LEMBAH BESOA: TEKTONIK DAN SITUS
Transcript of LEMBAH BESOA: TEKTONIK DAN SITUS
75 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
LEMBAH BESOA: TEKTONIK DAN SITUS (Besoa Valley: Tectonics and Sites) Muh. Fadhlan S. Intan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Jl. Raya Condet Pejaten No. 4 Jakarta Selatan 12510, e-mail: [email protected]
INFO ARTIKEL
Histori Artikel Diterima: 3 Juli 2018 Direvisi: 6 Agustus 2018 Disetujui:5 November 2018
Keyword
Geology, Megalithic site, Besoa Valley, Tectonic, fault
Kata Kunci Geologi, Situs megalitik, Lembah Besoa, Tektonik, sesar
ABSTRACT
Besoa Valley (Poso, Central Sulawesi) has a lot of remains of megalithic culture, which has not been considered by environmental researchers, especially geoarchaeology. Thus, it is necessary to do surface geological mapping in general as one of the efforts to present geological information related to the Besoa Valley Megalithic site. The aim is to find out the geomorphological, stratigraphic and geological structures in the region. Research methods are carried out through literature review, surveys, field data analysis and interpretation. Environmental observations provide information about morphology, constituent rocks, and geological structures of the Besoa Valley. There are ten megalithic sites in the Besoa Valley. Tectonic activities and geological structures that trigger natural disasters are nine elements, one of which is the Palu-Koro Fault. The quite active tectonic plate shift in the Palu-Koro Fault, making the Megalithic region of the Besoa Valley, is prone to earthquakes. Geoarchaeological research in the Besoa Valley, will provide benefits in the knowledge of human wisdom at that time, in an effort to adapt to the conditions of the surrounding natural environment, where the Besoa Valley is an integral part of the Palu-Koro Fault.
ABSTRAK
Lembah Besoa (Poso, Sulawesi Tengah) banyak menyimpan tinggalan budaya megalitik, yang selama ini belum diperhatikan oleh peneliti lingkungan, khususnya geoarkeologi. Dengan demikian, perlu dilakukan pemetaan geologi permukaan secara umum sebagai salah satu upaya menyajikan informasi geologi terkait dengan situs Megalitik Lembah Besoa. Tujuannya adalah untuk mengetahui aspek-aspek geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi di wilayah tersebut. Metode penelitian dilakukan melalui kajian pustaka, survei, analisis data lapangan dan interpretasi. Pengamatan lingkungan memberikan informasi tentang morfologi, batuan penyusun, dan stuktur geologi Lembah Besoa. Terdapat sepuluh situs megalitik di Lembah Besoa. Kegiatan tektonik dan struktur geologi yang memicu terjadinya bencana alam ada sembilan unsur, salah satunya adalah Patahan Palu-Koro. Pergeseran lempeng tektonik yang cukup aktif di Sesar Palu-Koro, membuat wilayah Megalitik Lembah Besoa, rawan terhadap gempa bumi. Penelitian geoarkeologi di Lembah Besoa, akan memberikan manfaat dalam pengetahuan tentang kearifan manusia pada masa itu, dalam upaya menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan alam sekitarnya, dimana Lembah Besoa merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Patahan Palu-Koro.
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 76
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara
kepulauan yang terletak pada pertemuan
empat lempeng yaitu Lempeng Eurasia,
Indo-Australia, Pasifik, dan Laut Filipina
(Hall, 2002:353-431). Pertemuan keempat
lempeng tersebut mengakibatkan
terbentuknya tatanan tektonik yang rumit.
Di wilayah Indonesia bagian timur tatanan
tektoniknya melibatkan lempeng utama,
mikro kontinen, dan busur kepulauan.
Daerah Sulawesi merupakan bagian dari
wilayah Indonesia bagian timur yang
memiliki tatanan tektonik rumit (Supartoyo
dkk., 2014:111-128).
Secara fisiografis daerah Lembah
Besoa ini termasuk dalam kawasan
Pegunungan Poso dengan curah hujan
yang relatif rendah, dan secara
administratif termasuk dalam wilayah
Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso,
Provinsi Sulawesi Tengah dengan
keletakan geografis berada antara
01°41'00" - 01°44'00" Lintang Selatan dan
120°11'30" - 120°16'00" Bujur Timur, dan
memiliki luas sekitar 976,37 Km2 atau
11,21% dari luas Kabupaten Poso (Sofyan,
dkk., 2004; Sofyan dkk, 2007:119-130).
Lokasi penelitian tercantum pada Peta
Rupa Bumi Lembar 2114-13 (LAWUA),
dan Lembar 2114-14 (DODA), berskala 1:
50.000.
Secara umum, daerah Lembah
Besoa merupakan daerah dengan
lingkungan vegetasi yang terbuka, dan
hanya ditumbuhi oleh jenis-jenis semak
belukar (berbatang rendah). Jenis pohon
(berbatang tinggi) ditemukan hidup
mengelompok pada tempat-tempat yang
agak cekung, di lereng-lereng lembah,
serta di pinggir-pinggir sungai. Berbeda
halnya dengan kondisi lingkungan vegetasi
yang tumbuh di daerah perbukitan atau
pengunungan yang mengelilingi lembah
ini, di daerah perbukitan dan pegunungan
keadaan vegetasinya tertutup karena
didominasi oleh jenis tumbuhan berbatang
tinggi (pohon) atau merupakan lingkungan
vegetasi hutan (Sofyan, dkk., 2004; Sofyan
dkk, 2007:119-130).
Iksam (2005) menyatakan bahwa
penelitian peninggalan arkeologi di
Sulawesi Tengah telah dilakukan oleh para
peneliti bangsa Eropa sejak akhir abad ke-
19, yang dimulai oleh Adriani dan A.C.
Kruyt dalam tulisannya Van Poso naar
Parigi een Lindoe pada tahun 1898.
Kemudian pada tahun 1938 Kruyt
menerbitkan tulisannya De West Toradjas
in Midden Celebes (Iksam, 2005). Walter
Kaudern, seorang peneliti berkebangsaan
Swedia pada tahun 1938 menerbitkan
tulisannya Megalithic Finds in Central
Celebes dan sebuah tulisan tentang
77 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
etnografi Structure and Settlements in
Central Celebes (Iksam, 2005).
Penelitian geologi detail secara
khusus di Lembah Besoa belum pernah
dilaksanakan, namun secara regional, baik
untuk Sulawesi Tengah, maupun Sulawesi
secara umum. Tercatat beberapa peneliti
geologi tersebut adalah, Reyzer, (1920);
Brouwer, (1934); Bemmelen (1949);
Katili, (1978); Hamilton, (1979); Jezek,
dkk., (1981); Silver, dkk., (1983);
Hutchison, (1989); Smith, dkk., (1991);
Simanjuntak, ( 1993); Simanjuntak, dkk.,
(1997); Endharto, (2000); Hall, dkk.,
(2000); Bellier, dkk., (2001); Hall, (2002);
Permana, (2005); Kertapati, (2006);
Supartoyo, dkk., (2008); Kaharuddin, dkk.,
(2011); Sompotan, (2012) dan; Supartoyo,
dkk., (2014). Para peneliti geologi ini,
membahas tentang geologi secara umum,
struktur geologi, dan kegempaan.
Dari penelitian-penelitian geologi
tersebut, penulis mencoba melakukan
pengamatan di Lembah Besoa dengan
pendekatan geoarkeologi, yaitu hubungan
situs dengan lingkungan, dan faktor-faktor
apa, sehingga masyarakat pendukung
Megalitik Lembah Besoa, memilih lokasi
tersebut sebagai pemukiman, yang
tinggalannya masih dapat kita temukan
hingga saat ini.
Batasan masalah dalam penelitian
ini adalah mengkaji lingkup kawasan
megalitik Lembah Besoa. Rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah a)
bagaimana kondisi bentang alam daerah
telitian (satuan geomorfik, pola dan stadia
sungai); b) bagaimana stratigrafi
(formasi geologi) daerah telitian
(kontak antar satuan batuan); dan c)
bagaimana struktur geologi daerah telitian
(struktur geologi apa saja yang mengontrol
daerah telitian). Tujuannya adalah untuk
melakukan pemetaan geologi sehingga
aspek geomorfologi, stratigrafi, dan
struktur geologi, serta keletakan Lembah
Besoa terhadap patahan Palu-Koro dapat
diketahui.
METODE
Metode penelitian yang digunakan
adalah 1) kajian pustaka, dengan
mempelajari lokasi penelitian dari peneliti
terdahulu, melalui buku, jurnal, maupun
dari internet; 2) survei, dengan mengamati
keadaan geomorfologinya yang mencakup
bentuk bentang alam, dan bentuk sungai.
Selanjutnya analisis litologi yang
mencakup jenis batuan, batas penyebaran
batuan, dan urut-urutan pengendapan.
Selama survei akan dilakukan
pengambilan sampel batuan yang akan di
klasifikasi secara petrologi, dan
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 78
pembuatan peta (geologi, geomorfologi).
Langkah analisis akan disesuaikan dengan
kebutuhan dan urutan kerja geologi, yaitu:
litologi, sampel batuan dianalisis melalui
petrolog; unsur batuan yang di analisis
adalah jenis batuan, warna, kandungan
mineral, tekstur, struktur, fragmen,
matriks, semen. Hasil analisis diharapkan
akan memberikan informasi mengenai
jenis batuan (batuan beku, batuan sedimen
dan batuan metamorf) dan nama batuan
(andesit, batugamping, sekis dan lain
sebagainya).
Geomorfologi, penentuan bentuk
bentang alam akan mengunakan Sistem
Desaunettes (1977); (Todd (1980), yang
didasarkan atas besarnya kemiringan
lereng dan beda tinggi relief suatu tempat.
Hasilnya adalah pembagian wilayah
berdasarkan ketinggian dalam bentuk
persentase kemiringan lereng. Pengamatan
sungai dilakukan untuk melihat pola
pengeringan (drainage basin), misalnya
klasifikasi berdasarkan atas kuantitas air,
pola dan stadia sungai.
Struktur geologi, pengamatan struktur
geologi di lapangan akan dilanjutkan
melalui analisis jenis struktur, misalnya
patahan (fault) apakah jenis patahan
normal (normal fault), patahan naik (thrust
fault), patahan geser (strike fault) dan
sebagainya. Lipatan (fold) apakah sinklin
ataukah antiklin. Kekar (joint) apakah
kekar tiang (columnar joint) atau kekar
lembar (sheet joint).
Data dari kajian pustaka dengan
hasil lapangan dan laboratorium
dikompilasikan dengan hasil penelitian
penulis, sebagai bahan interpretasi peta
geologi dan peta topografi kawasan
Lembah Besoa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Geologi Megalitik Lembah Besoa
Sulawesi Tengah merupakan pusat
dari ke empat lengan Sulawesi,
mempunyai bentuk baji dengan alas pada
bagian pantai barat dan menuju ke arah
Teluk Tomini dan Teluk Tolo di bagian
timur (Bemmelen, 1949). Pada bagian
timur laut, daerah ini dibatasi oleh poros
yang berarah baratlaut-tenggara, mulai
dari Donggala melalui Parigi dan Lamoro
sampai Teluk Tomori yang memisahkan
bagian tengah dengan lengan utara dan
lengan timur. Di bagian tenggara dibatasi
oleh poros baratdaya-timurlaut dari
Majene melalui Palopo sampai Dongi pada
Teluk Tomori, yang memisahkan daerah
bagian tengah dengan Lengan Selatan dan
Lengan Tenggara (Brouwer, 1934;
Bemmelen, 1949) membedakan Sulawesi
Tengah menjadi tiga busur struktur dengan
arah dari utara-selatan, yaitu:
79 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
Busur Barat, disebut dengan Palu Zone
terletak di antara pantai barat dan
Middle Line. Batas struktur ini
memanjang dari Masamba di selatan
sampai Malakosa di Teluk Tomini,
sepanjang tepi barat dari graben atau
Cekungan Tawaelia.
Busur Tengah, disebut juga Poso Zone,
mempunyai rentangan di antara garis
menengah dan garis utara-selatan dari
Lemoro pada tikungan Poso melalui
Peleru sampai Pegunungan Verbeek di
Lengan Selatan.
Busur Timur, dibatasi oleh lintas
Lemoro-Peleru; Lemoro-Teluk Tomini
dan Pegunungan Verbeek, disebut juga
Kolonedale Zone yang merupakan
daerah pada Teluk Tomori.
Daerah penelitian terletak di bagian
tengah Sulawesi, sehingga kondisi
geologinya tidak terpisahkan dengan
kondisi geologi Sulawesi secara umum.
Secara tektonostratigrafi daerah Sulawesi
dan sekitarnya dibagi menjadi 5 mintakat
geologi (Simanjuntak, 1993:2-15), yaitu:
1) Mintakat Geologi Benua mikro
Paleozoikum Banda; 2) Mintakat Geologi
Ofiolit Kapur Sulawesi Timur; 3) Mintakat
Geologi Metamorf Kapur Akhir-Paleogen
Sulawesi Tengah; 4) Mintakat Geologi
Busur Magmatik Tersier Sulawesi Barat
dan; 5) Mintakat Geologi Busur
Gunungapi Kuarter Minahasa-Sangihe.
Berdasarkan pada pembagian mintakat
tersebut, Lembah Besoa termasuk dalam
Mintakat Geologi Busur Magmatik Tersier
Sulawesi Barat.
Kondisi geologi Megalitik Lembah
Besoa, yang akan diuraikan berdasarkan
hasil analisis, adalah bentuk bentang alam,
batuan penyusun, dan struktur geologi,
sebagai berikut:
Geomorfologi
Morfologi atau bentuk bentang
alam Lembah Besoa dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu, litologi, struktur
geologi, stadia daerah, dan tingkat erosi
yang bekerja/terjadi (Thornbury, 1969).
Secara umum keadaan bentang alam
(morfologi) wilayah Megalitik Lembah
Besoa, apabila diklasifikasikan
berdasarkan Sistem Desaunettes (1977;
Todd, 1980), yang berdasarkan atas
besarnya persentase kemiringan lereng dan
beda tinggi relief suatu tempat, maka
terbagi atas tiga satuan morfologi (gambar
1 dan 2), yaitu:
Satuan Morfologi Dataran, dicirikan
dengan bentuk permukaan yang sangat
landai dan datar, dengan persentase
kemiringan lereng antara 0 - 2%,
bentuk lembah yang sangat lebar.
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 80
Satuan morfologi ini menempati 75%
dari wilayah penelitian. Satuan
morfologi dataran, pada
umumnyadiusahakan sebagai areal
pemukiman, dan pertanian. Satu situs
yang termasuk pada satuan morfologi
dataran adalah Situs Padang Masora;
Satuan Morfologi Bergelombang
Lemah, dicirikan dengan bentuk bukit
yang landai, relief halus, lembah yang
melebar dan menyerupai huruf "U",
bentuk bukit yang agak membulat atau
bergelombang lemah dengan prosentase
kemiringan lereng antara 2 - 8%.
Satuan morfologi ini menempati 15%
wilayah penelitian. Pemanfaatan satuan
morfologi ini, sebagian besar sebagai
lahan pertanian. Terdapat 9 situs yang
termasuk pada satuan morfologi
bergelombang lemah, yaitu Situs
Enterowa, Situs Tondowanua, Situs
Pokekea, Situs Bangkeluho, Situs Bukit
Tadulako-1, Bukit Tadulako-2, Bukit
Tadulako-3, Bukit Buleli-1, dan Bukit
Buleli-2;
Satuan Morfologi Bergelombang Kuat,
dicirikan dengan lereng yang terjal,
bentuk relief masih agak kasar dengan
prosentase kemiringan lereng antara 8 -
16%. Satuan ini menempati 10% dari
wilayah penelitian. Satuan morfologi
umumnya berupa hutan belukar, dan
tidak/belum ditemukan adanya
peninggalan arkeologis.
Gambar 1. Peta Geomorfologi dan keletakan situs
(Sumber: Penulis, 2018; diolah dengan menggunakan perangkat lunak Global Mapper V.11 – 2009; data topografi berdasarkan Jarvis et al. 2008)
81 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
Gambar 2. Peta Geomorfologi dan keletakan situs dalam bentuk tiga dimensi
(Sumber: Penulis, 2018; diolah dengan menggunakan perangkat lunak Global Mapper V.11 – 2009; data topografi berdasarkan Jarvis et al. 2008)
Pola pengeringan permukaan
(surface drainage pattern) sungai-sungai
di wilayah penelitian (Gambar 3)
menunjukkan arah umum dari segala
penjuru ke tengah lembah, misalnya:
4 sungai yang mengalir dari arah utara
ke selatan adalah Uwei Lamba, Uwei
Torire, Uwei Lengi, dan Uwei
Pomanua;
5 sungai yang mengalir dari arah
selatan ke utara adalah Uwei Torire,
Uwei Bombai, Uwei Kalaena, Uwei
Lengkoa, dan Uwei Hanggira;
4 sungai yang mengalir dari arah timur
ke barat adalah Uwei Wongao, Uwei
Buleli, Uwei Kawana, dan Uwei Tarap;
4 sungai yang mengalir dari arah barat
ke timur adalah Uwei Lengi, Uwei
Hampulo, Uwei Lite, dan Uwei
Bingkolu.
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 82
Gambar 3. Peta Geomorfologi dan keletakan situs dalam bentuk tiga dimensi
(Sumber: Penulis, 2018; diolah dengan menggunakan perangkat lunak Global Mapper V.11 – 2009; data topografi berdasarkan Jarvis et al. 2008)
Kelompok sungai-sungai ini, pada
pengamatan lapangan, termasuk pada
kelompok sungai yang berstadia Sungai
Tua (old stadium) dan Stadia Sungai
Dewasa (mature river stadium) (Lobeck,
1939; Thornbury, 1964).
Keseluruhan sungai di wilayah
penelitian, memberikan kenampakan Pola
Pengeringan Rectangular dan Pola
pengeringan Centripetal. Pola Rectangular
adalah suatu pola sungai yang cabang-
cabangnya membentuk sudut siku-siku,
pola ini khas pada daerah patahan (fault),
sedangkan Pola Centripetal adalah suatu
pola aliran sungai yang arah alirannya
menuju ke satu titik, yang khas ditemukan
pada daerah yang berbentuk cekungan
(Lobeck, 1939; Thornbury, 1964). Pola
aliran sungai tersebut, memberikan
gambaran bahwa situs-situs Megalitik
Lembah Besoa, terpengaruh oleh stuktur
geologi berupa cekungan dan patahan.
Berdasarkan klasifikasi atas kuantitas air,
maka cuma sungai Uwei Lengi yang
termasuk jenis Sungai Periodik/Permanen,
sedangkan sungai-sungai lainnya termasuk
pada jenis Sungai Episodik/Intermitten
(Lobeck, 1939; Thornbury, 1964).
Berdasarkan hal tersebut, maka Lembah
Besoa tidak mengalami kekurangan
sumberdaya air.
Stratigrafi
Wilayah Lembah Besoa tersusun
oleh batuan (tua-muda) adalah Formasi
Latimojong berumur Kapur-Eosen, dan
batuan termuda adalah Aluvium dan
Endapan Pantai yang berumur Holosen
(Simanjuntak dkk,1997). Secara umum
batuan-batuan tersebut (Gambar 4) dapat
disebutkan sebagai berikut:
83 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
Aluvium dan Endapan Pantai (Qal)
terdiri atas pasir, lempung, lumpur,
kerikil dan kerakal, serta merupakan
hasil pelapukan batuan penyusun
wilayah penelitian. Satuan batuan ini
terhampar di satuan morfologi dataran
dan di sepanjang sungai-sungai induk di
wilayah penelitian dan berumur
Holosen (Simanjuntak dkk,1997).
Formasi Napu (TQpn) terdiri dari
batupasir, konglomerat, batulanau
dengan sisipan lempung dan gambut.
Umur formasi ini berdasarkan
kandungan fosil adalah Pliosen-
Plistosen yang terendapkan di
lingkungan laut dangkal sampai payau.
Tebal formasi ini diperkirakan sekitar
1000 meter. Satuan ini diduga
menjemari dengan Formasi Puna dan
ditindih tak selaras oleh Endapan
Danau (Simanjuntak dkk,1997).
Granit Kambuno (Tpkg) terdiri atas
granit dan granodiorit. Granit berwarna
putih berbintik hitam, berbutir sedang
sampai kasar. Terdiri atas granit biotit,
hoenblende biotit, mikroleukogranit
dan mikrogranit hornblende-biotit.
Granodiorit mengandung mineral mafik
hornblende. Granit Kambuno termasuk
dalam Mendala Geologi Sulawesi Barat
(Simanjuntak dkk,1997). Granit di
Pegunungan Takolekaju menunjukkan
umur 3,35 juta tahun (Sukamto, 1975),
sehingga umur batuan Granit Kambuno
diduga Pliosen (Simanjuntak
dkk,1997).
Batuan Gunungapi Tineba (Tmtv)
terdiri atas lava andesit hornblende,
lava basal, lava latit luarsa dan breksi.
Lava andesit berwarna kelabu sampai
kehijauan, porfiritik dengan kristal
sulung plagioklas dan hornblende
sebagian plagioklas telah berubah
menjadi serisit, kalsit dan epidot,
sedang sebagian hornblende terubah
menjadi klorit. Lava basal umumnya
mempunyai kristal sulung yang sudah
terubah, sengan massa dasar plagioklas,
serisit, stilbit, kaca dan lempung, lava
latit kuarsa berwarna kelabu, porfiritik,
menunjukkan mineral ubahan lempung,
serisit dan klorit. Breksi berkomponen
andesit-basal berukuran sampai 10
meter cukup termampatkan. Satuan ini
dihasilkan oleh peleleran dari
gunungapi bawah laut. Umur Batuan
Gunungapi Tineba (Tmtv) diduga
Miosen Tengah-Miosen Akhir karena
diterobos oleh granit berumur Pliosen-
Plistosen. Tebal satuan Batuan
Gunungapi Tineba (Tmtv) sekitar 500
meter (Simanjuntak dkk,1997).
Formasi Latimojong (Kls) terdiri dari
perselingan batusabak, filit, greywacke,
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 84
batupasir kuarsa, batugamping, argilit,
batulanau dengan sisipan konglomerat,
rijang dan batuan gunungapi. Batusabak
berwarna kelabu tua sampai hitam,
perlapisan masih terlihat baik dengan
tebal 10-20 cm. Filit berwarna kelabu
dan merah kecoklatan, perlapisan tidak
jelas. Graywacke berwarna kelabu
kehijauan, berlapis baik dengan tebal 1-
6 meter. Batupasir kuarsa berwarna
hijau cerah, merah kecoklatan, dan
kelabu terang, berlapis baik.
Batugamping berwarna kelabu tua
sampai kelabu kemerahan.
Konglomerat dengan fragmen andesit
teralterasi dan batupasir, matriks berupa
batupasir dengan kemas terbuka. Rijang
berwarna putih, merah dan coklat,
mengandung fosil radiolarian. Lava
andesit berwarna kelabu, porfiritik dan
teralterasi kuat. Satuan ini tebalnya
lebih dari 1000 meter, berumur Kapur-
Eosen dan terendapkan di lingkungan
laut dalam (Simanjuntak dkk,1997).
Umur Kapur berdasarkan fosil yang
ditemukan di Pegunungan Latimojong
(Brouwer, 1934) dan di daerah Babakan
Lembar Malili (Reyzer, 1920).
Situs-Situs di Lembah Besoa,
umumnya ditemukan di Formasi Aluvium
dan Endapan Pantai, serta di Formasi
Latimojong. Dari formasi-formasi batuan
ini, mampu mempertahankan keberadaan
tinggalan-tinggalan budaya di Lembah
Besoa.
Gambar 4. Peta Geologi menunjukkan keletakan situs pada endapan alluvium dan
endapan pantai, serta Formasi Latimojong (Sumber: Simanjuntak dkk., 1997 dengan pengolahan)
Struktur Geologi
Sesar utama seperti Sesar Palu-
Koro dan Sesar Walanae memberikan
peranan dalam pembentukan sesar-sesar
kecil di sekitarnya (Sompotan, 2012).
Sesar, lipatan ataupun struktur geologi
lainnya dihasilkan dalam beberapa
generasi yang berbeda. Sesar naik utama
85 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
yang dapat diamati di daerah ini adalah
sesar naik berarah hampir utara-selatan,
termasuk sesar yang memisahkan mandala
Sulawesi Barat dengan Mandala Sulawesi
Timur (Sesar Poso) dan juga Sesar
Wekuli. Di samping itu, dijumpai zona
sesar mendatar besar (Sesar Palu-Koro)
yang berarah barat laut – tenggara. Sesar
ini diduga masih aktif sampai sekarang.
Lipatan yang dijumpai merupakan hasil
dari beberapa pencenangan yang berbeda
sehingga memberikan bentuk dan pola
yang berbeda dari lipatan tegak sampai
rebah, dari lipatan tertutup sampai terbuka.
Diduga paling tidak ada empat generasi
pembentukan lipatan.
Wilayah Megalitik Lembah Besoa
dikelilingi oleh empat sistem sesar yaitu
Sesar Palu-Koro, Sesar Bada, Sesar Palolo,
dan Sesar Malei. Sesar Palu-Koro (Palu-
Koro Fault) yang juga merupakan sesar
utama (main fault) di Pulau Sulawesi.
Sesar Palu-Koro termasuk pada jenis Sesar
Datar (horizontal fault), dengan arah
N170°E. Sesar Palolo yang ditemukan di
Lembah Napu (Napu Valley) termasuk
pada jenis sesar datar (horizontal fault)
yang berarah baratlaut-tenggara. Sesar
Malei yang ditemukan di Lembah Bada
(Bada Valley) termasuk pada jenis Sesar
Normal (normal fault) yang berarah
timurlaut-baratdaya.
Wilayah pengamatan berupa cekungan
dikenal dengan nama Lembah Besoa
(Besoa Valley) yang terletak di sebelah
timur Sesar Palu-Koro, dan di sebelah
timur Lembah Besoa merupakan suatu
sesar yang dinamakan Sesar Bada (bada
fault) dari jenis sesar normal yang arahnya
sejajar dengan Sesar Palu Koro. Lembah
Besoa (Besoa Valley) merupakan suatu
graben dan disebut pula dengan Basin
Quarternaire, yaitu cekungan yang
terbentuk Zaman Kuarter (gambar 5 dan
6).
Gambar 5. Peta struktur geologi dan posisi situs-situs di antara sesar geser Granit
Kambuno dan sesar geser Napu-Latimojong (Sumber: Simanjuntak dkk., 1997 dengan pengolahan)
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 86
Gambar 6. Megalitik Lembah Besoa terletak di antara Zona Sesar Palu-Koro (sebelah barat), dan Danau Poso (sebelah timur) dalam bentuk tiga dimensi (Sumber: Penulis,
2018; diolah dengan menggunakan perangkat lunak Global Mapper V.11 – 2009; data topografi berdasarkan Jarvis et al. 2008)
Megalitik Lembah Besoa
Menurut Yuniawati (2000), di
Lembah Besoa terdapat 14 situs di empat
desa, yaitu Desa Hanggira (Entovera,
Padang Hadoa, Tunduwanua, dan
Pokekea), Desa Doda (Tadulako, Bukit
Marane, dan Mungku Dana), Desa Lempe
(Padang Taipa, Padalalu, Potabakoa,
Watumodalu, dan Halodo), Desa Bariri
(Padang Masora, dan Bangkeluho)
(Yuniawati, 2000). Namun pada penelitian
ini, situs-situs megalitik yang dikunjungi
di Lembah Besoa, berada di Desa
Hanggira, Desa Bariri, dan Desa Doda
yang termasuk wilayah Kecamatan Lore
Tengah, Kabupaten Poso. Adapun situs-
situs tersebut (gambar 7) adalah sebagai
berikut:
Situs Enterowa termasuk wilayah
Desa Hanggira, berada pada koordinat
01°43'14" Lintang Selatan dan
120°12'05" Bujur Timur, dengan
ketinggian 1237 meter dpl. Situs
Enterowa terletak di lereng bukit,
dengan kondisi lingkungan berupa
padang yang ditumbuhi alang-alang,
pakis padang, dan beberapa tanaman
padang lainnya. Tinggalan arkeologi di
situs ini berupa batu tegak, dolmen,
lesung batu, kalamba, arca berbentuk
manusia (monyet?). Temuan-temuan
tersebut umumnya ditemukan tidak
87 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
utuh dan berserakan (tidak berpola)
(Sofyan, dkk., 2004; Yuniawati, 2000).
Situs Tondowanua termasuk wilayah
Desa Hanggira, berada pada koordinat
01°42'44" Lintang Selatan dan
120°11'54" Bujur Timur, dengan
ketinggian 1236 meter dpl. Situs
Tondowanua terletak di lereng bukit,
dengan kondisi lingkungan berupa
hutan dengan tanaman pohon yang agak
besar. Tinggalan arkeologi di situs ini
berupa kalamba, dan arca megalitik
(Sofyan, dkk., 2004; Yuniawati, 2000).
Situs Pokekea termasuk wilayah Desa
Hanggira, berada pada koordinat
01°41'35" Lintang Selatan dan
120°12'40" Bujur Timur, dengan
ketinggian 1211 meter dpl. Situs
Pokekea terletak di lereng bukit,
dengan kondisi lingkungan berupa
padang yang ditumbuhi alang-alang,
pakis padang, dan beberapa tanaman
padang lainnya. Tinggalan arkeologi di
situs ini berupa kalamba, penutup
kalamba yang di atasnya terdapat arca
manusia (monyet?), baik yang berjajar
empat maupun di sudut-sudut penutup,
arca megalitik, batu datar, batu dakon,
dolmen, lumpang batu, palung batu,
batu bergores, tempayan kubur, manik-
manik, dan fragmen tembikar (Sofyan,
dkk., 2004; Siswanto, 2007:34-46;
Yuniawati, 2000).
Situs Bangkeluho termasuk wilayah
Desa Bariri, berada pada koordinat
01°41'04" Lintang Selatan dan
120°14'15" Bujur Timur, dengan
ketinggian 1204 meter dpl. Situs
Bangkeluho terletak di puncak bukit,
dengan kondisi lingkungan berupa
padang yang ditumbuhi alang-alang,
pakis padang, dan beberapa tanaman
padang lainnya. Tinggalan arkeologi di
situs ini adalah kalamba, batu datar,
arca megalitik, dan fragmen gerabah.
Arca megalitik ini menghadap ke
Sungai Torire (arah selatan) dengan
jarak ± 20 meter dari sungai (Sofyan,
dkk., 2004; Yuniawati, 2000).
Situs Padang Masora termasuk
wilayah Desa Bariri, berada pada
koordinat 01°42'11" Lintang Selatan
dan 120°14'39" Bujur Timur, dengan
ketinggian 1199 meter dpl. Situs
Padang Masora terletak di lereng bukit,
dengan kondisi lingkungan berupa
padang yang ditumbuhi alang-alang,
pakis padang, dan beberapa tanaman
padang lainnya. Tinggalan arkeologi di
situs ini adalah altar dengan 3 buah kaki
berhias manusia (monyet?), batu alam
(singkapan batuan?) berhias kerbau.
Tinggalan arkeologi umumnya terbuat
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 88
dari batupasir. Dari batu berhias ke arah
barat laut (N310°) dengan jarak ± 500
meter, masyarakat setempat menggali
lereng bukit untuk dijadikan kandang
ternak, panjang yang telah di gali oleh
masyarakat tersebut ± 60-70 meter
dengan kedalaman 1 meter. Galian
tersebut membentuk sebuah tebing,
dimana tebing tersebut ditemukan
tempayan-tempayan pada kedalaman ±
70 cm sepanjang tebing tersebut.
Ukuran mulut tempayan mulai dari 20
cm; 40 cm hingga 50 cm, sedangkan
ukuran perut tempayan mulai dari 40
cm; 100 cm hingga 140 cm (Sofyan,
dkk., 2004; Yuniawati, 2000).
Bukit Tadulako-1 (Situs Tadulako)
termasuk wilayah Desa Doda, berada
pada koordinat 01°42'37" lintang
selatan dan 120°15'20" bujur timur,
dengan ketinggian 1217 meter dpl.
Kondisi lingkungan berupa padang
yang ditumbuhi alang-alang, pakis
padang, dan beberapa tanaman padang
lainnya. Tinggalan arkeologinya adalah
3 kalamba, 4 batu dakon, dan 1 arca
megalitik (Sofyan, dkk., 2004;
Yuniawati, 2000).
Bukit Tadulako-2 (Situs Tadulako)
termasuk wilayah Desa Doda, berada
pada koordinat 01°42'40" Lintang
Selatan dan 120°15'42" Bujur Timur,
dengan ketinggian 1240 meter dpl.
Kondisi lingkungan berupa padang
yang ditumbuhi alang-alang, pakis
padang, dan beberapa tanaman padang
lainnya. Tinggalan arkeologisnya
adalah 5 kalamba (Sofyan, dkk., 2004;
Yuniawati, 2000).
Bukit Tadulako-3 (Situs Tadulako)
termasuk wilayah Desa Doda, berada
pada koordinat 01°42'44" Lintang
Selatan dan 120°15'33" Bujur Timur,
dengan ketinggian 1232 meter dpl.
Kondisi lingkungan berupa padang
yang ditumbuhi alang-alang, pakis
padang, dan beberapa tanaman padang
lainnya. Tinggalan arkeologisnya
adalah 2 kalamba (Sofyan, dkk., 2004;
Yuniawati, 2000).
Bukit Buleli-1 (Situs Tadulako)
termasuk wilayah Desa Doda, berada
pada koordinat 01°42'41" Lintang
Selatan dan 120°15'48" Bujur Timur,
dengan ketinggian 1255 meter dpl.
Kondisi lingkungan berupa padang
yang ditumbuhi alang-alang, pakis
padang, dan beberapa tanaman padang
lainnya. Tinggalan arkeologisnya
adalah 1 kalamba dan batu temu gelang
(Sofyan, dkk., 2004; Yuniawati, 2000).
Bukit Buleli-2 (Situs Tadulako)
termasuk wilayah Desa Doda, berada
pada koordinat 01°42'44" Lintang
89 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
Selatan dan 120°15'58" bujur timur,
dengan ketinggian 1261 meter dpl.
Kondisi lingkungan berupa padang
yang ditumbuhi alang-alang, pakis
padang, dan beberapa tanaman padang
lainnya. Tinggalan arkeologisnya
adalah boulder batuan yang berhias
kepala manusia, dan batu dakon
(Sofyan, dkk., 2004; Yuniawati, 2000).
Dengan melihat kondisi geologi
Lembah Besoa, kesepuluh situs tersebut
berasal dari kala Holosen, yang didasarkan
pada penentuan Umur Mutlak (C14)
tinggalan megalitik di Lore (termasuk
Lembah Besoa) telah ada sejak 2000 tahun
sebelum Masehi (Swastikawati, dkk.,
2014;17-37).
Gambar 7. Keletakan situs Megalitik Lembah Besoa pada Peta Topografi
(Sumber: Lembar Pasangkaju Indonesia SA 50-8 Edition 1-AMS 1962 dengan pengolahan)
Menurut Sukendar (1993), arca
menhir yang ditemukan, baik di situs-situs
peninggalan megalitik dari masa
prasejarah maupun di situs-situs tradisi
megalitik yang berlanjut (living megalithic
tradition) merupakan bukti bahwa arca ini
memegang peranan pada setiap tingkat
perkembangan tradisi megalitik. Arca-arca
menhir di situs peninggalan tradisi
megalitik prasejarah (Sukendar, 1993)
dijumpai di Provinsi Sumatera Barat di
Kotogadang, Limapuluh Koto (Sukendar
1984, 1985, 1986), Provinsi Sumatera
Selatan di Mingkik, Lahat (Van der Hoop,
1932), Provinsi Lampung di Liwa,
Lampung Utara (Sukendar 1976), Provinsi
Jawa Barat di Ciamis, Kuningan (Rumbi
Mulia 1980: 599 - 645), Provinsi D.I.Y. di
Sokoliman, Gondang, Playen (Gunung
Kidul) (Van der Hoop, 1935; Sukendar,
1970), Provinsi Jawa Timur di Sukasari,
Bondowoso (Van Heekeren 1931, 1958),
Provinsi Sulawesi Tengah di Napu, Besoa,
Bada, Poso (Kaudern, 1938).
Adapun arca-arca menhir dari situs
tradisi megalitik yang berlanjut ditemukan
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 90
(Sukendar, 1993) antara lain di Provinsi
Sumatera Utara di Simalungun (Batak)
dan Nias (Sukendar, 1981; Rumbi Mulia,
1981; Schnitger 1964), Provinsi Nusa
Tenggara Timur di Makatakere, Tarung,
Sumba (Soejono, 1982), Provinsi Timor
Timur, Kewar, Lewalutas (Belu) (R.P.
Soejono, 1982). Arca-arca menhir tersebut
merupakan salah satu unsur dari hasil
tradisi megalitik yang ditemukan
terpencar-pencar di seluruh Indonesia
(Sukendar, 1993).
Tektonik dan Situs
Secara tektonis Pulau Sulawesi dibagi
dalam empat mintakat yang didasari atas
sejarah pembentukannya yaitu Sulawesi
Barat, Sulawesi Timur, Banggai-Sula dan
Sulawesi Tengah yang bersatu pada kala
Miosen-Pliosen oleh interaksi antara
lempeng Pasifik, Australia terhadap
lempeng Asia. Interaksi ketiga lempeng
tersebut memberikan pengaruh besar,
sedikitnya 9 aktivitas tektonik Neogen
(Kaharuddin MS. dkk., 2011;1-10), yaitu
patahan Walanae, patahan Palu-Koro,
patahan Matano-Lawanoppo, patahan
Kolaka, patahan Paternoster, patahan
Gorontalo, patahan naik Batui-Balantak,
subduksi lempeng Laut Sulawesi dan
subduksi lempeng Maluku. Dari
kesembilan unsur tektonik dan struktur
geologi? tersebut, posisi Megalitik
Lembah Besoa merupakan bagian dari
Patahan Palu-Koro (Palu-Koro Fault)
(Gambar 8), yang memanjang dari utara
(Palu) ke selatan (Malili) hingga Teluk
Bone, sepanjang ±240 km. Patahan Palu-
Koro bersifat sinistral dan aktif dengan
kecepatan sekitar 25-30 mm/tahun
(Kertapati, 2006; Permana, 2005). Patahan
Palu-Koro berhubungan dengan patahan
Matano-Sorong dan Lawanoppo-Kendari,
sedangkan di ujung utara melalui Selat
Makassar berpotongan dengan zona
subduksi lempeng Laut Sulawesi
(Kaharuddin MS. dkk., 2011:1-10).
Posisi tektonik regional Sulawesi
sangat kritis, terletak di antara tiga mega
lempeng dunia yang saling bergerak
dengan arah yang berbeda, terlebih
mendapat dorongan gerakan mendatar
(translasi) oleh mikrokontinen Banggai-
Sula, Buton dan Tukang Besi yang
tersesarkan lateral ke arah barat sejauh
ribuan kilometer melalui Sesar Sorong
(Endharto, 2000:14-45). Mekanisme ini
sangat berpengaruh terhadap
perkembangan tektonik di daerah Sulawesi
secara keseluruhan. Didasarkan atas
kenampakan fisik batuan maka daerah
studi termasuk ke dalam segmen yang
truktur makro yang bekerja di zona
tersebut.
91 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
Gambar 8. Megalitik Lembah Besoa, merupakan bagian Patahan Palu-Koro (Palu-
Koro Fault) (Sumber: Silver dkk., 1983:9407-9418; Kaharuddin MS. dkk., 2011:1-10, dengan pengolahan)
Posisi tektonik regional Sulawesi
sangat kritis, terletak di antara tiga mega
lempeng dunia yang saling bergerak
dengan arah yang berbeda, terlebih
mendapat dorongan gerakan mendatar
(translasi) oleh mikrokontinen Banggai-
Sula, Buton dan Tukang Besi yang
tersesarkan lateral ke arah barat sejauh
ribuan kilometer melalui Sesar Sorong
(Endharto, 2000:14-45). Mekanisme ini
sangat berpengaruh terhadap
perkembangan tektonik di daerah Sulawesi
secara keseluruhan. Didasarkan atas
kenampakan fisik batuan maka daerah
studi termasuk ke dalam segmen yang
struktur makro yang bekerja di zona
tersebut.
Di daerah Poso dan sekitarnya
terdapat 3 mandala geologi yang memiliki
ciri batuan dan sejarah pencenanggaan
yang berbeda yaitu; 1) Mandala Sulawesi
Barat di bagian barat; 2) Mandala
Sulawesi Timur di bagian tengah dan
timur dan; 3) Mandala Banggai-Sula di
bagian paling timur. Pada kala Plio-
Plistosen seluruh daerah tersebut (Pulau
Sulawesi) mengalami pencenanggan serta
penerobosan oleh granit yang sebelumnya
hanya terjadi di Mandala Sulawesi Barat.
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 92
Setelah itu diikuti pengangkatan di seluruh
daerah hingga menghasilkan kenampakan
bentang alam seperti sekarang
(Simanjuntak dkk,1997). Berbeda dengan
Simanjuntak, dkk., 1997, Sompotan
(2012), membagi Sulawesi dan pulau-
pulau sekitarnya menjadi empat mandala
yang didasarkan atas struktur litotektonik,
yaitu a) Mandala Barat (West & North
Sulawesi Volcano-Plutonic Arc) sebagai
jalur magmatik yang merupakan bagian
ujung timur Paparan Sunda; b) Mandala
Tengah (Central Sulawesi Metamorphic
Belt) berupa batuan malihan yang
ditumpangi batuan bancuh sebagai bagian
dari blok Australia; c) Mandala Timur
(East Sulawesi Ophiolite Belt) berupa
ofiolit yang merupakan segmen dari kerak
samudera berimbrikasi dan batuan
sedimen berumur Trias-Miosen; dan d)
Fragmen Benua Banggai-Sula-Tukang
Besi, kepulauan paling timur dan tenggara
Sulawesi yang merupakan pecahan benua
yang berpindah ke arah barat karena
strike-slip faults dari New Guinea
(Gambar 9).
Gambar 9. Megalitik Lembah Besoa termasuk kedalam Mandala Tengah (Central
Sulawesi Metamorphic Belt) (Sumber: Sompotan, 2012 dengan pengolahan)
Berdasarkan pembagian oleh
Sompotan (2012), maka wilayah Megalitik
Lembah Besoa termasuk kedalam Mandala
Tengah (Central Sulawesi Metamorphic
Belt) (Gambar 10), yang tersusun oleh
batuan magmatik potassic calc-alkaline
berusia Akhir Miosen di Sulawesi Tengah
terdapat di bagian kiri bentangan zona
sesar Palu-Koro, di mana batuan granit di
wilayah tersebut berkorelasi dengan
subduksi microcontinent Banggai-Sula
dengan Pulau Sulawesi pada pertengahan
Miosen. Berdasarkan aspek petrografi,
batuan granit berumur Neogen. Batuan
granit ini berwarna putih bersih
mengandung sejumlah biotites sebagai
mineral mafik tunggal, granit tersingkap
di antara daerah Sadaonta dan Kulawi.
93 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
Gambar 10. Keletakan Megalitik Lembah Besoa pada Mandala Tengah (Central
Sulawesi Metamorphic Belt) (Sumber: Villeneuve dkk., 2002 dalam Sompotan, 2012 dengan pengolahan)
Aktivitas tektonik di Pulau Sulawesi,
juga memberikan dampak signifikan
terhadap situs-situs di Lembah Besoa,
terlihat dari tinggalan-tingalan budaya
yang masih berdiri, walaupun tidak tegak
lagi hingga saat ini.
Kegempaan dan Situs
Lempeng mikro Pulau Sulawesi diapit
oleh lempeng-lempeng besar Australia,
Pasifik, Asia dan Laut Sulawesi, sehingga
ancaman akan bencana gempa dan tsunami
berpotensi besar. Gempa bumi yang
disebabkan oleh faktor antara lain
pergerakan lempeng bumi menimbulkan
gempa tektonik, letusan gunung api
menghasilkan gempa gunung api dan
runtuhan lapisan batuan yang disebut
gempa runtuhan (Kaharuddin MS. dkk.,
2011;1-10). Berdasarkan kedalaman fokus
gempa, dikenal ada tiga jenis gempa yaitu
gempa dangkal dengan fokus gempa lebih
kecil dari 60 km, gempa menengah fokus
gempa antara 60 – 300 km dan gempa
dalam fokus gempanya lebih besar dari
300 km. Lokasi-lokasi atau titik gempa
pada umumnya bergenerasi pada daerah
persinggungan dan perpotongan patahan
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 94
atau daerah tumbukan lempeng, di mana
pada daerah ini lempeng-lempeng bumi
saling berinteraksi dan saling menghalang-
halangi laju pergerakannya sehingga dapat
menampung dan melepaskan energi dalam
bentuk gempa bumi. Berdasarkan hal
tersebut di atas maka daerah yang
berpotensi terjadi gempa adalah sepanjang
jalur patahan Walanae, Patahan Palu-Koro,
Matano-Lawanoppo, Kolaka-Teluk Bone,
Paternoster Selat Makassar dan sekitarnya,
Gorontalo dan Manado serta jalur patahan
Batui-Balantak-Sorong (Kaharuddin MS.
dkk., 2011;1-10) (Gambar 11).
Gambar 11. Keletakan Megalitik Lembah Besoa dalam peta tektonik, kegempaan dan
tsunami Sulawesi (Sumber: Kaharuddin MS. dkk., 2011;1-10 dengan pengolahan)
Daerah Sulawesi Tengah merupakan
salah satu daerah rawan bencana gempa
bumi di Indonesia (Supartoyo dkk., 2008),
karena terletak dekat dengan sumber
gempa bumi yang berada di darat dan di
laut. Sumber-sumber gempa bumi tersebut
terbentuk akibat proses tektonik yang
terjadi sebelumnya. Sumber gempa bumi di
laut berasal dari penunjaman Sulawesi Utara
yang terletak di sebelah utara Pulau
Sulawesi, sedangkan sumber gempa bumi
di darat bersumber dari beberapa sesar aktif
di daratan Sulawesi Tengah, salah satunya
adalah Sesar Palu Koro (Supartoyo dkk.,
2014:111-128). Sesar Palu Koro
merupakan sesar utama di Pulau Sulawesi
dan tergolong sebagai sesar aktif (Bellier
dkk., 2001:463:470).
95 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
Wilayah Sulawesi Tengah paling tidak
telah mengalami 19 kali kejadian gempa
bumi merusak (destructive earthquake) sejak
tahun 1910 hingga 2013 (Supartoyo dkk.,
2008). Beberapa kejadian gempa bumi
yang merusak, pusat gempa buminya
terletak di darat. Kejadian gempa bumi
dengan pusat gempa bumi terletak di darat
di sekitar lembah Palu Koro diperkirakan
berkaitan dengan aktivitas Sesar Palu
(Supartoyo dkk., 2014:111-128) (Gambar
12).
Gambar 12. Keletakan Megalitik Lembah Besoa dalam Peta Pusat Gempabumi Pulau
Sulawesi (Sumber: Supartoyo dkk., 2014:111-128 dengan pengolahan)
Sesar Palu-Koro merupakan
patahan kerak bumi (sesar) yang
berdimensi cukup besar di mana sesar ini
memanjang mulai dari Selat Makassar
sampai pantai utara Teluk Bone dengan
panjang patahan sekitar 500 km. Ditinjau
dari kedalaman gempa buminya, aktivitas
gempa bumi di zona Palu-Koro ini tampak
didominasi oleh gempa bumi kedalaman
dangkal antara 0 hingga 60 kilometer dan
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 96
terkonsentrasi hampir merata, baik di lepas
pantai maupun di daratan. Sesar yang
merupakan pertemuan lempeng-lempeng
tektonik di bawah perut bumi itu jenis
sesar aktif yang terus bergerak satu sama
lain dan memiliki sifat pergeseran sinistral
(pergeseran ke arah kanan) dengan
kecepatan geser sekitar 14-17 mm/tahun.
Pergeseran pada lempeng-lempeng
tektonik yang cukup aktif di Sesar Palu-
Koro membuat tingkat kegempaan di
wilayah itu (termasuk Kawasan Lembah
Besoa) juga dikategorikan cukup tinggi
(Supartoyo dkk., 2014:111-128).
Dari beberapa pendapat ahli
(Supartoyo dkk., 2014:111-128;
Kaharuddin MS. dkk., 2011;1-10; Bellier
dkk., 2001:463:470), dikatakan bahwa
wilayah Sulawesi Tengah (termasuk lokasi
Megalitik Lembah Besoa) berada pada
zona rawan gempa bumi. Kedalaman
gempa bumi di zona Sesar Palu-Koro
termasuk dangkal (0-60 km) dan
terkonsentrasi di darat dan di laut.
Pergeseran lempeng tektonik yang cukup
aktif di Sesar Palu-Koro, membuat
wilayah Megalitik Lembah Besoa, rawan
terhadap gempa bumi.
Untuk menghindari kehancuran
tinggalan budaya di Lembah Besoa, maka
yang perlu diperhatikan dalam
pembangunan museum lapangan,
sebaiknya menggunakan bangunan anti
gempa (misalnya bangunan bertiang dari
kayu), perlu dilakukan konseravasi
terhadap tinggalan budaya yang
diakibatkan oleh suhu dan kelembaban
yang tinggi. Seperti yang dijelaskan oleh
Swastikawati, dkk., (2014) bahwa
pemasangan cungkup (shelter) atau
bangunan beratap tidak berdinding yang
berfungsi untuk melindungi artefak cagar
budaya dari hujan dan sinar matahari
langsung. Pemasangan cungkup (shelter)
termasuk dalam preventive conservation,
yang bertujuan mengurangi jumlah air
hujan yang mencapai batu dan
menstabilkan suhu dan kelembaban batu.
Tetapi tindakan ini dapat dianggap sebagai
visual pollution atau polusi pemandangan
karena akan merusak pemandangan asli
dari situs Megalitik Lembah Besoa,
kecuali untuk artefak-artefak yang sudah
tidak in situ, misalnya untuk beberapa
artefak yang sudah dipindah ke Museum
Negeri Palu. Oleh karena pemasangan
cungkup pada tinggalan Megalitik di
Lembah Besoa yang masih in situ harus
melalui pertimbangan yang matang
terutama dari aspek arkeologi
(Swastikawati, dkk., 2014;17-37).
97 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
PENUTUP
Kehidupan manusia masa prasejarah
khususnya kala Plestosen akhir sampai
awal Holosen dalam mempertahankan
hidupnya masih sangat bergantung pada
ketersediaan lingkungan alam sekitarnya.
Seiring dengan tingkat kecerdasan dan
teknologi yang dikenalnya, manusia saat
itu lebih mampu mempertahankan
hidupnya dan mengeksploitasi alam
daripada masa sebelumnya yang masih
mengembara, hal tersebut ditunjukkan
dalam pola hidup mereka untuk bertempat
tinggal yang lebih menetap dengan
memanfaatkan sumberdaya alam yang
melimpah (Nurani, 2005:1-10).
Berdasarkan penentuan Umur Mutlak
(C14) tinggalan megalitik di Lore
(termasuk Lembah Besoa) telah ada sejak
2000 tahun sebelum Masehi. Tinggalan
megalitik tersebut diperkirakan dahulu
berfungsi sebagai patung pemujaan nenek
moyang, juga berfungsi sebagai tanda
batas daerah kekuasaan, dan juga
merupakan tempat kuburan komunal dari
para kaum bangsawan di wilayah tersebut
pada zaman dulu (Swastikawati, dkk.,
2014;17-37).
Secara tektonik Pulau Sulawesi dibagi
dalam empat mintakat yang didasarkan
pada sejarah terbentuknya. Interaksi ketiga
lempeng (Pasifik, Australia, dan Asia)
memberikan pengaruh cukup besar
terhadap kejadian bencana alam geologi di
Sulawesi. Selain itu, dikatakan ada 9 unsur
tektonik dan struktur yang memicu
terjadinya bencana alam, salah satunya
adalah Patahan Palu-Koro (termasuk
Megalitik Lembah Besoa), yang bersifat
sinistral dan aktif, dengan kecepatan
sekitar 25-30 mm/tahun. Dari beberapa
pendapat ahli, dikatakan bahwa lokasi
Megalitik Lembah Besoa berada pada
zona rawan gempa bumi. Kedalaman
gempa bumi di zona Sesar Palu-Koro
termasuk dangkal (0-60 km) dan
terkonsentrasi di darat dan di laut.
Pergeseran lempeng tektonik yang cukup
aktif di Sesar Palu-Koro, membuat
wilayah Megalitik Lembah Besoa, rawan
terhadap gempa bumi.
Ketinggian wilayah Megalitik Lembah
Besoa dan sekitarnya, berkisar antara 1190
dan 1265 meter di atas permukaan laut.
Berdasarkan pola sungai, formasi batuan
dan struktur gologi sebagai penyusun
wilayah Megalitik Lembah Besoa, maka
untuk menghindari kehancuran tinggalan
budaya di wilayah tersebut, maka perlu
diperhatikan dalam pemasangan cungkup
dan pembangunan museum lapangan,
sebaiknya menggunakan bangunan anti
gempa (misalnya bangunan bertiang dari
kayu), perlu dilakukan konseravasi
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 98
terhadap tinggalan budaya yang
diakibatkan oleh suhu dan kelembaban
yang tinggi, melalui pertimbangan yang
matang terutama dari aspek arkeologi
Berdasarkan hasil integrasi peta
yang terkait dengan tektonik dan struktur
terhadap situs-situs Megalitik Lembah
Besoa, maka dihasilkan data mengenai
pemilihan lokasi situs (pada masa lampau)
yang terletak pada yang rawan.
Penempatan lokasi situs, terpaksa
dilakukan karena wilayah tersebut
merupakan daerah relatif tidak stabil,
namun masyarakat pendukung Megalitik
Lembah Besoa itu, tetap memperhatikan
aspek-aspek sumberdaya alam yang akan
mendukung kelangsungan hidup mereka,
yaitu air, bahan makanan, dan bahan baku
peralatan sehari-hari (batuan untuk artefak
dan tanah untuk tembikar) sehingga dapat
dikatakan bahwa konsep adaptasi telah
dimanfaatkan oleh manusia pendukung
situs tersebut. Seperti yang dinyatakan
oleh Eriawati (1999), bahwa manusia
dalam beradaptasi saling terkait dengan
lingkungan. Keterkaitan itu sifatnya
dinamis sehingga manusia secara terus
menerus memodifikasi perilakunya yang
terpilih agar dapat menjawab setiap
tantangan yang ada, sehingga dapat
menyesuaikan diri (adaptif) terhadap
lingkungannya. Salah satu pilihan yang
paling tepat untuk menjawab tantangan
lingkungan itu adalah kemampuan
teknologinya. Dengan teknologi manusia
mampu bukan hanya menyesuaikan tetapi
memodifikasi lingkungan sesuai dengan
kebutuhan yang diperlukan. Berbagai
proses yang memungkinkan manusia
bertahan (survive) terhadap tantangan
kondisi lingkungan membuktikan
kemampuan manusia untuk beradaptasi
(Eriawati, 1997). Sedangkan Saptomo
(2008) menyatakan bahwa manusia
membutuhkan sejumlah kebutuhan dasar
untuk bertahan hidup. Oleh karena itu
pemilihan lokasi untuk bertempat tingga
atau pemukiman menjadi salah satu
pertimbangan pokok yang selalu
diperhatikan. Umumnya mereka memilih
lokasi yang memiliki sumberdaya
lingkungan yang melimpah, lokasi yang
nyaman dan aman (Saptomo, 2008).
99 Lembah Besoa, Muh. Fadhlan S. Intan
DAFTAR PUSTAKA
Army Map Service. 1962. Peta Topografi Lembar SA 508 (Pasangkaju) Series T508 Edition 1-AMS, Indonesia 1:250.000.
Bemmelen, R.W. van. 1949. The Geology of Indonesia. vol.IA, Martinus Nijhoff, The Hague.
Bellier, O., Sbrier, M., Beaudouin, T., Villeneuve, M., Braucher, R., Bourles, D., Siame, L., Putranto, E., dan Pratomo, I., 2001 High Slip Rate for a Low Seismicity along the Palu Koro Active Fault in Central Sulawesi (Indonesia), Blackwell Science Ltd., Terra Nova, 13, 463 – 470.
Brouwer, A. 1934. Geologische onderzoekingen op het eiland Celebes. Verh. Geol. Mijnb. Gen. Ned. & Kol. Geol. Serie, 10, 39-171.
Desaunettes, J R. 1977. “Catalogue of Landforms for Indonesia": Examples of a Physiographic Approach to Land Evaluation for Agricultural Development.” Unpublished. Bogor: Trust Fund of the Government of Indonesia Food and Agriculture Organization.
Endharto, MAC. 2000. "Studi Stratigrafi Kaitannya Dengan Perkembangan Struktur Geologi di Kawasan Latimojong Lengan Barat Sulawesi". Jurnal Geologi Dan Sumberdaya Mineral. No. 107. Vol. X. Agustus 2000. Hal. 14-45. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Geologi.
Eriawati, Y.J. 1999. “Adaptasi Penghuni Gua Prasejarah Leang Burung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan”. Tesis, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Depok: Universitas Indonesia.
Hall, R. 2002. "Cenozoic geological and plate tectonic evolution of SE Asia and the SW Pacific: computer-based reconstructions, model and animations". Journal of Asian Earth Sciences, v.20, p.353-431.
Iksam. 2005. "Peninggalan Arkeologi Di Lembah Kulawi Sulawesi Tengah". Hal.1-13. Kongres dan PIA ke-10. Yogyakarta, 26–30 September 2005.
Jarvis, A., H.I. Reuter, A. Nelson, dan E. Guevara. 2008. Hole-filled seamless SRTM data V4. Center for Tropical Agliculture (CIAT).
Kaharuddin MS, Ronald Hutagalung, Nurhamdan. 2011. Perkembangan Tektonik Dan Implikasinya Terhadap Potensi Gempa Dan Tsunami Di Kawasan Pulau Sulawesi. Hal.1-10. Proceedings JCM Makassar 2011 The 36th HAGI and 40th IAGI Annual Convention and Exhibition Makassar, 26-29 September 2011
Kertapati, E.K. 2006. Aktivitas Gempabumi di Indonesia. Departeman Energi dan Sumberdaya Mineral, Badan Geologi, Pusat Survei Geologi, Bandung.
Nurani, Indah Asikin. 2005. "Pola Pemanfaatan Gua Pada Kehidupan Manusia Prasejarah di Jawa Timur". Hal.1-10. PIA-Kongres IAAI X, Yogyakarta, 26 – 30 September 2005.
Lobeck, A.K. 1939. Geomorphology, An Introduction To The Study of Landscape. Mc Graw Hill Book Company Inc, New York and London.
Permana, H. 2005. "Potensi Bencana Geologi Kawasan Timur Indonesia, Tektonik Aktif dan Gempabumi Palu". Pertemuan Ilmiah Tahunan, Forum Himpunan Mahasiswa Geologi Indonesia VIII, Universitas Hasanuddin, Makassar.
Reyzer, J. 1920. Geologische aanteekeningen betreffende de zuidelijke Toradjalanden (Celebes). Jaarb. Mijnw. Ned. Ind. 1918, Ver. I, 154-209, Batavia 1920
Jurnal Arkeologi Papua Vol. 10 No.2 / Nopember 2018 : 75-100 100
Saptomo E. Wahyu. 2008. “Adaptasi Manusia Di Situs Liang Panas, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Tesis, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Depok: Universitas Indonesia.
Silver, E.A., R. McCaffrey, and B. Smith. 1983. "Collision, Rotation, and Initation of Subduction In the Evolution of Sulawesi, Indonesia". Journal of Geophysical Research, vol. 88, No. B11. p.9407-9418, November 10, 1983.
Simanjuntak T. O., Surono, Supanjono J.B., .1997. Peta Geologi Lembar Poso, Sulawesi. Edisi-2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Simanjuntak, T. O. 1993. "Neogene Plate Convergence in Eastern Sulawesi". Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral. No. 25. Vol.VIII. Hal. 2-15.
Siswanto, Joko. 2007. "Permukiman Masyarakat Di Situs Pokekea, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah". Bulletin Jejak-Jejak Arkeologi No. 7. Tahun 2007. Hal. 34-46. Balai Arkeologi Manado.
Sofyan Arfian, Intan S. Fadhlan M. Sutrisno. 2004. "Penelitian Arkeometri Pada Situs-Situs Megalitik Di Kawasan Lembah Besoa, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah". Laporan Penelitian Arkeologi, Bidang Kajian Arkeometri, Proyek Penelitian dan Pengembangan Arkeologi, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Sofyan Arfian, Intan S. Fadhlan M. 2007. "Analisis Laboratoris Temuan Gerabah dari Situs Megalitik Lembah Besoa". Bulletin Jejak-Jejak Arkeologi No. 6, Tahun 2006, Hal.119-130, Balai Arkeologi Manado.
Sompotan F. Armstrong. 2012. Struktur Geologi Sulawesi. Perpustakan Sains Kebumian, Institut Teknologi Bandung.
Sukamto, R. 1975. The structure of Sulawesi in the light of plate tectonic. Proceedings of the Regional Conference on the Geology and Mineral Resources in South East Asia, p. 1-25.
Sukendar, Haris. 1993. “Arca Menhir di Indonesia: Fungsinya Dalam Peribadatan". Disertasi. Universitas Indonesia. Jakarta.
Supartoyo dan Surono. 2008. Katalog Gempa bumi Merusak di Indonesia Tahun 1629 – 2007, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Bandung.
Supartoyo, Sulaiman C., Junaedi D. 2014. "Kelas Tektonik Sesar Palu Koro, Sulawesi Tengah". Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol.5, No.2 Agustus 2014, Hal.111-128.
Swastikawati Ari, Arif Gunawan dan Yudhi Atmaja. 2014. "Kajian Konservasi Tinggalan Megalitik di Lore, Sulawesi Tengah". Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014, hal. 17-37.
Thornbury, W.D. 1964. Principle of Geomorphology. New York, London, John Wiley and sons, inc.
Todd D.K. 1980. Groundwater Hidrology. John Wiley & Sons Inc, New York. Yuniawati, Dwi Yani. 2000. "Laporan Penelitian di Situs Megalitik Lembah Besoa,
Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah". Berita Penelitian Arkeologi No. 50, Proyek Peningkatan Penelitian Arkeologi, Jakarta.