIIA MTS Negeri Pare-pare.
4. Faktor Yang Akan Diselidiki
Faktor yang akan diselidiki dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Faktor input: Yaitu proses pembelajaran matematika menggunakan model kooperatif
tipe STAD dengan pendekatan RME
b. Faktor output:
1) Respons siswa terhadap pembelajaran matematika menggunakan model kooperatif
tipe STAD dengan pendekatan RME
43
2) Hasil belajar siswa setelah pembelajaran dengan menggunakan model kooperatif
tipe STAD dengan pendekatan RME.
B. Prosedur Penelitian
Penelitian rencananya dilaksanakan dalam dua siklus, akan tetapi apabila hasil
yang diperoleh belum memenuhi indikator keberhasilan yang telah ditetapkan, maka
dilanjutkan untuk siklus berikutnya. Siklus akan berakhir jika hasil penelitian yang
diperoleh sudah sesuai dengan indikator keberhasilan penelitian. Secara rinci, uraian
kegiatan yang dilakukan dalam penelitian tindakan kelas tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Perencanaan Tindakan
Setelah mengetahui permasalahan yang ada di sekolah melalui observasi dan
wawancara dengan pendidik mata pelajaran yang bersangkutan, serta telah tercapai
kesepakatan antara peneliti dengan pendidik matematika kelas VIIA MTS NEGERI
PARE-PARE Negeri, maka peneliti mulai menyusun rencana tindakan. Adapun
kegiatan perencanaan meliputi penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP), Lembar Kegiatan Siswa (LKS), lembar observasi, soal kuis, dan tes siklus,
angket respon siswa.
b. Pelaksanaan Tindakan dan Observasi
Hal-hal yang dilakukan pada tahap pelaksanaan tindakan adalah implementasi
rencana yang telah disusun oleh peneliti sebelumnya pada tahap perencanaan.
Pendidik melaksanakan kegiatan pembelajan sesuai dengan RPP, sedangkan peneliti
44
dan observer akan melakukan observasi terhadap kegiatan pembelajaran. Tindakan
yang dilakukan sifatnya fleksibel dan terbuka terhadap perubahan-perubahan yang
terjadi dikelas.
Perubahan-perubahan tersebut dicatat dalam lembar observasi serta catatan
lapangan. Observasi dilakukan untuk melihat pelaksanaan proses pembelajaran sesuai
dengan tahapan-tahapan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan
pendekatan RME. Beberapa hal yang diamati selama observasi meliputi presentasi
kelas, belajar kelompok, kuis, peningkatan skor individu, dan penghargaan kelompok.
c. Refleksi
Setelah tindakan dan observasi dilakukan, tahapan selanjutnya adalah refleksi.
Dalam refleksi ini, dianalisis apakah proses pembelajaran sudah sesuai dengan
tahapan-tahapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbasis RME, dan
seberapa besar peningkatan hasil belajar siswa SMP Negeri. Jika belum sesuai yang
diharapkan, maka dibuat rencana perbaikan pembelajaran untuk siklus selanjutnya.
C. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Lembar Observasi Pelaksanaan Pembelajaran
Lembar observasi memuat langkah-langkah pembelajaran matematika sesuai
dengan ketentuan STAD serta observasi terhadap aktivitas siswa dalam pembelajaran.
2. Tes
Tes dilakukan pada setiap akhir siklus dan dilakukan secara tertulis. Tes ini untuk
45
mengetahui tingkat pemahaman konsep matematika peserta didik setelah peserta
didik sebelumnya melakukan kegiatan pembelajaran.
3. Catatan Lapangan
Catatan lapangan berisi tentang aktivitas pembelajaran yang berlangsung di
dalam kelas mulai dari siklus I dengan akhir siklus.
4. Angket Respon Siswa
Angket yang akan digunakan adalah angket tertutup dengan alternatif jawaban yaitu sangat
setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak setuju. Angket memuat pertanyaan terhadap tanggapan
siswa setelah pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD dengan pendekatan
RME.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Observasi
Observasi digunakan untuk mengukur tingkahlaku individu ataupun proses
pembelajaran yang berlangsung dengan STAD berbasis RME. Observasi dilakukan
dengan menggunakan lembar observasi yang telah dipersiapkan.
2. Tes
Tes merupakan alat untuk mengumpulkan data kuantitatif. Soal tes memuat
aspek-aspek materi dan penilaiannya sesuai dengan pedoman penilaian yang telah
ditetapkan. Tes digunakan untuk mengetahui hasil belajar siswa kelas VIIA MTs
Negeri Pare-pare dari siklus I ke siklus berikutnya.
46
3. Catatan Lapangan
Catatan lapangan berisi catatan tentang detail proses pembelajaran yang terjadi
selama proses pembelajaran STAD berbasis RME berlangsung.
Angket Respon Siswa
Angket merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengajukan
pertanyaan tertulis untuk dijawab secara tertulis pula oleh responden. Angket respon
siswa digunakan untuk mengetahui tanggapan siswa terhadap pembelajaran dengan
menggunakan model kooperatif tipe STAD dengan pendekatan RME.
E. Teknik Analisis Data dan Indikator Keberhasilan
1. Teknik Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dimulai dari analisis terhadap aktivitas siswa
dalam proses pembelajaran dan hasil belajar pada pelajaran Matematika tentang.
Analisis data akan merangkum data secara akurat. Data yang dianalisis adalah aspek
siswa yang terdiri atas aktivitas saat proses belajar mengajar berlangsung, respon
siswa terhadap pembelajaran, dan hasil belajar siswa setelah pembelajaran dengan
model kooperatif tipe STAD dengan pendekatan RME.
a. Analisis Data Observasi aktivitas Siswa
Data hasil observasi dianalisis untuk mengetahui aktivitas siswa yang berpedoman
pada lembar observasi aktivitas siswa. Penilaian dilihat dari hasil skor pada lembar
observasi yang digunakan. Persentase diperoleh dari skor pada lembar observasi
dikualifikasikan untuk menentukan seberapa besar aktivitas siswa dalam mengikuti
47
proses pembelajaran. Untuk setiap siklus persentase diperoleh dari rata-rata persentase
aktivitas siswa pada tiap pertemuan. Hasil data observasi ini dianalisis dengan pedoman
kriteria sebagai berikut:
Tabel kriteria aktivitas siswa
Persentase Kriteria
75% - 100%
50% - 74,99%
25% - 49,99%
0% - 24,99%
Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Cara menghitung persentase aktivitas siswa (Sugiyono, 2001:81) berdasarkan
lembar observasi untuk tiap pertemuan adalah sebagai berikut:
Persentase = X 100%
b. Analisis Data Angket Respon Siswa
Angket respon siswa terdiri dari 14 butir pertanyaan dengan rincian 12 butir
pertanyaan positif (+) ada 2 butir pertanyaan negatif (-). Penskoran angket untuk butir
(+) adalah 4 untuk jawaban selalu, 3 untuk jawaban sering, 2 untuk jawaban kadang-
kadang dan 1 untuk jawaban tidak pernah. Untuk butir (-) adalah skor 1 untuk
jawaban selalu, 2 untuk jawaban sering, 3 untuk jawaban kadang-kadang dan 4 untuk
jawaban tidak pernah. Data hasil angket dibuat kualifikasi dengan kriteria sebagai
berikut:
48
Tabel kriteria respon siswa
Persentase Kriteria
75% - 100%
50% - 74,99%
25% - 49,99%
0% - 24,99%
Sangat Tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Cara menghitung prersentase angket respon siswa (Sugiyono, 2001:81)
berdasarkan angket respon siswa terhadap pembelajaran matematika adalah sebagai
berikut:
Persentase = X 100%
c. Analisis Data Hasil Belajar Siswa
Hasil tes siswa dianalisis untuk menentukan peningkatan ketuntasan siswa, nilai
individu, skor kelompok dan penghargaan kelompok. Peningkatan ketuntasan
mengikuti ketentuan sekolah bahwa ”siswa dinyatakan lulus dalam setiap tes jika
nilai yang diperoleh 70 dengan nilai maksimal 100”.
Tabel tingkat keberhasilan Arikunto (2006)
Taraf keberhasilan Kualifikasi
85 – 100 Sangat Baik
65 – 84 Baik
55 – 64 Cukup
35 – 54 Kurang
0 – 34 Sangat Kurang
49
2. Indikator Keberhasilan
a. Indikator proses: Penelitian dikatakan berhasil apabila aktivitas yang ditunjukkan
siswa, mencapai kriteria aktivitas minimal 80% langkah pembelajaran terlaksana.
Kriteria aktivitas siswa 80% berada pada rentang 75%-100% tabel kriteria
aktivitas siswa, dengan kualifikasi ‘sangat baik’.
b. Indikator hasil:
1) Tindakan dikatakan berhasil bila minimal 75% siswa telah memperoleh nilai
minimal 70 setelah pelaksanaan pembelajaran dengan model kooperatif tipe
STAD berbasis RME.
2) Model pembelajaran dikatakan memliki pengaruh jika respon siswa terhadap
pembelajaran, mencapai kriteria respon siswa minimal 80%. Kriteria respon
siswa 80% berada pada rentang 75%-100% tabel kriteria respon siswa, dengan
kualifikasi ‘sangat baik’.