Lembaga hukum islam di indonesia

download Lembaga hukum islam di indonesia

If you can't read please download the document

  • Upload

    meehawk
  • Category

    Law

  • view

    1.241
  • download

    5

Transcript of Lembaga hukum islam di indonesia

1. MAKALAH LEMBAGA HUKUM ISLAM DI INDONESIA Disusun oleh: Fiska Agung Santoso (13340093) Isna Nur Faizah (13340101) Muh Fahmi Akmal (13340111) Wahdah Munsifah (13340135) Hari Nursoleh FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA JURUSAN ILMU HUKUM 2013 2. LEMBAGA HUKUM ISLAM DI INDONESIA 1. Sejarah Peradilan Islam a. Peradilan Islam Masa Pra Kolonial[1] Peradilan Islam sudah ada di Indonesia sejak Islam masuk ke Nusantara. Sebelum kedatangan Islam, di Indonesia telah ada dua (2) jenis peradilan yaitu peradilan pradata dan padu. Kehadiran hukum Islam tidak hanya menggantikan hukum Hindu, namun juga memasukkan pengaruhnya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat pada umumnya walaupun hukum asli masih menunjukkan keberadaannya tetapi hukum Islam telah masuk dikalangan penganutnya terutama dalam hukum keluarga, sehingga berdampak pada proses pembentukan dan perkembangan peradilan Islam. Bentuk peradilan Islam pertama di Indonesia adalah tahkim kemudin ahlul halli wal aqdi. Pertumbuhan dan perkembangan peradilan Islam mulai terlihat pada masa kesultanan Islam yang bercorak majemuk. b. Peradilan Islam Masa Kolonial[2] 1. Peradilan Agama Masa Belanda Sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam sebagai suatu system hukum telah ada dalam masyarakat tumbuh dan berkembang disamping kebiasaan atau adat istiadat penduduk di Indonesia. Pada masa VOC pemerintah VOC memerintahkan D.W. Freijer untuk menyusun compendium yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam yang disebut hukum compendium freijer, lalu mendapat koreksi dari para ulama dan penghulu yang kemudian dijadikan sebagai pegangan oleh pengadilan dalam menyelesaikan perkara- perkara antara umat Islam. Sebenarnya pemerintah Hindia Belanda pada pertengahan abad ke- 19 ingin menata dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Balanda. Setelah Belanda melakukan penetrasi sampai ke desa, politik hukum pemerintah Belanda dan Hindia Belanda terhadap hukum Islam berubah tahap demi tahap secara sistematis, karena pemerintah kolonial mencita-citakan agar Indonesia mengalami transisi menuju dunia modern(ala barat) yang tidak bercorak Islam dan tidak dikuasai oleh adat. Hukum Islam tahap demi tahap diperlemah dan terakhir disingkirkan dari tata hukum Hindia Belanda. 2. Peradilan agama pada masa Jepang [3] Pada masa pemerintaha Jepang akibat dari penataan pada masa peralihan dari pemerintahan Belanda kepada Jepang, dengan keinginan politik Islam pada saat itu. Jepang menerapkan politik yang simpatik terhadap umat Islam di Indonesia dengan mengeluarkan berbagai peraturan 3. seperti salah satunya UU No 1 tahun 1942 tentang penegasan pemerintah Jepang untuk meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Campur tangan Jepang dalam masalah peradilan agama sangatlah rendah, hanya melakukan pengubahan nama saja. c. Peradilan Islam Masa Kemerdekaan 1. Orde lama[4] Menjelang proklamasi kemerdekaan, politik hukum pamerintah Hindia Belanda telah melahirka pakar-pakar yang berfaham sekuler tetapi disamping itu masih terdapat para ulama dan para tokoh Islam yang yang bercita-cita untuk menjadikan hukum Islam sebagai syariah menjadi hukum positif atau sumber atau dasar bagi umat Islam. Tokoh-tokoh yang berfaham sekuler berpendirian bahwa sekulerisasi hukum merupakan ciri dari system politik modern yang didasarkan pada (dua) 2 alasan yaitu hukum agama akan mengurangi kewenangan badan legislative yang merupakan inti dari Negara modern atau akan mengurangi kedaulatan Negara dan hukum agama akan menghalangin tuntutan perubahan masyarakat karena hukum agama itu bersifat statis. Sehingga mengakibatkan terpecahnya pandangan para pemimpin Indonesia menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama berpendirian bahwa syariah dan hukum Islam hanya sebagai bahan hukum nasional tapi tdak mengikat, mengikat jika sudah diterima oleh hukum adat. Sedangkan kelompok kedua berpendirian bahwa masyarakat yang dicita-citakan wajib menjalankan syariat Islam bagi umat Islam yang memerlukan bantuan Negara atau hukum yang dibuat tidak bertentangan dengan hukum Islam dan kedudukan hukum Islam sejajar dengan hukum adat. Pada masa orde lama setelah dekrit presiden 5 Juli 1959, politik hukum pemerintah terhadap hukum Islam lebih maju yaitu unsur-unsur hukum agama dan hukum Islam dipertahatikan seperti dalam pasal 5 UU No 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria. 2. Orde baru[5] Kehadiran orde baru tahun 1966 memberikan harapan besar bagi perubahan kependudukan peradilan agama di Indonesia. Peradilan agama adalah peradilan Negara yaitu peradilan resmi yang dibentuk pemerintah dan berlaku khusus untuk orang Islam dan menangani perkara perdata tertentu sesuai dengan hukum Islam. Tujuan yang ingin dicapai dengan adanya kompilasi hukum Islam adalah mewujudkan beberapa hal yaitu melengkapi pilar PA ( hukum materiil), menyamakan persepsi terhadap materi hukum, mempercepat proses pemersatuan hukum Islam 4. dengan menghilangkan khilafiyah yang melemahkan potensi umat Islam, menyingkirkan paham private affair dan mempositifkan bagian tertentu hukum Islam. 3. Era reformasi[6] Pada era reformasi terbuka peluang yang luas bagi system hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia, namun tidak terdapat perubahan yang mendasar terhadap kedudukan PA. satu-satunya perubahan struktur dan kedudukan peradilan agama terjadi di provinsi Nangroe Aceh Darussalam berdasarka UU otonomi daerah yaitu UU No 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. 2. Eksistensi Peradilan Islam di Indonesia Peradilan Islam (peradilan agama) merupakan penjabaran lebih lanjut dari aktivitas keulamaan dalam memberi layanan agama terhadap masyarakat Islam. Peradilan agama sebagai salah satu alat kelengkapan pemerintahan dan harus bertanggungjawab terhadap seluruh aspek penegakan hukum Islam melalui: a. Reintroduksi islam yang dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran agar masyarakat bertingkah laku menurut hukum melalui jalan dakwah b. Hukum materiil yang menjadi substansi transformasi intelektual pada tiap lembaga pendidikan Islam c. Penyelenggaraan hukum keluarga d. Layanan fatwa hukum e. Manajemen harta agama Dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman (judicial power) di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya. Kewenangan dan kekuasaan PA sebagaimana tercantum dalam BAB III UU No. 7/1989 (pasal 49-53) meliputi bidang-bidang hukum perdata antara lain; perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam dan perkara wakaf serta sadaqoh. Jadi, kompetensi PA 5. adalah bidang hukum keluarga dari orang-orang yang beragama Islam, sehingga PA disebut sebagai Peradilan Keluarga.1 Peradilan Agama memiliki kewenangan memproses perkara dan memberikan keadilan kepada orang Islam yang berperkara. Perkara-perkara yang diajukan tersebut diselesaikan berdasarkan pertimbangan hukum Islam yang berlaku. Sebagaimana pengadilan lainnya, secara hirarkis penyelesaian perkara di Peradilan Agama dilaksanakan melalui Pengadilan Agama yang menjadi pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi agama sebagai tingkat banding. Diatas pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama perkaradiselesaikan oleh Mahkamah Agung sebagai Supreme Court semua lembaga pengadilan di Indonesia.2 Dasar kewenangan dan otoritas pengadilan agama didasarkan pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Berdasarkan kedua Undang-Undang tersebut dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Agama memiliki kompetensi absolutesebagai pengadilan perdata bagi umat Islam. Perkara yang menjadi kewenangannya adalah perdata khusus, yaitu hukum keluarga dan hukum ekonomi syariah. Oleh karena itu pengadilan agama tidak hanya menjadi pengadilan keluargatetapi diperluas dalam masalah ekonomi syariah. a. Peradilan Islam dalam System Peradilan Indonesia Peradilan Islam atau peradilan agama merupakan penjabaran lebih lanjut dari aktivitas keulamaan dalam member layanan agama kepada masyarakat Islam. Peradilan agama diletakkan sebagai sebuah lembaga Yudikatif. Sebagai salah satu alat kelengkapan pemerintahan, peradilan agama juga harus bertanggung jawab terhadap seluruh aspek penegakan hukum Islam melalui rekrontruksi Islam yang dimaksud untuk menumbuhkan kesadaran agar masyarakat bertingkah laku menurut hukum melalui jalan dakwah, hukum materiil yang menjadi substansi transformasi intelektual pada tiap lembaga pendidikan Islam, penyelenggaraan hukum keluarga, layanan fatwa hukum, dan manajemen harta agama. Dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh MA dan peradilan dibawahnya meliputi Peradilan Umum, Agama, Militer dan Tatausaha Negara serta terdapat Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan atau wewenang 1 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996), hlm. 94. 2 DR. Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh (Yogyakarta, Beranda Publishing, 2012), hlm. 252. 6. peradilan pada masing-masing lingkungan terdiri atas wewenang relative dan wewenang mutlak (absolute). Kewenangan dan kekuasaan PA sebagaimana tercantum dalam Bab 111 UU No. 7/1989(pasal 49-53) meliputi bidang-bidang hukum perdata. Dengan adanya UU No. 7/ 1989 berarti hukum Islam telah dikukuhkan secara sah sebagai bagian integral dari hukum nasional. b. Kewenangan dan Otoritas Peradilan Islam Semua lembaga pengadilan di Indonesia memiliki kewenangan dan otoritas masing-masing sesuai dengan aturan Undang-Undang kekuasaan kehakiman. Peradilan agama memiliki kewenangan memproses perkara dan memberikan keadilan kepada orang Islam yang berpekara berdasarkan pertimbangan hukum Islam yang berlaku. Secara hirarkis penyelesaian perkara di peradilan agama dilksanakan melalui dua (2) lembaga yaitu pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama. Dasar kewenangan dan otoritas pengadilan agama di dasarkan pada UU No 7/ 1989 dn UU No 3/ 2006. Berdasarkan aturan di dalam 2 UU tersebut dapat disimpulkan bahwa pengadilan agama memiliki kompensasi absolute sebagai pengadilan perdata bagi umat islam yaitu perkara kewenagannya perkara khusus. Perluasan kewenangan absolute pengadilan agama tidak dapat dipisahkan dari asas personalitas yang menjadi cirri khas dan juga perkembangan implementasi hukum Islam di Indonesia. Sejak masa reformasi bergulir keinginan umat Islam untuk menegakkan hukum Islam dalam berbagai Islam mulai terlihat misalnya system ekonomi Islam yang menjadi alternative terbaik bagi system perekonomian dunia. LEMBAGA-LEMBAGA PEMBERI FATWA Selain Peradilan Agama, di Indonesia terdapat lembaga-lembaga yang mengeluarkan fatwa terkait dengan hukum Islam yang merupakan bagian dari organisasi sosial/kemasyarakatan Islam yang ada di Indonesia, sehingga metode ijtihaddan bentuk fatwanya dipengaruhi oleh corak khusus masing-masing organisasi yang menaunginya. a. Majlis Tarjih Muhammadiyah Muhammadiyah adalah organisasi sosial keagamaan yang memiliki misi utama pembaharuan (tajdid) terhadap pemahaman agama. Yakni pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada keasliannya/kemurniannya yang sasarannya adalah soal-soal prinsip perjuangan yang sifatnya tetap/tidak berubah-ubah dan pembaharuan dalam 7. arti modernisasi yang sasarannya mengenai masalah seperti: metode, system,teknik, strategi, taktik perjuangan, dan lain sebagainya yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi/ruang dan waktu. Dengan demikian, pembaharuan dalam organisasi ini memiliki arti memurnikan ajaran dan memodernkan. Dalam muktamar Muhammadiyah ke- XVII tahun 1928 di Yogyakarta dibentuk susunan pengurus Majlis Tarjih Pusat. Sebagai ketuanya KH. Mas Mansyur dan KH. Aslam sebagai sekretaris. Fungsi dari majlis ini mengeluarkan fatwa atau memastikan hukum tentang masalah- masalah tertentu, tidak hanya pada bidang agama dalam arti sempit, tetapi juga menyangkut masalah sosial kemasyarakatan. Majlis ini berusaha untuk mengembalikan suatu persoalan kepada sumbernya, yakni Al-Quran dan Hadits, baik masalah itu sudah ada hukumnya tetapi masih diperselisihkan, atau masalah- masalah baru yang sejak semula belum ada ketentuan hukumnya, seperti masalah Keluarga Berencana, bayi tabung, bank, dan lain-lain. Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Muhammadiyah telah merumuskan secara inamis aspek metodologis tersebut dalam manhaj Al- istinbathnya. Prinsip-prinsip metodologis tersebut dirumuskan sebagai berikut: 1. Mengubah istilah al-sunah al-shahihah menjadial-sunnah al-maqbullah sebagai sumber hukum sesudah Al-Quran. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan bahwa secara obyektif, majlis tidak hanya menggunakan hadits kategori shahih, tetapi juga hasan. Muhammadiyah membolehkan talfiq, yaitumenggabungkan beberapa pendapatdalam satu perbuatan syariy sepanjang telah dikaji lewat proses tarjih. 2. Posisi ijtihad adalah metode bukan sumber hukum, yang fungsinya adalah sebagai metode untuk merumuskan ketetapan-ketetapan hukum yangbelum terumuskan dalam Al Quran dan As-Sunnah. Ijtihad digunakan untuk merumuskan hukum yang tidak terdapat secara langsung dalam Al-quran dan As-Sunnah. 8. 3. Ijtihad meliputi metode bayani (menggunakan kaidah kebahasaan), metode alili (menggunakan pendekatan illat hukum), dan metode istishlahi (menggunakan metode kemaslahatan). 4. Manhaj menentukan empat pendekatan untuk kepentingan menetapkan hukum, yaitu: hermeneutika, sejarah, sosiologis, dan antropologis 5. Ijma, qiyas, mashlahah mursalah, serta urf, berkedudukan sebagai teknik penetapan hukum. 6. Taarudl al-adillah diselesaikan secara hirarkis melalui al-jamu wa al-taufiq, al- tarjih, al-nasakh, dan al-tawaqquf. Majlis tarjih secara tidak langsung mengakui adanya nasikh mansukh 7. Tarjih terhadap nash harus mempertimbangkan beberapa segi: segi sanad ( kualitas dan kuantitas rawi, bentuk dan sifat periwayatan, sighat tahammul wa al ada), segi matan (mendahulukan sighat nahy daripada amr; sighat khas daripada am), segi materi hukum, dan segi eksternal. 8. Hal-hal yang tidak diubah masih tetap berlaku, seperti mendasarkan akidah hanya berdasarkan dalil mutawattir, pemahaman terhadap Al-Quran dan As-Sunnah dilakukan secara komprehensif dan integral, peran akal dalam memahami teks Al-Quran dan As Sunnah dapat diterima, qiyas tidak berlaku dalam masalah ibadah mahdlah dan masalah yang sudah ada nashsh sharihnya dari Al-Quran dan atau As-Sunnah dll Manhaj pengembangan pemikiran Islam dikembangkan atas dasar prinsip-prinsip yang menjadi orientasi utamanya, yaitu: 1. Prinsip Al-Muraah (konservasi) yaitu upaya pelestarian nilai-nilai dasar yang termuat dalam wahyu untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul. 9. 2. Prinsip al tahditsi (inovasi)yaitu upaya penyempurnaan ajaran Islam guna memenuhi tuntutan spiritual masyarakat Islam sesuai dengan perkembangan sosialnya. 3. Prinsip Al-Ibtikari (kreasi) yaitu penciptaan rumusan pemikiran Islam secara kreatif, konsrtaktif, dalam menyahuti permasalahan actual. Terhadap persoalan-persoalan yang memerlukan pemecahan dalam perspertif Islam, dibahas oleh majlis ini dengan cara berupaya mencari dalil yang relevan, menerapkan manhaj al-istinbath, kemudian menarik natijah hukumnya. Hasil keputusan majlis ini kemudian diajukan ke pimpinan Muhammadiyah sesuai dengan tingkatannya. Selanjutnya pimpinan Muhammadiyahlah yang memiliki otoritas untuk mentandfidzkan atau tdak, sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang dimiliki. Jika telah ditanfidzkan, maka keputusan tersebut mengikat secara organisatoristerhadap warga Muhammadiyah sesuai dengan tingkatannya masing- masing. Tanfidz oleh pimpinan pusat mengikat seluruh warga Muhammadiyah, tanfidz oleh pimpinan wilayah mengikat wargana pada wilayah yang bersangkutan, demikian pula oleh pimpinan daerah mengikat daerahnya semata. Semua yang telah ditanfidzkan masih tetap terbuka untuk diadakan tinjauan ulang. Jika dikemudian hari ditemukan dalil dan istinbath yang lebih baik, maka denganmelalui mekanisme organistoris seperti diatas hal-hal yang telah ditanfidzkan dikaji ulang kemudian diubah sesuai dengan penemuan tersebut. b. Lajnah Bahsul Masail Nahdhatul Ulama Nahdhatul ulama (NU) sejak awal berdirinya telah menjadikan faham Ahlussunah Wal Jamaahsebagai basis teknologi (dasar beraqidah). Dalam keseharian ulama NU lebih banyak menggunakan fiqh yang bersumber dari mazhab Syafii. Para ulama NU mendasarkan pengambilan hukum kepada aqwal ala mujtahidin (pendapat para mujtahid) baik yang muthlaq ataupun muntashib. Bila ditemukan pendapat yang berdasar teks/nash (Al-Quran maupun Hadits), maka pendapat itulah yang dipegangi. Jika tidak ditemukan, mereka mengambil pendapat yang dianggap lebih kuat, atau 10. pendapat yang sudah ditakhrij. Apabila terjadi perbedaan pendapat (ikhtilaf) maka diambil pendapat yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan para ahlul tarjih. Secara historis, forum bahtsul masail sudah ada sebelum UN berdiri. Saat itu sudah ada tradisi diskusi di kalangan pesantren yang melibatkan kyai dan santri yang hasilnya diterbitkan dalam bulletin LINO (Lailatul Ijtima Nahdlatul Oelama). Latar belakang munculnya Lajnah Bahsul Masail (lembaga pengkajian masalah-masalah agama) adalah karena adanya kebutuhan masyarakat terhadap hukum Islam, terutama yang menyangkut kebutuhan praktis bagi kehidupan sehari-hari. Halini mendorong para ulamadan intelektual NU untuk mencari solusinya dengan melakukan Bahsul Masail. Bahtsul Masail NU menunjukkan sebuah forum ijtihad yang dinamis, demokratis dan berwawasan luas. Dikatakan dinamis sebab persoalan (masail) yang dibahas selalu mengikuti perkembangan (trend) hukum di masyarakat. Demokratis karena dalam forum tersebut semua peserta dianggap sama kedudukannya, tidak ada perbadaan antara kyai dan santri baik yang tua maupun yang muda. Pendapat siapa yang apaling kuat itulah yang diambil. Dikatakan berwawasan luas sebab dalam forum bahtsul masail tidak ada dominasi mazhab dan selalu sepakat dalam khilaf.3 Berkaitan dengan metode istinbath hukum lajnah bahsul masail, istinbath hukum di kalangan NU tidak diartikan dengan mengambilhukum secara langsung dari sumber aslinya, melainkan ssesuai dengan sikap dasar bermazhab, yaitu mnetathibkan (memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya. Sehingga kalimat istinbath di kalangan NU tidak begitu popular dan yang sering dipakai adalah kalimat bahsul masail yang artinya membahas masalah-masalah yang terjadi melalui maraji (referensi) yaitu kitab-kitab karya ahli fiqh. c. Dewan Hisbah Persatuan Islam Persatuan Islam (Persis)adalah organisasi sosial Islam yang berdiri pada tanggal 12 September 1923.Pada awalnya, embrio organisasi ini adalah kelompok tadarusan 3 DR. Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh (Yogyakarta, Beranda Publishing, 2012), hlm. 271. 11. yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus. Nama Persis ini dimaksudkan untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam. Persis yang banyak dipengaruhi aliran Wahabiyah, Arab Saudi, ini tampil berdakwah sekaligus menentang segala praktik-praktik keagamaan yang berasal dari luar ajaran Islam. Dewan Hisbah Persis memiliki tugas menyelidiki dan menetapkan hukum islam berdasarkan Al Quran dan Hadits. Pimpinan pusat Persis berkewajiban menyebarkannya kepada jamaahnya agar dijalankan. Namun mereka tidak mempunyai hak control terhadap hukum dari pelanggaran yang dilakukan oleh anggoa jamaahnya.4 Mekanisme ijtihad yang ditempuh oleh dewan hisbah adalah sebagai berikut: 1. Mencari keterangan dari Al Quran, bila terdapat perbadaan pemahaman dan penafsiran, maka diadakan Tariqatal-jami 2. Bila tidak terdapat dalil dari Al Quran maka diadakan penelitian tentang haditsnya,baik dari segi sanadnya maupun matannya, sebagai langkah untuk melakukanpentarjihan. 3. Jika tidak terdapat dalam Sunnah, maka dicari asar sahabat dengan cara yang sama pada butir yang kedua. Adapun metode pengambil keputusan hukum atas dasar Al Quran dan Hadits melaluilangkah-langkah sebagaiberikut: 1. Mendahulukan zahir ayat Al Quran daripada tawil 2. Menerima dan meyakini isi Al Quran, sekalipun namaknya bertentangan dengan akal, seperti pada kasus isra dan miraj 3. Mendahulukan makna hakiki daripada majazi kecuali jika ada alas an seperti lafaz aw la mastumun nisadengan pengertian bersetubuh 4 Dewan Redaksi,Ensiklopedia Islam, Vol. IV (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 2000), hlm. 95. 12. 4. Apabila ayat Al Quran bertentangan hadits, maka ayat Al Quran yang didahulukan sekalipun hadis shahih seperti halnnya menghajikan orang lain 5. Menerima tafsir para sahabat dalam memmahami ayat-ayat Al Quran 6. Menerims hadis sebagai bayan daripada ayat Al Quran5 7. Melakukan sesuatu jika ada contohnya dari Rasul, sedangkan ijma uli al amriitu hanya dalam masalah keduniaan saja 8. Qiyas dijadikan sebagai dalil yang keempat, jika tidak terdapatnas dari Al Quran dan As Sunnah 9. Mazhab disamakan dengan tali, karena disamping tidak berdasar kepada Al Quran dan sunnah juga dikarenakan pada masa Rasul dan sahabat tidak ada mazhab D. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia MUI adalah wadah atau majelis yang menghimpun para ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia. Berdiri tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta. Pendiriannya merupakan hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zuama yang dating dari berbagai penjuru tanah air. Pesertanya antara lain 26 orang ulama yang mewakili 26 propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsure dari ormas-ormas Islam tingkat pusat yaitu NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Mathlaul Anwar,GUPPI, PTDI, DMI dan al ittidiyyah, 4 orang ulama dari dinas rohani Islam, AD, AU, AL, dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yangmerupakan tokoh perorangan. 6 Dalam khittah pengabdian MUI telah dirumuskan lima fungsi MUI yaitu: 1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (warasatul anbiya) 2. Sebagai pemberi fatwa (mufti) 5 Kamiluddin Uyun, Menyorot Ijtihad PERSIS (Bandung: Tafakkur, 2005), hlm. 81. 6 DR. Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh (Yogyakarta, Beranda Publishing, 2012), hlm. 280. 13. 3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (khadim al ummah) 4. Sebagai gerakan Islah wa al tajdid 5. Sebagai penegak amar maruf dan nahi munkar. Sumber fatwa di dalam MUI berasal dari fatwa yang ditetapkan dala sidang komisi fatwa, Musyawarah Nasional MUI, dan fatwa ijtima ulama Komisi Fatwa se-Indonesia. Sisi keunggulan MUI dalam istinbath yang bersifat lintas mazhab dan tidak mempunyai keterikatan dengan mazhab fiqh tertentu. Metode yang dipergunakan oleh Komisi Fatwa MUI dalam proses penetapan fatwa meliputi 1. pendekatan Nash Qathi, dilakukan dengan berpegang kepada nash Al Quran atau Hadis untuk sesuatu masalah, jika masalah yang ditetapkan terdapat dalam nash Al Quran ataupun Hadis secara jelas. Apabila tidak terdapat dalam Al Quran maupun Hadis maka penjawaban dilakukan dengan pendekatan Qauli dan manhaji 2. pendekatan Qauli adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan mendasarkannya pada pendapat para imam mazhabdalam kitab-kitab fiqh terkemuka. Pendapat Qauli dilakukan apabila jawaban dapat dicukupi oleh pendapat dalam kitab-kitab fiqh terkemuka dan hanya terdapat satu pendapat (qaul) 3. pendekatan manhaji dilakukan dengan mempergunakan kaidah-kaidah pokok dan metodologi yang dikembangkan oleh imam mazhab dalam merrumuskan hukum suatu masalah. Pelaksanaannya dilakukan melalui ijtihad secara kolektif dengan menggunakan metode: mempertemukan pendapat yang berbeda, memilih pendapat yang lebih akurat dalilnya, menganalogikan permasalahan yang muncul dengan permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh dan istinbathi METODE IJTIHAD LEMBAGA HUKUM ISLAM DI INDONESIA DAFTAR PUSTAKA Kamiluddin Uyun, Menyorot Ijtihad PERSIS (Bandung: Tafakkur, 2005) 14. DR. Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh (Yogyakarta, Beranda Publishing, 2012) Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996) Dewan Redaksi,Ensiklopedia Islam, Vol. IV (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve, 2000)