LEGITIMASI PERNIKAHAN YANG DILAKUKAN SECARA …...Ketika pelaksanaan akad nikah, sang mempelai pria...
Transcript of LEGITIMASI PERNIKAHAN YANG DILAKUKAN SECARA …...Ketika pelaksanaan akad nikah, sang mempelai pria...
1
LEGITIMASI PERNIKAHAN YANG DILAKUKAN SECARA ONLINE
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
JURNAL
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Untuk Mencapai Derajat S-1 Pada
Program Studi Ilmu Hukum
Oleh :
CHAIRUSSUFI PARAMESWARI
D1A015053
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2019
2
3
LEGITIMASI PERNIKAHAN YANG DILAKUKAN SECARA ONLINE
MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN
Chairussufi Parameswari
D1A015053
Fakultas Hukum Universitas Mataram
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan bagaimana pengaturan pernikahan online
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
bagaimana legitimasi pernikahan yang dilakukan secara online menurut Undang-
Undang Nomor 1 tentang Perkawinan. Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian hukum normatif. Simpulan penelitian ini adalah Undang-undang
perkawinan tidak mengatur tentang pernikahan yang dilakukan secara online.
Pernikahan online sah apabila dilakukan sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan (2)
Undang-Undng Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan melihat juga pada
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik karena
pernikahan yang dilakukan secaea online ini menggunakan media elektronik yang
diatur dalam undang-undang tersebut dimana dalam hal ini ditur jelas tentang
tanda tangan elektronik.
Kata Kunci: Legitimasi, Perkawinan, Online
THE ONLINE LEGITIMATION BY LAW NUMBER 1 OF 1974
ABOUT MARRIAGE
ABSTRACT
The conclusion of this study is to explain how online marriage arrangements
based on Law Number 1 of 1974 about Marriage and how the legitimacy of
marriages conducted online according to Law Number 1 of 1974 about
Marriage. The compiler research method used in the preparation of this thesis is
normative legal research. The conclusions of this study are that the marriage law
does not regulate marriages conducted online and the legitimacy of marriage
Marriage is legal if carried out in accordance with Article 2 paragraph (1) and
(2) Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and also in Law Number 19 of
2016 concerning Amendment to Law Number 11 of 2008 about Information and
Electronic Transactions because marriage conducted online uses electronic
media as stipulated in the law which it is clearly stated about electronic
signatures.
Keywords: Legitimacy, Marriage, Online
i
I. PENDAHULUAN
Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia diciptakan Tuhan dalam kondisi
yang berbeda-beda, yaitu berbeda tujuan, berbeda pendapat, berbeda ide bahkan
berbeda kebutuhan, adanya perbedaan ini terkadang membuat manusia berprilaku
egois, hal tersebut menurut sosiologi manusia itu tidak dapat hidup sendiri,
manusia memilik kelebihan dan kekurangan yang apabila disatukan akan
menutupi kekurangan masing-masing.
Salah satu tindakan menyatukan manusia adalah pernikahan. Tetapi ketika
seseorang ingin menikahi orang yang ia pilih tidak selamanya akan berjalan
dengan lancar oleh sebab itu laki-laki maupun perempuan hendaknya harus
mempunyai bekal berbentuk ilmu khususnya tentang pernikahan terutama tentang
sah atau tidaknya suatu pernikahan.
Keabsahan suatu perkawinan merupakan suatu hal yang sangat prinsipil,
karna berkaitan erat dengan akibat-akibat perkawinan1. Oleh karena itu sebelum
melangsungkan sebuah pernikahan hendaknya calon mempelai harus mengetahui
syarat-syarat untuk melangsungkan sebuah pernikahan agar diakui keabsahannya.
Jika salah satu syarat-syarat atau rukun kurang ataupun tidak terpenuhi maka
suatu pernikahan dianggap tidak sah, sebaliknya apabila semua syarat atau rukun
terpenuhi maka pernikahan itu dikatakan sah.
Semakin berkembangnya zaman maka semakin berkembang teknologi
yang mempengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat, teknologi saat ini
berperan sangat besar dalam kehidupan sehari-hari, misalnya untuk memesan
1M. Anshary, Hukum Perkawinan Indonesia, Pusta Pelajar: Yogyakarta 2015, hlm 12
ii
sesuatu makanan dari aplikasi gofood, belanja untuk kebutuhan melalui jual beli
online atau hanya sekedar berbincang-bincang dari jarak jauh yang tidak perlu lagi
menemui secara fisik namun melalui koneksi saluran telepon.
Namun pernahkah anda mendengar bahwa ada pernikahan yang dilakukan
melalui media telepon, memang terdengar aneh karena sejatinya suatu pernikahan
adalah suatu hal yang sakral yang tidak terfikir bisa dilakukan hanya sekedar dari
media telepon. Untuk melangsungkan sebuah pernikahan itu harus menyiapkan
segala sesuatu dari jauh-jauh hari entah itu menyiapkan lahiriyah dan batiniyah,
menyiapakan tempat diselenggarakan acara pernikahan, dan waktu
dilangsungkannya sebuah pernikahan. Namun karena kebutuhan dan kepentingan
manusia berbeda yang mengakibatkan ada saja kendala yang dihadapi sebelum
melangsungkan pernikahan maka cara ini sangat membantu dalam menyelesaikan
masalah ini. Persoalannya adalah hukum islam dan hukum positif belum mengatur
tentang pernikahan yang dilakukan melaui media telepon ini bahkan pemerintah
yang berwenang belum mengeluarkan aturan yang terkait dengan hal ini
sementara perkembangan teknologi lebih cepat dari perkembangan substansi
hukum.
Achmad ketika menikahi Dewi Tarumawati pada 4 Desember 2006 silam.
Ketika pelaksanaan akad nikah, sang mempelai pria sedang berada di Pittsburgh,
Amerika Serikat. Sedangkan pihak wali beserta mempelai wanita berada di
Bandung, Indonesia. Kedua belah pihak dapat melaksanakan akad nikah jarak
jauh berkat layanan video teleconference dari Indosat. Hal ini juga tidak berbeda
dengan apa yang dilakukan oleh pasangan Sirojuddin Arif dan Iim Halimatus
iii
Sa’diyah. Dengan memanfaatkan teknologi ini, mereka melangsungkan akad
nikah mereka pada Maret 2007 silam. Hanya perbedaannya adalah, kedua
mempelai sedang berada di aula kampus Oxford University, Inggris, sedangkan
wali mempelai berada di Cirebon, Indonesia ketika akad nikah dilangsungkan.2
Namun yang menjadi permasalahan adalah belum ada aturan mengenai
pernikahan yang dilakukan secara online, sah atau tidak dan diakui oleh negara
atau tidak. Dengan adanya kekosongan aturan tersebut banyak orang yang akan
mengambil jalan pintas untuk melangsungkan pernikahan secara online yang
didasari dengan berbagai macam alasan.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan pernikahan online
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tentang Perkawinan? 2. Bagaimana
legitimasi pernikahan yang dilakukan secara online menurut Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
Penelitian ini bertujuan untuk Untuk mengetahui bagaimana pengaturan
pernikahan online berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tentang Perkawinan dan
untuk mengetahui bagaimana legitimasi pernikahan yang dilakukan secara online
menurut Undang-Undang Nomor 1 tentang Perkawinan.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif
dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), konseptual
(conseptual approach) dan kasus (case approach). Jenis dan sumber bahan
hukum yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang diperoleh melalui
2Qurrota A’yun, Akad Nikah Via Telp Dan Akad Nikah Yang Diwakilkan, diakses dari
https://elfalasy88.wordpress.com/2010/11/30/akad-nikah-via-telepon/, pada tanggal 02 oktober
2018 pukul 11.15
iv
studi dokumen baik melalui studi kepustakaan maupun melalui media elektornik
(internet).
v
II. PEMBAHASAN
Pengaturan Pernikahan Online Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan
Cepatnya perubahan peradaban dan teknologi yang terjadi di zaman
sekarang menimbulkan dampak hukum yang berkaitan dengan hal-hal yang
tidak atau belum diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Peraturan
perundangan tidak mungkin mengatur segala kehidupan manusia secara tuntas.
Sehingga ada kalanya dalam kehidupan kita menjumpai suatu peraturan
perundang-undangan tidak jelas atau bahkan tidak lengkap yang berakibat
terjadinya sebuah kondisi yang disebut dengan kekosongan hukum di
masyarakat. Arti dari kekosongan hukum itu adalah suatu keadaan kosong atau
ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tata tertib atau hukum
di dalam kehidupan masyarakat. Sehingga kekosongan hukum dalam hukum
positif lebih tepat dikatakan sebagai kekosongan undang-undang atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat.
Dalam kaitannya dengan hukum pernikahan, ternyata kondisi
kekosongan hukum dapat kita jumpai di dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagai contoh konkrit dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut sama sekali tidak
dijumpai peraturan yang menegaskan kebolehan, keabsahan atau legalitas
tentang pernikahan online atau dengan kata lain sebuah pelaksanaan
pernikahan yang menggunakan sarana telepon atau alat telekomunikasi yang
lain belum dijumpai di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
vi
Perkawinan. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengatu syarat sah perkawinan seperti syarat materiil dan formil, tidak ada
yang mengatur tentang pernikahan secara online.
Ketiadaan hukum atau kekosongan hukum yang mengatur tentang
status hukum perkawinan online serta teknis pelaksanaannya mengakibatkan
munculnya kontroversi dalam kehidupan masyarakat pada umumnya,
khususnya umat Islam. Oleh karena itu, diperlukan pembaruan hukum melalui
rekonstruksi atau penafsiran hukum guna mengisi kekosongan hukum yang
terjadi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat saat ini. Hal ini perlu dilakukan
agar hukum menjadi sistematis dan komprehensif dalam menghadapi
permasalahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, yang mana
persoalan pembaharuan hukum melalui rekontruksi atau penafsiran tersebut
dapat dilakukan terhadap suatu permasalahan yang belum ada ketetapan
hukumnya atau aturan yang mengikatnya.
Legitimasi Pernikahan Yang Dilakukan Secara Online Menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Keabsahan Pernikahan Yang Dilakukan Secara Online Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Menentukan sah atau tidaknya suatu pernikahan, tergantung pada
dipenuhi atau tidak dipenuhinya seluruh rukun-rukun perkawinan dan syarat-
syaratnya. Secara formal, pernikahan online atau melalui saluran telepon dapat
memenuhi rukun-rukunnya seperti dalam ada dalam Pasal 14 Kompilasi
Hukum Islam, yakni:
vii
“Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.”
Sahnya daripada sebuah pernikahan menurut Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ialah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dan
pemerintah Indonesia hanya mengakui enam agama, yakni Islam,
Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Dan tentunya disetiap
agama mempunyai rukun dan syarat sahnya sebuah pernikahan masing-
masing. Sehingga menjadi jelas bahwa bagi pemeluk agama Islam,
Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu yang berada di negara
Republik Indonesia ketika melakukan sebuah prosesi pernikahan harus
merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
sebagai payung hukumnya. Namun Pemerintah Indonesia sendiri
mempunyai regulasi tentang syarat sahnya sebuah pernikahan. Adapun
syarat sah pernikahan yang harus dipenuhi oleh calon mempelai
sebagaimana penulis memperoleh data dan informasi dari Dinas
Kependudukan dan Catatan sipil Kota Mataram, yakni: 1. Surat pengesahan
perkawinan yang asli: a. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) bagi
beragama Hindu; b. Baptis bagi yang Kristen; c. Permandian bagi Katholik;
d. Vihara bagi yang beragama Budha; 2. Model NA (N1-N4) dari lurah
atau desa untuk kedua mempelai; 3. Foto copy akta kelahiran kedua calon
mempelai; 4. Foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga
viii
(KK) kedua calon mempelai; 5. Foto copy Kartu Tanda Penduduk KTP
dua orang saksi; 6. Pas foto gandeng 4x6 (4 lembar); 7. Ijin komandan bagi
Tentara Nasioal Indonesia (TNI) atau Polisi Repuplik Indonesian (POLRI);
8. Ijin konsulat (kedutaan) dan fotocopy passport bagi WNA.
(Pengantin dan dua saksi hadir tanda tangan)
Adapun syarat-syarat bagi yang beragama Islam yang penulis
peroleh dari Kantor Urusan Agama (KUA) Praya sebagai berikut: 1. N1,
N2, N3 dan N4 dari desa lengkap dengan tanggal pengeluaran; 2. Foto
copy Kartu Keluarga (KK)/Kartu Tanda Penduduk (KTP)/Ijzah; 3. Surat
rekomendasi nikah dari Kantor KUA Kecamatan bila pengantin dari
kecamatan lain; 4. Surat izin dari Kedutaan bagi warga negara asing
(WNA); 5. Akta cerai dari pengadilan agama bagi janda atau duda; 6.
Surat keterangan kematian dari (Model N6) kalau cerai mati; 7. Umur
pengantin laki-laki tidak kurang dari 19 tahun; 8. Umur pengantin laki-laki
tidak kurang dari 19 tahun; 9. Umur pengantin perempuan tidak kurang
dari 16 tahun; 10. Surat dispensasi dari pengadilan agama bila pengantin
kuang umur; 11. Pas foto latar biru 2x3 masing-masing 6 lembar dan Pas
foto latar biru 4x6 masing-masing 2 lembar; 12. Biaya nikah Rp. 600.000,
bagi yang nikah di luar kantor dan disetorkan lewat kantor pos atau bank
BRI, biaya Rp. 0,- (Gratis) bagi yang nikah di kantor; 13. Foto copy Kartu
Tanda Penduduk (KTP) dua orang saksi; 14. Akad nikah dilaksanakan 10
hari sejak mendaftar di KUA dengan menyerahkan semua persyaratan
ix
Ayat (2) mengatur masalah pencatatan perkawinan, bahwa suatu
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 Perubahan
atas Undang-Undang nomor 11 Tahun 2008 tentang tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik ini sangatlah dipermudah. Pada Pasal 5 ayat (1)
berbunyi:
“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.”
Untuk melakukan pencatatan perkawinan pada jarak jauh atau tidak
bisa secara langsung maka segala berkas yang harus di tanda tangan bisa
melalui tanda tangan elektronik yang hal ini didasarkan pada Undang-Undang
Nomor 19 tahun 2016 Perubahan atas Undang-Undang nomor 11 Tahun 2008
tentang tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
Keabsahan Pernikahan Yang Dilakukan Secara Online Menurut Hukum
Islam
Menurut agama Islam pernikahan yang dilakukan secara online masih
menjadi perdebatan di antara para ulama, Perbedaan pendapat tentang
perkawinan online terjadi perbedaan pandangan tentang syarat-syarat dan
dalil-dalil tentang pernikahan. Perbedaan karena tersebut juga terjadi
dikarenakan teknis pelaksanaan pernikahan online tidak diatur secara jelas.
Berhubungan dengan Undang-undang perkawinan dalam pasal 2 ayat
(1) dikatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
masing-masing agama dan kepercayaannya, maka bagi umat islam ketentuan
x
mengenai terlaksananya akad nikah dengan baik tetap mempunyai kedudukan
yang menentukan untuk sah atau tidak sahnya suatu pernikahan.
Akad menurut Pasal 1 huruf c Kompilasi Hukum Islam adalah:
“Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul
yang diucapkan olehmempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua
orang saksi;”
Abdurrahman al-Jaziri menjelaskan bahwa para ulama bersepakat
mensyaratkan satu majelis dalam melaksanakan ijab qabul. Dengan demikian
apabila ijab qabul tidak dilaksanakan dalam satu mejelis, maka akad nikah
dianggap tidak sah. Para ulama terbagi dalam dua kelompok dalam
menafsirkan ittihad majlis (satu majelis)3
Yang dimaksud dengan ittihad al-majelis ialah bahwa ijab dan kabul
harus dilakukan dalam jarak waktu yang terdapat dalam satu upacara akad
nikah, bukan dilakukan dalam dua jarak waktu secara terpisah, dalam arti
bahwa ijab diucapkan dalam satu upacara, kemudian setelah upacara ijab
bubar, kabulkan diucapkan pula pada acara berikutnya. Dalam hal yang
disebut terakhir ini, meskipun dua acara berturut-turut secara terpisah bisa
jadi dilakukan dalam satu tempat yang sama, namun karena kesinambungan
antara ijab dan Kabul itu terputus, maka akad nikah tersebut tidak sah.
Dengan demikian, adanya persyaratan bersatu majlis, adalah menyangkut
kaharusan kesinambungan waktu antara ijab dan Kabul, bukan menyangkut
kesatuan tempat.4
3 Satria Efendi M. Zain, Priblematika Hukum Keluarga, Jakarta: Pernada Media Grup.
hlm. 4. 4 ibid, hlm. 4
xi
Seperti dikemukakan di atas, meskipun tempatnya bersatu, tetapi
apabila dilakukan dalam dua waktu, dalam dua acara yang terpisah, maka
kesinambungan antara pelaksanaan ijab dan pelaksanaan Kabul sudah tidak
terwujud, dan oleh karena itu akad nikahnya tidak sah.
Said sabiq dalam kitabnya Fiqh as-Sunnah dalam menjelaskan arti
bersatu majelis bagi ijab dan Kabul, menekankan pada pengertian tidak boleh
terputusnya antara ijab dan Kabul. Satu contoh dikemukakan oleh al-jaziri
dalam memperjelas pengertian bersatu majelis dalam mazhab Hanafi adalah
dalam masalah seorang lelaki berkirim surat mengakadkan nikah kepada
pihak perempuan yang dikehendakinya. Setelah surat itu sampai, lalu surat itu
dibacakan di depan wali wanita dan para saksi, dan dalam majelis yang sama
setelah isi surat dibacakan, wali perempuan langsung mengucapkan
penerimaannya (kabulnya).5
Praktik akad nikah seperti tersebut oleh kalangan hanafiyah dianggap
sah, dengan alasan bahwa pembacaan ijab yang terdapat dalam surat calon
suami dan pengucapan Kabul dari pihak wali wanita, sama-sama didengar
oleh dua orang saksi dalam majlis yang sama, bukan dalam dua upacara
berturut-turut secara terpisah dari segi waktunya. Dalam contoh tersebut,
ucapan akad nikah lebih dahulu diucapkan oleh calon suami, dan setelah itu
baru pengucapan akad dari pihak wali wanita. Praktik tersebut boleh menurut
mazhab Hanafi.
5 Ibid, hlm. 4.
xii
Sedangkan pendapat lain yang mengatakan bahwa bersatu majelis
disyaratkan, bukan saja untuk menjamin kesinambungan antara ijab dan
Kabul, tetapi sangat erat hubungannya dengan tugas dua orang saksi yang
menurut pendapat ini, harus dapat melihat dengan mata kepalanya bahwa ijab
dan Kabul itu betul-betul diucapkan oleh kedua orang yang melakukan akad.
Seperti diketahui bahwa di antara syarat sah suatu akad nikah, dihadiri oleh
dua orang saksi. Tugas dua orang saksi itu, sperti disepakati para ulama,
terutama untuk memastikan secara yakin akan keabsahan ijab dan Kabul, baik
dari segi redaksinya, maupun dari segi kepastian bahwa ijab dan Kabul itu
adalah diucapkan oleh kedua belah pihak. Dimaklumi bahwa keabsahan suatu
redaksi dapat dipastikan dengan cara mendengarkannya. Akan tetapi, bahwa
redaksi itu benar-benar asli diucapkan oleh kedua orang yang sedang
melakukan akad, kepastiannya hanya dapat dijamin dengan jalan melihat para
pihak yang mengucapkan itu dengan mata kepala. Pendapat ini yang
dipegangi (mu’tamad) dikalangan ulama ulama mujtahid, terutama kalangan
syafi’iyah.6
Apabila pendapat imam Syafi’i dikaitkan dengan kasus Syarif
Aburahman Achmad dengan Dewi Tarumawati dan Sirojuddin Arif dengan
Iim Halimatus Sa’diyah, maka bila tempat pelaksanaan akad nikah berada di
Oxford University Inggris, sedangkan orang yang berhak menjadi wali
berdomisili di Kota Bandung Indonesia dan wali tidak dapat hadir saat akad,
maka ia tetap bisa menjadi wali dengan cara membuat surat taukil
6 ibid, hlm 6
xiii
(mewakilkan) sebagaimana dalam Pasal 11 Ayat (5) Peraturan Mentri Agama
Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan yang ditandatangani
oleh dirinya, dua orang saksi dan Kepala KUA (Kantor Urusan Aagama)
kecamatan dimana ia tinggal. Dalam surat itu disebutkan kepada siapa ia
sebagai wali mewakilkan pelaksanaan ijab kabulnya. Dengan demikian maka
yang menjadi wali dalam akad nikah tersebut tetap orang yang semestinya,
bukan wali hakim. Hanya saja pelaksanaan ijab kabulnya dapat diwakilkan
kepada orang lain yang dikehendaki. Dengan ini persyaratan satu majlis
menurut Imam Syafi’i terpenuhi dan pernikahan menjadi legal menurut
hukum.
Pendapat satu majelis menurut Imam Syafi’i ini diperkuat oleh Imam
As-Syairazi di dalam kitab Al-Muhadzdzab, Darul Fikr, 2005, Juz. II, h. 52
Yang menyatakan bahwa:7
“Bila wali pergi dalam jarak yang memperbolehkan mengqashar
shalat maka penguasa mengawinkan (menjadi wali hakim, pen.)
mempelai perempuan. Para wali yang berada pada urutan setelah wali
tersebut tidak berhak mengawinkan, dikarenakan masih tetapnya hak
perwalian wali yang pergi itu. Karenanya bila si wali mengawinkan
mempelai perempuan ditempatnya maka sah akadnya. Namun ia
berhalangan, maka penguasa menempati posisinya sebagaimana bila
ia hadir namun tercegah untuk mengawinkan.”
7 Ketika Wali Nikah di Tempat yang Jauh, Mengapa Harus Wali Hakim?, diakses dari
http://www.nu.or.id/post/read/97461/ketika-wali-nikah-di-tempat-yang-jauh-mengapa-harus-wali-
hakim pada tanggal 03 April 2019 pukul 19:29
xiv
Praktik pernikahan satu majelis yang dianut oleh mashab Syafi’i tidak
mendukung pernikahan yang dilakukan secara online, karena saksi harus
melihat dan benar-benar memastikan pihak yang berakad. Apabila pernikahan
dilakukan atas dasar pendapat imam Syafi’i selain memberi kuasa pada orang
yang dikehendaki untuk menjadi wali maka menurut penulis saksi dianjurkan
menjadi 4 orang, yakni 2 orang di tempat perempuan dan 2 orang di tempat
laki-laki. Di Indonesia sendiri juga pada umumnya menganut mazhab Syafi’i.
xv
III. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan penelitian ini, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut : 1. Pengaturan perkawinan secara online tidak ada
pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. Hal ini merupakan kekosongan hukum yang dapat menimbulkan
ketidakpastian dalam kehidapan masyarakat; 2. Legitimasi perkawinan yang
dimaksud di sini adalah masalah keabsahan, maka perkawinan dilakukan
secara online dilihat dari 2 aspek, antara lain: a. Keabsahan menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sah hukumnya
apabila dilakukan sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan melihat juga pada Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik karena
pernikahan yang dilakukan secaea online ini menggunakan media elektronik
yang diatur dalam undang-undang tersebut dimana dalam hal ini diatur jelas
tentang tanda tangan elektronik; b. Keabsahan menurut hukum Islam, para
ulama bersepakat bahwa syarat pernikahan yaitu satu majelis, namun ada
perbedaan pendapat mengenai satu majelis ini. Menurut imam Hanafi satu
majelis berarti satu waktu artinya tidak boleh terputus antara ijab dan qabul.
Namun satu majelis menurut Imam Syafi’i yakni satu tempat karena ini
berkaitan dengan tugas saksi yang harus meliat dengan jelas oleh mata dan
kepalanya sendiri pihak yang melakukan ijab qabul. Jadi pernikahan yang
xvi
dilakukan secara online tersebut sah adanya apabila sudah terpenuhi syarat
dan rukunnya sebuah pernikahan.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diberikan saran sebagai
berikut: 1. Aparat Legislatif bersama Pemerintah perlu melakukan
perubahan/revisi atau menambahkan pasal-pasal peraturan perundang-
undangan dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang lebih detail terkait dengan
pernikahan online atau melalui telepon karena keberadaan hukum Islam dan
hukum positif dalam masalah pernikahan harus beriringan dengan
perkembangan peradaban manusia, sementara perkembangan teknologi
informasi lebih cepat dan pesat jika dibandingkan dengan perkembangan
substansi hukum; 2. Diharapkan kepada masyarakat agar sebaiknya tidak
melakukan pernikahan secara online agar tidak ada keraguan sah atau
tidaknya secara hukum dan agar pernikahan mereka secara administratif
memiliki kekuatan hukum dan kepastian hukum.
xvii
DAFTAR PUSTAKA
Buku
M. Anshary, Hukum Perkawinan Indonesia, Pusta Pelajar: Yogyakarta
2015, hlm 12
Satria Efendi M. Zain, Priblematika Hukum Keluarga, Jakarta: Pernada
Media Grup.
Internet
Ketika Wali Nikah di Tempat yang Jauh, Mengapa Harus Wali Hakim?,
diakses dari http://www.nu.or.id/post/read/97461/ketika-wali-nikah-
di-tempat-yang-jauh-mengapa-harus-wali-hakim pada tanggal
03April 2019 pukul 19:29
Qurrota A’yun, Akad Nikah Via Telp Dan Akad Nikah Yang Diwakilkan,
diakses dari https://elfalasy88.wordpress.com/2010/11/30/akad-nikah-
via-telepon/, pada tanggal 02 oktober 2018 pukul 11.15